Anda di halaman 1dari 11

Serangan Amerika ke Suriah dan

Hukum Internasiona

Il
ustrasi: Zaki Alfarabi/detikcom
Jakarta - "This developing international norm in favor of
intervention to protect civilians from wholesale slaughter will no
doubt continue to pose profound challenges to the international
community." (Kofi Annan, 1999)

Serangan aliansi pasukan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis


diluncurkan pada 13 April 2018 ke tiga target termasuk dua fasilitas
yang dicurigai sebagai tempat untuk mengembangkan senjata kimia
di wilayah Suriah. Publik domestik dan komunitas internasional
terbelah dalam menyikapi serangan tersebut.

Banyak yang mendukung serangan pasukan aliansi, namun tidak


sedikit yang menolak serangan tersebut dengan dalih yang
bervariasi. Bahkan ada yang mengaitkan dengan pertarungan antara
sunni dan syiah. Namun yang pasti serangan ini bukanlah pertama
kali ke wilayah berdaulat Suriah; sebelumnya pernah dilakukan
pada 2017.

Pasukan aliansi berdalih serangan tersebut untuk menghukum


Suriah yang dianggap melakukan pelanggaran hukum internasional
secara terus-menerus, dan memberikan peringatan agar Rezim
Assad berhenti menggunakan senjata yang dilarang penggunaannya
oleh The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons
(OPCW). Situasi akan menjadi tambah runyam apabila pasukan
aliansi mengulang lagi serangan untuk kesekian kalinya.

Hubungan Internasional dan Hukum Internasional

Konflik Suriah bisa dianalisis dengan pendekatan hubungan


internasional, hukum internasional, ataupun kombinasi keduanya.
Meskipun kedua disiplin ilmu tersebut terkait namun tulisan ini lebih
ke hukum internasional.

Dalam perspektif hubungan internasional, serangan ke wilayah


Suriah mewakili warisan lama perang dingin dan menjadikan lahan
subur bagi proxy war. Namun sumber utama konflik sejatinya
berasal dari perseteruan dalam negeri yang sangat rumit dari 4
(empat) pihak yaitu Rezim Assad, Kurdi, ISIS, dan para
pemberontak. Masing-masing didukung oleh negara asing termasuk
negara besar dan negara tetangga kecuali ISIS.

Sumbu utama konflik adalah sikap represif Pemerintah Suriah


terhadap para demonstran pada 2011 sebagai rentetan dari Arab
Spring yang menimbulkan perlawanan yang konsisten dari para
demonstran atau oposan untuk menggulingkan Rezim Assad.

Perebutan kekuasaan di Suriah memasuki babak baru ketika Rezim


Assad diduga kuat menggunakan gas kimia sarin terhadap
penduduk sipil sehingga menimbulkan kegeraman dari para
penduduk negeri dan komunitas internasional.

Belajar dari Kasus Irak

Serangan aliansi Amerika Serikat merupakan hasil dari sidang DK


PBB yang gagal menghasilkan resolusi akibat di-veto oleh Rusia.
Serangan unilateral ini sekarang menjadi hal yang lumrah karena
telah sering terjadi.

Ingatan kita kembali ke masa penggulingan Rezim Saddam Hussein


yang dianggap menyimpan hulu ledak nuklir yang akhirnya tidak
terbukti. Saat itu, DK PBB tidak berhasil menyepakati keluarnya
"any necessary means" sebagai frasa pamungkas yang memberikan
otorisasi negara anggota PBB untuk melucuti senjata nuklir rezim
Saddam Hussein dengan berbagai cara termasuk dengan kekuatan
militer. Pada akhirnya benar atau salah menjadi hal yang tidak
terlalu penting bagi sekutu.

Apa Kabar Hukum Internasional?

Sifat alamiah hukum internasional sangatlah berbeda dengan hukum


nasional. Hukum internasional tidak memiliki penegak hukum yang
memiliki otoritas untuk memaksa agar pihak yang bersalah dapat
mematuhi aturan yang telah disepakati karena ada prinsip consent
to be bound dan kedaulatan.

Sebagai ilustrasi, apabila suatu negara yang bukan state


party terhadap suatu perjanjian, maka negara tersebut tidak terikat
terhadap perjanjian dimaksud. Namun, banyak juga kasus di mana
negara tidak mematuhi hukum internasional meskipun terikat oleh
putusan tersebut. Salah satu contoh adalah Kasus Laut Cina
Selatan.

Dalam kasus Suriah, hukum internasional hanya berfungsi sebagai


"toolbox" para pemimpin dunia untuk melakukan justifikasi atas
tindakannya. Para pemimpin tersebut akan menggunakan hukum
internasional ketika dibutuhkan, namun akan meninggalkannya
ketika dirasa tidak sesuai selera dan kepentingan.

Ketidakpatuhan Suriah atas OPCW memantik Amerika Serikat untuk


melakukan penyerangan meskipun tindakan tersebut ilegal. Di sisi
lain, Suriah juga melanggar konvensi internasional tentang
penggunaan senjata kimia.

Unilateral Action dan Norma Baru

Serangan unilateral merupakan doktrin yang berbahaya. Tanpa


otorisasi PBB, negara besar bisa menyerang negara lain apabila
dirasa berlawanan dengan kepentingan nasional negara tersebut.
Apabila terjadi demikian, tidak ada rujukan yang jelas dan pasti
kapan dan seberapa besar serangan tersebut dilakukan. Ibarat di
ring tinju, ketiadaan wasit dan aturan main akan cenderung
membuat pertandingan berlangsung secara brutal dan tidak terukur.
UN Charter secara jelas mensyaratkan dua kondisi yang harus
dipatuhi agar serangan menjadi legal menurut hukum internasional
yaitu self-defence baik secara kolektif atau individu (Artikel 51)
dan melalui otoritas DK PBB (Artikel 42) atas dasar humanitarian
intervention. Amerika Serikat telah terikat klausula ini dalam
konstitusinya dan memasukkan sebagai "Law of the Land".

Alasan humanitarian intervention juga tidak terpenuhi dalam


serangan tersebut karena tiga syarat tidak terpenuhi. Yaitu, bukti
kuat yang diakui oleh komunitas internasional, tidak ada alternatif
lain selain menggunakan kekuatan, serta ketiadaan
parameter necessary and proportionate saat melakukan serangan.

Apakah Amerika Serikat dan sekutu merupakan satu satunya yang


melanggar hukum internasional? Negara besar lain seperti Rusia
telah melakukan pelanggaran hukum internasional ketika
menganeksasi Crimea. Adigum "more power more corrupt" berlaku.
Meskipun secara jelas melanggar hukum internasional, tidak ada
negara yang melakukan penyerangan ke Rusia. Upaya untuk
mendapatkan otorisasi DK PBB juga menjadi mustahil karena di-
veto oleh Rusia.

Penggunaan unilateral action tidak akan menyelesaikan masalah.


Sebagaimana kasus Irak, apabila rezim Assad tumbang, potensi
distabilitas di depan mata karena perebutan kekuasaan telah
menunggu. Hal ini bisa dilihat dari proliferasi jumlah pihak yang
berkonflik di Suriah. Masing-masing memiliki wilayah kekuasaan
dan agenda tersendiri.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, hak veto yang dimiliki
5 (lima) negara besar mengebiri hukum internasional. Apabila The
Big 5 tidak mencapai kesepakatan, maka unilateral
action menjadi pilihan. Hampir tidak mungkin DK PBB mencapai
kesepakatan karena hak veto tersebut. Sejarah juga mencatat
bahwa penggunaan kekuatan militer unilateral terhadap suatu
negara hanya dilakukan oleh The Big 5 atau koalisi yang dipimpin
oleh mereka.

Kedua, kasus Suriah merupakan dilema nyata dalam hukum


internasional. Suriah dan Amerika Serikat telah melanggar hukum
internasional. Pertentangan antara kedaulatan sebuah negara dan
korban masyarakat sipil menjadi pilihan yang sulit.
Persoalan mendasarnya adalah sifat hukum internasional yang tidak
memiliki penegak hukum sehingga perlu norma hukum baru tentang
perlindungan masyarakat sipil dengan kekuatan bersenjata sesuai
dengan perkembangan di hubungan internasional. Pilihan lain,
negara besar akan dengan mudah menyerang negara lain
dengan legal argument yang mengada-ada. Semoga ini tidak terjadi
lagi.

Zaki Mubarok mahasiswa Program Doktoral di University of


Wollongong; Master of International Law and International Relations
of University of New South Wales, Australia dan United Nations
Nippon Fellow 2016

Kasus Tumpahan Minyak Indonesia-


Singapura dalam Hukum Internasional
8 Mei 2017 14:02 Diperbarui: 8 Mei 2017 14:13 22716 0 0
Oleh:

M. Rivani Gunawan

(Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Mataram)

Abstrak

Pencemaran lingkungan laut merupakan suatu kejadian yang sangat urgen terjadi saat ini.
Salahsatu penyebab terjadinya Pencemaran Laut adalah adanya tabrakan kapal yang
kemudian menumpahkan minyak mentah ke laut. Seperti yang baru-baru ini terjadi Antara
kapal Alyarmouk dari Libya dan MV Sinar Kapuas dari Singapura. Tabrakan tersebut terjadi
di perbatasan Indonesia dan Singapura yang menyebabkan tercemarnya perairan Indonesia
akibat tumpahan minyak di sekitar Pulau Bintan. Dalam situasi ini menurut hukum
Internasional, Indonesia berhak untuk menerima ganti rugi akibat peristiwa tersebut sesuai
dengan Hukum Laut Internasional.

Keywords:Pencemaran Lingkungan laut, Tumpahan Minyak, Tabrakan Kapal, Hukum Laut


Internasional

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas. Luas perairan
Indonesia ternyata mendapat urutan ke-7 di dunia. Diperkirakan Luasnya mencapai 3.273.810
km. sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan, sehingga secara alamiah Indonesia dapat
dikatakan sebagai bangsa yang bahari. Hal ini ditambah lagi dengan letak wilayah yang
strategis. Hamparan laut yang luas ini sangat berpotensi untuk mengembangkan sumber daya
laut yang memiliki keragaman baik sumber daya hayati maupun yang lainnya.

Pada tahun 2015 kemarin, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa tumpahan minyak yang
menggenangi wilayah perairan Indonesia di sebelah barat daya, tepatnya perbatasan
Indonesia degnan Singapura di wilayah Selat Malaka. Peristiwa tersebut tepatnya terjadi di
perairan sekitar 11 mil laut timur Pedra Branca, sebuah pulau terpencil yang merupakan titik
paling timur di Singapura. Tumpahan minyak ini disebabkan oleh tabrakan yang terjadi
antara kapal MT Alyarmouk dari Libya dengan kapal MV Sinar Kapuas yang merupakan
milik pemerintah Singapura. Tabrakan tersebut menyebabkan robeknya lambung kapal
Alyarmouk yang sedang dalam perjalanan menuju Tiongkok dan menumpahkan minyak
bertipe Madura Crude Oil. Diperkirakan jumlah minyak yang tumpah adalah sebesar 4.500
ton minyak mentah. (p3sdlp.litbang.kkp.go.id)

Akibat dari Tabrakan ini, tumpahan minyak yang disebabkan oleh kapal tersebut mencemari
laut. Tumpahan minyak tak hanya mencemari perairan Singapura, namun Indonesia pun
mendapat imbas dari peristiwa tersebut. Pulau Bintan yang merupakan salah satu pulau
terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura, terkena rembetan dari minyak tersebut
di sebelah utara pulau. Pulau Bintan adalah salah satu pulau yang paling terancam, pasalnya
lokasi kecelakaan hanya 18,6 mil dari pulau Bintan. Tumpahan minyak ini dikhawatirkan
akan menimbulkan efek rusaknya ekosistem laut yang berada di sekitar pulau Bintan.
(indo.wsj.com)

Dalam hukum Internasional, sebenarnya dari kasus ini, Indonesia berhak untuk mengajukan
upaya hukum untuk meminta pertanggung jawaban dari kapal tersebut. Hal ini dikarenakan
Indonesia terkena imbas dari tabrakan. Terlebih lagi menurut hokum Internasional, siapapun
berhak untuk menggugat selama penggugat terkena dampak pencemaran lingkungan secara
langsung. Sesuai dengan yang tertera di dalam hukum Internasional.

Efek Tumpahan Minyak Terhadap Ekosistem Laut

Ketika Oil Spill jatuh ke lingkungan laut, maka secara otomatis lingkungan laut akan
mengalami perubahan. Sebagian dari perubahan tersebut mengarah pada hilangnya fraksi
minyak dari permukaan laut. Meskipun ketika minyak yang yelah tumpah itu akan terurai
oleh lingkungan laut, tetapi hal tersebut membutuhkan waktu yang lama tergantung pada
karekteristik awal fisik kimiawi minyak. Menurut Baker JM (Sulistiyono: t,t) ada beberapa
factor utama yang menyebabkan perubahan sifat minyak adalah:

 Karekteristik fisika minyak, khususnya specific gravity, viskonitas dan trayek didih.
 Komposisi dan karekteristik kimiawi minyak.
 Kondisi meteorology (sinar matahari, kondisi oseanografi dan temperature udara.
 Karekteristik air laut (pH, specific gravity, arus, temperature, keberadaan bakteri, nutrient,
dan oksigen terlarut pada padatan tersuspensi)

Polutan dan jenis minyak mentah yang ada di perairan sering menjadi issue-isue lingkungan
sehingga dapat menjadi ancaman yang terkait dengan iklim investasi. Tumpahan minyak ini
memnunjukan pengaruh yang negative sekaligus sangat penting terhadap lingkungan pesisir
dan perairan laut terutama melalui kontak langsung dengan organisme perairan.

Untuk kasus tumpahan minyak di laut terbuka mungkin tak terlalu bermasalah karena
konsentrasi minyak di bawah slickbiasanya sangat rendah, sehingga tak menyebabkan banyak
masalah. Kebanyakan kasus tumapahan minyak terjadi di daerah perairan dalam dan pantai.
Hal ini memang karena tabrakan yang terjadi banyak di wilayah perairan dalam dan
menyebabkan minyak merembet sampai ke pantai

Komponen minyak tidak dapat terlarut yang mengapung akn menyebabakan air berwana
hitam. Beberapa komponen minyak terakumulasi di dalam sidemen sebagai deposit hitam
pada pasir dan batuan-batuan pantai. Komponen Hidrokarbon yang bersifat racun
berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan dan prilaku biota laut, terutama
pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan yang hidup di bawah laut. Menurut Fahrudin
(2004) di dalam kandungan minyak terdapat sumber emulsifikasi yang merupakan sumber
kematian, terutama terhadap telur, larva, dan embrio ikan. Menurut Sumadhiharga dalam
Misran (Kuncowati: t,t) memaparkan bahwa ada dua dampak secara signifikan yang
disebabkan oleh tumpahan minyak yang terjadi di wilyah perairan yaitu jangka panjang dan
jangka pendek.

Akibat jangka pendek, molekul hidrokarbon dapat merusak membrane sel biota laut, yang
dapat mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut kedalam sel.
Banyak jenis udang bahkan ikan yang akan berbau minyak sehingga mutunya akan menurun.
Secara langsung minya juga dapat menyebabkan kematian secara langsung kepada
ikan,karena akibat kekurangan oksigen,keracunan karbondioksida dan juga keracunan oleh
bahan berbahaya lainnya.

Sedangkan akibat jangka panjang lebih banyak mengancam biota muda. Minyak dalam laut
dapat termakan oleh biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama
makanan sedangkan sebagian besar lagi dapat terakumulasi \kedalam senyawa lemak dan
protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme satu ke yang lain melalui rantai
makanan. Jadi akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan
pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan besar, hewan-hewan laut
lainnya dan bahkan manusia.

Secara tak langsung, pencemaran yang terjadi akibat minyak yang menggenangi lautan
dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu
kesuburan lumpur di dasar laut. Ikan yang tinggal di sekitarnya akan mati atau ada juga yang
bermigjrasi ke tempat lain. Selain itu terumbu karang juga ikut merasakan dampaknya. 50
persen dari terumbu karang dan mangrove sangat peka terhadap minyak yang dapat
menyebabkan kerusakan yang fatal terhadap biota laut tersebut. (ekapgsdump.com )

Menurut Fakhrudin (Kuncowati: t.t) lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas
dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak
cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Lapisan minyak tumpahan juga
secara tak langsung akan memengaruhi pertumbuhan rumput laut, dan tumbuhan laut lainnya
jika menempel pada permukaan daunnya dan juga dapat mengganggu proses metabolism
pada tumbuhan tersebut. Selain intu lapisan minyak tersebut juga akan menghambat
terjadinya proses fotosintesis, karena lapisan di permukaan laut akan menghalangi masuknya
sinar matahari

Analisa Kasus dalam Hukum Internasional

Saat ini adalah bukan suatu hal yang baru jikalau masalah polusi laut yang disebabkan oleh
tumpahan minyak bumi merupakan perhatian yang yang serius bagi suatu negara yang
memiliki perairan yang luas seperti Indonesia. Masalah-masalah ekologi dan perlindungan
akan lingkunagan mendapat perhatian dan sel yang berpenetrasi dapat dipikirkan untuk
mendapat langkah-langkah penanggulangannya (Kantaatmaja:1982). Hal ini mengingat
bahwa banyak sekali negara-negara yang telah maju namun terlambat untuk menanggulangi
masalah-masalah lingkungannya.

Masalah polusi laut yang disebabkan oleh tumpahnya minyak berlebih merupakan masalah
yang serius, mengingat keadaan geografis Indonesia yang sebagian besar terdiri dari lautan
dan posisi Nusantara sebagai daerah lalu lintas kapal tanker antar benua. Sebenarnya masalah
tumpahan minyak ini tak hanya terjadi kali ini saja. Dalam beberapa tahun terakhir berturut-
turut kasus tumpahan minyak ini pun kerap kali terjadi dari tahun 1975. (Kantaatmaja:1982)

Dalam jurnal ini ada dua kasus yang memimiliki permasalahan hukum yang harus segera
diselesaikan, yaitu masalah Hukum Pencemaran Lingkungan Laut dan juga Tabrakan kapal.

 Hukum Pencemaran Lingkungan Laut.

Pencemaran laut merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi saat ini dan
seringkali diakibatkan oleh aktivitas dan kegiatan manusia. Sebagian besar pencemaran laut
itu disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tumpahan Minyak yang disebabkan oleh tabrakan kapal MT Alyarmouk dan MV Sinar
Kapuas merupakan masalah yang serius. Dalam hukum laut Internasional, Prof. Dikdik
Muhammad Sodik (2014) menerangkan definisi terlebih dahulu mengenai pencemaran
lingkungan laut. Menurut pasal 1 ayat 4 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu:

“Pollution of the Marine environment means the introduction by man directly or indirectly,
of substances or energy into the Marine environment, including esruaries, which results or is
likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards
to human health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate uses
of the sea, impairment of quality for use of sea and or armenitis.”

Berdasarkan pasal di atas maka pencemaran laut dapat diartikan sebagai masuk atau
dimasukkannya zat, dan energi kedalam lingkungan laut termasuk muara oleh kegiatan
manusia, yang mengakibatkan rusaknya sumber daya hayati dan kehidupan di laut,
mengancam kesehatan manusia, mengganggu kegiatan-kegiatan laut. Dengan demikian ,
pencemaran laut dapat diartikan sebagai bentuk marine environmental damage dalam arti
adanya pengerusakan, gangguan dan perubahan yang menyebabkan lingkungan laut tak
berfungsi dengan baik. (Sodik:2014)
Menurut peraturan Pemerintah no.19/1999 tentang pengendalian dan/ pengerusakan laut
adalah masuknya atau dimasukkannyamakhluk hidup, zat, energy, dan atau komponen lain ke
dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehinggga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tak sesuai lagi dengan baku mutu dan /
fungsinya. (setkab.go.id)

Konvensi hokum Laut 1982 meminta setiap negara untuk melakukan upaya-upaya untuk
mencegah, menanggaulangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari setiap
sumber pencemaran seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun sera
berasal dari sumber daratan,dumping , dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi.
Dalam kegiatan tersebut setiap negara harus melakukan kerjasama baik kerjasama regional
maupun global yang diatur sesuai dalam pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut Internasional
1982.

Dalam kasus Tumpahan minyak tersebut, pemilik kapal tangki mempunyai kewajibanuntuk
mengganti rugi terhadap kerusakan pencemaran yang disebabkan oleh kapal yang
menumpahkan minyak tersebut. Pemilik kapal dapat terbebas dari hukum jika hanya dengan
alasan (kanalhukum.id)

 Kerusakan lingkungan akibat perang atau bencana alam.


 Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain
 Kerusakan yang disebabkanoleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu
navigasi dengan baik

Dari alasan diatas jelaslah bahwa negara pemilik kapal harus memberikan ganti rugi terhadap
Negara yang menjadi korban pencemaran laut yang disini adalah Indonesia. dalam Hukum
Laut Internasional pasal 235 tentang tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi, Negara-
negara bertanggung jawab untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Mereka harus memilkul
kewajiban ganti rugi sesuai dengan hokum internasional.(Kusuma Atmaja:1992) dari
peraturan tersebut jelaslah bahwa disini negara sebagai korban dari tabrakan kapal berhak
untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan biaya pelestarian laut menurut hukum
Internasional

 Tabrakan Kapal MT Alyarmouk dan MV Sinar Kapuas

Hukum UU Perniagaan (pasal 534 ayat 2)Tubrukan Kapal adalah tubrukan atau sentuhan
Antara dua kapal atau lebih satu sama lain. (Prodjodikoro:1984) Indonesia merupakan negara
yang telah meratifikasi UNCLOS yaitu konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia telah
meratifikasi Undang-undang nomor 17 tahun 1985. Dalam ketentuan 192 UNCLOS
menjelaskan bahwa negara-negara wajib melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Dalam ketentuan UNCLOS pasal 97 yang isinya (Kanalhukum.com):

 Dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut
suatu kapal lain lepas berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau
setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tak boleh diadakan penuntutan atau disiplin kecuali
dihadapan peradilan atau pejabat administratif atau Negara bendera atau negara yang orang
demikian itu menjadi warga negaranya.
 Dalm perkara disiplin hanya negara yang telah mengeluarkan izin nahkoda atau sertifikat
kemampuan atau izin yang harus merupakan pihak yang berwenang, setelah dipenuhinya
proses hokum sebabagaimana mestinya, untuk menyatakan penarikan sertifikat demikian,
sekalipun pemegangnya bukan warga negara yang mengeluarkannya.
 Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap kapal, sekalipun sebagai suatu tindakan
pemeriksaan diperintah oleh pejabat manapun kecuali pejabat dari negara bendera.

Berbeda dengan Hukum Pencemaran lingkungan laut, Hukum mengenai tabrakan kapal
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum dagang. Dalam kitab hukum ini dibahas
mengenai tubrukan yang dilakukan oleh kapal kepada kapal yang lainnya. Dari yang terlaihat
pada tubrukan kapal Alyarmouk dan MV Sinar Kapuas tersebut, peristiwa tubrukan
merupakan kesalahan dari kedua belah pihak. Jadi sesuai dengan pasal 537 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang dikatakan bila tubrukan kapal itu diakibatkan oleh kedua belah
pihak, maka tanggung jawab Antara keduanya seimbang dengan kesalahan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak. (ahliasuransi.com) Jadi dalam kasus ini kedua belah pihak berhak
untuk memberikan ganti rugi secara berimbang kepada masing-masing pemilik kapal yang
dirugikan. Dan juga kepada negara yang menjadi korban dari tabrakan tersebut.

Kesimpulan

Pada tahun 2015 kemarin, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa tumpahan minyak yang
menggenangi wilayah perairan Indonesia di sebelah barat daya, tepatnya perbatasan
Indonesia degnan Singapura di wilayah Selat Malaka. Peristiwa tersebut tepatnya terjadi di
perairan sekitar 11 mil laut timur Pedra Branca, sebuah pulau terpencil yang merupakan titik
paling timur di Singapura. Tumpahan minyak ini disebabkan oleh tabrakan yang terjadi
antara kapal MT Alyarmouk dari Libya dengan kapal MV Sinar Kapuas yang merupakan
milik pemerintah Singapura. Tabrakan tersebut menyebabkan robeknya lambung kapal
Alyarmouk yang sedang dalam perjalanan menuju Tiongkok dan menumpahkan minyak
bertipe Madura Crude Oil. Diperkirakan jumlah minyak yang tumpah adalah sebesar 4.500
ton minyak mentah.

Seperti yang tertera di dalam hokum Internasional, bahwa perlindungan terhadap pencemaran
laut yang terjadi merupakan kewajiban seluruh negara bukan hanya negara yang memiliki
kepemilikan akan laut tersebut. jadi ketika ada kasus yang menimpa lingkungan laut seperti
kasus diatas maka yang harus bertanggung jawab adalah negara yang terkait atau yang
melakukan tabrakan kapal sesuai dengan tertera dalam Hukum Internasional tentang Hukum
Laut.

Di dalam kasus ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia berhak untuk meminta ganti
rugi akibat tercemarnya laut di wilayah pulau Bintan. Hal ini dikarenakan tumpahan minyak
tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada laut serta biota laut yang hidup di dalamnya.
Mengenai kerugian kapal tersebut diatur di dalam Kitab Undang-Undang Perdagangan.
Dimana tabrakan tersebut harus ditanggung secara seimbang oleh pemilik kapal sesuai
dengan jumlah kerugian.

Ancaman yang paling mengerikan pada tahun 2018—perang nuklir di Semenanjung


Korea dan sebuah konfrontasi yang mengadu Amerika Serikat dan sekutu-
sekutunya melawan Iran—dapat diperparah dengan tindakan, sikap diam, dan
pemikiran Trump. Tuntutan AS (dalam kasus Korea Utara, denuklirisasi; dalam
kasus Iran, renegosiasi sepihak terkait kesepakatan nuklir, atau penarikan diri Iran
secara regional), sangat tidak realistis tanpa keterlibatan diplomatik serius atau
kesepakatan timbal balik. Untuk kasus pertama, Washington dapat menghadapi
prospek memprovokasi perang nuklir untuk menghindarinya, dan kasus terakhir, ada
kemungkinan membahayakan kesepakatan nuklir yang berhasil, demi konfrontasi
dengan Iran yang hampir pasti tidak akan terjadi.

(Poin potensial ketiga yang tidak berhasil masuk ke dalam 10 besar—karena terjadi
sangat terlambat dan sangat tak terduga—adalah situasi berbahaya di Yerusalem.
Pada saat penulisan, hal itu belum meledak, mungkin karena ketika seseorang sama
putus asanya seperti orang-orang Palestina, hanya ada sedikit harapan yang tersisa
untuk dihancurkan. Namun, keputusan pemerintahan Trump untuk mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Israel untuk alasan politik domestik semata, tanpa
kemungkinan adanya kebijakan luar negeri dan risiko ledakan, harus dimasukkan ke
dalam peringkat sebagai contoh utama malpraktik dalam diplomasi.)

Seperti semua tren lainnya, ada banyak hal yang sering didorong oleh
ketidaknyamanan, yang dipicu oleh kecenderungan dominan. Masyarakat Eropa
membela kesepakatan nuklir Iran dan mungkin akan memperdalam keamanan
bersama dan independensi strategis mereka sendiri, Presiden Emmanuel Macron
menguji jangkauan diplomasi Prancis, dan konsensus internasional tentang tindakan
melawan perubahan iklim telah dibuat. Mungkin negara-negara Afrika—yang sudah
memimpin upaya untuk mengelola krisis di benua ini—akan meningkat di Republik
Demokratik Kongo, atau konflik besar benua lainnya. Mungkin negara-negara Afrika
atau bermacam-macam aktor lainnya, dapat membuat konflik ini memiliki lebih
banyak keterlibatan dan dialog, untuk meredakan krisis dan bukannya
memperburuknya.

Tampaknya tidak ada tempat untuk menaruh harapan kita. Tapi, seperti yang
digambarkan oleh daftar 10 konflik paling penting yang harus disaksikan pada tahun
2018 dari Kelompok Krisis Internasional, setidaknya sejauh ini, mereka mungkin
satu-satunya harapan yang kita miliki.

Anda mungkin juga menyukai