Anda di halaman 1dari 5

Pembicara 1 (opening dan closing statement)

a. Opening statement
b. Materi
Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun, tak
terkecuali seorang penyandang disabilitas mental. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang
disabilitas terbagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu penyandang disabilitas fisik,
disabilitas mental, dan disabilitas ganda (fisik dan mental).
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“UU
Disabilitas”), Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Seorang pakar, Argyo Demartoto mengatakan Penyandang disabilitas mental adalah
seseorang dengan kelainan mental dan tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat
dari lahir . Hal ini kemudian dipertegas kembali oleh Ferryal basbeth barsama
kawan-kawan dalam jurnal Indonesian jounal of Legal And Forensik Science,
bahwasanya disabilitas mental juga merupakan suatu gangguan perkembangan yang
terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, atau suatu defisit pada kemampuan
interaksi sosial dan moral.

Pembicara kedua (Pro)

Culpae poena pa resto “ hukuman harus setimpal dengan kejahatannya”

1. Indonesia yang merupakan Negara hukum menganut asas equality before the law
bahwasanya Semua orang sama dimata hukum. Yang artinya Secara konstitusional
penyandang disabilitas mental, itu sama kedudukannya dimata hukum dan
pemerintahan. Dalam hal ini sebagai pelaku tindak pidana dengan berbagai hambatan
yang dapat mengahalangi partisipasinya bukan berarti penyandang disabilitas jenis
tertentu menjadi kebal hukum atau tidak dapat dituntut dalam hal melakukan suatu
tindak pidana, karena penyandang disabilitas pada hakikatnya diakui sebagai subyek
hukum, dimana subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yang
konsekuensinya dapat menuntut atau dituntut subyek hukum lain di muka pengadilan.
2. Pertanggunjawaban pidana terhadap penyandang disabilitas mental pada dasarnya
sesuai dengan konsepsi penegakan hak asasi manusia. Dewan juri yang terhormat
kita ketahui bersama bahwasannya dinegara kita merupakan Negara yang sangat
menjunjung hak asasi manusia dan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia
tersebut dimuat dalam konstitusi tertinggi Indonesia yakni UUD 1945 dalam pasal
28A hingga pasal 28J dan dimuat juga secara khusus dalam undang-undang No 39
tahun 1999 tentang HAM. Dewan juri yang terhormat, tentunya untuk penegakan
hak asasi manusia seseorang kita harus menghormati orang lain, hal ini sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh ibu mariam farida, salah satu guru besar UI, yang
mana beliau menyatakan “ bahwa ketika kita ingin memberikan hak asasi kepada
orang lain maka kita tidak boleh melanggar hak asasi manusia oaring lain pula.”
Dalam hal ini dewan juri yang terhormat sudah sewajarnya pertanggungtajawan juga
haruslah dilakukan oleh penyang disabilitas.
3. Dewan juri yang terhormat, Penyandang disabilitas mental yang melakukan tindak
pidana mengalami peningkatan setiap tahunnya. Individu penyandang disabilitas
dengan status tersangka meskipun memiliki jumlah yang sedikit, namun
presentasenya menunjukkan peningkatan. Pelaku tindak pidana yang memiliki
disabilitas intelektual misalnya terdiri dari 2%-3% dari populasi umum, mereka juga
mewakili 4% sampai 10 % dari populasi penjara. Studi di penjara negara bagian dan
federal Amerika menemukan bahwa kurang dari 1% narapidana memiliki cacat
fisik/disabilitas fisik, sementara 4.2% memiliki keterbelakangan mental disabilitas
intelektual. Dalam hal ini pertanggungjawaban pidana juga sudah dilakukan pada
dewasaa ini. Dewan juri yang terhormat
Berkaca pada kasus di Surakarta yakni pada putusan nomor 50/Pid.Sus/2013/Pn.Ska,
dimana anak penyandang disabilitas mental berinisial RA didakwa melakukan tindak
pidana “membujuk anak melakukan perbuatan cabul”, dalam putusannya hakim
menyatakan terdakwa bersalah dan sesuai dengan rekomendasi BAPAS (Balai
Pemasyarakatan) hakim menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan dengan masa
percobaan 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
Dalam hal ini dewan juri yang terhormat, 3 dasar argumentasi ini menjadi batu
pijakan kami sangat setuju terhadap mosi perdebatan kita kali ini yaitu
pertanggunjawaban pidana haruslah tetap dilakukan oleh penyandang disabilitas
mental karena dewan juri yang terhormat “nullum crime sine poena, aut puniere aut
de dere bahwa setiap kejahatan tidak boleh di biarkan berlalu tanpa hukuman”
Pembicara ketiga (kontra)

Interpretatio cessat in claris, interpretation est perversio - jika teks atau redaksi UU
telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap kata-
kata yang jelas berarti penghancuran.

Mengutip dari apa yang ditulis Glenvi william dalam bukunya yang berjudul Criminal
Lawing tepatnya pada halaman 22, ia menuliskan bahwasanya “dalam melakukan suatu
tindak pidana tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu, agar dapat
mempertanggung jawabkannya dalam hukum pidana diperlukan adanya syarat-syarat untuk
dapat mengenakan pidana terhadapnya Karena melakukan tindak pidana tersebut”. Prof.
moeljatno juga menyatakan “Pada dasarnya pelaku tindak pidana menurut sistem hukum
Indonesia dapat dipidana apabila tindak pidana yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik
yang telah ditentukan dalam undang-undang. Namun apabila dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab, hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab saja yang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”.

Oleh karena itu, berdasarkan apa yang ditulis Glenvi William dan prof.moeljatno ini, kami
meyakini bahwasanya penyandang disabilitas tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana karena mereka tidak memenuhi syarat-syarat pemidanaan. Pun demikian kami
memiliki dua landasan argumentasi yang nantinya akan memperkuat ketidakberpihakan kami
terhadap mosi perdebatan kali ini:

1. ialah merupakan amanat konstitusi yang ada. jika kita berlandaskan pada bunyi pasal
44 ayat 1 KUHP bahwasanya Telah jelas bahwa “orang dengan jiwanya Cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tidak dipidana karena mereka
tidak memenuhi unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana.”

Kanter dan Sianturi dalam bukunya yang berjudul asas-asas hukum pidana di
Indonesia dan penerapannya pada halaman 249 mereka menjelaskan ”bahwa
unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana ialah harus memiliki keadaa, keberadaan
dan kemampuan jiwa yang sehat, kemudian mereka harus dapat mengetahui setiap
perbuatan yang mereka buat” yang artinya dewan juri yang terhormat , para
penyandang disabilitas mental tidaklah mampu untuk serta-merta dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Kita bisa melihat pada realitas yang ada yaitu pada penyakit mental skizofrenia
didalam buku ajar keperawatan jiwa, Shila winasari dalam bukunya menuliskan
bahwa “orang dengan penyakit skizofrenia akan mengalami penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran presepsi, emosi , gerakan
dan perilaku yang aneh dan terganggu”. maka dalam hal ini mereka yang mengalami
gangguan pada kejiwaan, telah jelas tidak mampu dimintai pertanggungjawaban
pidana.
Dan kemudian, dewan juri dan terhormat Pada tanggal 13 Desember tahun2006
majelis umum PBB (perserikatan bangsa-bangsa) telah mengeluarkan resolusi
nomor 61/106, mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan pemerintah Indonesia
telah menandatangani pada tanggal 30 Maret tahun 2007 bertempat di New York.
Maka dalam hal ini Indonesia telah menunjukkan inisiatif untuk menghormati,
melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas dan telah
ratifikasi Indonesia kedalam undang-undang nomor 19 tahun 2011 dan kemudian
di dalam undang-undan gnomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Dimana dalam pasal 56 dinyatakan bahwasanya “penyandang disabilitas memiliki hak
untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum”. maka dalam hal ini mereka
memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya
berdasarkan kesamaan dengan orang lain.
2. Jika kita berkaca pada fakta empiris yang ada bahwa telah diterapkan pembebasan
hukum terhadap orang-orang dengan gangguan mental ketika melakukan suatu
kejahatan pidana . Dimana jika kita mengacu pada putusan sidang MAHKAMAH
MILITER dan putusan Mahkamah Agung Nomor 33.K/Mil/1987 pada tanggal 27
Februari 1988, yang mengadili seorang terdakwa sersan mayor polisi pada Polda
nursa yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga meninggal dunia,
berdasarkan keterangan saksi ahli dokter jiwa yang diUraikan dalam persidangan,
ternyata terdakwa mengalami stres berat sehingga mengalami gangguan psikosis. oleh
karena itulah ia tidak memiliki unsur kesalahan, sehingga pada pasal 44 KUHP dapat
diterapkan bahwa dalam kasus ini dengan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan
meyakinkan sehingga di lepas dari segala tuntutan hukum.
Oleh karena itulah dewan juri yang terhormat, jika kita berkaca padahal tersebut
maka dalam hal ini Indonesia telah mengimplementasikan amanat konstitusi yang ada
dengan memberikan keadilan, perlindungan hukum bagi para penyandang disabilitas
dengan memenuhi, menghormati dan melindungi hak mereka.
Maka dengan demikian, dewan Juri yg terhormat, Hal inilah yang meyakinkan
kami untuk tetap berdiri dengan tegas lugas dan mantap bahwa kami menyatakan
ketidakberpihakan kami terhadap mosi pada kali ini.
pun demi kami memiliki solusi berupa mekanisme terhadap mosi pada perdebatan
kali ini:
1. di Indonesia sendiri telah ada tiga rancangan undang-undang penyandang
disabilitas akan tetapi perlunya untuk dikaji kembali, dengan mulai memberikan
kriteria-kriteria jelas mengenai orang-orang penyandang disabilitas
2. melalui RUU yang direncang haruslah tetap mengutamakan kesejahteraan sosial
penyandang disabilitas. Kesejahteraan sosial yang dimaksud dalam undang-
undang ini adalah:
“Suatu tata kehidupan dan penghidupan material maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketrentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi
diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak dan
kewajiban warga Negara sesuai dengan pancasila yang merupakan tindak lanjut
dari UU No 8 tahun 2016”.

“lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu
orang yang tidak bersalah”(tafsiran dari asas In Dubio Pro Reo)

Anda mungkin juga menyukai