1. Masalah
Tindak Pidana
TRIAS
2. Masalah
Pertanggungja DALAM
waban Pidana HUKUM
3. Masalah PIDANA
Pidana
4. Masalah
“Korban”
KESALAHAN
orientasi pada
hukum pidana “perbuatan pidana”
(daad-strafrecht)
klasik
orientasi pada
Hukum pidana “perbuatan pidana”
modern (daad-strafrecht)
dan
kesalahan/orang
(dader-strafrecht)
Hukum Pidana Modern
apabila ada seseorang melakukan
perbuatan, dimana perbuatannya
memenuhi rumusan tindak pidana
(delik) dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan, hal tersebut
belumlah memenuhi syarat untuk
dijatuhkannya pidana kepada
orang itu.
Hukum Pidana Modern
Agar orang yang melakukan
perbuatan pidana itu dapat
dijatuhi pidana—dalam
pengertian dimintai
pertanggungjawaban pidana—
masih perlu adanya syarat,
bahwa orang yang melakukan
perbuatan pidana itu mempunyai
“kesalahan” atau “bersalah”
Hukum Pidana Modern
PIDANA
CRIMINAL ACT
+ TUJUAN
CRIMINAL PIDANA
RESPONSIBILITY
Hukum Pidana Modern
sekalipun seseorang telah
melakukan perbuatan pidana,
kepadanya tidak dapat dijatuhi
pidana apabila kemudian
ternyata, bahwa orang yang
melakukan perbuatan pidana
tersebut adalah orang yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya
Asas Kesalahan/
Asas Culpabilitas
KESA
LAHAN
Hubungan
antara keadaan sikap “menghendaki” atau
batin dengan sikap “tidak menghendaki”.
perbuatannya
Kesalahan Psychologisch
Pada “kesengajaan”
“hubungan hubungan batin itu
batin” berupa
antara “menghendaki”
perbuatan (dan
si pembuat
akibatnya) dan pada
dan
“kealpaan” tidak ada
perbuatannya
kehendak demikian
(tidak menghendaki)
Kesalahan yang Normatif
tidak hanya didasarkan pada sikap atau keadaan
batin dan hubungan batin antara pembuat dengan
perbuatannya,
Tetapi harus ada unsur penilaian terhadap
perbuatannya. Artinya, untuk menentukan adanya
“kesalahan” harus dilihat, apakah hubungan batin
antara pembuat dengan perbuatannya itu
memunculkan “penilaian” yang berupa
“pencelaan” dari masyarakat.
Apabila hubungan batin tersebut secara normatif—
berdasarkan penilaian dari luar (diri pelaku, pen.)
dengan menggunakan ukuran-ukuran yang
terdapat dalam masyarakat, jadi bukan penilaian
subyektif dari si pembuat—memunculkan “celaan”,
maka berarti ada “kesalahan”.
SYARAT ADANYA KESALAHAN
Pasal 44 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena suatu
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan
ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan
Konsep dan Perumusan Kemampuan
Bertanggungjawab dalam KUHP
KUHP tidak merumuskan apa “kemampuan
bertanggungjawab”
tetapi hanya merumuskan kapan seseorang
dianggap tidak “mampu bertanggungjawab”
pendirian yang dianut KUHP adalah, bahwa
setiap orang dianggap mampu
bertanggungjawab, kecuali ada tanda-tanda
yang menunjukkan sebaliknya
maka di dalam praktek penegakan hukum,
manakala seorang pelaku tindak pidana “tidak”
menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan
ke-tidak-mampuan bertanggungjawabnya, maka
orang itu dianggap “mampu
bertanggungjawab”.
Konsep dan Perumusan Kemampuan
Bertanggungjawab dalam KUHP
willen en wetens
“menghendaki” dan “mengetahui”
“sengaja” berarti
“membayangkan” akan
timbulnya akibat perbuatannya
Bentuk/Corak kesengajaan
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als
oogmerk), atau sering disebut dengan istilah
“dolus directus”.
2. “Yang diketahuinya”
Pasal 286 KUHP yang menyatakan :
“Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui (koersif dari
penulis), bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan
tahun”.
Kesengajaan Dalam Rumusan Tindak
Pidana Kesengajaan Dalam
Rumusan Tindak Pidana
3. “Dengan maksud”
Pasal 362 KUHP menyatakan :
“Barang siapa mengambil suatu
barang, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, dengan
maksud (koersif dari penulis) untuk
dimiliki secara melawan hukum,
diancam, karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”.
Penempatan “Kesengajaan”
(Opzet) Dalam Rumusan
Tindak Pidana
1. Apabila di dalam rumusan tindak pidana digunakan
istilah “dengan sengaja” untuk menunjukkan adanya
unsur kesengajaan, maka menurut MvT unsur yang
dirumuskan di belakang unsur kesengajaan tersebut
harus dianggap diliputi oleh kesengajaan
Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut :
unsur dengan sengaja
unsur melawan hukum
unsur mengaku sebagai milik sendiri
unsur suatu barang
unsur yang seluruh atau sebagaian milik orang
lain
unsur yang ada dalam kekeuasaannya bukan
karena kejahatan
Penempatan “Kesengajaan” (Opzet)
Dalam Rumusan Tindak Pidana
2. Apabila unsur “kesengajaan” dirumuskan di tengah-
tengah unsur yang lain dalam rumusan tindak pidana,
maka konsekuensinya adalah, bahwa unsur yang
letaknya dibelakang unsur “kesengajaan” harus
dianggap dijiwai oleh unsur ‘kesengajaan
Pasal 480 KUHP sebagai berikut
Ke-1 Barang siapa menjual, menawarkan,
menukar, menerima sebagai gadai,
menerima hadiah, atau untuk menarik
keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
benda/barang, yang diketahui (koersif dari
penulis) atau sepatutnya harus diduga,
bahwa diperoleh dari kejahatan.
Penempatan “Kesengajaan” (Opzet)
Dalam Rumusan Tindak Pidana
3. Dalam hal “kesengajaan” itu tidak dirumuskan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana
2. Kesesatan/kekeliruan mengenai
hukumnya (rechtdwaling atau
mistake of law atau error iuris).
berlaku prinsip : kesesatan atau
kekeliruan mengenai hukumnya
“tidak” menghapus pidana, jadi
tetap dipidana (error iuris nocet).
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana
3. Kesesatan/kekeliruan mengenai
objeknya (error in objecto).
bahwa error in objecto adalah
kesesatan/kekeliruan mengenai
“barang” yang menjadi tujuan
perbuatan yang dilarang
error in objecto ini juga dalam
keadaan tertentu merupakan error
facti dan dalam keadaan yang lain
merupakan error in persona
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana
4. Kesesatan/kekeliruan mengenai
“orang” (error in persona).
TETAP DIPIDANA
Kealpaan/kelalaian
istilah lain :
culpa/schuld (kesalahan, pen.) dalam
arti sempit,
nalatigheid,
recklessness,
negligence,
sembrono,
teledor
Kelalaian……..?????
1. “kekurangan pemikiran yang diperlukan”
(gebrek aan het nodige denken).
2. “kekurangan pengetahuan/pengertian
yang diperlukan” (gebrek aan de nodig
kennis).
3. “kekurangan dalam kebijaksanaan yang
disadari” (gebrek aan de nodige beleid).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
a. Tidak adanya “kehati-hatian” yang diperlukan atau
tidak adanya ketelitian yang diperlukan.
1. Untuk menentukan apakah seseorang itu telah berbuat “tidak
hati-hati” digunakan ukuran orang-orang yang “segolongan”
dengan pelaku. Apabila orang-orang yang “segolongan”
dengan pelaku itu, dalam kondisi dan situasi yang sama akan
berbuat sama (dengan pelaku), maka dalam hal ini si pelaku
“tidak” dapat dikatakan telah berbuat “lalai”. Perbuatan
tersebut oleh karenanya berarti telah “lazim” dilakukan oleh
orang pada umumnya. Sebaliknya, apabila orang-orang yang
“segolongan” dengan pelaku itu “tidak” berbuat sama dengan
pelaku, dalam arti orang-orang yang “segolongan” dengan
pelaku itu “berbuat lain” (dengan pelaku), maka dalam hal
ini dikatakan, bahwa pelaku telah “berbuat lalai” yang
“menyolok/besar” (culpa lata).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
a. Tidak adanya “kehati-hatian” yang diperlukan
atau tidak adanya ketelitian yang diperlukan.
2. Untuk menentukan apakah seseorang itu telah
“berbuat lalai” atau “tidak” juga dapat digunakan
“ukuran” lain, yaitu dari orang “terpandai” yang
termasuk dalam golongan si pelaku (segolongan
dengan pelaku). Secara doktrinal, apabila orang
terpandai yang segolongan dengan pelaku tersebut
kemudian “berbuat” lain dengan pelaku, maka
dalam hal ini si pelaku telah berbuat “kelalaian”.
Dalam hal ini “kelalaian” yang telah diperbuat oleh
si pelaku adalah “kelalaian” yang kecil (culpa levis).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
b. Adanya “akibat” yang dapat diduga sebelumnya
untuk menentukan apakah pelaku dapat dikatakan
“dapat” menduga timbulnya akibat atau tidak,
digunakan “ukuran” orang-orang yang segolongan
dengan pelaku. Dalam hal ini, apabila orang-orang
yang segolongan dengan pelaku tersebut juga “tidak
dapat” menduga timbulnya akibat, maka berarti
tidak ada “kelalaian” pada pelaku. Sebaliknya,
apabila orang-orang yang segolongan dengan pelaku
tersebut ternyata “dapat” menduga timbulnya
akibat, maka dalam hal ini berarti dalam diri pelaku
terdapat adanya “kelalaian”.
Sebuah Contoh………….
“Seseorang (sebut saja Lhin Thang)
mengendarai sepeda motor melewati
jembatan yang lebarnya 4 (empat) meter.
Ketika ia mau melewati seseorang (sebut
saja Than Thie) yang juga sedang
berjalan di jembatan itu dengan arah
yang sama, tiba-tiba Than Thie justru
menyimpang ke kanan, sehingga ia
tertabrak oleh Lhin Thang dan meninggal
dunia”.
Sebuah Contoh………….
Dalam kasus ini Politierechter
berpendirian, bahwa dalam hal ini
tidak ada “kesembronoan” atau
“kekurang hati-hatian” (jadi tidak
ada “kealpaan” pada pengendara
sepeda motor (Lhin Thang) yang
menabrak Than Thie, pen.) dengan
pertimbangan antara lain sebagai
berikut :
Sebuah Contoh………….
1. Lalau lintas di jalan umum tidak
menghendaki pengendara sepeda motor
yang hendak menyusul (maksudnya
melewati, pen.) seorang pejalan kaki
yang berjalan ke arah yang sama—di
sebelah kiri, kira-kira 1,5 m (satu
setengah meter) dari pagar jembatan
yang lebarnya 4 (empat) meter—untuk
membunyikan “klakson” atau
“mengurangi kecepatan”--yang dalam
hal ini kecepatan sepeda motor itu tidak
tinggi—karena masih ada ruang yang
cukup untuk dilalui sepeda motor itu.
Sebuah Contoh………….
2. Lalu lintas di jalan itu disesuaikan dengan
pemakai jalan yang normal.