Anda di halaman 1dari 13

Legitimasi Hukum Internasional Terhadap Penerapan Sanksi Ekonomi Dalam

Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA)

Pendapat Terhadap Kasus Batalnya Pengadaan Alusista Asal Rusia dan China Oleh
Indonesia

Ditulis Oleh : Djarot Dimas Achmad Andaru

Mahasiswa Hukum Transnasional / 1906325431

Pendahuluan

Jazairy Idriss dalam artikel nya berjudul Unilateral Economic Sanctions, Interational Law,
and Human Rights, berpendapat bahwa tindakan suatu negara dalam menerapkan kebijakan
koersif secara unilateral merupakan suatu tindakan yang melanggar hak untuk menentukan
nasib sendiri, self-determination suatu negara. Kesimpulan ini di layangkan oleh Jazairy
setelah menganggap bahwa pengenaan kebijakan nasional berisi sanksi ekonomi kepada
negara lain merupakan permasalahan serius terhadap hubungan internasional tetapi sejauh ini
dipandang tidak melanggar hukum internasional. Lantas, bagaimana hukum internasional
memandang legitimasi penerapan sanksi ekonomi sebagai kebijakan nasional atas dasar
pemenuhan kepentingan suatu negara secara unilateral1.

Batalnya kontrak pembelian 11unit jet tempur Sukhoi SU-35 antara Indonesia dan Rusia,
dinilai bukan tanpa sebab dan alasan yang jelas. Pasalnya Amerika Serikat telah melayangkan
ancaman kepada Indonesia untuk bersiap menerima sanksi jika jet tempur asal negeri beruang
tersebut sampai ke tangan Indonesia. Tidak hanya jet tempur, Angkatan laut Indonesia juga
turut gigit jari ketika rencana pengadaan beberapa kapal perang tipe frigat senilai USD200
asal negeri tirai bambu juta batal karena mendapat ancaman serupa2.

Kebijakan nasional Amerika Serikat yang berisi penerapan sanksi bagi negara-negara yang
bekerja sama dengan musuh Amerika Serikat, kemudian di tuding menjadi alasan utama
dibalik urungnya pengadaan alusista asal Rusia dan China tersebut. Kebijakan Countering
Americas Adverseries Through Sanction Act yang disahkan oleh kongress Amerika Serikat

1
Jazairy, Idriss. 2019. "Unilateral Economic Sanctions, International Law, and Human Rights." Ethics &
International Affairs 33 (3): 291-302.
2
The Jakarta Post, (2020, Februari 13)Trump threat Spurred to drop Russia, China arms deals,
https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/13/trump-threat-spurred-indonesia-to-drop-russia-china-
arms-deals.html, diakses 10 April 2020.
pada 3 Januari 20173, merupakan buntut dari kebijakan adminstrasi Presiden Donald Trump
dan ketidakpuasan rakyat amerika terhadap persaingan global yang kian mengancam
keamanan dan dominasi nasional Amerika Serikat sebagai negara adikuasa4.

Posisi Rusia dengan revitalisasi ekonomi, teknologi dan kekuatan militernya, dan Iran dengan
Korea Utara dengan pengembangan proliferasi nuklir nya. Kebijakan yang disahkan tersebut
kemudian berfungsi untuk memberi efek gentar, menekan hingga memaksa negara-negara
lain di dunia untuk tidak melakukan perdagangan senjata, terlibat kerjasama militer dan
intelejen dengan negara-negara yang di cap sebagai musuh Amerika Serikat. Jika melanggar
maka secara unilateral pemerintah Amerika Serikat dapat menerapkan sanksi ekonomi dan
imigrasi bagi negara manapun yang diketahui melanggar dan dikehendaki mendapat sanksi
oleh Presiden Trump5.

Sanksi ekonomi telah menjadi alat proyeksi kekuatan selain militer oleh Amerika Serikat
dalam era hukum internasional kontemporer pasca perang dunia dua dan terbentuknya
Perserikatan Bangsa-Bangsa6. Salah satu contohnya salah satu upaya pengenaan sanksi
ekonomi Amerika Serikat yang paling keras adalah dalam bentuk blokade terhadap Kuba
paska peristiwa krisis rudal Kuba antara blok barat dan timur. Sanksi ekonomi dalam bentuk
pembekuan asset Kuba dan blokade jalur perdagangan laut kemudian dinilai berhasil
menekan mundur eskalasi ancaman perang nuklir terbuka antara blok barat dan blok timur7.

3
US Departement of State, (2018, September 20) Previewing Sanctions Under Section 231 of the Countering
Americas Adversaries Through Sanctions Act of 2017 (CAATSA), Washington: Federal Information & News
Dispatch, LLC, 2018. https://search.proquest.com/docview/2110129165?accountid=17242,
diakses 10 April 2020.
4
Berman, Howard, Paula J. Dobriansky, Sue E. Eckert, Kimberly Ann Elliot, David L.. Goldwyn, Peter Harell,
Theodore Kassinger. (2019, May 27). Maintaining Americas Coercive Economic Strength,
https://search.proquest.com/docview/2280450851?accountid=17242. Diakses 10 April 2020.
5
The Wall Street Journal (2020, Januari 17) Trump Wields U.S. Economic Might in Struggles With Allies and
Adversaries Alike. https://www.wsj.com/articles/trump-wields-u-s-economic-might-in-struggles-with-allies-
and-adversaries-alike-11579280987. Diakses 10 April 2020.
6
Shmuel Nil (2016, Maret 18) Rethinking Economic “Sanctions” International Studies Review, Volume 18, Issue
4, December 2016. https://remote-lib.ui.ac.id:2116/10.1093/isr/viv008. Diakses 10 April 2020.
7
Colman, Jonathan (2019) Toward “World Support” and “The Ultimate Judgement of History” : The U.S Legal
Case for the Blockade of Cuba during the Missile Crisis, October-November 1962. Journal of Cold War
Studies 21 (2): 150-173. http://rn9yv7rh8j.search.serialssolutions.com/?ctx_ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info
%3Aofi%2Fenc%3AUTF-8&rfr_id=info%3Asid%2Fsummon.serialssolutions.com&rft_val_fmt=info%3Aofi
%2Ffmt%3Akev%3Amtx%3Ajournal&rft.genre=article&rft.atitle=Toward+%E2%80%9CWorld+Support
%E2%80%9D+and+%E2%80%9CThe+Ultimate+Judgment+of+History%E2%80%9D%3A+The+U.S.
+Legal+Case+for+the+Blockade+of+Cuba+during+the+Missile+Crisis%2C+October
%E2%80%93November+1962&rft.jtitle=Journal+of+Cold+War+Studies&rft.au=Colman
%2C+Jonathan&rft.date=2019&rft.pub=The+MIT+Press&rft.issn=1520-3972&rft.eissn=1531-
3298&rft.volume=21&rft.issue=2&rft.spage=150&rft.epage=173&rft.externalDocID=726152_S1531329819200
113&paramdict=en-US, diakses 10 April 2020.
Dalam kesempatan lain pun Indonesia pernah diuntungkan dari sanksi ekonomi yang
diterapkan oleh Amerika Serikat kepada Belanda pada tahun 1948 hingga 1949 berupa
pembatalan bantuan finansial pasca perang dunia dua yang disebut Marshall Plan, karena
telah mengintimidasi dan melakukan agresi terhadap status kemerdekaan Indonesia. Saat itu
sanksi Amerika Serikat berdampak pada hilangnya 1.1% pendapatan nasional Belanda. Hal
tersebut kemudian memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia8.

Sanksi ekonomi internasional termasuk yang terdapat di dalam Countering Americas


Adverseries Through Sanction Act, kemudian menjadi suatu kebijakan yang dapat menjadi
objek perdebatan ahli dan akademisi hukum internasional mengenai pertanyaan serius
terhadap legalitas dan keabsahan sanksi ekonomi di mata hukum internasional. Ibarat koin
bermata dua, kebijakan sanksi ekonomi dinilai memiliki pengaruh buruk sebagai alat
intimidasi dan kekuatan agresi jenis baru. Namun di sisi lain juga membawa manfaat sebagai
upaya untuk mencegah dan menangkis terjadinya konflik bersejata hingga pelanggaran ham
berat yang dilakukan oleh negara-negara di dunia. Guna memberi kesimpulan terhadap
perdebatan tersebut, tulisan ini akan menilai dari dua hal:

Pertama, terkait legitmiasi penerapan sanksi ekonomi internasional oleh suatu negara
terhadap negara lain, terlebih dalam rangka menekan dan memaksa negara lain untuk
mencapai tujuan dan kepentingan nasional. Apakah penggunaan ekonomi dan perdagangan
sebagai instrument sanksi internasional dapat dibenarkan dalam konsep hukum internasional
kontemporer. Artikel 2 paragraf (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara jelas
melarang seluruh anggotanya untuk menjauhkan diri dari ancaman dan pengunaan kekuatan
“use of force”9 dalam hubungan internasionalnya, terhadap intergritas kebebasan politik
negara lain. Atau dalam hal lain yang tidak sesuai dengan tujuan dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah sanksi ekonomi termasuk kedalam
definisi “use of force” yang disebutkan dalam artikel tersebut.

Kedua, terkait kebijakan unilateral suatu negara dalam bentuk kebijakan nasional yang
memiliki implikasi terhadap hubungan internasional, seperti halnya Countering Americas
Adverseries Through Sanction Act. Melanggar unsur-unsur kedaulatan, kebebasan atau
perjanjian antara suatu negara dengan negara lain.

8
Pierre Van Der Eng, (1988, September) Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia, 1947-49,
Journal of Southeast Asian Studies Vol. 19, No.2. https://www.jstor.org/stable/20071018?
seq=1#metadata_info_tab_contents. Diakses 10 April 2020.
9
Piagam PBB, Artikel 2 paragraf (4).
Sanksi Ekonmi Dalam Pandagan Hukum Internasional

Tidak hanya Indonesia, Amerika Serikat dengan kebijakan Countering Americas Adversaries
Through Sanction Act disingkat CAATSA juga turut berperan dalam menekuk mundur Mesir
dan Turki dalam mencoba membeli senjata pesawat tempur Sukhou SU-35 dan sistim rudal
anti pesawat permukaan ke udara S-400 dari Rusia. Sejauh ini hanya Turki yang terlihat tak
acuh terhadap konsekuensi terkena beberapa sanksi ekonomi yang terdaftar di dalam
lembaran CAATSA tersebut10.

Di benak sebagian besar pemimpin dan masyarakat dunia, CAATSA mungkin dipandang
sebagai belengu kebebsaan berdaulat yang dikenakan oleh sebuah negara adidaya. dan
pastinya hal tersebut dinilai melanggar hukum internasional dan menodai keharmonisan
hubugan internasional antara komunitas global. Namun di sisi lain, sebagian kecil negara
justru menganggap kebijakan tersebut merupakan angin segar dan tameng pelindung yang
digelar oleh Amerika Serikat sebagai patronasi mereka dalam bidang perdagangan, ekonomi
politik dan pertahanan. Beberapa sekutu Amerika Serikat mendapat keistimewaan berupa
pengecualian waiver sanksi dari pemerintah untuk melakukan perdagangan persenjataan dari
Rusia11

Sebagai negara adikuasa, hegemoni terhadap negara negara di dunia mutlak harus
dipertahankan. Pengaruh sosial, ekonomi, politik bukan lagi hanya menjadi suatu status atau
simbol prestis yang dibanggakan, bagi negara adikuasa yang telah lama menggengam
pengaruh. Hegemoni merupakan bagian dari kepentingan nasional yang berhubungan
langsung dengan ekonomi, perdagaang, politik dan pertahanan nasional12. Dalam bidang
ekonomi dan perdagangan hegemoni di terjemahkan dalam bentuk penguasaan pasar.
Ketergantungan negara negara dunia terhadap produk barang dan jasa negara hegemon
menjadi tongkat kendali yang kemudian mendikte negara negara untuk tunduk, patuh dan
takut di bawah pengaruh.

10
Reuters (2019, 18 November) Egypt risk U.S sanctions over Russian fighter jet deal: U.S. official.
https://www.reuters.com/article/us-emirates-airshow-usa-egypt/egypt-risks-u-s-sanctions-over-russian-
fighter-jet-deal-u-s-official-idUSKBN1XS203 diakses 10 April 2020.
11
The Hindu Business line (2018,2 Agustus) US Congress Passes Law to Provide Relief for Allies From Sanctions
Against Russia. https://www.thehindubusinessline.com/news/world/us-congress-passes-law-to-provide-relief-
for-allies-from-sanctions-against-russia/article24580123.ece. Diaskes 10 April 2020.
12
Cypher, James M. (2016,Mei), Hegemony, military power projection and US structural economic interest in
the periphery. Third World Quarterly 37, no. 5. https://www.jstor.org/stable/20071018?
seq=1#metadata_info_tab_contents, diakses 10 April 2020.
Di era setelah terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa kebijakan ekonomi dan perdagangan
internasional telah menggantikan peran kekuatan militer sebagai tongkat sakti negara-negara
untuk menerapkan dan menggelar daya gentar deterrence yang dapat menggetarkan hingga
meruntuhkan seluruh sendi-sendi kekuatan suatu negara dari mulai politik, sosial budaya,
ekonomi hingga pertahanan.

Sanksi ekonomi dalam bentuk yang paling sederhana hingga berat seperti tariff, hambatan
perdagangan hingga embargo dan blokade. Menjadi cara berkomunikasi baru negara dalam
menyelesaiakan, konflik, perselisihan atau hubungan internasional yang kurang harmonis.
Dalam hubungan internasional hal tersebut disebut sebagai suatu diplomasi koersif. Kondisi
hubungan internasional antar negara yang semakin kompleks menimbulkan fenomena
ketergantungan internasional dalam segala bidang. Hal tersebut kemudian menimbulkan
sanksi ekonomi memiliki konsekuensi dampak ganda atau multilplier effect terhadap negara
sasaran yang lebih dahsyat dari pada bom dan peluru.

Lantas bagaimana hukum internasional kontemporer memandang mengenai alat baru negara
yang berfungsi sebagai media proyeksi kekuatan. Apakah kemudian penggunana kekuatan
ekonomi dan perdagangan sebagai senjata dalam menyerang, menindas. mengancam atau
memaksa negara lain terebut dibenarkan menurut hukum internasional walaupun banyak
negara merasa dirugikan dan dibelenggu oleh kenyataan tersebut. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Mengacu kepada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tulang punggung
dan dasar prinsip-prinsip hubungan antar negara yang diatur dalam bentuk kesepakatan
internasional. Disebutkan dalam artikel 2 paragraf 4 bahwa negara anggota PBB dilarang
menggunakan kekuatan dalam hubungan internasionalnya dalam melanggar intergritas
kebebasan politik negara lain, atau hal lain yang tidak sejalan dengan tujuan PBB13.

Perlu ditegaskan kembali bahwa Piagam PBB yang telah disahkan dan diratifikasi oleh
negara-negara anggota kemudian tiap-tiap norma di dalamnya berlaku sebagai norma hukum
internasional yang harus dipatuhi dan dijalankan sesuai komitmen negara-negara anggota
tersebut. Dalam hal ini maka piagam PBB merupakan sumber hukum internasional14.
13
Piagam PBB, Artikel
14
Fassbender, Bardo, (1998) The United Nations Charther as a Constitution of The international Community.
Columbia Journal of Transnational Law 36 (3): 529. http://rn9yv7rh8j.search.serialssolutions.com/?
ctx_ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info%3Aofi%2Fenc%3AUTF-8&rfr_id=info%3Asid
%2Fsummon.serialssolutions.com&rft_val_fmt=info%3Aofi%2Ffmt%3Akev%3Amtx
%3Ajournal&rft.genre=article&rft.atitle=The+United+Nations+Charter+as+constitution+of+the+international+c
ommunity&rft.jtitle=Columbia+Journal+of+Transnational+Law&rft.au=Fassbender%2C+Bardo&rft.date=1998-
09-22&rft.pub=Columbia+Journal+of+Transnational+Law&rft.issn=0010-1931&rft.eissn=2159-
1814&rft.volume=36&rft.issue=3&rft.spage=529&rft.externalDBID=BSHEE&rft.externalDocID=A20597156&par
Kembali kepada muatan artikel 2 paragraf 4, Piagam PBB tidak kemudian menjelaskan lebih
lanjut mengenai istilah “use of force” atau penggunaan kekuatan. Apa yang dimaksud
kekuatan dan apa saya yang termasuk dalam kategori kekuatan yang dimaksud. Kekosongan
ini kemudian membuka kesempatan luas bagi negara untuk melakukan interpretasi sepihak
mengenai arti atau maksud dari kata use of force. Sesuai denga nisi Artikel 31 Vieena
Convention on The Law of The Treaties Tahun 1963 disingkat VCLT15.

Secara umum penginterpretasian perjanjian harus dilakukan sesuai dan dalam iktikad baik
sesuai maksud umum, konteks dan tujuan dari perjanjian yang di interpretasikan tersebut 16.
Konteks dan tujuan yang dimaksud termasuk hingga konteks dan tujuan yang tercantum di
dalam artikel tambahan suatu perjanjian berupa preambule dan lampiran. Jika suatu
perjanjian tersebut memuat perjanjian tambahan antara para pihak perjanjian mengenai
bagaimaan interpretasi dilakukan. Hal tersebut wajib juga diperhitungkan. Konteks yang
dimaksud harus sejalan dengan praktek yang dilakukan oleh negara anggota maupun prinsip-
prinsip hukum Internasional.

Sedangkan dalam istilah use of force pada artikel 2 paragraf (4) tidak mengandung lampiran
atau kesepakatan lanjutan yang memuat atau menjelaskan mengenai maksud dari kata use of
force. Di dalam pembukaan atau preambul piagam PBB disebutkan tujuan utama dibentuknya
PBB yaitu : “ untuk menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang. Kata “perang”
dalam kalimat tersebut merujuk pada konflik bersenjata. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk
konteks dari kata “use of force” dalam artikel 2 paragraf 4 Piagam PBB.

Selain itu dengan melihat dari bagaimana praktek negara-negara anggota atau state practie
dalam menjalankan isi artikel 2 paragraf 4 seesuai konteks Piagam PBB. Hingga saat ini
belum pernah terdapat satu pun negara yang menganggap penerapan sanksi ekonomi kepada
suatu negara sebagai pelanggaran terhadap artikel 2 paragraf 4 Piagam PBB tersebut, karea
sanksi ekonomi masuk kedalam kriteria interpretasi use of force. Hingga saat ini Mahkamah
Internasional yang memiliki fungsi untuk memutus perkara Internasional maupun menjawab
pertanyaan organ dan agensi PBB, tidak pernah mengeluarkan putusan ataupun opini juris
mengenai sanksi ekonomi masuk kedalam kriteria use of force.

Walaupun demikian beberapa akademisi yang melakukan interpretasi artikel 2 paragran 4


secara luas berpendapat bahwa use of force dapat di interpretasikan dalam lingkup koersi

amdict=en-US diakses 10 April 2020.


15
Vienna Convention on The Law of Treaties, Artikel 31.
16
Ibid.
ekonomi dan politik termasuk di dalamnya pengenaan sanksi ekonomi 17. Namun pendapat ini
jika diadposi menjadi tidak relevan dan inkonsisten tidak hanya dengan pembukaan Piagam
PBB namun juga muatan artikel 51 Piagam PBB. Artikel tersebut memberikan justifikasi
bagi negara anggota untuk melakukan respon balasan dalam rangka pertahanan diri atau self
defense18 ketika terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota PBB.

Jika interpretasi use of force artikel 2 paragraf 4 diperluas hingga koersi ekonomi politik
termasuk pemberian sanksi ekonomi maka konteks pertahanan diri dalam kondisi di bawah
serangan tersebut tidak relevan. Karena serangan yang dimaksud hanya terbatas dalam
lingkup serangan bersenjata atau menggunakan kekuatan bersenjata. Maka dapat kita
simpulkan bahwa hukum internasional sejauh ini tidak melarang penggunaan diplomasi
koersif dalam bentuk sanksi ekonomi sebagai alat dalam mengancam, menekan dan memaksa
suatu negara. Namun bagaimana dengan CAATSA sebagai kebijakan unilateral apakah hal
tersebut melanggar kedaulatan dan kebebasan negara lain sesuai dengan prinsip Hukum
Internasional.

Kebijakan Nasional Dalam Lingkup Internasional

Di mata Amerika Serikat CAATSA merupakan kebijakan nasional yang ditujukan untuk
sekedar melindungi kepentingan nasional ekonomi Amerika Serikat. Kelancara laju ekonomi,
perdagangan, politik dan pertahanan negara tersebut sangat berkaitan erat dengan pengaruh
global yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap dunia19. Dalam sektor ekonomi
perdagangan, politik maupun pertahanan. Penerapan CAATSA merupakan bentuk tugas dan
tanggung jawab negara dalam menggunakan kekuatan berdaulatnya sovereign powers dalam
membuat dan menjalankan kewenangan sesuai amat konstitusi dan masyarakat. Salah satu
premasalahan utama yang dihadapi oleh Amerika Serikat dalam geopolitik adalah
perlombaan dan persaingan dalam pengembangan teknologi serta alusista20.

Isu pertahanan Amerika Serikat pasca runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda akhir dari
era Perang Dingin, bukan sepenuhnya merupakan isu ancaman keamanan atau keselamatan
17
Michael Wood (2007). International Law and The Use of Forcr : What Happens in Practice. Indian Journal of
International Law. https://legal.un.org/avl/pdf/ls/Wood_article.pdf. Diakses 10 April 2020.
18
Piagam PBB, Artikel 51.
19
Berman, Howard, Paula J. Dobriansky, Sue E. Eckert, Kimberly Ann Elliot, David L.. Goldwyn, Peter Harell,
Theodore Kassinger. (2019, May 27). Maintaining Americas Coercive Economic Strength,
https://search.proquest.com/docview/2280450851?accountid=17242. Diakses 10 April 2020.
20
Watson, Allan. (2010)"US Hegemony and the Obama Administration: Towards a New World
Order." Antipode 42 (2): 242-247.
nasional dari ancaman militer asing. Namun telah bergeser menjadi isu ekonomi.
Perdagangan senjata merupakan bisnis Amerika Serikat yang menyumbangkan rata rata
pendapatan nasional pertahun sebesar USD 143.2 miliar. Dalam perdagangan senjata dunia
Amerika Serikat mengenggam 79.5%21 bagian dari bisnis penjualan senjata. Dalam skala ini
industri pertahanan negara menjadi komponen penting dalam menggerakan perekonomian
negara. Termasuk memberi lapangan pekerjaan dan juga mensejahterakan masyarakat.

Perusahaan-perusahaan besar seperti Lockheed Martin, Boeing, Raytheon, General Dynamics


dan Northrop Grumman menyumbag pemasukan bagi GDP negara melalui ekspor
persenjataan dan alusista. Selain alasan ekonomi dan keamanan terdapat kepentingan lain di
balik penerapan CAATSA yaitu untuk mempertahankan hegemoni Amerika Serikat dalam
geopolitik dan dominasi teknologi terhadap kekuatan militer negara lain. Penggunaan
alusista dari negara lain dan menimbulkan ketergantungan negara pengguna dengan negara
produsen., Melalui monopoli suku cadang, jasa servis, perlengkapan hingga amunisi militer
negara lain akan bertumpu kepada Amerika Serikat. Dengan hal ini akan semakin mudah
suatu negara untuk melakukan kontrol terhadap kekuatan dan kemampuan militer negara lain.

Dominasi teknologi militer merupakan kepentingan klasik Amerika Serikat yang merupakan
warisan sejak era perang dingin. Amerika Serikat dengan lawan politiknya pada saat itu Uni
Soviet, terlibat dalam perlombaan penguasaan dan pengaplikasian teknologi mutakhir
terhadap alusista mereka masing-masing. Hingga Uni Soviet runtuh, warisan tersebut kini
tetap mewarnai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Rusia eks Uni Soviet sebagai
negara tandingan nya22.

Dalam kacamata hukum internasional, penerapan kebijakan CAATSA tidak sama sekali
melanggar suatu perjanjian ataupun kontrak internasional. Pasalnya secara murni CAATSA
bukanlah suatu perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian traktat atau
perjanjian menurut Artikel 2 paragraf (1) huruf a Vieena Convention on The Law of Treaties
1969. Artikel 2 paragraf (1) huruf a23 tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud traktat
adalah suatu kesepakatan internasional yang disepakati antar negara dalam bentuk tertulis dan
21
The Balance,(2020 18 Februari) US Imports and Exports with Compoent and Statistics.
https://www.thebalance.com/u-s-imports-and-exports-components-and-statistics-3306270 diakses 10 April
2020
22
Preble, Christophera(2009), The Power Problem: How American Military Dominance Makes Us Less Safe,
Less Prosperous, and Less Free. 1st ed. Ithaca: Cornell University Press, 2009;2011;. doi:10.7591/j.ctt7z681.
http://remote-lib.ui.ac.id/login?
qurl=ezp.2aHR0cDovL2Vib29rY2VudHJhbC5wcm9xdWVzdC5jb20vbGliL2luZG9uZXNpYXUtZWJvb2tzL2RldGFpbC
5hY3Rpb24.ZG9jSUQ9MzEzNzk5OQ--&ticket=ST-62778-iDa60SiKRwweJrqzvctx-sso.ui.ac.id
23
Vienna Convention on The Law of Treaties 1969, Artikel 2 paragraf (1) huruf a.
diatur oleh hukum internasional. Kebijakan CAATSA tidak memenuhi unsur suatu perjanjian
yang sebelumnya dibuat dan disepakati antar negara.

Oleh karena itu CAATSA bukanah perjanjian internasional yang dapat menjadi dasar objek
gugatan satau penerapan sanksi terhadap uatu negara jika perlanggaran terjadi. CAATSA
merupakan kebijakan nasional suatu negara yang dibentuk dan dijalankan di bawah
kedaulatan negara. Konsep kedaulatan negara itu sendiri diakui di dalam Artikel 2 paragraf
(1) Piagam PBB yang mengenal prinsip hak berdaulat secara setara bagi seluruh negara
anggotanya24. Serta dilarang untuk melakukan intervensi menggunakan kekuatan terhadap
keutuhan territorial atau kebebasa politik negara lain.

Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa penerapan sanksi ekonomi sesuai kebijakan
CAATSA tidak melanggar hukum internasional. CAATSA merupakan suatu kebijakan
nasional suatu negara yang memiliki hak berdaulat untuk membuat dan menerapkan suatu
kebijakan. Dalam lingkup internasional beberapa kebijakan nasional dapat memberikan
pengaruh terhadap negara lain yang menjadi sasaran atau objek, sehingga dapat menimbulkan
akibat atau konsekuensi positif atuapun negative terhadap suatu negara atau kelompok negara
tertentu. Sebagai respon, negara terdampak dapat secara bebas di bawah hak berdaulatnya
untuk membuat kebijakan balasan counter policy serupa atau menerapkan kebijakan lain
sebagai tandingan.

Kesimpulan

Ancaman penerapan dan penerapan kebijakan CAATSA oleh Amerika Serikat dalam bentuk
sanksi ekonomi. Secara garis besar tidak melanggar hukum internasional karena dua hal,
pertama kebijakan diplomasi koersif menggunakan instrument ekonomi dan perdagangan
tidak masuk kedalam perluasan definisi use of force sesuai isi artikel 2 paragraf (4). Kedua
CAATSA pada dasarnya merupakan kebijakan nasional yang dilindungi oleh hak berdaulat
negara untuk membuat dan menjalankanya untuk memenuhi kepentingan nasional.

Namun dalam hukum internasional, ancaman hingga pengenaan sanksi ekonomi merupakan
bukan suatu hal yang remeh, merupakan suatu persoalan yang menjadi pertanyaan serius bagi
hukum internasional kontemporer saat ini, terlebih ketika aspek ekonomi dan perdagangan
menjadi tulang punggung utama penunjang kebutuhan dan kesejahteraan suatu negara.
Mungkin pada suatu waktu di masa depan, embargo, blokade dan hambatan perdagangan
akan menjadi definisi baru dari agresi dan proyeksi kekuatan suatu negara.
24
Piagam PBB, Artikel 2 Paragraf 2.
Pandangan lain menyebutkan bahwa pengenaan sanksi ekonomi dan perdagangan dapat
mengancam perdamaian dan keamanan global serta dapat memicu eskalsai menuju konflik
senjata, jika tidak secara hati-hati dipergunakan. Dalam lingkup tersebut pemeberian sanksi
ekonomi dapat dinilai melanggar artikel 2 paragraf(3) yang menghimbau bahwa seluruh
anggota PBB diharuskan menyelesaikan permasalahan internasional dengan damai, sehingga
tidak membahayakan perdamaian, keamanan dan keadilan dunia.

Bagi Indonesia mungkin sulit untuk menerima konsekuensi tersebut maupun membuat
kebijakan balasan terhadap Amerika Seikat, pasalnya ketergantungan Indonesia dengan
Amerika Serikat dalam bidang perdagangan, ekonomi dan pertahanan. Menjadikan Indonesia
berfikir dua kali untuk menerima konsekuensi sanksi ekonomi. Disisi lain Indonesia tidak
memiliki nilai tawar secara vis-à-vis di hadapan Amerika Serikat jika ingin mendapatkan
pengecualian pengenaan sanksi CAATSA, atau menumbulkan efek kerugian sebanding
kepada Amerika Serikat melalui kebijakan balasan. Counter policy.

Daftar Pustaka

Jurnal :

Allan, Watson, . (2010)"US Hegemony and the Obama Administration: Towards a


New World Order." Antipode 42 (2): 242-247.
Christophera Preble, (2009), The Power Problem: How American Military
Dominance Makes Us Less Safe, Less Prosperous, and Less Free. 1st ed. Ithaca: Cornell
University Press, 2009;2011;. doi:10.7591/j.ctt7z681. http://remote-lib.ui.ac.id/login?
qurl=ezp.2aHR0cDovL2Vib29rY2VudHJhbC5wcm9xdWVzdC5jb20vbGliL2luZG9uZXNp
YXUtZWJvb2tzL2RldGFpbC5hY3Rpb24.ZG9jSUQ9MzEzNzk5OQ--&ticket=ST-62778-
iDa60SiKRwweJrqzvctx-sso.ui.ac.id
Dmitry. Suslov, (2016). "US-Russia Confrontation and a New Global
Balance." Strategic Analysis 40 (6): 547-560.

Fassbender, Bardo, (1998) The United Nations Charther as a Constitution of The


international Community.  Columbia Journal of Transnational Law 36 (3): 529.
http://rn9yv7rh8j.search.serialssolutions.com/?ctx_ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info%3Aofi
%2Fenc%3AUTF-
Halvard, Leira (2019). "The Emergence of Foreign Policy." International Studies
Quarterly 63 (1): 187-198.

Hannah, Allen, Hannah and David J. Lektzian. (2013). "Economic Sanctions: A Blunt
Instrument?" Journal of Peace Research 50, no. 1: 121-135.

Idriss, Jazairy. (2019). "Unilateral Economic Sanctions, International Law, and Human
Rights." Ethics & International Affairs 33 (3): 291-302.

James ,Cypher, M. (2016,Mei), Hegemony, military power projection and US


structural economic interest in the periphery. Third World Quarterly 37, no. 5.
https://www.jstor.org/stable/20071018?seq=1#metadata_info_tab_contents

Jonathan ,Colman (2019) Toward “World Support” and “The Ultimate Judgement of
History” : The U.S Legal Case for the Blockade of Cuba during the Missile Crisis, October-
November 1962. Journal of Cold War Studies 21 (2): 150-173.
http://rn9yv7rh8j.search.serialssolutions.com/?ctx_ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info%3Aofi
%2Fenc%3AUTF-

Nil , Shmuel (2016, Maret 18) Rethinking Economic “Sanctions” International


Studies Review, Volume 18, Issue 4, December 2016. https://remote-
lib.ui.ac.id:2116/10.1093/isr/viv008

O. Singer ,Orbuch, Paul M. and Thomas. (1995). "International Trade, the


Environment and the States: An Evolving State-Federal Relationship." The Journal of
Environment & Development 4 (2): 121-144.

Reed, Wood M. (2008). ""A Hand upon the Throat of the Nation": Economic
Sanctions and State Repression, 1976-2001." International Studies Quarterly 52 (3): 489-513.

Sylvanus Kwaku, Afesorgbor,. (2019). "The Impact of Economic Sanctions on


International Trade: How do Threatened Sanctions Compare with Imposed
Sanctions?" European Journal of Political Economy 56: 11-26.

Tatiana, Anichkina,et.al. (2017). "The Future of US-Russian Nuclear Deterrence and


Arms Control." Bulletin of the Atomic Scientists: After Midnight 73 (4): 271-278.

Van Der Eng , Pierre, (1988, September) Marshall Aid as a Catalyst in the
Decolonization of Indonesia, 1947-49, Journal of Southeast Asian Studies Vol. 19, No.2.
https://www.jstor.org/stable/20071018?seq=1#metadata_info_tab_contents
Wood, Michael (2007). International Law and The Use of Forcr : What Happens in
Practice. Indian Journal of International Law. https://legal.un.org/avl/pdf/ls/Wood_article.pdf

Buku / Artikel

B, Ethan, Kapstein (1994). America's Arms-Trade Monopoly.

Berman, Howard and Paula J. Dobriansky, Sue E. Eckert, Kimberly Ann Elliot, David
L.. Goldwyn, Peter Harell, Theodore Kassinger. (2019, May 27). Maintaining Americas
Coercive Economic Strength, https://search.proquest.com/docview/2280450851?
accountid=17242

Carla ,Norrlof,. (2010). America's Global Advantage: US Hegemony and


International Cooperation.

Chen, Lung-Chu. 2015;2014;. An Introduction to Contemporary International Law: A


Policy-Oriented Perspective. Third ed. US: Oxford University Press.

Cortright, David and George A. Lopez. 2018. Economic Sanctions: Panacea Or


Peacebuilding in a Post-Cold War World?.

Daase, Christopher and Oliver Meier. 2013. Arms Control in the 21st Century:
Between Coercion and Cooperation Taylor and Francis. doi:10.4324/9780203113646.

Didier , Chaudet, , Florent Parmentier, and Benoît Pélopidas. 2013. When Empire


Meets Nationalism: Power Politics in the US and Russia.

Durch, William J. 2016. Constructing Regional Security: The Role of Arms Transfers,


Arms Control, and Reassurance.

Early, Bryan R. and Early Bryan. 2015. Busted Sanctions: Explaining Why Economic
Sanctions Fail. Palo Alto: Stanford University Press.

The Balance,(2020 18 Februari) US Imports and Exports with Compoent and


Statistics. https://www.thebalance.com/u-s-imports-and-exports-components-and-statistics-
3306270

Traktat / Konvensi
United Nations,(1945) Charter of the United Nations.

United States, United States Congress (2017). Countering Americas Adverseries


Through Sanction Act.

Vienna Convention on Law of Treaties (1969).

Berita :

Reuters (2019, 18 November) Egypt risk U.S sanctions over Russian fighter jet deal:
U.S. official. https://www.reuters.com/article/us-emirates-airshow-usa-egypt/egypt-risks-u-s-
sanctions-over-russian-fighter-jet-deal-u-s-official-idUSKBN1XS203

The Balance,(2020 18 Februari) US Imports and Exports with Compoent and


Statistics. https://www.thebalance.com/u-s-imports-and-exports-components-and-statistics-
3306270

The Hindu Business line (2018,2 Agustus) US Congress Passes Law to Provide
Relief for Allies From Sanctions Against Russia.
https://www.thehindubusinessline.com/news/world/us-congress-passes-law-to-provide-relief-
for-allies-from-sanctions-against-russia/article24580123.ece

The Jakarta Post, (2020, Februari 13)Trump threat Spurred to drop Russia, China
arms deals, https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/13/trump-threat-spurred-
indonesia-to-drop-russia-china-arms-deals.html.

The Wall Street Journal (2020, Januari 17) Trump Wields U.S. Economic Might in
Struggles With Allies and Adversaries Alike. https://www.wsj.com/articles/trump-wields-u-s-
economic-might-in-struggles-with-allies-and-adversaries-alike-11579280987.

Anda mungkin juga menyukai