Anda di halaman 1dari 2

Penetapan Tersangka Kepada Orang Yang Telah Meninggal Dunia

Beberapa waktu lalu sempat viral atas penetapan tersangka terhadap almarhum
Brigadir J atas tuduhan pemerkosaan kepada seorang istri Jendral Polisi dan ada pula
seorang mahasiswa yang telah meninggal dunia kemudian ditetapkan sebagai tersangka
oleh Penyidik Kepolisian atas tuduhan kelalaian berkendara yang menyebabkan
kerugian bagi orang lain dan diri sendiri, lantas pertanyaannya apakah secara hukum
orang yang telah meninggal dunia dapat ditetapkan sebagai tersangka?
Dalam hukum Indonesia tidak mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab
namun malah sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana “Barang siapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak
dipidana”.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor, yaitu akal dan kehendak,
dengan akal (daya pikir) seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan Kehendak
(kemauan) seseorang tersebut dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Pada dasarnya hukum pidana Indonesia
menganut asas tiada pidana tanpa ada kesalahan (geen straf zonder schuld) sehingga
seseorang tidak dapat dipidana tanpa ada kesalahan yang diperbuat olehnya.
Penetapan tersangka pada umumnya ditetapkan setelah melalui proses dan tahapan,
dimulai dari penyelidikan guna untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana yang kemudian dilanjutkan penyidikan oleh penyidik guna
untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-bukti tersebut
membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan siapa tersangkanya.
Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan “Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 menyatakan untuk
sahnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka adalah berdasarkan minimal 2 alat
bukti sebagai mana Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta
memeriksa calon tersangka sebagai saksi.
Bahwa dalam hukum pidana mengenal istilah asas praduga tak bersalah, ketika
seseorang diduga melakukan tindak pidana maka terduga pelaku/calon tersangka
tersebut haruslah di periksa sebagai saksi terlebih dahulu untuk kemudian tetapkan
sebagai tersangka ketika terdapat minimal 2 alat bukti, lantas bagaimana terhadap
orang yang telah meninggal dunia kemudian ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya
pemeriksaan baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka adalah kekeliruan, ketidak
hati-hatian dan ketidak cermatan hukum, dan bahkan jika memang benar tindak pidana
tersebut terjadi apakah dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada orang yang telah
meninggal tersebut?

Bahwa penghentian penyidikan didasarkan pada 3 alasan sebagaimana Pasal 109 ayat
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :
1. Tidak terdapat cukup bukti;
2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana; dan
3. Demi hukum.
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana memang berbeda dengan hukum perdata,
dalam hukum perdata mengenal adanya pengalihan pertanggungjawaban kepada ahli
waris, berbeda dengan hukum pidana kesalahan hanya dapat dituntut dan dimintakan
pertanggungjawaban kepada orang yang telah melakukan perbuatan pidana yang masih
hidup dan tidak dapat dimintakan pertanggungajwaban kepada ahli waris, dengan telah
meninggalnya tersangka baik pada saat terjadinya tindak pidana maupun setelah
ditetapkan sebagai tersangka maka dengan sendirinya penyidikan yang telah dilakukan
harus dihentikan dan kewenangan untuk menuntut pidana menjadi hapus sejak
tersangka tersebut meninggal dunia.

Bahwa hal ini sejalan dengan pendapat Ahli Prof. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. mengatakan
bahwa subjek hukum adalah orang yang masih hidup dan mampu bertanggungjawab
yang disampaikan dalam suatu diskusi pada instagram hukumonline , sehingga terhadap
orang yang telah meninggal dunia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena
orang yang telah meninggal bukanlah sebagai subjek hukum.

Dalam hukum pidana terhadap orang yang kurang sempurna akalnya saja tidak dapat
dijatuhi pidana sebagaimana ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) apalagi terhadap orang yang sudah meninggal dunia hal ini sejalan dengan Pasal
77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan “Hak menuntut hukuman
gugur lantaran sitertuduh meninggal dunia” karena menyangkut dengan dapat atau
tidaknya seseorang dimintai pertanggungjawaban pidana, sehingga penyidikan harus
dihentikan dengan alasan demi hukum melalui Surat Perintah Penghentikan Penyidikan
(SP3).

Penulis : Bahrin Daulay, S.H. (Advokat & Konsultan Hukum pada Lawfirm OK. Iskandar,
Aziarni & Partners)

Anda mungkin juga menyukai