Anda di halaman 1dari 3

Tranformasi Kedudukan Hukum

Penyandang Disabilitas Intelektual dan Mental

Tidak ada bedanya intensi masyarakat dari zaman ke zaman. Gairah untuk berkembang,
untuk merintis pembaharuan adalah inheren dengan dirinya. Tuntutan menuju kemapanan baru
mendorong kita secara sukarela mereproduksi ide, meskipun tak jarang pula terpaksa untuk
beradaptasi terhadapnya. Seluruh pembaharuan tercatat dalam sejarah peradaban kemanusiaan.
Pemikiran hukum pun tak dapat menghindar darinya, yang mana adalah salah satu dimensi yang
melekat dalam kehidupan manusia. Mari kita ingat kembali pepatah kuno yang disebut ibi societas
ibi ius. Di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Tidak peduli apakah masyarakat dimaksud adalah
seluruhnya terdiri dari individu yang cakap atau tidak. Tidak peduli pula apakah hukum itu
bermuatan nilai moral atau hanya sekedar rentetan premis dan norma yang bersusun. Tetapi, pilihan
definitif di atas tidak menganulir eksistensi hukum beserta pembaharuannya. Keadaan faktual dari
mental kolektif tersebut menjadi refleksi pembuka “Tranformasi Kedudukan Hukum Penyandang
Disabilitas Intelektual dan Mental”.

Ada yang menarik dari hukum itu, utamanya prinsip-prinsipnya. Meskipun prinsipnya purba,
tetapi para juris dengan yakin selalu menggaungkannya. Salah satunya adalah apa yang diutarakan
Guan Khong (720-645 SM) seorang kanselir di State of Qi. Beliau telah menanamkan prinsip
mutakhir yang sampai hari ini tidak terbantahkan. “All person that lives in the jurisdiction of the ruler
is equal before the law.” Dari abad VIII SM hingga abad XX ternyata pemikiran tersebut sudah
menjadi norma, bahkan dalam hukum Indonesia, kelasnya mantap pada tingkatan
staatsgrundgesetz. Dalam UUD NRI 1945 tertulis:

Pasal 27 ayat (1)


“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Pasal 28D ayat (1)


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindung, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Kendati bunyi kedua pasal tersebut merumuskan segala warga negara dan setiap orang
yang dalam artian yuridis adalah setiap manusia memunyai hak dan kewajiban tanpa kecuali, akan
tetapi, menurut Achmad Ali, belum tentu setiap orang atau segala warga negara memunyai
kewenangan untuk bertindak melakukan sendiri hak dan kewajiban.1
Berdasarkan tinjauan hukum perdata yang tertuang pada Pasal 433-434 BW, satu golongan
dari ketidakcakapan melakukan tindakan hukum antara lain adalah orang yang lemah pikiran
(zwakheid van vennogens), kekurangan kemampuan berpikir atau sakit ingatan (krank zinnigheid)
atau dungu (oonozelheid), dan pemboros (verkwisting). Sebagai akibatnya, ketidakcakapan orang
yang berada dalam golongan tersebut di atas menyebabkan ketidakmampuan, misalnya,

1
Achmad Ali menuturkan bahwa terdapat tiga golongan yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(personae miserabile), yaitu: a) manusia yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin; b) manusia
dewasa yang berada di bawah kuratele (pengampuan); dan c) Isteri yang tunduk pada BW (meskipun suda
dicabut melalui SEMA Nomor 3 Tahun 1963). Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Bogor:
Ghalia Indonesia, hlm. 172.
membentuk perikatan atau setidaknya-tidaknya, apabila sudah terjadi perikatan, perikatan tersebut
dapat dibatalkan.
Sementara dalam tinjauan hukum pidana, dasar pertanggungjawaban seseorang dilihat dari
tiga unsur, yaitu kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan dalam arti kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa), dan tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf. Bicara tentang kemampuan
bertanggungjawab dalam hukum pidana kemampuan bertanggungjawab dilihat dari dua aspek,
yaitu:
a. Kemampuan seseorang untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk;
perbuatan yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; dan
b. Kemampuan untuk memahami dan menentukan baik dan buruk kehendak dirinya.
Jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengerti maksud dan akibat perbuatan, dan tidak
dapat menentukan kehendaknya maka orang tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
dalam hukum pidana.2
Baik tinjauan hukum perdata maupun hukum pidana, titik tautnya bertemu pada
ketidakcakapan seseorang untuk bertindak maupun bertanggungjawab yang disebabkan terbatasnya
kemampuan mental atau intelektualnya. Sehingga orang yang tidak cakap tersebut dengan
sendirinya harus mengalami peralihan (dalam hukum perdata) hak atau kuasa kepada wali atau
anggota keluarga untuk mengoperasionalkan haknya, misalnya jual-beli tanah warisan.
Begitu pula dalam hukum pidana, seorang pencuri akan dilepaskan oleh hakim dari beban
pertanggungjawaban pidana apabila setelah dilakukan visum et repertum psychiatricum kepadanya
terbukti bahwa pembunuh tersebut mengalami gejala skizofrenia (gangguan jiwa berat). Dengan
kata lain, hakim dapat seyakin mungkin melepaskannya karena “unsur subjek” yang melakukan
pembunuhan tidak terkualifikasi sebagai “orang” (dalam definisi terbatas).
Di sisi yang lain, seiring dengan pengembangbiakan wacana Hak Asazi Manusia dalam
lanskap wacana global telah membawa berita gembira. Harapan baru diperoleh bagi penyandang
disabilitas manakala dirinya terkualifikasi sebagai subjek dalam hukum. Hak kewarganegaraan penuh
telah dilegalisasikan atas dorongan hak asasi manusia. Perjanjian obligatoir dengan PBB3 dalam
format Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD) mewajibkan Indonesia untuk
mengatur poin-poin vital terkait hak hukum penyandang disabilitas.
Dalam Pasal 12 CRPD atau Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas sebagaimana
telah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas tertuang:
1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak
untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hukum;
2. Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas
hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan;
3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi
penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam
melaksanakan kapasitas hukum mereka.
Melalui doktrin non-self executing treatiy juncto pendekatan dualisme, muatan dasar
konvensi tersebut difabrikasi di Indonesia sehingga melahirkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas yang dalam Pasal 1 angka 1-nya mendefinisikan Penyandang
Disabilitas adalah:

2
MaPPI FH UI, 2019, Panduan Penanganan Perkara Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum, hlm.
28.
3
Indonesia meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), melalui UU Nomor 19
tahun 2011. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berkomitmen melalui
yuridis formal untuk mengambil segala upaya dalam mewujudkan secara optimal segala bentuk nilai
kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana yang tercantum dalam
CRPD. Fajri Nursyamsi, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas,
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), hlm. 12.
“Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Secara garis besar, empat kategori di atas dapat diperas menjadi dua bagian yaitu disabilitas
dalam keadaan batiniah dan lahiriah. Apabila ditinjau lebih jauh, hukum normatif tidak
mempersoalkan keadaan lahiriah seseorang, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Misalnya,
seorang terdakwa korupsi berhalangan hadir di muka pengadilan karena sedang dilakukan operasi
pencabutan tumor pada salah satu anggota badannya. Hakim dapat menunda persidangan hingga
kondisinya memungkinkan untuk hadir dan mengikuti proses persidangan. Artinya, kendati
kemampuan lahiriahnya terbatas dalam periode tertentu, tanggung jawab hukumnya tidak serta-
merta gugur.
Lain halnya seorang terdakwa dengan keterbatasan batiniah sebagaimana paragraf di atas,
yang mana tidak berfungsi karena kondisi mental dan intelektualnya. Apabila kita lebih jujur, hukum
positif kita masih “kebingungan” menentukan predikat subjek hukum pada seorang yang memiliki
keterbelakangan mental dan intelektual. Atau lebih tepatnya, belum ada kategorisasi yang presisi
terkait “orang” sejenis apa dipersamakan di muka hukum apabila penyandang disabilitas mental dan
intelektual dinormakan sebagai subjek hukum. Perkara 115/Pid.B/2006/PN.TNG menjadi salah satu
keadaan riil-nya.4 Terdakwa adalah penyandang disabilitas mental melakukan penusukan terhadap
kakaknya (EH) dengan sebuah pisau, di mana korban mengalami pendarahan dan meninggal dunia.
Terdakwa didakwa dengan pasal 351 ayat (2) KUHP atau kedua Pasal 306 ayat (2) KUHP.
Hakim berpandangan bahwa perbuatan Terdakwa tidak dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana dengan dasar Pasal 44 KUHP. Terdapat keterangan ahli kejiwaan dan
visum psikiatrikum No. 445.I/6370-Isi/12/2005 yang menyimpulkan bahwa terdakwa mengalami
gejala skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan pertama, namun tidak dapat
dipersalahkan dan dimintakan pertanggungjawaban hukum serta melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum.5 Dengan dilepaskannya terdakwa, penulis berpendapat bahwa hakim menganggap
terdakwa tersebut bukan “orang”, yang tentu, dalam definisi yuridis.
Hingga pada akhirnya, antara prinsip egalite dan teori subjek hukum yang telah diaminkan
sebagai ius constitutum belum compatible jika dipandang berdasarkan logika deduktif. Barangkali
logika formil kalah tanding kali ini dengan desakan moral. Oleh karena itu sebagai kompensasinya,
prinsip kesetaraan atau kesamaan dimungkinkan mendapat pembaharuan sebab adanya
penyelundupan golongan subjek hukum yang satu ini. Bukan all person is equal before the law,
tetapi some persons must be attracted to be equal before the law.

4
MaPPI FH UI, Op.cit..., hlm. 93
5
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai