Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN PERANG UKRANIA-RUSIA

A. PENDAHULUAN
Beberapa waktu yang lalu kita pernah mendengar bahwa ada prediksi 20
tahun kedepam tidak akan ada invasi ke Indonesia. Pernyataan ini menuai banyak
kontroversi dan sempat menjadi perdebatan publik. Terlepas dari benar atau
tidaknya prediksi tersebut sejarah mencatat bahwa dalam usaha untuk meramal
tentang kapan, dimana, siapa yang akan terlibat, dan mengapa suatu konflik dapat
terjadi, banyak negara bahkan negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa mengalami kegagalan (Cohen, 2020). Hal ini menunjukan
bahwa dalam menyusun kekuatan pertahanan sebuah negara tidak bisa secara
meyakinkan bergantung pada hasil prediksi yang dalam 20 tahun kebelakang tidak
menunjukan hasil yang akurat. Hal ini juga pernah disampaikan oleh U.S. Secretary
of Defense Robert Gates “Since Vietnam, we have never once gotten it right…” yang
kurang lebih artinya “Sejak perang Vietnam kita (US) tidak pernah sekalipun
melakukannya dengan benar (Prediksi Konflik).
Keadaan ini juga semakin dibuktikan dengan pecahnya perang terbuka antara
Ukrania dan Rusia yang terjadi pada Februari lalu. Konflik ini menunjukan bahwa
kesiapan sebuah negara terhadap kemungkinan konflik menjadi sangat penting
terlepas dari apapun prediksi yang dapat disimpulkan dan analisa strategis dari
setiap konflik sangat diperlukan untuk mempelajari “the Nature of the conflict” dan
dampak dari konflik tersebut baik yang positif maupun negatif serta meminimalisir
resiko yang mungkin terjadi sebagai dampak sistemik dari konflik tersebut. Oleh
karena itu maka kajian ini akan membahas konflik yang saat ini sedang terjadi
antara Ukrania dan Rusia serta mengkaji secara lebih dalam tentang dampak apa
saja yang sedang dan kemungkinan akan berpengaruh terhadap Indonesia. Untuk
mengetahui secara komprehensif kajian ini akan mengawali dengan beberapa kajian
literatur tentang kejadian yang menjadi latar belakang konflik Ukrania-Rusia.
Berlangsungnya perang selalu berdampak signifikan pada kondisi dunia
secara umum termasuk kepada stabilitas keamanan dan politik dunia, di sisi lain,
perang juga memiliki pengaruh dan dampak yang substansial diantaranya terhadap
keberlangsungan ekonomi dunia. Perang antara kedua negara tentu tidak hanya
akan berdampak pada kedua negara yang berperang, melainkan juga bisa ke
berbagai negara, seperti di Indonesia, perang dapat membuat harga bahan
pangan di Indonesia meningkat.
Lebih dari dua tahun terakhir, seluruh dunia sedang berjuang untuk
memulihkan kondisi global akibat terdampak pandemi covid-19 dan masih akan
berlanjut karena hingga saat ini belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir.
Masalah covid belum tuntas, dunia diberikan pekerjaan tambahan untuk memulihkan
kondisi dari perang Rusia dan Ukraina yang berlangsung hingga saat ini dan belum
bisa diprediksi kapan akan berakhir.

B. KAJIAN LITERATUR
Perang Rusia-Ukraina sangat mempengaruhi situasi dunia dan menjadi topik
yang banyak dibicarakan. Berbagai media massa dan elektronik diramaikan oleh
berita tentang perang yang diawali dari konflik berkepanjangan antara Rusia dengan
NATO dan Amerika tersebut . Berawal dari pecahnya Unisoviet dan kemudian
direkrutnya Ukraina untuk menjadi anggota NATO pada 2008 lalu. Runtuhnya
negara federasi Rusia yang saat itu dikenal dengan nama USSR atau the Union of
Soviet Socialist Republics, atau yang dikenal dalam bahasa Rusia sebagai CCCP
((Союз Советских Социалистических Республик) tidak hanya meruntuhkan
hegemoni barat dan timur dua negara yang dulu dikenal dengan negara adi daya
tapi juga merubah secara sangat siknifikan konstelasi politik dunia.
Negara-negara pecahan dari Uni Soviet setelah merdeka banyak yang
memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari kekuatan sosialis negara Rusia
bahkan banyak diantaranya begabung dengan dunia barat bahkan Uni Eropa. Tidak
hanya dalam bidang ekonomi namun juga dari sisi pertahanan beberapa negara eks
Soviet bergabung ke dalam pakta pertahanan NATO. Ukrania sendiri pada saat
masa-masa krisis menjelang konflik terbuka dengan Rusia sedang berpolemik
tentang wacananya untuk masuk menjadi salah satu anggota NATO. Rusia dan
Ukraina memiliki hubungan secara geopolitik yang tidak bisa dipisahkan. Konflik
Rusia-Ukraina yang semakin memanas sejak saat itu memunculkan banyak
kecemasan dari berbagai macam pihak akan timbulnya perang dunia ke-3. Rusia
telah melakukan latihan militer besar-besaran di perbatasan Ukraina pada aal 2022,
hal ini membuat presiden Amerika Serikat Joe Biden mengultimatum Rusia untuk
tidak menyebabkan perang dan akan mengenakan sanksi ekonomi jika Rusia
bersikeras. Namun, peringatan itu tidak digubris oleh Rusia, hingga pada tangal 22
Februari Rusia melancarkan serangannya ke Rusia.

GEOPOLITIK
Secara geopolitik Ukraina berada di dua sisi, di mana pro-Eropa berada di
bagian barat, sedangkan pro-Rusia berada di bagian timur. Kedua negara pernah
menjadi bagian dari Uni Soviet, namun pasca-Uni Soviet runtuh, Ukraina
mendeklarasikan kemerdekaan negaranya pada 24 Agustus 1991. Setelah Rusia
dan Ukraina berdiri sendiri menjadi negara merdeka, kedua negara membangun
hubungan diplomatic pada 14 Februari 1992 yang disusul dengan kesepakatan
beragam perjanjian dan kerja sama pada tahun 1997. Seiring berjalannya waktu,
hubungan bilateral kedua negara mengalami pasang surut, di antaranya pergantian
kepemimpinan yang membawa Ukraina ke arah Barat yang mengakibatkan mulai
berkurangnya peran Rusia. Selain itu, Ukraina juga memiliki keinginan untuk menjadi
anggota Uni Eropa, dan dalam perkembangannya kemudian muncul keinginan dari
pemimpin Ukraina pro-Eropa untuk menjadi anggota NATO.
Harapan bersama masyarakat dunia dan prioritas mutlak, yaitu keselamatan
seluruh masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap perang akan cepat
kembali dan perdamaian serta stabilitas global kembali stabil. Akan tetapi, karena
sulit untuk memprediksi terobosan diplomatik atau penurunan eskalasi militer yang
signifikan dalam jangka pendek, sanksi kemungkinan akan terus berlanjut dan
meluas. Dan sementara, konflik di Ukraina bukan satu-satunya keadaan darurat
keamanan yang dihadapi dunia, konflik itu berdampak luas karena efeknya yang
luas terhadap keamanan dan kemakmuran global.

SEJARAH KETEGANGAN ANTARA UKRANIA-RUSIA


Ketegangan hubungan Rusia dan Ukraina sesungguhnya sudah terjadi sejak
tahun 2014. Saat itu, rakyat Ukraina yang memilih untuk lebih independen
menggulingkan presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Demonstrasi pro-Uni
Eropa terjadi akibat penolakan terhadap kebijakan Viktor yang lebih memilih
berhubungan dagang dengan Rusia. Pelengseran Viktor menyebabkan konflik pada
pemerintahan Ukraina hingga terbagi menjadi dua golongan, pro Uni-Eropa dan pro-
Rusia. Pro-Rusia berasal dari masyarakat serta politisi Crimea. Sayangnya,
kepentingan Rusia dalam menyelesaikan konflik internal Ukraina menjadi upaya
pemanfaatan Rusia untuk mendapatkan wilayah Crimea. Letak Crimea yang
strategis rupanya dimanfaatkan oleh Rusia untuk memperkuat pengaruhnya di
Kawasan Eropa Timur dan Tengah. Pada akhirnya, parlemen Crimea melakukan
referendum saat krisis Crimea berakhir pada 16 Maret 2014 dengan bergabung ke
Rusia dan melepaskan diri dari Ukraina. Setelah krisis Crimea, pasang surut
hubungan Rusia-Ukraina masih terjadi hingga bulan Februari 2022. Inilah lima
langkah yang sudah diambil untuk memastikan pemisahan Crimea dari Ukraina.
 Menempatkan pemerintahan boneka Lima hari setelah presiden pro-
Moskwa Viktor Yanukovych digulingkan, milisi pro-Moskwa langsung
bergerak menguasai parlemen dan gedung-gedung pemerintahan di
ibu kota Crimea, Simferopol dan mengibarkan bendera Rusia. Politisi
pro-Rusia, Sergei Aksyonov dengan cepat ditunjuk menjadi perdana
menteri sementara dan anggota parlemen memutuskan bergabung
dengan Rusia dan menggelar referendum.
 Menguasai wilayah darat Ribuan prajurit Rusia, sebagian besar
diyakini berasal dari Armada Laut Hitam yang berbasis di Crimea,
dengan cepat disebar di seluruh semenanjung setelah pemerintahan
berada di tangan pihak pro-Moskwa. Penjaga perbatasan Ukraina
mengatakan setidaknya 30.000 prajurit Rusia kini berada di wilayah
semenanjung itu. Namun, para prajurit itu meski membawa
perlengkapan standar militer mereka tidak mengenakan tanda-tanda
apapun, mengepung sejumlah instalasi militer Ukraina. Sejumlah
tembakan peringatan pernah dilepaskan namun sejauh ini tidak ada
aksi kekerasan besar.
 Menutup perbatasan Wilayah Crimea, yang menjorok ke Laut Hitam
dari daratan Ukraina, relatif mudah untuk menutup perbatasannya.
Hanya dalam hitungan hari, pasukan Rusia sudah membangun pos-
pos pemeriksaan di sepanjang dua jalan utama yang menuju ke
semenanjung itu, lengkap dengan berbagai peringatan misalnya
peringatan bahaya ranjau. Penerbangan ke Kiev dari bandara
Simferopol dialihkan ke terminal internasional dan anggota milisi
memeriksa semua penumpang yang datang menggunakan kereta api.
 Mengendalikan komunikasi Demi mengendalikan arus informasi ke
Crimea, enam stasiun televisi Ukraina dilarang mengudara pekan ini
dan digantikan dengan stasiun televisi Rusia. Para jurnalis asing dan
Ukraina mendapat tekanan dan tak jarang kekerasan, termasuk lima
wartawan Ukraina yang dipukuli milisi pro-Rusia saat mereka mencoba
meliput upaya pendudukan sebuah pangkalan angkatan udara.
 Menggelar referendum Referendum yang akan digelar pada Minggu
(16/3/2014) hanya akan meminta jawaban warga soal pilihan Crimea
menjadi bagian Rusia atau mendapatkan otonomi luas seperti yang
dinikmati berdasarkan konstitusi 1992, yang secara de facto
memberikan Crimea kemerdekaan. Sedangkan, pilihan Crimea tetap
menjadi bagian Ukraina tidak akan menjadi pertanyaan dalam
referendum itu. "Selanjutnya, Crimea akan menjadi bagian Rusia, yang
akan menjadi masalah baru di kawasan dan internasional, atau
menjadi semacam Abkhazia, sebuah konflik yang beku," kata
Volodymyr Fesenko.
Setelah kejadian ini krisis Ukrania-Rusia dikatalisasi oleh NATO yang tengah
berupaya mengekspansi keanggotaannya ke Eropa Timur dengan menarik Ukraina
sebagai target. Hal ini dinilai oleh Rusia menjadi ancaman serta pelanggaran, dan
sebagai akibatnya, Presiden Putin tidak membiarkan Ukraina lepas begitu saja. Hal
tersebut adalah sesuatu yang wajar bagi seorang presiden Rusia yang tidak
merelakan ‘saudara seperjuangannya’ melepaskan diri. Oleh karena itu, juru bicara
Rusia membantah tuduhan dari Barat bahwa negaranya berencana menginvasi
Ukraina dan beranggapan tuduhan tersebut hanya upaya provokasi demi
meningkatkan ketegangan. Namun sayangnya, tindakan Rusia ini sudah membawa
dampak bagi negara pendiri NATO. Dampaknya yaitu tindakan AS dan Kanada yang
merelokasi staf kedutaannya ke Kota Lviv yang berjarak 70 kilometer dari
perbatasan UkrainaPolandia. Kedua negara tersebut beserta Inggris secara jelas
telah menampakkan ketegasan dukungannya terhadap kedaulatan Ukraina. Dampak
dukungan inilah yang sepertinya menjadikan Rusia semakin tidak mempercayai
Ukraina.
Konflik Rusia-Ukraina bisa saja dilihat sebagai persoalan internal bagi kedua
negara. Namun, keberadaan Ukraina sebagai entitas yang cukup penting di
perbatasan dengan Rusia, tidak saja memiliki nilai strategis bagi Rusia, tetapi juga
bagi negara-negara Eropa Barat, sehingga krisis Ukraina pun mengundang
kepentingan banyak pihak, termasuk AS yang tergabung dalam NATO bersama
negara-negara Uni Eropa. Berikut adalah timeline singkat terjadinya konflik Ukrania
dan Rusia:
Mei 2015
Ukraina menangguhkan perjanjian kerja sama militer dengan Rusia yang telah ada
sejak 2003. Hubungan terus memburuk, dengan sanksi seperti embargo
perdagangan dan penutupan ruang udara.
Januari 2016
Ukraina menandatangani kesepakatan perdagangan dengan UE, menjadi anggota
Area Perdagangan Bebas Dalam dan Komprehensif yang juga mencakup Georgia
dan Moldova. Ukraina selanjutnya merekomendasikan warganya untuk tidak
bepergian ke Rusia, melarang buku-buku diimpor dari Rusia dan tahun berikutnya
mengeluarkan keputusan bahwa hanya bahasa Ukraina yang dapat diajarkan di
sekolah dasar.
November 2018
Rusia menyita tiga kapal angkatan laut Ukraina dan memenjarakan 24 pelautnya.
Hal ini menyebabkan protes massal dan darurat militer dideklarasikan di Ukraina.
Awal 2021
Pertempuran meningkat di daerah Donbas Ukraina pada kuartal pertama tahun
2021, dengan Rusia mulai meningkatkan kehadiran militernya di perbatasan
Ukraina.
April 2021
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang terpilih pada 2019, berbicara dengan
Presiden AS Joe Biden, dan memohon padanya untuk mempercepat keanggotaan
NATO Ukraina, karena Rusia terus mengancam perbatasan Ukraina dengan lebih
dari 85.000 tentara.
Desember 2021 – Februari 2022
Ketegangan terus meningkat, dengan lebih dari 100.000 tentara Rusia ditempatkan
di perbatasan, bersama dengan artileri berat. Pembicaraan antara Rusia dan sekutu
barat sejauh ini tidak berhasil, dengan Presiden Putin teguh dalam tuntutannya agar
Ukraina tidak bergabung dengan NATO, dan Barat tidak mau mengakuinya. Rusia
telah menyatakan tidak berencana untuk menyerang, tetapi laporan menunjukkan
serangan bisa datang paling cepat 16 Februari.
23 Februari 2022
Parlemen Ukraina memberikan suara untuk menyetujui keadaan darurat nasional
sebagai tanggapan atas ancaman invasi Rusia. Langkah itu disetujui secara luas
pada hari yang sama ketika Moskow mulai mengevakuasi kedutaan besarnya di Kyiv
dan Washington meningkatkan peringatannya tentang kemungkinan serangan Rusia
habis-habisan. Sementara itu, Biden mengizinkan sanksi untuk bergerak maju
terhadap perusahaan yang membangun pipa gas Nord Stream 2 Rusia-ke-Jerman
dan terhadap CEO perusahaan.
24 Februari 2022
Pasukan Rusia melancarkan serangan ke Ukraina, saat Putin menuntut tentara
negara tetangga itu meletakkan senjatanya. Dalam pidato yang disiarkan di televisi
pemerintah, “Kami mendesak Anda untuk segera meletakkan senjata dan pulang.
Saya akan menjelaskan: semua prajurit tentara Ukraina yang mematuhi persyaratan
ini, dapat dengan bebas meninggalkan area aksi militer dan kembali ke keluarga
mereka,” katanya dalam pidato yang disiarkan di televisi pemerintah. Putin juga
mendesak negara lain untuk tidak ikut campur.
Rangkaian peristiwa ini memang pada awalnya tidak banyak berdampak pada
negara-negara lain selain negara yang terlibat konflik. Namun demikian seiring
berjalannya waktu beberapa negara Kawasan sudah mulai merasakan dampak dari
konflik yang terjadi dan semakin berlarutnya konflik maka dampak yang dihasilkan
juga semakin meluas. Selanjutnya kajian ini akan membahas lebih jauh tentang
dampak apa saja yang dunia internasional mulai rasakan sebagai akibat dari konflik
Ukrania-Rusia yang berkepanjangan.

C. DAMPAK DARI KONFLIK UKRANIA-RUSIA


Perang di Ukraina, dalam semua dimensinya, menghasilkan efek berjenjang
yang mengkhawatirkan bagi ekonomi dunia yang sudah terpukul oleh COVID-19 dan
perubahan iklim, dengan dampak yang sangat dramatis pada negara-negara
berkembang. Proyeksi terbaru oleh the United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan menjadi titik
persentase penuh dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dari
yang diharapkan karena perang yang sangat mengganggu pasar pangan, energi,
dan keuangan yang sudah semakin ketat.
Perang tersebut telah menyebabkan kerusakan yang luas dan hilangnya
nyawa di pusat- pusat populasi utama hingga menyebar ke seluruh daerah
pedesaan dan memicu perpindahan besar-besaran. Jutaan orang terpaksa
meninggalkan rumah mereka dan melarikan diri melintasi perbatasan ke tempat
yang aman. Jutaan lainnya menjadi pengungsi lokal. PBB telah mengkonfirmasi
4.266 kematian warga sipil dan 5.178 luka-luka di Ukraina. Jelas bahwa perang telah
mengakibatkan tantangan ketahanan pangan yang besar dan memburuk serta
mengganggu mata pencaharian selama musim tanam pertanian di Ukraina dan juga
telah mempengaruhi ketahanan pangan global.
Di bidang ekonomi, sengketa yang terkait pasokan gas juga dialami dalam
hubungan Rusia dan Ukraina pada tahun 2006. Rusia merupakan produsen minyak
serta gas alam bagi banyak negara Eropa, termasuk Ukraina. Ukraina sendiri sangat
mengandalkan pasokan gas dari Rusia dan menjadi jalur transit bagi pasokan gas
dari Rusia menuju Eropa. Dalam kerja sama gas, pada 1 Januari 2006 terjadi
penghentian pasokan gas dari Rusia akibat kenaikan harga. Hal ini terus berlanjut
hingga perusahaan gas tersebut mengurangi jumlah pengiriman, dikarenakan
ketidaksanggupan Ukraina dalam membayar utang dan denda kepada Rusia. Akibat
lainnya, ekspor gas ke Eropa menjadi terhambat. Dampak lain dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Federasi Rusia dan Ukraina adalah salah satu produsen komoditas pertanian
terpenting di dunia. Kedua negara adalah pengekspor bersih produk pertanian,
dan keduanya memainkan peran pemasok utama di pasar global bahan makanan
dan pupuk, di mana pasokan yang dapat diekspor sering terkonsentrasi di beberapa
negara. Konsentrasi ini dapat mengekspos pasar pada peningkatan kerentanan
terhadap guncangan dan volatilitas. Banyak negara yang sangat bergantung pada
bahan makanan dan pupuk impor, banyak yang termasuk dalam kelompok Least
Developed Country (LDC) dan Low-Income Food-Deficit Country (LIFDC),
mengandalkan pasokan makanan Ukraina dan Rusia untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi mereka. Negara-negara ini telah bergulat dengan efek negatif dari harga
pangan dan pupuk internasional yang tinggi bahkan sebelum perang.
Sebelum perang di Ukraina, harga pangan internasional telah mencapai titik
tertinggi sepanjang masa. Ini sebagian besar disebabkan oleh kondisi pasar, tetapi
juga harga energi, pupuk, dan semua layanan pertanian lainnya yang tinggi. Pada
Februari 2022, Indeks Harga Pangan the Food and Agriculture Organization of the
United Nations (FAO) mencapai rekor sejarah baru, 21 persen di atas levelnya
setahun sebelumnya, dan 2,2 persen lebih tinggi dari puncak sebelumnya di tahun.
Federasi Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama bagi banyak negara
yang sangat bergantung pada bahan makanan dan pupuk impor. Beberapa dari
negara-negara ini termasuk dalam kelompok Least Developed Country (LDC),
sementara banyak lainnya termasuk dalam kelompok Low-Income Food-Deficit
Countries (LIFDCs) Seperti yang ditunjukkan pada Gambar di atas, misalnya, Eritrea
memasok seluruh impor gandumnya di 2021 baik dari Federasi Rusia (53 persen)
dan Ukraina (47 persen). Angka tersebut juga menggambarkan bahwa impor
gandum dari banyak negara yang terletak di Afrika Utara dan Asia Barat dan Tengah
sangat terkonsentrasi pada pasokan dari Federasi Rusia dan Ukraina. Secara
keseluruhan, lebih dari 30 importir bersih gandum bergantung pada kedua negara
untuk lebih dari 30 persen kebutuhan impor gandum mereka.
Peran penting yang dimainkan Federasi Rusia dan Ukraina dalam pertanian
global semakin terlihat dari perspektif perdagangan internasional. Kedua negara
tersebut adalah pengekspor bersih produk pertanian, dan keduanya memainkan
peran utama dalam memasok pasar global dalam bahan makanan, di mana pasokan
yang dapat diekspor sering terkonsentrasi di segelintir negara, membuat pasar ini
rentan terhadap guncangan dan volatilitas. Federasi Rusia menonjol sebagai
pengekspor gandum global teratas, mengirimkan total 32,9 juta ton gandum dan
meslin (dalam berat produk), atau setara dengan 18 persen pengiriman global.
Ukraina berdiri sebagai eksportir gandum terbesar keenam pada tahun 2021,
mengekspor 20 juta ton gandum dan meslin dan dengan 10 persen pangsa pasar
global.
Gambar. Negara yang paling terpapar gandum dari Federasi Rusia dan Ukraina

Ukraina dan Federasi Rusia termasuk di antara lumbung roti dunia. Pada 8
April 2022, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO)
menerbitkan rekor indeks harga pangan. Harga pangan tahun ini 34% lebih tinggi
dari tahun lalu dan tidak pernah setinggi ini sejak FAO mulai mencatatnya, demikian
pula, harga minyak mentah telah meningkat sekitar 60%, dan harga gas dan pupuk
meningkat lebih dari dua kali lipat (dapat dilihat gambar di bawah ini).

Negara-negara berkembang secara khusus terpengaruh pada perubahan


harga ini, karena mereka menghabiskan bagian yang lebih besar dari pendapatan
mereka untuk makanan dan energi. Negara-negara termiskin di dunia cenderung
menjadi pengimpor pangan bersih dan melakukan ekspor dan impor pada
perdagangan dapat semakin memperburuk kenaikan harga pangan. Pada tingkat
harga saat ini, perkiraan kasus terburuk FAO tentang peningkatan kekurangan gizi
dan kerawanan pangan juga sangat mungkin terjadi.
Pada lingkungan dengan tingkat tekanan sosial ekonomi yang sudah tinggi
akibat dampak COVID-19, kenaikan harga pangan mengancam efek lanjutan dari
kerusuhan sosial. Analisis data historis UNCTAD mengungkapkan bahwa, secara
umum, kerusuhan sipil dan kenaikan harga komoditas pertanian pangan sangat
berkorelasi

Sejak 2019, jumlah orang yang mengalami kelaparan meningkat 46 juta di


Afrika, sekitar 57 juta di Asia, dan sekitar 14 juta lebih di Amerika Latin dan Karibia,
ditambah lagi 77 juta orang lagi hidup dalam kemiskinan ekstrim. Penutupan
sekolah telah menyebabkan kerugian hingga 17 triliun dolar dalam pendapatan
seumur hidup untuk generasi para pelajar saat ini dan lebih dari enam juta nyawa
telah hilang karena penyakit COVID-19 .
Dampak perang di Ukraina tidak hanya dirasakan secara regional, tetapi juga
di seluruh dunia karena kontribusi signifikan kawasan tersebut terhadap pasokan
makanan dan energi. Terkait dengan makanan, terdapat tantangan produksi dan
ekspor, hal ini juga terkait dengan berkurangnya ketersediaan dan kenaikan harga.
Tagihan impor pangan dan energi saat ini telah mencapai rekor dan tidak dapat
dihindari akan terus meningkat. Hal ini akan memiliki dampak luas yang dapat
menjangkau lebih jauh, konsekuensinya bagi negara-negara yang masyarakatnya
yang lebih miskin dan rentan, akan sangat parah. Banyak produsen makanan tidak
dapat mendapatkan hasil-hasil pertanian yang mereka butuhkan, sehingga dampak
gangguan pasar saat ini dapat dirasakan hingga tahun 2023. Mata pencaharian juga
akan terpengaruh, dengan banyak produsen makanan, terutama petani kecil akan
sulit atau bahkan tidak mendapatkan pupuk dan pasokan pertanian yang mereka
butuhkan. Situasi ini dapat memburuk jika negara-negara bereaksi dengan menutup
pasar makanan yang akan memicu efek domino dari pembatasan perdagangan dan
larangan ekspor, dengan konsekuensi yang berpotensi menjadi bencana.

Dampak konflik di Ukraina kemungkinan besar akan dirasakan oleh


bisnis, konsumen, pemerintah, dan masyarakat di seluruh dunia dalam banyak
hal.
 Krisis di Ukraina mengancam prinsip inti yang mendasari tatanan
perdamaian dan keamanan internasional pasca-Perang Dunia II, yang
diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu larangan
ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau
kemerdekaan politik dari negara mana pun. Potensi eskalasi konflik
dengan NATO, termasuk ancaman perang nuklir (betapapun kecil
kemungkinannya), mengingatkan pada era politik kekuasaan yang lalu.
Menurut UNHCR pada pertengahan Maret 2022, lebih dari 2 juta
pengungsi telah meninggalkan Ukrania dan diperkirakan sebanyak 5
hingga 10 juta penduduk akan mengungsi dalam beberapa bulan
mendatang jika serangan militer berlanjut.
 Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh NATO dan negara-negara lain
dilakukan dengan sangat cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya
dalam hal cakupan, skala, dan tingkat keparahannya. Namun demikian
sanksi ekonomi tersebut dapat dianggap sebagai pedang bermata dua
dan dapat menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap ekonomi
global yang lebih luas juga. Krisis telah menyebabkan keretakan yang
mendalam antara pemerintah Rusia dan Barat yang tidak pernah
terlihat sebelumnya sejak era Perang Dingin. Dalam iklim ekonomi
global yang ditandai dengan inflasi tinggi, termasuk kenaikan biaya
energi, gangguan rantai pasokan, dan gangguan ekonomi lainnya
akibat pandemi, perang Ukrania-Rusia menambah ketidakstabilan
pasar dan volatilitas harga. Konflik yang terjadi antara kedua negara
dan dampak dari berbagai sanksi menyebabkan kekacauan pada
berbagai pasokan komoditas yang pada akhirnya berakibat pada
kenaikan harga. Harga energi diperkirakan akan tetap pada level
tertinggi sepanjang masa untuk beberapa waktu.
 Pasokan makanan dan produk lainnya seperti nikel, kalium, aluminium,
dan palladium yang menjadi bahan baku utama berbagai industri juga
sangat terpengaruh.
 Selain dari pada itu juga muncul resiko kontraksi ekonomi yang
signifikan di Rusia karena nilai rubel yang semakin melemag. Hal ini
memaksa Bank Sentral Rusia berjuang untuk mengakses cadangan
mata uang asing. Situasi ini meningkatkan risiko pemerintah Rusia
gagal membayar obligasi dalam bentuk dolar. Laporan dari Eurasia
Group menunjukkan kemungkinan kontraksi 10 persen dari ekonomi
Rusia dan pengurangan 1 persen pertumbuhan global sebagai akibat
dari berbagai sanki yang dilakukan oleh berbagai negara saat ini.

Dampak potensial terhadap supply chain atau rantai pasokan. Saat dunia
internasional baru saja keluar dari situasi ekonomi yang rapuh yang disebabkan oleh
pandemi, konflik yang terjadi antara Ukrania-Rusia serta efek dari berbagai sanksi
yang diberikan menambah beban pada pemulihan rantai pasokan yang baru saja
berusaha pulih dari terpaan pandemic Covid-19. Dampak dari rentetan kejadian ini
mulai terlihat pada fluktuasi harga minyak, tersendatnya pasokan logam dasar
seperti nikel, aluminium, dan paladium dapat memukul produksi industri dan rantai
pasokan yang lebih luas. Rusia dan Ukraina menyumbang seperlima dari semua
produksi gandum global dan 70 persen ekspor minyak bunga matahari. Ini adalah
pasokan penting untuk bisnis pertanian pangan di seluruh dunia, dan mereka akan
segera merasakan krisis pasokan ini yang diakibatkan oleh terganggunya rantai
pasokan. Negara-negara seperti Aljazair, Mesir dan Nigeria adalah beberapa
importir makanan pokok Rusia dan Ukraina terbesar, dan konflik antara Ukrania-
Rusia dapat memberikan dampak terhadap langkanya pasokan makanan untuk
negara-negara ini yang pada akhirnya akan meningkatkan resiko terjadinya
kekacauan dan ketidaksabilan keamanan untuk negara-negara tersebut. Tentu saja
hal ini berpotensi untuk menjadikan konflik menyebar kenegara-negara lainnya.
Dampak dan resiko siber yang meningkat. jika melihat tindakan dan
ancaman keamanan siber terhadap entitas terutama di Ukraina, serangan malware
untuk mengganggu infrastruktur siber ikut meningkat. Tetapi negara-negara yang
menargetkan pemerintah Rusia dengan sanksi atau menawarkan dukungan publik
untuk Ukraina dapat terjebak dalam pembalasan dendam dan menghadapi risiko
serangan dunia maya serupa yang dapat memengaruhi keuangan dan infrastruktur
penting lainnya serta sistem TI mereka. Intinya adalah ada ancaman keamanan
siber yang meningkat secara global. Semua negara dan organisasi harus bergerak
ke posisi siaga tinggi dalam hal keamanan siber dan melindungi aset mereka yang
paling penting termasuk Indonesia. Membangun rencana dan ketahanan keamanan
siber dengan cepat menjadi prioritas utama bagi banyak negara di dunia dan harus
dipertimbangkan secara serius.

Sedangkan untuk Indonesia sendiri menurut ekonom Universitas Gajah


Mada (UGM) Eddy Junarsin paling tidak ada lima hal sebagai berikut:
 Penurunan nilai tukar rupiah bahwa dampak perang akan terasa
pada aliran uang yang ada di Indonesia. Sehingga, jika perang yang
terjadi berlarut-larut dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS mengalami pelemahan. Nilai tukar rupiah yang melemah
sekarang bukan karena kinerja rupiah yang buruk, melainkan karena
dampak perang yang terjadi.
 Penurunan pasar modal. Pasar modal otomatis akan mengikuti tren
yang dialami oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan isu
global yang sedang terjadi. Kemungkinan pasar modal Indonesia
mengalami sedikit penurunan, hal ini wajar karena di seluruh dunia
juga mengalami tren yang sama.
 Kehilangan pendapatan akibat turunnya ekspor. Dampak perang
Rusia-Ukraina yang paling terasa bagi Indonesia salah satunya adalah
pada bidang ekspor. Nilai ekspor Indonesia ke Rusia pada bulan
Januari berada di angka 170 juta dollar AS, sedangkan untuk Ukraina
sebesar 5 juta dollar AS. Karena perang, Rusia akan terkena embargo
perdagangan, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan ekspor ke
Rusia. Hal ini menjadi masalah jika embargo itu dilakukan berbulan-
bulan, sehingga indonesia kehilangan tempat ekspor.
 Dampak naiknya harga minyak terhadap APBN. Dengan adanya
perang Rusia-Ukraina, secara tidak langsung juga berdampak ke
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Dengan
diembargonya Rusia, dapat dipastikan harga minyak akan meroket.
Padahal, APBN Indonesia melakukan subsidi di BBM, subsidi minyak
tanah, dan subsidi LPG. Di setiap peningkatan 1 dollar per barel akan
memberi beban APBN sebanyak Rp 2,5 trilliun lebih, untuk minyak
tanah sekitar Rp 50 milliar, sedangkan untuk LPG sebesar Rp 1,5
trilliun.
 Kenaikan komoditas impor gandum. Selain harga minyak,
kemungkinan harga komoditas gandum juga akan mengalami
kenaikan. Pasalnya, Indonesia mengimpor gandum dari Ukraina yang
dipakai sebagai bahan utama pembuat roti hingga mi instan. Impor
gandum Indonesia terbilang tinggi, menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS), Ukraina berada di urutan pertama sebagai pengimpor gandum
di Indonesia. Secara keseluruhan pada 2020, total impor gandum
Indonesia sebanyak 10,299 juta ton. Dengan demikian, Ukraina
berkontribusi pada lebih dari 20 persen stok gandum di Tanah Air.
Ujian terhadap politik bebas aktif. Dengan adanya perseteruan diantara
dua negara ini yang juga melibatkan berbagai negara maju termasuk Amerika dan
berbagai pakta pertahanan termasuk didalamnya NATO menjadikan politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif dituntut untuk tidak berpihak kepada salah satu
negara atau blok tapi juga menuntut peran aktif Indonesia dalam upaya perdamaian
kedua belah pihak. Hal ini di tandai dengan kunjungan Presiden Joko Widodo
membuka jalur komunikasi antara Indonesia dengan Ukraina dan Rusia. Kunjungan
menitik beratkan pada terciptanya ruang dialog diantara kedua belah pihak untuk
menyelesaikan pertikaian secara damai dan menyampaikan berbagai dampak yang
dirasakan oleh berbagai negara termasuk diantaranya krisis pangan sebagai akibat
dari perseteruan kedua negara.

Anda mungkin juga menyukai