Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Jika di kaji pada tataran masyarakat dan hukum nasional, peranan dan keberadaan lembaga
legislatif sebagai pembentuk hukum dan aparat penegak hukum beserta sanksi hukumnya memang
terlihat sangat menonjol dan mendominasi dalam mekanisme pembentukan, pelaksanaan dan
pemaksaan hukum nasional itu sendiri. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat
peraturan-peraturan hukum nasional yang seringkali tidak efektif, disebabkan karena kurangnya
pelaksanaan peran lembaga dan aparat penegak hukum di negara tersebut. Oleh karena itu, pada
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pendapat Austin yang menganggap hukum
internasional itu bukan merupakan sebuah hukum terbantahkan oleh kenyataan bahwa tidak
adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah berarti tidak ada hukum. Sebagai contoh
dalam hal ini adalah hukum adat. Kemudian, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya
hukum dan ciri-ciri efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga seperti lembaga eksekutif,
legislatif, lembaga kehakiman, kepolisian, dan sebagainya hanya merupakan ciri-ciri atau pertanda
bahwa hukum internasional belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional itu tidak
ada. Oleh karena itu, hukum internasional tidak bisa dipungkiri saat ini sudah diakui dan dipatuhi
oleh subyek hukum internasional, baik itu negara maupun non-state actor. Adanya dua sistem ini
kemudian menimbulkan pertanyaan terkait kedudukan masing-masing sistem hukum tersebut.
Negara merupakan aktor utama yang memiliki peran yang sangat vital bagi keberadaan hukum
internasional, dan hukum internasional itu sendiri mengatur keberadaan negara. Misalnya, hukum
internasional mengatur bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dan kedudukan yang sama,
syarat lahirnya negara, tanggung jawab negara, dan berbagai hal lain yang banyak diatur oleh
hukum internasional. Namun, dalam praktek selama ini, negara yang paling kuat sekalipun dari
segi ekonomi dan militer seperti Amerika atau Tiongkok tidak dapat sepenuhnya berdaulat,
walaupun dalam hukum internasional diatur bahwa setiap negara memiliki kedaulatannya masing-
masing. Hal ini disebabkan karena adanya karakter interdependensi atau saling ketergantungan
dalam berbagai hal dalam hubungan suatu negara dengan negara lain. Misalnya, suatu negara tidak
bisa secara bebas mengambil tindakan bahkan jika tindakan tersebut hanya berada dalam lingkup
nasionalnya sendiri. Karena tindakan tersebut juga memiliki konsekuensi terhadap negara lain
maupun sistem hukum global. Sebagai contoh, suatu negara tidak bisa bebas mendirikan pusat
pengembangan nuklir di negaranya, walaupun tindakan tersebut hanya dilakukan di dalam
negaranya sendiri. Sebaliknya, tindakan di level internasional juga bisa mengakibatkan
konsekuensi di level nasional, sehingga dengan demikian antara hukum nasional dengan hukum
internasional mengalami interpenetration atau saling keterhubungan atau bahkan saling menekan
antara satu sama lain. Interpenetrasi ini terjadi di berbagai bidang, antara lain di bidang hak asasi
manusia, perdagangan, lingkungan, dan lainnya.
Saling tarik menarik antara hukum nasional dengan hukum internasional ini terjadi pada bidang
yang sama-sama di atur baik di hukum nasional maupun hukum internasional. Sebagai contoh,
kita mengenal adanya instrumen hukum internasional terkait hak asasi manusia seperti
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan berbagai instrumen hukum
internasional terkait HAM lainnya. Tapi, ternyata di lingkup nasional kita juga memiliki pasal-
pasal di dalam konstitusi yang mengatur dan melindungi hak asasi manusia. Dan bahkan kita juga
telah memiliki undang-undang terkait hak asasi manusia. Maka, Pemerintah dalam hal ini akan
memiliki peran yang paralel, di satu sisi Pemerintah harus menaati aturan yang dibuat masyarakat
internasional, di sisi lain Pemerintah juga diharuskan menjaga ketertiban hukum nasionalnya.
Kenyataan di lapangan, pandangan yang menganggap bahwa hukum internasional adalah hukum
yang mengatur hukum antar negara saja atau antar subyek hukum internasional satu sama lain saja,
sedangkan hukum nasional adalah hukum yang mengatur individu dengan pemerintah saja, saat
ini dianggap sebagai pandangan yang terlalu simplistik atau terlalu sederhana. Karena memang
overlap atau tumpang tindih dapat terjadi pada banyak hal dan pada berbagai bidang. Sebagai
contoh, kasus klaim Tiongkok terhadap wilayah perairan Laut Cina Selatan, Tiongkok
menganggap bahwa wilayah tersebut adalah milik Tiongkok berdasarkan hukum nasional
Tiongkok. Tetapi, jika ditinjau dari hukum internasional, klaim Tiongkok tersebut tidak dapat
dibenarkan. Hukum laut internasional mengatur bagaimana penentuan wilayah laut suatu negara,
terutama ketika wilayah yang diklaim tersebut masuk dalam wilayah laut negara lain, dan ada pula
wilayah laut yang tidak bisa dimiliki oleh suatu negara karena termasuk dalam wilayah laut lepas
yang berstatus sebagai common heritage of mankind atau milik bersama umat manusia.
Kasus lain yang menarik untuk diperhatikan dalam kaitannya dengan hal ini yaitu LaGrand Case,
yaitu kasus yang melibatkan Pemerintah Jerman dengan Amerika Serikat. Kasus ini dimulai ketika
Karl LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang bersaudara yang merupakan warga negara Jerman
melakukan perampokan bersenjata di Amerika Serikat yang kemudian menewaskan satu orang
warga Negara Amerika Serikat dan juga melukai satu orang lainnya. Singkat cerita, dua orang ini
kemudian ditahan, diadili dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan negara bagian Arizona,
Amerika Serikat. Permasalahan kemudian timbul setelah Pemerintah Jerman mengetahui kasus
tersebut setelah adanya putusan pengadilan. Pada kasus tersebut, LaGrand bersaudara tidak
diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler yang sudah diatur
berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika
Serikat pun tidak memberitahukan kepada Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di wilayahnya
(Marana, Arizona) terkait tertangkapnya dan diadilinya dua orang warga Negara Jerman tersebut.
LaGrand bersaudara kemudian mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan
keringanan putusan. Tetapi Pemerintah Amerika Serikat tidak menanggapi permohonan ini, dan
tetap melaksanakan eksekusi terhadap dua warga negara Jerman tersebut. Karl LaGrand dieksekusi
dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999. Sedangkan Walter LaGrand
dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3 Maret 1999. Beberapa jam sebelum eksekusi
Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan ke International Court of
Justice (ICJ) untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter
LaGrand. ICJ mengabulkan permohonan Jerman dan mengharuskan Amerika Serikat meneruskan
putusan tersebut kepada pengadilan negara bagian Arizona. Namun, US Supreme Court
(Mahkamah Agung Amerika Serikat) menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam
kasus ini dan tetap menjalankan eksekusi Walter LaGrand.
Pasca eksekusi, kasus ini kemudian diajukan oleh Pemerintah Jerman ke ICJ, dimana putusan ICJ
menyatakan bahwa Amerika Serikat telah bersalah karena tidak memberitahukan kepada LaGrand
bersaudara terkait hak-haknya sebagai tersangka yang dalam hal ini melanggar Pasal 36 Ayat 1(b)
Vienna Convention of Consular Relation 1963, dan juga melanggar Pasal 36 Ayat 1 Vienna
Convention of Consular Relation 1963 karena mencegah Pemerintah Jerman untuk memberikan
bantuan konsuler kepada LaGrand bersaudara. Selain itu, Pemerintah Amerika Serikat juga
dianggap telah melanggar ketentuan terkait consular notification karena tidak memberitahukan
kasus tersebut kepada perwakilan Negara Jerman yang ada di wilayahnya. Dalam kasus tersebut
dapat dilihat bahwa hukum nasional dan hukum internasional secara bersamaan dapat diterapkan
pada kasus yang sama oleh peradilan yang berbeda, walaupun pada peradilan Arizona murni
menangani kasus tindak pidananya, sedangkan pada peradilan ICJ lebih berfokus pada
pelanggaran hukum internasional, dalam kasus ini yaitu Vienna Convention of Consular Relation
1963. Berdasarkan kedua contoh kasus tersebut terlihat bahwa antara hukum nasional dan hukum
internasional sama-sama eksis dan saling menginterupsi satu sama lain. Oleh karena itu, perlu
dilakukan telaah terhadap hubungan hukum nasional dan hukum internasional pada kasus-kasus
demikian.
Pembahasan terkait hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional sudah menjadi
bahan kajian yang dimulai hampir sama dengan keberadaan hukum internasional itu sendiri.
Dalam pengkajian terhadap hubungan kedua sistem hukum ini, terdapat beberapa pertanyaan yang
kemudian muncul, yaitu:
1. Apakah hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang
terpisah dan berdiri sendiri-sendiri atau merupakan satu sistem yang sama?
2. Jika hukum nasional dan hukum internasional merupakan satu sistem yang sama,
bagaimana hubungan hierarkis keduanya?
3. Jika hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah
dan berdiri sendiri-sendiri, manakah yang harus diutamakan diantara kedua sistem hukum
tersebut?
4. Bagaimana berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional?
Jawaban pertanyaan ini pada dasarnya berbeda-beda di setiap negara, tergantung bagaimana
kedudukan hukum nasional dan hukum internasional tersebut diatur, yang umumnya ada dalam
masing-masing konstitusi negara tersebut. Jawaban pertanyaan tersebut juga terkadang berbeda
dalam keadaan-keadaan tertentu. Pertanyaan tersebut sangat mendasar dan hanya bisa dijawab dan
dijelaskan dengan pendekatan filosofis. Sehingga, untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
merujuk kepada teori yang telah ada dan dikembangkan oleh para pakar hukum.
Ada tiga teori/mazhab yang dikembangkan oleh para pakar hukum terkait hubungan hukum
nasional dengan hukum internasional, yaitu:
1. Teori Monisme
2. Teori Dualisme
3. Teori Jalan Ketiga (Third Way) / Teori Harmonisasi (The Harmonisation Theory)
Ketiga teori/mazhab ini masing-masing akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1. Teori Monisme
Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain Hans Kelsen dan Sir Hersch Lauterpacht. Teori Monisme
berpandangan bahwa hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua komponen dari
satu kesatuan sistem hukum. Dari pandangan tersebut bisa dilihat bahwa pendukung teori ini
dipengaruhi oleh teori hukum alam yang tidak membedakan setiap individu berdasarkan negara
atau kelompok tertentu. Pandangan ini didasarkan bahwa seluruh hukum yang mengatur
kehidupan manusia merupakan suatu kesatuan. Artinya hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan
manusia. Namun ada persoalan hierarki dalam teori ini yang menyebabkan timbulnya dua
pandangan berbeda terkait yang mana yang lebih tinggi kedudukannya antara hukum nasional dan
hukum internasional. Ada pihak menganggap bahwa hukum nasional lebih utama atau tinggi
kedudukannya daripada hukum internasional. Paham yang menganggap hukum nasional lebih
tinggi dari hukum internasional dikenal dengan paham monisme dengan primat hukum nasional.
Sedangkan paham yang menganggap hukum internasional lebih tinggi daripada hukum nasional
dikenal dengan paham monisme dengan primat hukum internasional.
a. Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Menurut teori ini hukum internasional merupakan kelanjutan dari hukum nasional untuk urusan
luar negeri (auszeres staatrecht). Jadi, menurut teori ini, hukum internasional pada dasarnya
bersumber dari hukum nasional, sehingga hukum nasional dianggap lebih tinggi daripada hukum
internasional. Apabila kemudian terjadi konflik diantara dua hukum tersebut, maka hukum
nasional lah yang diutamakan. Ada beberapa alasan utama dari pendapat ini, yaitu:

- Tidak ada satupun organisasi di dunia ini yang kedudukannya berada di atas negara-negara
dan mengatur kehidupan negara-negara tersebut.
- Dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang
negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang
diberikan oleh konstitusi masing-masing negara. Jadi, hukum internasional itu baru bisa
mengatur hubungan antar negara jika negara sudah mengadakan/membuat perjanjian
internasional, dimana kewenangan pembuatan perjanjian internasional itu pada dasarnya
bersumber dari kewenangan yang diberikann oleh konstitusi/hukum nasional yang ada di
masing-masing negara.
Paham ini pada dasarnya memiliki beberapa kelemahan, antara lain bahwa paham ini hanya
melihat hukum itu sebagai hukum positif (hukum tertulis) saja, dan menganggap bahwa hukum
internasional hanya bersumber kepada perjanjian internasional. Padahal pada kenyataannya ada
pula hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan internasional. Kelemahan lainnya adalah bahwa
paham ini nampaknya melakukan penyangkalan terhadap keberadaan hukum internasional itu
sendiri.
b. Monisme dengan Primat Hukum Internasional
Menurut paham monisme dengan primat hukum internasonal, sumber dari hukum nasional itu
berasal dari hukum internasional, sehingga berdasarkan hierarki maka hukum internasional
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hukum nasional. Hukum internasional dalam piramida
hukum dianggap berada di puncak yang menaungi sistem hukum yang lain. Sehingga,
konsekuensinya, ketentuan hukum nasional harus sesuai dengan hukum internasional, dengan
demikina transformasi suatu hukum internasional kedalam hukum nasional tidak diperlukan lagi,
karena hukum nasional dan hukum internasional merupakan bagian dari suatu sistem hukum.
Subyek hukum internasional pada hakikatnya sama dengan subyek hukum nasional, yaitu individu,
sehingga hukum internasional dapat diterapkan langsung di pengadilan nasional tanpa harus
ditransformasi terlebih dahulu. Jadi, menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum
internasional dan pada hakekatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian
wewenang dari hukum internasional. Paham ini dipelopori oleh Mazhab Wina seperti Kunz,
Kelsen dan Verdross serta didukung oleh Mazhab Perancis seperti Duguit, Schelle dan Bourquin.
Kelemahan paham ini diantaranya adalah anggapan bahwa hukum nasional bergantung kepada
Hukum Internasional, yang artinya menyatakan bahwa hukum internasional telah ada sebelum
hukum nasional itu lahir. Padahal, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa hukum nasional
lahir terlebih dahulu daripada hukum internasional.
2. Teori Dualisme
Teori dualisme yang dipengaruhi oleh doktrin positivisme berpendapat bahwa hukum nasional dan
hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah dan berbeda satu sama lain, yang
memiliki dan mengatur obyek masing-masing. Menurut paham ini, hukum internasional
mempunyai suatu karakter yang berbeda secara intrinsik (intrinsically) dari hukum nasional. Teori
ini lahir dari adanya paham voluntarisme (voluntarism) yang memandang bahwa berlakunya
hukum internasional pada dasarnya terletak pada kemauan negara, artinya masing-masing negara
yang bersangkutanlah yang memutuskan atau menentukan apakah akan tunduk dan mematuhi
hukum internasional ataukah tidak. Tokoh yang mengemukakan dan mendukung teori ini yaitu
Triepel dan Anzilotti. Selain itu, teori ini juga di dukung oleh kebanyakan para hakim dari
pengadilan nasional, terutama di negara-negara common law system, karena menurut mereka
sumber formal dari hukum internasional mayoritas adalah perjanjian dan kebiasaan internasional.
Sedangkan hukum nasional pada umumnya adalah hukum yang dibuat di pengadilan (judge made
law) dan peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif nasional. Menurut teori dualisme ini,
perbedaan kedua sistem tersebut antara lain:
a. Perbedaan Subyek Hukum
Hukum nasional dan hukum internasional memiliki subjek hukum yang berbeda. Subjek hukum
nasional (baik dalam hukum perdata maupun hukum pidana) adalah individu dan badan hukum,
sedangkan subjek hukum internasional utama adalah negara.

b. Perbedaan Sumber Hukum


Sumber hukum nasional adalah kehendak dari negara itu sendiri (the will of the state itself),
sedangkan sumber hukum internasional merupakan kehendak bersama dari masyarakat
internasional atau negara-negara (the common will of the states).
c. Perbedaan Struktur Tata Hukum
Pada hukum nasional terdapat struktur atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat
dan melaksanakan hukum seperti lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan organ eksekutif yang
sifatnya sempurna dan keberadaannya tampak secara nyata, sedangkan pada Hukum Internasional,
lembaga-lembaga tersebut belum ada atau bersifat seperti fiktif.
d. Perbedaan Prinsip Dasar
Prinsip dasar yang menjadi landasan hukum nasional adalah prinsip dasar/norma dasar dari
konstitusi suatu negara, sedangkan hukum internasional didasarkan pada prinsip “perjanjian
adalah mengikat” (pacta sunt servanda).1
Akibat dari adanya paham ini ialah tidak adanya ketergantungan antara hukum nasional dengan
Hukum Internasional, dimana kedua hukum tersebut berarti berdiri sendiri dan tidak berada dalam
satu hierarki, keduanya terlepas satu sama lain sehingga tidak ada yang posisinya lebih tinggi
dibandingkan yang lain. Ketentuan dalam hukum internasional tidak bisa merubah ketentuan
hukum nasional, begitupun sebaliknya ketentuan hukum nasional tidak bisa merubah ketentuan
hukum internasional. Akibat lainnya adalah tidak mungkin adanya pertentangan diantara kedua
hukum tersebut, karena memang pada dasarnya keduanya adalah sistem yang berbeda, yang
mungkin ada hanyalah penunjukan kembali (renvoi). Akibat selanjutnya adalah hukum
internasional tidak dapat langsung diberlakukan kepada individu-indivdu di suatu negara, agar
hukum internasional dapat berlaku dalam suatu negara, diperlukan adanya suatu transformasi dari
bentuk hukum internasional menjadi hukum nasional negara tersebut, yang mekanismenya
ditentukan oleh konstitusi masing-masing negara.
Tetapi, pendapat beberapa pakar hukum kemudian mengkritisi teori ini, dan berpendapat bahwa
paham dualisme tersebut memiliki beberapa kelemahan dalam argumentasinya, yaitu:
1) Pertama dilihat dari sumbernya pada dasarnya baik hukum internasional maupun hukum
nasional bersumber dari kemauan negara yaitu kemauan negara untuk mengatur kehidupan
masyarakat. Jadi baik hukum internasional maupun hukum nasional bersumber dari
kebutuhan manusia untuk hidup teratur dan beradab.2

1
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum Internasional,
Vol. 5 No. 3, Tahun 2008, Hlm. 508.
2
J.G. Starke, 1995, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, Hl. 97.
2) Kedua dilihat dari subjeknya, bahwa pada kenyataannya, dewasa ini perorangan pun dapat
menjadi subjek hukum internasional.3
3) Ketiga dilihat dari struktur keduanya, perkembangan hukum nasional memang jauh lebih
tinggi daripada hukum internasional, sehingga wajar saja jika hukum nasional memiliki
bentuk organ yang lebih sempurna daripada hukum internasional.4
4) Keempat dilihat dari efektifitasnya, justru adalah sebaliknya pada kenyataannya seringkali
hukum nasional tunduk pada hukum internasional. Pertentangan antara keduanya memang
benar adanya namun hal tersebut bukanlah bukti adanya perbedaan secara struktural tetapi
hanyalah kekurangefektifan hukum internasional.5
3. Teori Jalan Ketiga (Third Way) / Teori Harmonisasi (The Harmonisation Theory)

Teori Harmonisasi menyebutkan bahwa antara Hukum Internasional dengan hukum nasional tidak
perlu dipertentangkan, namun keduanya harus berjalan sendiri-sendiri sehingga timbul suatu
keharmonisan antara keduanya.

3
Ibid.
4
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT. Alumni, Hlm. 56-
57.
5
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai