Anda di halaman 1dari 6

secara hukum negara-negara baru yang tergolong sebagai negara berkembang harus

tunduk pada aturan-aturan hukum internasional yang telah ada. Hak menentukan nasib
sendiri (the right of self determination) telah menjadi prinsip dasar hukum internasional
umum yang diterima dan diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat
internasional yang sering disebut dengan Jus Cogens.
self determination lebih dipahami sebagai hak sebuah kelompok atau “bangsa” untuk
mementukan nasib sendiri yang pada titik lebih ekstrim sering dikaitkan dengan
konteks perjuangan untuk mencapai kemerdekaan atau kelahiran sebuah negara
dan memisahkan diri. Hak ini merupakan hak yang sangat kontroversial.
Prinsip self-determination berkembang sebagai respon langsung terhadap keadaan
‘kejahatan’ kolonialisme dan tidak ada keraguan bahwa ‘people’ dibawah dominasi
asing atau negara lain menikmati hak ini. Maksud dari gagasan tersebut sebenarnya
adalah agar diberikan kesempatan pasca perang dunia I berdasarkan asas
demokrasi kepada golongan-golongan minoritas di Eropa untuk menentukan
nasibnya sendiri dengan membentuk negara-negara merdeka yang tidak dimasukan
dalam wilayah negara-negara yang menang perang.
Dari konsep ini jelas bahwa penentuan nasib sendiri didefinisikan sebagai kebebasan
untuk mengatur diri mereka sendiri dalam masyarakat secara bebas untuk
mengembangkan ekonomi, social dan budaya mereka. Adapun aspek-aspek yang
terkandung dalam Hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination),
yaitu :

a. aspek politik, kemampuan dari suatu kelompok orang untuk menunjukan

secara kolektif, nasib politiknya melalui caracara yang demokratis.


b. Aspek ekonomi, penggunaan secara permanen oleh suatu bangsa kedaulatan
atas pemanfaatan sumber daya alam, dan melindungi wilayah mereka dari
kegiatankegiatan eksploitasi oleh perusahaan multinasional yang dapat
merugikan secara ekonomis suku bungsa asli yang mendiami wilayah tersebut.
c. Aspek sosial, tegaknya keadilan sosial, dimana semua bangsa memilikinya, dan
lebih luas lagi, termasuk kepemilikan efektif atas hak sosial masingmasing
bangsa tanpa adanya diskriminasi.

d. Aspek budaya, pengakuan akan hak untuk mmperoleh, menikmati dan


menurunkan warisan kebudayaan, serta penegasan akan hak bagi semua
orang untuk memperoleh pendidikan.

sumber : BMP 4206/ Hukum Internasional


https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/7386/05.2%20bab%202.pdf?s
equence=6&isAllowed=y
https://core.ac.uk/download/pdf/25496573.pdf

1. 2) referendum timor leste dapat dikatakan sebagai bentuk self determination. dengan
munculnya Gerakan militer pro kemerdekaan pun mulai melancarkan perlawanan
dan kampanye melalui dunia internasional. Dalam kampanye mereka, gerakan pro
kemerdekaan berpendapat bahwa rakyat Timor Timur belum melaksanakan dan
mendapatkan hak penentuan nasib sendiri. Apa yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia merupakan suatu bentuk pencaplokan wilayah. Sementara Indonesia
berpendapat bahwa proses dekolonisasi telah berakhir dengan keluarnya Portugis
dari wilayah tersebut, dan rakyat Timor Timur melalui majelis yang dibentuk melalui
mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat Timor Timur sendiri telah memutuskan
untuk berintegrasi dengan Indonesia. Berarti rakyat Timor Timur telah
melaksanakan hak penentuan nasib mereka sendiri. Akan tetapi PBB tidak
mengakui legitimasi dari majelis yang dibentuk pada masa pemerintahan sementara
Indonesia tersebut, dan menganggap apa yang dilakukan oleh Indonesia
merupakan suatu bentuk aneksasi, serta tetap mengakui Portugis sebagai negara
pengurus (administering) yang sah dari wilayah Timor Timur.
setalah itu Pada awal juni 1998 Pemerintah Indonesia dibawah Presiden B.J
Habibie telah mengajukan gagasan untuk menerapkan suatu “status khusus
dengan otonomi luas” (special status with wide-ranging autonomy) di Timor-timor
sebagai salah satu formula penyelesaian akhir, menyeluruh dan adil terhadap
masalah Timor-Timur. Kebijakan ini selanjutnya dikenal sebagai opsi kesatu.
Portugis pun menyambut baik gagasan ini dan bersedia melanjutkan dengan proses
dialog segitiga dan melibatkan rakyat Timor Timur dalam upaya mencari
penyelesaian.
pada tanggal 27 Januari 1999 Pemerintah Indonesia mengumumkan alternatif
penyelesaian yakni apabila mayoritas rakyat Timor Timor menolak akhirnya
menolak kebijakan otonomi luas setelah mengalami suatu kebersamaan sejarah
dengan Indonesia selama 23 tahun terakhir, namum selanjutnya mereka rasakan
kebersamaan itu tidak mencukupi untuk tetap bersatu dalam wadah negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka adalah wajar dan bijaksana bahkan
demokratis dan konstitusional jika Pemerintah mengusulkan kepada wakil-wakil
rakyat pada sidang umum MPR agar dapat mempertimbangkan pemisahan Timor
Timur dari NKRI secara damai, baik-baik dan terhormat. Kebijakan pemerintah ini
dikenal sebagai Opsi Kedua.
yang pada akhirnya dalam referendum rakyat Timor Timur dengan hak penentuan
nasib sendiri memulai proses transisi menuju kemerdekaan dan Indonesia
meninggalkan Timor Timur pada tanggal 28 September 1999. Indonesia dan
Portugis sepakat bahwa PBB mengambil alih otoritas atas Timor Leste.

sumber : BMP 4206/ Hukum Internasional


https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/7386/05.2%20bab%202.pdf?s
equence=6&isAllowed=y
https://core.ac.uk/download/pdf/25496573.pdf

2. 1) dalam kasus Milosevic dan mantan petinggi Yugoslavia lainnya lebih banyak
menggunakan hukum internasional karena kasus kejahatan perang dan kejahatan
perang dan terhadap kemanusiaan atas perannya dalam konflik Balkan. Ia dituduh
berada di belakang agresi militer Serbia dan melakukan pemusnahan etnis secara
kejam setelah Yugoslavia runtuh tahun 1990-an. Ia juga terlibat dalam kejahatan-
kejahatan serupa di Kosovo dan Kroasia merupakan kejahatan internasional dan
genocide yang merampas hak-hak asasi dan kebebasan individu.
salah satu konsep penting dalam hubungan internasional adalah konsep kekuatan
(power). dalam hubungan internasional kekuatan berarti tingkat sumber,
kemampuan dan pengaruh dalam hubungan internasional. biasanya kekuatan
dibagi menjadi hardpower yang berarti kekuatan hubungan dengan penggunaan
kekuatan (use of force), dan softpower yang biasanya mencakup pengaruh
ekonomi, diplomasi dan budaya.
dalam sistem PBB maka penggunaan kekerasan dilarang. mengenai ketentuan ini
terjadi perbedaan penafsiran. bagi negara maju penafsiran bahwa yang dilarang
adalah larangan penggunaan kekerasan dengan menggunakan kekuatan militer,
sedangkan bagi negara berkembang hal ini ditafsirkan bahwa penggunaan
kekuatan militer dalam arti luas tidak hanya militer tetapi juga penggunaan kekuatan
ekonomi.
hukum internasional pada hakikatnya mempunyai kelemahan-kelemahan seperti
tidak adanya bdan legislatif, tidak adanya pemerintah eksekutif dan tidak adanya
pengadilan, namun kelemahan-kelemahan tersebut tidak berarti bahwa hukum
internasional tidak bersifat hukum. hukum internasional mempunyai mekanismenya
sendiri untuk membuat perjanjian, adanya cara sendiri untuk penegakan hukum.

sumber : BMP 4206/ Hukum Internasional

2. 2) hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dapat menimbulkan


permasalahan praktis, apabila terdapat konflik antara kedua sistem hukum tersebut,
misalnya bagaimana bila kedua sistem hukum tersebut dapat diterapkan dalam
suatu kasus. persoalannya kemudian adalah, hukum internasional ataukah hukum
nasional yang akan lebih diutamakan. sebagai contoh, bahwa setiap negara yang
merdeka dan berdaulat mempunyai kewenangan sepenuhnya atas wilayahnya dan
atas orang-orang yang ada didalam wilayahnya. namun demikian, hukum nasional
dapat tidak diberlakukan terhadap orang-orang yang diakui oleh hukum
internasional mempunyai kekebalan (immunity) dan keistimewaan (privilege),
misalnya para diplomat, karena berlakunya suatu perjanjian internasional yaitu
konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatic. permasalah lain adalah,
bagaimana ketentuan-ketentuan hukum internasional dapat mempengaruhi hukum
nasional negara-negara. telah dijelaskan bahwa, hukum internasional memuat
aturan-aturan hukum nasional, karena aturan-aturan hukum internasional harus
dilaksanakan oleh otoritas nasional, dimana otoritas peradilan nasional dihadapkan
pada keadaan ini. sementara itu, hukum internasional tidak mengatur bagaimana
cara melaksanakan dan memaksa berlakunya aturan-aturan hukum internasional
pada tingkat nasional. akibatnya, konstitusi setiap negara bebas menentukan cara
masing-masing untuk melaksanakan perjanjian-perjanjian internasional dan
kebiasaan internasional. untuk memperoleh kejelassan persoalan hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional, perlu dipahami adanya perbedaan
pendapat mengenai apakah hukum internasional dan hukum nasional merupakan
satu sistem hukum atau merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan tidak ada
saling ketergantungan.
terdapat dua teori utama tentang hubungan hukum internasional dan hukum
nasional, yaitu teori monisme dan teori dualisme.
teori monisme mempunya konsep kesatuan hukum, bahwa hukum merupakan satu
cabang pengetahuan dan bahwa hukum Internasional dan hukum nasional
merupakan satu cabang pengetahuan dan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan satu kesatuan hukum yang sama. bilamana terjadi konflik
antara hukum internasional dan hukum nasional, penganut teori monisme,
berpendapat bahwa hukum internasional yang seharusnya diberlakukan. penganut
teori monisme berpendapat bahwa hukum internasional yang seharusnya
diberlakukan. penganut teori monisme diantaranya Kelsen, mengakui superioritas
hukum internasional. dalam pandangan kelsen, hukum internasional dan hukum
nasional adalah bagian dari sistem norma yang sama, bahwa hukum internasional
dan hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum. kelsen berpandangan
bahwa hukum ionternasional merupakan kaidah hukum yang secara hierarkis lebih
tinggi daripada hukum nasional, sehingga bilamana hukum nasional tidak konsisten
dengan hukum internasional, maka hukum nasional secara secara otomatis tidak
berlaku (null and void) dan hukum internasionalyang akan langsung diterapkan.
Lauterpacht juga mengukuhkan supremasi hukum internasional dalam wilayah
hukum nasional.
Teori hukum dualisme lebih menekankan pada aspek kedaulatan negara. teori
dualisme meyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional adalah dua
sistem hukum yang berbeda. Triepel, penganut dualisme membedakan hukum
inetrnasional dari hukum nasional dengan menyatakan bahwa hukum initernasional
mengatur hubungan antara negara dengan negara, sedangkan hukum nasional
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang perorang dalam wilayah suatu
negara, dan sumber hukum hukum dari hukum internasional berbeda dari hukum
nasional. Anzilotti lebih menekankan perbedaan antara hukum internasional dan
hukum nasional pada asas berlakunya hukum, yaitu asas pacta sunt servanda
untuk berlakunya hukum internasional, dan “pertauran perundang-undangan” untuk
berlakunya hukum nasional. negara-negara memiliki kebebasan untuk mengatur
bagaimana prosedur pemberlakuan suatu perjanjian initernasional ke dalam sistem
hukumnya. prosedur yang banyak dipakai oleh negara-negara adalah specific
adoption, iinkorporasi dan transformasi. sebelum dilakukan specific adoption,
iinkorporasi dan transformasi perjanjian internasional tidak dapat diberlakukan
dalam bidang nasional.

sumber : BMP 4206/ Hukum Internasional

Anda mungkin juga menyukai