Anda di halaman 1dari 6

2.

Human Security atau kerap disebut juga dengan keamanan insani dapat diartikan
sebagai sebuah konsep keamanan yang merupakan bagian dari disiplin ilmu hubungan
internasional, gagasan ataupun isu dunia. 
Human Security memiliki dua makna, pertama, keamanan dari seperti ancaman kronis
kelaparan, penyakit dan penindasan. Kedua, human security juga berarti proteksi dari
gangguan mendadak dan merugikan dalam pola kehidupan masyarakat  entah di dalam
rumah, pekerjaan maupun dalam masyarakat.Konsep human security pada awalnya
berasal dari national security atau keamanan nasional yang diupayakan antarnegara
untuk menjaga integritas suatu bangsa dan kebebasan bernegara dalam mempunyai
kedaulatan sendiri. Dengan perkembangan global, ancaman yang dihadapi negara
semakin rumit sehingga memunculkan konsep keamanan bersama dan collective
securityyang diupayakan bersama di antarnegara. Namun collective security dalam
pelaksanaannya tidak hanya menjaga kedaulatan negara, melainkan juga
diperuntukkan menjaga keamanan warga negara. Sehingga konsep human
security muncul dengan maksud lebih dari sekadar keamanan negara, yaitu dalam
mengupayakan memberi perhatian lebih untuk masyarakat yang mengalami
ketidakamanan dalam suatu negara.
Keamanan manusia adalah paradigma baru untuk memahami kerentanan global. Para
pendukungnya menolak makna lama keamanan nasional dan berpendapat bahwa acuan
keamanan yang lebih tepat adalah individu, bukan negara. Keamanan manusia
menyatakan bahwa pemahaman keamanan yang berpusat pada manusia dan
multidisipliner melibatkan berbagai bidang studi, termasuk studi pembangunan, hubungan
internasional, studi strategis, dan hak asasi manusia. 
Agar keamanan manusia dapat menangani kesenjangan global, perlu ada kerja sama
antara kebijakan luar negeri suatu negara dengan pendekatannya terhadap kesehatan
global. Namun demikian, kepentingan negara selalu lebih diutamakan ketimbang
kepentingan rakyat. 

Pendekatan Human Security dalam


Penanganan Pandemi: Studi Kasus
COVID-19 di Jepang 
 08 DECEMBER 2020 WRITTEN BY CHELSILYA SIMANJUNTAK*

web : psdr.lipi.go.id
Gagalnya Keamanan Manusia Masyarakat Papua

Persekusi rasial yang diiringi tindakan main hakim sendiri terhadap


mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur belakangan ini telah
mencederai rasa kemanusiaan karena terjadinya dehumanisasi melalui
kata-kata dan perlakuan yang tidak pantas. Hal ini juga menunjukkan
gagalnya keamanan manusia terhadap saudara-saudara Papua, khususnya
yang berada di Jawa Timur. Padahal secara eksplisit UUD 1945 telah
menjamin bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan serta berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Jaminan ini juga
sesuai dengan dua komponen utama dalam keamanan manusia, yakni bebas
dari rasa takut dan bebas atas apa yang diinginkan.

Dalam perspektif keamanan manusia, subyek atas keamanan bukan lagi


negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented). Perubahan
perspektif ini, karena ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer
atau berkaitan dengan teritorial, tapi juga meliputi ancaman politik, sosial,
ekonomi, maupun ekologis. UNDP (2004) menempatkan keamanan
komunitas (community security) sebagai salah satu dari tujuh komponen
keamanan manusia. Indikator-indikator keamanan komunitas berkaitan
dengan politik identitas dan konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-
golongan.

Penerapan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor


66/290 pada 10 September 2012 menjadi tonggak penting untuk penerapan
keamanan manusia. Dalam paragraf ketiga dari resolusi tersebut, Majelis
menyetujui dengan konsensus bahwa keamanan manusia adalah suatu
pendekatan untuk membantu negara-negara anggota dalam
mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang meluas dan lintas sektoral
untuk kelangsungan hidup, mata pencarian, dan martabat rakyat mereka.

Peristiwa persekusi rasial terhadap orang Papua tersebut menunjukkan


bahwa pada dasarnya praktik rasialisme masih hidup di tengah masyarakat
kita. Praktik dan narasi rasialisme ini destruktif dan hidup dalam bingkai
kemajemukan dan keberagaman kita, yang tentu saja menjadi dua narasi
yang paradoksal. Lebih dari itu, pencegahan dan penanggulangan praktik
rasialisme yang berbasis dan berperspektif keamanan dan stabilitas negara
justru membuat praktik rasialisme bak api dalam sekam, yang tinggal
menunggu waktu untuk meletup.

Mengapa menjadi api dalam sekam? Perspektif keamanan dan stabilitas


negara mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah
bergejolak kembali stabil dan kondusif. Basis dan perspektif ini dapat
dilihat dari respons pemerintah yang cenderung menguatkan narasi bahwa
ketegangan terjadi karena tersebarnya hoaks dan provokasi melalui media
sosial serta akan menangkap oknum-oknum penyebar hoaks dan perusakan
fasilitas umum ketika terjadi demonstrasi di Manokwari. Puncak dari
narasi itu adalah keadaan kembali normal seperti sedia kala.

Sebaliknya, perspektif keamanan manusia mengedepankan bagaimana


memastikan rasa aman dan keamanan masyarakat. Dalam kasus ini, praktik
rasialisme menjadi penyebabnya. Sehingga yang diupayakan adalah
bagaimana praktik tersebut tidak terjadi lagi. Untuk menjamin
terpenuhinya keamanan masyarakat Papua, yang paling utama dilakukan
tentu memproses secara hukum orang-orang yang melakukan persekusi
tersebut. Mereka secara nyata melakukan dehumanisasi dan menimbulkan
rasa tidak aman terhadap masyarakat Papua. Bila mereka diproses secara
hukum, secara otomatis stabilitas pun akan kembali karena pokok
persoalannya terselesaikan. Pada titik inilah, pendekatan keamanan
manusia (human security) menjadi penting dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan praktik rasialisme.

Web: Kolom.tempo.go.id

Judul: Gagalnya Keamanan Manusia Masyarakat Papua

penulis: Ikhsan Yosarie 

 Waktu :Senin, 26 Agustus 2019 07:00 WI

Dalam perang, membunuh dalah salah satu cara untuk


5.beberapa jenis senjata di larang karena

mencapai kemenengan, tetapi sejumlah negara mencoba untuk memasukkan unsur


manusiawi ketika berusaha saling membantai tersebut. Salah satunya dengan
melarang sejumlah senjata.

Berikut ini adalah lima senjata paling mematikan yang dilarang digunakan dalam
perang oleh konvensi internasional.

a.Expanding Bullets
Expanding Bullets  secara resmi dilarang dalam peperangan, namun masih digunakan
untuk berburu dan oleh polisi beberapa negara. Peluru dirancang untuk memperluas
dampak atau luka yang kadang-kadang hingga dua kali lebih lebar dibandingkan
peluru biasa. Karena daya henti mereka, mereka sering digunakan untuk berburu.

Peluru ini pertama  diproduksi pada awal 1890-an dan diberi nama “dum-dum”,
setelah sebuah fasilitas militer Inggris berada di dekat Kolkata, India. Ada yang
terbuat dari baja lunak dan memiliki lubang hidung berlubang yang dirancang untuk
pecah menyebar saat terkena benturan. Pada sebagian besar kasus, luka yang
dihasilkan sangat mematikan atau mengakibatkan kecacatan.

Konvensi Den Haag tahun 1899 melarang penggunaan peluru ini, namun Rusia dan
Jerman masih menggunakannya dalam Perang Dunia I.

Saat ini, pasukan militer reguler tidak menggunakan ekpanding bullets. Hukum
internasional melarang penggunaannya dalam konflik bersenjata. Hal ini 
diperdebatkan oleh Amerika Serikat yang menegaskan bahwa amunisi ini  dapat
digunakan bila ada kebutuhan militer yang jelas. Namun, adopsi amandemen Pasal 8
pada Konferensi Peninjauan Statuta Roma membuat penggunaan peluru ini menjadi
kejahatan perang.Pada saat yang sama, karena peluru  hanya dilarang dalam konflik
militer, namun tetap digunakan oleh aparat penegak hukum di banyak negara. Mereka
memungkinkan untuk segera menetralkan penyerang dan mencegah korban lebih
banyak di daerah yang ramai.

b.Napalm

Senjata mematikan ini mulai dikenal secara global selama Perang Vietnam, namun
napalm juga digunakan pada Perang Dunia II. Napalm adalah cairan yang mudah
terbakar, campuran zat gelling dan bensin atau bahan bakar sejenis. Napalm sangat
murah dan mudah diproduksi. Napalm mudah  terbakar dan menempel pada
permukaan dan kulit, menimbulkan luka bakar parah.

Selama perang di Vietnam, militer Amerika menggunakan napalm untuk membakar


desa dan kawasan hutan, menghancurkan tempat persembunyian musuh. Napalm
digunakan dalam bom yang dijatuhkan dari pesawat, penyembur api dan pembakar.
Penggunaannya sering mengakibatkan korban di kalangan warga sipil dan pasukan
kawan.

Konvensi PBB tentang Senjata Konvensional Tertentu atau Certain Conventional


Weapons (CCW) melarang penggunaan napalm terhadap populasi sipil pada tahun
1980. Namun, sejumlah negara belum meratifikasi semua protokol CCW tersebut.
C.Bom Cluster

Convention on Cluster Munitions (CCM)  diadopsi pada tahun 2008 di Dublin. Pada
Juli 2017, 108 negara telah menandatangani perjanjian tersebut dan 102 negara telah
meratifikasi dokumen tersebut.

Produsen dan pengguna bom kluster utama, seperti Amerika Serikat, Rusia, China,
India, Korea Selatan dan Israel, belum menyetujui perjanjian tersebut, dengan alasan
tingginya jenis senjata ini. Pada saat yang sama, negara-negara ini mengamati
pembatasan penggunaan bom tandan  termasuk larangan penggunaannya di daerah
berpenduduk padat.

Bom cluster yang dijatuhkan dari pesawat adalah jenis bom cluster paling populer.
Bom cluster terdiri dari cangkang berongga dan dispenser yang berisi bom dengan
berat sampai 10 kilogram. Setiap dispenser dapat berisi hingga 100 bom, termasuk
anti-personel, anti-tank, pembakar, dll.

d.Fosfor Putih

Penggunaan fosfor putih secara resmi dilarang oleh sebuah amandemen  1977
terhadap Konvensi Jenewa untuk Perlindungan Korban Perang, yang melarang senjata
yang  menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

Fosfor putih digunakan dalam Perang Dunia I oleh pasukan Jerman dan Inggris, oleh
angkatan udara Jerman selama Perang Dunia II, oleh militer Amerika dalam Perang
Korea dan konflik lainnya.

Fosfor putih sangat mudah terbakar dan menyala sendiri saat kontak dengan udara.
Amunisi fosfor putih digunakan untuk melawan personil dan peralatan militer.
Mereka dapat menyebabkan luka dan kematian dengan membakar dan asal yang
dihirup.

e. Ranjau Darat

Berbagai jenis ranjau darat telah digunakan oleh militer di seluruh dunia sejak awal
abad ke-20. Ranjau darat  biasanya disembunyikan di bawah atau di permukaan tanah 
dan dirancang untuk menghancurkan atau menonaktifkan target musuh, mulai dari
personel hingga kendaraan dan tank.

Penggunaan ranjau darat sangat kontroversial karena bisa tetap berbahaya bertahun-
tahun setelah konflik berakhir. Menurut perkiraan ahli, beberapa juta ranjau darat
tertinggal setelah konflik di berbagai belahan dunia.
Sejumlah kampanye publik telah muncul untuk melawan penggunaan ranjau darat.
Senjata ini  dilarang oleh Konvensi 1997 tentang Larangan Penggunaan, Penimbunan,
Produksi dan Pemindahan Ranjau Anti-Personil dan Pemusnahannya, yang juga
dikenal sebagai Perjanjian Ottawa.

Namun, sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia dan China, belum
menandatanganinya. Ranjau darat sering digunakan oleh teroris dan gerilya.

Web: jejaktapak.com

Senjata-Senjata Yang Dilarang oleh


Hukum Internasional
By AZ  06/08/2018

Anda mungkin juga menyukai