Anda di halaman 1dari 5

RESUME KULIAH UMUM HUKUM PIDANA

( Perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana pasca putusan mahkamah
konstitusi )

Di Susun Oleh :

NAMA : AENI ANDI MATTOREANG

NIM : B011211131

KELAS : HUKUM PIDANA A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TAHUN AJARAN 2021/2022


Perkembangan hukum pidana dan hukum acara pidana pasca putusan
mahkamah konstitusi

Pembuat UU adalah presiden bersama dengan DPR atau dengan kata lain yang
menentukan norma itu konstitusioanl atau tidak konstitusional itu adalah pembuat
UU tetapi karena ada kewenangan yang diberikan kosntitusi kepada mahkamah
sebaaiimana diatur pada pasal 24 mahkamah konstitusi diberikan kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Adapun
kewenangan mahkamah yaitu mengajukan judicial review, membubarkan partai
politik, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, menyelesaikan sengketa
pemilu. Ketika suatu undang-undang sudah dinyatakan oleh mahkamah tidak
konstitusional tidak mempunyai kekuatan mengikat maka norma itu tidak berlaku
lagi. Salah satu undang-undang yang paling sering diuji yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sehingga menyebabkan banyak perubahan dan mahkamah pun
menyadari untuk perlu komunikasikan dengan masyarakat terutama masyarakat
kampus agar mengetahui pasal yang dibaca merupakan pasal yang sudah
Inkonstitusional. Kewenangan mahkamah konstitusi menyatakan
Inkonstitusionalnya suatu norma itu adalah jaminan didalam undang-undang
dasar. Putusan pasal didalam KUHP yang tidak berlaku lagi yaitu misalnya
putusan 13, putusan nomor 22, pasal 134, pasal 136 Bis dan pasal 137 Bis. Itu
tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku dan dianggap bertentangan dengan
undang-undang dasar, pasal ini mengenai penghinaan presiden dan wakil
presiden.

Moderasi Pidana Mati.

Menurut Pandangan Ahli (Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A). Menolak Pidana
mati, karena pidana mati bertentangan dengan Weltanschauung Pancasila yang
tidak hanya menjadi “Leitstar” kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga
menjadi sumber segala sumber hukum, sehingga pidana mati tidak mempunyai
“raison d’etre” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Pidana mati tidak bisa dijelaskan dari segi hukum pidana, apalagi secara legalistik
positivistik, baik dari segi retributif maupun “deterrent”, melainkan viktimologi
yang justru akan menolak “raison d’etre” pidana mati

Menurut Prof Philip Alston (New York University,USA). Pasal 6 ICCPR


sesungguhnya menolak pidana mati, namun masih mentoleransi adanya negara-
negara yang menganut hukuman mati, meski dibatasi hanya untuk kejahatan yang
sangat serius (most serious crime)

Menurut Rachland Nashidik (Direktur Eksekutif imparsial). Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945 tidak dapat membatasi, meniadakan, bahkan menunda pemenuhan
HAM yang termasuk non-derogable tersebut, dalam keadaan perang pun tidak,
apalagi dalam keadaan damai.

Relasi Negara dan Warga Negara dalam Penegakan Hukum Pidana. Faktor yang
dapat mempengaruhi penegakan hukum menurut Prof. Soejono Soekanto :

1. Faktor hukumnya sendiri


2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sasaran atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan

Makna Konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang
tertulis dalam naskah undang-undang dasar, ada 4 indikator :

1. Naskah undang-undang dasar yang resmi dan tertulis


2. Dokumen-dokumen tertulisyang terkait erat dengan naskah undang-
undang dasar seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan
MPR,undang-undang tertentu, peraturan tertib
3. Nilai-nilai konstitusi yang dalam praktek ketatanegaraan yang telah
dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan
kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegra.
4. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan
perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan
dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka sebagai Obek Pra


Peradilan.

Pasal 77 huruf a KUHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun
salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari
proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka
seharusnya penetapann tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat
dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.

Anda mungkin juga menyukai