Anda di halaman 1dari 10

HUKUM HUMANITER: DALAM KONFLIK BERSENJATA ANTARA RUSIA DAN

UKRAINA PADA TAHUN 2022


Dosen Pengampu: Dyah Lupita Sari S. IP, M. Si.

Disusun oleh:
Dinda Sania Arinta Putri 151210114
Aqil Herista Maalik 151210154
Rafael Kaisar Gultom 151210162

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2022
A. PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan bermasyarakat tentu saja menemui sebuah konflik yang
tidak dapat terhindarkan, tak terkecuali dalam ketatanegaraan. Setiap negara pasti
memiliki kepentingan dan tujuan masing-masing yang akan dicapai sehingga berusaha
mencari cara untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan. Tak sedikit negara-negara
tersebut menggunakan cara kekerasan seperti halnya berperang ketika cara damai
seperti negosiasi tidak membuahkan hasil. Salah satu contohnya adalah konflik antara
Rusia dan Ukraina yang pada awal tahun 2022 Rusia melakukan invasi ke wilayah
Ukraina. Kondisi antara kedua negara hingga saat ini kian memanas, banyak negara
melakukan intervensi terhadap kedua negara rersebut. Sebelum Uni Soviet dibubarkan
pada tahun 1991, Ukraina masih satu bagian dari wilayah Soviet hingga pada akhirnya
memisahkan diri dari Uni Soviet dan menjadi negara yang berdaulat secara hukum.
Runtuhnya Uni Soviet menimbulkan lahirnya The Commonwealth of Independent
States (CIS) atau Persemakmuran Negara-Negara Merdeka. Pada tahun 1992 Rusia dan
Ukraina menjalin hubungan diplomatik di berbagai bidang yang berujung kesepakatan
Perjanjian Persahabatan, kerja sama, dan kemitraan pada tahun 1997.
Naiknya Presiden Viktor Yushchenko yang pada prakteknya cenderung lebih
condong ke Barat menyebabkan hubungan antar kedua negara memanas. Kemudian
pada tahun 2010, Viktor Yanukovych naik jabatan sebagai Presiden Ukraina pro Rusia.
Presiden Yanukovych pada tahun 2014 menolak untuk bekerja sama di bidang ekonomi
dengan Uni Eropa dan memilih untuk menjalin kerja sama dengan Rusia. Penduduk
Ukraina pro Eropa melancarkan aksi demonstrasi nya di Kiev, Ibukota Ukraina. Konflik
antar kedua negara makin memburuk ketika Rusia melakukan tindakan aneksasi
wilayah Krimea di Ukraina. Secara historis, Krimea merupakan bagian dari Ukraina
yang kemudian pada tahun 2014 Rusia menganeksasi wilayah tersebut. Pergolakan
terus terjadi hingga pada akhirnya parlemen Krimea mengadakan referendum dengan
mosi kesediaan masyarakat Krimea untuk bergabung dengan Rusia atau tetap menjadi
bagian Ukraina. Masyarakat Krimea mayoritas menyuarakan untuk bergabung dengan
Rusia. Situasi tersebut menyebabkan hubungan kedua negara memanas dan Ukraina
memutuskan untuk keluar dari CIS pada tahun 2018.
Pergolakan antara Rusia – Ukraina memuncak pada awal tahun 2022 tepatnya
pada tanggal 24 Februari terjadi invasi Rusia ke Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin
melalui pidatonya mengakui dua wilayah Ukraina yang pro terhadap Rusia yaitu
Donetsk dan Luhansk yang kemudian menandatangani kemerdekaan atas kedua
1
wilayah tersebut. Penandatanganan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk dinilai untuk
memudahkan aksi penyerangan Rusia karena kedua wilayah tersebut berbatasan
langsung dengan Ukraina. Kedekatan Ukraina dengan negara Uni Eropa dan juga
negara-negara Barat menjadi salah satu penyebab utama di dalam konflik ini.
Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty
Organization mengakibatkan timbulnya penolakan oleh Rusia. Rusia menganggap
bahwa hal tersebut menjadi sebuah ancaman jika Ukraina bergabung dengan NATO.
Oleh karena itu, pada awal tahun 2022 Rusia mulai melancarkan aksinya dengan
menginvasi secara besar-besaran ke wilayah Ukraina dengan menjatuhkan misil ke
beberapa kota di Ukraina termasuk Kyiv serta tentara Rusia masuk ke wilayah Ukraina
melalui Rusia dan Belarusia via Laut Hitam. Putin menyatakan bahwa invasi tersebut
memang dibutuhkan untuk menjaga keamanan dari ancaman Ukraina.
Sejak bulan Februari 2022 serangan yang dilakukan oleh Rusia semakin
meningkat, pasukan Rusia berlapis baja terlihat dari satelit membentang sejauh 65 km
menuju ibu kota Kyiv. Serangan udara juga dilancarkan untuk membombardir pusat-
pusat kota dan gedung pemerintahan di wilayah Kharkiv. Selain itu, pelabuhan-
pelabuhan strategis Odesa dan Mariupol di Selatan wilayah Ukraina juga terkena
dampak dari penyerangan rudal yang dikirim Rusia. Konflik yang terus berkepanjangan
ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, banyak warga sipil yang kehilangan
nyawanya akibat dari peperangan ini. Terhitung sejak konflik terjadi, sebanyak 7,1 juta
jiwa penduduk telah mengungsi dan 8 juta penduduk melarikan diri dari Ukraina. Selain
itu, sebanyak 15,7 juta jiwa penduduk masih terjebak dengan minimnya akses untuk
mendapatkan bahan pokok dan layanan fasilitas. Invasi yang dilakukan oleh Rusia
mendapatkan kecaman dari berbagai negara karena dianggap telah melanggar hak asasi
manusia di dalam Hukum Humaniter Internasional. Oleh karena itu, tulisan ini akan
menganalisis tindakan Rusia yang melanggar hukum humaniter internasional serta
sanksi kepada Rusia yang diberikan oleh PBB untuk mempertanggungjawabkan atas
penyerangan yang telah dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya,
maka dari tulisan ini nantinya akan membahas mengenai pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional yang dilakukan dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina pada
tahun 2022 serta bagaimana respons PBB dan ICC menanggapi invasi tersebut.
2
C. TINJAUAN HUKUM
Konflik bersenjata merupakan suatu sengketa bersenjata antara dua negara atau
lebih, sengketa antara pemerintahan negara dengan pemberontak, dan segala bentuk
sengketa lainnya baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. Dalam
konflik bersenjata penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak yang bertikai.
Dimana dalam konflik bersenjata seringkali terjadi kekejaman dan kekerasan yang
tidak manusiawi. Oleh karena itu, untuk merespons tindakan perang yang sudah tidak
dapat terhindarkan ini, dunia internasional melahirkan sebuah hukum internasional
untuk membatasi dampak dari peperangan, yaitu Hukum Humaniter Internasional.
Menurut International Committee of The Red Cross (ICRC) atau Komite Palang Merah
Internasional menyatakan bahwa Hukum Humaniter Internasional merupakan
seperangkat hukum yang mengatur dalam alasan kemanusian untuk membatasi dampak
dari konflik bersenjata. Hukum ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tidak
berpartisipasi di dalam konflik serta membatasi cara untuk berperang.
Keseluruhan dari rangkaian hukum humaniter ini secara umum dapat dijelaskan
melalui Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap korban
dari peperangan dan berisikan empat konvensi serta dua protokol tambahan; Konvensi
Den Haag 1889 yang berisikan mengenai tata cara serta alat yang digunakan saat
berperang. Seiring perkembangannya, Konvensi Jenewa mulai dikembangkan dan
ditambahkan melalui dua kesepakatan yaitu Protokol Peraturan Tambahan I dan II
tahub 1977 yang berhubungan dengan perlindungan terhadap korban dari konflik
bersenjata. Menurut Schlinder melalui Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 terdapat jenis konflik bersenjata, yaitu Konflik bersenjata internasional dan
Konflik bersenjata non-internasional. Konflik bersenjata internasional sendiri secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai konflik yang melibatkan dua atau lebih negara.
Perihal instrumen hukum serta aturan ditekankan dalam pasal 1 ayat (4) Protokol
Tambahan pada Konvensi Jenewa 12 Agustus bahwa konflik bersenjata di mana rakyat
melawan kolonial dominasi dan pendudukan asing dan melawan rezim rasis, dalam
pelaksanaannya hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti yang diabadikan dalam
Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Internasional. Selain itu, melalui pasal 2
Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan bahwa konflik bersenjata internasional yang
melibatkan dua atau lebih negara atau dengan aktor selain negara baik yang
pernyataannya diumumkan maupun hanya diakui oleh salah satu negara saja.

3
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Humaniter Internasional dalam konflik Rusia-Ukraina
Konflik antara Ukraina dengan Rusia terkait Crimea yang berujung pada
reunifikasi Krimea dengan Rusia merupakan suatu bentuk International Armed
Conflict atau konflik bersenjata internasional. Berdasarkan Konvensi Jenewa pada
Article dua hingga empat Konvensi Jenewa didapatkan bahwa definisi dari
International Armed Conflict dapat diaplikasikan pada semua kasus dimana perang
dideklarasikan atau terjadi konflik bersenjata yang terjadi oleh dua atau lebih pihak.
Tergulingnya presiden menambah kekacauan dan konflik di wilayah Ukraina
hingga menimbulkan efek di Semenanjung Ukraina Selatan, tempat dimana
pangkalan militer Rusia berada. Semenanjung Ukraina Selatan merupakan tempat
milisi pro Rusia berada, mereka menyandera gedung pemerintahan dan menggelar
referendum secara sepihak, referendum tersebut dimenangkan oleh kubu pro Rusia,
pemerintah Ukraina tidak bisa menangani kondisi dalam negerinya karena khawatir
akan ada intervensi dari Rusia
Dalam konflik bersenjata internasional kedua belah pihak adalah negara,
sedangkan konflik bersenjata non-internasional status hukum kedua pihak tidak
sama, yaitu pihak yang satu merupakan satu negara dan pihak lain bukan satu
negara, atau dapat digambarkan sebagai terjadinya situasi dimana pertempuran
antara angkatan bersenjata yang terorganisir dalam suatu wilayah negara.
Perkembangan selanjutnya konflik bersenjata Rusia-Ukraina telah berubah menjadi
konflik bersenjata internasional, hal ini disebabkan oleh adanya intervensi dari
rusia, tindakan tersebut dalam hukum humaniter tidak dilarang tetapi juga harus
dilihat motif dan alasannya serta dampak siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Hukum Humaniter Internasional menyebutkan ketentuan mengenai kewajiban
internasional semua negara untuk menghormati persamaan kedaulatan negara, tidak
menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah,
tidak mencampuri urusan dalam negeri. Suatu negara dan berusaha menyelesaikan
pertikaian dengan cara damai. Perubahan jenis konflik bersenjata akibat adanya
pengakuan atau bantuan dari negara ketiga, maka sebuah konflik dimungkinkan
untuk berkembang
Dalam hal ini Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban perang
mulai diberlakukan, tetapi apabila memang pendudukan tidak didahului oleh
sebuah perlawanan, anggota-anggota militer yang tertawan oleh musuh tidak
4
memiliki hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Akibat konflik
bersenjata timbul banyak korban, baik dari pihak kombatan maupun orang-orang
sipil, maka konflik bersenjata tersebut mendapat pengaturan dalam beberapa
Konvensi, seperti Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol
Tambahan I dan II 1977. Ketentuan tersebut bertujuan mencegah atau melindungi
korban konflik bersenjata, supaya terhindar dari tindakan kekerasan yang berakibat
buruk terutama bagi orang yang sudah tidak berdaya. Pihak yang terlibat dalam
konflik bersenjata wajib melindungi anggota angkatan bersenjata musuh yang telah
jatuh ke tangannya dan bagi orang-orang sipil dari berbagai tindakan kekerasan
untuk tidak dianiaya, disiksa, diperkosa dan dibunuh. Pasal 3 Konvensi Jenewa
1949 mengatur tentang perlindungan dalam konflik bersenjata non internasional.
Pasal 3 menentukan bahwa pihak-pihak yang bertikai dalam wilayah suatu negara
berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang tidak turut secara aktif dalam
pertikaian, termasuk anggota angkatan bersenjata/kombatan yang telah meletakkan
senjatanya tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, ditahan dan sebab lainnya
untuk diperlakukan secara manusiawi atau mereka dilarang melakukan tindakan
kekerasan terhadap jiwa dan raga atau menghukum tanpa diadili secara sah.
Perlindungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvensi Jenewa IV
adalah tidak sama dengan “orang yang dilindungi” yang diatur dalam Konvensi
Jenewa I, II, dan III yang perlindungannya ditujukan kepada kombatan atau orang
yang ikut serta dalam permusuhan, sedangkan perlindungan terhadap penduduk
sipil, ditujukan bagi orang-orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan (Pasal 27
Konvensi Jenewa IV 1949). Dalam kaitan ini, pihak-pihak yang bertikai dilarang
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut. Pertama, memaksa, baik jasmani
maupun rohani untuk memperoleh keterangan; kedua, menimbulkan penderitaan
jasmani; ketiga, menjatuhkan hukuman kolektif; keempat, mengadakan intimidasi,
terorisme dan perampokan; kelima, tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil;
dan keenam, menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera.

2. Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional dalam invasi Rusia ke Ukraina


Tindakan agresi yang dilakukan oleh Rusia tidak berdasarkan alasan yang
dibenarkan oleh PBB, karena agresi tersebut tidak dalam rangka self-defense atau
peacekeeping yang telah disetujui dan disepakati oleh Dewan Keamanan PBB, tetapi
agresi tersebut diprovokasi karena alasan teritorial. perselisihan dan masalah politik
5
antara negara bagian Rusia dan Ukraina tidak dapat dibenarkan. Selama invasi, ada
dugaan serangan terhadap warga sipil objek (objek sipil) yaitu masyarakat Ukraina
termasuk pelanggaran hukum kemanusiaan internasional. Selama invasi, di kota Bucha,
Ukraina Sekitar 300 jenazah warga Ukraina telah ditemukan. Dengan ditemukannya
ratusan jenazah warga sipil yang diduga menjadi korban Invasi yang dipimpin Rusia
termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia karena disebabkan oleh masyarakat
sipil dalam hukum humaniter Inklusi internasional dalam properti sipil sama sekali
tidak diperbolehkan digunakan sebagai sasaran militer, belum lagi serangan
mematikan. Meskipun terjadi penyerangan terhadap harta benda sipil, bahkan
menyebabkan kematian. Hal tersebut termasuk kedalam pelanggaran HAM. Jadi, dapat
dikatakan bahwa Rusia telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum
humaniter internasional yang disebabkan oleh kematian massal warga sipil di kota
Bucha diyakini akibat invasi Rusia-Ukraina. Karena dalam Konvensi Jenewa 1949
yang berlaku untuk konflik bersenjata internasional dan non-internasional mencakup
hal-hal penting, mulai dari perlakuan korban perang sampai larangan terhadap warga
sipil, karena ada perbedaan bagi pihak-pihak dalam konflik bersenjata, khususnya
pembedaan antara harta milik militer dan milik sipil. Sasaran militer atau objek militer
adalah objek militer yang dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap
operasi militer yang sedang berlangsung dan apabila dihancurkan, dapat memberi
keuntungan, sedangkan objek sipil atau warga sipil yang masing-masing menjadi
sasaran non-militer dari warga sipil semuanya tidak dapat diserang, tidak dapat
berpartisipasi dalam operasi atau pertempuran militer dan mereka tidak dapat dijadikan
atau menjadi sasaran serangan militer yang sedang berlangsung. Maka jika terdapat
perang maupun aksi militer, sasaran yang diserang atau yang dilakukan mengenai dan
mencederai objek sipil maka negara tersebut telah melakukan pelanggaran hukum
perang atau pelanggaran hak asasi manusia

3. Upaya yang dilakukan oleh PBB dan ICJ mengatasi pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional dalam invasi Rusia ke Ukraina
Dewan keamanan PBB sangat mencegah terjadi nya konflik bersenjata dari
awal, akan tetapi ketika konflik tersebut mengemuka yang paling pertama dicari adalah
solusi diplomatik, dan jika konflik tersebut masing berlanjut, Dewan Keamanan akan
terus berupaya mencapai gencatan senjata dan mengerahkan pasukan penjaga
perdamaian yang tersedia. Anggota Dewan Keamanan dapat meminta PBB untuk
6
menjatuhkan sanksi dan sebagai upaya akhir, dan dapat mengizinkan tindak militer
terhadap pihak agresor, maka dari itu semua negara yang tergabung dalam anggota PBB
harus mematuhi keputusan yang telah diambil oleh Dewan Keamanan. Jika benar
adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Rusia terhadap warga negara maka
Negara Ukraina bisa menerapkan prinsip menurut prinsip the Restatement of the
Foreign Relations Law of the United States 3rd, yaitu Negara Ukraina dapat menuntut
menggunakan standar hak asasi manusia di latar belakang asal mereka yaitu prinsip
general principles of law recognized by civilized nations.
Dilaporkan bahwa Ukraina telah mengadu ke International Court of Justice
(pengadilan internasional) terhadap invasi negara Rusia, yang merujuk pada dugaan
genosida. Selain itu, Majelis Umum memilih untuk mengecualikan Rusia dari Dewan
Hak Asasi Manusia PBB pada 7 Maret 2022 pada pertemuan negara-negara anggota
PBB dan Dewan PBB. Itu dilakukan setelah invasi negara Rusia ke Ukraina, yang
mengakibatkan pelanggaran brutal dan sistematis serta pelanggaran hak asasi manusia
terkait dugaan pembantaian oleh tentara Rusia terhadap ratusan warga sipil di kota
Bucha. Hasil pemungutan suara tersebut, 93 negara mendukung, 2 negara menolak, dan
58 negara tidak hadir. Selain itu, Rusia menerima berbagai sanksi politik ekonomi dari
partai politik, seperti sanksi Amerika yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden, yaitu
sanksi Washington. dua bank milik Rusia, State Development Bank Vnesheconombank
(VEB) dan Promsvyazbank Public Joint Stock Company (PSB), sanksi Jepang yang
diumumkan oleh Perdana Menteri Fumio Kishida melarang penerbitan obligasi Rusia
di Jepang dan membekukan aset beberapa orang Rusia, orang Eropa . membatasi akses
Moskow ke ibu kota negara-negara Uni Eropa dan pasar keuangan, Inggris membatasi
kemampuan negara Rusia dan perusahaan Rusia untuk mendapatkan dana dari pasar
Inggris untuk melarang ekspor teknologi tinggi dan mengisolasi bank Rusia, Jerman
Kanselir Olaf Scholz mengumumkan bahwa Jerman menyelesaikan proses sertifikasi
untuk pipa gas Nord Stream 2 Rusia senilai $11,6 miliar, Ukraina memberlakukan
sanksi terhadap 351 orang Rusia yang mendukung pengakuan kemerdekaan Donetsk
dan Luhansk, menolak akses ke aset, modal, real estat, dan bisnis lisensi.

7
D. KESIMPULAN
Konflik antara Ukraina dengan Rusia terkait Crimea yang berujung pada reunifikasi
Krimea dengan Rusia merupakan suatu bentuk International Armed Conflict atau konflik
bersenjata internasional. Dalam hal yang seperti ini Konvensi 1949 mengenai perlindungan
korban perang mulai diberlakukan. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah atau
melindungi korban konflik bersenjata, supaya terhindar dari tindakan kekerasan yang
berakibat buruk terutama bagi orang yang sudah tidak berdaya. Konflik bersenjata
merupakan suatu peristiwa yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan antara pihak-
pihak yang bertikai. Dalam kaitan ini, pihak-pihak yang bertikai dilarang melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut. Tindakan agresi yang dilakukan oleh Rusia tidak
berdasarkan alasan yang dibenarkan oleh PBB, karena agresi tersebut tidak dalam rangka
self-defense atau peacekeeping yang telah disetujui dan disepakati oleh Dewan Keamanan
PBB, tetapi agresi tersebut diprovokasi karena alasan teritorial. Jadi, Dapat dikatakan bahwa
Rusia telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional
yang disebabkan oleh kematian massal warga sipil di kota Bucha diyakini akibat invasi
Rusia vs Ukraina.
Dewan keaman PBB sangat mencegah terjadi nya konflik bersenjata dari awal, akan
tetapi ketika konflik tersebut mengemuka yang paling pertama dicari adalah solusi
diplomatik, dan jika konflik tersebut masing berlanjut, Dewan Keamanan akan terus
berupaya mencapai gencatan senjata dan mengerahkan pasukan penjaga perdamaian yang
tersedia. Anggota Dewan Keamanan dapat meminta PBB untuk menjatuhkan sanksi dan
sebagai upaya akhir, dan dapat mengizinkan tindak militer terhadap pihak agresor, maka
dari itu semua negara yang tergabung dalam anggota PBB harus mematuhi keputusan yang
telah diambil oleh Dewan Keamanan. Itu dilakukan setelah invasi negara Rusia ke Ukraina,
yang mengakibatkan pelanggaran brutal dan sistematis serta pelanggaran hak asasi manusia
terkait dugaan pembantaian oleh tentara Rusia terhadap ratusan warga sipil di kota Bucha.
Selain itu, Rusia menerima berbagai sanksi politik ekonomi dari partai politik, seperti sanksi
Amerika yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden, yaitu sanksi Washington

8
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Melzer, N. (2019). Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Jakarta: ICRC.

Jurnal
Daugirdas, K., & Mortenson, J. D. (2014). Contemporary Practice of the United States Relating
to International Law. American Journal of International Law. Vol. 108, No. 1, Hlm. 94–
115.

Mumtazinur. (2019). Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum Humaniter


Internasional (Konvensi Jenewa 1949) Studi Kasus: Pelanggaran HAM Berat untuk Bekas
Negara Yugoslavia. Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-Undangan Dan
Pranata Sosial. Vol. 8, No. 2, Hlm.117–128.

Satura, G. A. (2022). Pertanggungjawaban Rusia Atas Invasi Terhadap Ukraina. Jurnal Ilmu
Hukum: ALETHEA. Vol. 5, No. 1, Hlm. 73–90.

Website dan Artikel


Hrw.org. (23 Februari 2022). Russia, Ukraine & International Law: On Occupation, Armed
Conflict and Human Rights. Diakses pada 15 Desember 2022. Dari:
https://www.hrw.org/news/2022/02/23/russia-ukraine-international-law-occupation-
armed-conflict-and-human-rights

Icrc.org. (2 November 2022). Russia-Ukraine international armed conflict: Immense damage


to essential infrastructure will cause major suffering as winter looms. Diakses pada 15
Desember 2022. Dari: https://www.icrc.org/en/document/russia-ukraine-international-
armed-conflict-immense-damage-essential-infrastructure

Kusumagandhi, N. N. D. C., & Yasam, M. M. 2019. Pengaturan Mengenai Larangan


Penangkapan Perlakuan dan Penahanan Sewenang-wenang; Penghilangan Paksa; dan
Penyiksaan Dalam Hukum Internasional. Diakses pada 15 Desember 2022.

Risdaryanto, Dean. (10 Mei 2022). Kuliah Tamu Bagian HI: Soroti perang Rusia-Ukraina dan
Implementasi Hukum Humaniter di Tengah Konflik Bersenjata. Diakses pada: 15
Desember 2022. Dari: https://fh.unair.ac.id/kuliah-tamu-bagian-hi-soroti-perang-rusia-
ukraina-dan-implementasi-hukum-humaniter-di-tengah-konflik-bersenjata/

Anda mungkin juga menyukai