Anda di halaman 1dari 74

atau

1. Masalah
Tindak Pidana
TRIAS
2. Masalah
Pertanggungja DALAM
waban Pidana HUKUM
3. Masalah PIDANA
Pidana
4. Masalah
“Korban”
KESALAHAN
orientasi pada
hukum pidana “perbuatan pidana”
(daad-strafrecht)
klasik

orientasi pada
Hukum pidana “perbuatan pidana”
modern (daad-strafrecht)
dan
kesalahan/orang
(dader-strafrecht)
Hukum Pidana Modern
apabila ada seseorang melakukan
perbuatan, dimana perbuatannya
memenuhi rumusan tindak pidana
(delik) dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan, hal tersebut
belumlah memenuhi syarat untuk
dijatuhkannya pidana kepada
orang itu.
Hukum Pidana Modern
Agar orang yang melakukan
perbuatan pidana itu dapat
dijatuhi pidana—dalam
pengertian dimintai
pertanggungjawaban pidana—
masih perlu adanya syarat,
bahwa orang yang melakukan
perbuatan pidana itu mempunyai
“kesalahan” atau “bersalah”
Hukum Pidana Modern

PIDANA

CRIMINAL ACT
+ TUJUAN
CRIMINAL PIDANA
RESPONSIBILITY
Hukum Pidana Modern
sekalipun seseorang telah
melakukan perbuatan pidana,
kepadanya tidak dapat dijatuhi
pidana apabila kemudian
ternyata, bahwa orang yang
melakukan perbuatan pidana
tersebut adalah orang yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya
Asas Kesalahan/
Asas Culpabilitas

 Tiada pidana tanpa kesalahan


 Geen straf zonder schuld atau
nulla poena sine culpa
 Actus non facit reum, nisi mens
sit rea
 An act does not make a person
guilty, unless the mind is guilty
Pengertian Kesalahan

keadaan batin (psychis)


tertentu dari pembuat dan
hubungan antara keadaan
batin (dari si pembuat)
SIMONS tersebut dengan perbuatannya
yang sedemikian rupa,
sehingga si pembuat dapat
dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
Pengertian Kesalahan
keadaan batin yang normal,
yaitu keadaan batin atau
Keadaan batin “jiwa” yang tidak “cacat”
tertentu baik dalam pertumbuhannya
maupun karena terganggu
oleh sesuatu penyakit.

KESA
LAHAN

Hubungan
antara keadaan sikap “menghendaki” atau
batin dengan sikap “tidak menghendaki”.
perbuatannya
Kesalahan Psychologisch
Pada “kesengajaan”
“hubungan hubungan batin itu
batin” berupa
antara “menghendaki”
perbuatan (dan
si pembuat
akibatnya) dan pada
dan
“kealpaan” tidak ada
perbuatannya
kehendak demikian
(tidak menghendaki)
Kesalahan yang Normatif
 tidak hanya didasarkan pada sikap atau keadaan
batin dan hubungan batin antara pembuat dengan
perbuatannya,
 Tetapi harus ada unsur penilaian terhadap
perbuatannya. Artinya, untuk menentukan adanya
“kesalahan” harus dilihat, apakah hubungan batin
antara pembuat dengan perbuatannya itu
memunculkan “penilaian” yang berupa
“pencelaan” dari masyarakat.
 Apabila hubungan batin tersebut secara normatif—
berdasarkan penilaian dari luar (diri pelaku, pen.)
dengan menggunakan ukuran-ukuran yang
terdapat dalam masyarakat, jadi bukan penilaian
subyektif dari si pembuat—memunculkan “celaan”,
maka berarti ada “kesalahan”.
SYARAT ADANYA KESALAHAN

1. keadaan batin si pembuat


(kemampuan bertanggung-
jawab),
2. hubungan batin si pembuat
dengan perbuatannya (yang
dapat berupa “kesengajaan”
maupun “kealpaan”) dan
3. “tidak adanya alasan penghapus
kesalahan (alasan pemaaf)
MAMPU BERTANGGUNGJAWAB
1. ia mampu untuk
seseorang mengetahui atau
dianggap menyadari,
“mampu” bahwa
bertanggung perbuatannya
bertentangan
jawab,
dengan hukum.
SIMONS apabila
2. ia dapat
jiwanya
menentukan
“sehat”,
kehendak sesuai
yaitu dengan
apabila : kesadaran
tersebut.
Look at this case…………….
“Sha Nhu Shie” menyadari, bahwa
melakukan pengrusakan terhadap gedung
merupakan perbuatan yang
dilarang/bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Suatu ketika ia ditodong
pistol oleh segerombolan teroris untuk
meledakan gedung dengan melemparkan
bom. Sang teroris menodongkan pistol
tepat di kepalanya dan apabila ia berontak
dan tidak mau melempar bom itu, maka ia
akan ditembak. Di bawah ancaman yang
demikian, “terpaksa” Sha Nhu Shie
meledakan gedung itu dengan melempar
bom.
MAMPU BERTANGGUNGJAWAB
1. keadaan jiwa orang
itu sedemikian rupa
seseorang sehingga ia dapat
dianggap mengerti nilai
“mampu” perbuatan dan akibat
bertanggung perbuatannya;
2. keadaan jiwa orang
jawab,
SATO apabila
itu sedemikian rupa,
sehingga ia dapat
CHID K jiwanya menetukan
“sehat”, kehendaknya
3. orang itu harus
yaitu sadar, insaf, bahwa
apabila : perbuatannya itu
perbuatan yang
terlarang
MAMPU BERTANGGUNGJAWAB
SATOCHID K

 tiga syarat untuk adanya “kemampuan


bertanggungjawab” harus terpenuhi
 karenanya tidak dapat diharapkan dari
seorang anak yang masih sangat muda untuk
mengerti nilai perbuatannya.
 demikian juga tidak dapat diharapkan untuk
dapat mengerti akan nilai perbuatan dan nilai
akibat perbuatannya dari seseorang yang
menderita sakit jiwa atau orang gila.
Konsep dan Perumusan Kemampuan
Bertanggungjawab dalam KUHP

Pasal 44 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena suatu
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan
ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan
Konsep dan Perumusan Kemampuan
Bertanggungjawab dalam KUHP
 KUHP tidak merumuskan apa “kemampuan
bertanggungjawab”
 tetapi hanya merumuskan kapan seseorang
dianggap tidak “mampu bertanggungjawab”
 pendirian yang dianut KUHP adalah, bahwa
setiap orang dianggap mampu
bertanggungjawab, kecuali ada tanda-tanda
yang menunjukkan sebaliknya
 maka di dalam praktek penegakan hukum,
manakala seorang pelaku tindak pidana “tidak”
menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan
ke-tidak-mampuan bertanggungjawabnya, maka
orang itu dianggap “mampu
bertanggungjawab”.
Konsep dan Perumusan Kemampuan
Bertanggungjawab dalam KUHP

 masalah “kemampuan bertanggungjawab”


merupakan masalah yuridis
 masalah keadaan “jiwa”—yang cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena penyakit—
merupakan masalah medis
 pihak yang berkompeten untuk menentukan apakah
keadaan jiwa seorang pelaku tindak pidana itu “cacat
dalam tumbuhnya” atau “terganggu karena penyakit”
adalah dokter ahli jiwa atau psichiater
Beberapa Keadaan Jiwa yang
Berhubungan dengan Kemampuan
Bertanggungjawab
1. Tidak mampu bertanggungjawab
untuk sebagian
a. Kleptomanie, yaitu penyakit jiwa yang berujud
dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk
mengambil barang orang lain, tetapi tidak
sadar, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
merupakan perbuatan yang terlarang.
Biasanya barang yang diambil itu merupakan
barang yang tidak ada nilainya baginya. Dalam
keadaan biasa, biasanya keadaan jiwa orang
ini adalah sehat.
Beberapa Keadaan Jiwa yang
Berhubungan dengan Kemampuan
Bertanggungjawab
b. Pyromanie, yaitu penyakit jiwa yang
berujud kesukaan untuk melakukan
pembakaran tanpa alasan yang jelas.
c. Claustrophobie, yaitu penyakit jiwa
yang berupa ketakutan untuk berada di
ruang yang sempit. Penderita jenis
penyakit ini apabila berada dalam
ruangan yang demikian dapat
melakukan pengrusakan, misalnya
memrcah kaca, dan sebagainya.
d. Penyakit yang berupa perasaan
senantiasa dikejar-kejar oleh musuh-
musuhnya.
Beberapa Keadaan Jiwa yang
Berhubungan dengan Kemampuan
Bertanggungjawab

2. Kurang mampu bertanggungjawab


“kurang mampu bertanggungjawab”
dalam konteks hukum pidana
hakikatnya “tetap” dianggap “mampu
bertanggungjawab”. Namun demikian,
keadaan jiwa “kurang mampu
bertanggungjawabnya” itu dapat
digunakan sebagai hal yang dapat
“meringankan” dalam pemidanaan.
Beberapa Keadaan Jiwa yang
Berhubungan dengan Kemampuan
Bertanggungjawab

3. Keadaan “mabuk” (intexication,


dronkenschap).
a. orang yang “mabuk” tanpa
kemauan sendiri
b. orang yang memang menghendaki
“mabuk”
“Batas” mampu dan tidak
mampu bertanggungjawab
Bagaimana apabila di dalam praktek
terjadi keragu-raguan terhadap
“kemampuan bertanggungjawab”
seorang tersangka
a. Si pembuat/pelaku tetap dapat dipidana.
Pandangan ini bertolak dari asumsi, bahwa
kemampuan bertanggungjawab (selalu)
dianggap ada, selama tidak dibuktikan
sebaliknya. Jadi, apabila diikuti logika
pandangan ini, maka manakala tidak
dibuktikan adanya ke-tidak-mampuan
bertanggungjawab, maka “kemampuan
bertanggungjawab” dianggap “ada”.
“Batas” mampu dan tidak
mampu bertanggungjawab
2. Si pembuat/pelaku tidak dipidana.
b. Pandangan ini menyatakan, bahwa apabila
ada keragu-raguan terhadap “kemampuan
bertanggungjawab” seseorang, maka
orang itu tidak dapat dijatuhi pidana.
Pandangan ini bertolak dari asumsi, bahwa
dalam hal terjadi keragu-raguan harus
diambil keputusan yang menguntungkan
tersangka (In dubio pro reo).
KESENGAJAAN
DAN
KEALPAAN
KESENGAJAAN

willen en wetens
“menghendaki” dan “mengetahui”

seseorang dikatakan dengan “sengaja”


melakukan suatu perbuatan (pidana) apabila
orang itu “menghendaki”—terhadap
dilakukannya perbuatan itu--dan
“menyadari/mengetahui” terhadap apa yang
dilakukannya itu
Teori-teori Kesengajaan
a. Teori “Kehendak” (wilstheorie)

seseorang dianggap “sengaja”


melakukan suatu perbuatan
(pidana) apabila orang itu
“menghendaki” dilakukannya
perbuatan itu
Teori-teori Kesengajaan
b. Teori
“Pengetahuan/Membayangkan”
(voorstelling-theorie)

“sengaja” berarti
“membayangkan” akan
timbulnya akibat perbuatannya
Bentuk/Corak kesengajaan
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als
oogmerk), atau sering disebut dengan istilah
“dolus directus”.

Kesengajaan sebagai maksud akan terjadi,


apabila seseorang “menghendaki” melakukan
suatu perbuatan sekaligus “menghendaki”
terhadap timbulnya akibat perbuatan itu
Bentuk/Corak kesengajaan
2. Kesengajaan dengan tujuan yang pasti atau
yang merupakan keharusan (opzet met
zekerheidsbewustzijn atau
noodzakelijkheidbewustzijn)

Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila


seseorang melakukan suatu perbuatan
mempunyai tujuan untuk menimbulkan akibat
tertentu, tetapi di samping akibat yang dituju
itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa
dengan melakukan perbuatan untuk
menimbulkan akibat yang tertentu itu,
perbuatan tersebut “pasti” akan menimbulkan
akibat lain--yang sebenarnya tidak dikehendaki
—hanya disadari “kepastian” akan terjadinya
Bentuk/Corak kesengajaan
3. Kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan
atau kesengajaan dengan syarat (voorwardelijk
opzet) atau juga sering disebut dengan istilah
“dolus eventualis”

Jenis kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang


melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan
untuk menimbulkan akibat tertentu, tetapi di
samping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau
menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan
untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu,
perbuatan tersebut “mungkin” akan menimbulkan
akibat lain--yang sebenarnya tidak dikehendaki—
hanya disadari “kemungkinan” akan terjadinya
Hubungan Antara “Kesengajaan” dan
“Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan”

 Apakah untuk adanya “kesengajaan” si


pembuat harus menyadari, bahwa
perbuatannya itu bersifat melawan hukum ?

 Apakah untuk adanya “kesengajaan” si


pembuat harus menyadari, bahwa
perbuatannya itu merupakan perbuatan
yang dilarang ?”
Hubungan Antara “Kesengajaan” dan
“Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan”
1. Pandangan yang mengatakan, bahwa sifat kesengajaan
itu berwarna (gekleurd).
 kesengajaan melakukan suatu perbuatan itu mencakup
pengetahuan si pembuat bahwa perbuatannya bersifat
melawan hukum (dilarang).
 untuk adanya “kesengajaan” dipersyaratkan adanya
hubungan antara keadaan/sikap batin si pembuat
dengan sifat melawan hukumnya perbuatan
 Pandangan ini mendalilkan, bahwa “sengaja” berarti
dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat (boos
opzet).
 untuk adanya “kesengajaan” pada si pembuat
dipersyaratkan, bahwa si pembuat itu menyadari,
bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang
dilarang atau bersifat melawan hukum
Hubungan Antara “Kesengajaan” dan
“Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan”
2. Pandangan yang menyatakan, bahwa sifat kesengajaan
itu tidak berwarna (kleurloos opzet).
 untuk adanya kesengajaan itu tidaklah perlu si
pembuat mengetahui, bahwa perbuatannya itu bersifat
melawan hukum
 Untuk adanya kesengajaan, menurut pandangan ini
cukup apabila si pembuat itu menghendaki perbuatan
yang dilarang itu
 untuk membuktikan adanya “kesengajaan” pada si
pembuat, hakim tidak perlu membuktikan, bahwa
kesengajaan si pembuat itu telah ditujukan pada sifat
melawan hukumnya perbuatan, tetapi cukup
dibuktikan, bahwa si pembuat/si pelaku tersebut
menghendaki dilakukannya “perbuatan” yang—
ternyata--dilarang.
Kesengajaan Dalam Rumusan Tindak
Pidana Kesengajaan Dalam
Rumusan Tindak Pidana
1. “Dengan sengaja”
 Pasal 372 KUHP menyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja (koersif dari
penulis) dan melawan hukum mengaku
sebagai milik sendiri sesuatu barang yang
seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan, diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak enam
puluh rupiah”.
Kesengajaan Dalam Rumusan Tindak
Pidana Kesengajaan Dalam
Rumusan Tindak Pidana

2. “Yang diketahuinya”
 Pasal 286 KUHP yang menyatakan :
“Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui (koersif dari
penulis), bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan
tahun”.
Kesengajaan Dalam Rumusan Tindak
Pidana Kesengajaan Dalam
Rumusan Tindak Pidana

3. “Dengan maksud”
 Pasal 362 KUHP menyatakan :
“Barang siapa mengambil suatu
barang, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, dengan
maksud (koersif dari penulis) untuk
dimiliki secara melawan hukum,
diancam, karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”.
Penempatan “Kesengajaan”
(Opzet) Dalam Rumusan
Tindak Pidana
1. Apabila di dalam rumusan tindak pidana digunakan
istilah “dengan sengaja” untuk menunjukkan adanya
unsur kesengajaan, maka menurut MvT unsur yang
dirumuskan di belakang unsur kesengajaan tersebut
harus dianggap diliputi oleh kesengajaan
Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut :
 unsur dengan sengaja
 unsur melawan hukum
 unsur mengaku sebagai milik sendiri
 unsur suatu barang
 unsur yang seluruh atau sebagaian milik orang
lain
 unsur yang ada dalam kekeuasaannya bukan
karena kejahatan
Penempatan “Kesengajaan” (Opzet)
Dalam Rumusan Tindak Pidana
2. Apabila unsur “kesengajaan” dirumuskan di tengah-
tengah unsur yang lain dalam rumusan tindak pidana,
maka konsekuensinya adalah, bahwa unsur yang
letaknya dibelakang unsur “kesengajaan” harus
dianggap dijiwai oleh unsur ‘kesengajaan
Pasal 480 KUHP sebagai berikut
Ke-1 Barang siapa menjual, menawarkan,
menukar, menerima sebagai gadai,
menerima hadiah, atau untuk menarik
keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
benda/barang, yang diketahui (koersif dari
penulis) atau sepatutnya harus diduga,
bahwa diperoleh dari kejahatan.
Penempatan “Kesengajaan” (Opzet)
Dalam Rumusan Tindak Pidana
3. Dalam hal “kesengajaan” itu tidak dirumuskan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana

Pasal 167 (1) KUHP :


“Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah,
ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai
orang lain dengan melawan hukum, atau berada
di situ dengan melawan hukum, dan atas
permintaan yang berhak atau suruhannya tidak
pergi dengan segera diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah”.
Hubungan Antara “Kesengajaan” dan
“Kekeliruan/ Kesesatan”

Istilah lain “kekeliruan/kesesatan” :


 kesalahan faham (kesalah-pahaman,
pen.)
 salah kira,
 dwaling,
 ignorance,
 mistake,
 error
Hubungan Antara “Kesengajaan”
dan “Kekeliruan/ Kesesatan”
Apakah orang yang melakukan
suatu perbuatan (pidana) karena
“kekeliruan/kesesatan” dapat
dianggap telah dengan “sengaja”
melakukan perbuatan pidana,
sehingga oleh karenanya orang
itu harus dipidana ???
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana
1. Kekeliruan/kesesatan mengenai
peristiwanya (feitelijke dwaling),
“mistake of fact” atau “error facti”
atau “kesalahpahaman yang
sebenarnya”.
berlaku prinsip, bahwa
kesesatan mengenai
peristiwanya tidak
menimbulkan pemidanaan
(error facti non nocet)
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana
Lhien Dha seorang pembeli yang “jujur”.
Dengan itikad baik ia telah mengira,
bahwa sebuah benda yang dibelinya dari
seorang penjual adalah milik penjual itu
sendiri, tetapi kemudian ternyata, bahwa
benda tersebut diperoleh penjual karena
kejahatan, sehingga dalam hal ini telah
terjadi kesesatan mengenai salah satu
unsur dari tindak pidana “penadahan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 480
KUHP, yaitu unsur : “bahwa benda
tersebut telah diperoleh karena kejahatan
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana

2. Kesesatan/kekeliruan mengenai
hukumnya (rechtdwaling atau
mistake of law atau error iuris).
berlaku prinsip : kesesatan atau
kekeliruan mengenai hukumnya
“tidak” menghapus pidana, jadi
tetap dipidana (error iuris nocet).
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana

3. Kesesatan/kekeliruan mengenai
objeknya (error in objecto).
bahwa error in objecto adalah
kesesatan/kekeliruan mengenai
“barang” yang menjadi tujuan
perbuatan yang dilarang
error in objecto ini juga dalam
keadaan tertentu merupakan error
facti dan dalam keadaan yang lain
merupakan error in persona
Pandangan Tentang “Kekeliruan/
Kesesatan” Dalam Hukum Pidana

4. Kesesatan/kekeliruan mengenai
“orang” (error in persona).

TETAP DIPIDANA
Kealpaan/kelalaian
istilah lain :
culpa/schuld (kesalahan, pen.) dalam
arti sempit,
nalatigheid,
recklessness,
negligence,
sembrono,
teledor
Kelalaian……..?????
1. “kekurangan pemikiran yang diperlukan”
(gebrek aan het nodige denken).
2. “kekurangan pengetahuan/pengertian
yang diperlukan” (gebrek aan de nodig
kennis).
3. “kekurangan dalam kebijaksanaan yang
disadari” (gebrek aan de nodige beleid).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
a. Tidak adanya “kehati-hatian” yang diperlukan atau
tidak adanya ketelitian yang diperlukan.
1. Untuk menentukan apakah seseorang itu telah berbuat “tidak
hati-hati” digunakan ukuran orang-orang yang “segolongan”
dengan pelaku. Apabila orang-orang yang “segolongan”
dengan pelaku itu, dalam kondisi dan situasi yang sama akan
berbuat sama (dengan pelaku), maka dalam hal ini si pelaku
“tidak” dapat dikatakan telah berbuat “lalai”. Perbuatan
tersebut oleh karenanya berarti telah “lazim” dilakukan oleh
orang pada umumnya. Sebaliknya, apabila orang-orang yang
“segolongan” dengan pelaku itu “tidak” berbuat sama dengan
pelaku, dalam arti orang-orang yang “segolongan” dengan
pelaku itu “berbuat lain” (dengan pelaku), maka dalam hal
ini dikatakan, bahwa pelaku telah “berbuat lalai” yang
“menyolok/besar” (culpa lata).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
a. Tidak adanya “kehati-hatian” yang diperlukan
atau tidak adanya ketelitian yang diperlukan.
2. Untuk menentukan apakah seseorang itu telah
“berbuat lalai” atau “tidak” juga dapat digunakan
“ukuran” lain, yaitu dari orang “terpandai” yang
termasuk dalam golongan si pelaku (segolongan
dengan pelaku). Secara doktrinal, apabila orang
terpandai yang segolongan dengan pelaku tersebut
kemudian “berbuat” lain dengan pelaku, maka
dalam hal ini si pelaku telah berbuat “kelalaian”.
Dalam hal ini “kelalaian” yang telah diperbuat oleh
si pelaku adalah “kelalaian” yang kecil (culpa levis).
Apa “Ukuran” untuk Menentukan
adanya Kelalaian ???
Secara doktrinal,untuk adanya
“kealpaan/kelalaian” harus dipenuhi dua
syarat :
b. Adanya “akibat” yang dapat diduga sebelumnya
untuk menentukan apakah pelaku dapat dikatakan
“dapat” menduga timbulnya akibat atau tidak,
digunakan “ukuran” orang-orang yang segolongan
dengan pelaku. Dalam hal ini, apabila orang-orang
yang segolongan dengan pelaku tersebut juga “tidak
dapat” menduga timbulnya akibat, maka berarti
tidak ada “kelalaian” pada pelaku. Sebaliknya,
apabila orang-orang yang segolongan dengan pelaku
tersebut ternyata “dapat” menduga timbulnya
akibat, maka dalam hal ini berarti dalam diri pelaku
terdapat adanya “kelalaian”.
Sebuah Contoh………….
“Seseorang (sebut saja Lhin Thang)
mengendarai sepeda motor melewati
jembatan yang lebarnya 4 (empat) meter.
Ketika ia mau melewati seseorang (sebut
saja Than Thie) yang juga sedang
berjalan di jembatan itu dengan arah
yang sama, tiba-tiba Than Thie justru
menyimpang ke kanan, sehingga ia
tertabrak oleh Lhin Thang dan meninggal
dunia”.
Sebuah Contoh………….
Dalam kasus ini Politierechter
berpendirian, bahwa dalam hal ini
tidak ada “kesembronoan” atau
“kekurang hati-hatian” (jadi tidak
ada “kealpaan” pada pengendara
sepeda motor (Lhin Thang) yang
menabrak Than Thie, pen.) dengan
pertimbangan antara lain sebagai
berikut :
Sebuah Contoh………….
1. Lalau lintas di jalan umum tidak
menghendaki pengendara sepeda motor
yang hendak menyusul (maksudnya
melewati, pen.) seorang pejalan kaki
yang berjalan ke arah yang sama—di
sebelah kiri, kira-kira 1,5 m (satu
setengah meter) dari pagar jembatan
yang lebarnya 4 (empat) meter—untuk
membunyikan “klakson” atau
“mengurangi kecepatan”--yang dalam
hal ini kecepatan sepeda motor itu tidak
tinggi—karena masih ada ruang yang
cukup untuk dilalui sepeda motor itu.
Sebuah Contoh………….
2. Lalu lintas di jalan itu disesuaikan dengan
pemakai jalan yang normal.

3. Dari pengendara sepeda motor itu—menurut akal


sehat—tidak dapat diharapkan untuk bisa
menduga, bahwa pejalan kaki itu tiba-tiba
ber-“aksi” secara keliru, yaitu ketika dilalui
(maksudnya dilewati, pen.), ia minggir ke kanan
jalan yang diperuntukkan bagi sepeda motor itu
(yang semestinya kalaupun si pejalan kaki itu
harus minggir, ia harus minggir ke kiri, apalagi
dalam kondisi di mana ruang jalan di sebelah kiri
masih sangat cukup untuk si pejalan kaki tersebut,
pen.).
Istilah “kealpaan/kelalaian”
dalam KUHP
1. Karena kealpaannya.
Pasal 359 KUHP, yang menyatakan :
“Barang siapa karena “kealpaannya”
(koersif dari penulis) menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun”.
2. Sepatutnya harus diduga.
Istilah “kealpaan/kelalaian”
dalam KUHP
2. Sepatutnya harus diduga.
Pasal 480 KUHP, yang menyatakan :
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah
karena penadahan.
Ke-1 barang siapa menjual, menawarkan,
menukar, menerima gadai, menerima hadiah,
atau untuk menarik keuntungan, menjual
menyewakan, menukarkan, menggadaikan,
mengangkut, menyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang
diketahui atau “sepatutnya harus diduga”,
(koersif dari penulis) bahwa diperoleh dari
kejahatan.
Istilah “kealpaan/kelalaian”
dalam KUHP
3. Istilah “kealpaan” tidak dirumuskan
secara eksplisit (tersurat).
Pasal 497 KUHP, yang menyatakan :
Diancam dengan denda paling tinggi dua puluh
lima rupiah
 Ke-1 barang siapa di jalan umum atau di
pinggirnya, ataupun di tempat yang
sedemikian dekatnya dengan bangunan atau
barang, hingga dapat timbul bahaya
kebakaran, menyalakan api tanpa perlu
menembakkan senjata api
 Ke-2 barang siapa melepaskan balon angin di
mana digantungkan bahan-bahan menyala
Tidak adanya Alasan Penghapus
“Kesalahan” (Alasan Pemaaf).
1. Tidak mampu bertanggungjawab
(diatur dalam Pasal 44 KUHP).
2. Daya paksa (diatur dalam Pasal 48
KUHP).
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui
batas (diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP).
4. Melaksanakan perintah jabatan yang
tidak sah dengan itikad baik (diatur
dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP).
Pertanggungjawaban Pidana dalam
Konsep Rancangan KUHP Baru.

Batasan tentang pertanggungjawaban


pidana dalam Konsep KUHP Baru
“Pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada tindak pidana dan
secara subyektif kepada seseorang
yang memenuhi syarat untuk dapat
dijatuhi pidana karena perbuatannya
itu (koersif dari penulis)”.
Penjelasan
“Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala
ada pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.
Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan
sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan
secara subyektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Dasar
adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal
yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang
mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak
pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena
perbuatannya (koersif dari penulis)”.
Masalah “kesalahan” dalam
Konsep/Rancangan KUHP Baru
Dalam Pasal 35 Konsep/Rancangan
KUHP Baru sebagai berikut :
(1) Tidak seorangpun dapat dipidana tanpa
kesalahan.
(2) Bagi tindak pidana tertentu, undang-
undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata
telah dipenuhinya unsur-unsur tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan
adanya kesalahan.
(3) Dalam hal tertentu, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana yang dilakukan orang lain, jika
ditentukan dalam suatu undang-undang.
Formulasi Kemampuan
Bertanggungjawab dalam
Konsep/Rancangan Kuhp Baru
Pasal 38 menyatakan :
“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak
pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa
atau retardasi mental, tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi
dapat dikenakan tindakan”.
Pasal 39 menyatakan :
“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak
pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan
karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa
atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi
atau dikenakan tindakan”.

Anda mungkin juga menyukai