Anda di halaman 1dari 8

KUMPULAN ARTIKEL

ANALISIS BUDAYA VISUAL


BUDAYA VISUAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA

Nama : RONA WIDYA


NIM : 17110057

Dosen Pengampu:
Dayu Sri Herti, S.Pd.,M.Sn

POLITEKNIK NEGERI MEDIA KREATIF


JAKARTA SELATAN
2019

1
RONA WIDYA
DESAIN GRAFIS 4A

BUDAYA VISUAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA

Kapan muncul konsep budaya visual dan siapa tokohnya, dan apa kira-kira konsep pemikirannya?

Perkembangan dibidang lintas ilmu budaya mendefinisikan semua produk budaya tangible sebagai
budaya visual (visual culture). Dalam kamus Ecyclopedia Encarta Budaya visual didefinisikan sebagai
bidang studi yang biasanya meliputi kombinasi studi budaya, sejarah seni, dan ilmu antropologi,
dengan memusatkan pada aspek budaya yang berdasar gambaran visual (imaji visual).

Beberapa pemikir pemula dari budaya visual dapat dikemukakan antara lain Yohanes Berger dengan
bukunya yang terkenal “Ways of Seeing” (1972), Laura Mulvey dengan “Visual Pleasure and Narrative
Cinema”, (1975), Kemudian diikuti oleh Jacques Lacan's dengan studinya tentang teori alam
bawahsadar sosial (social unconciousness/ archetipe).

Karya yang lebih luas membahas tentang budaya visual terdapat pada kumpulan karangan W. J. T.
Mitchell, terutama sekali di dalam cabang ilmu ikonologi dan teori gambar, kemudian sejarahwan seni
dan ahli teori budaya Griselda Pollock. Lain-lain pemikir budaya visual yang penting adalah Stuart Hall,
Jean-François Lyotard, Rosalind Krauss, Bracha Ettinger dan Slavoj Zizek.

Studi awal budaya visual memperlihatkan bahwa bidang ini berangkat dari analisis pengaruh imaji-
imaji visual terhadap sosial. Misalnya analisis tentang pengaruh TV terhadap masyarakat. Pemikir
selanjutnya mengembangkan analisisnya ke berbagai disiplin seperti teori psikologi analisis,
strukturalisme dekonstruksi, gaze, gender dan sebagainya, yang melihat bagaimana fenomena imaji
visual dalam sosial budaya dan pengaruhnya dalam kebudayaan manusia secara umum. Bidang lain
seperti seni rupa dan arsitektur kemudian mengikuti pola pemikiran dikembangkan para ahli budaya
visual untuk menganalisisnya dari payung budaya visual. Hal ini mengindikasikan bahwa produk kreatif
benda budaya tidak lagi fragmentaris, terkotak pada bidangnya masing-masing, tetapi dilihat dalam
kerangka berpikir yang berbeda tentang kebudayaan visual.

Walaupun sampai sekarang para ahli masih berdebat bahwa budaya visual itu hanya terbatas sebagai
imaji-imaji visual yang dipakai sebagai alat analisis untuk produk media yang bersifat massal seperti
film, kartun, animasi, video dan web design dan sebagainya. Banyak ahli yang menganggap bahwa
pembatasan seperti itu sia-sia karena imaji tidak hanya terbentuk oleh mass media, imaji visual itu ada
selagi manusia dapat melihat apapun.

Studi psikologi menjelaskan bahwa imaji-imaji atau stimuli dan respons visual dapat berkenaan
dengan benda-benda, objek-objek visual lainnya seperti karya seni, arsitektur dan desain. Objek-objek
visual itu terekam dalam ingatan manusia dalam bentuk memori-imaji.

Oleh karena itu pernyataan ahli budaya visual seperti Morgan (1998) tentang imaji–imaji visual cukup
menarik untuk dikaji. Dia berpendapat bahwa yang penting dalam visual culture bukan ada atau tidak
ada objek visual itu, tetapi imaji visual sebagai sebuah struktur yang menyebar secara sosial. Dia
memberikan contoh tentang imaji Leonardo da Vincy (tokoh seniman), imaji tokoh ini telah menyebar
ke seluruh dunia tanpa dapat dihitung lagi siapa yang memiliki imaji tentang dia.

Leonardo da Vincy bukanlah lembaran kertas foto atau lukisan, dia adalah orang atau dia adalah
seniman terkenal sepanjang masa. Tetapi imaji visual tentang dia menyebar melalui gambar atau

2
lukisan. Dahulu lukisan itu hanya satu atau beberapa buah (bukan massal), tetapi melalui media
terbatas itu dan juga cara penyebarannya menjadi tak terbatas, dia menyebar melalui informasi buku,
internet dan sebagainya sehingga orang memiliki imaji visual tentang dia.

Kajian budaya visual di Indonesia memang masih prematur, sebagai contoh, di Indonesia karangan
terbaru, tentang Budaya Visual Indonesia menguraikan produk seni rupa, produk desain termasuk
arsitektur sebagai kategori budaya visual. Karangan ini telah membuka mata tentang produk-produk
Indonesia secara visual. Tetapi timbul pertanyaan, apakah imaji-imaji visual produk itu bukan hanya
yang terdapat di pulau Jawa (Jakarta, Bandung Yogya, dsb)?

Apakah produk-produk itu dapat membentuk sebuah garis merah hubungannya dengan makna-
maknanya imaji visual multi kultural Indonesia? Memang tidak mudah untuk menggeneralisir sebuah
fenomena produk kreatif menjadi bermakna budaya visual Indonesia (nasional), atau bermakna
budaya visual Minangkabau (regional).

Dalam sejarah kebudayaan Dunia, peran budaya visual merupakan bagian dari pembentuk peradaban.
Budaya visual pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kebudayaan bangsa dan
peradaban modern saat ini. Budaya visual dapat dilihat dengan semakin meluasnya penggunaan
teknologi komunikasi yang menembus batas antar Negara dan memicu berbagai persaingan budaya
melalui berbagai macam visual tayangan yang banyak jenisnya.

Untuk itulah diperlukan pemahaman akan makna mengapa hal tersebut bisa terjadi. Hal
tersebut dapat dihindari dengan melakukan berbagai pengimbangan dalam bentuk budaya.

A. Fenomena Budaya Visual di Indonesia

Budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda yang
dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai model pikiran manusia
untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Budaya visual tidak hanya terdiri dari sebuah sosok
kebudayaan yang dinilai kurang bermartabat, hanya karena bentuk yang teraga sebagai implementasi
‘terluar’ kerap dinilai sebagai wajah imitasi. Karena pilar tersebutlah merupakan kreativitas nilai,
inovasi dalam kebudayaan itu sendiri sehinggu membentuk suata peradaban.

Dalam peradaban fisik, gaya visual selalu menjadi fenomena yang menarik untuk diamati, hal itu
disebabkan oleh factor dinamika dan ekspresi terluar sebuah objek yang mudah dicerna indera mata.
Salah satu bentuk gaya visual yang dianggap mendunia adalah modernisme dan modernisme selalu
tak bisa dipisahkan dari pengaruh budaya barat.

B. Desain sebagai Wujud Budaya Visual

Sosok atau wujud desain dianggap sebagai representasi kompleks dari sub-sub social budaya yang
mengiringi proses penciptaannya, termasuk di dalamnya antara lain pola piker, ideologi politik,
kebijakan pemerintah, system pendidikan visual, wacana estetik yang berkembang, hingga orientasi
masyarakat terhadap pandangan dunia.

Hal yang terpenting pada Wujud Budaya Visual adalah:

1. Mendudukan pergeseran gaya visual dan nilai estetik dalam karya desain sebagai bagian dari
proses transformasi budaya nasional secara keseluruhan

2. Menempatkan desain dalam wacana budaya visual Indonesia secara proporsional

3
3. Mengamati peran gaya visual pada karya desain yang telah memperkaya peradaban bangsa
diamati sebagai fenomena pemberdayaan masyarakat Indonesia yang bermakna.

Dan dalam konteks budaya visual, istilah desain dapat dipahami sebagai suatu aktivitas dan karya
budaya yang teraga dan memiliki makna bagi perkembangan peradaban masyarakatnya. Dengan
demikian, desain melingkupi semua hal yang berkaitan dengan budaya benda, nilai-nilai dan substansi
filosofis yang melatar belakanginya.

C. Permasalahan yang Dihadapi Indonesia

Permasalahan nasional ynag dihadapi bangsa Indonesia ke depan dalam spectrum kebudayaan yang
luas sesungguhnya ditentukan oleh mentalitas dan sikap manusia bangsa Indonesia sendiri, beberapa
di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hilangnya Nasionalisme

Berbagai pengaruh dari budaya luar membuat masyarakat Indonesia lebih tertarik pada bangsa luar
dalam hal budaya maupun tatanan kehidupannya. Hal tersebut dapat mengikis sendi-sendi
Nasionalisme masyarakat dan mengancam hilangnya rasa Nasionalisme itu sendiri.

2. Hilangnya Jatidiri Bangsa

Dengan berbagai kemudahan teknologi dan informasi masyarakat menjadi lupa akan menjaga jatidiri
bangsa mereka sendiri. Perubahan ketertarikan itu dapat mengakibatkan hilangnya jatidiri bangsa.

3. Hegemoni Budaya Kuat

Kekuatan yang disebut sebagai hegemoni memiliki pengaruh yang besar dan kuat. Dalam kebudayaan,
hegemoni tersebut dapat merubah tatanan budaya setempat dan mempengaruhi dan bisa sampai
mengubah kebudayaan yang dipengaruhi oleh hegemoni budaya tersebut.

D. Redenifisi Budaya Visual

· Apakah seni itu bukan hanya ekspresi pribadi dibandingkan dengan budaya visual yang
merupakan imaji dan ekspresi sosial?

· Bukanlah budaya visual itu imaji produk masal seperti film atau komik, bagaimanakah seni dapat
dianggap sebagai bagian budaya visual?

· Apakah karya seni dan desain seperti arsitektur yang sifatnya tidak massal dapat dianggap sebagai
bagian budaya visual?

Tokoh pemikir budaya visual seperti Morgan (1998) atau Burke (2001) mungkin lebih jernih dalam
menjelaskan fenomena budaya visual sebagai produk refleksi sebuah budaya, dimana di dalamnya
terkandung maksud untuk menjelaskan fenomena visual sebagai bagian dari cara berpikir dan
berimajinasi secara sosial.

Pemikiran mereka ini mungkin relevan sewaktu kita membahas bagaimana budaya visual tradisi
Minangkabau sebagai cerminan dari kepercayaan, mitologi, pengetahuan (intangible cultural
heritage) yang dapat dikonstruksikan sebagai imaji–imaji visual sosial tertentu.

Menurut Morgan (1998) jika dalam kajian sejarah yang mapan, pendekatan sejarah seni telah
berkonsentrasi untuk menentukan mengapa imaji visual itu timbul. Kemudian ahli sejarah seni juga

4
mencari dan menyelidiki gaya seni, ikonografi (studi tentang ikon), konteks budayaannya, patron-
patron ikatan sosial, maksud artistik, dan atensi artistik.

Tetapi pendekatan teori budaya visual menurut Morgan, mengambil payung yang lain lagi, yaitu lebih
mempedulikan tujuan (purpose) sosial dan efek imaji yang berlangsung dalam kehidupan dan aturan
sosial (sosial order), seperti dalam hal memodifikasinya, menentangnya, atau
mentransformasikannya.

Menurut Morgan, dasar pertanyaan untuk kelompok kulturalis visual adalah: bagaimana cara imaji
mengambil bagian konstruksi kenyataan sosial? Oleh karena itu sarjana budaya visual manapun akan
tertarik dan terdorong keberbagai media-media visual seperti halnya juga berbagai metodologi
berusaha untuk menginterpretasikan bentuk yang berbeda tentang bukti visual.

Morgan (1998) menjelaskan bahwa seorang sarjana visual tidak menyelidiki hanya tentang imaji itu
sendiri, tetapi juga perannya di dalam narasi, persepsi dan di dalam kategori intelektual dan ilmiah,
dan dalam semua cara upacara praktik agama, pemberian hadiah, perdagangan, memorialisasi,
migrasi, dan penyajiannya dimana pemahaman tentang imaji sebagai bagian dari kerangka kenyataan
sosial. Kenyataan itu dapat direkam oleh seniman fotografi, seni lukis atau wartawan dan menyebar
sebagai sebuah kesadaran publik.

Lebih dari itu, studi tentang budaya visual akan melihat imaji itu sebagai bagian dari sebuah sistem
produksi budaya dan sistem resepsi (penerimaan budaya), di mana niat asalnya bukanlah untuk
memudarkan imaji itu untuk disimpan oleh orang yang bukan membuatnya, misalnya dalam koleksi
atau museum.

Imaji diproduksi dan pada gilirannya membantu membangun kenyataan sosial yang membentuk hidup
manusia. Studi tentang penelitian budaya visual tidak hanya imaji visual tetapi praktik tentang cara
imaji visual itu dipakai. Ini berarti bahwa masyarakat, budayawan, intelektual, dan praktik artistik akan
membantu untuk membuat imaji visual itu menjadi bermakna. Karena itu praktik sejumlah besar
sarjana tentang studi budaya visual hari ini bukanlah sebuah disiplin yang otonom atau
terfragmentasi, tetapi sebuah interaksi antara dua atau tiga bidang atau disiplin ilmu yang ada.

Sebagai ringkasan, Morgan (1998) menjelaskan beberapa maksud budaya visual:

a) Budaya visual adalah imaji itu sendiri, budaya visual timbul dari tindakan dan perhatian atas
melihat sesuatu, atensi intelektual, emosional, dan sensibilitas persepsi yang dilaksanakan untuk
membangun, memelihara, atau mengubah bentuk dunia itu di mana orang-orang hidup. Studi tentang
budaya visual adalah analisis dan penafsiran imaji dalam konteks agen-agen, praktik, konsepsi, dan
institusi yang memelihara imaji itu dapat bekerja. Maka, studi budaya visual akan ditandai oleh
beberapa atensi (perhatian). Pertama, sarjana budaya visual akan menguji apapun dari semua
gambaran-gambaran baik yang tinggi atau rendahnya gambaran itu, apakah itu seni atau tidak seni.
Mereka tidak akan membatasi diri mereka ke objek estetik atau artistik atau estetik tertentu saja.
Tentu saja, segala hal yang bersifat metafora mungkin saja ditemukan untuk memberikan bukti atas
konstruksi kenyataan visual seperti itu, sarjana tidak akan membatasi diri mereka pada ilmu seni,
tetapi tidak berkehendak untuk mengabaikannya.

b) Tujuan budaya visual bukanlah untuk memuji, menghargai, atau mendokumentasikannya. Budaya
visual meneliti praktik visual dan bukan untuk mengurangi imaji diri mereka, tetapi menanyakan imaji

5
apa yang berlangsung ketika mereka diterapkan. Sebagai contoh, tidak seorangpun yang dapat
menjawab berapa jumlah orang yang telah dipengaruhi oleh imaji tentang Michelangelo atau
Leonardo da Vinci.

c) Budaya visual dapat dipelajari dengan baik tetapi tidak harus memusatkan kepada interpretasi
pada kehidupan manusia dengan menguji imaji, praktik, teknologi visual, rasa, atau gaya artistik
sebagai tuntutan konstitusi hubungan sosial. Tugasnya hanya adalah untuk memahami bagaimana
imaji artefak dan artefak berperan untuk menstukturkan sebuah masyarakat atau dunia budayanya.

d) Sarjana bisa menerima penghargaan ketika mereka meneliti sebuah visi, sebuah struktur persepsi
proses fisiologis, yang memberi tahu tentang sistem penyajian visual. Visi yang dimaksud harusnya
ada dalam sebuah operasi sosial dan struktur biologis yang dibangun, dan tergantung pada
perancangan tubuhnya. Yaitu bagaimana melibatkan alat penafsir yang dikembangkan oleh sebuah
budaya, agar melihat dan memahaminya dengan mudah.

e) Bukti visual dan harus ada untuk menentukan apa yang mereka dapat ceritakan kepada kita,
melihat tindakannya seperti halnya hubungan antara cara berpikir dan penyajian visualnya,
perasaannya, aktingnya, dan keyakinannya.

Kesimpulan

Budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda
yang dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai model pikiran
manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kebudayaan visual meliputi berbagai hal mulai dari
fenomena budaya visual, desain wujud dari budaya visual, masalah yang timbul serta redefinisi dari
budaya visual tersebut. Kebudayaan akan selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan manusia itu
sendiri serta akan menjadi bukti bahwa peradaban manusia akan terus maju mengikuti zaman yang
akan datang.

Desain Komunikasi Visual

6
Desain ini awalnya lebih dikenal dengan istilah desain
grafis, yaitu kegiatanseni rupa yang menyusun unsur-unsur
grafis pada sebuah benda pakai. Karena lingkupnya yang
dirasakan terbatas, pada perkembangan selanjutnya seni
grafis menjadi bagian dari kegiatan desain komunikasi
visual, yaitu kegiatan perancangan pada media komunikasi
baik media cetak sederhana seperti buku, poster atau
majalah maupun media elektronik seperti televisi, neon
sign dansebagainya. Unsur-unsur grafis yang menjadi
perhatian dalam desain komunikasi visual diantaranya
tipografi (huruf), garis, logo, warna, ilustrasi dan foto.
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang
mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa
pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial atau
komersial, dari individu atau kelompok yang ditujukan
kepada individu atau kelompok lainnya. Pesan dapat
berupa informasi produk, jasa atau gagasan yang
disampaikan kepada target audience, dalam upaya
peningkatan usaha penjualan, peningkatan citra dan
publikasi program pemerintah. Pada prinsipnya dkv adalah perancangan untuk menyampaikan pola
pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yg komunikatif, efektif,
efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah
sikap positif sasaran. elemen desain komunikasi visual adalah gambar/ foto, huruf, warna dan tata
letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual. akar bidang
dkv adalah komunikasi budaya, komunikasi sosial dan komunikasi ekonomi. Tidak seperti seniman
yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya, seorang desainer komunikasi visual adalah
penterjemah dalam komunikasi gagasan. Karena itulah dkv mengajarkan berbagai bahasa visual yang
dapat digunakan untuk menterjemahkan pikiran dalam bentuk visual.

7
8

Anda mungkin juga menyukai