( Perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana pasca putusan mahkamah
konstitusi )
Di Susun Oleh :
NIM : B011211131
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Pembuat UU adalah presiden bersama dengan DPR atau dengan kata lain yang
menentukan norma itu konstitusioanl atau tidak konstitusional itu adalah pembuat
UU tetapi karena ada kewenangan yang diberikan kosntitusi kepada mahkamah
sebaaiimana diatur pada pasal 24 mahkamah konstitusi diberikan kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Adapun
kewenangan mahkamah yaitu mengajukan judicial review, membubarkan partai
politik, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, menyelesaikan sengketa
pemilu. Ketika suatu undang-undang sudah dinyatakan oleh mahkamah tidak
konstitusional tidak mempunyai kekuatan mengikat maka norma itu tidak berlaku
lagi. Salah satu undang-undang yang paling sering diuji yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sehingga menyebabkan banyak perubahan dan mahkamah pun
menyadari untuk perlu komunikasikan dengan masyarakat terutama masyarakat
kampus agar mengetahui pasal yang dibaca merupakan pasal yang sudah
Inkonstitusional. Kewenangan mahkamah konstitusi menyatakan
Inkonstitusionalnya suatu norma itu adalah jaminan didalam undang-undang
dasar. Putusan pasal didalam KUHP yang tidak berlaku lagi yaitu misalnya
putusan 13, putusan nomor 22, pasal 134, pasal 136 Bis dan pasal 137 Bis. Itu
tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku dan dianggap bertentangan dengan
undang-undang dasar, pasal ini mengenai penghinaan presiden dan wakil
presiden.
Menurut Pandangan Ahli (Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A). Menolak Pidana
mati, karena pidana mati bertentangan dengan Weltanschauung Pancasila yang
tidak hanya menjadi “Leitstar” kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga
menjadi sumber segala sumber hukum, sehingga pidana mati tidak mempunyai
“raison d’etre” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Pidana mati tidak bisa dijelaskan dari segi hukum pidana, apalagi secara legalistik
positivistik, baik dari segi retributif maupun “deterrent”, melainkan viktimologi
yang justru akan menolak “raison d’etre” pidana mati
Menurut Rachland Nashidik (Direktur Eksekutif imparsial). Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945 tidak dapat membatasi, meniadakan, bahkan menunda pemenuhan
HAM yang termasuk non-derogable tersebut, dalam keadaan perang pun tidak,
apalagi dalam keadaan damai.
Relasi Negara dan Warga Negara dalam Penegakan Hukum Pidana. Faktor yang
dapat mempengaruhi penegakan hukum menurut Prof. Soejono Soekanto :
Makna Konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang
tertulis dalam naskah undang-undang dasar, ada 4 indikator :
Pasal 77 huruf a KUHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun
salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari
proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka
seharusnya penetapann tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat
dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.