1 , Januari 2017
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Kata kunci: Car Free Day, globalisasi,
Globalisasi Urbanisme Kontemporer di kota,urbanisme
Bandung
Oleh:
Abstract
Frans Ari Prasetyo1 Car Free Day has become a contested arena
of production and consumption whereby a
Abstrak contemporary social and cultural
transformation of space also forms a new
Car Free Day telah menjadi arena contemporary composite agencies of urban
kontestasi produksi-konsumsi sekaligus public in the city of Bandung, West Java.
transformasi ruang sosial-kultural Such agencies also shape a new identity for
kontemporer baru dalam pembentukan the image of a city landmark. The city
agensi komposit (publik) perkotaan di kota appears to prioritize its infrastructure by
Bandung, Jawa Barat. Agensi inilah yang concentrating and rationalizing people’s
ikut membentuk identitas baru dalam citra activities and how they spend their time. By
landmark kota. Wujud kota managing citizen activities, the city aims to
mengkonsentrasikan keberadaan be the center of social activity as well as a
infrastruktur dengan merasionalisasikan medium of (a)culturation in shaping the city
waktu dan aktivitas warganya. Melalui cara image. Furthermore, such management also
mengatur aktivitas (ke)warga(an) kota shows the existence of the city, and its roles
ditujukan untuk menjadi pusat aktivitas for the source of knowledge, the
sosial serta (a)kulturasi dalam distribution of information and the
pembentukan citra. Lebih lanjut, dissemination of city values (as morally
pengaturan semacam itu menujukkan imposed by the authority) with efforts by
adanya eksistensi kota, peranan kota creating a public space. This article seeks to
sebagai sumber pengetahuan, distribusi provide an understanding of a spatial
informasi dan persebaran tata-nilai ( yang arrangement based on social and cultural
secara moral dilakukan oleh penyelenggara constructs. Such knowledge is framed
otoritas kota) dengan upaya penciptaan (framing) by a period of experiencing and
ruang publik. Artikel ini berupaya forming the infrastructure in manufacturing
memahami rangkaian pengetahuan spatial- Car Free Day as a strategy of urbanism in
sosial-kultural. Pengetahuan itu Bandung. In order to meet this challenge,
ter(di)susun melalui suatu periode waktu the study includes an analysis of
dalam proses mengalami dan membentuk infrastructure and the paradox of physical
infrastruktur yang diproduksi Car Free Day and socio-cultural landscape to the extent of
sebagai sebuah taktik dan strategi providing transparent and opaque
urbanisme di Bandung. Memenuhi narratives in the formation of an alternate
tantangan ini termasuk mempelajari space (third space). The study also seeks to
infrastruktur, melihat paradoks fisik dan provide an analysis of the city construction
sosio-kulturalnya sebagai narasi lansekap and its maintenance through daily practices
antara transparan dan buram dalam sebuah in a particular context of (visual)
formasi ruang (ketiga). Kajian ini juga ethnography.
bertujuan mencari konstruksi dan
pemeliharaan melalui praktek sehari-hari Keywords: Car Free Day, globalization, city,
dalam konteks (visual) etnografi tertentu. urbanism
1
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
2
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
termasuk kepada ruang kotanya yang ini kemudian menyoroti sejumlah cara
diupayakan dan terkadang dipaksakan dimana konsep progresif ruang
serupa ke berbagai kota lainnya, tidak dikembangkan, walaupun prakteknya
terkecuali ke kota Bandung. Salah satunya hanya berupa genit-genit improvisasi ruang
melalui Car Free Day dengan memberikan dalam beragam macam kemasan, salah
aliran tersebut pada proses transformasi satunya bernama Car Free Day tersebut.
ide, persepsi, gagasan dan wacana yang
Beberapa kota, bahkan hampir semua kota
disuguhkan untuk kemudian diaplikasikan
besar dan menengah di Indonesia memiliki
sebagai narasi lansekap sejarah ruang kota
Car Free Day dan Bandung telah
dan bagian dari kerja globalisasi perkotaan.
memilikinya sejak tahun 2010 setelah
Perkembangan isu Car Free (bebas mobil) diawali oleh Jakarta pada tahun 2007.
diawali pada saat yang sama setelah Jane Merujuk kepada The Ten Melbourne
Jacobs menulis The Death and Life of Great Principles for Sustainable Cities2, salah satu
American Cities (1961). Perkembangan poinnya merujuk agar kota selayaknya
selanjutnya, Car Free Day menjadi isu global memberikan narasi Sense of Place untuk
lingkungan hidup perkotaan termasuk keberlangsungan kota dan masyarakatnya.
penetrasi globalisasi yang secara tidak Alih-alih menjadi sebuah model kuat untuk
langsung sudah berada didalamnya untuk pembangunan dan menjadi ekosistem
kemudian men-setting arena perkotaan keberlanjutan kota semata, Car Free Day di
khususnya di jalan-jalan kota populer kota Bandung memberikan dorongan aspek
dengan durasi waktu tertentu dalam ekosistem perkotaan dari proses visi untuk
membuat sebuah bentukan sosial baru mencapai hal tersebut dengan mendorong
secara spatial maupun aspatial. Car Free sense of place tadi yang kemudian
Day dibayangkan sebagai narasi urbanisme mendorong perubahan menjadi space of
sosial evaluatif kontemporer dan upaya flow dan berubah lagi menjadi space of
mengembangkan politik akses ruang serta culture. Perubahan ini nampak jelas
mobilitas didalamnya yang terkait dikoridor jalan Dago dikota Bandung,
penggunaan infrastruktur fisik dan sosial dimana Car Free Day berlangsung sejak
serta kontrol untuk mencerminkan sejak tahun 2010 setiap hari Minggu yang
kekuasaan versi masyarakat dan versi awalnya dimulai sejak pk. 06.00-12.00 WIB
negara. Hal ini menanggapi keinginan untuk sepanjang 1,51 km, hingga mengalami
kepastian dan keamanan identitas di
tengah-tengah semua gerakan dan 2 Newman, Peter and Isabella Jennings. 2008.
Cities as Sustainable Ecosystems: Principles and
perubahan dari ruang dan waktu tersebut Practices Island. Washington, Covelo, London:
secara lokal dan global. Argumen-argumen Island Press
3
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
perubahan sejak tahun 2011 yang dimulai Fig 1 : Area dan arena Car Free Day Dago –
pk.06.00-10.00 wib dan sepanjang 1,2 km. 3 Bandung (Prasetyo 2014a)
(Fig1).
4
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
5
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
6
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
7
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
8
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
dalam, serta luar, seseorang waktu dan paradoks ruang dan waktunya sendiri
tempat tertentu. Desentralisasi telah terkait identitas dan politik ruang, agensi
melahirkan pertunjukan populer perkotaan struktural dalam relasi masyarakat dan
pemerintah kota. Kota ini telah negara serta relasi sosial-kultural dalam
menggantikan negara sebagai arena untuk hierarki kelas masyarakatnya termasuk
representasi dari nilai-nilai populer. identitas pembentuknya. Bagaimana
Penduduk kota moderen sebagian besar hubungan hal-hal tersebut dan menghadapi
tidak terlepas dari aspek dan dampak semua gerakan ini serta mencampurkannya
lingkungan dari kehidupan sehari-harinya. hanya dalam satu koridor lansekap jalan
Akumulasi sadar oleh pemirsa kota yang raya perkotaan, lalu apakah kita dapat
penuh minat dan terlatih akan mempertahankan rasa ruang lokal dan
mengantarkan kepada apresiasi dan kekhususan tertentu akibat praktik
apropriasi atas kandungan esensial dari produksi, konsumsi, apresiasi dan
posisi arsitektural dan geografis dengan apropriasi diruang bertajuk Car Free Day
ekspresi ruang yang diartikulasikan. Batas- ini?
batas menjadi cair, ruang kini dimengerti
Penjelasan memadai harus mengatur kota
sebagai aliran suksesi hubungan-hubungan
dalam konteks geografis yang lebih luas
tak terhitung jumlahnya. Menggambarkan
sehingga memberikan tepat untuk berpikir
batasan-batasan konsep ruang yang terikat
bagaimana pemahaman bisa diperpanjang
dengan waktu dengan menginterpretasikan
untuk gagasan terkait ruang hidup. Ruang
sejarah sebagai suatu evolusi ide yang
itu benar-benar tidak statis, jadi jika dapat
berubah-rubah. Melacak perkembangan
dikonseptualisasikan dalam hal interaksi
spasial tunggal sampai kepada struktur
sosial yang mengikat bersama, maka jika
transparan dimana yang dihubungkan
kasus bahwa interaksi dalam Car Free Day
dengan kontinum spasial.
ini sendiri bukan hal bergerak secara ruang
Car Free Day menekankan dan memainkan tapi bergerak melalui ruang dengan inisiasi
fase baru dalam pemusnahan ruang dengan dan interaksi sosial sebagai energi
waktu urbanisme. Proses ini berpendapat geraknya. Munculnya sejumlah orang yang
atau - lebih biasanya – menegaskan telah berkumpul pada ruang dan waktu tertentu
memperoleh momentum baru dalam menimbulkan keramainan yang memicu
mencapai tahap baru terkait keberadaan berbagai pihak untuk memanfaatkan ruang
ruang dan waktu itu sendiri yang terwakili tersebut sebagai arena kontestasi dengan
dalam unsur infrastruktur lansekap jalan- beragam motif kepentingan, seperti motif
jalan perkotaan. Fenomena Car Free Day ini ekonomi, politik, sosial dan budaya
sejatinya mengalami ketidakpastian dan bercampur sebagai wujud manifestasi
9
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
10
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
11
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
12
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
13
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
melalui Car Free Day yang dibungkus kota itu sendiri. Ruang-ruang yang
sebagai ruang publik. Car Free Day di digunakan secara informal banyak muncul
Bandung menjadi contoh nyata dari di dunia berkembang menjadi ruang ritual
legitimasi kekuasaan pemerintah kota keseharian yang terjadi secara berulang.
untuk menutupi keterbatasan ruang publik
Merujuk pandangan Soja (1996), maka
terbuka dengan menyulap koridor jalan
artikel ini menempatkan ruang yang
Dago menjadi ruang publik terbuka yang
muncul dalam Car Free Day sebagai ‘Ruang
dibungkus oleh isu lingkungan hidup
Ketiga’, dimana eksplorasi dimensi sosio-
berkelanjutan yang sebenarnya hanya
kultural sebagai akumulasi nilai masyarakat
mengikuti trend kota-kota global lainnya
perkotaan dengan pola kreativitas sehingga
dalam mengusung isu lingkungan melalui
munculnya sebuah gerakan bernama Car
hari tanpa kendaraan bermotor dan
Free Day sebagai kantung budaya urban
kepedulian atas global warming yang pada
yang khas dalam konteks ruang publik kota
praktiknya tidak berlaku sama sekali.
Bandung (Prasetyo 2014c). Car Free Day
sebagai ruang ketiga menawarkan
kontestasi gaya hidup publik yang masif
Konseptualisasi Narasi Ruang Ketiga
dalam melakukan aktivasi ruang. Disisi lain
Historisitas ruang sebagai praktik produksi
terdapat anomali gaya hidup yang membuat
realitas, bentuk dan representasinya tidak
penggunaan ruang yang bergeser dari
dapat serta-merta dianggap sebagai
tujuan awalnya, sebagai ruang yang
kausalitas yang berimplikasi waktu yang
disiapkan untuk ruang bebas kendaraan
mewujud dalam peristiwa (Lefebvre, 1991).
bermotor dan mengamankan ritus wacana
Pandangan yang memberikan perhatian
global warming. Bersinggungannya
khusus terhadap keberadaan kepentingan
beragam isu yang saling bertolak-belakang
dalam pembentukan suatu ruang adalah
dengan isu lainnya dalam ruang publik
konsep ruang ketiga (third space).
menjadikan ruang publik Car Free Day
Third space is space as directly lived, with all menciptakan paradoks urban.
intractability, a space that stretches across
the images and symbols that occompany it, Car Free Day sebagai sebuah place making
the space of "inhabitans and users”. Spaces of
representation contain all other real and yang dikontruksi berdasarkan setting
imagined spaces tertentu muncul sebagai ruang ketiga yang
(Soja 1996). mengalami time space compression dimana
Keberadaan ruang ketiga dianggap sebagai perspektif manusia yang berada dalam
suatu pengalaman yang abstrak bahkan ruang tersebut pada masa kini berkaitan
memiliki absurditas-nya sendiri terkait erat dengan kemajuan material yang
disiplin ilmu perkotaan bahkan estetika menyentuh hampir semua aspek kehidupan.
14
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
15
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
berlangsung dalam waktu satu hari dan formal dan informal melalui kerja branding
hanya berada di sebagian koridor satu ruas sebuah produk-produk konsumsi baru
jalan saja. Lalu, ketika orang-orang datang hingga sektor informal pedagang kaki lima.
ke Car Free Day tidak sebenar-benarnya car Belum lagi jika dilihat terkait siapa aktor-
free tapi tetap menggunakan kendaraan aktor yang muncul dalam penggunaan
bermotor seperti mobil dan motor yang ruang ini, mulai dari kampanye sosialisasi
diparkir dibatas-batas sekeliling ruas area program pemerintah, misalnya sosialisasi
jalan yang menjadi lansekap Car Free Day pembayaran pajak dan kesehatan hingga
tersebut dan malah menimbulkan penyediaan layanan publik seperti untuk
kemacetan lain di ruas jalan lainnya. Alih- pengurusan surat kendaraan dan surat ijin
alih ingin menggalakkan program ramah mengemudi. Selain itu begitu riuhnya
lingkungan, keberadaan Car Free Day tidak kampanye-kampanye yang diusung oleh
sama sekali mengurangi derajat polusi di ratusan komunitas dan lembaga swadaya
sekitar area tersebut. Car Free Day hanya masyarakat hingga lembaga keagamaan,
menjadi ekskalasi ruang publik baru dan mulai dari kampanye terkait isu lingkungan,
untuk kepentingan urban leisure dan urban anak-anak, disabilitas, kesehatan hingga
flaneur semata. program-program komunitas, seperti
komunitas tari, komunitas menggambar
Terdapat ruang dan waktu yang dikompresi
hingga komunitas hobby penyuka binatang
secara politis hanya untuk kepentingan
peliharaan dan mainan.
citra tertentu. Situasi lebih lanjut , Car Free
Day di Bandung malah menyediakan Begitupun kerja kebudayaan yang tidak
eskalasi politik, ekonomi dan kerja seni kalah seru, salah satunya terkait praktik
budaya yang terkadang saling seni yang tersaji melalui beragam bentuk
bersinggungan tapi juga terkadang bekerja pertunjukan, mulai dari pertunjukan seni
sendiri-sendiri. Misalnya, bagaimana tari, musik dan performance art yang
kampanye politik yang masing-masing dilakukan oleh beragam komunitas,
membawa panji-panji identitasnya dapat individu maupun instansi. Jika melihat ini,
berlangsung di suatu korodor jalan tanpa Car Free Day yang jika dihubungkan dengan
saling bergesekan, hal yang sama juga waktu kerja dan ruangnya, terjadi di hari
berlaku untuk kerja keagamaan di ruang minggu dan di waktu pagi hari maka orang
publik. Melihat ini, maka timbul pertanyaan, akan mengasosiasikannya kepada waktu
apakah Car Free Day ini telah menjadi ruang untuk olahraga apalagi car free day ini
demokratis yang sebenarnya? Selain itu, dikemas dalam nuansa praktik lingkungan
kita bisa melihat bagaimana Car Free Day hidup perkotaan yang berkelanjutan untuk
menyediakan lansekap transaksi ekonomi warganya. Kita dapat menyaksikan
16
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
17
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
nilai-nilai (tidak selalu sama dengan nilai- perkotaan. Munculnya ruang publik di
nilai 'rakyat'). Nilai populer sering Bandung sebagai wacana awal dari
diterjemahkan ke dalam program populis - kebutuhan ruang publik melegitimasi
(ironisnya) hierarkis munculnya Car Free Day yang pada awalnya
sebagai respon trend global dalam isu
Konsep-konsep seperti "multikulturalisme"
lingkungan hidup perkotaan kemudian
atau "subkultur" meninggalkan pertanyaan
dikemas sebagai ruang publik. Car Free Day
kritis terhadap perbedaan budaya dengan
menjadi ajang konstestasi publik yang
tidak adanya gagasan menyeluruh dari
bernilai sebagai lokasi administratif, lokasi
ruang lokal. Akibatnya, gagasan moderen
sosio-kultural termasuk lokasi gaya hidup,
ruang wilayah memberikan analisis yang
lokasi ekonomi dan lokasi politik bagi
diingatkan untuk tertulis dalam grid
warga kota, khususnya di Bandung
multikulturalis atau di ruang tersebut. Hal
(Prasetyo 2014c) sehingga menjadikannya
ini menghasilkan satu set pertanyaan
ruang konstalasi yang merangkap sebagai
teoritis terkait konsep budaya hibrida,
ruang kontestasi. Hal ini menjadikan ruang
lokalisasi dan hubungan mereka dengan
(kota) bukan hanya sekedar geografis, tapi
kanon-kanon terkait pengertian dan
sebagai persimpangan politik, masyarakat
pembentukan ruang serta budayanya. Car
dan ruang geografi bersama.
Free Day dilihat secara keseluruhan sebagai
gejala fisik budayawi (physic-artificial Kontestasi spasial telah mencakup beragam
phenomena) dimana ekspresi keruangannya isu dari hubungan warga tentang
bersifat fisik namun pembentukannya penggunaan lahan atau wilayah tertentu.
disebabkan oleh aktivitas aktor (manusia) Meminjam De Certeau (1984) yang
sehingga terbentuk budaya komposit menjelaskan hubungan dominasi dan
(Prasetyo 2014c). Nyatanya, Car Free Day kontestasi melalui jalan lain untuk
sebagai ruang ketiga berkontribusi sebagai pengaturan spasial. Car Free Day
ruang multikulturalisme yang progresif, merupakan wilayah atau ruang yang
responsif dan demokratis akibat aktivitas diproduksi dan direproduksi dalam
urban kompositnya tersebut walaupun kepentingan spatio temporal fix dalam
terjadi paradoks disana-sini. legitimasi pengaturan spasial san
aspasilnya. Ekspansi penggunaan ruang
melalui skema kapital dan skema relasi
Analisis Politik dan Kontestasi Ruang
sosial secara teoritik dipandang sebagai
Kota Bandung melalui peran Jalan Dago bagian dari (re)produksi ruang dalam
memiliki nilai historisitasnya tersendiri upaya menciptakan spatio temporal fix
dalam perkembangan kontemporer tersebut sebagai strategi dalam bertahan
18
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
19
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
(kosmetika) yang menonjolkan penampilan ditunjukan oleh Dago atau Jalan Ir. H
melalui gesture, fashion, bahasa tubuh, cara Juanda, tempat lokasi Car Free Day berada
berbicara kepandaian retorika, olah bahasa sebagai salah satu poros utama kota
dan permainan tanda yang dijadikan Bandung yang notabene sebagai poros
sebagai kekuatan politik untuk menutupi ekonomi yang dibangun oleh para pemilik
minimalitas kekuatan substansial. Kekuatan modal sehingga menjadikannya lokasi
substansial yang seharusnya menjadi wisata konsumsi nyata keseharian yang
landasan utama dari sikap politik yang masif ketika Car Free Day ini berlangsung.
meliputi kapabilitas, kecakapan,
Pembacaannya, ruang dalam frame
intelektualitas, kepemimpinan dan
lokalitas walaupun berwujud Car Free Day
kharisma yang mungkin tidak dimiliki oleh
sebagai bentuk pelarian romantis dari
kekuatan politik kosmetika malah menjadi
politik yang nyata dari dunia melalui
terlupakan. Strategi manipulasi
skenario lingkungan perkotaan yang
penampakan luar menjadi kosmetika politik
dikaitkan dengan wacana global warming,
yang kemudian menjadi logika politik masa
sementara 'waktu' disamakan dengan
kini dalam mencapai tujuannnya melalui
gerakan dan kemajuan 'ruang' secara stasis
teknik memanggil, mengajak, merayu, dan
dan reaksioner lokalitas karena terdapat
membujuk. Car Free Day menyediakan
unsur masyarakat dengan stuktur
ruang eskalasi termasuk publiknya untuk
internalnya. Kali ini, bagaimanapun bukan
proses-proses kerja politis semacam ini dan
hanya gerakan fisik, atau bahkan semua
hal itu sangat memungkinkan dari pada di
komunikasi yang terlihat, tetapi juga semua
ruang-ruang publik lainnya, jika melihat
hubungan sosial, semua link antara orang-
sasaran yang dibidiknya.
orang dan ruang-nya yang mengisinya
Selain itu, munculnya ekologi kelas dengan pengalaman konsumsi yang
penggunaan ruang publik secara ekonomi beragam. Apa yang terjadi adalah bahwa
sebagai sebuah lingkungan dari hegemoni hubungan geografi sosial telah berubah
unit-unit ekonomi melalui investor dalam secara politis, komunikasi dan konsumsi
kontruksi baru dan renovasi tertentu melalui Car Free Day.
menemukan homogenitas rasional
Hal ini secara alami sebuah situs di mana
mengenai pengetahuan tentang daerah atau
perubahan yang paling cepat, terutama
lokasi tertentu yang tepat dalam
dalam bentuk perkotaan, tetapi pada saat
menempatkan modalnya. Akhirnya ruang
yang sama kita bisa mengatakan bahwa
tersebut kehilangan identitas awalnya dan
kota sepertinya tidak pernah berubah.
digantikan oleh identitas baru dengan
Terus berlanjut tua di semua yang baru -
kemasan kapital yang kental. Kondisi ini
lapisan baru dan lama hidup berdampingan.
20
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
Produksi ruang akan sangat dinamis tetapi kekuasaan untuk kepentingan tertentu,
menentang pandangan linear waktu dan sehingga munculnya heterotopia ruang
ruang itu sendiri. Modus produksi sebagai ruang nyata hanya merupakan
membangun relasi ruang dan kemudian utopia yang diwujudkan dalam kontruksi
memproduksi ruang baru sesuai dengan penguasaan ruang dalam dinamika politik,
kepentingan produksi terlihat dalam wujud ekonomi, agama, sosial dan budaya yang
Car Free Day sebagai bagian dari membentuk masyarakat multikulturalisme
kepentingan produksi perkotaan dalam (Prasetyo 2014c). Terjadinya perebutan
membangun image untuk kesadaran ruang publik atas kuasa formal maupun
tertentu. informal menciptakan segregasi baru dalam
ruang publik, maka dalam konteks ini Car
Kesadaran ini yang memberikan ruang
Free Day menjadi arena kontestasi publik
apresiasi dan apropriasi publik untuk
heterogen, multikultur dan politis untuk
menunjukan identitas publik tersebut
kemudian melabeli Car Free Day sebagai
melalui aktivitasnya. Beragamnya aktivitas
ruang kolaborasi antara spatial practice
yang muncul merepresentasikan ruang
(perceived space), representation of space
ketiga ini sebagai arena kontestasi gaya
(conceived space) dan representasional
hidup, olahraga, kesehatan, fashion beserta
space (lived space). Car Free Day
paradoks yang mengikutinya. Car Free Day
memberikan kebebasan atas tekanan
juga menjadi ruang pertukaran, tegangan
suasana urban dan memberikan efek untuk
dan sengkarut untuk seni-budaya, agama
kesehatan publik, sehingga mendorong
dan politik yang progresif sehingga
pemanfaatan ruang publik ini lebih masif.
menyebabkan terjadinya perebutan ruang
Tapi disisi lain pemanfaatan ruang publik
dan frekuensi penggunaan yang berubah-
yang masif ini menjadi over exploitated
ubah. Car Free Day sebagai fenomena
karena terjadinya tumpang tindih aktivitas,
setting produksi ruang publik terbuka
kepentingan, dan pola pergerakan aktor
memberikan tampilan wajah sebenarnya
atau stakeholder di dalamnya yang menjadi
sebagai ruang ketiga yang multi guna , multi
distribusi arena kekuasaan dan penguasaan
fungsi dan multikulturalisme, karena saling
atas ruang publik tersebut.
tumpang tindihnya penggunaan ruang
dengan beragam aktivitas, komoditas dan
kepentingan yang menyertainya. Kondisi ini
Kesimpulan
yang kemudian teridentifikasi sebagai
Globalisasi dalam ruang yang mencakup
lansekap kerja kontestasi yang dimaksud.
didalamnya terkait dengan perekonomian,
Sekarang, Car Free Day teridentifikasi
dalam budaya, atau apa pun tidak berarti
secara arkeologi pengetahuan dan genealogi
21
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
hanya homogenisasi semata. Disisi lain, dapat membayangkan sebagai produk dari
globalisasi juga bekerja sebagai hubungan lapisan demi lapisan set hubungan yang
sosial dan menjadi sumber lain dari berbeda, baik lokal dan dunia yang lebih
(re)produksi pembangunan secara luas. Car Free Day telah melakukannya,
geografis dan pengetahuan serta menjadi setidaknya hingga saat ini di banyak kota di
padanan yang berhadapan langsung dengan dunia, khususnya di Kota Bandung.
lokalitas terutama melalui keunikan ruang
Munculnya kepentingan kapital dalam
dan politiknya, setelah bagaimanapun
bingkai ekonomi dan kekuasaan formal
gempuran globalisasi diruang tersebut.
maupun informal yang muncul dari
Terdapat kekhususan ruang yang berasal
berbagai stakeholder serta mekanisme
dari kenyataan bahwa setiap ruang tersebut
formal-informal, tangible - intangible yang
adalah fokus dari campuran yang berbeda
bekerja saling tumpang tindih di Car Free
dari yang lebih luas dan lebih lokal melalui
Day sebagai ruang publik temporer sebagai
hubungan sosial yang terajut didalamnya.
ruang ketiga yang diapresiasi, diapropriasi
Campuran ini bersama-sama di satu ruang
dan diantisipasi (Prasetyo 2014c). Car Free
dapat menghasilkan efek yang tidak akan
Day juga hanya menjadi legitimasi yang
terjadi sama.
dimunculkan oleh penguasa kota Bandung
Ini adalah era ketika ruang yang untuk menutupi keterbatasan ruang publik
(seharusnya) dihuni oleh koherensi dan terbuka dengan menyulap koridor jalan
heterogenitas untuk kemudian diatur Dago menjadi ruang publik terbuka yang
terhadap pola fragmentasi dan gangguan dibungkus oleh isu global lingkungan hidup
muncul sebelum dan setelahnya. berkelanjutan sebagai upaya manipulasi
Karakterisasi populer ruang waktu dalam citra kota melalui aktivitas merayakan
Car Free Day nyatanya berupa kompresi kebebasan penggunaan jalan yang nyatanya
yang mewakili pengetahuan barat yang hanya berdurasi 4 jam saja diakhir pekan
terwujud dalam agensi aktor, kebijakan yang notabene bukan rushhour melainkan
bahkan kultural yang berdenyut ketika leisure hour hanya demi pemenuhan
ruang dan waktu Car Free Day diaktivasi. kepentingan urban leisure dan urban
Rasa dislokasi yang beberapa nuansa saat flaneur.
melihat jalan lokal terkenal sekarang
Car Free Day merupakan gimmick dari
berbaris dengan suksesi impor (budaya)
transformasi infrastruktur urban dengan
bertajuk Car Free Day yang pada akhirnya,
mencoba memainkan peran-peran publik
semua hubungan ini dengan mengambil
dan stakeholder di dalamnya berdasarkan
elemen lanjut kekhususan dari akumulasi
isu-isu yang coba dikaitkan dengan cara
sejarah ruang, dengan sejarah itu sendiri
mengkontruksi gaya hidup dan wujud
22
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
tampilan citra kota mengkilap. Car Free Day Casstells, Manuel. 1989. The Informational
City: Information Technology,
hanya menjadi sebuah kebijakan informal
Economic Restructuring, and the
yang dikaitkan dengan tata pranata Urban Regional Process. Oxford, UK;
Cambridge, MA: Blackwell
peraturan tingkat lokal maupun nasional
de Certeau, Michel. 1984. The Practice of
karena keberadaannya belum didasari atas Everyday Life. Translated by Steven
Rendall. Berkeley: University of
pranata kebijakan formal dan hanya
California Press.
mengekor dari polarisasi trend wacana Dines, N., Cattell, V. (et al). 2006. "Public
Spaces, social relations and well-
global perkotaan yang seksi. Tetapi yang
being in East London." Policy Press
terjadi di Indonesia khususnya di Bandung for the Joseph Rowntree
Foundation.
memberikan anomalinya tersendiri dan
http://www.jrf.org.uk/bookshop/e
publik seperti memberikan legitimasi Books/public-spaces-social-
relations.pdf
keabsyahannya. Diproduksinya ruang
Douglass, M 2008. "Civil society for itself
publik ini untuk memberikan upaya lain and in the public sphere :
Comparative research on
sehingga esensi yang terjadi secara nyata
globalization, cities and civic space
menjadi kabur dan hanya dijadikan tameng in Pacific Asia." In Globalization, The
City and Civil Society in Pacific Asia,
atau bungkus dari kenyataan yang terjadi.
edited by K.C. Ho and Giok Ling Ooi
Transformasi urban yang muncul dengan M. Douglass, 27-49. London and
New York: Routledge.
cara merekayasa ulang sebuah kota melalui
Falahi, Ziyad. 2010. "Property Boom atau
sebuah “pertunjukan” ruang tertentu telah Kelangkaan Tanah ? : Meneropong
Relasi Antara Casino Capitalism dan
mengerucut sebagai upaya dalam
Rezim Internasional." Landreform II
penyerapan surplus kapital dan modal (Membangun Kekuatan Politik
Agraria):18.
sosial melalui sebuah kontestasi ruang dan
Foucault, M. 1967. Of Other Spaces.
publiknya. Gupta, Akhil and James Ferguson. 1992.
"Beyond "Culture": Space, Identity,
and the Politics of Difference."
Cultural Anthropology Vol. 7 (No. 1 ;
Daftar Pustaka Space, Identity, and the Politics of
Difference):pp 6-23.
Arendt, Hannah. 1998. The Human Harvey, David. 1990. The Condition of
Condition: University Chicago Press. Postmodernity : an enquiry into the
Barthes, Rolland. 1981. Camera Lucida: origins of cultural change, Oxford
Reflections on Photography. New [England] ; Cambridge, Mass., USA :
York: Hill and Wang. Blackwell. Oxford [England] ;
Bishop, R., Philips, J. and Yeo, W.W. 2003. Cambridge, Mass., USA: Blackwell.
"Perpetuating cities: Excepting Harvey, David. 2003. The New Imperialism:
globalization and the Southeast Asia Oxford University Press.
supplement." In Postcolonial Harvey, David. 2012. Rebel Cities : From The
Urbanism: Southeast Asian Cities and Right To The City To The Urban
Global Processes, edited by J. Phillips Revolution. London-NY: Verso.
and W. Yeo R. Bishop, 1-36. London Jacobs, Jane. 1961. The Death and Life of
and New York: Routledge. Great American Cities. New York:
Random House.
23
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 1, Januari 2017
Frans Ari Prasetyo
Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung
24