Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nur Cahyani Putri

Nim : D0320342

Mkp : Morfologi Kota

Tugas : Mereviu Jurnal Terkait Morfologi Kota

Judul : PERKEMBANGAN MORFOLOGI KOTA CIREBON DARI MASA KERAJAAN HINGGA AKHIR MASA
KOLONIAL

Penulis : Eko Punto Hendro

Garis besar Isi Jurnal :

Artikel ini membahas perkembangan morfologi Kota Cirebon dari berbagai periode sejarah. Pada
awalnya, Cirebon merupakan pemukiman yang direncanakan namun kemudian menjadi pemukiman
yang tidak direncanakan selama periode VOC. Perkembangan Cirebon dipengaruhi oleh pelabuhannya
selama periode kolonial. Penelitian ini menggunakan kombinasi tinjauan pustaka, pengumpulan data,
dan wawancara untuk memahami faktor-faktor sejarah dan budaya yang telah membentuk morfologi
kota ini. Konsep "kota kosmis" juga dieksplorasi, yang mengacu pada desain kota hierarkis dan
konsentris. Penelitian ini juga menekankan pentingnya mempertimbangkan elemen-elemen lokal dan
tradisional dalam perencanaan perkotaan.

Pada abad ke-15 hingga ke-18, citra pikiran kosmis masih berkembang untuk melegitimasi kondisi sosial
budaya masyarakat di Indonesia. Di beberapa situs seperti Demak, Kartosuro, Surakarta, dan
Yogyakarta, terdapat gambaran cosmic city yang menggambarkan adanya gunung Meru yang dikelilingi
oleh laut dalam konsep kosmologi Hindu. Di Kota Cirebon, terdapat klaster-klaster perkampungan yang
mengelompokkan penduduk berdasarkan jabatan, etnik, profesi, dan agama. Pada akhir abad ke-17,
VOC membangun benteng di Cirebon yang menjadi pusat aktivitas orang Belanda. Pusat orientasi kota
kemudian berpindah dari keraton ke kawasan pelabuhan di sekitar benteng VOC.

Pada abad ke-18 hingga ke-19, Kota Cirebon mengalami modernisasi yang dipengaruhi oleh kedatangan
orang-orang Eropa dan revolusi industri di Eropa. Kota ini berkembang menjadi kota modern dengan
adanya pembangunan sarana transportasi seperti jalan raya dan rel kereta api. Pelabuhan Cirebon juga
berkembang pesat sebagai pusat ekspor hasil.

Kesimpulan :

Pada masa awal pertumbuhannya kota Cirebon berbentuk kota kosmis (cosmis city), yaitu suatu kota
yang disusun secara konsentris. Pusatnya a da la h ist ana r aj a a ta u k e ra to n (Kasepuhan), masjid dan
alun-alun yang d i k e l i l i n g i o l e h p e r k a m p u n g a n penduduk secara berkelompok (klaster)
menurut jabatan, profesi, etnik dan agama. Namun demikian setelah VOC dat a n g k e C i r e b o n , m a
k a d e n g a n k e k u a t a n n y a b e r h a s i l m e r e b u t hegemoni politik kota Cirebon, sehingga
berangsur-angsur orientasi pusat kota Cirebon juga berpindah dari keraton ke pelabuhan, sebab VOC
membangun b e n t e n g d a n p u s a t k e g i a t a n perdagangan di kawasan pelabuhan Cirebon.
Perkembangan kota dan pelabuhan Cirebon yang pesat pada akhir abad ke-19 telah menyebabkan
munculnya masalah sanitasi, kebersihan, sampah, wabah penyakit dan drainase di kota Cirebon, yang
akhirnya mendorong upaya-upaya awal penataan kota yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda
untuk mengatasi per-soalan-persoalan kota tersebut. Pada tahun 1926 kota Cirebon ditetapkan se-bagai
stadgemeente, yang artinya kota besar dengan otonomi yang lebih luas. Pada masa itu pembangunan-
pembangunan sarana prasanana kota semakin gencar, dan yang cukup penting adalah adanya
pengembangan kota dengan disain perencanaan yang lebih matang, yang ditangani oleh
arsitek/planolog profesional.

Judul : Identifikasi Pola Morfologi Kota (Studi Kasus : Sebagian Kecamatan Klojen, Di Kota Malang)

Penulis : Amandus Jong Tallo1, Yulia Pratiwi2, dan Indri Astutik3

Garis besar Isi Jurnal :

Isi dari jurnal ini adalah analisis morfologi kota Malang, dengan fokus pada analisis struktural, fungsional,
dan visual. Dalam analisis struktural, ditemukan bahwa kota Malang memiliki bentuk kota yang kompak-
tidak berpola, dengan pola transportasi konsentris radial dan sistem lingkar dalam dengan pola grid.
Dalam analisis fungsional, terdapat hubungan yang terbentuk antara deretan bangunan yang
membentuk ruang terbuka di alun-alun kota dan alun-alun Tugu. Analisis visual menunjukkan bahwa
Kota Malang memiliki karakteristik yang menggambarkan identitas kota. Selain itu, juga dilakukan
analisis perancangan kota yang melibatkan analisis figure/ground, linkage, dan place. Kesimpulannya,
Kota Malang memiliki pola morfologi yang terstruktur dengan hubungan fungsional dan visual yang kuat.
Terdapat juga penjelasan mengenai place dinamis di Kawasan Ijen dan place statis di Kawasan Tugu,
serta identitas dan karakteristik unik dari kota Malang melalui lima elemen citra kota.

Kesimpulan :

Pola Morfologi Kota Malang Secara keseluruhan pusat kota jika dilihat dari morfologi secara struktur
pemerintahannya maka kawasan alun-alun Tugu merupakan pusat pemerintahan kota Malang yang
ditunjang dengan adanya fasilitas pendidikan, militer dan tentunya fasilitas perkantoran. Jika dilihat dari
segi fungsionalnya maka masing-masing kawasan memiliki bentuk ciri dan karakteristik.

Judul : PENGARUH PERKEMBANGAN PERKOTAAN TERHADAP MORFOLOGI KAMPUNG KAUMAN KOTA


SEMARANG

Penulis : Cynthia Putriyani Alie¹ dan Djoko Suwandono²

Garis besar Isi Jurnal :


Artikel ini membahas pengaruh perkembangan perkotaan terhadap morfologi Kampung Kauman di
Semarang, Indonesia. Kampung Kauman adalah desa tradisional yang telah dipengaruhi oleh berbagai
budaya, termasuk Arab, Tionghoa, Eropa, dan Jawa. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
untuk menganalisis dampak perkembangan perkotaan terhadap penggunaan lahan, pola jalan, dan jenis
bangunan di Kampung Kauman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan perkotaan telah
menyebabkan perubahan dalam penggunaan lahan dan fungsi bangunan, serta peningkatan pergerakan
di jalan-jalan perkotaan di Semarang.

Kampung Kauman adalah desa tradisional yang terletak di belakang Masjid Agung di Semarang,
Indonesia. Ini adalah komunitas yang sebagian besar Muslim yang memegang nilai-nilai keluarga
tradisional. Desa ini terletak dekat dengan pusat komersial Semarang dan memiliki morfologi yang unik
dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Perkembangan Semarang telah berdampak pada Kauman, dan
penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh perkembangan perkotaan terhadap morfologi desa
tersebut. Faktor-faktor seperti penggunaan lahan dan jaringan transportasi memainkan peran penting
dalam perkembangan kota. Studi ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan analisis deskriptif
untuk mengkaji perubahan dalam penggunaan lahan dan jaringan jalan di Semarang.

Kampung Kauman di Semarang secara strategis terletak di pusat kota, menjadikannya pusat
penghubung antara berbagai area di kota tersebut. Penggunaan lahan di Kampung Kauman telah
berubah seiring waktu, dengan pergeseran kegiatan komersial seperti perdagangan dan jasa. Jaringan
jalan di area tersebut, termasuk Jalan Pemuda, memainkan peran penting dalam memfasilitasi mobilitas
dan mempengaruhi.

Judul : ANALISIS POLA MORFOLOGI DAN INTERAKSI SPASIAL PERKOTAAN DI KOTA YOGYAKARTA
DENGAN WAHANA CITRA LANDSAT

Penulis : Bayu Ariyadi

Garis besar Isi Jurnal :

Jurnal ini membahas analisis interaksi spasial dan pola morfologi wilayah perkotaan di Yogyakarta
menggunakan data citra satelit Landsat. Penelitian ini menggunakan interpretasi data penginderaan jauh
dan analisis data sekunder untuk menentukan morfologi Yogyakarta, arah dan luas perkembangannya,
hubungan antara aksesibilitas dan morfologi perkotaan, serta faktor dominan yang mempengaruhi
morfologi perkotaan. Temuan penelitian meliputi peta pola morfologi, luas wilayah perkotaan, dan
interaksi spasial antara berbagai wilayah. Penelitian ini memberikan informasi berharga untuk
pengembangan perkotaan di Yogyakarta.

Gambar 1 menunjukkan bahwa Yogyakarta memiliki bentuk ekspresi keruangan yang kompak dan
terbagi menjadi 7 macam bentuk kompak, dengan bentuk bujur sangkar sebagai pola morfologi
dominan. Perkembangan perkotaan di Yogyakarta cenderung lebih besar ke arah utara dan selatan,
serta mempengaruhi wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul. Aksesibilitas di Yogyakarta memiliki
kekurangan dan kelebihan. Interaksi spasial di wilayah Kota Yogyakarta dikelompokkan berdasarkan
arah mata angin, dengan wilayah utara Kota Yogyakarta menjadi magnet pertumbuhan.

Interaksi terbesar terjadi antara Kecamatan Depok dengan Kecamatan Jetis, sedangkan interaksi terkecil
terjadi antara Kecamatan Depok - Ngaglik. Wilayah barat perkotaan DIY memiliki beberapa kecamatan
yang menjadi magnet pertumbuhan, sementara wilayah selatan perkotaan DIY memiliki banyak titik
perekonomian. Faktor dominan dalam perkembangan wilayah perkotaan DIY adalah lokasi pusat
perekonomian, ketersediaan aksesibilitas, dan jarak dan waktu tempuh.

Faktor jarak dan waktu tempuh juga mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan baru dan tempat tinggal
masyarakat di perkotaan. Lokasi yang mudah dijangkau dan memiliki

Judul : STUDI MORFOLOGI KAWASAN KOTAGEDE DI KOTA YOGYAKARTA “Perkembangan Pola Kawasan
Kotagede dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”

Penulis : Muhammad Khadafi Litiloly

Garis besar Isi Jurnal :

Kotagede adalah kawasan bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta, kuat sebagai cagar budaya Jawa.
Warga Kotagede menetap di sini sejak kerajaan Mataram berdiri abad ke 16. Beberapa peninggalan
sejarah di Kotagede antara lain puing-puing kraton, makam raja, masjid agung, serta beteng yang
mengelilinginya. Kotagede terkenal karena kerajinan perak dan wisata heritage. Dalam tulisan ini
dibahas morfologi kota kawasan dan pengaruh dari faktor-faktor yang membentuk kawasan Kotagede.
Tujuan dari penulisan adalah menemukan pola pembentuk dan perkembangan kawasan Kotagede dari
masa ke masa, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan adalah
studi pustaka dan studi lapangan. Perbandingan antara studi lapangan dan studi pustaka dapat
menghasilkan kesimpulan tentang sejarah perkembangan kawasan Kotagede.

Kesimpulan : Dilihat dari penjabaran pada analisis dapat disimpulkan bahwa faktor dominan
perkembangan kota pada masa awal Kotagede adalah faktor politik dan filosofi, yang berhubungan
dengan status Kotagede sebagai ibukota kerajaan Mataram. Faktor non dominan adalah topografi, serta
hukum dan norma. Kawasan memiliki pola organik dengan elemen penting kraton, masjid, alun-alun,
pasar.Faktor dominan pada masa modern adalah perkembangan ekonomi. Faktor non dominan adalah
topografi, sosial, dan politik. Pola kota organik dengan elemen penting kraton, masjid, alun-alun, pasar
yang telah mengalami perubahan fungsi. Pola organik yang ada telah membaur dengan pola semi-grid
dari masa pemerintahan modern yang terlihat pada perluasan wilayah Kotagede.

Anda mungkin juga menyukai