Anda di halaman 1dari 13

Analisis yuridis

KESATU

1.Unsur unsur pasal 340 kitab undang-undang Hukum pidana (KUHP) mengenai pembunuhan
berencana :
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

1. Barang siapa
2. Dengan Sengaja
3. Merampas nyawa orang lain
4. Dengan rencana

Bahwa adapun uraian terkait dengan pembuktian unsur unsur diatas adalah sebagai berikut:

A. Unsur “ Barang siapa”


-Bahwa yang dimaksud dengan “Barang Siapa” dalam pandangan kitab undang-undang
hukum pidana adalah subjek hukum yang dapat berupa perorangan maupun badan hukum
yang diwakili oleh person yang menampakkan daya berpikir sebagai persyaratan
mendasarkemampuan bertanggu iningjawab, yang berdasarkan ketentuan dalam pasal
340 KUHP dapat diketahui bahwa orang yang dipandang mampu mempertanggungjawabkan
atas perbuatan yang dilakukannya adalah orang yang sehat akal pikirannya.

-Kata “Barang Siapa” menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Buku II,
Edisi Revisi Tahun 2004, Halaman 208 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 juni 1995, Terminologi kata “Barang Siapa” atau
“HI” sebagai siapa saja yang harus dijadikan Tersangka atau setiap orang sebagai subjek
hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala
tindakannya.

-Menurut Prof. Stochid Kartanegara, SH. Dalam bukunya Kumpulan Kuliah Hukum Pidana
bagian I penerbit Balai Rektor Mahasiswa, tanpa tahun, halaman 243-244 mengatakan bahwa
ada 2 syarat Teorekening, Vaan Bartheed, Yaitu;
1.) Jiwa dan Psikologi yaitu Keadaan jiwa orang tersebut harus sedemikian rupa, sehingga ia
dapat melakukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan itu.
2.)Harus dapat menentukan kehendaknya: Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut
hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila.
-Bahwa yang dimaksud dengan tidak di bawah pengampuan adalah bahwa yang dimaksud
dengan pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan tidak berakal sehat, gila atau mata gelap,
harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”.

-Bahwa untuk menentukan apakah seorang Tersangka dalam keadaan terganggu jiwanya atau
tidak, kita dapat mengacu kepada 3 standar yang diakui secara internasional oleh para pakar
psikologi forensik.

•Standar pertama yang dapat digunakan adalah The M’ Naghten Rule, diundangkan di England
pada tahun 1843. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu pembelaan dapat diterima jika dapat
dibuktikan bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum “melakukannya dalam
keadaan terganggu nalarnya, akibat penyakit jiwa, seperti tidak mengetahui hakikat dan kualitas
perbuatan yang dilakukannya; atau, kalaupun dia mengetahuinya, dia tidak mengetahui bahwa
yang dilakukannya itu salah”.

•Standar yang kedua adalah The Durham Standard. Standar Durham menyatakan bahwa
“seorang Tersangka tidak bertanggungjawab atas kejahatannya kalau perbuatannya yang
melanggar hukum itu merupakan akibat dari penyakit mental atau gangguan mental”. Pada
standar ini, keSaksian dari para ahli dari profesi kesehatan memegang peranan yang sangat
penting, karena sangat mempengaruhi putusan.

•Standar ketiga disebut ALI Standard dari The American Law Institute, Standar ini menyatakan
bahwa Tersangka tidak bertanggung jawab untuk suatu perbuatan kriminal kalau merupakan
akibat dari penyakit atau gangguan mental yang sedemikian rupa sehingga sangat berkurang
kapasitasnya untuk memahami kriminalitas perbuatan tersebut atau untuk mematuhi hukum.
Standar ALI dipandang sebagai yang paling liberal karena perbuatan kriminal dapat dimaafkan
kalau penyakit mental mengakibatkan 95 sangat berkurangnya kapasitas untuk memahami apa
yang sedang dilakukan (cognitive deficit) atau tidak mampu mengontrol perilaku (volitional
deficit).

-Bahwa dari ketiga standar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak selamanya seseorang
yang terganggu jiwanya tidak dapat dijatuhi pidana. Seseorang itu baru tidak dapat dijatuhi
pidana apabila gangguan jiwanya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukannya, sebagai
contoh, seseorang yang menderita gangguan jiwa kleptomania tidak dapat dipidana ketika ia
mengutil barang-barang tertentu milik orang lain. Akan tetapi, ketika ia melakukan pembunuhan,
tentu saja ia tetap harus dipidana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk membuktikan unsur “Barang Siapa” akan kami
kemukakan analisa fakta-fakta hukum terungkap di persidangan sebagai berikut:
-Bahwa Tersangka merupakan subjek hukum atau pelaku tindak pidana, yang sehat akal
pikirannya serta mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya
- Bahwa dalam perkara ini, orang atau person yakni tersangka LUKMAN HAKIM telah
melakukan tindak pidana
- Bahwa orang sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana “Pembunuhan” dalam
perkara ini Tersangka LUKMAN HAKIM, di mana dalam pemeriksaan Tersangka telah
membenarkan identitasnya. Hal ini sesuai dengan yang diuraikan dalam berita acara
pemeriksaan Tersangka yang tertuang bahwa Tersangka LUKMAN HAKIM umur 33 tahun,
berjenis kelamin Laki-laki, lahir di Bengkulu pada tanggal 29 Juni 2009 beragama Islam,
Kebangsaan Indonesia, pendidikan terakhir SMA, bekerja sebagai pelajar, bertempat tinggal di
Jl. Lebong Muara aman. Pada saat ditangkap berperan sebagai subjek hukum yang dalam
keadaan sehat jasmani dan rohaninya serta dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya dalam dugaan “pembunuhan” yang dipersangkakan kepadanya.
-Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, secara yuridis Tersangka memenuhi Kriteria sebagai
unsur “Barang Siapa” yaitu dalam perkara ini adalah Tersangka LUKMAN HAKIM
berdasarkan Keterangan Saksi-Saksi :

•Keterangan saksi JUBAEDAH


•Keterangan saks SAIFUL
•Keterangan saksi MUH RIZKY
•Keterangan saksi IHSAN
•Keterangan saksi ZAKY FATHURRAHMAN
•Keterangan saksi GUNAWAN
•Keterangan saksi ZULHAM
•Keterangan saksi AHMAD FARID
•Keterangan saksi ABYAN HIDAYAT
•Keterangan saksi AKBAR SETIAWAN
•Keterangan saksi RUSDIANTO

-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan bahwa orang
sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana dalam perkara ini adalah Tersangka
LUKMAN HAKIM di mana pada saat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka telah membenarkan
identitasnya didukung dengan keterangan Saksi-Saksi di bawah
sumpah, keterangan ahli, Barang Bukti yang diajukan dan kesimpulan tentang perbuatan tindak
pidana.
-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
merupakan pribadi yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dalam Berita
Acara Pemeriksaan Tersangka bertingkah laku normal dan dapat menjawab dengan baik
pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh penyidik serta dapat mengerti dan memberikan
tanggapan yang baik.
-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan, Tersangka adalah
orang yang cakap, dewasa, mampu berbuat dan mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara sehat fisik dan psikisnya, dan Tersangka dapat menjawab secara lancar atas
pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, sesuai pertimbangan bahwa Tersangka adalah subyek
hukum.
-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan, sampai selesai
saat ini telah ditemukan suatu bukti yang menyatakan bahwa Tersangka merupakan orang
yang mampu dan dapat bertanggungjawab atas perbuatan dan kesalahan yang telah
dilakukannya.

B). Unsur “Dengan sengaja”

-Dalam kamus hukum, "dengan sengaja" merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan
kesadaran dan niat yang jelas untuk melakukan sesuatu. Ini menunjukkan bahwa individu
melakukan tindakan tersebut dengan sengaja, tanpa ada unsur kebetulan atau kecerobohan.
Dalam konteks hukum pidana, unsur kesengajaan sering kali penting dalam menentukan
kesalahan pelaku dan tingkat kejahatan yang terlibat. Jika seseorang melakukan suatu tindakan
dengan sengaja, mereka bertanggung jawab penuh atas

-Bahwa menurut Wirjono Prodjodikoro kebanyakan tindak pidana mempunyai dasar


kesengajaan atau opzet bukan unsur culpa (Kelalaian), ini adalah layak, oleh karena biasanya
yang pantas mendapat hukuman pidana itu ialah yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

-Bahwa menurut Prof. Satochid S.H yang dimaksud dengan sengaja dan melawan hukum dapat
dilihat dalam memorie van Tolichting yaitu “willens en weten” yang artinya seorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki perbuatan itu, serta harus
mengerti akan akibat perbuatannya.
-Bahwa menurut Sudarto, Hukum Pidana I, 1990:106 bahwa kesengajaan berhubungan dengan
sikap batin si pelaku, sehingga coraknya dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a.)Kesengajan sebagai maksud untuk mencapai tujuan dalam arti bahwa perbuatan pelaku
bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
b.)Kesengajaan dengan sadar kepastian, dimana perbuatan pelaku akan membawa kepada
dua akibat yaitu akibat yang memang dituju oleh pelaku dan akibat yang tidak diinginkan tetapi
merupakan sesuatu keharusan untuk mencapai tujuan.
c.)Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). Dalam hal ini ada keadaan
tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi: Bahwa didalam
kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini maka pelaku mengetahui atau dapat
membayangkan akan kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki tetapi bayangan itu
tidak mencegah pelaku untuk tidak berbuat sehingga tetapi bayangan itu tidak mencegah
pelaku untuk tidak berbuat sehingga dapat dikatakan bahwa kesengajaan diarahkan kepada
akibat yang mungkin akan terjadi.

-Bahwa yang dimaksud dengan sengaja, sebagaimana menurut Prof. Satochid S.H
menyebutkan dengan sengaja dan melawan hukum dapat dilihat dalam memori van Tolichting
yaitu “willens en wateri” yang artinya “seorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja, harus menghendaki perbuatan itu, serta harus mengerti akan akibat perbuatannya.”

Bahwa menurut Wirjono Prodjodikoro (AmirIlyas,2012:78) kesengajaan dapat dibagi menjadi 3


bagian, yaitu:

•Sengaja Sebagai niat


Bahwa dengan kesengajaan yangbersifat tujuan (oogmerk) si pelaku dapat dimengerti oleh
khayalak ramai. Maka apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindakan hukuman
pidana ini lebih nampak apabila dikemukakan,bahwa dengan adanya kesengajaan yang
bersifattujuanini,dapat dikatakan pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang
menjadi pokok alasan diadakannya hukuman pidana(constituief gevolg).

•Sengaja sadarakan kepastian dan keharusan

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya,tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu. Jika ini terjadi, maka teori kehendak(wilstheorie) menganggap akibat
tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan berupa tujuan
(oogmerk)oleh karena dalam keduanya tentang akibat tidakdapat dikatakan ada kehendak si
pelaku bahwa akibat pastia kan terjadi,maka kini juga ada kesengajaan.

•Sengaja sadarakan kemungkinan

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai kenangan suatu
kepastianterjadinya akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu
kemungkinan belaka akan akibat itu. Menurut van hattum dan hazewingkel-suriga (AmirIlyas,
2012:82) mengatakanbahwa:
Tidak ada kesengajaan, melainkan hanya mungkinadaculpaataukurangberhati-hati.kalau masih
dapat dikatakan,kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis sama atau hampir sama
dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah pasti kesengajaan secara
keinsafan kemungkinan tidak sama dengan dua macam kesengajaan yanglain itu, melainkan
hanya disamakan atau dianggapseolah-olah.

-Bahwa yang dimaksudkan di sini adalah seseorangyangmelakukan suatu perbuatan


dengansengaja itu haruslah memenuhi rumusan Willens atau haruslah menghendaki
mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
-Bahwa dengan sengaja adalah pelaku memiliki kehendak dan keinsyafan untuk menimbulkan
akibat tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan yang didorong oleh penemuan
nafsu (Motif).

Dalam yurisprudensi, "dengan sengaja" merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dengan kesadaran dan niat untuk melakukan tindakan tersebut. Ini menunjukkan bahwa
individu melakukan tindakan tersebut dengan penuh kesadaran atas tindakan yang mereka
lakukan, tanpa ada unsur kebetulan atau kecerobohan. Dalam konteks hukum, unsur
kesengajaan sering kali menjadi faktor penting dalam menentukan kesalahan pelaku dan
tingkat kejahatan yang terlibat. Jika seseorang melakukan suatu tindakan dengan sengaja,
mereka biasanya dianggap bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari tindakan tersebut.
Misalnya, dalam kasus pembunuhan, unsur kesengajaan akan menjadi faktor penting dalam
menentukan apakah pelaku bersalah atau tidak, serta dalam menentukan tingkat hukumannya.
Dengan demikian unsur “Dengan sengaja” telah terbukti secara sah menurut hukum.

C). Unsur”Merampas Nyawa Orang Lain”

-Bahwa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "merampas nyawa orang lain"
merujuk pada tindakan membunuh atau mengambil nyawa seseorang secara paksa atau tanpa
hak yang sah. Ini adalah tindakan yang melanggar hukum dan dapat memiliki konsekuensi
hukum yang serius.

-Bahwa Menurut kamus hukum, "merampas nyawa orang lain" merujuk pada tindakan
membunuh seseorang secara ilegal atau melanggar hukum. Ini adalah tindakan yang serius
dan dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks
hukum pidana, pembunuhan atau penghilangan nyawa orang lain tanpa hak sah atau alasan
yang diakui oleh hukum merupakan pelanggaran yang serius.

-Bahwa unsur “merampas nyawa orang lain” dihubungkan dengan unsur melawan hak atau
Wederrechtelijk ,maka ini berarti bahwa sipelaku harus mengetahui ,bahwa perbuatannya
tersebut yang berupa Zich Toeeigenen itu adalah bertentangan dengan hak orang lain.
-Bahwa yang dimaksud “merampas nyawa” orang lain menurut Hermein Hadiati ialah
kesengajaan merampas nyawa orang itu dilakukan segera setelah timbulnya niat untuk
Membunuh, adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang, hubungan ini ada
dalam alam kenyataan, dan adanya kesengajaan yang tertuju kepada terlaksananya kematian
orang itu, hubungan ini ada dalam alam batin.
-Bahwa yang dimaksud “merampas” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah mengambil
dengan paksa (dengan kekerasan).
Bahwa yang dimaksud “nyawa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberi hidup
kepada wadak (organisme fisik) yang menyebabkan hidup (pada manusia, binatang, dan
sebagainya).

Dalam yurisprudensi, "merampas nyawa orang lain" merujuk pada tindakan seseorang yang
menyebabkan kematian individu lain dengan sengaja atau tidak sengaja. Ini dapat mencakup
berbagai tindakan seperti pembunuhan, pembunuhan tidak disengaja, atau pembunuhan
dengan pengabaian, tergantung pada niat dan keadaan yang mengelilingi peristiwa tersebut.
Konsekuensi hukum dari merampas nyawa orang lain dapat bervariasi tergantung pada
yurisdiksi dan faktor-faktor lainnya seperti niat, motif, dan keadaan yang mengelilingi peristiwa
tersebut. Dalam banyak kasus, merampas nyawa orang lain dianggap sebagai kejahatan serius
dan dapat mengakibatkan hukuman pidana yang berat, termasuk hukuman penjara atau
bahkan hukuman mati dalam beberapa yurisdiksi.

Dengan demikian unsur “Merampas nyawa orang lain “ telah terbukti secara sah menurut
hukum
D). Unsur “Dengan Rencana”

-Bahwa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksud dari "dengan
rencana" adalah melakukan sesuatu dengan persiapan yang matang atau dengan
pertimbangan yang teliti. Ini mengacu pada tindakan yang direncanakan terlebih dahulu
dan dilakukan dengan tujuan tertentu.

-Bahwa yg dimaksud “Berencana artinya dengan direncanakan lebih dahulu, terjemahan dari
kata asing “metvoorbedacterade” antara timbulnya maksud akan membunuh dengan
pelaksanaannya masih ada tempo bagi si pembuat dengan tenang memikirkan dengan cara
bagaimana sebaiknya pembunuhan itu dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit akan
tetapi sebaiknya juga tidak boleh terlalu lama yang penting ialah bahwa tempo itu di buat oleh si
pelaku dengan tenang bisa dapat berpikir-pikir yang sebenarnya itu masih ada kesempatan
untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi kesempatan itu tidak
dipergunakannya”.
Dengan rencana lebih dahulu, artinya terdapat waktu jeda antara perencanaan dengan tindakan
yang memungkinkan adanya perencanaan secara sistematis terlebih dahulu lalu baru diikuti
dengan tindakannya.

-Dalam konteks hukum, melakukan sesuatu dengan rencana sering kali mengimplikasikan
adanya pertimbangan terhadap implikasi hukum dari tindakan tersebut serta langkah-langkah
yang diambil untuk memastikan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku.

-Menurut pendapat ahli, "dengan rencana" merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan
setelah melakukan perencanaan yang matang dan terencana dengan baik. Ini mencakup
identifikasi tujuan, penentuan langkah-langkah yang diperlukan, dan pengaturan sumber daya
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan kata lain, tindakan dilakukan secara sadar dan
terencana untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Dalam yurisprudensi, "dengan rencana" merujuk pada melakukan suatu tindakan dengan
sengaja dan sesuai dengan suatu rencana atau perencanaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Ini menunjukkan adanya kesengajaan dan perencanaan sebelum melakukan
suatu tindakan tertentu. Dalam konteks hukum, unsur "dengan rencana" sering kali menjadi
faktor penting dalam menentukan kesalahan dan kesengajaan pelaku dalam melakukan
tindakan yang diperdebatkan. Misalnya, dalam kasus pembunuhan, unsur perencanaan atau
prameditasi dapat menjadi faktor yang menentukan dalam menentukan apakah pelaku bersalah
atau tidak, dan dalam menentukan tingkat hukumannya.

Dengan demikian unsur “Dengan rencana “ telah terbukti secara sah menurut hukum.

KEDUA

Unsur unsur pasal 285 Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) Mengenai “Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
1. Barang siapa
2. Dengan kekerasan
3. Memaksa seseorang
4. Bersetubuh diluar perkawinan

Bahwa adapun uraian terkait dengan pembuktian unsur-unsur di atas adalah sebagai berikut:

A.) Unsur ‘’Barang Siapa”


-Bahwa yang dimaksud dengan “Barang Siapa” dalam pandangan kitab undang-undang hukum
pidana adalah subjek hukum yang dapat berupa perorangan maupun badan hukum yang
diwakili oleh person yang menampakkan daya berpikir sebagai persyaratan mendasar
kemampuan bertanggungjawab, yang berdasarkan ketentuan dalam pasal 351 ayat 3 KUHP
dapat diketahui bahwa orang yang dipandang mampu mempertanggungjawabkan atas
perbuatan yang dilakukannya adalah orang yang sehat akal pikirannya.
-Kata “Barang Siapa” menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Buku II,
Edisi Revisi Tahun 2004, Halaman 208 dari Mahkamah Agung RI dan Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 juni 1995, Terminologi kata “Barang Siapa” atau
“HI” sebagai siapa saja yang harus dijadikan Tersangka atau setiap orang sebagai subjek
hukum (pendukung hak dan kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala
tindakannya.

-Menurut Prof. Stochid Kartanegara, SH. Dalam bukunya Kumpulan Kuliah Hukum Pidana
bagian I penerbit Balai Rektor Mahasiswa, tanpa tahun, halaman 243-244 mengatakan bahwa
ada 2 syarat Teorekening, Vaan Bartheed, Yaitu;
a. Keadaan Jiwa dan Psikologi yaitu Keadaan jiwa orang tersebut harus sedemikian rupa,
sehingga ia dapat melakukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan itu.
b. Harus dapat menentukan kehendaknya: Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut
hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila.
-Bahwa yang dimaksud dengan tidak di bawah pengampuan adalah bahwa yang dimaksud
dengan pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap
orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan tidak berakal sehat, gila atau mata gelap,
harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”.
-Bahwa untuk menentukan apakah seorang Tersangka dalam keadaan terganggu jiwanya atau
tidak, kita dapat mengacu kepada 3 standar yang diakui secara internasional oleh para pakar
psikologi forensik.
•Standar pertama yang dapat digunakan adalah The M’ Naghten Rule, diundangkan di England
pada tahun 1843. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu pembelaan dapat diterima jika dapat
dibuktikan bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum “melakukannya dalam
keadaan terganggu nalarnya, akibat penyakit jiwa, seperti tidak mengetahui hakikat dan kualitas
perbuatan yang dilakukannya; atau, kalaupun dia mengetahuinya, dia tidak mengetahui bahwa
yang dilakukannya itu salah”.
•Standar yang kedua adalah The Durham Standard. Standar Durham menyatakan bahwa
“seorang Tersangka tidak bertanggungjawab atas kejahatannya kalau perbuatannya yang
melanggar hukum itu merupakan akibat dari penyakit mental atau gangguan mental”. Pada
standar ini, keSaksian dari para ahli dari profesi kesehatan memegang peranan yang sangat
penting, karena sangat mempengaruhi putusan.
•Standar ketiga disebut ALI Standard dari The American Law Institute, Standar ini menyatakan
bahwa Tersangka tidak bertanggung jawab untuk suatu perbuatan kriminal kalau merupakan
akibat dari penyakit atau gangguan mental yang sedemikian rupa sehingga sangat berkurang
kapasitasnya untuk memahami kriminalitas perbuatan tersebut atau untuk mematuhi hukum.
Standar ALI dipandang sebagai yang paling liberal karena perbuatan kriminal dapat dimaafkan
kalau penyakit mental mengakibatkan 95 sangat berkurangnya kapasitas untuk memahami apa
yang sedang dilakukan (cognitive deficit) atau tidak mampu mengontrol perilaku (volitional
deficit).

-Bahwa dari ketiga standar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak selamanya seseorang
yang terganggu jiwanya tidak dapat dijatuhi pidana. Seseorang itu baru tidak dapat dijatuhi
pidana apabila gangguan jiwanya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukannya, sebagai
contoh, seseorang yang menderita gangguan jiwa kleptomania tidak dapat dipidana ketika ia
mengutil barang-barang tertentu milik orang lain. Akan tetapi, ketika ia melakukan pembunuhan,
tentu saja ia tetap harus dipidana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk membuktikan unsur “Barang Siapa” akan kami
kemukakan analisa fakta- fakta hukum terungkap di persidangan sebagai berikut:
-Bahwa Tersangka merupakan subjek hukum atau pelaku tindak pidana, yang sehat akal
pikirannya serta mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya
- Bahwa dalam perkara ini, orang atau person yakni tersangka LUKMAN HAKIM telah
melakukan tindak pidana
Bahwa orang sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana “Pembunuhan” dalam
perkara ini Tersangka LUKMAN HAKIM di mana dalam pemeriksaan Tersangka telah
membenarkan identitasnya. Hal ini sesuai dengan yang diuraikan dalam berita acara
pemeriksaan Tersangka yang tertuang bahwa Tersangka LUKMAN HAKIM, umur 14 tahun,
berjenis kelamin Laki-laki, lahir di Bengkulu pada tanggal 29 juni 2009, beragama Islam,
Kebangsaan Indonesia, pendidikan terakhir SMA bekerja sebagai Pelajar, bertempat tinggal di
Jl. Lebong Muara aman,Pada saat ditangkap berperan sebagai subjek hukum yang dalam
keadaan sehat jasmani dan rohaninya serta dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya dalam dugaan “pembunuhan” yang dipersangkakan kepadanya.
-Bahwa dalam perkara ini, orang atau person yang diajukan dan disangkakan telah melakukan
tindak pidana “penganiayaan yang mengakibatkan kematian” adalah Tersangka LUKMAN
HAKIM
-Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, secara yuridis Tersangka memenuhi Kriteria sebagai
unsur “Barang Siapa” yaitu dalam perkara ini adalah Tersangka LUKMAN HAKIM
berdasarkan Keterangan Saksi-Saksi :

•Keterangan saksi JUBAEDAH


•Keterangan saks SAIFUL
•Keterangan saksi MUH RIZKY
•Keterangan saksi IHSAN
•Keterangan saksi ZAKY FATHURRAHMAN
•Keterangan saksi GUNAWAN
•Keterangan saksi ZULHAM
•Keterangan saksi AHMAD FARID
•Keterangan saksi ABYAN HIDAYAT
•Keterangan saksi AKBAR SETIAWAN
•Keterangan saksi RUSDIANTO

-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan bahwa orang
sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana dalam perkara ini adalah Tersangka
LUKMAN HAKIM di mana pada saat Berita Acara Pemeriksaan Tersangka telah membenarkan
identitasnya didukung dengan keterangan Saksi-Saksi di bawah sumpah, keterangan ahli,
Barang Bukti yang diajukan dan kesimpulan tentang perbuatan tindak pidana.

-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
merupakan pribadi yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dalam Berita
Acara Pemeriksaan Tersangka bertingkah laku normal dan dapat menjawab dengan baik
pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh penyidik serta dapat mengerti dan memberikan
tanggapan yang baik.
-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan, Tersangka adalah
orang yang cakap, dewasa, mampu berbuat dan mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara sehat fisik dan psikisnya, dan Tersangka dapat menjawab secara lancar atas
pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, sesuai pertimbangan bahwa Tersangka adalah subyek
hukum.
-Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan, sampai selesai
saat ini telah ditemukan suatu bukti yang menyatakan bahwa Tersangka merupakan orang
yang mampu dan dapat bertanggungjawab atas perbuatan dan kesalahan yang telah
dilakukannya.
Dengan demikian unsur “Barang Siapa” Telah terbukti Secara Sah Menurut Hukum.

B.) Unsur “Dengan kekerasan “

-Bahwa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "dengan kekerasan" memiliki arti
sebagai berikut:
•Dengan memaksa atau menggunakan kekuatan secara fisik atau kekuatan yang kuat.
•Dengan menggunakan tindakan yang keras atau tegas dalam menyelesaikan suatu masalah
atau situasi.
-Bahwa KUHPidana tidak memberi definisi apa yang Dimaksudkan dengan “kekerasan”. Dalam
Pasal 89 KUHPidana hanya dikatakan bahwa dipersamakan dengan Melakukan kekerasan,
yaitu perbuatan membuat dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dengan demikian, yang
ditentukan dalam pasal 89 KUHPidana adalah perluasan dari pengertian melakukan Kekerasan.
Termasuk ke dalam pengertian “dengan kekerasan” Pada pasal 285 KUHPidana adalah
perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Pingsan Atau tidak
berdaya itu adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku. Sebagai contoh adalah
pelaku membubuhkan obat tidur dengan kadar yang tinggi ke dalam Minuman yang akan
diminum seseorang sehingga pada Akhirnya yang bersangkutan tidak sadarkan diri. Karena
tidak adanya definisi “dengan kekerasan” dalam KUHP, maka para penulis hukum pidana telah
memberikan Pandangannya tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah Tersebut. S.R.
Sianturi, misalnya menulis bahwa, “yang dimaksud dengan kekerasan, adalah setiap perbuatan
dengan Menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian
bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi.”
-Bahwa Menurut S.R. Sianturi kekerasan merupakan setiap perbuatan yang menggunakan
tenaga pada orang atau barang yang mendatangkan kerugian bagi si terancam atau
mengagetkan yang dikerasi.
Contoh tindakan kekerasan dalam tindak pidana pemerkosaan, yaitu:
•Menarik serta meluncurkan celana korban;
•Menondongkan senjata
•Mengeluarkan kata-kata mengancam kepada korban jika melawannya;
•Membanting korban ke tanah;
•Menekan dagu korban itu;
•Memasukkan kemaluan ke kemaluan korban.
Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kekerasan yaitu membuat seorang wanita atau
korban itu merasa takut karena ancaman dari pelaku yang pada akhirnya dapat merugikan diri
wanita tersebut.

-Bahwa Menurut kamus hukum, "dengan kekerasan" merujuk pada penggunaan kekuatan fisik
atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, terutama dalam konteks pelanggaran
hukum atau tindakan kriminal. Ini bisa mencakup penggunaan kekerasan langsung atau
ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan sesuatu atau untuk mencapai hasil
yang diinginkan.

Dalam yurisprudensi, "dengan kekerasan" merujuk pada penggunaan kekuatan fisik atau
ancaman kekerasan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ini
bisa melibatkan tindakan langsung seperti pemukulan, pengeboman, atau penangkapan secara
fisik, atau ancaman yang jelas terhadap integritas fisik atau kesejahteraan seseorang. Dalam
banyak yurisdiksi, tindakan dengan kekerasan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum,
baik sebagai kejahatan atau sebagai dasar untuk tuntutan perdata tergantung pada konteks dan
hukum yang berlaku di suatu negara. Misalnya, dalam kasus pemerasan atau pemaksaan,
penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan sering kali merupakan unsur yang diperlukan
untuk mendukung dakwaan hukum.
Dengan demikian unsur “Dengan kekerasan “ telah terbukti secara sah menurut hukum.

C.) Unsur “Memaksa seseorang “

-Bahwa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "memaksa seseorang"


memiliki arti sebagai berikut:

1. Membuat seseorang melakukan sesuatu dengan cara paksaan, tekanan, atau


intimidasi.
2. Menyebabkan seseorang melakukan sesuatu tanpa kehendaknya sendiri,
seringkali dengan ancaman atau kekerasan.

-Dalam konteks kamus hukum, "memaksa seseorang" mengacu pada tindakan yang
mengarah pada keterlibatan seseorang dalam suatu perbuatan atau kegiatan tertentu
dengan cara yang melanggar kehendak atau keinginan pribadinya. Ini bisa melibatkan
ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, atau tekanan lainnya yang bertujuan
untuk memaksa individu tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai
dengan kehendaknya.

-Bahwa mengenai apa yang dimaksudkan dengan “memaksa”, S.R. Sianturi memberikan
penjelasan, yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tin dakan yang memojokkan
seseorang hingga tiada pilihan lain yang Lebih wajar baginya selain dari pada mengikuti
kehendak Dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan Sipemaksa itu siterpaksa
tidak akan melakukan atau Melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal
ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil risiko yang sangat merugikannya,
misalnya lebih baik mati atau luka-luka/keesakitan dari pada mengikuti kehendak si pemaksa.
Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa secara hurufiah berarti melakukan
sesuatu Terhadap seseorang yang bertentangan dengan kehendak orang tersebut. Hal
memaksa ini, sebagaimana dikatakan Sinturi, pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.

Dalam yurisprudensi, memaksa seseorang merujuk pada tindakan memaksa atau


mengintimidasi individu untuk melakukan sesuatu tanpa persetujuan mereka. Ini bisa mencakup
ancaman kekerasan fisik, kekerasan verbal, atau tekanan psikologis yang kuat untuk membuat
seseorang melakukan sesuatu yang mereka tidak ingin lakukan. Dalam konteks hukum,
memaksa seseorang dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia atau
melanggar hukum pidana tergantung pada sifat dan konsekuensi dari tindakan tersebut.
Misalnya, pemerkosaan adalah contoh ekstrem dari memaksa seseorang dan bisa dianggap
sebagai kejahatan serius dalam banyak yurisdiksi.
Dengan demikian unsur “memaksa seseorang “ telah terbukti secara sah menurut hukum

D.) unsur “ Bersetubuh diluar perkawinan”

-Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "bersetubuh diluar perkawinan" merujuk pada
tindakan hubungan seksual yang terjadi antara dua individu yang bukan suami dan istri menurut
hukum. Dalam konteks hukum dan moral, ini sering kali dianggap sebagai tindakan yang
melanggar norma-norma sosial dan nilai-nilai agama.

-kamus hukum, "bersetubuh diluar perkawinan" mengacu pada hubungan seksual antara dua
individu yang tidak sah menurut hukum karena mereka tidak memiliki status pernikahan yang
sah. Dalam banyak yurisdiksi, hubungan seksual diluar perkawinan dapat memiliki konsekuensi
hukum, seperti pelanggaran hukum perzinahan atau peraturan terkait moralitas dan
keagamaan.

-Pendapat ahli tentang bersetubuh di luar perkawinan bisa bervariasi tergantung pada latar
belakang dan pandangan etika atau moral masing-masing ahli. Secara umum, banyak ahli dan
institusi agama menganggap hubungan seks di luar perkawinan sebagai perilaku yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai moral atau agama tertentu. Namun, pandangan ini bisa berbeda
tergantung pada konteks budaya, agama, dan nilai-nilai masyarakat yang berbeda. Beberapa
ahli mungkin juga melihatnya dari sudut pandang kesehatan mental, emosional, dan hubungan
interpersonal.

Dalam yurisprudensi, bersetubuh diluar perkawinan sering kali dianggap sebagai pelanggaran
hukum dalam konteks negara yang menerapkan undang-undang yang melarang perbuatan
tersebut. Hal ini bisa dianggap sebagai tindakan melanggar norma-norma hukum yang
mengatur perkawinan, moral, atau ketertiban sosial. Konsekuensi hukum dari tindakan ini dapat
bervariasi tergantung pada yurisdiksi dan hukum yang berlaku di suatu negara. Dalam
beberapa kasus, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana dan dapat mengakibatkan
sanksi hukum seperti denda atau penjara, terutama jika tindakan tersebut melibatkan unsur
pemaksaan atau penipuan.

Dengan demikian unsur “ Bersetubuh diluar perkawinan” telah terbukti secara sah menurut
hukum

Anda mungkin juga menyukai