Anda di halaman 1dari 4

KETERANGAN AHLI

Untuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara Permohonan


pengujian materiil Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun
2023 tentang KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Oleh

Ni wayan ayu mae vanesa S.H.,M.H.

Dosen hukum pidana universitas lampung

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

Yang Terhormat, Pemohon dan Kuasa Hukumnya

Yang Terhormat, Pemerintah dan DPR RI,

Perkenankan saya sebagai pakar hukum pidana yang diminta oleh kuasa
Pemohon memberikan keterangan dan pandangan dalam persidangan
Permohonan pengujian materiil Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU
No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Keterangan ini ahli kemukakan ke dalam pokok bahasan sebagai berikut:


 Bahwa ahli menerangkan sebagai dosen hukum pidana yang sudah
sering dimintai keterangan dalam berbagai perkara yang berkaitan erat
dengan kapasitas dan penguasaan keilmuan dalam bidang hukum
pidana.
 Bahwa hukum dapat dipelajari baik dari perspektif ilmu hukum atau
hukum pidana, atau bahkan kombinasi dari keduanya. Studi hukum
pidana adalah kajian terhadap hukum dengan menggunakan
pendekatan ilmu hukum pidana yang mempelajari mengenai kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) berupa kejahatan atau
pelanggaran yang dapat dikenai hukuman pidana .

Istilah disabilitas berasal dari Bahasa inggris yang diterjemahkan sebagai


ketidakmampuan yang memiliki makna ketidakmampuan fisik dan/atau
mental dan/atau intelektual sehingga tidak mampu melakukan aktivitas
sebagaimana orang “normal “.

Berdasarkan pasal 4 ayat(1) undang-undang no.8 tahun 2016 menjabarkan


mengenai ragam penyandang disabilitas meliputi :

a. Penyandang disabilitas fisik


b. Penyandang disabilitas intelektual
c. Penyandang disabilitas mental
d. Penyandang disabilitas sensorik

Sedangkan pasal 4 ayat (2) mendefinisikan bahwa ragam penyandang


disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialami secara
tunggal,ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh
tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai


kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seorang dalam
membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk atau dengan kata lain
mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukum suatu perbuatan.

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya


berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya
dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukan nya. Pertanggungjawaban pidana tidak
hanya berarti rightfully sentenced akan tetapi juga rightfully accused.

E.Y kanter S.R sianturi dalam bukunya berjudul asas-asas hukum pidana di
indonesia dan penerapannya. Menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggung
jawab mencangkup :

a. keadaan jiwanya :

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara


2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot, imbecile, dan sebagainya)
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar, melindur, dan lain sebagainya.

b. kemampuan jiwanya :

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya


2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, Apakah akan
dilaksanakan atau tidak
3. Mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan keadaan batin


pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya
tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa Apakah patut dicela atau tidak
karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu
bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan-keadaan tersebut.

Dalam kitab undang-undang hukum pidana terdapat istilah alasan pemaaf


pidana yaitu alasan yang dapat meniadakan unsur kesalahan dalam diri
pelaku. Pada umumnya, pakar hukum mengkategorikan suatu hal sebagai
alasan pemaaf, yaitu:

a. ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP) yaitu mengenai


penghapus pertanggungjawaban pidana jika seseorang yang ternyata terbukti
mengidap gangguan jiwa.

b. daya paksa (Pasal 48 KUHP);

c. pembelaaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (2) KUHP); dan

d. menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 Ayat (2) KUHP)

Sebagai kesimpulan, alasan pemaaf berarti alasan yang menghapuskan


kesalahan dari pelaku tindak pidana.

Berdasarkan uraian diatas mengenai unsur-unsur kemampuan seseorang


bertanggung jawab serta alasan pemaaf dalam KUHP, maka pelaku tindak
pidana yang menyandang disabilitas dalam hal ini tidak cakap hukum
sehingga seharusnya tidak dikenai hukuman pidana.

Anda mungkin juga menyukai