Anda di halaman 1dari 14

Jurnal JPE, Vol. 20, No.

1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

Perspektif Sosio-Kultural: Sebuah Kearifan Lokal dalam


Perencanaan dan Perancangan Kota Makassar
Ananto Yudono1, Arifuddin Akil2, Dana Rezky Arisandy3
1,2,3
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, Makassar, 90245
Email: 1yudonoananto@gmail.com, 2arifuddinak@yahoo.co.id

Abstrak

Kajian ini mengeksplorasi persepsi masyarakat tentang kearifan lokal, khususnya etnis Bugis, sehubungan
dengan perencanaan dan perancangan kota Makassar, yang bertujuan untuk mengetahui: pemahaman
masyarakat tentang kearifan sosio-kultur Bugis dalam perikehidupannya; karakteristik kota Makassar; dan
persepsi masyarakat Bugis dalam penataan kota.Kajian ini dilakukan berbasis kearifan sosio-kultural Bugis
dalam membahas aspek spasial. Kajian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang didasari oleh hasil
pengolahan data kuantitatif melalui pendekatan statistik inferensial. Hasil kajian berupa pemahaman mereka
tentang nilai-nilai sosio-kulur Bugis seperti Nilai siri’ na pesse yang bermakna harga diri dan solidaritas tinggi,
yang dalam implementasinya melalui nilai sipakatau dan sipakalebbi, terungkap pada pola grid jalan dan
tersedianya ruang common plaza permukiman yang memudahkan aksesibilitas terbuka antar masyarakat.
Tatanan permukiman masyarakat Bugis ini secara eksplisit sesuai dan relevan dengan tatanan kota Makassar.

Kata Kunci: Sosio-kultural Bugis, perencanaan dan perancangan kota Makassar (socio-cultural Bugis, urban
planning and design, Makassar)

I. Pendahuluan terkait secara terpadu. Nilai-nilai budaya


merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan
Konsep budaya mencerminkan serangkaian
tertentu yang terungkap dalam aktifitas, yang pada
prinsip-prinsip abstrak mulai dari cara
akhirnya akan berdampak pada hasil karya
memandang sistem jagad raya sampai pada
manusia termasuk wujud fisik bangunan dan
tindakan-tindakan konkrit sehari-hari, seperti cara
perkotaannya [1-4]. Lebih dipertajam oleh
berperilaku dan berhubungan dengan lingkungan
Kuntowijoyo [5] bahwa suatu tata kota tidak lahir
dan cara-cara hidup serta berkehidupan. Budaya
karena maksimisasi teknologi atau ekonomi,
juga merupakan suatu pola pikir yang terungkap
tetapi karena suatu pola sosio-kultural
dalam perilaku dan aktifitas manusia sebagai
masyarakatnya.
bentuk reaksi terhadap tantangan alam yang
Perkembangan moderenisasi dan globalisasi
terjadi secara turun temurun, sehingga menjadi
yang ditandai dengan gejala kapitalisasi dan
sebuah identitas jalan hidup suatu etnis atau
liberalisasi memberi dampak terhadap pergeseran
komunitas. Dalam setiap morfologi sosial yang
nilai kehidupan sosial masyarakat. Salah satu hal
berbeda terdapat logika budaya yang berlainan
yang paling terlihat adalah semakin terkikisnya
berikut nilai sosial yang diwujudkan. Pandangan
budaya lokal. Seni budaya yang berbasis keunikan
tersebut diperkuat oleh Altman dan Chemers [1]
atau kearifan lokal cenderung kurang berkembang.
bahwa budaya muncul dalam obyek dan
Pada konteks pembentukan kota, pengaruh
lingkungan binaan seperti desain: rumah,
globalisasi terhadap budaya memiliki efek
perletakan rumah, dan bangunan umum.
keragaman dan pengayaan, serta gabungan antara
Masyarakat dan budaya mempengaruhi
keduanya. Saat yang bersamaan, kemunculan
lingkungannya dan sebaliknya lingkungan
budaya asing dari luar sering kali menimbulkan
mempengaruhi dinamika perkembangan budaya.
ketakutan, kecurigaan, polarisasi dan tekanan
Unsur-unsur tersebut terangkai dalam sebuah
rasial di perkotaan. Dampak lain globalisasi
sistem budaya yang setiap bagiannya saling
terhadap budaya di perkotaan menurut Wicaksono

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 43
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

[6] adalah menguatnya fenomena standarisasi, tidak menghiraukan lagi eksistensi sosio-kultural
sebagai tuntutan akses manusia ke produk budaya dalam wujud perkotaan. Fakta-fakta empirik pada
yang seragam di segenap penjuru dunia melalui beberapa wilayah atau kawasan perkotaan saat ini,
internet, radio, dan televisi. diikuti dengan semakin hilangnya hubungan batin
Dalam konteks perencanaan dan perancangan antara wujud kota dan masyarakatnya. Alasan
kota, perwujudan fisik kota tanpa pertimbangan tersebut menjadi suatu faktor potensi sekaligus
karakter masyarakat dapat melahirkan rancangan menjadi pengancam semakin tergerusnya budaya
lingkungan yang generik, dan tidak memenuhi lokal jika dibiarkan berkembang secara tidak
harapannya. Oleh karenanya kajian sosio-kultural terkendali. Sebagian elemen budaya Bugis yang
yang berimplikasi terhadap wujud kota perlu masih mewarnai pola pikir masyarakanya
dijadikan dasar kearifan atau motivasi. Upaya tergolong masih tetap dan sebagian lagi
memasukkan perspektif sosio-kultural dalam mengalami transformasi menjadi bagian budaya
konteks perencanaan kota akan memperkuat modern. Budaya dan karakter tersebut merupakan
hubungan bathin antara masyarakat dengan sebuah tatanan mendasar yang secara teoritis akan
kotanya dalam rangka memperkuat integritas memberi pengaruh besar dalam pembentukan
budaya. Melalui dimensi sosio-kultural, akan wujud kota-kota Bugis khususnya di Sulawesi
memudahkan keterhubungan masyarakat dengan Selatan.
lingkungan alamnya serta hubungan harmonisasi Berdasarkan pada permasalahan di atas,
antar manusia itu sendiri. Dengan demikian, implikasi aspek-aspek sosio-kultural dalam
inisiatif dan motivasi sosio-kultural yang dapat perancangan dan perancangan kota Bugis yang
menstimulasi solusi praktis dalam perencanaan akan dipertegas dalam pertanyaan penelitian
kota diharapkan dapat memenuhi kualitas sebagai berikut:
lingkungan hidup masyarakat perkotaan. 1. Bagaimana pemahaman masyarakat Bugis
Dalam kaitan ini salah satu peluang yang terhadap aspek sosio-kultural sebagai sebuah
diketengahkan adalah penggalian kembali kearifan lokal Bugis, khususnya yang relevan
persepsi atau pandangan etik masyarakat dalam dengan perencanaan kota?
menilai seberapa penting kearifan lokal sosio- 2. Bagaimana karakteristik kota Makassar dilihat
kultural perlu diimplementasikan dalam sebagai hasil perencanaan dan perancangan
perencanaan dan perancangan kota, terkait dengan kota?
semakin berkembangnya masyarakat kota. Dalam 3. Bagaimana persepsi masyarakat Bugis tentang
hal ini, studi ini perlu diberikan pembatasan pertimbangan sosio-kultural dalam
terhadap pandangan etik masyarakat Bugis di perencanaan dan perancangan kota Makassar?
Kota Makassar.
Argumen teoretis yang dapat dikemukakan I.1 Tujuan Penelitian
bahwa prinsip-prinsip sosio-kultural yang berbasis Penelitian ini akan melihat dan menggali
pada kearifan lokal, akan memberikan arah dan persepsi masyarakat kota Makassar dalam
landasan filosofis dalam kerangka perencanaan kaitannya dengan pertimbangan aspek budaya
dan perancangan kota sesuai kebutuhan terhadap perencanaan dan perancangan kota
masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang Makassar. Dalam hal ini akan dikaji keterkaitan
mengusung budayanya. Namun demikian dengan antara pandangan masyarakat selanjutnya, tujuan
semakin maraknya globalisasi dan modernitas penelitian ini dapat dikemukakan secara rinci
ternyata membawa muatan lain. Terdapat sebagai berikut:
dikotomi yang saling berlawanan saat ini yaitu 1. Untuk mengidentifikasi pemahaman
antara masyarakat yang mendukung perlunya masyarakat Bugis terkait dengan aspek sosio-
mengakumulasi dimensi sosio-kultural dalam kultural sebagai sebuah kearifan lokal Bugis,
perancangan dan perancangan kota di satu sisi, khususnya yang relevan dengan perencanaan
dan di sisi lain terdapat kelompok yang cenderung kota.
lebih kuat berfokus ke kepentingan ekonomi yang

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 44
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

2. Untuk mengidentifikasi karakteristik kota pada umumnya mempunyai paling sedikit tiga
Makassar dalam konteks kekinian. Hal ini wujud, yaitu sebagai: a) suatu himpunan gagasan,
dimaksudkan untuk menemukenali wujud kota b) jumlah perilaku yang berpola, dan c)
Makassar dilihat sebagai hasil perencanaan sekumpulan benda atau artefacts. Wujud
dan perancangan kota. himpunan gagasan adalah wujud yang paling
3. Untuk mengetahui persepsi masyarakat Bugis abstrak. Sebagai suatu himpunan gagasan, suatu
tentang pertimbangan sosio-kultural dalam kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati, karena
perencanaan dan perancangan kota Makassar. tersimpan dalam kepala orang tertentu kemanapun
Hal ini dimaksudkan untuk memahami ia pergi. Jenis kebudayaan ini disebut cultural
seberapa penting aspek sosio-kultural system, atau juga disebut cover culture.
berpengaruh terhadap perwujudan kota. Selanjutnya dalam wujud perilaku yang berpola
kebudayaan disebut social system. Sedang wujud
I.2 Lingkup Pembahasan sekumpulan benda (artefact) adalah disebut overt
Wilayah penelitian meliputi wilayah Kota culture. Sebagai inti dari suatu sistem
Makassar, khususnya yang dihuni oleh kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua
masyarakat etnik Bugis di sepanjang pesisir. Etnik pedoman yang mengatur tingkahlaku warga
Bugis merupakan salah satu dari empat etnik pengusung kebudayaan bersangkutan. Adapun
dominan yaitu etnik Bugis, Makassar, Mandar, pedoman tingkah laku itu adalah: adat-istiadat,
dan Toraja yang yang ada di Sulawesi Selatan sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan
atau khususnya di kota Makassar. Etnik-etnik sopan-santun, pandangan hidup dan ideologi
tersebut masing-masing memiliki karakter budaya pribadi.
sendiri sesuai lingkungannya, namun banyak Hal senada juga dikemukakan oleh
memiliki kesamaan akibat adanya proses Koentjaraningrat bahwa: “manusia di perkotaan
inkulturasi budaya. Objek penelitian ini meliputi pada intinya perlu melakukan upaya-upaya positif
unsur spasial dan persepsi masyarakat. dalam rangka menanggapi tuntutan lingkungan
yang berasal dari aspek manusia, alam, dan
II. Kajian Pustaka teknologi”.

II.1 Konsep Budaya II.2 Hubungan Budaya dan Lingkungan Binaan

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa, Dalam studi yang menghubungkan antara
konsep budaya mencerminkan serangkaian budaya dan lingkungan binaan ditemukan bahwa,
prinsip-prinsip mulai dari cara pandang sistem terdapat variasi perwujudan arsitektur dalam suatu
makro kosmos sampai ke perilaku konkrit, seperti kebudayaan yang sama pada waktu dan tempat
tata-cara hidup dan berpenghidupan di suatu yang sama, tetapi terdapat pula kesamaan diantara
wilayah. Kebudayaan merupakan suatu pola pikir berbagai kebudayaan pada waktu dan tempat yang
yang terungkap dalam perilaku dan aktifitas berbeda. Perbedaan bentuk rumah tergantung
manusia sebagai bentuk reaksi terhadap tantangan respon masyarakat terhadap lingkungan fisik,
alam yang terjadi secara turun temurun, sehingga sosial, kultural dan ekonomi, sedangkan untuk
menjadi sebuah identitas. Dalam setiap morfologi menemukan variabel fisik dan kultural akan lebih
sosial yang berbeda terdapat logika budaya yang jelas jika karakter kultural, pandangan dan nilai-
berlainan berikut nilai sosial yang diwujudkan nilai budaya masyarakat telah dipahami. Hans
(Putranto dan Sutrisno, 2005) Daeng melihat lingkungan binaan sebagai bagian
Menurut Douglas dalam buku tersebut bahwa dari kebudayaan, yang dalam konteks tradisional
dua hal yang membedakan ialah ada tidaknya merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat
hierarki dan kuat tidaknya ikatan sosial. dengan kepribadian masyarakat.
Perbedaan itu pulalah yang juga memunculkan Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh
pandangan, kepercayaan dan nilai-nilai sosial faktor sosio-kultural masyarakat setempat. Dalam
budaya. Menurut Daeng [2], tiap kebudayaan beradaptasi dengan lingkungannya, seseorang

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 45
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

membawa serta norma-norma yang yang terdapat pada komunitas perkotaan tersebut
mengendalikan tingkah laku dan peran yang cenderung tidak menganut sistem nilai bersama.
dimainkannya [2]. Tuan [8] menjelaskan bahwa Bahkan masyarakat kota terdiri atas beberapa
untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang individu atau kelompok terisolasi yang cenderung
dalam konteks tempat dan ruang harus dikaitkan menuju pada kondisi disorganisasi.
dengan budaya. Budaya ini sifatnya unik, dan Dalam kaitan peran masyarakat dalam
antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat pembentukan kota, maka faktor internal yang
berbeda maknanya. Dengan demikian ada berpengaruh meliputi nilai budaya yang
kesulitan tersendiri untuk menggeneralisasinya. dipahaminya. Sedang faktor eksternal yang
Karena itu, penelitian tentang wujud permukiman berpengaruh menurut Antariksa meliputi aspek
yang berbasis nilai budaya perlu dikaji tersendiri modernisasi dan globalisasi dalam konteks
dalam rangka menuhi kebutuhan dan kehidupan perkotaan [9]. Beberapa pengaruh
meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal, modernisasi dan globalisasi di perkotaan dapat
serta lebih menggali revitalisasi budaya lokal terlihat pada wujud bangunannya. Dalam kaitan
secara berkelanjutan. Menurut Rapoport [3], ini, Eko Budihardjo menyebut istilah kolonialisasi
perubahan fisik lingkungan disebabkan oleh kultural dalam hal pengaruh serbuan modernitas
perubahan budaya yang dikelompokkan ke dalam akibat keterbukaan dan globalisasi terhadap
dua bagian, yaitu budaya yang tidak dapat terpuruknya arsitektur tradisional [10]. Faktor
berubah dan budaya yang dapat berubah. Proses kapitalisme dan liberalisme berpengaruh terhadap
sosialisasi manusia yang tercermin dari nilai pergeseran pemahaman masyarakat terhadap nilai
budaya, pada akhirnya berdampak pada hasil budaya.
karya manusia termasuk wujud fisik bangunan, Kapitalisme merupakan paham yang
permukiman, dan perkotaan. Terkait dengan berorientasi utama pada aspek materi, yang
pandangan Rapoport tersebut Boas dalam mendorong pada ditemukannya sistem perniagaan
Poerwanto [4] mengemukakan bahwa persebaran oleh pihak swasta. Sedangkan liberalisme
budaya akan menyebabkan timbulnya unsur-unsur merupakan paham yang berorientasi utama pada
baru, yang kemudian mendesak unsur-unsur lama kebebasan, yang mendorong munculnya
ke arah pinggir dari pusat perkotaan. Oleh kehidupan demokrasi. Kapitalisme dalam
karenanya apabila seseorang ingin mencari nilai- sejarahnya adalah sebagai satu bagian dari
nilai kebudayaan yang tetap hidup, maka lebih gerakan individualisme rasionalis. Kedua faktor
mudah ditemukan di daerah pinggiran. Untuk tersebut telah berpengaruh pada berbagai aspek
melihat keterkaitan antara bentuk dengan budaya, kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi, budaya,
Rapoport mengemukakan mekanisme dalam politik, dan teknologi [11].
menterjemahkan budaya ke dalam bentuk yaitu
dalam kaitannya dengan budaya sebagai II.4 Konsep Tata Ruang Kerajaan Gowa
mekanisme kontrol, budaya sebagai blueprint, dan
budaya sebagai seperangkat aturan dan instruksi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan
[3]. Sultan Alauddin berpusat pada benteng Sombaopu
yang merupakan sebuah permukiman di daerah
II.3 Sosio-Kultural dalam Masyarakat Kota pantai. Peran Kerajaan Gowa dalam dunia
perdagangan sangat besar dengan posisi benteng
Dalam kehidupan masyarakat kota yang Sombaopu yang kokoh, dan navigable pada
semakin heterogen, terlihat kecenderungan yang zamannya. Pola tata ruang kota Sombaopu
semakin melemah terutama dalam semangat ditemukan dengan beberapa versi. Lontara
kebersamaan, loyalitas kepada komunitas, dan menggambarkan bahwa benteng Sombaopu yang
rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan berbentuk segi empat dikelilingi oleh tembok batu
bersama. Individu merasa lebih loyal kepada bata dengan sisi terpanjang di sebelah barat [12].
keluarganya, kepada tempat kerjanya, kepada Terdapat tiga bastion utama pada dinding sebelah
kelompoknya, atau kepada sesama etnik. Situasi

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 46
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

barat menghadap ke laut, dan satu bastion lagi di modern ini, meskipun kota modern memiliki
dinding sebelah utara. kompleksitas pola pemanfaatan ruang, yang
Struktur ruang di dalam benteng dibelah oleh terkait dengan karakteristik sosial ekonominya.
dua jalan poros yaitu jalan arah Utara-Selatan dan Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang,
jalan arah Timur-Barat. Jika dibandingkan dengan kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk
pola permukiman kota Jawa, terlihat kesamaan kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural
dengan jenis fasilitas yang ada dalam benteng yang berhubungan satu dengan lainnya
sebagai teritorial yang sakral, walaupun tata letak membentuk tata ruang kota. Dalam suatu kota
fasilitasnya tidak sama. Di samping itu juga terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan
memiliki kesamaan dengan adanya jalur jalan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian
poros utama dalam benteng yang memanjang arah wilayah kota, dan pusat lingkungan. Pola
Utara-Selatan dan Barat-Timur, hanya saja pemanfaatan ruang kota adalah bentuk yang
bedanya bahwa ujung jalan utama sebelah Barat menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik
terdapat kediaman raja pada Majapahit, kegiatan perkotaan [13]. Jenis-jenis pemanfaatan
sedangkan di Kerajaan Gowa pada ujung jalan ruang kota atau kawasan kota antara lain adalah
utama sebelah Selatan terdapat Masjid. Salah satu kawasan perumahan, kawasan pemerintahan,
perbedaan mendasar yang dapat dikemukakan kawasan perdagangan dan jasa, kawasan industri,
adalah tidak dikenalnya tradisi daerah sakral serta kawasan ruang terbuka hijau.
(selatan) dan profan (utara) dalam Bugis-
Makassar seperti tradisi Jawa. Adapun orientasi II.5.2 Jaringan Jalan
tradisional yang dianggap suci oleh masyarakat
Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang
Bugis dan Makassar adalah hanya orientasi Kiblat
mendorong perkembangan kegiatan, dan
(Barat).
sebaliknya pengembangan suatu kegiatan
II.5 Karakteristik Elemen Wujud Kota memerlukan dukungan pengembangan jaringan
jalan. Jaringan jalan yang terbentuk dalam skala
II.5.1 Pola Pemanfaatan Ruang lokal pada setiap bangunan atau di sekitar ruang
terbuka, selanjutnya akan terbentuk menjadi
Pola pemanfaatan ruang sudah menjadi sebuah permukiman, dan akhirnya membentuk
perhatian sejak dahulu, walaupun masih tergolong sebuah kota atau wilayah yang lebih luas dengan
sederhana, dan cenderung menyebar. Dalam tipomorfologi yang unik. Menurut Krier [14],
konteks permukiman atau perkotaan tradisional, jalan merupakan produk dari penyebaran gedung
pola pemanfaatan ruangnya masih sederhana melalui pembangunan setiap gedung pada ruang-
sesuai kondisi sosial ekonominya berupa fungsi ruang yang tersedia. Hal ini menjadi kerangka
ruang hunian termasuk berbagai prasarana dasar dalam hal distribusi lahan dan dalam rangka
pendukung seperti jalan, pasar, dermaga; lahan pemberian akses ke setiap unit gedung.
pertanian, dan perikanan. Mereka mengatur Dari sekian banyak komponen wujud kota,
perletakan fungsi ruang berdasarkan keterkaitan pola jalan merupakan komponen yang paling
hubungannya sesuai karakteristiknya. Masyarakat nyata manifestasinya dalam menentukan
tradisional di Indonesia juga telah memahami periodesasi pembentukan kota di negara-negara
beberapa kearifan dalam menempatkan fungsi barat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
ruang permukiman seperti terlihat pada Kustiawan [13] bahwa jaringan jalan merupakan
masyarakat Bugis di mana mereka membagi indikator utama wujud kota sehingga dalam
secara umum lahan perkampungan ke dalam tiga perencanaan tata ruang kota, pengembangan
bagian yaitu lahan untuk tempat tinggal, lahan jaringan jalan tidak dapat dilepaskan dari pola
pertanian, dan lahan perairan. Cara tradisional pemanfaatan ruang yang ada atau ingin
yang sederhana dalam mengatur pemanfaatan diwujudkan. Jaringan jalan merupakan sebuah
ruang tersebut menjadi dasar dalam ruang sosial ekonomi, budaya, dan politik yang
pengorganisasian masyarakat perkotaan pada era dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah.

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 47
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

Dalam aspek sosial-ekonomi, jalan akan dirinya, dengan mengadopsi bentuk-bentuk lain
dimanfaatkan oleh penduduk kota sebagai jalur yang berasal dari luar. Berdasarkan pada beberapa
jalan untuk saling kunjung-mengunjungi, bahkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
di antara penduduk banyak melakukan untuk menganalisis tata bangunan di perkotaan,
komunikasi dan sosialisasi di daerah jalan. Jalur dapat melihat pada indikator: keragaman tipe
jalan menjadi tempat pertemuan bagi orang-orang bangunan (style), perletakan bangunan, orientasi
untuk saling bertukar informasi, berolah raga, dan bangunan, dan kualitas bangunan.
kesibukan berbisnis. Bahkan jalan secara nyata
menjadi bagian dari proses bisnis, dengan II.5.4 Penelitian Terdahulu yang Relevan
memasang berbagai iklan di daerah jalan yang
Untuk menunjang cakrawala penelitian ini,
strategis. Dalam aspek budaya, jalur jalan dapat
serta untuk mencapai fokus dan orijinalitasnya
berperan secara simbolis untuk mencerminkan
dalam rangka mengisi celah ilmu pengetahuan,
karakter pemerintah dan masyarakatnya. Pada
dipandang perlu untuk mereview beberapa
beberapa kota tradisional di Indonesia seperti
penelitian terdahulu yang relevan terutama yang
kota-kota di Jawa, Nias, dan Bali, jalur jalan
berkaitan dengan tema pembentukan kota. Setelah
terutama di pusat permukiman, mencerminkan
membahas penelitian terkait nilai-nilai sosio-
kosmologi yang dianut masyarakatnya.
kulrural Bugis dan pembentukan kota yang
II.5.3 Tata Bangunan berlokasi di Kota Makassar pada Bab I, berikut ini
akan diungkapkan beberapa penelitian lain yang
Meskipun bangunan memiliki bentuk, ukuran, dianggap sealur dengan penelitian ini:
dan penampilan yang sama, akan tetapi masing-  Model Nilai-Nilai Budaya: Suatu Pendekatan
masing bangunan menunjukkan jati dirinya Nilai-Nilai Terpadu dalam Lansekap, Janet
sendiri. Misalnya, bangunan kantor mewadahi Stephenson.
kegiatan pada siang hari, sedangkan bangunan Sebuah tinjauan khusus lansekap yang
hiburan justru memulai hidup mereka di malam dianggap mengandung nilai-nilai universal
hari. Beckley [15] menyatakan pentingnya atau siap diaplikasikan. Setiap orang
bangunan di kota memberikan karakter kota itu memutuskan sesuatu yang mempengaruhi
sendiri. Penampilan berbagai bentuk bangunan di pandangannya sesuai potensi dan berbagai
perkotaan, akan membuat kota itu menjadi unik. nilai-nilai budayanya. Artikel ini mengusulkan
Selanjutnya Beckley menyatakan bahwa, sebuah Model Nilai Budaya lansekap, yang
bangunan dikategorikan ke dalam empat menawarkan kerangka kerja konseptual
kelompok: l) sebagai pembangkit aktivitas; 2) terpadu untuk memahami berbagai potensi
didefinisikan sebagai unsur ruang; 3) sebagai nilai-nilai pada lansekap dan potensi dinamika
simpul dan landmark; dan 4) bangunan sebagai antara nilai-nilai tersebut. Penelitian ini hanya
pembatas dan fasad. Bangunan-bangunan mengkaji nilai budaya pada lansekap saja,
merupakan unsur perkotaan yang paling jelas tanpa melihat kaitannya dengan elemen kota
terlihat dalam sebuah kota. lainnya.
Beberapa negara, dimana masyarakatnya  Peranan nilai-nilai sosio-kultural dalam
masih memandang tinggi nilai budayanya, telah pembentukan kota [16].
membangun kotanya baik secara visual maupun Penelitian ini bertujuan untuk
spasial, dengan tetap mencerminkan nilai mengidentifikasi nilai-nilai sosio-kultural
budayanya. Hal ini terlihat berupa masih yang dimiliki masyarakat Bugis yang dapat
banyaknya bangunan bergaya arsitektur lokal berpengaruh terhadap pembentukan
yang tetap bertahan hingga kini. Begitu pula lingkungan binaan, serta untuk menjelaskan
banyak bangunan pemerintah atau swasta tetap peranan nilai-nilai sosio-kultural Bugis dalam
mengadopsi nilai-nilai tradisionalnya. Namun pembentukan kota. Penelitian ini
sebaliknya juga banyak daerah yang justru menyimpulkan bahwa konsep siri’ na pesse
menghancurkan karakter daerahnya atau jati tetap menjadi pandangan hidup masyarakat

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 48
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

Bugis dalam era modern yang dalam hal ini Kepercayaan Alu’ Todolo berpandangan
tercermin dalam wujud lingkungan binaan ada dunia kehidupan dan dunia kematian
yang dihasilkan seperti wujud kota. Wujud dalam kehidupan masyarakat Toraja. Alu’
kota yang berbasis nilai siri’ meliputi: a) Todolo memberi pedoman bagi masyarakat
pemanfaatan ruang, b) pusat kota, c) pola untuk mewujudkan tatanan permukiman yang
jaringan jalan, d) orientasi bangunan, dan e) layak huni, memenuhi kebutuhan dasar
bentuk bangunan arsitektur tradisional. Wujud manusia, dengan cara menjaga keharmonisan
kota yang berbasis nilai were berupa: bentuk sumber daya alam dengan sumber daya buatan
bangunan komersil. Sedangkan wujud kota manusia. Permukiman tradisional Toraja ditata
yang berbasis nilai pesse meliputi: a) tata letak harmonis dengan pelestarian alam
bangunan, b) bentuk bangunan, dan c) ruang lingkungannya agar tersedia sumber bahan
terbuka. Kajian ini mengaitkan antara pangan dengan membangun dan memelihara
antropologi budaya dengan lingkungan sawah, membangun Busian, yaitu kolam di
binaan, terutama peranan masyarakat Bugis tengah sawah untuk penyimpanan air hasil
dalam pembentukan kota. Pembentukan kota panen hujan di musim penghujan, yang
berbasis budaya ini, dikaji dengan diperlukan untuk memelihara ikan dan
menggunakan metode kualitatif dalam memenuhi kebutuhan air kebun sayur mayur
kerangka penelitian deskriptif. Dapat di musim kemarau.
disimpulkan bahwa keterkaitan antara sosio- Selain itu masyarakat memelihara hutan
kultural yang dimiliki masyarakat Bugis kayu dan bambu yang diperlukan untuk
dengan lingkungan binaan yang dihasilkan memenuhi kebutuhan bahan bangunan untuk
sebagai sebuah kearifan lokal belum banyak membangun atau mengganti elemen-elemen
diteliti, terutama yang terkait dengan pengaruh rumah tradisionalnya. Sebagai mahluk sosial,
nilai sosio-kultural masyarakat terhadap masyarakat menata permukiman
wujud kotanya. Hal tersebut merupakan salah tradisionalnya dengan deretan rumah dari
satu celah penelitian yang dinilai penting Timur ke Barat yang menghadap ke Utara dan
diteliti dalam rangka memberikan kontribusi berhadapan dengan Alang yaitu lumbung-
dalam bidang perencanaan dan perancangan lumbung padi yang juga berfungsi sebagai
kota. gazebo. Tata masa perumahan dan lumbung-
Di samping itu objek kajian penelitian lumbung ini menghasilkan comon plaza yang
tersebut dinilai orisinal dan belum banyak multi fungsi misalnya untuk menjemur padi,
tersentuh oleh peneliti lain saat ini. Kajian kopi, kakao, penyelenggaraan upacara adat
penelitian ini selanjutnya akan melihat Rambu Tuka’ untuk mensyukuri suatu
keterkaitan konsep lokal tersebut dengan keberhasilan atau kebahagiaan, dan tempat
konteks pembentukan kota yang berbasis nilai bermain anak-anak. Manusia yang masih
sosio-kultural. Penelitian-penelitian terdahulu hidup menghargai kerabatnya yang sudah
tersebut di atas telah memberi kontribusi meninggal dengan membangun makam di
pemikiran pada penulis, di samping dapat tempat yang aman dan indah baik berupa
mempertegas celah penelitian antara Leang, yaitu lubang di dinding tebing terjal,
penelitian terdahulu dengan penelitian yang maupun Patene, yaitu rumah kecil
akan digagas. Kerangka teoritik yang berkonstruksi beton atau batu bata, dan
dibangun dari penelitian terdahulu menjadi memberi bekal bagi arwahnya untuk
sebuah pendekatan dan membantu dalam medapatkan kemudahan dalam perjalanan
menginterpretasi data atau informasi. menuju Puya, yaitu dunia para arwah, melalui
 Kearifan lokal Alu’ Todolo untuk menghadapi upacara pemakaman Rambu Solo’ dengan doa
degradasi kualitas lingkungan permukiman dan pengorbanan hewan.
dan perkotaan di Tana Toraja [17] Sebagian masyarakat Toraja, terutama
generasi muda secara berangsur-angsurmulai

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 49
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

melupakan kearifan lokal tersebut. Hal ini untuk mempertahankan atau mempertimbangkan
terlihat dalam pembangunan rumah atau aspek sosio-kultural, dalam kegiatan perencanaan
bangunan pada tempat yang rawan bencana dan perancangan kota. Hal ini sebagai
longsor, seperti di lereng perbukitan yang optimalisasi identitas (kearifan) lokal menuju
kemiringan tanahnya curam, dan di bantaran peradaban yang berkarakter bangsa. Hal tersebut
sungai Saddang yang menyebabkan dilakukan melalui pendekatan kajian kuantitatif
penyempitan sungai sehingga mengakibatkan menggunakan analisis chi square atau analisis
banjir. Walaupun demikian dalam penataan korelasi. Untuk jelasnya skema konsep dan
kota, masyarakat menginginkan penambahan kerangka pikir penelitian digambarkan sebagai
luas dan kualitas ruang terbuka hijau dan berikut:
ruang publik, menginginkan air sungai yang
jernih, kota yang aman dan nyaman, serta
aksesibilitas yang tinggi. Untuk mencapai
keinginan ini sebenarnya sesuai dengan ajaran
Alu’ Todolo dalam berperilaku dan penataan
permukiman, tetapi dalam skup kota yang
harus memelihara perikehidupan perkotaan
dan pelestarian wilayah hinterland seperti
kawasan hutan dan sistem ekohidorlikadaerah
aliran sungai. Kondisi ini menjelaskan masih
relevan dan urgennya kearfian lokal untuk
dijadikan dasar dalam penataan kota [17].
II.6 Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini membahas tentang perspektif
aspek sosio-kultural dalam perencanaan dan III. Metode Penelitian
perancangan kota. Aspirasi masyarakat yang
dalam hal ini menggunakan kasus masyarakat III.1 Jenis Penelitian
Bugis yang dalam hal ini mengambil kasus Kota
Makassar.Penelitian ini menggabungkan antara Kajian ini tergolong penelitian lapangan yang
metode kualitatif desktiptif dan metode menggabungkan antara metode kualitatif
kuantifikasi. Studi ini dikaji melalui simbiosa deskriptif dengan metode pengolahan data secara
antara ilmu antropologi dan ilmu kuantitatif melalui pendekatan statistik inferensial.
perencanaan/perancangan kota. Penelitian ini Dalam hal ini mengkaji keterhubungan antara
bermaksud untuk menemukenali aspek sosio- kajian sosio-kultural yang sangat abstrak dengan
kultural yang dipahami masyarakat Bugis yang kajian fisik spasial. Metode penelitian kualitatif
relevan dengan kegiatan perencanaan dan menunjuk kepada prosedur-prosedur riset yang
perancangan kota. Hal ini dilakukan dengan menghasilkan data kualitatif berupa ungkapan,
pendekatan wawancara dan kajian pustaka. Di lain catatan atau tingkah laku peneliti dalam kegiatan
pihak penelitian ini juga bermaksud observasi. Pendekatan tersebut mengarah pada
menemukenali karakteristik wujud kota Makassar keadaan-keadaan dan individu-individu secara
yang terbentuk hingga saat ini. Hal tersebut holistik. Penelitian kualitatif ini menggunakan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif yaitu melalui pengamatan,
kajian literatur dan observasi, yang melihat wujud wawancara, dan penelaahan dokumen.
fisik kota baik secara visual maupun spasial.
Selanjutnya, penelitian ini bermaksud untuk
mengetahui aspirasi masyarakat kota (khususnya
dari etnik Bugis) terkait dengan seberapa perlu

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 50
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

III.2 Pengumpulan Data tersebut masih perlu untuk dijadikan


pertimbangan dalam penyusunan konsep
Pengumpulan data literatur dilakukan dengan perencanaan kota.
cara: 1) informasi tentang aspek sosio-kultural
Bugis, dan data pemahaman masyarakat kota akan III.4 Teknik Analisis Data
sosio-kultural Bugis; 2) informasi tentang
karakteristik wujud kota Makassar; 3) informasi Teknik analisis untuk mengetahui
persepsi tentang persepsi masyarakat Bugis karakteristik wujud kota adalah teknik analisis
tentang upaya mempertimbangkan sosio-kultural morfolofi kota yang diidentifikasi dengan teknik
atau kearifan lokal dan perencanaan dan analisis pemetaan dan digabungkan dengan
perencanaan kota. Selanjutnya Survei lapangan kegiatan observasi lapangan. Teknik analisis ini
dilakukan dengan teknik observasi lapangan dan dilakukan dengan menganalisis kondisi wujud
interview yaitu melakukan tanya-jawab kepada spasial maupun spasial wilayah objek penelitian.
beberapa informan. Di samping itu, juga Selanjutnya, teknik analisis data statistik
dilakukan wawancara khusus lebih mendalam menggunakan teknik analisis statistik inferensial,
terhadap beberapa orang yang memahami budaya yaitu menggunakan teknik frekwensi data statistik.
dan akademisi budaya dan perkotaan. Teknik analisis ini dilakukan dengan menganalisis
persepsi masyarakat terhadap kondisi dan kualitas
III.3 Jenis Data dari fasilitas dan prasarana perkotaan yang ada
dalam lingkup wilayah penelitian. Variabel yang
Untuk menjawab pertanyaan penelitian 1, ditinjau adalah persepsi masyarakat tentang nilai-
dikumpulkan data aspek kearifan sosio-kultural nilai budaya dan kearifan lokal dalam
masyarakat Bugis, dan persepsi dan pemahaman pembentukan kota Bugis.
responden tentang kearifan lokal Bugis. Persepsi terhadap wujud kearifan lokal
Tujuannya adalah untuk mengetahui meliputi: wujud kota yang berbasis nilai siri’na
pemahamannya terhadap makna kosmologi, nilai- pesse yang bermakna harga diri dan solidaritas
nilai, dan prinsip hidup masyarakat Bugis yang yang tinggi. Persepsi tentang nilai-nilai tersebut
dapat berpengaruh terhadap wujud perkotaan. dilihat kaitannya dengan wujud kota yang
Makna-makna tersebut dapat tetap berlaku sejak meliputi: a) pemanfaatan ruang, b) pola jaringan
dulu sampai saat ini, ataukah kini telah bergeser jalan, c) ruang publik, dan d) tata bangunan
maknanya. Informasi tersebut juga dapat termasuk bentuk bangunan yang ada. Latar
diperoleh melalui: kajian kepustakaan dan belakang masyarakat yang dianalisis persepsinya
beberapa naskah kuno; wawancara langsung meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan
terhadap beberapa informan tokoh masyarakat, keluarga, jenis pekerjaan, dan aktifitas keluarga
pakar budaya, dan akademisi. Untuk menjawab sehari-hari.
pertanyaan penelitian 2 dikumpulkan data tentang
karakteristik wujud kota Makassar. IV. Pembahasan
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
IV.1 Pemahaman Nilai-Nilai Sosio-Kultural
hasil perencanaan dan perancangan kota yang
Bugis
telah dilakukan. Untuk mengarahkan pencapaian
tujuan, maka identifikasi tersebut berdasar pada Nilai-nilai sosio-kultural Bugis yang dipahami
indikator: pola pemanfaatan ruang, jaringan jalan, berasal dari sebuah pandangan hidup
ruang terbuka, dan tata bangunan. Selanjutnya, masyarakatnya secara turun-temurun dan
untuk menjawab pertanyaan penelitian 3 melembaga. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam
dikumpulkan data persepsi masyarakat tentang sifat dan perilaku orang Bugis, serta terwujud
pertimbangan aspek sosio-kultural dalam kegiatan dalam artefak yang dihasilkan, baik secara
perencanaan dan perancangan kota. Tujuannya langsung maupun tidak langsung, baik secara
adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat teraga maupun secara tak teraga. Nilai-nilai sosio-
tentang seberapa jauh aspek sosio-kultural

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 51
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

kultural tersebut berpusat pada nilai Siri’ na Namun demikian pada usia tidak produktif lagi,
Pesse. Siri’ berarti harga diri, yang bermakna nampak pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut
bahwa orang Bugis selalu menjaga martabat atau cenderung meningkat kembali searah dengan
harga dirinya dimanapun berada. Siri’ dapat meningkatnya kesadaran mereka akan nilai-nilai
dilihat lebih jauh dalam wujud prinsip hidup dan kehidupan. Karena itu, mereka banyak memahami
gaya hidup masyarakatnya dalam bentuk upaya atau mempelajari kembali nilai-nilai tersebut.
menjaga perilaku dan penampilannya, serta upaya (lihat Tabel 1 dan Gambar 2a).
mengembangkan potensinya. Implikasi nilai siri’
Tabel 1. Tingkat Kepahaman Kearifan Lokal Bugis dan
dalam perilaku orang Bugis memperlihatkan Aplikasinya
karakter yang sangat menjaga sifat dan Nilai kearifan Bugis Persentase orang yang
perilakunya. Di samping itu juga memiliki
Paham Implementasi
karakter yang selalu bersaing dan mencari
peluang bisnis sebagai wujud nilai wereagar tetap Siri' na pesse 76 100
memiliki nilai (harga) dimata orang lain. Nilai Sipakatau 93 100
were pada hakekatnya merupakan bagian dari Sipakalebbi 90 100
nilai siri’. Selanjutnya, Pesse berarti Sipakainge' 93 100
kesetiakawanan (solidaritas). Mereka memahami Sipatuo sipatokkong 78 100
pentingnya sikap “sipakatau” dan “sipakalebbi” Sipammasemase 88 100
dalam hidup berdampingan dengan Siwolompolong 53 100
lingkungannya. Dalam mengawal dan mengawasi
pelaksanaan nilai-nilai siri’ dan pesse tersebut Catatan:
orang Bugis memiliki perangkat aturan atau i. 100 responden dipilih pada kelurahan pesisir Kota
norma yang disebut “Pangadereng”. Makassar yang merupakan komunitas Bugis, yang
Beberapa nilai budaya Bugis hingga saat ini pada Oktober 2012 sudah berdomisili minimum 10
tahun;
masih sangat dipahami oleh komunitas ii. Sumbu Y menjelaskan presentase jumlah orang
masyarakat Bugis di pesisir Kota Makassar. yang paham tentang nilai kerafian Bugis;
Namun demikian eksistensi nilai-nilai budaya iii. Sumbu X menjelaskan kelompok usia komunitas.
tersebut dalam pemahaman komunitas, cenderung
bervariasi. Dari hasil wawancara menunjukkan Selanjutnya pada Gambar 2b, memperlihatkan
bahwa nilai-nilai siwolom-polong dan sipatuo bahwa beberapa nilai budaya yang sangat
sipatokkong (gotong royong) masih sangat dipahami masyarakat Bugis di Kota Makassar
dipahami masyarakat mulai seja kecil hingga usia mulai dari masa muda hingga pada masa tuanya,
tua, walaupun cenderung mengalai penurunan yaitu nilai siri’na pesse, sipakatau, sipakalebbi’,
pemahaman akan nilai tersebut pada usia lanjut sipakainge’, dan pammase-mase. Nilai-nilai
(umur 40an) yang disebabkan oleh semakin tersebut relatif mengalami peningkatan sepanjang
merosotnya pemahaman nilai-nilai tersebut yang umur komunitas Bugis tersebut, walaupun
disebabkan oleh gejala sosial yang dialami beberapa responden mengalami penurunan
masyarakat perkotaan seperti gejala hidup pemahaman pada usia 50an. (lihat Gambar 2b).
bersaing yang semakin tinggi, individualis, hidup
100
bebas, dan sifat materialistis. Hal tersebut 90

menunjukkan bahwa pada usia muda masyarakat 80


70
Bugis masih sangat memahami dan 60
mengaplikasikan nilai-nilai budaya tersebut. 50 Sipatuo-sipatokkong
Siwolompong
Selanjutnya pada usia kerja (produktif) setiap 40
30
komunitas mulai mengalami kesibukan dalam 20

mengurus berbagai kegiatan yang berkaitan 10


0
dengan pengembangan diri dan keluarganya <30 31-40 41-50 51-60 >60

kemampuan tenaga maupun daya pikirnya. Gambar 2a

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 52
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

120 lingkungan binaan. Pola hidup masyarakat Bugis


100
baik dalam negeri maupun pada daerah
perantauannya, tetap memegang teguh nilai-nilai
80 Siri' na pesse solidaritas yang berpedoman pada nilai siri’ na
Sipakatau
60 pesse. Menurut Mahmud Tang walaupun mereka
Sipakalebbi
Sipakainge'
menyebar di perantauan, namun jika salah seorang
40
Sipammasemase
kerabatnya melaksanakan hajatan tertentu seperti:
20 perkawinan, kelahiran, kematian, atau kegiatan
naik haji, maka segenap anggota keluarga datang
0
<30 31-40 41-50 51-60 >60 memberikan doa restu, serta sumbangan materi
Gambar 2b atau tenaga. Gaya hidup yang terbentuk dari
Catatan: akumulasi nilai-nilai yang bersumber pada konsep
i. 100 responden dipilih pada kelurahan pesisir Kota siri’ na pesse yang dipahami tersebut selanjutnya
Makassar yang merupakan komunitas Bugis, yang terwujud dalam bentuk penciptaan ruang dan
pada Oktober 2012 sudah berdomisili minimum 10
tahun;
bentuk perkotaannya.
ii. Sumbu Y menjelaskan presentase jumlah orang
yang paham tentang nilai kerafian Bugis; IV.2 Implikasi Nilai Siri’ na Pesse yang Relevan
iii. Sumbu X menjelaskan kelompok usia komunitas. dengan Perencanaan Kota

Gejala tersebut memperlihatkan masih Perancangan kota Renaissance yang


tingginya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai menggunakan jalan poros, sangat berperan
budaya, yang sangat relevan dengan makna dan menunjukkan kewibawaan penguasa kota. Hal ini
filosofi yang terkandung dalam nilai-nilai dapat terlihat pada kota-kota yang dibangun pada
tersebut. Jika dilihat pada pembahasan di atas zaman pertengahan seperti halnya pada era
menunjukkan bahwa nilai siri’ na pesse dapat Romawi. Pola jalan grid ini banyak diterapkan
dipandang sebagai induk dari nilai budaya Bugis. oleh perancang kota pada masa penjajahan bangsa
Terkait dengan hal tersebut, dengan adanya Eropa di Indonesia. Hal ini terutama terlihat pada
pemahaman masyarakat Bugis yang masih tetap kota-kota yang terletak di daerah pantai. Pola
eksis sepanjang hidupnya khususnya terhadapat jalan kisi yang dibentuk dengan mengikuti garis
nilai siri’ na pesse, terutama pada masa usia pantai dan arah mata angin, selanjutnya menjadi
produktif dan usia tua, maka dipandang perlu karakter kota-kota kolonial di Indonesia.
untuk menggali transformasi nilai-nilai tersebut Kehadiran jalur jalan sebagai sebuah elemen
terhadap wujud kota. Hal ini dimaksudkan untuk fisik kota merupakan sebuah wujud sosial. Karena
mengaplikasikan wujud fisik dari nilai-nilai itu, dikatakan Moughtin [18], bahwa jika
tersebut ke dalam proses perencanaan dan jaringan-jaringan jalan kota kelihatan menarik,
perancangan kota. maka kota tersebut kelihatan menarik pula. Faktor
Jika pembahasan di atas dikaitkan dengan fisik lahan penting untuk dipertimbangkan dalam
perencanaan kota, dapat disimpulkan bahwa perancangannya, tetapi jauh lebih penting untuk
masyarakat Bugis berupaya untuk selalu menjaga mempertimbangkan kontribusi faktor sosial,
setiap perilakunya, selalu menjaga budaya, dan ekonomi. Fungsi sosial, budaya, dan
kesetiakawanan dan kebersamaan dengan ekonomi seperti dikemukakan Moughtin dan Gans
lingkungan sekitarnya. Masyarakat Bugis tidak meliputi jalur jalan kota yang dapat memfasilitasi
senang direndahkan sehingga mereka cenderung kegiatan komunikasi dan interaksi antar
untuk selalu berupaya mengembangkan potensi masyarakat. Ini berarti bahwa jalur jalan
yang dimiliki dalam rangka memperbaiki kualitas memberikan pelayanan kepada masyarakat umum
hidupnya. Terkait dengan hal tersebut masyarakat berupa: interaksi antar masyarakat di jalan,
Bugis menunjukkan harga dirinya melalui sebagai area rekreasi dan tempat hiburan. Di
berbagai hasil karyanya termasuk wujud samping itu jalur jalan juga berperan sebagai

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 53
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

prasarana penunjang kegiatan perdagangan dan dengan pola jalan grid yang faktanya secara
agenda politik. Menurut Moughtin [18], jalan alamiah dikembangkan oleh masyarakat Bugis di
yang baik dan memenuhi kepentingan masyarakat kota Makassar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
akan menjadi sebuah simbol harga diri (self- gambar berikut.
esteem) masyarakatnya.
Seperti halnya dengan kajian di atas, pada
permukiman masyarakat Bugis juga
menampakkan pola jalan berbentuk grid. Pola grid
tersebut terbentuk secara turun-temurun sesuai
dengan nilai budaya yang dipahami yaitu siri’ na
pesse. Nilaisiri’ na pesse tersebut memberikan
makna pada pentingnya hubungan silaturrahmi
antar masyarakat yang berimplikasi pada
pentingnya aksesibilitas untuk saling interaksi. Di
samping itu masyarakat Bugis merupakan
masyarakat yang sangat luwes dan terbuka
sehingga cenderung melakukan hubungan
komunikasi dengan sekitarnya [19]. Kegiatan Gambar 3. Pola jalan di Kota Makassar Tahun 1922 dan
Citra Google Tahun 2012 berpola Grid sesuai nilai Budaya
sosial budaya masyarakat Bugis sangat terkait erat Bugis
dengan jalur jalan kota yaitu berperan sebagai
wadah interaksi antar masyarakat. Komunikasi IV.3 Implikasi Nilai Were yang Relevan dengan
antar warga juga sebagian tercipta di area jalan, Perencanaan Kota
seperti perilaku bertegur sapa. Jalan menjadi
sarana yang dapat melayani berbagai kegiatan Orang Bugis selalu berusaha untuk
secara simultan. Satu-satunya pola jalan yang mengembangkan potensinya di mana pun berada,
sangat relevan dengan kemudahan akses dan baik dalam lingkungannya maupun dalam posisi
keterbukaan dari semua sisi adalah bentuk grid. di perantauan. Sebagaimana nilai siri’ sebagai
Hal ini karena pola jalan ini bersifat terbuka dan taruhan harga diri, motivator atau pendorong
sangat efisien untuk melakukan pergerakan ke dalam berprestasi, pedoman hidup yang memberi
semua arah. harmonisasi dalam berinteraksi, dan kontrol
Di samping itu masyarakat Bugis memiliki sosial; maka harga diri yang dimiliki diangkat
pandangan yang melihat alam semesta ini sebagai melalui nilai kerja keras, berprestasi, berjiwa
sulapa’ eppa’ wolasuji, yang bermakna segi pelopor, dan senantiasa berorientasi pada
empat belah ketupat. Pola jalan bentuk grid keberhasilan. Mereka memahami bahwa hanya
persegi panjang pada atau kota Bugis terutama dengan berusaha keras dan pantang menyerah,
terlihat pada kota-kota pantai yang topografinya kita akan memperoleh karunia, keberhasilan atau
relatif datar. Beberapa pola jalan yang ditemukan nasib beruntung dari Allah Swt. Pemahaman
mengarah sesuai arah mata angin, yang diasumsi itulah yang dipahami orang Bugis dengan sebutan
terkait dengan arah orientasi rumah atau arah garis were.
pantai. Proses pembentukan pola jalan grid Aktifitas pemenuhan harga diri masyarakat
tersebut berawal dari terbentuknya jalur jalan Bugis antara lain dilakukan dengan usaha atau
yang secara linier memanjang searah dengan garis kerja keras yang terkait dengan nilai-nilai siri’
pantai. yang dipahami yaitu malu (pantang) menjadi
Faktor-faktor aktifitas dan kebutuhan akses orang lemah, tidak mampu, atau orang yang
yang mudah terhadap jalan pada masyarakat disepelekan. Dalam hal berusaha, sejak dahulu
Bugis itulah yang menjadi tuntutan utama karakter orang Bugis dikenal senang berdagang
dibutuhkannya pola jalan efisien yang saling berusaha dan memiliki kecenderungan untuk
terhubung. Pola jalan yang dimaksud sesuai berbisnis dengan etos kerja yang tinggi.

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 54
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

Masyarakat Bugis mengutamakan semangat kerja bentuk rumah masyarakat yang dahulu banyak
yang tinggi (Pallaku-laku) dimana kinerja diukur menampakkan bentuk-bentuk tradisional
dari banyaknya pekerjaan. Hal tersebut menjadi berbentuk panggung yang dilengkapi dengan
modal utama dalam sebuah usaha. Saat ini, nilai bentuk timpa laja pada atap. Timpa laja’tersebut
budaya tersebut lebih berkembang maknanya menjadi simbol strata masyarakat Bugis. Namun
menjadi pola hidup modern yang mengutamakan karena perkembangan kehidupan kapitalisasi dan
kecepatan kerja di samping volume yang tinggi. liberalisasi sehingga nilai budaya tersebut
Berdasar pada pembahasan nilai-nilai sosio- mengalami perubahan makna. Perubahan nilai
kultural khususnya tentang nilai were di atas, tersebut berimplikasi pada semakin berkurangnya
selanjutnya nilai-nilai sosio-kultural masyarakat rumah-rumah tradisional Bugis yang
Bugis tersebut dapat dilihat implikasinya dalam menggunakan bentuk timpa laja’. Namun
pembentukan lingkungan binaan seperti yang demikian beberapa sisi dari kota Makassar tetap
tertuang pada tabel dan bagan implikasi nilai menampakkan wujud rumah tradisional seperti
sosio-kultural dalam lingkungan binaan. Wujud yang di Kecamatan Ujung Tanah dan Wajo.
dari nilai were yang diidentifikasi merupakan Berdasarkan bahasan tersebut dapat disarikan
faktor pendorong dalam berprestasi kreatif dengan bahwa pembentukan gaya hidup masyarakat
semangat yang tinggi, kerja keras, dan ulet; Bugis dapat didukung oleh status sosial yang
memulihkan keseimbangan hidup untuk mencapai dimiliki dalam konteks pelapisan sosial. Hasil
kebahagian dunia dan akhirat; melakukan kajian tentang pelapisan sosial ini sesuai dengan
kegiatan yang terencana dan efisien untuk pandangan [21, 22].
mencapai keberhasilan; dan meningkatkan
kehormatan. Nilai-nilai tersebut dapat ditelusuri
melalui prinsip hidup yang dipahami, gaya hidup
dan aktifitas masyarakat Bugis, baik secara
individu maupun kelompok. Selanjutnya implikasi
nilai-nilai were dalam wujud lingkungan binaan
atau kota pada kajian ini, dilihat kaitannya pada
beberapa indikator elemen pembentuk kota seperti
pemanfaatan ruang, jaringan jalan, ruang terbuka,
dan tata bangunan. Namun demikian implikasi
nilai were dalam lingkungan binaan, hanya
teridentifikasi dalam wujud tata bangunan. Hasil
(a)
kajian ini sesuai dengan pandangan Abidin [20]
tentang “Siri, Pesse, Were: Pandangan Hidup
Orang Bugis”,
IV.4 Implikasi Pelapisan Sosial Masyarakat
Bugis terhadap Wajah Kota
Penggolongan masyarakat Bugis saat ini
cenderung mengalami pelebaran makna,
walaupun sistem pelapisan masyarakat yang
memahami tiga macam strata tetap bertahan
khusunya pada beberapa lingkungan adat, atau di
kawasan perdesaan. Masyarakat Bugis pada
umumnya cenderung melihat sistem strata dalam (b)
konteks terbuka, dimana setiap orang akan Gambar 4. (a), (b) Bentuk Rumah Tradisional membentuk
wajah Permukiman di Kecamatan Ujung Tanah
meningkatkan stratanya sendiri melalui
prestasinya. Hal tersebut berpengaruh pada pola

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 55
Jurnal JPE, Vol. 20, No. 1, Bulan Mei, Tahun 2016 JPE-UNHAS

V. Kesimpulan untuk diaplikasikan dalam proses perencanaan


dan perancangan kota.
Sebagai salah satu kearifan lokal, siri’ na
pesse merupakan pandangan hidup masyarakat Kepustakaan
Bugis walaupun di era kini, yang bermakna
[1] I. Altman, M. Chemers, Culture and Environment, Brooks/Cole
penjagaan harga diri dan solidaritas yang tinggi Publishing Company, First Published by Canbridge University Press,
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai harga diri lebih 1984.
[2] H.J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan
ditekankan dalam nilai siri’ dan nilai were yang Antropologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
bermakna selalu berupaya menjaga kehormatan [3] A. Rapoport, “Human Behavior and Environment”, dalam Cross-
Cultural Aspects of Environmentak Design, Advances in Theory and
diri dan orang lain. Nilai solidaritas lebih Research, Environment and Culture, (Volume 4), eds. Altman, I.,
ditekankan dalam nilai sipammase-mase, Rapoport, A., Wohlwill, J., Plenum Press, New York and London, hal.
7-46, 1980
sipakatau dan sipakalebbi, yang bermakna saling [4] H. Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan, dalam Perspektif
menghargai sebagai sesama mahluk sosial, dan Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
[5] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta,
saling mengingatkan agar tidak terjadi salah pikir, 2003.
salah ucap, maupun salah tindak dalam [6] A.D. Wicaksono, “Perspektif Budaya dalam Perencanaan Kota”,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kearifan Lokal, Unmer,
berperikehidupan. Nilai-nilai siri’ na pesse Malang, 2009.
kemudian teriplementasi dalam wujud kota seperti [7] ----------, Culture, Architecture, and Design, Locke Science
Publishing Company, Inc., 2005.
di Kota Makassar. Dalam hal ini, kemudahan [8] Y.F. Tuan, Space and Place, The Perspective of Experience,
dalam melakukan interelasi sosial menjadi dasar University of Minnesota, Minneapolis, 1977.
[9] Antariksa, “Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan
dalam penataan massa bangunan dan jalur jalan, Lingkungan Binaan”, dalam Proseding Seminar Nasional, Unmer,
yang terungkap dalam wujud pola grid pada Malang, 2009.
[10] E. Budihardjo, Tata Ruang Perkotaan, PT. Alumni, Bandung, 2005.
tatanan jalan, yang terbuka untuk berhubungan [11] F. Santosa, Kapitalisme-Liberalisme dalam Pandangan Islam,
secara eksternal dan memudahkan akses antar http://kammi jember. blogspot. com, 2009. (diakses 4 Mei 2010).
[12] Sumalyo, Sejarah Perkembangan Arsitektur dan Kota Makassar.
rumah dan fasilitas sosial suatu permukiman, serta Penelitian Jurusan Arsitektur – Universitas Hasanuddin, Makassar,
tersedianya ruang publik sebagai wadah interelasi 2002.
[13] I. Kustiawan, Bentuk dan Struktur Internal Kota, Unsur Pembentuk
sosial antar warga. Nilai-nilai tersebut juga Struktur Tata Ruang Kota: Pusat Kegiatan Kawasan Fungsional dan
terwujud dalam bentuk ruang terbuka publik Jaringan Jalan, http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php, 2009.
(diakses 6 September 2010)
seperti Lapangan Karebosi, lapangan Hasanuddin, [14] R. Krier, Urban Space, Rizzoli International Publications. Inc.,
anjungan Pantai Losari, beberapa lapangan London, 1979.
[15] R. M. Beckley, Urban Design. McGraw Hill, New York, 1979.
terbuka lainnya yang multi fungsi baik untuk [16] Arifuddin, E.T.S. Darjosanjoto, “Perbandingan Konsep Perancangan
rekreasi, olahraga, maupun penyelenggaraan Kota Kuno Luar Negeri dengan Kota Tradisional Nusantara”, dalam
Proseding Seminar Nasional, Unmer, Malang, 2009.
kegiatan sosial seperti sholat Idul Fitri dan Idul [17] Y. Ananto, et al., “Local Wisdom Based Planning To Face The
Adha. Termasuk juga ruang publik tertutup Environment Quality Degradation: Case study Tana Toraja,
Indonesia”. Proceedings The 8th International Symposium on City
berupa gedung-gedung pertemuan khusus maupun Planning and Environmental Management in Asian Countries. Asia
yang tergabung dalam shoping mall. Selanjutnya, Urban Research Group. Tianjin, China, 2012.
[18] C. Moughtin, Urban Design, Street and Square. Linacre Hous, Jordan
nilai bangunan penciri (icon) kota yang bernuansa Hill, Oxfort, London, 1992.
Bugis Makassar seperti Kantor Gubernur Provinsi [19] C. Pelras, Manusia Bugis (Judul Asli: The Bugis) Diterjemahkan oleh
Abdul Rahman dkk, Forum Jakarta Paris dan Ecole Francaise
SulSel, kantor DPRD kota Makassar, kantor d’Extreme-Orient, Jakarta, 2006.
PELNI, serta kampung-kampung etnis Bugis yang [20] Abidin, “Siri, Pesse, Were: Pandangan Hidup Orang Bugis”, dalam
Siri’ dan Pesse, Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.
arsitektur rumah dan tatana massa. ed, Mustafa, Yahya, Pustaka Refleksi, Makassar, 2003.
Implementasi nilai-nilai kearifan lokal Bugis [21] Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. P.T.
Gramedia, Jakarta, 1977.
yang masih tetap eksis di Kota Makassar ini [22] C. Levi-Strauss, Structural Anthropology. Basic Book, New York.
mempunyai pengaruh terhadap tatanan wilayah 1963.
[23] A.J. Catanese, J.C. Snyder, Perencanaan Kota (Judul Asli: Urban
yang lebih makro. Karena itu, dipandang perlu Planning, McGeaw-Hill Inc), Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta, 1996.
untuk menggali transformasi nilai-nilai tersebut [24] ----------, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. P.T. Gramedia,
Jakarta, 1983.

© 2016 Jurnal Penelitian Enjiniring, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin


Hal | 56

Anda mungkin juga menyukai