Oleh:
Ahirul Habib Padilah
170820140512
PROGRAM PASCASARJANA
KONSENTRASI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
keamanan ini tidak hanya terbatas pada sebuah negara saja, namun berlaku untuk
umum. Bagi seluruh umat manusia di dunia. Mengingat bahwa ancaman bisa datang
kepada siapa saja, tanpa memandang negara di mana manusia tersebut berada.
Sebuah peristiwa pun dapat dikategorikan sebagai human security apabila telah
sampai mengancam keamanan nasional suatu negara. Karena dari ancaman
keamanan nasional, bukan tidak mungkin akan meluas hingga mencapai lingkup
global.
Untuk itulah mengapa human security mendapatkan perhatian khusus di era
sekarang ini, bahkan menjadi prioritas utama PBB untuk memberantas segala
bentuk ancaman human security. Makalah ini, berusaha menjelaskan betapa
pentingnya human security, yang tidak hanya dalam perspektif keamanan nasional,
namun juga keamanan regional dan global. Selain itu, akan dipaparkan juga
mengenai jenis-jenis human security, faktor-faktor yang memengaruhi human
security, ancaman dan dampak terhadap human security, serta beberapa contoh
kasus terkait dengan human security.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
keamanan
manusia
mengalami
perkembangan
seiring
dengan
a.
non-konvensional),
strategi
menyerang
atau
bertahan,
c.
d.
e.
Dari kelima dimensi di atas yang dipaparkan oleh Buzan, dapat dilihat bahwa
telah terjadi pergeseran pandangan terhadap ancaman dari keamanan, sehingga
pada saat ini setiap negara tidak hanya memusatkan perhatiannya pada upaya
pengembangan kekuatan militer saja. Melainkan, kemampuan individu dalam
mengakses hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya, kehidupan sosial,
lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang menjadi isu-isu penting untuk
diperjuangkan oleh setiap negara agar individu di dalamnya bisa hidup dengan
damai. Rasa damai yang berarti bahwa tiap-tiap individu di dalam negara tersebut
bisa hidup tanpa merasakan adanya ancaman-ancaman yang dapat mengusik
kehidupan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keamanan militer telah
mengalami pergeseran menjadi konsep keamanan manusia (human security).
Konsep human security bukanlah konsep keamanan yang berhubungan
dengan konflik, peperangan, atau ancaman militer lainnya. Human security sangat
erat kaitannya dengan aspek-aspek inti kehidupan dan mempunyai makna penting
bagi setiap manusia, mulai dari aspek politik, sosial, lingkungan, ekonomi dan
budaya. Melindungi dan memastikan kebebasan setiap individu merupakan tugas
utama dari human security. Konsep ini juga mencakup dengan berbagai upaya yang
dilakukan untuk meminimalisir ancaman-ancaman yang mungkin saja timbul
sehingga setiap manusia dapat bertahan hidup, memiliki pekerjaan dan bermartabat.
Selanjutnya,
United
Nations
Development
Programme
(UNDP)
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Human
(http://azizfahri.blogspot.com/?m=1) diakses 20 Juni 2016.
Security.
Dalam
Jill & Lloyd Pettford, 2009. International Relations: Perspectives and Themes, diterjemahkan
oleh Silvya Sari, Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hal. 376.
Otto Soemarwoto, 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan,
hal. 51.
Peter Chalk. 2000. Non-Military Security and Global Order. Oxford: Oxford University Press,
dalam Anak Gung Banyu Perwita dan Yanyan Mochammad Yani, 2005. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 130.
militer antara kedua superpower (Amerika Serikat dan Uni Soviet), maka terdapat
kesempatan untuk membahas isu-isu lain yang kemudian menjadi perdebatan di
kalangan negara-negara Barat. Kedua, Terdapatnya kesadaran publik dan media
terhadap perubahan lingkungan global karena terdapat gejala-gejala yang
mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan global, seperti musim panas yang
berkepanjangan yang terjadi di Amerika Utara pada tahun 1988. Ketiga, scientific
communities mulai membeberkan hasil-hasil penelitian mereka dan memberikan
informasi terkait dengan kondisi lingkungan kepada para pembuat kebijakan.
Sebagai contohnya, scientific communities memberikan informasi tentang
terdapatnya lubang pada lapisan ozon di Antartika pada pertengahan tahun 1980
dan menjelaskan perihal kerusakan lingkungan, dan bagaimana cara mengatasinya.
Kepedulian terhadap isu lingkungan hidup semakin meningkat dan meluas,
yang kemudian menjadi isu global disebabkan oleh:5 Pertama, beberapa masalah
lingkungan hidup secara inheren bersifat global. CFCs (chlorofluorocarbons) yang
terlepas ke dalam atmosfer menyumbangkan masalah penipisan ozon stratospheric
secara global di mana pun CFCs dipancarkan, seperti halnya dengan emisi carbon
dioxide menyumbang terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu efeknya bersifat
global, maka dar itu dalam penanganan masalah ini harus melalui kerja sama global.
Kedua, beberapa masalah dikaitkan dengan eksploitasi the global commons, yaitu:
sumber-sumber yang menjadi milik bersama dari seluruh anggota masyarakat
internasional, seperti samudera/ ocean, atmosfer, dasar laut, dan ruang angkasa.
Banyak yang berpendapat bahwa sumber-sumber genetik dunia meruapakan sebuah
sumber global yang harus dipelihara dan dipertahanan untuk kepentingan bersama
masyarakat global.
Ketiga, banyak masalah lingkungan hidup yang secara intrinsik transnasional,
dalam arti melewati batas-batas negara, bahkan sekalipun masalah-masalah itu
tidak seluruhnya bersifat global. Keempat, banyak proses dan masalah eksploitasi
Owen Green, Environmental Issues, dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). 1999. The
Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, Edisi Kedua,
Oxford: Oxford University Press, hal. 387-414.
yang berlebihan atau degradasi lingkungan hidup yang secara relatif dalam skala
lokal atau nasional, dan ini terjadi di sejumlah besar tempat di seluruh dunia, yang
kemudian dipandang sebagai masalah-masalah global. Misalnya, masalah-masalah
yang mencakup praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, deforestasi, polusi
sungai, dan banyak masalah masalah limgkungan yang dikaitkan dengan urbanisasi
dan praktik-praktik industri. Secara luas diakui bahwa penyebab masalah
lingkungan hidup dikaitkan dengan generasi dan distribusi kekayaan, pengetahuan,
dan kekuasaan, serta pola-pola konsumsi energi, industrialisasi, pertumbuhan
penduduk, kehidupan yang melimpah (affuence) dan kemiskinan. Dalam hal ini,
proses-proses globalisasi dan interdependensi, maupun kehidupan ekonomi dan
kehidupan bidang lain secara meningkat, sebagaimana telah diungkapkan oleh
Keohane dan Nye (1977) menjadikan semua isu lingkungan hidup memiliki
dimensi global.
Mengingat isu lingungan yang sangat kompleks, maka para pengamat
membagi perkembangan krisis lingkungan ke dalam dua periode, yakni periode
krisis lingkungan pertama dan periode krisis lingkungan kedua. Periode krisis
lingkungan pertama dipicu oleh publikasi buku Silent Springs, yang ditulis oleh
Rachel Carson pada tahun 1962. Carson dalam bukunya mengkritik produksi dan
penggunaan pestisida (DDT) yang berlebihan di Amerika Serika dengan merujuk
pada derita yang dia alami sendiri. Dia menyimpulkan bahwa penggunaan DDT
secara berlebihan dapat menimbulkan penyakit kanker seperti yang ia alami sendiri.
Krisis lingkungan periode kedua, penyebab maupun kebijakan yang diambil
berdasarkan permasalahan lingkungan berskala global. Menurut Homer Dixon,
penyebab krisis lingkungan mencakup enam sumber, yaitu perubahan iklim yang
disebabkan oleh efek rumah kaca, penipisan ozon, degradasi dan hiangnya tanah
pertanian yang subur, pengundulan hutan, pengurangan dan polusi suplai air bersih,
dan penipisan daerah penangkapan ikan. Keenam sumber perubahan lingkungan
tersebut disertai dengan pertumbuhan penduduk dan distribusi sumber daya yang
tidak merata telah melahirkan kelangkaan lingkungan (environmental scarcity).6
Dalam diskusi mengenai lingkungan hidup, tidak lepas dari perdebatan
mengenai konsep pandangan antara Environmentalist dan Green Politics.
Meskipun kedua pandangan ini sama-sama berdasarkan pada lingkungan namun
fondasi awal kerangka berpikir dari kedua pemikiran ini sangat berbeda atau
bertolak belakang. Kaum environmentalist percaya dan menerima bahwa struktur
politik, sosial, ekonomi, dan normatif yang ada sekarang mampu mengatasi
permasalahan lingkungan. Pemikiran kaum environmentalist ini sejalan dengan
pemikiran institusionalis liberal yang bisa dilihat dari respons sistem negara
terhadap permasalahan lingkungan yang berfokus pada munculnya rezim
lingkungan internasional. Asumsi dasar analisisnya adalah berpijak pada pendapat
bahwa sistem negara bisa merespons permasalahan lingkungan secara efektif.
Sementara para pemikir Green Politics berpendapat bahwa struktur yang ada
sekaranglah yang menjadi penyebab utama timbulnya krisis lingkungan yang
terjadi saat ini. Solusi untuk menangani persoalan dan permasalahan lingkungan
bagi pemikir Green Politics adalah dengan mereformasi dan memperbaiki strukturstruktur yang ada pada saat ini7. Pemikiran dari Green Politics yang terkenal sesuai
dengan slogan mereka yaitu Think Globally, Act Locally. Ketidakpercayaan
Green Politics terhadap struktur yang ada, bahkan mereka tidak percaya terhadap
state-actor yang menyebabkan mereka tidak mempercayai institusi-institusi
internasional yang berupaya merespons permasalahn lingkungan ini. Green Politics
berpendapat bahwa permasalahan lingkungan yang dibawa oleh para state-actor ini
selalu bermuatan politik dan berusaha tetap ingin mengekspor lingkungan yang ada
pada saat ini8.
Suharko, 1998. Model-Model Gerakan NGO Lingkungan (Studi Kasus di Yogyakarta) dalam
Jurnal Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Vol. 2, No. 1 hal. 42.
Scott Burchill and Andrew Linklater, 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung:
Nusadua, hal. 337.
Green, Op. Cit.
BAB III
PEMBAHASAN
Singapura membawa asap sampai ke negara singa tersebut sehingga mereka juga
merasakan dampak dan sempat mengganggu sektor penting seperti transportasi,
pariwisata dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat Human
Development Report dari United Nations Development Program (UNDP) pada
tahun 1994. Menurut laporan tersebut bahwa ancaman terhadap human security
sangat erat kaitannya dengan tujuh elemen utama dari human security, yakni9:
3.1.1 Ancaman Terhadap Keamanan Ekonomi: sebagai akibat dari kurang
tersedianya lapangan pekerjaan yang produktif dan menguntungkan sehingga
menimbulkan ancaman bagi para pelaku ekonomi.
3.1.2 Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan: kurangnya hak makanan/food
entitlements, termasuk kurangnya kases yang cukup terhadap aset, pekerjaan
dan pendapatan yang terjamin.
3.1.3 Ancamana Terhadap Keamanan Kesehatan: penyakit, infeksi, kanker,
kurangnya air bersih, polusi udara, serta kurangnya fasilitas perawatan
kesehatan lainnya.
3.1.4 Ancaman Terhadap Keamanan Lingkungggan: penurunan ketersedian
air, polusi air, menurunnya lahan untuk bertani, deforestasi, desertifikasi,
polusi udara serta bencana alam.
3.1.5 Ancaman Terhadap Keamanan Pribadi: kejahatan dengan kekerasan,
perdagangan narkoba, kekerasan terhadap perempuan dan anak.
3.1.6 Ancaman Terhadap Keamanan Masyarakat: perceraian, runtuhnya
bahasa dan budaya tradisional, deskriminasi etnis, genosida, dan pemutihan
etnis.
3.1.7 Ancaman Terhadap Keamanan Politik: represi pemerintah, pelanggaran
hak asasi manusia secara terus menerus dan militerisasi.
3.2 Studi Kasus Isu Lingkungan Hidup Sebagai Ancaman Terhadap Human
Security
Negara kita ketahui bahwa memiliki kedudukan yang sangat relatif istimewa
(privileged position) dalam politik internasional untuk merespons dan mengatasi
permasalahan lingkungan hidup global. Negara juga memiliki peran sentral dalam
membentuk dan mengimplementasikan regulasi lingkungan. Sementara munculnya
banyak permasalahan lingkungan menyebabkan gejolak kekuasaan dan kedaulatan
sebuah negara dipertanyakan, respons terhadap masalah lingkungan seringkali
memperluas dan memperkuat aspek-aspek dari kekuasaan negara dan keterlibatan
masyarakat dalam berperan aktif di dalamnya. Selain itu, seberapa jauh persetujuan
internasional adalah hal yang sangat penting bagi respons bersama terhadap
masalah-masalah lingkungan, diplomasi antarnegara menjadi sangat penting dan
merupakan pihak yang sah dalam perjanjian.
Dalam permasalahan lingkungan hidup, memang negara memiliki peran yang
sangat penting seperti yang telah diuraikan di atas, namun selain negara dalam
kaitannya merespons permasalahan lingkungan, aktor-aktor non-negara juga
memainkan peran yang penting. Organisasi-organisasi supranasional, seperti Uni
Eropa (UE) memainkan peranan internasional yang penting bersama dengan negara
dalam menangani permasalahan lingkungan. Organisasi-organisasi internasional,
lembaga-lembaga keuangan internasional, organisasi-organisasi transnasional
seperti asosiasi-asosiasi industri atau organisasi-organisasi non-pemerintah
(NGOs), gerakan-gerakan sosial, kelompok perempuan, kelompok konsumen, dan
para ilmuwan (the scientists), yang semuanya memainkan peran penting. Bahkan
kaitannya dengan negosiasi-negosiasi dan persetujuan-persetujuan tentang
lingkungan internasional, terdapat banyak contoh di mana aktor non-negara
memainkan peran sentral juga yang sama dengan peran negara. Sejalan dengan
negara yang terlibat dalam pembentukan lembaga dan rezim internasional untuk
menangani
masalah-masalah
lingkungan,
proses
kebijakan
seringkali
Dalam
mengimplementasikan
komitmen
manangani
permasalahan
lingkungan internasional, perlu melibatkan kerja sama atau gabungan lembagalembaga internasional, negara, dan organisasi-organisasi transnasional dan
domestik. Contoh kasus dalam membatasi polusi atmosfer atau polusi laut, sangat
jarang bisa dilakukan secara langsung oleh keputusan negara, seperti membongkar
sebuah rudal atau menarik mundur sebuah divisi tank dalam pengendalian senjata
harus melalui sebuah proses yang kompleks yang melibatkan sejumlah besar
kelompok non-pemerintah, otoritas lokal dan individu.
The Tragedy of the Commons, pemikiran ini dikemukan oleh Garret Hardin
dalam Owen Greene10 yang mengintroduksi sebuah model untuk menjelaskan
mengapa
masyarakat
mengeksploitasi
secara
berlebihan
sumber-sumber
lingkungan bersama, padahal mereka secara sadar dan mengetahui bahwa tindakan
mereka tersebut yang demikian bertentangan dengan kepentingan mereka dalam
jangka waktu panjang (Hardin, 1968). Hal inilah yang kemudian dikenal dengan
apa yang disebut the tragedy of the commons.
Secara ringkas pemikiran ini menunjukkan bahwa bagaimana mungkin suatu
tindakan seseorang dikatakan rasional jika menimbulkan dampak irrasional
yang mengarah kepada eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber milik
bersama yang bisa menghasilkan sebuah bencana. The tragedy of the commons
adalah penipisan sumber-sumber milik bersama yang mempunyai akses terbuka
hingga daerah-daerah terpencil yang menyebabkan kerusakan hingga menjurus
kepada kepunahan. Bahkan jika masing-masing pengguna yang terlibat
melakukannya secara sengaja dan sadar, serta memiliki informasi yang baik,
mereka menjalankan hak-hak legal dan tradisionalnya. Tindakan ini mereka
lakukan secara sepihak terhadap pengendalian diri yang didasari oleh semangat
masyarakat tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan ini.
Pemilik sebuah pabrik mempunyai kepentingan memproduksi barang-barang
dengan cara yang semurah mungkin agar mendapatkan keuntungan yang berlipat
10
tanpa memperhatikan cara produksinya yang mencemari lingkungan di sungaisungai maupun atmosfer. Dalam kasus ini, siapa yang bertanggung jawab dan
membayar biaya produksi dari limbah industri tersebut, dalam banyak kasus yang
sudah ada biasanya ditanggung bersama oleh masyarakat. Pihak pabrik yang
membuat pencemaran tidak memasukkan hal ini dalam biaya produksi terhadap
penanganan biaya produksi eksternalisasi ini. pemerintah sendiri, bersikap toleran
terhadap emisi sulfur dari pabrik-pabrik penghasil energi yang berada dalam
wilayahnya.
Pemikiran the tragedy of the commons menunjukkan bahwa kerentanan
terhadap sumber-sumber yang mempunyai akses terbuka bagi adanya ekploitasi
yang berlebihan11. Prinsipnya, telah tersedia berbagai jenis respons terhadap overeksploitasi.12 Pertama, respons tradisional dalam bentuk mengeksploitasi dan
berjalan terus (explotation and move on). Ini merupakan pendekatan yang biasa
dilakukan oleh masyarakat pertanian yaitu menebang dan membakar hutan tropis
dan banyak perusahaan kayu internasional melakukan hal yang sama. Kedua, solusi
untuk menangani the tragedy of the commons adalah perubahan hak kepemilikan
yang menegaskan bahwa masalah dari sumber bersama adalah ketika sumber
bersama tersebut dimiliki oleh setiap orang dan tidak seorangpun secara khusus
mempunyai otoritas atau kepentingan dalam pengelolaan secara berkelanjutan.
Ketiga, pendekatan mempromosikan gagasan konservasi lingkungan dan
manajemen sumber milik bersama secara berkelanjutan dengan membentuk sistem
tata kelola (system of governance) untuk mencegah praktik-praktik eksploitasi
pihak yang tidak bertanggung jawab dalam merusak lingkungan global. 13 Perlu kita
ketahui bahwa membentuk sistem norma, aturan, regulasi, atau pajak untuk
mengatasi masalah-masalah lingkungan menjadi kontroversial, khususnya aturanaturan tradisional yang memperoleh akses harus dibuat lebih restriktif.
11
12
13
Isu lingkungan hidup menjadi sangat penting dan melibatkan banyak aktor
dan kepentingan di dalamnya. Hal ini tercermin dari betapa sukarnya perundingan
dan negosiasi mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca dalam banyak
perundingan yang diselenggarakan oleh badan-badan di lingkungan PBB ataupun
berbagai perundingan multilateral lainnya di kancah global. Dalam kasus mengenai
lingkungan hidup, bisa kita lihat bahwa justru negara-negara maju enggan taat
terhadap setiap kesepakatan yang telah buat yang sebenarnya dengan tindakan
demikian sangat merugikan semua pihak. Amerika Serikat (AS) sebagai negara
dengan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia menolak meratifikasi
Protokol Kyoto14. Keengganan AS dan negara-negara maju lainnya meratifikasi
dan mentaati Protokol Kyoto dikarenakan komitmen pengurangan emisi CO2 yang
sama artinya dengan mengurangi laju insdustrialisasi dan konsumsi. Penurunan
industrialisasi dan laju konsumsi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
kemakmuran.
Selain AS, China sebagai negara pendorong peningkatan penggunaan bahan
bakar fosil dan batu bara sehingga meningkatkan kontribusi negara tersebut dalam
menyumbangkan emisi CO2. Hal ini menyebabkan China menduduki negara
penyumbang emisi CO2 terbesar kedua setelah AS. AS merupakan salah satu negara
maju dan banyak negara maju lainnya yang ang beranggapan sama bahwa
pengurangan emisi sama halnya dengan pengurangan laju industri mereka, dan
dengan demikian secara otomatis mengurangi posisi dan kedudukan mereka dalam
ekonomi politik internasional. Tidak mengherankan jika negara maju lainnya
seperti Australia, Kanada, Jepang, dan Juga Rusia enggan memberikan komitmen
untuk menurunkan emisi karbon, bahkan negara-negara maju cenderung
memberikan sebuah alternatif yang tanpa didasarkan pada data hasil sains. 15
Spesies manusia semakin terancam dengan semakin menurunnya kualitas
lingkungan hidup dan ancaman bencana alam yang kapanpun bisa terjadi
dikarenakan perubahan iklim yang ekstrem. Andre Gorz mengatakan bahwa dalam
14
15
masyarakat industri lanjut, orang tidak selamanya miskin karena kesenjangan akan
persediaan barang-barng konsumsi yang cukup besar, tetapi karena iklim dan cuaca
barang-barang tersebut diproduksi16. Apa yang dikatakn Gorz sama sekali tidak
berlebihan, contohnya di AS banyak orang mati bukan karena kelaparan melainkan
menjadi korban karena bencana alam.
Selain itu, bencana besar yang melanda Australia dan Brazil juga
menewaskan ratusan orang dan menghancurkan sejumlah besar tempat tinggal.
Banjir yang terjadi di Queensland, Australia, pada Januari 2011, merupakan banjir
terparah sepanjang tiga dekade. Para ilmuwan dunia memprediksi bahwa banjir
yang terjadi di Queensland tersebut ada hubungannya dengan perubahan iklim dan
pemanasan global.17
Victoria dan merupakan yang terburuk yang pernah terjadi dan dialami oleh daerah
tersebut dalam 200 tahun terakhir, dan menelan korban jiwa sebanyak 30 orang18.
Sementara di Brazil, banjir mengakibatkan 655 orang tewas, dan sekitar 13 ribu
orang ditempatkan di penampungan.19
Persoalan lingkungan menjadi salah satu persoalan krusial yang dihadapi oleh
umat manusia dewasa ini, selain HAM, Human Security, kemiskinan, dan isu-isu
lainnya. Memperkuat penjelasan di atas Volger pernah mengemukaan bahwa, By
contrast, it would be difficult today to write text book on world politics that did not
contain a chapter on, or at least extensive reference to, environmental issues.20
Banyak cara bagaimana menggambarkan bencana lingkungan yang kini
melanda banyak negara secara global, baik negara maju, berkembang, ataupun
negara yang kurang berkembang. Namun, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
16
17
18
19
20
Andre Gorz, 2005. Anarki Kapitalisme, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Resist Book, hal. 48.
Banjir Australia Dampak Perubahan Iklim.
http://sains.kompas.com/read/2011/01/17/11233954/Banjir.Australia.Dampak.Perubahan
.Iklim.
Banjir Melanda Brisbane, Australia.
http://www.tempointeraktif.com/hg/afrika/2011/01/19/brk,20110119-307304,id.html
Korban Banjir Brazil Terus Meningkat jadi 655 Orang.
http://www.bisnis.com/index.php/umum/internasional/7374-korban-banjir-brazil-terusmeningkat-jadi-655-orang
John Volger, 1998. Environment. Dalam Brian White, et al., (eds). Issues in World Politics,
Second Edition, New York: Palgrave, hal. 191.
banyak ilmuwan bahwa sebagian besar bencana lingkungan hidup sekarang ini
disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti deforestasi yang
disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks menjadi salah satu penyebab utama
kerusakan lingkungan, kemudia pertania ladang berpindah, perkebunan sawit, dan
industrialisasi telah memberikan sumbangan signifikan atas kerusakan lingkungan
yang melanda dunia sekarang ini.
Contoh kasus sederhana dari ilustrasi di atas adalah sarana transportasi mobil.
Mobil-mobil tentu saja tidak akan berhenti sampai tahap produksi saja, namun
masyarakat akan berlomba-lomba membelinya untuk digunakan sebagai saranan
transportasinya. Ini berarti konsmsi minyaknya juga bertambah. Semakin banyak
mobil beroperasi maka semakin banyak liter minyak yang digunakan, berbanding
lurus dengan banyaknya gas CO2 dibuang ke udara. Oleh karenanya, di kota-kota
metropolitan, pencemaran udara banyak melampaui ambang batas karena
banyaknya orang berkendara menggunakan mobil. Situasi ini akan terus dan terus
berkembang hingga akhirnya akan menciptakan krisis bila tidak ditangani dengan
tepat.
Masalah pemanasan global, yang sebelumnya dianggap sebagai isu
pinggiran, kini menjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikan dan
ditanggapi oleh seluruh negara di dunia, tanpa terkecuali forum-forum
internasional. Jika diringkas terdapat empat masalah serius dan darurat yang kini
menjadi fokus dari perhatian dunia karena adanya pemanasan global, yaitu
meningkatnya suhu bumi, pola curah hujan yang tidak teratur, kenaikan permukaan
laut, dan pengasaman samudera.21 Empat masalah krisis ini yang kemudian menjadi
fokus utama dari dampak negatif pemanasan global di bumi.
Konsumsi energi yang tidak dapat dipebaharui terutama minyak dan batu bara
mempunyai konsekuensi serius dan menjadi awal mula atas kerusakan lingkungan
hidup yang terjadi dalam kasus pemanasan global dan perubahan iklim. Ini karena
zat sisa pembakaran kedua bahan bakar tersebut akan melepaskan gas rumah kaca
21
22
23
peningkatan suhu hingga 0.3 derajat celcius24. Menurut IPCC, sejak tahun 1880
hingga tahun 2012, suhu bumi meningkat sebesar 0.85 derajat Celcius25. Kemudian
peningkatan pemanasan suhu bumi sebesar 0.2 derajat celcius diproyeksikan akan
terjadi untuk setiap dekade pada dua dekade ke depan. Interpretasi dari pusat
informasi paleoclimate menyatakan bahwa pemanasan pada 50 tahun terakhir
merupakan kejadian yang tidak biasa selama 1300 tahun akhir. Terakhir kali area
kutub secara signifikan mengalami pemanasan dibandingkan saat ini untuk waktu
yang lama (sekitar 125 ribu tahun lalu), pengurangan volume es kutub,
meningkatkan permukaan air laut sekitar 4-6 meter26.
Selain peningkatan suhu, dampak lain yang juga dirasakan oleh masyarakat
akibat pemanasan global adalah munculnya pola curah hujan yang tidak teratur.
Berdasarkan beberapa data yang ada, terlihat bahwa sejak tahun 1980, curah hujan
di wilayah China, AS, dan wilayah Rusia (termasuk negara-negara di sekitarnya)
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sementara itu Benua Afrika,
Indonesia, dan banyak negara tropis lainnya, curah hujan yang ada justru
mengalami penurunan27.
Dampak lain dari pemanasan global bagi bumi adalah naiknya suhu udara
yang mempunyai implikasi serius bagi kehidupan umat manusia di bumi. Suhu
yang meningkat akan berpengaruh pada naiknya level permukaan laut. Dengan
naiknya permukaan laut ini akan mengakibatkan terjadinya genangan di wilayah
pesisir dan juga berbagai kelompok pulau-pulau wilayah
di dunia, di mana
genangan ini sendiri bersifat permanen28. Antara tahun 1901 hingga tahun 2010,
sejarah mencatat bahwa terjadi peningkatan level permukaan laut hingga 19 cm
dengan rata-rata 1,7 mm per tahun. Dari catatan ini terlihat juga bahwa sejak tahun
1993 hingga tahun 2010, kecepatan peningkatan level permukaan laut meningkat
24
25
M. Maslin, 2004. Global Warming: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford University
Press Inc., hal. 52.
Winarno, Op. Cit..
26
http://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/aplication/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf
27
V.A. Semenov dan L. Bengtsson, 2002. Secular Trends in Dayly Precipitation, hal. 123-140.
Characteristics.
German Advisory Council on Global Change (WBGU), 2006. The Future Oceans-Warming
Up, Rising Hight, Turning Sour, Berlin, hal. 40.
28
hingga 3,2 mm per tahun, lebih cepat dari rata-rata kenaikan level permukaan laut
global sejak tahun 1901-201029. Tanpa upaya yang memadai untuk mengatasi
kenaikan level permukaan laut ini, bisa dipastikan bahwa area yang tergenang laut
ini akan semakin meluas. IPCC melaporkan bahwa perubahan iklim akan
mempunyai pengaruh terhadap keseluruhan alam atau permukaan bumi, ke semua
benua, dan di beberapa lautan.
Di tengah-tengah kondisi dan situasi yang demikian, tentunya negara-negara
yang pertama kali akan merasakan dampaknya adalah kumpulan negara-negara
dengan kepulauan kecil, seperti Fiji, Kiribati, Palau dan lain sebagainya. Di mana
negara kepulauan kecil ini berpotensi kehilangan wilayahnya secara permanen
karena tergerus oleh laut dan penduduknya harus mengungsi ke wilayah negara
lain30. Jika pemanasan global tidak diatasi, di masa depan tentunya akan terjadi arus
pengungsi besar-besaran dari berbagai negara kepulauan kecil ini. bukan hanya
mereka, negara-negara lain yang memiliki garis pantai, juga akan turut mengalami
kerugian berupa berkurangnya luas daratan akibat genangan air laut yang semakin
meluas. Akibatnya, membuat banyak penduduk yang kehilangan rumahnya di tepi
pantai, dan membuat mereka harus mengungsi ke tempat atau wilayah lain.
Kenaikan suhu udara yang kemudian sering disebut sebagai global warming
salah satu penyebabnya adalah meningkatnya konsentrasi efek gas rumah kaca
(GRK). Dilaporkan bahwa Emisi CO2 tahunan mengalami peningkatan dengan
rata-rata 6.4 gigaton karbon (GtC) per tahun pada tahun 1990-an, dan 7,2 GtC pada
tahun 2000-200531. Daya radiatif CO2 mengalami peningkatan sekitar 20 persen
dari tahun 1995 hingga 2005, merupakan nilai terbesar pada beberapa dekade
lainnya selama 200 tahun terakhir32.
Dalam menghadapi berbagai permasalah di atas negara-negara di dunia
sedang melakukan berbagai upaya, baik pencegahan maupun penyelesaian, untuk
29
30
31
32
33
34
Eropa hanya mau membeli produk kayu dan mebelnya dari indonesia jika sudah
memiliki sertifikat, yang berarti kayu-kayu yang dihasilkan dari awasan hutan
industri. 35 Dengan cara demikian, tentunya kawasan hutan lindung dan juga tropis
yang seharusnya tidak boleh ditebang bisa dilindungi. Keenam, gaya hidup
masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah, akibat menguatnya perhatian
terhadap isu pemanasan global. Contohnya, masyarakat China mulai memilih
produk yang ramah terhadap lingkungan, mulai dari produk rumah tangga, seperti
lampu LED hingga model transportasi.
Sekalipun sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh banyak pihak
untuk mengatasi laju peningkatan pemanasa global, namun pada realita dan
kenyataannya kenaikan suhu, ketidakteraturan curah hujan, dan juga kenaikan
permukaan laut terus terjadi. Pada kenyataannya hal ini yang kemudian membuat
banyak pihak berpendapat bahwa geoengineering mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada dalam waktu yang relatif cepat. Geoengineering adalah
sebuah terobosan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk
membantu manusia menyelesaikan permasalahan terkait dengan pemanasan global.
Geoengineering bisa dikatakan sebagai sebuah rekayasa teknologi skala besar
dengan mengintervensi langsung hal-hal yang terkait dengan cuaca dan juga iklim
bumi, guna untuk mengatasi pemanasan global. Kehadiran teknologi ini tentunya
bukan tanpa sebab. Peringan dari IPCC terkait dengan peningkkatan suhu yang
diperkirakan akan mencapai 5,8 derajat celcius pada tahun 2010, jika tidak
dilakukan upaya dari manusia untuk penyelesaian masalah ini dalam waktu yang
singkat. 36
Menurut para ahli upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, seperti
penggunaan energi terbarukan, reboisasi, dan lainnya dirasa belum memberikan
dampak yang berarti atau signifikan bagi kehiduan di bumi. Selain itu, para ahli
35
36
juga menganggap bahwa mengurangi jumlah emisi gas karbon, yang berarti harus
terus mengurangi kemampuan manusia untuk mengurangi kebutuhan hidupnya,
dirasa tidak memungkinkan dan masuk akal. Untuk hal itulah, para ahli melakukan
penelitian untuk mengintervensi langsung komponen-komponen yang terkait
dengan cuaca dan juga iklim di permukaan bumi. Geoengineering dikenal memiliki
dua kategori, yaitu solar geoengineering (atau dalam nama lain dikenal sebagai
solar radiation management, adalah sebuah teknologi yang bertujuan untuk
memantulkan sebagian kecil dari energi matahari yang selama ini masuk ke bumi)
dan carbon geoengineering (adalah sebuah teknologi yang bisa menawarkan solusi
untuk mengurangi kandungan gas karbondioksida dari permukaan bumi). Dua
teknologi inilah yang kini menjadi fokus penelitian berbagai ahli diseluruh dunia,
terutama untuk mengatasi pemanasan global.
Respons dunia internasional mengenai permasalahan lingkungan juga
menjadi hal terpenting dalam mengatasi permasalahan ini. pada era 1960-an, isu
lingkungan hidup telah masuk dan menjadi agenda pembahasan internasional.
Dalam hal ini, isu lingkungan hidup tidak lagi menjadi monopoli satu atau dua
negara saja atau negara-negara dalam satu kawasan. Sebaliknya, permasalahan ini
menjadi perhatian atau harus menjadi perhatian umat manusia di seluruh dunia, baik
negara maupun non-negara (NGO). Penting karena dampak-dampak yang
ditimbulkan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan telah dirasakan oleh
masyarakat seluruh permukaan bumi. Dengan bukti bahwa perubahan iklim telah
banyak menciptakan dan menimbulkan bencana seperti badai Katrina di AS, badai
salju yang melanda Eropa, banjir di Australia, banjir Brazil, China, dan juga
Indonesia serta banyak bencana lain yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan
yang sangat parah.
Dalam merespons isu lingkungan, secara spesifik para pemimpin dunia
memberikan respons dan perhatian yang sangat serius. Respons tersebut muncul
dalam skala regional maupun global. Uni Eropa, dalam usahanya mengurangi emisi
gas rumah kaca berencana melakukan langkah-langkah mengerem laju emisi gas
rumah kaca melalui pajak emisi penerbangan. Dengan pengurangan emisi karbon,
Komisi Uni Eropa (UE) akan melanjutkan rencana menarik pajak emisi
penerbangan udara yang akan berimbas pada semakin mahalnya harga tiket
penerbangan.
Selain Uni Eropa, banyak pihak telah mnyerukan usaha untuk mengurangi
dampak-dampak
pemanasan
global.
Down
to
Earth
(DtE),
misalnya
mengemukakan bahwa keadilan iklim juga berarti pengakuan bahwa sikap terhadap
perubahan iklim harus berfokus pada perubahan besar di negara-negara Utara,
termasuk pengelolaan yang adil atas pengurangan konsumsi energi dan peralihan
kepada energi yang lebih bersih dan terbarukan. Berarti hal ini bekerja untuk
memastikan bahwa upaya pengurangan dampak perubahan iklim di negara-negara
Utara tidak akan berdampak negatif terhadap negara-negara lain. Contoh dampak
negatif terhadap negara lain adalah sebagai akibat dari promosi minyak sawit
sebagai energi hijau di Eropa, masyarakat pedesaan di Indonesia terkena
dampaknya dari perluasan perkebunan kelapa sawit untuk memasok dan memenuhi
kebutuhan tersebut.
Pembicaraan mengenai lingkungan hidup biasanya berlangsung secara
multilateral dan sering disebut sebagai konvensi. Konferensi Stockholm yang
diselenggarakan pada tahun 1972 menjadi salah satu tonggak penting usaha
mengatasi kerusakan lingkungan di tingkat internasional dan usaha-usaha untuk
membangun kerangka kerja yang lebih terlembaga. Konferensi ini dilakukan guna
merespons isu lingkungan hidup yang mulai muncul dan mendapatkan perhatian
luas pada tahun 1960-an. Konferensi yang dilakukan oleh UN Conference on teh
Human Environment ini diselenggarakan dengan tujuan untuk membangun suatu
kerangka kerja internasional guna mempromosikan lebih banyak kerja sama yang
terkoordinasi untuk mengatasi persoalan polusi dan masalah-masalah lainnya yang
berkaitan dengan isu lingkungan. Konferensi Stockholm merupakan konferensi
besar pertama yang diselenggarakan oleh PBB mengenai lingkungan hidup37.
Konferensi ini menghasilkan publikasi yang luas, dihadiri oleh banyak partisipan
dunia dan observer, yang secara tidak ragu-ragu atau semangat belajar mengenai
37
Jepang, yang menghasilkan apa yang kemudian dikenal sebagai Kyoto Protokol.
Protokol ini berisi sebuah komitmen hukum mengikat bagi negara-negara industri
maju untuk mengurangi emis gas rumah kaca. Uni Eropa, AS, Jepang berkomitmen
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjelang 2008-2012 hingga 8,7 dan 6
persen di bawah level pada tahun 1990.41 Polandia mengadopsi target dari Uni
Eropa, sedngkan Rusia, Ukraina, dan Selandia Baru setuju untuk menstabilisasi gas
emisi mereka hingga berada di bawah level tahun 1990. Australia, Islandia, dan
Norwegia akan mengelola negosiasi yang membatasi peningkatan emisi yang
mereka izinkan.
Selanjutnya pertemuan yang dilaksanaan di Indonesia adalah apa yang
disebut sebagai Bali Roadmap. Bali Roadmap adalah peta yang menjelaskan
bagaimana sistem dan strategi dalam menyikapi perubahan iklim global pascapertemuan perubahan iklim di Bali. Pertemuan ini dihadiri oleh kurang lebih 10
ribu politisi dan melibatkan delegasi dari 190 negara42. Pertemuan tentang
perubahan iklim ini diharapkan mampu menyiapkan KTT berikutnya di
Kopenhagen guna menghasilkan protokol baru untuk menggantikan Protokol
Kyoto yang berakhir pada 2012.
Dalam pandangan banyak pihak, pertemuan di Nusa Dua Bali tersebut
menghasilkan banyak kemajuan. Tetapi tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa
pertemuan di Bali tidak membawa hasil yang signifikan. Menteri Lingkungan
Jerman, Sigmar Gabriel, yang memimpin delegasi Jerman di Bali mengatakan
bahwa dia puas terhadap hasil konferensi yang dilaksanakan di Bali. Menurutya,
meskipun Jerman dan Uni Eropa gagal mencantumkan target konkret reduksi dari
emisi gas rumah kaca pada peta jalan Bali, dan beberapa perundingan alot
menghasilkan lebih sedikit kesepakatan dari apa yang diharapkan Uni Eropa dan
Jerman, namun yang lebih penting semua negara termasuk AS menyepakati kerja
sama bersama untuk memerangi pemanasan global43.
41
42
43
44
45
global,
penghancuran lahan
berkurangnya
keanekaragaman
basah, berkurangnya
terumbu
hayati
dan
karang, dan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep human security merupakan sebuah konsep yang telah meluas dan
bersifat universal. Universal dikarenakan konsep ini lebih terfokus kepada kondisi
yang terjadi pada individu dan masyarakat yang tidak terbatas pada sebuah negara
saja. Namun, berkaitan dengan seluruh umat manusia yang ada di dunia. Sejalan
dengan perkembangannya, konsep human security tidak luput dari ancaman
terhadap human security. Ancaman tersebut tidak terbatas pada sebah negara saja,
melainkan juga melintasi batas negara (transnasional).
Salah satu ancaman nyata terhadap human security adalah tentang isu
lingkungan hidup. Tahun lalu kita dihebohkan dengan kasus asap yang diakibatkan
oleh pembakaran liar hutan di Indonesia atau tepatnya di Kepulauan Riau. Kabut
asap dianggap sebagai ancaman terhadap individu dan masyarakat. Selain itu,
bukan hanya keamanan manusia yang terancam, melainkan juga health security,
environmental security, dan personal security pun ikut terancam. Keamanan
lingkungan mengacu pada kenyamanan manusia tinggal dalam lingkungannya.
Apabila mayarakat sudah tidak merasa nyaman terhadap lingkungannya, maka
sudah jelas itu termasuk ancaman terhadap keamanan manusia.
Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia ternyata dampaknya bukan
hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia, namun menyebar ke negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura yang turut merasakan asap akibat kebakaran hutan
yang ada di Indonesia. Sebagai akibatnya, Indonesia mendapat kecaman keras dari
kedua negara tersebut. Tentu hal ini akan mengganggu stabilitas hubungan bilateral
antara Indonesia dan kedua negara tersebut bila Indonesia tidak segera mengambil
sebuah tindakan tegas.
31
4.2 Saran
Dalam menanggapi isu mengenai lingkungan hidup memang harus adanya
ketegasan dari pmerintah dalam mengambil tindakan, kebijakan dan keputusan
yang tepat. Kebijakan yang diformulasikan harus memikirkan dampak dan resiko
yang jangka panjang guna menjamin rasa aman terhadap individu yang bernaung
di bawah negara. Tidak terlepas dari konsep keamanan nasional bahwa jika individu
merasa nyaman, maka keamanan nasional akan terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Buzan, Barry and Hansen, Lene. 2009. The Evolution of International Studies. New
York: Cambridge University Press.
Buzan, Barry, dkk. 1998. Security: A New Framework for Analysis. UK: Lynne
Rienner Publisher. Inc.
Buzan, Barry. 1991. People, State, and Fear: An Agenda for International Security
Studies in The Post-Cold Era. New York: Harvester Wheatsheaf.
Snyder, Craig A. (ed.). 2008. Contemporary Security and Strategy. New York:
Palgrave MacMillan.
Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center
of Academic Publishing Service (CAPS).
Baylis, John and Steve Smith (eds.). 2001. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations, Second Edition. New York: Oxford
University Press, Inc
Burchill, Scott and Andrew Linklater. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional.
Bandung: Nusa Media
German Advisory Council on Global Change (WBGU). 2006. The Future OceansWarming Up. Berlin
Gorz, Andre, 2005. Anarki Kapitalisme, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Resist Book
Green, Owen. 2005. Environmental Issues. Dalam John Baylis dan Steve Smith
(eds.). The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University
Press.
Holton, J.R. 1992. An Introduction to Dynamic Meteorology. San Diego: Academic
Press
Maslin, M. 2004. Global Warming: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford
University Press
Perwita, Anak Gung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani. 2005. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Semenov, V.A. dan L. Bengtsson, 2002. Secular Trends in Dayly Precipitation.
Characteristics.
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan
Steans, Jill & Lloyd Pettford. 2009. International Relations: Perspectives and
Themes, diterjemahkan oleh Silvya Sari, Hubungan Internasional:
Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suharko. 1998. Model-Model Gerakan NGO Lingkungan: Studi Kasus di
Yogyakarta, dalam Jurnal Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada,
Vol. 2, No. 1.
Volger, John. 1998. Environment. Dalam Brian White, Richard Little, dan
Michael Smith (eds.). Issues in World Politics, Second Edition. New York:
Palgrave
Winarno, Budi, 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center
of Academic Publishing Service (CAPS)
Dokumen Resmi:
Commission on Human Trafficking. 2003. Human Security Now. New York