Anda di halaman 1dari 7

Perkembangan kota yang sifatnya terpadu, walaupun parameternya sangat berbeda.

Pembangunan kota adalah bisnis besar, suatu bisnis yang penuh tantangan dengan
perkembangan bari di kota pada masa depan. Banyak pihak swasta telah makin aktif dalam
bidang perancangan kota. Pihak pemerintah perlu memahami serta mengarahkan kenyataan
tersebut ke arah yang baik dengan menjadi katalisator serta fasilitator secara efektif dalam
menyiapkan serta mengembangkan suatu stategi pengelolaan yang memungkinkan
pelaksanaan pembangunan semaksimal mungkin dengan biaya pengelolaan seminimal
mungkin.
Dinamika kota pada masa kini makin rumit sehingga tantangan berat in membutuhkan
banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa ditawarkan oleh para ahli perancang kota,
baik kepada pihak pemerintah maupun swasta, karena sudah jelas bahwa fokus di dalam
bidang tersebut jauh lebih luas dari pada perhatian estetika saja. Tantangan bagi para
perancang kota perlu dialihkan pada ekologi yang juga berlangsung di dalam kota. Tugas para
perancang seharusnya dianggap sebagai ahli bedah perkotaan atau sebagai tukang bengkel
perkotaan yang akan berfokus pada perbaikan kualitas kehidupan perkotaan dari pada hanya
mencoba merancang kawasan-kawasan sebagai mesin perkotaan yang bersifat ego sentris,
tanpa mempunyai arti dalam skala besar, atau lebih parah lagi merusakkannya.
Itulah tantangan yang harus dikelola bersama-sama demi kehidupan semua orang, suatu
tantangan yang berfokus secara terpadu pada dinamika perkotaan melalui intervensiintervensi di dalam kehidupan masyarakatnya. Di dalam semua tugas tersebut, proses
pelaksanaan secara politis memiliki satu tujuan yang sama, yaitu bagaimana dinamika politik
dapat dilaksanakan bagi kepentingan aspek-aspek umum yang sifatnya publik dengan
mengembangkan kota secara keseluruhan. Pelaksanaan perancangan perkotaan serta
pembangunannya tidak boleh di anggap abstrak saja karena justru sangat berhubungan
dengan kehidupan kota. Dalam hal ini, jelas bahwa dinamika budaya juga sangat perlu
dipertimbangkan karena dinamika politik adalah bagian dari dinamika yang lebih luas, yaitu
budaya. Itulah fokus yang akan diberikan pada bab terakhir berikut ini.
4. Dinamika budaya dan Ekologi
4.1 Hubungan budaya kota dengan ekologi kota
Perancangan dan pembangunan kota seharusnya di mulai dengan dinamika ini, karena budaya
adalah tema yang palingluas, dan hubungannya sangat erat dengan lingkungan alam. Secara

umum diakui bahwa setiap budaya adalah buatan berdasarkan sumber daya, yaitu sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Setiap budaya tertentu juga adalah ekspresi cara hidup
tertentu berdasarkan kriteria dan sumber tertentu.
Walaupun demikian, di dalam lingkungan kota dinamika budaya kota tidak begitu jelas
karena di dalam satu kota tidak ada satu budaya saja. Maka, benar jika dikatakan bahwa tidak
ada satu budaya perkotaan saja. Budaya kota yang terwujud di dalam kota bermacam-macam
dan hubungan diantaranya rumit dan berjalan di dalam waktu yang berubah. Para ahli sejarah
dan antrologi kota telah menulis banyak buku mengenai dinamika tersebut. Sebagai
kesimpulan dalam hal ini di rumuskan berikut :
Kota adalah manifesto bersejarah dan berlapis-lapis dari sebuah perubahan mental dan
perkembangan teknik yang pragmatis.
Walaupun budaya kota tidak mungkin bisa dirumuskan karena etiadaan satu budaya saja di
dalam satu kota, diamati bahwa kota secara umum adalah artefak dari ekspresi pandangan
hidup.
Walaupun demikian perlu ditanyakan pandangan hidup manakah yag dimaksud? Pada awal
pembahasan kota sebagai proses telah disimpulkan bahwa pada masa kini pandangan hidup
yang dianggap modern sebetulnya mengambil pendekatan terhadap pandangan hidup yang
bersifat linear dan antroposentris, yang tidak sesuai dengan dinamika yang ada di dalam
sistem ekologi. Oleh sebab itu, perlu di ambil pendekatan yang bersifat sirkular dan
integral. Makin lama makin terwujud bahwa dalam lingkungan tradisional pendekatan
tersebut sebetulnya sudah lama dilangsungkan sehingga tidak dapat dikatakan bahwa
pendekatan tersebut baru. Itulah juga alasan bahwa makin lama makin banyak ahli kota
tertarik pada studi lingkungan tradisional. Tokoh arsitektur dekonstruksi bernard tschumi
mengutip tokoh sejarah kota dan pengamat arsitektur, yaitu Vincent Scully, yang pada januari
1991 menulis di The New York Times demikian :
Gerakan yang paling penting pada arsitektur masa kini adalah kebangkitan tradisitradisi pribumi yang klasik, serta rehabilitasinya ke dalam gerakan utama arsitektur
modern dengan memperhatikan aspek-aspeknya yang bersifat fundamental, yaitu
struktur masyarakat-masyarakat serta pembangunan kota-kota.

Pengamat lain berpendapat bahwa kota moderen yang fokusnya hanya pada kriteria-kriteria
fungsional saja telah berlalu, karena pada masi kini fokus sudah diganti dengan suatu
pengadaan terhadap kota yang lebih kompleks. Sudah jelas bahwa kota tradisional memiliki
parameter yang lebih sedikit daripada kota postmodern sehingga sistemnya dan rupanya tidak
bisa dijiplak begitu saja, bahkan aspek-aspeknya perlu ditrasformasikan arti yang sesuai
realitas budaya pada zaman ini.
Jika demikian, bagaimana konkritnya

? walaupun bermacam-macambudaya akan

berlangsung di suatu kota, namun secara global dan lokal pada dasarnya kota memiliki tiga
arti (Gambar 199). Sebuah kota seharusnya memiliki potensi yang kuat untuk semua ketiga
aspek perkotaan, yaitu memiliki potensi identitas yang kuat sebagai tempat hidup bagi
penghuni yang banyak, sebagai tempat yang memungkinkan kegiatan perkotaan yang banyak
dan bermacam-macam, serta akhirnya sebagai tempat yang baik untuk kerja dan jual beli.
Masalah di dalam pembangunan kota terjadi kalau perhatian ketiga potensi tersebut tak
seimbang , atau ketika prioritas hannya diberikan pada suatu aspek dan arti saj. Sayangnya
dalam kenytaannya hal tesebut sering terjdi.
Untuk mencapai sebuah kota yang memiliki semua potensi tesebut, dibutuhkan lingkungan
yang sehat berdasar asas asas ekologis yang memungkinkan kualitas hidup yang baik secara
menyeluruh
kampung Halman
Kota
Sebagai

panggung
begkel/warung

Untuk saat ini dan masa depan. Dalam proses pembangunan lingkungan yang baik, menurut
Shandras Woods, pada dasarnya dibutuhkan tiga langka berikut:
1. Penciptaan lingkungan yang baik dimulai dengan memikirkan kriteria atau cara pikir
terhadap penyusunan tempat trtentu pada waktu tertentu
2. Kemudian pelaksanaan penyusunan tersebut dilangsungkan berdasarkan pemenuhan
sistem hubungan yang berlaku secara baik dan jelas.

3. Akhirnya, perwujudan sistem hubungan tesebut akan dibentuk melalui ekspresi


konkret, yaitu melalui masa dan ruang.
Proses perencanaan kota todak bisa dimulai dengan berpikir bagaimana bentuk perkotaan.
Pemikiran harus dimulai dengan penysunan sistem yang akan terwujud secara konret didalam
kawasan-kawasan kota. Ketiga langka tersebut akan dibahas satu demi satu berikut ini.
Cara berpikit terhadap penyusunan kota
Setiap budaya berlangsung sebagai artefak manusia yang hidup di bumi, oleh karena
lingkunagan alam tersebut lebih luas dari padalingkungan budaya yang bersifat buatan saja,
maka setiap pengalaman budaya bersifat kurang subyektif , sehingga pietro hammei
mengatakan bahwa apa yangdihat orang di dalam lingkingan tidak berdasrkan presepsi yang
byektif. Didalam lingkungan sehari hari manusia tidak meliahat lingkunga yang sebenarnya,
malah orang memahami lingkungakan yang hannya dena cara kebiasaan pengalamannya .
orang melihat apa yang berarti baginya.
Oleh sebap itu di dalam berbagai budaya yang ber langsung di dalam kota perlu diperhatikan
perinsip prinsip dasar yang berarti bagi orang yang hidup di dalamnya berdasarkan dari mana
prinsip-prinsip tersebut di ambil. Heiz frick mengutip Amos Rapoport yang mengamati
hubungan didalam dinamika tersebut (gambar 299). Ia mengamati dinamika tersebut
mengikuti

sistem

komunikasi

yang

bersifat

manyandingkan/membaca

sandi

(encoding/decoding). Artefak kota yang bersifat lingkungan terbangun (build environment)


adalh kriteria yang paling penting didalam budaya zaman ini karena pengaruh paling besar
pada saat ini.
Pada lingkungan tradisional, sistem ecoding/decoding budaya agak jelas supaya lingkungan
yang terbangun dapat dibuat dan dimngerti sebagai pesan, pola, serta tanda dari landasan
yang sama dengan tindakan yang melalui budaya yang jelas, hal tersebut tidak terjadi lagi
pada saat ini, di mana sistem encoding dan decoding sudah putus sehingga tindakan yang
dilakukan didalam lingkungan kota juga tidak jelas. Kenyataan tersebut disebapkan oleh dua
faktor berikut ini :
-

Lingkup informasi pada saat ini lebih banyak dari pada dahulu (misalnya malalui

jaringan global yang ada secara luas);


Parameter kriteria pada saat ini labih sedikit dari pada saat dahulu (misal sering
hannya berfokus pada ekonomi saja).

Dalam proses perancangan kota, implikasi masalah tesebut perlu dipahami secara baik
sehingga bisa diambil cara pikir trehadap pentusunan kota secara benar dan sehat berdasarkan
sistem ekologi yang luas.
Penemuan sistem hubungan
Jika kriteria pemikiran sudah jelas, selanjutnya dibutuhkan pelaksanaan penyusunan kota
berdasaran sistem hubungan yang berlangsung di dalam kota. Bidang perancanga arsitektur
mengenal dua bahasa, yaitu bahas struktur (the language of structure), serta bahasa ruang
(the language of space). Kedua duanya terkait, namun dalam sistem hubungan secara khusus
bahasa struktur bermanfaat.
Diamati ada hubungan antar proses sosial dan arsitektur kota sebagai berikut: sitem
masyarakat berhubungan dengan sistm pola perkotaan serta tanda pengenal yang bersifat
arsitektural. Dengan hubungan tesebut setiap orang akan mampu menysuaikan gambar
mental diri lingkungan sosial ke dalam budaya yang terwujud secara kongret. Dengan kata
lain. Jika sistem penyusunan sosio-spasial tersebut berjalan dengan baik sehingga ungkap
sistem kehidupan di dalam kota, maka akan mendukung lagitimasi kahidupan masyarakatnya,
bahkan meningkatkan identifikasi terhadap tempatnya. Unteuk mengembangan kawasan
perkotaan, identifikasi masyarakat terhadap kawasan tesebut sangat dibutuhkan sebagai
landasan motifasinya .
Kesulitan pembahasan struktur-struktur perkutaan dalam mengawasi hubungan kedua
jaringan, yaitu antara struktur-struktur spesial (spatial structures) dan struktur-struktur waktu
(time structures) yang digabungkan dalam morfologi. Kedua duanya berhubungan erat
dengan budaya. Untuk asia tengara, chris Able mambahas hubungan tersebut dengan
mengamati konteks di singapura dan malaysia. Ia menekankan bahwa daerah asia tenggara
sangat dipengaruhi oleh lapisan-lapisan endapan budaya yang diimpor dan terwujud di dalam
kotanya. Proses hibrisisasi tersebut menjadi sebua norma yang tidak dapat di anggap sebagai
suatu pengecualian. Sifat tidak peduli terhadap konserfasi dan sikap sikap semangat selalu
menerima impor terbaru diakibatkan oleh tidak adanya identifikasi dengan warisa-warisan
perkotaan yang lokal.
Pada saat ini di indonesia memeng sudah dimulai perhatian masalahkonservasi, namaun
hanya cenderung hanya berada pada bentuk dan wujud bangunan saja, misal bangunan
sejarah. Lingkup pembahasantersebuttidak cukup karena belum memperkatikan konservasi

yang bersifat struktural. Hris Able mangamati bahwa tokoh-tokoh ahli kota telah
memperingatkan bahwa konsep-konsep perkotaan yang berdasarkan konsep kota-kota di
baratlebih baik tidak diterpkan pada kota-kota asia. Secara lahiriah model-model kota asia
mungkin mirip dengan kota ropa atao amerik Serikat, tapi secara nyata berbeda sekali. Ia
mengutip T.G McGee yang mengamati perbedaan perkotaan pokok dari kedua kebudayaan
itu. Budaya ekonomi d kita barat menonjolkan unit-unit perusahaan yang sifatnya impersonal
dan secara tegas memperlakukan karyawan-karyawannya sesuai harga yang bersifat
ekonomis saja. Pekerjaan dan kehidupan keluarga dipisahkan secara total. Lain halnya
budaya ekonomi di kota asia, di mana ada dualisme struktur ekonomi yaitu: (a) ekonomi
perkotaan modern yag berdasarkan unut-unit perusahan, serta (b) ekonomi perkotaan pra
industrial dengan suatu jaringan kompleks antara bermacam peran dan kegiatan yang
berlangsung dalam sebuah sistem yang bersifat kekeluargaan.
Kedua sistem yang sangat berbeda ter sebut membentuk strukturkawasan perkotaan yang
berbeda pula. Jika dinamika dalam masing-masing sistem tersebut tdak dipahami dengan baik
Dan implikasi-implikasinya tidak diperhatikan, maka tidak mengherankan jika perancangan
kota justru akam memperbesar ketidak seimbangan berbagai budaya perkotaan.
Keseimbangan tersebuttidak kan tercapai dengan program penghiasan kota atau dengan
arrsitektur bangun yangindah, malainkan dengan dilakukannya program penyusunan
morfologi kota yang baik sesuai dengn konteksnya.
Kota-kota tradisional di indonesia, seperti di daerak asia lainnya, memiliki wilayah-wilayah
yang dulu merupakan kawasan monokultural tertutup (ghetto), misal kawasan cina atau india
sebagai pusat perdagangan, kawasan belanda, kawasan pribumi sebgai kampung dengan
besar lukal, dan sebagainya. Pada zaman global ini telah terjadi dinamika dengan
pembukaan

ghetto

tersebut

berkata

dimasukkannya

budaya

budaya

dampingan(suubcultures). pemsukan tersebut perlu di waspadai karena juga memiliki


potensi marusak identitas yang asli sehingga morfologi kota-kota indonesia makin lama
makin menjadi seragam dengan ciri-cirikhas yang akan hilang. Pada saat ini telah ada
pembanjiran inpor pola-pola perkotaan yang tidak tepat dipakai di dalam lingkungan asia
tenggra.
Dengan demikian, pentinglah memberiakan perhatian pada morfologi kota dari segi budaya
dn bagai mana pemakaian alat bahasa struktural di dalam perencanaan kota akan terwujud.
Pada prinsipnya, Christoper Alexander telah memberikan dua kntribusi ilmiah yang sudah

menjadi teori klasik di dalam bidang perancangan kota , yakn tentang the city is not tree dan
tentang a pattern language, walaupun penerapan jarang diperhatikan dengan baik. Selanjutnya
kedua kontribusi tesebut akan dikembangkan secara singkat berikut ini.
The city is not a tree (kota bukan pohon)
Itulah judul sebuah karangan menarik yang pada tahun penerbitannya telah diberikan
penghargaan Kafmann international Desagn award. Dalam karya tersebut Christoper
Alexander malawn suatu usaha determinasi kota yang biasanya menginter pretakan morfolohi
berdasarkan struktur pohon. Peneliianuang ia lakukan terhadap kota-kota tradisional di
berbagai daerah di berbagai dunia menunjukana struktur kota yang lain. Yaitu sebuah struktur
himpunan atau jaringan yang lebih luas di mana sistem hubungan lebih kompleks.
Ketika penyusunan berbagai kota baru yang ada di dunia ini yang dirancang dalam sistem
arsitektur modern, christoper Alexander mangamati bahwa semua kota tersebut dirancang
dengan manakai sistem struktural pohon. Kemudian ia mengemukakan mengapa kota-kota
yang dirancang dengan cara itu di dalam realitas kehidupan tidak dapat berfungsi denga baik,
karena tidak akan sesuai dengan sistem hubungan para pelaku yang sebenarnya tellah ada.
Disimpulkan bahwa setiap perancangan kota baru perlu difokuskan pada struktur yang luas
dan rumit, agar sistem kehidupan yang akan dijalankan di dalamnya lebih efektif dan tepat.
A pattern language (bahasa berpola)
Jika disimpulkan bahwa morfologi kota membutuhkan sistem struktural tersebut, maka sudah
jelas bahwa tidak mungkin dapat ditemukan satu teori perancangan kota yang secara
sekaligus dan linear manjwab semua permasalahannya. Solusi yang perlu di temukan adalah
ombinasi antara parameterparameter yang

berhubungan secara berbeda dan tidak bersifat

linier. Christoper Alexander mengemukakan teorinya, yang sudah menjadi teori standar
perancangan kota, yang tidak berfokus pada kriteria perancangan kota linier melainkan pada
kriteria sifat pola-polanya.

Anda mungkin juga menyukai