Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kawasan Alun-alun Surakarta merupakan sebuah fenomena ruang publik di pusat
kota yang telah ada sejak jaman kerajaan di masa lalu. Perkembangan jaman dan
modernisasi niscaya menggeser bahkan mendisrupsi peran dan fungsi kawasan pusat-
kota tidak terkecuali Alun-alun Surakarta. Pada masa kerajaan, Alun-alun merupakan
kawasan yang bersifat sakral terkait kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual dan budaya
keraton. Dalam perkembangannya kawasan pusat kota Surakarta mengapresiasi
beragam kegiatan masyarakat dalam lingkup tradisi budaya Jawa, sosial dan ekonomi.
Kegiatan yang bersifat budaya dan ekonomi menjadi sangat mendominasi terlihat dari
semakin banyak seting-seting ekonomi dan sosial yang berimbas atau meluber pada
tatanan fisik kawasan Alun-alun Surakarta. Fenomena peluberan ini dikawatirkan akan
berdampak pada pergeseran sifat dan fungsi ruang Alun-alun Surakarta yang akhirnya
berpengaruh pula terhadap lingkungan keraton sebagai kawasan inti keraton Surakarta.
(Imam Santoso, 2021)
Fenomena pergeseran sifat dan fungsi ruang Alun-alun Surakarta akan semakin
nyata apabila dikaitkan dengan tren konsep kota inklusif sebagai salah satu strategi
konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks Alun-alun Surakarta sebagai asset
warisan budaya masa lalu menghadapi situasi tarik menarik antara kegiatan preservasi
(bersifat eksklusif dan privat) dengan kegiatan non preservasi (bersifat inklusif dan
publik). Prakarsa PBB tentang Sustainable Development Goals (SDGs), dalam salah
satu poin indikatornya menyatakan bahwa perencanaan kota yang inklusif hendaknya
didesain secara ramah lingkungan dan juga memperhatikan kebutuhan masyarakat yang
mencakup semua kalangan usia. Di satu sisi masyarakat sebagai penghuni kampung
sekaligus warga kota memiliki hak untuk menikmati dan mendapatkan kehidupan yang
layak, memperoleh Ruang Terbuka Publik (sebagai ruang berkumpul publik; salah
satunya tanah lapang). Di sisi lain Alun-alun Surakarta adalah aset warisan budaya yang
memiliki makna kesejarahan masa lalu dan perlu mendapatkan perlindungan.
Alun-alun Surakarta di masa yang akan datang berperan penting sebagai agen
perwujudan kota yang berkelanjutan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan kota

1
2

yang berkelanjutan di seluruh dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendorong


seluruh negara di dunia serta civil society melalui program SDGs untuk memiliki target
pembangunan berkelanjutan yang memuat tiga aspek yakni meliputi aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan. Skema SDGs poin 11.4 adalah indikator pentingnya konservasi
dan pelestarian warisan alam dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan. Warisan
budaya dan tempat bersejarah kota berpotensi meningkatkan kelayakan huni dan
keberlanjutan perkotaan dikatakan. Ruang publik yang kemungkinan adalah berupa
taman atau alun-alun bersejarah, berada di bagian kota yang bersejarah, atau
berdekatan dengan monumen bersejarah memberikan kesempatan untuk
kesinambungan penggunaan dan signifikansi sekaligus mendukung yang baru (Vaidya
H, 2020;Cao, 2015).
Perubahan dalam konteks waktu adalah sebuah keniscayaan. Alun-alun
Surakarta di masa sekarang tentu saja telah mengalami pergeseran dalam bentuk yang
tangible maupun intangible. Sebagai sebuah sistem ruang dan arsitektur sifat dan fungsi
keruangan juga akan mengalami perubahan, tidak terkecuali sifat sakral-profan Alun-
alun Surakarta. Sebagaimana dinyatakan oleh Rapoport (1990) bahwa arsitektur
merupakan wadah tempat hidup berkehidupan dan beraktivitas manusia, yang secara
kompleks menyeluruh terkait tatanan fisik dan tatanan non fisik terkait tatanan budaya
dan sosial masyarakat. Perubahan terjadi mengikuti dimensi ruang dan waktu secara
kontinuitas dalam membangun peradaban manusia hingga saat ini. Secara signifikan
yang mempengaruhi proses transformasi adalah perubahan (Vitasurya, 2020).
Pandangan tentang fenomena perubahan ruang dalam dimensi penggunaan dan
pengorganisasian dapat diidentifikasi melalui pola aktifitas kebudayaan dalam fungsi
waktu. Perjalanan budaya melintasi waktu mewujud dalam intensitas kekuatan dua kutub
sakral-profan, dalam dimensi ruang seperti di dalam-di luar, publik-pribadi, di sini-di sana,
sebagai sebuah wujud pergerakan di dalam ruang (Kalogirou, 1992; Supriyadi, 2010).
Dalam konteks mempertahankan sebuah sifat dan karakter tempat, sistem
arsitektur merujuk kepada perwujudan ruang sebagai abstraksi suatu tempat, salah
satunya melalui tanda-tanda fisik suatu tatanan ruang. Perubahan ruang di dalam
tatanan fisiknya dapat dibagi menjadi tiga elemen, yaitu elemen fitur tetap, elemen semi
tetap, dan elemen tidak tetap yang meliputi manusia dan perilakunya (Kamran, Avideh
and Behzadfar, 2016). Fenomena perubahan Alun-alun Surakarta dapat diidentifikasi
melalui konsep tersebut, melalui pembacaan terhadap makna-makna dari ketiga elemen
tersebut yang terkait kegiatan budaya, adat dan tradisi. Fenomena secara empiris
3

mendasari teorisasi data didalam seting alamiah seperti dalam dunia nyata merupakan
kekhasan model grounded theory. Secara ideografis diharapkan dapat ditemukan teori
Tandha melalui penggalian fenomena diskrit perubahan sifat keruangan sakral menuju
profan pada Alun-alun Surakarta. Tandha merupakan label dianggap paling sesuai
sebagai pengetahuan inti yang akan dibangun. Melalui tahapan penelitian diharapkan
memperoleh kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam adat, budaya dan tradisi Jawa
yang muncul dan terbentuk dalam konsep-konsep transformasi keruangannya. dalam
teori Tandha.
‘Tandha’ Sebagai Basis Transformasi Ruang Dari Sakral ke Profan Pada Alun-
alun Surakarta dimaksudkan untuk memberikan suatu pemahaman keruangan dengan
memakai istilah Tandha. Kata Tandha digunakan dalam penelitian ini berasal dari
bahasa Jawa-Sanskerta yang berarti: kenang-kenangan, tandha mata, mirip juga dengan
yang bermakna lain – tetenger. Penelitian terhadap tandha diharapkan memberi
kejelasan makna yang diperoleh tentang kenangan pada/akan ‘sesuatu’ (terkait
kenangan yang baik, indah, serta bermanfaat), sesuatu yang perlu untuk tetap dijaga
secara tetap/ kokoh (ajeg), sesuatu yang selalu diberikan perlindungan (pangayoman),
serta sesuatu untuk mendapatkan kenyamanan (pelipuran). (Lestari, 2010; Amaji, 2010)
Fenomena ‘tandha’ merupakan obyek tesis dalam penelitian ini yang dipandang
mampu untuk mengungkapkan perubahan sifat keruangan pada kawasan Alun-alun
Surakarta sebagai tempat atau lokus penelitian dilakukan. Sebagai contoh kegiatan ritual
budaya Malam Satu Suro. Ritual tersebut dilaksanakan tepat tengah malam hari
menjelang perpindahan tahun baru Jawa berupa kegiatan arak-arakan pusaka keraton
yang dinggap keramat dan sudah dijamasi (dibersihkan oleh abdi keraton). Saat
dilakukan arak-arakan pusaka tersebut, jalur yang dilalui adalah sebuah seting ruang
yang tadinya bersifat profan berubah menjadi ruang sakral dan akan kembali menjadi
profan (profan-sakral-profan) setelah acara arak-arakan selesai dilakukan. Konteks
ruang ( jalur arak-arakan) dan waktu (menjelang pergantian hari/tengah malam) menjadi
saksi perubahan sifat keruangannya secara temporer. Fenomena kondisional arak-
arakan pusaka tersebut adalah tandha dalam tranformasi keruangan dalam wujud
perubahan secara non-fisik.
Contoh lain adalah sistem fisik kota dalam sejarah kerajaan Jawa merupakan satu
kesatuan dimana keraton dan alun-alun dapat dikatakan sebagai sub sistem yang
merupakan inti atau inti kota. Jika Keraton Surakarta secara fisik berupa kawasan yang
dikelilingi benteng (cepuri dan baluwerti), maka secara spasial keraton dan alun-alun
4

berada di ruang paling dalam sebagai inti dengan pembatas berupa tembok yang
mengelilinginya (gambar 1.1). Keraton memiliki pengertian beragam, seperti: negara
atau kerajaan, sebagai pekarangan raja yang berada di dalam wilayah cepuri baluwerti
(tembok benteng), sebagai seluruh halaman pekarangan beserta bangunan mulai kori
depan di alun-alun lor sampai kori terakhir alun-alun kidul (Soeratman, 2000a). Menurut
kitab Negarakertagama, bahwa orientasi keraton Majapahit bersama alun-alun nya di
bagian barat yang merupakan simbol kekuasaan sang raja dan berbeda dengan keadaan
pusat-pusat kekuasaan di Jawa pada masa sesudahnya, dimana poros utara-selatan
menjadi sumbu absis yang kuat (Ashadi, 2017b).

Gambar 1 - 1. Pusat Kota dan Keraton tahun 1860. Diolah dari Sumber: (Google 2017)

Kegiatan di alun-alun umumnya masih erat kaitannya dengan keraton Surakarta,


yaitu: untuk prajurit keraton yang sarat, lelaku 'pepe' dari masyarakat dalam upaya
memohon keadilan kepada raja, kegiatan ritual sekaten dan ritual budaya lainnya.
Sementara rapat koordinasi pihak kerajaan (raja) bersama bupati di gedung pertunjukan
(pagelaran). Orientasi spasial juga digunakan dalam pemahaman spiritual Jawa, berupa
arah lor dan kidul yang mewakili kekuatan akhirat. Lor atau utara melambangkan surga
dan kidul atau selatan melambangkan neraka, juga merepresentasikan garis lurus
imajiner ke pantai selatan serta pola tata ruang yang dipengaruhi oleh konsep kosmologis
masyarakat Hindu Jawa. Pada masa kerajaan Jawa dahulu ruang di Alun-alun Kidul
ditutup karena memiliki privatisasi tinggi, dan berfungsi sebagai tempat dari ritual hening
5

dan kontemplasi sinuwun atau raja. Contoh-contoh fungsi ruang terkait dengan orientasi
spasial adalah tandha dalam bentuk yang lebih mewujud secara fisik.
Kembali merujuk kepada konsep SDGs terkait pentingnya pelestarian warisan
budaya, maka sangat penting dalam mempertimbangkan keberadaan warisan dunia di
berbagai negara dan wilayah dengan latar belakang budaya dan tingkat perkembangan
yang berbeda. Karena kompleksitas sistem, metode evaluasi berdasarkan sistem objektif
menjadi masalah yang sulit. Interpretasi mendalam dari sistem target, data dan
pengukuran yang andal sangat penting untuk mengubah SDG menjadi alat praktis untuk
memecahkan masalah. Oleh karenanya pembacaan ‘tandha’ dalam memahami perilaku
perubahan ruang Alun-alun Surakarta menjadi sangat perlu dilakukan.
Fenomena transformasi ruang atau perubahan ruang Alun-alun Surakarta dapat
dilihat pada pola-pola kegiatan budaya yang bersifat non fisik sakral-profan. Nilai dan
kualitas sakral-profan mengacu kepada konsep keyakinan yang dianut sejak lama oleh
masyarakat. Perwujudannya dalam bentuk aktifitas budaya yang ditunjukkan pada
sekuens berupa kalender kegiatan budaya. Ruang Alun-alun Surakarta beserta segala
kompleksitasnya merupakan karya yang dibentuk oleh eksistensi budaya, ekonomi dan
sosial masyarakatnya. Kegiatan masyarakat yang hidup dan beraktivitas di lingkungan
binaan memiliki peluang dan peran yang besar dalam mengendalikan perubahan yang
terjadi di lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, ketika terjadi transformasi ruang
secara spasial di kawasan Alun-alun Surakarta tidak lepas dari kegiatan budaya dan pola
aktivitas masyarakat. Kegiatan budaya dalam masyarakat ikut berperan serta dalam
perubahan yang terjadi. Oleh karenanya memahami perubahan ruang Alun-alun
Surakarta berarti wajib memahami konteks sejarah budaya masyarakat Surakarta,
konsep morfologi (bentuk dan fungsi) ruang termasuk di dalamnya konsep makna ruang-
ruang kosmologis sebagai representasi budaya Nusantara pada umumnya.
Memahami perubahan ruang Alun-alun Surakarta juga harus mengacu kepada
konsep morfologi (bentuk dan fungsi) ruang. Dalam konteks kota tradisional (Surakarta
dan Yogyakarta), terdapat tiga fungsi alun-alun, yaitu: pertama, alun-alun melambangkan
terwujudnya sistem kekuasaan atas suatu wilayah kekuasaan tertentu, berupa
harmonisasi. antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi sebagai
tempat untuk semua perayaan ritual penting atau upacara keagamaan. Hal-hal tersebut
berkaitan erat dengan arah implementasi hukum universal dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, alun-alun merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan militer yang profan dan
6

merupakan instrumen kekuasaan dalam mengamalkan kesakralan penguasa.(J. Santoso,


2008a).

Gambar 1 - 2. Keraton dan Kosmos, Potongan susunan Kosmis Keraton Surakarta.


Sumber: (Bahrend 1982, Santoso 2008)

Alun-alun Keraton Surakarta pada masa lampau merupakan kesatuan kawasan


lingkungan dan bangunan keraton yang memiliki makna sakral dan simbolis dalam
pembentukan ruang-ruang kosmologis (gambar 1.2.). Mempelajari dalam konteks
morfologi keraton, terdapat dua macam alun-alun yang berbeda dalam hal tata letak,
dimensi, dan fungsi, yaitu alun-alun lor, dan alun-alun kidul. Alun-alun lor memiliki makna
yang secara filosofis sangat berbeda dengan Alun-alun Kidul. Alun-alun Lor lebih lebih
bersifat publik karena terbuka untuk akses masyarakat luas. Secara fisik, Alun-alun Lor
dahulu adalah hamparan pasir luas yang menyatu dengan bangunan keraton, sehingga
hamparan pasir ini memiliki makna simbolis bahwa kawulo (rakyat) yang akan menghadap
raja harus mensucikan diri dengan mencuci kakinya dipasir Alun-alun Lor. Sedangkan
Alun-alun Kidul, bersifat lebih privat, karena secara fisik lebih tertutup oleh dinding masif
dan bermakna sebagai tempat kontemplasi raja. Secara spiritual berhubungan dengan
pantai laut selatan, sehingga secara fungsi alun-alun kidul sering digunakan sebagai
tempat awal pemakaman saat keluarga keraton sedang berkabung, tempat prajurit
keraton latihan kanuragan dan sebagai tempat kandang piaraan binatang keraton seperti:
gajah, badak dan kerbau; walau saat ini hanya tinggal kerbau bule keturunan Kiai Slamet
saja (Ruwaidah, 2012a).
7

1.2 Nilai Sakral-Profan Pada Kosmologi Keraton


Sakral menurut (Eliade, 1959b) dalam bukunya The Sacred and the Profan adalah
bersifat abadi, terkandung secara substansi, dan nyata. Sesuatu hal yang sakral akan
terkandung nilai kesempurnaan dan nilai keteraturan, yang di dalamnya bersemayam
roh, nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara sesuatu yang
profan bersifat mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu
berbuat salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan. Menurut pandangan
(Eliade, 1959a) pada setting keraton yang mendasarkan pada teori kosmik merupakan
perwujudan axis mundi (pusat dunia), yang menghubungkan tiga strata yaitu langit, bumi
dan di bawah bumi; dan memiliki keyakinan bahwa meru (gunung yang dianggap suci)
berada pada pusat Kedhaton (keraton) sebagai pusat dunia; diperkuat dengan
pandangan bahwa Raja sebagai wakil Tuhan (penghubung ke langit). Geldern (1982)
menyatakan hal yang serupa bahwa seorang Raja memiliki kedudukan tinggi dan
sebagai penguasa mikrokosmos atau sebagai jagad kecil dan makrosmos atau sebagai
jagad besar.
Konsep tata ruang dalam keraton sendiri mengacu pada sebuah konsep sebuah
kota yang berpangkal pada kepercayaan konsep raja-dewa dimana raja dipercaya
memiliki sifat-sifat dewa dan dianggap sebagai titisan dari dewa dengan adanya
kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos sehingga ada ungkapan pada
masyarakat Jawa bahwa Raja sebagai pusat dari alam sejagad yang dicerminkan oleh
Raja Surakarta dalam gelar Paku Buwono (Paku Dunia) sebagai gelar Susuhunan
Keraton Surakarta yang juga sebagai wakil Dewa Indera dan memiliki kekuasaan absolut
di dalam Kedhaton (Avi Marlina, 2017). Alun-alun keraton Surakarta menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan istana raja Jawa (raja Surakarta), yang secara perletakan
didasarkan pada kosmologi yang dianut keraton. Ketiga unsur kosmologi tersebut
adalah: alam semesta – manusia – Tuhan, menjadi dasar dan melekat pada keberadaan
keraton (Ashadi, 2017c).
Korelasi antara ketiga unsur kosmologi itu secara simbolik terpadu dalam struktur
tata ruang kota kerajaan juga dalam kawasan bangunan keraton. Pada jaman Mataram
Islam, konsep kosmologis tersebut berupa konsep lingkaran konsentris yang
menunjukkan hirarki lingkaran dari luar ke dalam semakin sakral dari pusat-pusat kota
istana Mataram (Plered, Yogyakarta, Surakarta). Keraton alun-alun lor dan alun-alun
kidul menempati bagian dalam dari hirarki yang seakan melingkupi ruang pusatnya –
prabayaksa - yang memperlihatkan bahwa struktur tersebut sebetulnya mengikuti
8

konsep lingkaran konsentris. Raja adalah pusat, disusul pada lingkaran pertama adalah
keraton, tempat tinggal raja yang diistimewakan, kemudian lingkaran kedua yang disebut
sebagai negara, tempat tinggal kaum bangsawan dan kaum priyayi yang dibawah
wewenang patih; ketiga sebagai negaragung yang pada umumnya tanah berupa tanah
lungguh dan dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi yang berhak
mengutip pajak atas nama raja; dan keempat adalah daerah-daerah luar yang disebut
mancanegara yaitu tanah yang terlalu jauh dan dipercayakan bupati yang langsung
tunduk pada patih dan raja.
Konsep kosmologis juga mempengaruhi peri kehidupan masyarakat tradisional.
Konsep kosmologis mengkondisikan masyarakat dalam berkehidupan memiliki nilai-nilai
yang disakralkan dan dikeramatkan (disucikan) (A Marlina, 2020;Sutrisno, M; Putranto,
2005). Hal itu tersermin dalam hubungan antara kawulo dengan Gusti dalam sistem
sosial kemasyarakatan Jawa yang memliki batas-batas tertentu dapat diibaratkan
hubungan antara kawulo dengan Alloh (Gusti) yang ditunjukkan dalam berperilaku
ketaatan yang semestinya harus sesuai dengan ketaatan antara manusia terhadap
Tuhan Nya (Moedjanto G, 1987).
Hal-hal tersebut berkaitan pula dengan ide-ide dasar seperti dikatakan oleh
Prijotomo (Prijotomo, 1992) bahwa yang dipergunakan dalam arsitektur Jawa (termasuk
keraton Surakarta) yang bersumber pada kepercayaan religius, dari apa yang dikenal
dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh beberapa kepercayaan dan agama. Ketika
memahami agama maka dapat bersumber dari ayat suci Al Qur’an, kitab agama Hindu,
kitab agama Budha serta kepercayaan awal yang sudah dimiliki masyarakat Jawa. Di
dalam kepercayaan Hindu, bahwa seorang Raja adalah Tuhan; hanya Raja sebagai
Tuhan yang mampu memerintah masyarakat di bumi keterkaitan hubungan selaras
dengan kosmik. Bagi masyarakat Jawa melalui kepercayaannya bahwa peraturan-
peraturan yang ada saling berhubungan antara: masa lalu, masa sekarang dan masa
akan datang. Sehingga seorang Raja dianggap memiliki kedudukan yang sakral dalam
kerajaan, sehingga istana Raja merupakan perwujudan dari mikrokosmos dan
makrokosmos.
Berdasar hal-hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan-
kegiatan ritual di Alun-alun Surakarta sebagai warisan budaya masa lalu dan menjadi
bagian dari kegiatan sakral yang dilakukan oleh keraton, tetap wajib dilestarikan serta
harus mampu tetap dilakukan. Alun-alun sebagai bagian ruang publik keraton yang tidak
terpisahkan dan tetap harus dipertahankan keberadaannya, sehingga menjadi salah satu
9

ciri khas kota Jawa peninggalan era Mataram dan merupakan ruang terbuka publik
didalam arsitektur perkotaan. Sehingga, ketika masih dianggap memiliki peran penting
untuk pembelajaran dalam studi ruang publik perkotaan kedepannya, maka sangat perlu
untuk mempelajari pola-pola ruang kota Jawa serta transformasi ruang terhadap
pergeseran fungsi alun-alun keraton tersebut. Pembelajaran dimulai dari yang berskala
mikro, meso maupun makro pada studi di alun-alun Surakarta.

1.3 Transformasi
Secara pengertian, arti kata transformasi menurut kamus bahasa Indonesia dan
secara etimologis adalah transfigurasi (bentuk, karakteristik, fungsi, dll.). Sedangkan
secara definisinya, bahwa transformasi yang dikutip dalam kamus The New Grolier
Webster International Dictionary of English Language adalah perubahan dari satu bentuk
ke bentuk lain yang berbeda tetapi memiliki nilai yang sama. Perubahan dari satu bentuk
ke bentuk lain memiliki arti bahwa terhubung dengan struktur permukaan dan fungsinya.
Sedangkan ketika mendasarkan pada Kamus Kontemporer Longman English (2007),
transformasi memiliki arti perubahan kelengkapan atau parsial yang biasanya menjadi
sesuatu lebih baik atau bahkan tidak berfungsi dalam kinerja atau fungsi. Dapat
disimpulkan bahwa transformasi ada kemiripan, seperti: perubahan, penyesuaian,
modifikasi dan perbaikan menjadi lebih baik. Dalam pemahaman lain, bahwa transformasi
adalah perubahan fisik dan mendasar yang disebabkan oleh adanya kekuatan non fisik
yaitu perubahan budaya, sosial, ekonomi, dan politik, serta perilaku dan pola-pikir
(Poutiatine, 2009; Rossy, 1982) dan fisik penghuni (Makachia, 2011).
Transformasi juga sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga
sampai pada tahap akhir (ultimate), yang dilakukan dengan cara memberi respon
terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal, mengarahkan perubahan dari bentuk
yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses penggandaan yang berulang-ulang, untuk
menyatukan masa lalu dengan masa kini, mempertahankan budaya setempat
(Antoniades, 1990; Habraken, 1998; Broadbent G, 1980). Transformasi bukan hanya
merubah atau memperbaiki tetapi juga dengan adanya sebuah proses perubahan yg
terjadi pada suatu struktur ruang kawasan, antara lain ditentukan oleh sistem ideologi,
aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung didalamnya (Dazko,
2005; Granham, 1985).
Menurut Habraken (1998) transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan, yatu:
tatanan fisik, tatanan teritorial, dan tatanan budaya. Hubungan erat dari elemen-elemen
10

fisik pembentuk kawasan lingkungan binaan, terbentuknya ruang-ruang dari konfigurasi


elemen fisik, serta pemahaman suatu kelompok masyarakat atas bentuk fisik tersebut
yang menyebabkan terjadinya transformasi budaya. Dalam transformasi terdapat
beberapa elemen yang bersifat permanen (tetap), sehingga elemen-elemen yang
permanen ini dapat menyimpan memori, identitas tentang tempat (place) dan terkait
kejadian-kejadian tertentu (Cahyono, 2019). Ketika kota dikatakan sebagai sebuah
produk collective memory dan materialisasi budaya penghuninya sepanjang sejarah yang
berlaku dalam skala mikro, maka dengan kecepatan inovasi teknologi yang mempercepat
perubahan terhadap transformasi kehidupan masyarakat dan ruang lingkungan binaan
seperti: arsitektur rumah, permukiman dan kota (Rossy, 1982;Madanipour,
2005a;Cahyono 2019).
Perubahan yang terjadi pada ruang pembentuk kawasan lingkungan binaan
dengan segala kompleksitasnya adalah hasil karya yang dibentuk oleh eksistensi
masyarakat. Masyarakat yang hidup dan beraktifitas di dalam suatu kawasan lingkungan
binaan memiliki peluang dan peran besar dalam mengendalikan perubahan-perubahan
yang terjadi pada lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut ketika terjadi transformasi
ruang pada kawasan Alun-alun Surakarta, bisa jadi memberi pengaruh atau dipengaruhi
oleh perubahan budaya dan pola aktivitas masyarakatnya. Oleh karenanya budaya atau
dalam bentuk perilaku “meruang budaya” dari masyarakat yang lebih kasat mata memiliki
peran besar dalam mengendalikan perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan
Alun-alun Keraton.
Beberapa teori tentang transformasi mengatakan bahwa transformasi pada
kawasan terjadi dengan adanya perubahan sosial yang mempengaruhinya; perubahan
mendasar dari satu keadaan yang membutuhkan pergeseran budaya, perilaku dan pola
pikir, disebabkan faktor budaya; oleh adanya kekuatan non fisik yaitu perubahan budaya,
sosial, ekonomi, dan politik, serta perilaku dan pola-pikir; transformasi juga terjadi pada
tiga tatanan: tatanan fisik, tatanan teritorial dan tatanan budaya; transformasi
mencerminkan sosial, ekonomi dan fisik penghuni. Dengan demikian fenomena aktifitas
masyarakat di pusat kota yang berimbas pada seting Alun-alun Surakarta kemungkinan
menjadi indikasi adanya fenomena transformasi ruang sakral dan profan terhadap
kawasan Alun-alun Surakarta saat ini (gambar 1.3).
11

Gambar 1 - 3 . Zonasi Kosmis Keraton Surakarta Sumber : (hasil olahan penulis 2017)

1.4 Teori – Empirik


Konflik-konflik kepentingan yang dialami oleh keraton dan kota Surakarta
mengharuskan posisi dan cara pandang yang unik, luas dan jarak perspektif yang cukup
untuk bisa memahaminya. Diperlukan berbagai teori dan konsep baik yang bersifat
substantif untuk menuju temuan ideografik dan teori-teori normatif yang lebih bersifat
universal. Kota Surakarta dengan produk budaya tradisional Jawa peninggalan
kerajaannya adalah kota yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan historis, selain
berkembang sebagai kota wisata budaya Jawa dan perdagangan. Kedua hal tersebut
menjadi sangat potensial untuk dipadukan selain juga berpotensi memunculkan konflik
antar kepentingan. Keberadaan keraton Surakarta dan pura Mangkunegara menjadikan
kota Surakarta untuk memiliki acuan yang terpusat terhadap beragam komunitas, yang
masuk dalam kehidupan sosial-budaya, filosofis dan mitologis, sehingga pada pola fisik
struktur maupun desain kotanya.
Konsep ideografik yang ingin dibangun dari teori ‘tandha’ tidak dapat dilepaskan
dari konteks kota-kota awal Nusantara tumbuh dan berkembang sebagai kota kosmis.
Konsep kota kosmis merupakan representasi kota dengan kekuasaan tunggal yaitu oleh
seorang Raja. Membaca peta kekuatan dalam kota kosmis dan teori kosmik ada
beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu meliputi: social-religius dan kekuasaan politik,
sebagai sarana dalam menghubungkan pula kekuatan manusia dengan kekuatan besar
12

dan cara menstabilkan tatanan keselarasan jagad raya, mata angin utara – selatan,
simetri timur-barat, tembok keliling, gerbang yang dilindungi, dominasi atas dibandingkan
bawah, memiliki pusat suci, konsep raja-dewa yang memiliki kesetaraan makrokosmos
dan mikrokosmos (Budiarto, 2012; Lynch, 1960; Geldern, 1982).
Konsep nomotesis diperlukan dalam membaca pola-pola penggunaan ruang. Kota
kosmis juga berlaku pada Keraton Surakarta, alun-alun dan kawasannya yang secara
fisik masih utuh, dan secara pasti akan dilakukan penyesuaian dalam penggunaan
ruang-ruangnya, terdapat kebutuhan akan penggunaan ruang sebagai tempat untuk
berkegiatan dan fungsi baru pada satu pihak, dalam pihak lainnya memiliki kepercayaan
atau tatanan aturan pada acara penggunaan ruang-ruang tertentu (Priyatmono, 2013).
Untuk itu digunakan teori keterhubungan antara ruang dan tempat yang merupakan sifat
dasar dari geografi sebuah lingkungan (Tuan, 1977a). Ruang (space) didefinisikan
sebagai sebuah hal yang abstrak, sedang tempat (place) yang diartikan sebagai sebuah
entitas unik yang memiliki nilai sejarah dan makna. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tempat (place) mampu mewujudkan pengalaman dan aspirasi dari masyarakat. Tempat
bukan sekedar fakta yang mampu dijelaskan lebih luas dari pemahaman tentang ruang
(space) tetapi merupakan realitas data yang dapat diklarifikasi menjadi dipahami dari
cara pandang masyarakat terhadap makna sendiri pada sebuah tempat. Ruang
melingkupi batas-batas yang imajiner dan tampak, bahwa ada dimensi-dimensi ruang
yang hidden dimension (tak terlihat) tetapi memiliki kontribusi dalam pembentukan ruang
arsitektural (Hall, 1966), sehingga mempermudah pemahaman dapat dikatakan tempat
menjadi lebih rasional ketika dibahas lebih jauh dalam ranah fisik arsitektural.
Konsep nomotesis lain digunakan dalam komunikasi terkait keruangan, yaitu
dalam cara-cara untuk memahami makna ruang. Konsep komunikasi tersebut diperlukan
untuk mengenali elemen-elemen dan simbol-simbol yang mengkomunikasikan makna-
makna tertentu, atau bagaimana masyarakat mengkomunikasikan makna tertentu.
Sebagai contohnya, bahwa ada pemaknaan simbolik dari perabot, tata letak bangunan,
gaya dan desain lansekap, yang dalam hal ini menjadi suatu mekanisme non verbal yang
digunakan orang untuk mengkomunikasikan pesan tentang diri mereka sendiri, latar
belakangnya, status sosialnya dan pandangannya mengenai dunia (Rapoport, 1990;
Harisah, Afifah dan Masiming, 2008). Hall (1966) menyusun klasifikasi elemen di dalam
ruang terdapat sebagai: Elemen fixed/elemen permanen, Semi fixed /elemen semi
permanen/ perabot yang dapat berpindah, Non-fixed /elemen yg keberadaannya tidak
tetap.
13

Kawasan Alun-alun Lor dan kawasan alun-alun kidul ketika disebut sebagai ruang
milik keraton Surakarta, maka didasarkan pada batasan fisik dan tata letak nya yang tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan keraton (Isbandiyah, 2008). Menurut teori transformasi
bahwa transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan: tatanan fisik, tatanan teritorial, dan
tatanan budaya. Hasil telusur dilapangan (grandtour) mengindikasi terjadinya
transformasi ruang wilayah kawasan secara tatanan fisik terkait juga tatanan teritorial dan
tatanan budaya dari (Habraken, 1998). Hal ini terkait kawasan Alun-alun Keraton sebagai
ruang yang bersifat publik dan milik keraton Surakarta.
Konsep dari keraton Surakarta sangat mempengaruhi pola ruang kota Surakarta
yang melambangkan unsur budaya, tradisi dan spiritual Jawa, dalam hubungan sakral-
profan secara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep-konsep yang diterapkan di dalam
pola ruang kota Surakarta antara lain dengan simbolisasi kategori-kategori, bagian utara
keraton dianggap sebagai tempat tinggi (melambangkan laki-laki), dan bagian selatan
melambangkan perempuan sebagai sumber kehidupan. Konsep lain menunjukkan pola
ruang kota Surakarta masih menunjukkan ciri konsepsi dari macapat.
Pola ruang ini menunjukkan pusat kerajaan sebagai kutha berbentuk segi empat,
melambangkan dunia wadag, lingkungan kekuatan yang berpusat di ndalem keraton
melambangkan dunia sejati, idea, secara konsentris semakin jauh dari pusat, dianggap
makin menipis kekuatannya. Konsep inipun akibat kosmologis pada kota Jawa yang
menjadi ciri mancapat, terkait keberadaan alun-alun lor, alun-alun kidul, Pasar Gede di
Utara, Pasar Gading di Selatan.

Gambar Diagram 1 - 4 . Teori – Empirik, Sumber: (olahan penulis)


14

1.5 Pemilihan Alun-alun Keraton Surakarta Sebagai Lokus Penelitian


Alun-alun Keraton Surakarta dipilih sebagai lokus penelitian dengan beberapa
pertimbangan kelayakan. Alasan kelayakan yang pertama adalah eksistensinya sebagai
bagian dari alun-alun Jawa di berbagai kota wilayah Jawa. Alun-alun Jawa sebagai
sebuah ruang publik yang memiliki nilai terkait hal yang profan-sakral, terutama kawasan
yang memiliki nilai tinggi terkait budaya tradisi Jawa, sebagai kawasan yang memiliki
tradisi masyarakat berbudaya lokal kuat. Eksistensi alun-alun Jawa dapat didentifikasi
dari denah kota-kota Jawa, yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
masjid agung, keraton dan alun-alun (J. Santoso, 2008a). Kelayakan alun-alun keraton
Surakarta didukung oleh pertimbangan bahwa keraton Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa yang masih berlangsung, alun-alun sebagai perlambangan sistem
kekuasaan raja Jawa yang memiliki keseimbangan antara makrokosmos dan
mikrokosmos, alun-alun berfungsi untuk tempat pelaksanaan perayaan ritual atau
upacara keagamaan yang penting (seperti Garebeg, Sekaten, Malam Satu Suro), dan
alun-alun sebagai tempat yang masih memperlihatkan kekuatan bersifat sakral dan
profan dari kuasanya raja Jawa penerus kerajaan Mataram. Kelayakan lokus tatanan
fisik pada Alun-alun Surakarta digunakan sebagai sumber informasi untuk memperkaya
teori transformasi ruang publik berupa Alun-alun Surakarta dengan mempertimbangkan
pola ruang Jawa terkait sakral-profan, pada ruang publik berbasis budaya tradisi Jawa.
Alun-alun yang masih ada dan dapat dilihat keberadaan pada kota tinggalan era Keraton
Mataram yaitu Alun-alun Surakarta dan Alun-alun Yogyakarta.
15

Gambar 1 - 5. Alun-alun Surakarta dan Kosmologi, Sumber: (olahan penulis 2020)

Alasan kelayakan kedua adalah keberadaan tanah dan bangunan Keraton


Surakarta berikut segala kelengkapan didalamnya adalah merupakan milik Keraton
Surakarta yang perlu dilestarikan sebagai warisan budaya (Isbandiyah, 2008). Alun-alun
Surakarta jaman masa lalu merupakan kesatuan dari komplek bangunan keraton dan
memiliki makna yang bersifat sakral dan simbolis dalam bentukan fisik. Merupakan
wadah kegiatan yang bersifat publik, kegiatan di alun-alun masih selalu berkaitan erat
dengan keraton Surakarta seperti: gladen atau latihan perang prajurit, kegiatan untuk
memohon keadilan kepada raja dengan melakukan ‘pepe’ dari masyarakat (rakyat kecil),
kegiatan ritual sekaten dan ritual budaya lainnya, rapat koordinasi pihak penguasa atau
raja dengan para bupati pada bangunan pagelaran, sampai dengan kegiatan rekreasi
putri-putri raja.
Alasan kelayakan yang ketiga adalah keragaman fenomena aktifitas masyarakat
dalam sistem sosial budaya dan sosial ekonomi juga keragaman dalam berbagai konflik
kepentingan dan sistem kekuasaan atas wilayah. Alun-alun memiliki fungsi sakral
menampung luapan jamaah dari Masjid Agung, rangkaian upacara Garebeg Maulud, dan
alun-alun juga memiliki fungsi ekonomis karena pasar berada di dekatnya, serta memiliki
fungsi penting secara kultural sebagai tempat untuk pelaksanaan rampog macan
16

(Adrisijanti, 2000). Dalam sistem kekuasaan, pertama alun-alun sebagai perlambangan


ditegakkannya sebuah sistem kekuasaan atas sebuah wilayah kekuasaan tertentu,
sekaligus menggambarkan tujuan penegakan atas sistem kekuasaan tersebut berupa
harmonisasi antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi untuk
tempat pelaksanaan perayaan ritual atau upacara keagamaan yang penting. Hal-hal
yang terkait perayaan dan upacara tersebut sangat terkait erat dengan arahan
pelaksanaan dari hukum-hukum universum pada kehidupan sehari-hari. Ketiga, alun-
alun sebagai tempat untuk memperlihatkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan
merupakan instrumen kekuasaan dalam praktek kekuasaan sakral dari sang penguasa
(J. Santoso, 2008a).

1.6 Rumusan Masalah


Kondisi perubahan pada sebagian besar kawasan alun-alun dan sekitar keraton
(termasuk kawasan Baluwerti) telah menunjukkan degradasi sifat keruangan pada
penggunaannya yang mengarah pada indikasi perubahan sosio kultural. Berakibat
menurunnya nilai kesakralan kawasan serta nilai kedhaton sebagai pusat kerajaan dan
kebudayaan Jawa. Perubahan tersebut dalam teori transformasi dikatakan telah terjadi
pergeseran dan perubahan fisik yang mendasar disebabkan adanya kekuatan non fisik,
yaitu perubahan dalam aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik, serta perilaku dan
pola-pikir (Rossy 1982; Poutiatine 2009) dan fisik penghuni (Makachia 2011).
Kesenjangan tempat yang terjadi antara ruang sakral ke profan atau sebaliknya
dari fenomena keruangan di kawasan Alun-alun Surakarta, sebagai pusat tempat (place)
kegiatan masyarakat dan kegiatannya sangat beragam. Kegiatan tradisi budaya,
ekonomi, sosial masyarakat, dan salah satu yang mendominir tersebut adalah kegiatan
budaya dan ekonomi dan masih berlangsung hingga saat ini yaitu seperti Sekaten, Malem
Satu Suro, Garebeg,Hajad Dalem, dan lain-lain telah menjadi agenda tahunan wisata kota
Surakarta. Secara mendasar kegiatan ritual budaya berada memiliki nilai-nilai sakral
(suci), namun kenyataan di kawasan Alun-alun Surakarta terjadi pula di keruangan telah
bergeser pada nilai yang profan. Telah terjadi kegiatan budaya yang semestinya
bermakna sakral, namun kenyataan di lapangan berlaku di ruang profan. Dahulu, Alun-
alun Kidul ditutup karena memiliki privatisasi tinggi, dan berfungsi sebagai tempat dari
ritual hening dan kontemplasi sinuwun atau raja (Imam Santoso, 2021). Namun saat ini,
Alun-alun Kidul menjadi pusat jujugan wisata kuliner dan permainan yang murah meriah
17

dan mengasikkan bagi warga kota Surakarta. Antara teori dan fenomena terjadi gap,
secara faktual terjadi perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Berdasarkan hal tersebut maka problem finding ditemukan pada Alun-alun
Keraton Surakarta ditengarai memiliki keunikan termasuk ruang publik yang berkarakter
unik tinggalan masa kerajaan yang sakral ke profan, memiliki nilai tradisi budaya Jawa/
Keraton Surakarta yang masih berlangsung hingga saat ini. Pola keruangan yang ada
pada kawasan tersebut telah mengalami perubahan yang non fisik, seperti: keberadaan
lapangan di Alun-alun Lor sejak terjadi kebakaran di tahun 2012 dan di Alun-alun Kidul
dahulu tempat privasi raja hening/ semedi saat ini terbuka bagi masyarakat kawulo. Kini
pada saat acara sekaten menjadi area pasar malam, sehingga area sakral seperti di area
pohon beringin kembar ditengah alun-alun, area kereta jenazah dan kereta pesiar (di
Alun-alun Kidul) menjadi profan sebagai tempat kongkow dan kuliner lesehan. Kebersihan
dan keindahan dari trotoar menjadi terabaikan dan rusak, kondisional jalur utama sebagai
akses masuk dan keluar kawasan Alun-alun Kidul menjadi kurang terkontrol, ramai dan
macet. Akibatnya, menjadikan kawasan Alun-alun Surakarta kehilangan kenangan makna
keruangannya yang sakral dan lebih sebagai keruangan profan.
Terjadinya fenomena perubahan sifat keruangan sakral ke profan tersebut telah
berlangsung sejak bertahun-tahun. Akan tetapi pergeseran sebagai tempat kegiatan yang
bermakna sakral ke profan, dapat diartikan sebagai inti permasalahannya. Bahwa telah
terjadi perubahan keruangan yang bersifat non-fisik; fungsi ruang terkait perubahan sifat
keruangan dari yang bermakna sakral ke profan atau sebaliknya, secara zonasi dan
mendasarkan pada waktu (kondisional dan temporer). Dalam penelusuran terkait teori-
teori tentang transformasi, dapat dikatakan bahwa secara perubahan keruangan masih
belum ditelaah lebih dalam hal-hal yang terkait pada perubahan ruang sakral ke profan
atau sebaliknya pada Alun-alun Surakarta’ (problem statement).
Sehingga rumusan masalahnya dalam penelitian ini, adalah:
1. Ragam kegiatan masyarakat pengguna di alun-alun menyebabkan terjadinya
transformasi ruang terkait zonasi ruang sakral ke profan di Alun-alun Surakarta.
2. Bergesernya zonasi pada nilai sifat ruang yang terjadi akibat dari perubahan non-
fisik di Alun-alun Surakarta.
3. Perubahan makna nilai ruang (Jawa) dengan melihat nilai-nilai terkait antara ruang
sakral ke profan di Alun-alun Surakarta.
18

1.7 Pertanyaan Penelitian


Pertanyaan penelitian akan menentukan metoda yang akan dipakai dalam
penelitian ini. Hal tersebut bertolak dari gap teori yang diketahui bahwa penelitian ini
masih perlu adanya pengkajian mendalam dalam upaya pengkayaan teori ideografis
berupa teori yang berbasis lokal/ Jawa.
Menurut penelitian kualitatif disarankan agar bentuk pertanyaan berkenaan
dengan: how? dan atau what? (Creswell 2007), sehingga akan memberi sinyal agar
mentaati rambu-rambu penting terhadap strategi penelitian yang dipergunakan.
Pertanyaan penelitian dibedakan dalam beberapa kategori, yaitu pertanyaan sentral/
memusat (central question) untuk mengeksplorasi kondisi empirik sentral, sub pertanyaan
isu (issue sub question), dan sub pertanyaan prosedur/ topikal (topical sub question) yang
memperinci lebih lanjut pertanyaan sentralnya.
Pertanyaan sentral penelitian ini adalah:
Bagaimana makna nilai ruang sakral ke profan dapat terjadi terkait fenomena
transformasi sifat keruangan pada Alun-alun Surakarta?
Sehingga untuk memperkuat hal terkait pertanyaan sentral tersebut perlu didukung sub
pertanyaan, dan sub pertanyaan penelitiannya adalah:
1. Hal-hal apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai keruangan
sakral ke profan di Alun-alun Surakarta?
2. Hal-hal apa yang dapat mempengaruhi fenomena transformasi nilai ruang
sakral ke profan di Alun-alun Surakarta?
3. Bagaimana temuan teori local dapat menjelaskan fenomena perubahan nilai
ruang sakral ke profan di Alun-alun Surakarta?

1.8 Tujuan, Sasaran, Dan Manfaat


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali pengetahuan tentang
transformasi/ perubahan keruangan yang sakral dan profan pada suatu tempat (place),
melalui transformasi keruangan sebagai ruang publik di Alun-alun Surakarta terhadap nilai
transformasi nilai keruangan pada ruang sakral ke profan. Hasil temuan penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan transformasi ruang pada nilai
ruang publik dari nilai sakral ke profan, khususnya rumpun teori ruang publik pada lingkup
ilmu arsitektur.
Terkait tujuan tersebut, maka sebagai sasaran penelitian adalah sebagai berikut:
19

a. Hal-hal terkait temuan konsep transformasi/ perubahan nilai keruangan/ ruang


(non-fisik) terhadap tempat (place) secara keruangan sakral ke profan
berdasarkan fenomena diskrit yang terjadi di Alun-alun Surakarta.
b. Hal-hal terkait perumusan konsep-konsep dari sifat nilai keruangan yang
mempengaruhi transformasi/ perubahan keruangan/ ruang sakral ke profan di
Alun-alun Surakarta terkait aspek yang tangible dan intangible.
c. Menemukan bangunan teori substantif atau teori lokal tentang transformasi /
perubahan nilai keruangan yang dapat menjelaskan fenomena perubahan
ruang sakral ke profan di Alun-alun Surakarta?
Manfaat penelitian, secara ontologis penelitian ini berada dalam ruang lingkup ilmu
arsitektur terkait perubahan nilai keruangan terhadap tempat. Secara spesifik yang
berlaku dan memliki nilai keruangan sakral dan profan di alun-alun peninggalan masa lalu
(khususnya Alun-alun Surakarta). Penelitian ini berada pada tataran spatial keruangan
mikro kawasan Alun-alun Surakarta. Dalam ilmu arsitektur dan perancangan kota tidak
terfokus pada produk karya akan tetapi lebih pada prosesnya. Secara epistemologis
dalam memahami obyek amatan ini adalah penelitian ini meminjam model, konsep dan
teori dari ilmu-ilmu lain seperti: kesejarahan, sosiologi, tranformasi, religious (sakral ke
profan), budaya dan tempat (place).
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis (teori lokal/
Jawa) dan praktis, kepada pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan ruang publik Alun-
alun Surakarta.
Manfaat secara teoritis, sebagai berikut:
1. Hasil temuan teori diharapkan memberikan kontribusi terhadap pengetahuan
teori tempat (place) melalui transformasi nilai keruangan yang bersifat lokal
(Jawa) di Alun-alun Surakarta terkait dengan nilai ruang publik yang sakral ke
profan.
2. Mampu menjelaskan teori melalui transformasi nilai keruangan terdahulu yang
ada agar bermanfaat sebagai pengembangan ilmu arsitektur, secara khusus
pengembangan teori lokal (Jawa) pada ruang terbuka kota khususnya di Alun-
alun Surakarta.
3. Temuan teori dapat dipergunakan sebagai salah satu landasan di dalam
pengembangan pengetahuan dari teori transformasi nilai keruangan non-fisik
dan tempat (place) khususnya yang bersifat lokal pada alun-alun (Jawa).
20

Manfaat secara praktis, sebagai berikut:


1. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai pemerkaya teori terkait transformasi terhadap
sifat nilai keruangan pada Alun-alun Surakarta, dan dapat dipergunakan
sebagai landasan dalam pola desain transformasi nilai sifat ruang alun-alun
pada kota yang bertradisi budaya Jawa.
2. Bagi pemerintah dan keraton, teori hasil temuan ini bermanfaat sebagai
landasan dasar untuk membuat kebijakan pengelolaan pada tatanan ruang di
Alun-alun Surakarta dengan memperhatikan tata aturan lokal atau budaya
masyarakat yang berlaku.
3. Bagi masyarakat, teori yang ditemukan diharapkan akan memberikan wacana
kepada masyarakat terhadap hal-hal yang terkait kenangan masa lalu, agar
tetap ada perhatian dan dipertimbangkan ketika dalam pengelolaan tatanan
nilai ruang pada Alun-alun Surakarta ke depannya.

1.9 Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian meliputi kajian teoritik dan kajian empirik. Kajian teoritik
berisi teori dan konsep tentang ruang publik yang meliputi teori ruang publik secara umum,
ruang publik yang terkait pola tradisi ruang Jawa serta teori transformasi dengan
mempertimbangkan adanya pergeseran budaya, social, perilaku dan pola pikir. Antara
kaitan fenomena dan teori tersebut harus mengacu pada gap theory yang sudah
ditemukan, agar memberikan arah yang jelas kepada penelitian ini. Hal-hal yang terkait
tema tersebut akan dapat dilihat melalui fenomena diskrit transformasi nilai keruangan/
ruang yang terjadi pada ruang sakral ke profan di Alun-alun Surakarta yang masih kuat
dalam hal tradisi budaya Jawa.
Kajian secara empirik mengungkapkan bagaimana fenomena dari kondisi
eksisting ruang terbuka kawasan alun-alun (lor dan kidul Surakarta) melalui pola
mancapat. Hal ini meliputi permasalahan karakteristik pola ruang Jawa terkait Alun-alun
Surakarta sebagai ruang publik terbuka, penggunaan ruang sakral (privat) ke profan
(publik) menjadi publik-privat atau keduanya dan perilaku pemakai serta transformasi/
perubahan ruang sakral (privat) ke profan (publik).
21

1.10 Kerangka Penelitian

Gambar 1 - 6 . Kerangka Penelitian Sumber : (hasil olahan penulis 2017)

Kerangka penelitian adalah rancangan kerja penelitian yang melingkupi tata


urutan terkait dengan strategi dari alur penelitian yang akan dilakukan nantinya, secara
terstruktur dan berurutan. Menurut gambar 1.6. (kerangka penelitian) melingkupi tata
urutan: Background, Theories Mapping, Empiric, Gap Theory (yang didapatkan
mendasarkan pada mapping teori dan empirik), Problem Area (sesuai dengan bidang
keilmuan Arsitektur), Problem Finding (hasil konstruksi temuan dari Gap Theory), Problem
Statement (terhadap novelty dari teori/ kebaruan teori), Rumusan Masalah (teori dan
fenomena), Research Question (pertanyaan utama terkait transformasi ruang – sub sub
pertanyaan), View of Study. Sesuai Research Goals – Methode Research - Proposition
– Literature Review.

1.11 Keaslian Penelitian dan Kebaruan Penelitian


Ketika membuat mapping theories guna menjamin dari keaslian penelitian sebagai
hasil temuan dari kebaruan (novelty), maka perlu adanya searching study terhadap hasil
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Creswell, 2014). Penelusuran
penelitian juga dilakukan melalui searching study secara on line, yaitu penelitian terkait
transformasi terkait pola ruang di ruang publik serta tema-tema yang terkait dengan
penelitian yang berada pada area lokus (kedekatan lokus yang sama) yaitu dikawasan
Alun-alun Surakarta. Hal ini dimaksudkan guna mengetahui keaslian dan posisi penelitian
diantara yang ada kesatu-temaan satu lokus, serta dapat melihat korelasi diantara
22

penelitian-penelitian yang telah ada/ dilakukan oleh peneliti terdahulu. Kajian dilakukan
terhadap penelitian-penelitian dengan substansi tentang nilai ruang – ruang publik yang
umum dan berfilosofi budaya Jawa (nusantara). Selain itu juga dilakukan kajian-kajian
penelitian yang terkait objek keraton, terkait kota Surakarta. Kajian-kajian tersebut
dilakukan untuk dapat menentukan celah substansif terhadap penelitian yang belum ada
(belum pernah) dilakukan.
Memahami teori ruang publik (public space) berdasarkan pemetaan teori yang
sudah dilakukan dan ditemukan sebagian besar masih membicarakan hasil temuan-
temuan terhadap ruang publik hanya menyentuh pada kawasan yang bersifat umum
(profan) saja, seperti: perumahan (Setioko, 2010; Wardhani, 2015), permukiman, plasa
(Amin, 2008; Subagio, 2006), lapangan terbuka/ alun-alun (Alstad, 2013; Dharmawan,
2005; Ghavampour et al., 2016; Iswanto, 2006; Madanipour, 2005b; Picon, 2008a;
Rukayah, 2010; R. G. Sunaryo et al., 2015; Wibowo et al., 2015a; Winansih, 2010), taman
kota (Kusliansyah, 2014), koridor jalan (Ardiansari, Erisa; Ernawati, Jenny; nugroho, 2015)
dan mall (Prastyatama, 2015).
Ruang publik terkait heritage (Baskara, 2012a; Damayanti, 2004; Handinoto,
1992; Indra Riztyawan et al., 2015; Martokusumo, 2008a, 2011; Nugroho, 2011; Pettricia
& Wardhani, 2014; Prayudi, 2011; Putra, 2016; Rahman, 2015a; Russell, 2011; Savarro,
2014; Sesunan, 2014).
Ruang publik terkait tradisi Jawa (Dwiananto A, 2003; Hilman, 2015; Miranto,
2016; Nitisudarmo, 2009; Priyatmono, 2013; J. Santoso, 2008a; R. G. Sunaryo et al.,
2015; Sutrisno, Mohammad, 2014; Widiyastuti, 2013; Widyawati, 2017b).
Beberapa topik penelitian tentang ruang publik pada ruang perkotaan, seringkali
dijadikan studi kasus dan mendapat beberapa amatan dari beberapa penelitian. Pada
ruang publik dapat berupa ruang umum tertutup maupun ruang publik terbuka. Peran
ruang publik kota dapat menjadi katalisator kegiatan-kegiatan sosial-rekreasi-budaya
warga kota kota (R. G. Sunaryo et al., 2015). Dan juga sebagai penyediaan ruang publik
kota sesuai dengan kebutuhan tingkat sosial masyarakat (Dharmawan, 2005). Ruang
publik memiliki citra afektif dan fokus kognitif yang terkait dengan aspek tingkah laku
(Ghavampour et al., 2016). Ruang publik sebagai pusat interaksi, tempat usaha bagi
pedagang kaki lima, paru-paru kota, dimana secara esensial harus memiliki karakter
sebagai ruang publik yang meaningful-responsive-democratic (Iswanto, 2006). Sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa arsitektur dan ruang publik seringkali
memiliki hubungan dekat dengan ancaman dan kekerasan (secara budaya dan politik),
23

sehingga dikatakan pula selalu memiliki hubungan kedekatan (relasi sosial) dengan
wilayah budaya dan politik (Picon, 2008b). Hasil penelitian bahwa didalam menangani
ruang publik urban heritage terkait sekali dengan akses kesejarahan, sosial-kultural,
keilmuan, poltik dan ekologis (Baskara, 2012b). Penanganan ruang publik heritage perlu
adanya sistem manajemen untuk menangani kepentingan yang saling bertentangan di
daerah perkotaan yang memiliki aset nila-nilai bersejarah (Martokusumo, 2008b).
Keberadaan terhadap faktor manusia/human factor, gubahan fisik/physical setting dan
aktivitas/ activities; selalu ada kaitan terhadap manusia, gubahan fisik dan aktivitas dalam
urban heritage (Sesunan, 2014). Penelitian ruang publik terkait tradisi budaya Jawa,
melihat keterpaduan konsep profan dan sakral dapat dapat dijumpai pada tata ruang kota
Surakarta, yaitu terdapat sebuah jalan yang lurus dan lebar memanjang dari timur ke barat
membagi kota Surakarta menjadi dua bagian, bagian utara yang profan dan bagian
selatan yang sakral, kawasan kompleks keraton masuk ke dalam bagian kota selatan
yang sakral (J. Santoso, 2008a). Adanya kerelaan dari pihak keraton untuk memberikan
halamannya kepada rakyat adalah faktor utama terpenting sebagai upaya terbentuknya
ruang publik di alun-alun (Widyawati, 2017a). Sedangkan sejalan dengan terjadi ke-tidak
stabilan budaya, politik dan ekonomi, maka selalu dibuat dan berlanjut untuk menuju
keberbedaan terhadap penggunaan ruang publik (Dwiananto A, 2003; Widiastuti, 2013a).
Terkait tentang peningkatan kualitas lingkungan fisik, yaitu: 1. Aktivitas dalam ruang dan
mengatur sistem keterhubungan (linkage); 2. Meningkatkan kondisi komponen-komponen
perancangan dengan menghadirkan kembali citra dan identitas alun-alun sebagai bagian
dari keraton.
Transformasi pada kawasan seringkali terjadi bersamaan dengan suatu
perubahan sosial yang mengikuti atau mempengaruhinya. Transformasi adalah
perubahan mendasar dari satu keadaan yg membutuhkan pergeseran budaya, perilaku
dan pola pikir (Poutiatine, 2009). Transformasi salah satunya disebabkan oleh faktor
budaya sebagai sistem nilai yang terlihat pada gaya hidup masyarakat yg mencerminkan
status, kekuasaan dan kekayaan(Rossy, 1982). Pada umumnya transformasi dimotivasi
oleh kelangsungan hidup, oleh kesadaran bahwa segala sesuatu perlu mengubah diri,
dan secara signifikans dalam pola pikir diperlukan untuk berubah yang lebih baik.
Transformasi bukan hanya merubah atau memperbaiki jika ingin menciptakan masa
depan yang layak (Dazko, 2005). Akan tetapi juga dengan adanya sebuah proses
perubahan yg terjadi pada suatu struktur ruang kawasan antara lain ditentukan oleh
sistem ideologi, aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung
24

didalamnya (Granham, 1985). Transformasi juga mampu mencerminkan tatanan sosial,


ekonomi, dan fisik penghuni (Makachia, 2011) dan transformasi dapat terjadi pada tiga
tatanan: tatanan fisik, tatanan teritorial, dan tatanan budaya (Habraken, 1998). Dipahami
bahwa transformasi tatanan fisik sebagai perubahan yang terjadi pada elemen pembentuk
kawasan lingkungan binaan yang disebut kelas nominal (nominal classes), dari level
terendah yaitu peralatan (utensils) hingga pada level tertinggi yaitu jalur utama (major
arteries). Bahwa transformasi berlaku pada elemen-elemen pembentuk kawasan Alun-
alun Keraton Surakarta tersebut adalah elemen-elemen yang ada pada tatanan fisik
kawasan tersebut.
Pada beberapa teori terkait transformasi yang mengacu pada perubahan yang
mendasar dari satu keadaan dan yang membutuhkan pergeseran budaya, aspek perilaku,
berdasarkan tradisi, ekonomi-sosial-fisik, serta territorial – budaya (poutiatine 2009;
Dazko 2005; Makachia 2011; Habraken 1998) selalu menunjukkan hal-hal yang terkait
dengan kondisi yang profan dan belum menyinggung hal-hal yang sakral. Sehingga
melalui teori Eliade (Eliade 1959) yang mengatakan bahwa dua bagian spasial yang
berbeda, yaitu: bagian inti yang sakral dan bagian luar yang profan, yang secara jelas
memisahkan dalam ruang yang memiliki tatanan spasial, wilayah suci dan wilayah yang
dianggap umum/ tidak suci/ najis (profan). Menanggapi hal ini, temuan teori lokal melalui
Tandha Sebagai Basis Transformasi Ruang dari Sakral ke Profan pada Alun-alun
Surakarta mencoba memberikan jawabannya. Sebagaimana keberadaan alun-alun
sebagai tatanan spasial kota tradisional Jawa yang dilambangkan sebagai pusat jagad
raya dan sekitarnya merupakan komponen inti kehidupan masyarakat seperti pusat
pemerintahan dan masjid Agung. Alun-alun sebagai ruang publik kota yang berfungsi
menjadi wadah kegiatan masyarakat seperti kegiatan ekonomi, social dan budaya ruang
publik, alun-alun juga sebagai halaman yang luas sebagai tempat latihan perang dan
belajar baris prajurit, serta alun-alun ada dua yakni sebelah utara kedaton dan sebelah
selatan (Moerdjoko 2005, Ruwaidah 2012, Sajid 1984).
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, pada teori –teori tentang transformasi
barat lebih pada hal-hal yang tangible (kongkrit) maka novelty dari penelitian ini adalah
menggali teori lokal yang lebih kepada hal-hal yangl intangible (abstrak) yang terkait
tempat (place) melalui teori tandha sebagai basis transformasi ruang dari sakral ke profan
di Alun-alun Surakarta. Harapannya, mampu dalam mengungkapkan jelas bagaimana
transformasi keruangan di alun-alun Surakarta dengan nilai-nilai sifat keruangan sakral ke
profan. Ketika hasil telusur beberapa teori transformasi yang ada hanya terbatas hanya
25

menjelaskan yang bersifat ruang profan saja, maka secara explisit belum ada yang
menjelaskan transformasi ruang yang menjelaskan perubahan pada hal-hal yang
intangible (abstrak) ruang dari sakral ke profan. Yang terkait ruang publik pada kota yang
masih memiliki kekuatan dalam tradisi budaya Jawa. Secara teori lokal ‘Tandha’ Sebagai
Basis Transformasi Ruang dari Sakral ke Profan Pada Alun-alun Surakarta akan dapat
menjadi teori lokal yang mampu memberikan nilai keruangan yang bersifat sakral-profan
khususnya pada keruangan publik di alun-alun.
Ketika tempat (place) dapat dikatakan sebagai integrasi antara ruang dan
kebudayaan manusia dan merupakan keterpaduan totalitas dari berbagai unsur,
substansi bentuk, tekstur, warna yang berpadu dengan manusia, budaya, sejarah serta
lingkungan alam (Rapoport, 1977), tempat (place) dikatakan pula sebagai ruang social
(Tuan, 1977b), dan ruang juga memiliki beberapa elemen yang dikatakan sebagai:
Elemen fixed / elemen permanen, Semi fixed /elemen semi permanen/ perabot yang dapat
berpindah, Non-fixed /elemen yg keberadaannya tidak tetap (Hall, 1966).
26

Ruang sakral sbg makna & fungsi yg INTANGIBLE


melampaui obyektifnya dari suatu tempat
(Elliade : 2002)

Place: Ruang sebagai:


• Place sebagai ruang • Elemen fixed / elemen
social Tuan (2008) permanen)
• Place sebagai ruang • Semi fixed /elemen semi
dan kebudayaan permanen/ perabot yang
manusia (Rapport dpt berpindah
1977) • Non-fixed /elemen yg
keberadaannya tidak
tetap (Hall 1966)

Gambar 1 - 7 . Posisi Letak Penelitian Sumber: hasil analisis


27

1.12 Sistematika Penulisan

Laporan disertasi ini terbagi dalam tujuh bagian. Bagian Pendahuluan merupakan
bagian awal (pertama), yang meliputi latar belakang, rumusan masalah penelitian yang
berisi problem area-problem finding-problem statement dan pertanyaan penelitian, tujuan
dan sasaran penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, kerangka penelitian,
keaslian dan kebaruan penelitian yang mengungkapkan posisi penelitian terhadap
penelitian lain yang sejenis dan mirip dilakukan oleh peneli sebelumnya, serta sistematika
dari pembahasan.
Bagian kedua merupakan kajian teoritik Alun-alun kota Tradisional Jawa yang
berisi kajian literature yang mendasari terbentuknya landasan teori yaitu teori-teori ruang
publik sebagai space dan place, transformasi terhadap nilai keruangan, ruang sakral dan
profan. Kajian teoritik disini akan menjadi background knowledge peneliti, tetapi tidak
dipergunakan pada saat studi di lapangan, karena melalui metoda penelitian kualitatif
dalam tahapannya menggunakan prosedur sistematis guna membangunan teori
substantive dari suatu fenomena (mendasarkan grounded research); sehingga dalam
menyusun proposisi yang terkait fenomena disusun secara induktif.
Bagian ketiga menjelaskan tentang metode penelitian kualitatif (Strauss & Corbin,
2015) yang memaknai grounded research (Barney, Glaser and Strauss, 1967) sebagai
metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna
membangun teori substantive tentang suatu fenomena yang disusun secara induktif
(Barney, Glaser and Strauss, 1967; Setioko, 2011). Sehingga dalam tahapan yang
bersifat induktif memerlukan pemaknaan didalam prosesnya. Fenomena secara empiris
mendasari teorisasi data didalam seting alamiah seperti dalam dunia nyata merupakan
kekhasan model grounded theory. Dan beberapa ciri penelitian kualitatif, yaitu:
[1] Penelitian kulitatif tidak memakai kerangka teoritik sebagai langkal awal persiapannya,
agar dapat menghasilkan penelitian yang natural; [2] Penelitian kualitatif tidak terikat oleh
hipotesis yang muncul mendahului kerangka teoritiknya, karena berangkat dari pikiran
yang open minded bukan empty minded sebagai keberlanjutan membangun konsep dan
ke proposisi; [3] Penelitian kualitatif tidak menentukan variable, maupun mengukurnya
ataupun mengkuantifikasikanya; [4] Penelitian kualitatif menuntut bersatunya antara
subyek penelitian dan obyek penelitiannya (Setioko, 2011).
Bagian ke keempat merupakan penjabaran data dan analisis trnsformasi keruangan
pada Alun-alun Surakarta, yang berisi penjelasan tentang penggambaran perkembangan
28

singkat lokasi penelitian terkait kondisi visual Alun-alun, analisis sifat keruangan terkait
kondisi non fisik pada kawasan Alun-alun Surakarta (Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul).
Bagian kelima adalah analisis Konsep dan Kategorisasi transformasi keruangan
pada Alun-alun Surakarta. Temuan yang mengungkapkan fenomena diskrit keruangan
pada Alun-alun Surakarta dari ruang terbuka inti (RTI), dari Ruang Terbuka Antara (RTA),
dan dari Ruang Terbuka Inti disaling silangkan untuk mendapatkan konsep lokal dengan
pengkodean berporos, melalui matriks konseptualisasi, untuk menemukan rumusan
konsepsi, agar dapat dilanjutkan ke kategorisasi konsep (pengkodean berpilih) sehingga
mampu di buat alur ceritanya untuk disusun menjadi matriks kategorisasi. Sehingga
selanjutnya dianalisis menjadi kategori inti agar dapat diwujudkan menjadi proposisi dan
medapatkan hasil induksi nya.
Bagian enam adalah merupakan hasil proses bangun teori transformasi dengan
pelabelan sebagai teori Tandha sebagai basis transformasi ruang sakral ke profan pada
Alun-alun Surakarta dengan memakai analisis dari Pengetahuan Awal (tataran
permukaan), Pengetahuan Tengah, dan Pengetahuan Inti. Sehingga analisi tersebut
mampu mengungkapkan bangun teori untuk dapat dilanjutkan kearah keberlanjutan teori
(proyeksi/ prediksi teori). Dan mendialogkan teori Tandha terhadap pengetahuan
transformasi keruangan sakral ke profan yang ajeg, pangayoman, dan pelipuran dalam
konteks keruangan di Alun-alun Surakarta.
Bagian ketujuh mengenai kesimpulan dan saran yang berisi ringkasan temuan,
kontribusi teoritik, konstribusi praksis, saran dan sumbangan terhadap penelitian lanjutan,
serta pengembangan pengkayaan/ modifikasi teori tandha berbasis transformasi ruang
sakral ke profan pada Alun-alun Surakarta.
BAB II
KISI KISI TEORI

2.1 Kota Tradisional Jawa – Surakarta


Kota tradisional Jawa adalah kota yang perencanaannya dilakukan oleh seorang penguasa
tertinggi, yakni raja ataupun adipati (Tjandrasasmita, 1976). Pola tata kota tradisional Jawa dapat
dikenali dengan melihat denah kota yang mempunyai ciri khas, yaitu di pusat kota terdapat
keraton, alun-alun, bangunan-bangunan yang didirikan secara tradisional dan jalan-jalan yang
berpotongan membentuk bujur sangkar. Di samping itu aspek kebudayaan Jawa meletakkan raja
sebagai mitos yang harus dijaga dan berada dipusat lingkaran konsentris kerajaan Jawa
(Soemardjan, 1981). Keraton selain berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan para bangsawan
juga di gunakan sebagai pusat pemerintahan sehingga letaknya harus berada di pusat kota
tradisional Jawa.
Kota Surakarta atau kota Solo merupakan kota yang sarat dengan nuansa sejarah dan
budaya, sehingga sangat memilki tradisi Jawa yang unik dan patut dibanggakan oleh
masyakatnya. Kota Surakarta adalah kota kuno yang dibangun Paku Buwana II dan riwayat kota
ini tidak bisa lepas dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan
penerus Kerajaan Mataram Islam. Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu pusat dan inti dari
kebudayaan Jawa kuno karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan
pengembangan tradisi Jawa (Rahman, 2015b).
Kemakmuran wilayah kerajaan Jawa ini sejak abad ke-19 telah mendorong berkembangnya
berbagai literatur berbahasa Jawa, tarian, makanan, pakaian, arsitektur, dan beragam hasil
budaya indah lainnya.

2.2 Teori Ruang Publik


2.2.1 Ruang Publik
Public space (ruang publik) mampu diperlunak dengan deskripsi ruang dan aktivitas
dan fungsi pengguna yang berkolaborasi dengan ruang, yangmana hasilnya
menunjukkan penggunaan ruang publik berasal dari citra afektif dan fokus kognitif yang
dibingkai oleh aspek antisipasi tingkah laku (Ghavampour et al., 2016). Pemahaman citra
affective: analisis (kajian ruang), evaluasi, dicision (keputusan) tentang space; dan citra
cognitive: legibility (keterbatasan) obvious arrangement, clear structure, meaningfullness

29
30

(keberanian), identity hold a special character for person. Alun-alun sebagai ruang terbuka
publik di perkotaan memiliki nilai historis yang sangat kuat dalam sejarah perkembangan
kota. Alun-alun menjadi salah satu ruang terbuka dengan ciri fisik dari sistem perkotaan
dari kota administratif, yang sangat berbeda dengan kota pelabuhan. Perkembangan
alun-alun Kota Bandung mempengaruhi fungsi dan makna yang terdapat didalamnya
berangkat dari fenomena tersebut dapat dilihat adanya transformasi fungsi ruang alun-
alun Kota Bandung dari masa ke masa (Wibowo et al., 2015b). Ketika, keberadaan ruang
publik di tengah pusat kota, maka alun-alun menjadi tempat yang memiliki simbol
kewibawaan, kekuasaan pemerintahan, dan pusat kebudayaan kota Bandung pada
zamannya.
Menurut penelitian tentang identifikasi kualitas penggunaan ruang terbuka publik pada
perumahan di kota Bandung mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan penyediaan
ruang terbuka publik pada kelas perumahan yang sama oleh pengembang berbeda dan
tidak tersedianya ruang terbuka publik yang layak di perumahan menyebabkan
pemanfaatan jalan sebagai interaksi warga. Index kualitas ruang yang diperoleh dari
penelitian pada perumahan tersebut menunjukan cukup baiknya penggunaan ruang
terbuka publik (Wardhani, 2015)
Seputar penelitian (R. G. Sunaryo et al., 2015) bahwa peran ruang publik kota menjadi
katalisator kegiatan-kegiatan sosial-rekreasi-budaya warga kota. Ruang publik kota
sebagai ruang konsensus warga kota merupakan indikator sejauh mana proses
transformasi konsepsi urbanitas warga kota terbentuk. Lebih lanjut, ruang publik kota
merupakan katalis dalam pembentukan konsepsi urbanitas yang setara di seluruh warga
kota dan menjadi bekal utama kota bertransformasi menuju nilai-nilai baru.
Pergeseran kegiatan pada koridor jalan yang seharusnya dilakukan di ruang privat,
namun penggunaan dilakukan di ruang publik, sehingga pemanfaatkan dari koridor jalan
kampung sebagai batas antara ruang privat dan ruang publik, diantaranya sebagai:
kegiatan ekonomi/ bisnis, kegiatan parkir kendaraan, kegiatan berwudhu/ mencuci
menjadi pilihan. Hasil berupa penataan setting fisik koridor jalan yang berpengaruh pada
aktifitas sehari-hari (Ardiansari, Erisa; Ernawati, Jenny; nugroho, 2015).
Menurut penelitian tentang Public Space, Public Discourse, and Public Libraries ,
bahwa proyek untuk ruang publik telah mengidentifikasikan empat kualitas utama di ruang
publik yang sukses (Alstad, 2013) , yaitu:
1) Accesible;
2) People are engaged in activities;
3) Comfortable and has a good image;
31

4) Sociable place.
Penelitian yang telah dilakukan bahwa teori Interaksi kolaboratif ruang perkotaan di
kawasan pinggiran, dengan tiga faktor utama terwujudnya interaksi kolaboratif antara
permukiman terrencana, tak ter-rencana dan otonom, yaitu perilaku pelaku ruang, setting
ruang dan kesalingtergantungan antar pelaku ruang. Interaksi kolaboratif dapat
berlangsung apabalia dipenuhinya tiga syarat: toleransi, konsensus dan kekerabatan
(Setioko, 2010).
Menurut penelitian tentang simbiosis di ruang terbuka kota di Simpang Lima Kota
Semarang berhasil menemukan bahwa simbiosis di ruang terbuka kota yang membentuk
bejana berhubungan sehingga menjadikan ruang terbuka sebagai publik bazaar, kembali
pada gejala kedepan di ruang terbuka masa lalu (Rukayah, 2010). Sedangkan, perubahan
ruang terbuka pusat kota yang berkelanjutan di Indonesia, yang dipahami awal dari yang
bersifat kultural menjadi komersial dalam bentuk mal dan pusat perbelanjaan, dikatakan
bahwa ruang publik ditingkat urban yang memungkinkan adanya relasi sosial tersebut,
dapat berbentuk ruang terbuka, taman atau plasa, ataupun mall (ruang tertutup) yang kini
makin semarak berfungsi sebagai tempat pertemuan (Subagio, 2006). Pengamatan relasi
informal antar manusia dalam ruang publik dapat dialami sebagai studi penyadaran
eksistensi kemanusiaan yang kesemuanya itu dapat mentranformasikan hidup kita.
Merujuk kepada penelitian terdahulu (Prastyatama, 2015) bahwa mall sebagai ruang
publik yang menjadi simbol “kemajuan”, dan “modernitas” (komoditas/ ekonomi).
Hal terkait didalam merencanakan dan merancang ruang publik dengan
menggunakan estetika simbolis – sensori akan dapat memberi arahan yang signifikan
bagi perancang untuk lebih arif dan bijaksana terhadap lingkungan binaan (Winansih,
2010). Estetika simbolis dan sensori ruang publik sangat berkaitan dengan estetika
formal, yang secara fisik menuntut tatanan tertentu/ estetis secara formal/ visual. Secara
pandangan, bahwa arsitektur dan ruang publik seringkali memiliki hubungan dekat
dengan ancaman dan kekerasan, dan hubungan ini pada momen sejarah tertentu tidak
hanya berkaitan dengan domain khusus infrastruktur militer dan arsitektur. Arsitektur
seperti public space seringkali tertutup dengan tantangan dan kekerasan (Picon, 2008a).
Mengembangkan akun post-humanis ruang publik perkotaan merupakan terobosan
dengan tradisi panjang yang telah menemukan budaya dan politik ruang publik seperti
jalanan dan taman atau perpustakaan dan balai kota dalam kualitas hubungan antar
pribadi di ruang-ruang tersebut (Amin, 2008). Sebaliknya, ia berpendapat bahwa dinamika
manusia di ruang publik dipengaruhi secara sentral oleh belitan dan peredaran tubuh dan
32

materi manusia dan non-manusia pada umumnya, menghasilkan budaya material yang
membentuk semacam kerangka pra-kognitif untuk perilaku kewarganegaraan dan politik.
Makalah ini membahas gagasan 'surplus yang ada', yang terwujud dalam berbagai
dimensi kepatuhan, sebagai kekuatan yang menghasilkan rasa khas budaya kolektif
perkotaan dan penegasan kewarganegaraan dalam kehidupan perkotaan. Dalam hal ini ,
kota menjadi ekologi dari surplus yang hanya bisa menghasilkan politik yang kuat, dengan
tabrakan badan di ruang publik dikurangi menjadi permainan perampasan milik bersama.
Hasil di lapangan, bagaimanapun, adalah masalah konteks, dibentuk oleh dinamika
material dan warisan sejarah dari ruang publik individu.
Ruang publik pada dasarnya adalah ruang kosong yang sangat berguna, dengan
kekosongan dapat memuat berbagai aktivitas didalamnya. Ruang publik secara umum
terdapat beberapa fungsi yang diantaranya sebagai; - pusat interaksi, ruang terbuka yang
menampung koridor-koridor jalan yang mengikat dalam struktur ruang kota, tempat usaha
bagi pedagang kaki lima, paru-paru kota, secara esensial harus meaningful-responsive-
democratic (Iswanto, 2006).
Dikatakan bahwa ruang publik adalah tempat banyak penduduk perkotaan memiliki
kepentingan yang sah. Jika proses musyawarah tentang skema ruang publik dapat
mencakup suara sebanyak mungkin penduduk dan stakesholder lainnya. Ruang urban
sering dianalisis dalam hal dikotomi terbatas, menafsirkannya sebagai fisik atau sosial,
sebagai ruang atau tempat abstrak atau relasional, temporal atau spasial, dari sudut
pandang individu atau masyarakat (Madanipour, 2005a).
Ruang publik kota merupakan kebutuhan penting masyarakat yang dapat
meningkatkan kualitas ruang kota (Dharmawan, 2005). Sehingga, dapat dikatakan pula
bahwa penyediaan ruang publik kota harus sesuai dengan kebutuhan tingkat sosial
masyarakat. Terkait kebutuhan yang menjadi salah satu kendala dihadapi kota Bandung
adalah kekurangan arena ruang publik alami, yang dapat menyediakan wadah kegiatan
refreshing bagi warga kota maupun pendatang; sekaligus bermanfaat untuk membangun
wawasan tentang lingkungan alam (Kusliansyah, 2014). Hasil analisa menunjukkan
bahwa Kolam Pakar dapat diadaptasi, dan adaptasi tersebut harus tetap mengacu pada
peraturan yang berlaku agar nilai-nilai penting yang ada di dalam Kolam Pakar tidak hilang
akibat adaptasi yang dilakukan. Peraturan yang digunakan sebagai acuan adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
33

Tabel. 2.1
Penelitian Tentang Public Space Yang Pernah Dilakukan:
No. Judul Penelitian Peneliti Unit Kajian Hasil Metoda Keterangan
Penelitian Publikasi/ Tahun/
Hal.
1 Theory of Place in Ensiyeh Ruang publik diperlunak dengan Kuantitatif www.sustasis.net/Gha
Public Space Ghavampour, deskripsi ruang dan aktivitas dan Kualitatif vampour-Vale-
Brenda Vale & fungsi pengguna yang Aguila2.pdf, download
Mark Del Aguila berkolaborasi dengan ruang 25-04-2017
Hasilnya menunjukkan
Penggunaan ruang publik
berasal dari citra afektif dan
fokus kognitif yang dibingkai oleh
antisipasi tingkah laku

Affective: analisis (kajian


ruang), evaluasi, dicision
(kebijakan) ttg Space.

Cognitive: legibility
(keterbatasan) obvious
arrangement, clear structure,
meaningfullness (keberanian),
identity hold a special character
for person.

2 Persepsi Heru Wibowo, Alun-alun sebagai ruang terbuka Deskriptif Ejournal Undip
Masyarakat R. Siti Rukayah, publik di perkotaan memiliki nilai Kuantitatif TEKNIK, Vol. 36 (1)/
Terhadap alun-Alun Atiek Suprapti historis yang sangat kuat dalam 2015/ pp. 10-16
Kota Bandung sejarah perkembangan kota. Dan
Sebagai Ruang alun-alun menjadi salah satu
Terbuka Publik ruang terbuka dengan ciri fisik dari
sistem perkotaan dari kota
administratif, yang sangat berbeda
dengan kota pelabuhan

- Bandung merupakan
sebuah kota yang
strategis yang memiliki
nilai sejarah yang cukup
panjang dalam masa
perjuangan. Alun-alun
Bandung merupakan
hasil warisan ciri kota
tradisional yang
dibangun oleh
penguasa kolonial
yang merupakan pusat
ruang terbuka kota

- Perkembangan Alun-
alun Kota Bandung
mempengaruhi fungsi
dan makna yang
terdapat didalamnya
Berangkat dari
fenomena tersebut
dapat dilihat adanya
transformasi fungsi
ruang Alun-alun Kota
Bandung dari masa ke
masa.

- Alun-alun Bandung
sendiri dibangun tahun
1811 setelah
pemindahan Krapyak
34

(Dayeuh Kolot/ Kota


Tua) ke daerah
Cikapundung (nama
sebuah sungai) yang
sebelumnya difungsikan
untuk membendung
serangan tentara
Inggris. Sebagai ruang
publik di tengah pusat
kota, alun-alun
menjadi tempat
dimana memiliki
simbol kewibawaan,
kekuasaan
pemerintahan, dan
pusat kebudayaan
Kota bandung pada
zamannya.

- Pada zaman pasca


kemerdekaan antar
alun-alun, rumah
bupati dan mesjid
memiliki konsep
keselarasan yang jelas
yaitu konsep
microcosmos dan
‘macrocosmos’.

3 Identifikasi Kualitas Saraswati T. Hasil penetian ; Terdapat Deskriptif Prosiding Sem Nas
Penggunaan Ruang Wardhani, Devi perbedaan penyediaan ruang Kualitatif IPLBI/ 2015/ pp. B 021
Terbuka Publik Hanurwani, terbuka publik pada kelas
Pada Perumahan di Nurhijrah, perumahan yang sama oleh
Kota Bandung Ridwan pengembang berbeda; tidak
tersedianyanya ruang terbuka
publik yang layak di perumahan
menyebabkan pemanfaatan jalan
sebagai interaksi warga

Index kualitas ruang yang


diperoleh dari penelitian pada
perumahan tersebut menunjukan
cukup baiknya penggunaan
ruang terbuka publik.
Sementara ruang terbuka publik
di perumahan Puri Dago telah
tersedia sesuai siteplan yang
yang ada. Kualitas ruang publik
berupa plaza, taman bermain,
dan lapangan tenis di
perumahan tersebut dinilai cukup
baik.

4 Posisi Ruang Publik Rony Gunawan Ruang publik kota sebagai ruang Deskriptif https://www.researchg
dalam Transformasi Sunaryo, Nindyo konsensus warga kota merupakan Kualitatif ate.net/publication/277
Konsepsi Urbanitas Suwarno, indikator sejauh mana proses 200468_Posisi_Ruang
Kota Indonesia Ikaputra, Bakti transformasi konsepsi urbanitas _Publik_dalam_Transf
Setiawan warga kota terbentuk. Lebih lanjut, ormasi_Konsepsi_Urb
ruang publik kota merupakan anitas_Kota_Indonesi
katalis dalam pembentukan a, available Juli 18,
konsepsi urbanitas yang setara di 2015
seluruh warga kota dan menjadi
bekal utama kota bertransformasi
menuju nilai-nilai baru

Peran ruang publik kota menjadi


katalisator kegiatan-kegiatan
sosial-rekreasi-budaya warga kota
5 Faktor Penentu Erisa Ardiansari, Pergeseran kegiatan pada koridor Deskriptif Jurnal RUAS, Vol. 13
Setting Fisik Dalam Jenny Ernawati, jalan yang seharusnya dilakukan Kualitatif No. 2/ Desember
35

Beraktifitas Di Agung Murti di ruang privat, namun 2015, ISSN: 1693-


Koridor Jalan Nugroho penggunaan dilakukan di ruang 3702
Sebagai Ruang publik
Publik
Pemanfaatkan koridor jalan
kampung sebagai batas antara
ruang privat dan ruang publik,
diantaranya sebagai: kegiatan
ekonomi/ bisnis, kegiatan parkir
kendaraan, kegiatan berwudhu/
mencuci

Hasil berupa penataan setting


fisik koridor jalan yang
berpengaruh pada aktifitas sehari-
hari
6 Public Space, Public Colleen Alstad & Proyek untuk ruang publik telah Deskriptif www.libres-
Discourse, and Ann Curry mengidentifikasikan empat Kualitatif ejournal.info/wp-
Public Libraries kualitas utama di ruang publik content/uploads/2014/
yang sukses, yaitu: 06/Vol13_I1_pub_spa
ce.pdf
1) -It is accesible:
2) -People are engaged in
activities:
3) -It is comfortable and has a
good image:
4) -It is a sociable place:

7 Ruang Adaptasi Di Arief Rahman Teori Ruang adaptasi kawasan Kualitatif Disertasi PDTAP PPS
Kawasan konservasi kota berbasis ruang Fenomenolo UNDIP/ 2013
Konservasi Braga asimilasi adaptasi kawasan gis
Kota Bandung konservasi kota berbasis ruang
simbiosis; dan adaptasi kawasan
konservasi kota berbasis ruang
kreatif

Ketika sebuah lingkungan


kawasan konservasi dihadapkan
pada situasi padat dan
berkembang pesat, yang dapat
dipersepsikan sebagai situasi
yang mengancam eksistensinya,
maka manusia sebagai pelaku
ruang dan sebagai pemakai ruang
kota tersebut melakukan proses
penyesuaian (adaptasi).
8 Simbiosis Di Ruang R. Siti Rukayah Simbiosis di ruang terbuka kota Phenomenol Disertasi PDTAP PPS
Terbuka Kota Di yang membentuk bejana ogi UNDIP /2010
Simpang Lima Kota berhubungan sehingga Interpretik
Semarang menjadikan ruang terbuka sebagai
publik bazaar, kembali pada gejala
pkan di ruang terbuka masa lalu

perubahan ruang terbuka pusat


kota yang berkelanjutan di
Indonesia, dari semula bersifat
kultural menjadi komersial dalam
bentuk mal dan pusat
perbelanjaan

9 Integrasi Ruang Bambang Teori Interaksi Kolaboratif Ruang Kualitatif Disertasi PDTAP PPS
Perkotaan Di Setioko Perkotaan di Kawasan Pinggiran, (grounded UNDIP /2010
Kelurahan Meteseh dengan tiga faktor utama theory)
Kawasan Pinggiran terwujudnya interaksi kolaboratif
Kota Semarang antara permukiman terrencana,
tak ter-rencana dan otonom, yaitu
perilaku pelaku ruang, setting
ruang dan kesalingtergantungan
antar pelaku ruang
36

Interaksi kolaboratif dapat


berlangsung apabalia dipenuhinya
tiga syarat: toleransi, konsensus
dan kekerabatan
10 Estetika Simbolis – Erna Winansih Didalam merencanakan dan Kualitatif Jurnal Lokal Wisdom,
Sensori Pada Ruang merancang ruang publik dengan Partisipatif Vol. II No. 3/ 2010/ pp.
Publik Di Alun-Alun menggunakan estetika simbolis – 28-26, ISSN: 2086-
Malang sensori akan dapat memberi 3764
arahan yang signifikan bagi
perancang untuk lebih arif dan
bijaksana terhadap lingkungan
binaan

Estetika simbolis dan sensori


ruang publik sangat berkaitan
dengan estetika formal, yang
secara fisik menuntut tatanan
tertentu/ estetis secara formal/
visual
11 Architecture and Antoine Picon Sebuah tur yang cepat di masa Kualitatif Journal of
Public Space lalu yang jauh lebih jauh Architectural
Between menunjukkan bahwa Education/ 2008/ pp 6-
Reassurance and Arsitektur dan ruang publik 12
Threat seringkali memiliki hubungan
dekat dengan ancaman dan
kekerasan, dan hubungan ini pada
momen sejarah tertentu tidak
hanya berkaitan dengan domain
khusus infrastruktur militer dan
arsitektur.

Arsitektur seperti publik space


seringkali tertutup dengan
tantangan dan kekerasan

Di negara-negara seperti
Prancis dan Amerika Serikat,
wacana di ruang publik sering
kali dipenuhi dengan gambar
agora damai dan piazza Italia
yang beradab dengan anggun
seolah-olah model ini adalah
tengara yang tak tertandingi
yang menyiratkan, jika tidak
memastikan, hubungan
harmonis antara warga negara.
Bahkan rekonstruksi kota
seperti Beirut telah diberikan ke
dalam citra ini.

12 Collective Culture Ash Amin Makalah ini mengembangkan Deskriptif http://www.tandfonline.


and Urban Public akun post-humanis ruang publik Kualitatif com/doi/full/10.1080/1
Space perkotaan. Terobosan dengan 3604810801933495:
tradisi panjang yang telah Journal
menemukan budaya dan politik City
ruang publik seperti jalanan dan analysis of urban
taman atau perpustakaan dan trends, culture, theory,
balai kota dalam kualitas policy, action
hubungan antar pribadi di ruang- Volume 12, 2008 -
ruang tersebut. Issue 1
Sebaliknya, ia berpendapat bahwa
dinamika manusia di ruang publik
dipengaruhi secara sentral oleh
belitan dan peredaran tubuh dan
materi manusia dan non-manusia
pada umumnya, menghasilkan
budaya material yang membentuk
semacam kerangka pra-kognitif
37

untuk perilaku kewarganegaraan


dan politik. Makalah ini membahas
gagasan 'surplus yang ada', yang
terwujud dalam berbagai dimensi
kepatuhan, sebagai kekuatan
yang menghasilkan rasa khas
budaya kolektif perkotaan dan
penegasan kewarganegaraan
dalam kehidupan perkotaan.

Dalam hal ini , kota menjadi


ekologi dari surplus yang hanya
bisa menghasilkan politik yang
kuat, dengan tabrakan badan di
ruang publik dikurangi menjadi
permainan perampasan milik
bersama

Hasil di lapangan, bagaimanapun,


adalah masalah konteks, dibentuk
oleh dinamika material dan
warisan sejarah dari ruang
publik individu

13 Kajian Ruang Publik Danoe Iswanto Ruang publik pada dasarnya Deskriptif Jurnal Ilmiah
Ditinjau Dari Segi ruang kosong yang sangat Kualitatif Perancangan Kota
Proporsi/ Skala Dan berguna, dengan kekosongan dan Permukiman,
Enclosure dapat memuat berbagai aktivitas ENCLOSURE Vol. 5
didalamnya. No. 2/ Juni 2006/ pp.
Ruang publik secara umum 74-81
terdapat beberapa fungsi yang
diantaranya sebagai; - pusat
interaksi, ruang terbuka yang
menampung koridor-koridor jalan
yang mengikat dalam struktur
ruang kota, tempat usaha bagi
pedagang kaki lima, paru-paru
kota, secara esensial harus
meaningful-responsive-
democratic.
14 Public Space of Ali Madanipour Ruang publik adalah tempat Dekriptif Noordisk Arkitektur
European Cities banyak penduduk perkotaan Kualitatif For Skining 2005
memiliki kepentingan yang sah.
Jika proses musyawarah tentang
skema ruang publik dapat
mencakup suara sebanyak
mungkin penduduk dan
stakesholder lainnya,

Ruang urban sering dianalisis


dalam hal dikotomi terbatas,
menafsirkannya sebagai fisik
atau sosial, sebagai ruang atau
tempat abstrak atau relasional,
temporal atau spasial, dari
sudut pandang individu atau
masyarakat
15 Ruang Publik Dan Edy Darmawan Ruang publik kota merupakan Deskriptif Prosiding Sem Nas
Kualitas Ruang Kota kebutuhan penting masyarakat Kualitatif PESAT /2005/ pp. A35
yang dapat meningkatkan kualitas
ruang kota

Penyediaan ruang publik kota


sesuai dengan kebutuhan
tingkat sosial masyarakat
38

16 ADAPTASI KOLAM Y. Karyadi kebutuhan yang menjadi salah Deskriptif Jurnal Arsitektur
PAKAR TAHURA Kusliansjah satu kendala dihadapi kota Analisi TATANAN/ Vol. 1/
IR. H. DJUANDA Bandung adalah Kualitatif 2014/
SEBAGAI ARENA kekurangan arena ruang publik http://journal.unpar.ac.
RUANG PUBLIK alami, yang dapat menyediakan id/index.php/rekayasa
KOTA BANDUNG wadah kegiatan refreshing bagi
warga kota maupun pendatang;
sekaligus bermanfaat untuk
membangun wawasan tentang
lingkungan alam

Hasil analisa menunjukkan bahwa


Kolam Pakar dapat diadaptasi.
Namun, adaptasi tersebut harus
tetap mengacu pada peraturan
yang berlaku supaya nilai-nilai
penting yang ada di dalam Kolam
Pakar tidak hilang akibat adaptasi
yang dilakukan. Peraturan yang
digunakan sebagai acuan adalah
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya
17 THE ROLE OF Rudiyanto Ruang Publik ditingkat Urban yang Deskriptif Jurnal MELINTAS,
PUBLIC Subagio memungkinkan kualitatif Vol. 22 No. 1/ 2006
SPACE IN relasi sosial tersebut, bisa http://journal.unpar.ac.
BUILDING berbentuk ruang terbuka, taman id/index.php
HUMANITY atau plasa, ataupun Mall (ruang /melintas/issue/view/1
tertutup) yang kini makin semarak 57
berfungsi sebagai tempat
pertemuan.

Pengamatan Relasi informal antar


manusia dalam Ruang Publik
dapat
dialami sebagai studi penyadaran
eksistensi kemanusiaan. Itu
mentranformasikan hidup kita
18 LOMBA MAL DI Budianastas Mall sebagai ruang publik yang Deskriptif Jurnal Arsitektur
BANDUNG Prastyatama menjadi simbol “kemajuan”,dan kualitatif TATANAN/ Vol. 4 No.
MENUJU “modernitas” (komoditas/ ekonomi) 1/ 2015/
KEMAJUAN ATAU http://journal.unpar.ac.
KEHANCURAN? id
/index.php/tatanan/iss
ue/view/255

Secara perkembangan ruang-ruang khususnya ruang kota sering dioperasionalisasikan


secara dikotomis, dengan maksud seperti ruang sakral (rumah ibadah, gereja, masjid, pura,
ruang sesaji), dan ruang profan (kedai minum, pasar, alun-alun), ruang privat (istana raja, rumah
tinggal) dan ruang publik (alun-alun, pasar); hingga surga dan neraka (Aliyah et al., 2015).
Hal pemahaman yang terkait bagaimana memproduksi ruang kota (Lefebvre, 1992)
bahwa ruang adalah produk sosial, yang mendasarkan pada nilai-nilai maupun pemaknaan
sosial. Kata lainnya, bahwa society (masyarakat) membentuk ruang dengan nilai-nilai dan
pemaknaan, sehingga produk sosial yang berupa ruang urban sangat fundamental untuk
mereproduksi masyarakat. Selanjutnya setiap masyarakat memiliki cara sendiri dalam
memproduksi ruan, dan ruang yang terjadi cocok dengan keadaan masyarakat tersebut.
39

Buku The production of Space (Lefebvre 1992) mengungkapkan bahwa ruang diproduksi
secara sosial (space is socially produced), sementara dalam ilmu arsitektur dan perkotaan kita
diproduksi secara keruangan (we are spatially produced). Hal tersebut dapat diartikan bahwa
ruang yang terbentuk oleh manusia dan kegiatan di dalamnya, sedangkan manusia dari
kegiatannya kemudian juga dibentuk oleh ruang tersebut. Jadi ruang tercipta menurut cara
kehidupan sosial kita tinggal didalamnya (lived space), dan kehidupan sosial tersebut
bersinggungan dengan aspek material fisik dari ruang yang terekam oleh indera kita (perceived
space) dan aspek-aspek non-material (mental) dari ruang yang terkonsepsi dalam pemikiran atau
benak (conceived space). Ruang diproduksi secara dinamis oleh hubungan timbal balik antara
representasi ruang (representations of space), representasional ruang (representational space),
dan praktik (practise) seiring (Lefebvre, 1992).
Gambaran ruang dimulai dari angan-angan, bayangan, dan gambaran masa depan yang
ideal. Hal tersebut merupakan apa yang kita rasakan atau perceived dan kemudian hal tersebut
dipresentasikan ke dalam ruang melalui gambar rencana, peta, model, dan desain. Ketiga unsur
tersebut saling berhubungan secara dinamis satu sama lain dalam ruang dan waktu.
Hubungannya dapat terbentuk dari angan-angan atau perceived (representational space),
kemudian diwujudkan atau conceived (sudah dialami) dalam suatu gambaran (representations of
space), dan diwujudkan secara nyata/ riil atau konkret dalam realitas kehidupan atau lived
(practice). Selain daripada itu, juga dapat terjadi sebaliknya, yaitu mengabstraksikan yang
riil/nyata/ konkret (practise), menjadi suatu gambaran representasi (representations of space) ,
dan kemudian menjadi sesuatu yang tidak terwujud dan hanya dapat dirasakan
(representationals of space). Peran antar ruang dan waktu tersebut menunjukkan bahwa suatu
perubahan hubungan tertentu atau kedinamisan hubungan tersebut (Lefebvre, 1992). Hal-hal
tersebut dapat diinterpretrasikan seperti dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.5
Produksi ruang dan Kedinamisan Hubungan
Sumber :(Lefebvre, 1992)

Practise Space Representations of Space Representational Space


Physical Space (nature) Mental Space (abstraction) Social Space (sensation/
action)
Percieved Conceived Lived
Daily routines align with routes Scientistc, planners, Inhabitants and usersd (artist
between places technocratic subdividers who just describe) – sebagai
(sebagai contoh salah satu (sebagai contoh yang terkait salah satu contoh yang terkait
aktivitas masyarakat dalam dengan perencanaan kota) dengan kekuatan nilai-nilai
pemenuhan kondisi budaya lokal
perekonomian)
40

Mengelompokkan ruang ke dalam empat pengertian, yaitu: ruang alamaiah (natural space),
ruang mutlak (absolute space), ruang abstrak (abstract space), dan ruang diferensial atau
differential space (Lefebvre, 1992). Ruang alamiah (natural space) adalah ruang yang sudah ada
dengan sendirinya atau sudah terbentuk secara hukum-hukum alam. Ruang mutlak (absolute
space) adalah ruang yang merupakan fenomena universal yang diciptakan oleh Tuhan dan
berlaku mutlak. Ruang abstrak (abstract space) adalah ruang dari budaya modern kapitalis yang
cenderung mereduksi pemahaman dari perceived, conceived dan lived space. Ruang diferensial
(differential space) adalah sebuah ruang yang lebih membaur (mixed) dan lebih inter-penetrative
sifatnya. Ruang tidak hanya sebagai produk, akan tetapi juga sebagai media atau sarana
(Lefebvre, 1992).

2.2.2. Ruang Publik Heritage


Mengatasi ruang publik urban heritage terkait sekali dengan akses kesejarahan, sosial-
kultural, keilmuan, poltik dan ekologis (Baskara, 2012b). Sedangkan untuk menangani
ruang publik heritage, perlu adanya sistem manajemen untuk menangani kepentingan yang
saling bertentangan di daerah perkotaan yang memiliki aset nila-nilai bersejarah
(Martokusumo, 2008a). Keberadaan terhadap faktor manusia/human factor, gubahan
fisik/physical setting dan aktivitas/activities (Sesunan, 2014) dan selalu ada kaitan terhadap
manusia, gubahan fisik serta aktivitas dalam urban heritage. Dikatakan pula bahwa
kawasan dan bangunan perlu mendapatkan tindakan pelestarian sebagai warisan sejarah,
sehingga dapat menjaga karakteristik kawasan, terjadinya dominasi perdagangan dan jasa
serta kepadatan massa bangunan (Indra Riztyawan et al., 2015). Sedangkan sebagai
penanganan kawasan kota tua Jakarta perlu dibangun, melalui konsep ruang interaksi
masyarakat, konsep ruang pentas temporer dan konsep ruang ekonomi serta perdagangan
(Rahman, 2015b). Konsep alun-alun sebagai ruang publik perkotaan sejak jaman pra-
kolonial sebenarnya berpotensi untuk menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di pulau
Jawa, baik dalam arsitektur dan perencanaan kota (Handinoto, 1992).
Alun-alun bunder merupakan design ideal alun-alun yang diinginkan oleh pemerintah
Belanda pada masa kolonial; Infrastruktur berupa pemukiman, pendidikan dan sarana
transpotasi direncanakan mengikuti peran dari alun-alun bunder sebagai pusat
pemerintahan Belanda; Strategi menguatkan nilai sejarah pada kawasan alun-alun
bunder yang diperoleh melalui penguatan linkage terhadap obyek historis di dalamnya
(Putra, 2016). Sedangkan yang dimaksud sebagai pusat kota pada jaman pra kolonial
41

adalah Keraton dan fasilitas pendukungnya seperti alun-alun dan bangunan disekitarnya
yang mendukung kekuasaan penguasa atau raja (Damayanti, 2004).
Menurut sebuah kajian, bahwa definisi sebuah ruang publik pada jaman Republik
Romawi adalah ruang publik yang terbayangkan sangat kacau, tidak terkendali,
kompetitif, dan eksperimental, serta memang banyak ruang yang memiliki karakteristik,
sehingga harus lebih sadar akan kebebasan akses dan perilaku yang ditawarkan kepada
kondisi non-rumah tangga terhadap ruang-ruang yang lebih umum (Russell, 2011).
Temuan yang dihasilkan didalam sebuah kota modern kontemporer, tidak ada
kesinambungan antara unsur-unsurnya inkoherensi terkait fungsional, simbolis, budaya
dan lain-lain (Savarro, 2014). Mengatasi pertumbuhan akibat infiltrasi fungsi tertentu
didalam suatu kawasan perlu diskenariokan dan diarahkan melalui penataan sistem
keterkaitannya atau linkage system (Nugroho, 2011). Hal tersebut mengakibatkan sebuah
pola pergerakan, moda pergerakan serta sarana pergerakan, yang perlu ditata
sedemikian hingga dapat terbentuk rangkaian kegiatan yang saling menunjang dan tidak
berbenturan dengan kepentingan publik. Sejalan dengan adanya elemen-elemen
pembentuk citra bersejarah di pusat kota (Pettricia & Wardhani, 2014), yaitu: elemen path
(kayu tangan – ps besar); elemen node (perempatan kayutangan dan kawasan alun-alun
merdeka); elemen landmark (alun-alun tugu – Masjid Jami’), dan Kecamatan Klodjen
disebut juga sebagai place. Atas hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa taman sebagai
salah satu bagian dari urban heritage dan juga merupakan salah satu bagian dari urban
archaeology (Prayudi, 2011).

Tabel. 2.2
Penelitian Tentang Heritage (Urban Heritage) Yang Pernah Dilakukan:

No. Judul Penelitian Peneliti Unit Kajian Hasil Metoda Keterangan


Penelitian Publikasi/ Tahun/ Hal.
1 The Issue of Widjaya Pemahaman baru terhadap Deskriptif International Seminar
Authenticity in Urban Martokusumo urban heritage adalah Kualitatif Proceedings – URBAN
Heritage terkait dengan material HERITAGE Its
Conservation in bahan bangunan masa lalu Contribution to te
Search of dari praksis urban Present, Dept. Of
Conservation conservation terdahulu Archeology, UGM
Approach for the Yogyakarta, 2011
Protection of Urban
Heritage
2 Urban Heritage and Widjaya Kasus kota tua Deskriptif Journal of Southeast
‘The Modern Project’ Martokusumo menunjukkan bahwa Kualitatif Asian Architecture,
Critical Notion on pendekatan dalam Vol. 11/ December
Conservation and kebijakan perencanaan 2008
Heritage harus memperhatikan
Management: A kenyataan perkotaan
brief look at the case secara sensitif, dan sampai
Jakarta’s Kota Tua batas tertentu harus
mengakomodasi
ambivalensi dan / atau
42

ketidakpastian.
Konsekuensinya, diperlukan
sebuah manajemen untuk
menangani kepentingan
yang saling bertentangan di
daerah perkotaan yang
bersejarah.
Dengan demikian, gerakan
konservasi harus menuntut
perhatian heritage total
3 Pelestarian Koridor Iwan Indra Kawasan serta bangunan Deskriptif Planning for Urban
Jalan Pasar Besar Riztyawan, perlu mendapatkan Kualitatif, Region and
Kota Malang Antariksa, Chairul tindakan pelestarian sinkronik- Environment Vol. 4 No.
Maulidi sebagai warisan sejarah, diakronik 3/ Juli 2015
menjaga karakteristik
kawasan

Dominasi perdagangan dan


jasa dengan kepadatan
massa bangunan
4 Kajian Ruang Medha Baskara Deskriptif http://
Terbuka Kawasan -Dalam konteks, prinsip Kualitatif, medha.lecture.ub.ac.id
Pelestarian Kota sense of place merupakan sinkronik- / 2012/02/kajian-ruang-
Tua Jakarta salah satu kunci diakronik terbuka-terbuka
keberhasilan ruang publik kawisan-pelestarian-
-Legitimasi suatu bangunan kota-tua-jakarta/
dan lingkungannya layak Februari 25, 2012
untuk dilestarikan bukan
hanya karena pertimbangan
nilai arsitektural semata,
namun bisa karena
pertimbangan kesejarahan,
sosial-kultural, keilmuan,
poltik dan ekologis

Butuh ruang sosial, ruang


kehidupan sebagai interaksi
sosial
5 Revitalisasi Arief Rahman -Konsep ruang interaksi Induktif – Prosiding PESAT, Vol.
Kawasan Kota Tua masyarakat Fenomenologi 6 / Oktober 2015,
Jakarta Sebagai -Konsep ruang pentas ISSN: 1858-2559
Upaya temporer
Mengembalikan -Konsep ruang ekonomi dan
Identitas Kota perdagangan
6 Kawasan ‘Pusat Rully Damayanti Yang dimaksud pusat kota Deskriptif Jurnal DIMENSI
Kota’ Dalam pada jaman pra kolonial Kualitatif , TEKNIK
Perkembangan adalah Keraton dan fasilitas sinkronik- ARSITEKTUR, Vol. 33
Sejarah Perkotaan pendukungnya seperti alun- diakronik No. 1/ Juli 2005: 34-42
Di Jawa alun dan bangunan
disekitarnya yang
mendukung kekuasaan
penguasa atau raja
7 Alun – Alun Sebagai Handinoto Konsep Alun-alun sebagai Dekriptif Jurnal DIMENSI
Identitas Kota Jawa, ruang publik perkotaan Kualitatif TEKNIK
Dulu Dan Sekarang sejak jaman pra-kolonial ARSITEKTUR, Vol. 18
sebenarnya berpotensi / September 1992: 1-
untuk menjadi salah satu 15
identitas bagi kota-kota di
P. Jawa, baik dalam
arsitektur dan perencanaan
kota
8 Penelusuran R. Dimas Widya - Alun-alun bunder Dekriptif Jurnal ATRIUM, Vol. 2
Kawasan Alun-Alun Putra merupakan design ideal Kualitatif No. 1/ Mei 2016/ pp.
Bunder Kota Malang alun-alun yang diinginkan (sinkronik- 77-92
Sebagai Open oleh pemerintah Belanda diakronik)
Space Rancangan pada masa kolonial.
Ir. Karsten - Infrastruktur berupa
pemukiman, pendidikan dan
sarana transpotasi
43

direncanakan mengikuti
peran dari Alun-alun Bunder
sebagai pusat
pemerintahan Belanda.
- Strategi menguatkan nilai
sejarah pada kawasan
Alun-alun Bunder yang
diperoleh melalui penguatan
linkage terhadap obyek
historis di dalamnya
9 Ruang Terbuka Di Leonardo Widya Belajar dari Central Park di Dekriptif Prodi Magister Desain
Jakarta: Antara New York mengenai Kualitatif Universitas Trisakti
Kenyataan Dan komitmen, ketegasan dan (Grounded Jakarta
Harapan konsistensi pemerintah Theory) Email:
dalam pembebasan lahan LeonardoWidya@gmai
th 1957 sekitar 1600 jiwa l.com
harus pindah, dan sejarah 2012
panjang 100 th lebih jatuh
bangun melawan: krisis
ekonomi serta vandalisme
dan perancangan yang
tidak mengacu pada kriteria
desain mempertahankan
keindahan dan keasrian
taman demi meningkatkan
kualitas hidup lewat ruang
publik

Perubahan taman kota


menjadi fungsi bangunan
yang tidak terkendali –
berdasarkan keinginan.
Pengelolaan dan
perencanaan tidak
mengacu pada kriteria yang
tidak konsisten
10 The Definition of Amy Russell Definisi ruang publik di Dekriptif UC Berkeley Electronic
Public Space in Republik Romawi tersebut Kualitatif Theses and
Republican Rome adalah Dissertations
dua kali lipat.
Ruang publik terbayangkan A dissertation
kacau, tidak terkendali, submitted in partial
kompetitif, dan satisfaction of the
eksperimental, dan requirements for the
memang banyak ruang degree of
yang memiliki karakteristik Doctor of Philosophy
ini; in
Kita harus lebih sadar akan Ancient History and
kebebasan akses dan Mediterranean
perilaku yang ditawarkan Archaeology
kepada non-rumah tangga and the Designated
oleh ruang-ruang yang lebih Emphasis in
umum. Gender and Women’s
Studies
Publik spce: keberagaman in the
dari pengalaman keruangan Graduate Division
(spatial) dan perilaku of the
University of California,
Berkeley - 2011
11 Urban Space in the Gianni Savarro menganalisis variasi Dekriptif Journal of US-China
Individualistic Era: (makna dan morfologi) Kualitatif Public Administration,
Architectural ruang publik di ISSN 1548-6591
Theories Kota kontemporer, mulai June 2014, Vol. 11,
and Public City in dari teori-teori "modern" No. 6, 492-502
Italy hingga kesewenang- http://www.escholarshi
wenangan masa kini, p.org
hubungan yang lemah /help_copyright.html#r
antara teori dan ruang kota. euse
44

Temuan, didalam kota


modern kpontemporer, tidak
ada kesinambungan antara
unsur2 nya –inkoherensi (
fungsional, simbolis, budya
dll)
12 Pelestarian Koridor Iwan Indra Kawasan serta bangunan Kualitatif Jurnal PURE (Planning
Jalan Pasar Besar Riztyawan, perlu mendapatkan for Urban Region &
Kota Malang Antariksa, Chairul tindakan pelestarian Environment), Vol. 4
Maulidi sebagai warisan sejarah, No.3 / Juli 2015
menjaga karakteristik
kawasan.

Temuan hasil adalah pola


grid jalan merupakan
karakteristik koridor jalan (
perdagangan + jasa)
15 Konsep Design Agung Cahyo Pertumbuhan akibat Rasional FTSP Universitas
Catalyst Dalam Nugroho infiltrasi fungsi tertentu komprehensif Lampung
Revitalisasi didalam suatu kawasan ft-sipil.unila.ac.id/
Kawasan perlu diskenariokan dan ejournals/ Vol 15, No
diarahkan melalui penataan 3 (2011)
sistem keterkaitannya
(linkage system). Pola
pergerakan, moda
pergerakan serta sarana
pergerakan perlu ditata
sedemikian hingga dapat
terbentuk rangkaian
kegiatan yang saling
menunjang dan tidak
berbenturan dengan
kepentingan publik
16 Elemen Pembentuk Hana Ayu -Elemen pembentuk citra Deskriptif Jurnal RUAS Vo. 12
Citra Kawasan Pattricia, Dian bersejarah di pusat kota, : Kualitatif No. 1/ Juni 2014,
Bersejarah Di Pusat Kusuma elemen path (kayu tangan – ISSN: 1693-3702
Kota Malang Wardhani, ps besar); elemen node (
Antariksa perempatan kayutangan &
kaw alun-alun merdeka);
elemen landmark (alun-alun
tugu – Masjid Jami’),
-Kecamatan Klodjen disebut
sebagai place

17 Taman Kolonial Di Ashwin Prayudi Taman sebagai salah satu Deskriptif International Seminar
Kota Bandung bagian dari Urban Heritage Kualitatif Proceedings – URBAN
dan juga merupakan salah HERITAGE Its
satu bagian dari Urban Contribution to te
Archaeology. Bukan hanya Present, Dept. Of
lahan hijau saja, tetapi Archeology, UGM
bangunan pemerintah Yogyakarta, 2011
Belanda dan fasilitas-
fasilitas publik termasuk
milik Belanda
18 EVALUASI Mas Muhammad hasil studi, didapatkan tiga Kualitatif Jurnal Arsitektur
PERWUJUDAN Hizbullah buah dimensi utama TATANAN/ Vol. 1 No.
PLACE Sesunan terbentuknya sebuah 2 / 2014/
ATTACHMENT keterikatan tempat yaitu http://journal.unpar.ac.i
PADA faktor manusia/human d
REVITALISASI factor, gubahan /index.php
KAWASAN TEPI fisik/physical setting dan unpargraduate/issue/vi
AIR BENTENG aktivitas/activities mayoritas ew/129
KUTO BESAK prinsip-prinsip tersebut telah
terwujud di dalam plaza
Benteng Kuto Besak
(kawasan heritage )
45

2.2.3 Ruang Publik Kota Yang Bertradisi Budaya Jawa


Penelitian ruang publik terkait tradisi Jawa, ditemukan bahwa adanya kerelaan dari pihak
keraton untuk memberikan halamannya kepada rakyat adalah faktor utama terpenting sebagai
upaya terbentuknya ruang publik di alun-alun (Widyawati, 2017c). Ketika terjadi ke-tidak stabilan
budaya, politik dan ekonomi, maka selalu dibuat dan berlanjut untuk menuju keberbedaan
terhadap penggunaan ruang publik (Widiastuti, 2013a). Sejalan hal tersebut terkait tentang
peningkatan kualitas lingkungan fisik (Dwiananto A, 2003), yaitu: 1. Aktivitas dalam ruang dan
mengatur sistem keterhubungan (linkage); 2. Meningkatkan kondisi komponen-komponen
perancangan dengan menghadirkan kembali citra dan identitas alun-alun sebagai bagian dari
keraton. Eksistensi pada alun-alun dengan kasus di Ponorogo tidak lagi sebagai sebuah ruang
publik yang ideal, karena sudah dieksistensikan ke arah provit oriented, sehingga melihat ruang
yang berfungsi sebagai komoditas ekonomi (Hilman, 2015). Ditemukan bahwa perlu adanya
pemahaman penelitian (Irawati, 2015) sebagai: 1. Memasang papan peringatan kepada warga
agar menjaga ruang publik dengan baik; 2. Ruang publik bukan ruang privat seperti halaman
rumah sendiri; 3. Peringatan dan hukuman bagi pelanggar aturan, sanksi berupa denda atau
sanksi dikucilkan/ dipermalukan agar jera; 4. Pengawasan terhadap ruang publik harus ketat.
Sedangkan didalam public space di kota Yogyakarta ditemukan nilai-nilai menjadi identitas;
tradisional public space di Yogyakarta (R. G. Sunaryo et al., 2015) ditemukan bahwa: Lapangan,
Nol Kilometer, Koridor Malioboro; sebagai Identitas Kota yang berkarakter kuat: Keraton,
Lapangan, Malioboro. Temuan penelitian terkait keberadaan ruang publik yang mengandung
nilai-nilai kultural edukatif dengan visualisasinya terlihat dalam simbol-simbol (Sutrisno,
Mohammad, 2014). Temuan lain terkait ruang publik mengatakan bahwa telah terjadi
pemanfaatan sebagian ruang privat penghuninya sebagai ruang semi publik dan pemanfaatan
masjid-masjid serta ruang terbuka budaya sebagai pusat kegiatan sosial budaya (Priyatmono,
2013).
Ada pula temuan ruang publik hasil riset terjadi ke-tidak stabilan budaya, politik & ekonomi
dibuat dan berlanjut untuk menuju keberbedaan terhadap penggunaan ruang publik (Widiastuti,
2013b). Sedangkan hasil temuan lain, yaitu pada sektor informal yang tidak terstruktur di ruang
perkotaan telah menciptakan kualitas pemandangan kota yang tak terduga, dan keberadaan
perdagangan informal di ruang publik tidak memiliki peran untuk mengurangi dan mengurangi
dampak negatif (Nitisudarmo, 2009). Menurut hasil temuan, tentang peningkatan kualitas
lingkungan fisik (Dwiananto A, 2003) disebutkan, yaitu: 1. Aktivitas-aktivitas dalam ruang dan
mengatur sistem keterhubungan (linkage) antara alun-alun utara dan selatan; 2. Meningkatkan
46

kondisi komponen2 perancangan dengan menghadirkan kembali citra dan identitas alun-alun
sebagai bagian dari keraton.
Tabel. 2.3
Penelitian Tentang Public Space di Keraton (Yogya- Solo) Yang Pernah Dilakukan:

No Judul Penelitian Peneliti Unit Kajian Hasil Metoda Keterangan


Penelitian Publikasi/ Tahun/ Hal.
1 Semiotik Ruang Laksmi Hasil temuan Kuantitatif Jurnal Arsitektur NALARs Vol. 16
Publik Kota Lama Widyawati bahwa kerelaan Kualitatif No.1/ Januari 2017/ pp 15-26 ISSN
Alun-Alun Selatan pihak keraton 1412-3266
Keraton memberikan
Yogyakarta halamannya untuk
rakyat adalah faktor
utama terbentuknya
ruang publik di
alun-alun
2 Tinjauan Fungsi Sujiyo Miranto Hasil kajian, bahwa Deskriptif Sem. Nas Pendidikan IPA-Biologi FITK
Ekologis Alun-Alun Alun-alun dilihat Kualitatif UIN Syarif Hidayatullah
Tradisional Jawa dari sisi Ekologis Jakarta/September 2016/ ISBN 978-
memiliki fungsi: 602-73551
1. Hidrologis;
2. Orologis;
3. Klimatologis;
4. Reduksi;
5. Edaphis;
6. Estetis;
7. Proteksi;
8. Higienis;
9. Edukatif;
10. Rekreatif
3 Revitalisasi Yusuf Adam Eksistensi Alun- Deskriptif Jurnal Aristo/ Vol.3/ Januari 2015/ pp.
Konsep Alun-Alun Hilman Alun Ponorogo Kualitatif 28-37
Sebagai Ruang tidak lagi ruang
Publik publik yang ideal,
dieksistensikan ke
arah provit
oriented, sebagai
ruang komoditas
ekonomis
4 Ruang Publik Solo, Suciana Dwi Temuan : Deskriptif http://www.kompasiana.com/suciana/r
Menjelma Jadi Irawati 1. Memasang Kualitatif uang-publik-solo-menjelma-jadi-
Hiburan papan peringatan hiburan-
kepada warga agar gratis_560bdcb5d39273ca07a854a5/2
menjaga ruang 015
publik dengan baik;
2. Ruang publik
bukan ruang privat
seperti halaman
rumah sendiri;
3. Peringatan dan
hukuman bagi
pelanggar aturan,
sanksi berupa
denda atau sanksi
dikucilkan/
dipermalukan agar
jera;
4. Pengawasan
terhadap ruang
publik harus ketat
5 The Rony Gunawan Didalam publik Deskriptif repository.petra.ac.id/16733/2014/pp.
Transformation of Sunaryo, space di kota Kualitatif 283-298. ISBN 978-3-900265-14-4
Urban Public Nindyo Yogyakarta
Space in Soewarno, ditemukan nilai-nilai
Yogyakarta Ikaputra, Bakti menjadi identitas;
Setiawan tradisional publik
space di
47

Yogyakarta:
Lapangan, Nol
Kilometer, Koridor
Malioboro; sebagai
Identitas Kotayang
berkarakter kuat :
Keraton, Lapangan,
Malioboro
6 Vulnerable pada Mohammad Mengandung nilai- Deskriptif Jurnal Arsitektur dan Perencanaan
Kompleks Keraton Sutrisno, nilai kultural Kualitatif (JAP)/ Januari 2014/ Vol.1
Yogyakarta Mohammad edukatif yang
Sani visualisasinya
Royhansyah terlihat dalam
simbol-simbol
7 Peran Ruang Alpha Febela Pemanfaatan Deskriptif http://www.docdatabase.net/more-
publik Di Priyatmono sebagian ruang Kualitatif peran-ruang-publik-di-permukiman-
Permukiman privat penghuninya tradisional-kampung-laweyan-
Tradisional sebagai ruang semi surakarta--701706.html/2013
Kampung Laweyan publik &
Surakarta pemanfaatan
masjid-masjid serta
ruang terbuka
budaya sebagai
pusat kegiatan
sosial budaya
8 Transformation of Dyah Temuan riset Deskriptif Dissertation submitted to the Faculty of
Public Space: Widiastuti bahwa ketika ke- Kualitatif Spatial Planning Technical University
Social and Spatial tidak stabilan of Dortmund (TU Dortmund)/ April
Changes A Case budaya, politik & 2013
Study of ekonomi dibuat dan
Yogyakarta Special berlanjut untuk
Province, menuju
Indonesia keberbedaan
terhadap
penggunaan ruang
publik
9 The Role of Suparwoko Hasil temuan, Deskriptif http://www.corp.at ; Proceedings REAL
Informal Sector in Nitisudarmo Sektor informal Kualitatif CORP 2009/ April 2009/ ISBN 978-
Contributing to The yang tidak 39502139-6-6/ pp. 519-528
Urban Landscape terstruktur di ruang
in Yogyakarta – perkotaan telah
Indonesia; menciptakan
Concerning on the kualitas
Urban Heat Island pemandangan kota
Issue yang tak terduga,
bahwa keberadaan
perdagangan
informal di ruang
publik tidak
memiliki peran
untuk mengurangi
dan mengurangi
dampak negatif
10 Peningkatan Sigit Temuan, tentang Deskriptif Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Kualitas Dwiananto peningkatan Kualitatif Vol. 14 No. 3/ Desember 2003/ pp.
Lingkungan Fisik kualitas lingkungan 119-134
Alun-Alun Kota fisik:
Yogyakarta 1. Aktivitas
Sebagai Ruang dalam ruang &
Publik Kota mengatur sistem
keterhubungan
(linkage) antara
Alun-alun Utara
dan Selatan;
2.Meningkatkan
kondisi komponen2
perancangan
dengan
menghadirkan
kembali citra &
48

identitas Alun2
sebagai bagian dari
keraton

2.3 Hakekat Alun-alun sebagai Komponen Ruang Publik Kota Bertradisi Budaya Jawa
Keberadaan alun-alun saat ini sebagai ruang publik kota yang berfungsi sebagai wadah
berbagai kegiatan masyarakat, diantaranya: kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, dan ini
merupakan indikasi telah terjadi pergeseran fungsi yang berdampak terhadap pergeseran fisik
kawasan alun-alun (Ruwaidah, 2012b).
Pemerintah maupun masyarakat sebagai aktor utama cenderung memandang alun-alun
sebagai sarana hiburan dan komersial semata. Peran dan fungsi alun-alun seakan-akan
dikerdilkan, sehingga alun-alun yang awal mulanya merupakan sarana untuk ritual keagamaan
serta pusat pemerintahan (keraton) yang sakral, kini hanya dianggap sebagai tanah lapang yang
tidak punya kesan spiritual. Padahal dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan
alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan
memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai
pengejawantahan dari konsep kosmologis.
Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah
kota sebagai lambang dari pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari
kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-
alun, serta masjid agung di sebelah baratnya (Moerdjoko, 2005). Sementara pada babad Sala:
Menurut Babad Sala (Sajid, 1984):
Alun-alun tegesipun papan waradin ingkang wiyar, minangka papan kangge gladhen ajar
perang-perangan, sarta kangge ajar baris para prajurit. Alun-alun punika wonten kalih;
ingkang satunggal wonten ing saelering kadhaton, satunggalipun ing sakiduling kadhaton.
Ingkang eler langkung wiyar katimbang kaliyan ingkan kidul.

2.3.1 Alun-alun Lor Surakarta


Alun-alun Lor merupakan bagian depan Keraton dan rakyat (kawula) selalu memberi
penghormatan apabila mereka masuk ke wilayah ini. Selanjutnya supaya tidak terjadi
pelanggaran terhadap adat yang berlaku, Raja Pakubuwana IV pada masanya bersama kompeni
Belanda membuat peraturan yang berkaitan dengan alun-alun, yang diperuntukkan kepada
orang-orang kompeni, Cina dan suku-suku lainnya di Indonesia.
Alun-alun Lor Keraton Surakarta berbentuk cenderung bujur sangkar, sisi timur dan barat
menyiku dan berukuran lebih panjang dari sisi utara dan selatannya, berhalaman pasir. Sumbu
imajiner Keraton Surakarta melintas di sebelah barat titik pusat alun-alun, dan diapit pohon
beringin berjarak sama. Pasangan pohon beringin berada di sebelah selatan titik pusat alun-alun.
49

Sumbu Masjid Agung melintas sejajar dan di sebelah selatan pasangan pohon beringin. Panjang
sisi utara/selatan dan sisi timur/barat berbanding sebagai 28:29 (Roesmanto, 2010).
Pada masa kerajaan Jawa Kuna, bahwa Sitihinggil berada di dalam tembok keraton, tetapi
pada keraton yang lebih muda tempat yang ditinggikan tersebut merupakan kompleks tersendiri
di luar tembok keraton (Soeratman, 2000b). Sitihinggil sebagai paseban bersama dengan Tratag-
rambat yang merupakan lingkaran ketiga, sedangkan alun-alun sebagai halaman atau
pekarangan yang terbentang luas di depan paseban merupakan lingkaran keempat.

Gambar 2 - 1. Konsep Keraton dan Kosmos. Diolah dari Sumber: (Bahrend 1982, Santoso 2008,
Marlina 2017)

Besaran ruang pada Alun-alun Lor yang merupakan halaman depan Keraton, memiliki
ukuran 300 m tiap sisinya dan memiliki sepasang pintu depan yaitu Kori Pamurakan dan Kori
Gladhag. Dimana kedua Kori tersebut merupakan batas gledhegan (pintu) yang menghubungkan
Keraton dengan luar Keraton (Soeratman, 2000b). Sedangkan disisi timur laut dan barat daya
terhubung dengan pintu samping yaitu, Kori Gledheg Wetan menuju ke kampung Bathangan dan
Kori Gledheg Kulon menuju ke kampung Slompretan. Sehingga ke tiga macam Kori tersebut di
alun-alun menunjukkan adanya penerapan klasifikasi dualisme dengan satu di pusat yang
berkedudukan lebih daripada dua lainnya. Sepasang beringin yang ditanam di tengah Alun-alun
Lor, diapit oleh dua pasang beringin lainnya, sepasang berada di selatan dekat dengan meriam
di depan Pagelaran, dan sepasang lainnya di sebelah utara dekat dengan Kori Pamurakan.
50

Beringin sepasang di tengah alun-alun Lor yaitu beringin Dewadaru dan beringin Jayadaru diberi
pagar besi bersegi delapan seakan membelah alun-alun menjadi bagian timur dan barat. Sejajar
dengan bagian depan Sasanasumewa, di sebelah kiri dan kanan yang terdapat Bangsal
Pacikeran dan Bangsal Pacekotan. Dimana ke dua pohon beringin tersebut melambangkan
loroning atunggal, dua unsur berjarak tetapi merupakan persatuan yang sulit dipisahkan. Ruang
di antara dua buah pohon beringin itu dianggap keramat, dan hanya raja sebagai penguasa yang
berkedududkan sebagai wakil persatuan dua unsur tersebut yang bebas melalui ruang tersebut
(Soeratman, 2000b).

2.3.2 Alun-alun Kidul Surakarta


Alun-alun Kidul Surakarta berbentuk persegi empat panjang, sisi timur dan barat menyiku
dan berukuran lebih panjang dari sisi utara dan selatannya, berhalaman rumput. Sumbu imajiner
Keraton Surakarta melintasi titik pusat alun-alun Kidul dan pohon beringin timur. Pasangan pohon
beringin berada di sebelah selatan titik pusat alun-alun Kidul. Panjang sisi utara/selatan dan sisi
timur/barat berbanding sebagai 29:31 (Roesmanto, 2010).
Sesuai dengan fungsi ruangnya, keadaan Paseban dan alun-alun Kidul jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan alun-alun Lor. Sitihinggil tidak begitu tinggi, dan bangsal Witana
yang dibangun oleh Pakubuwana IV tidak seperti empat bangsal di sebelah utara. Sepasang
pohon beringin di tengah alun-alun Kidul yang ditanam tidak diberi nama khusus dan sepasang
pohon beringin kurung lainnya sebagai pengapit. Sehingga, alun-alun Kidul sebagai alun-alun
pungkuran, berada didalam lingkup tembok keraton. Sebuah Kori Gledheg di sebelah timur di
sebut Kori Gurawan. Di sisi sebelah barat daya terdapat kandang gajah dan berisi seekor gajah
betina. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, di Sitihinggil Pengkeran juga ada seba,
terutama pada hari-hari besar sebagai tempat dilangsungkan upacara. Sebagai contoh, pada hari
Garebeg, yang caos dan seba di Sitihinggil ini adalah para panewu dan mantri undhagi, tukang
batu, pande serta bawahannya, mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya. Pada masa
lampau, alun-alun dipakai sebagai tempat untuk latihan perang para abdi dalem prajurit yang
disaksikan oleh raja dan dilangsungkan pada setiap hari selasa dan minggu pagi (Soeratman,
2000b).

2.4 Teori Tentang Transformasi


2.4.1 Pengertian Transformasi
Transformasi pada kawasan seringkali terjadi bersamaan dengan suatu perubahan sosial
yang mengikuti atau mempengaruhinya. Transformasi adalah perubahan mendasar dari satu
51

keadaan yg membutuhkan pergeseran budaya, perilaku dan pola pikir (Poutiatine, 2009),
sedangkan transformasi salah satunya disebabkan pula oleh faktor budaya sebagai sistem nilai
yang terlihat pada gaya hidup masyarakat yg mencerminkan status, kekuasaan dan kekayaan
(Rossy, 1982). Pada umumnya transformasi dimotivasi oleh kelangsungan hidup, oleh kesadaran
bahwa segala sesuatu perlu mengubah diri, dan secara signifikans dalam pola pikir diperlukan
untuk berubah yang lebih baik. Transformasi bukan hanya merubah atau memperbaiki jika ingin
menciptakan masa depan yang layak (Dazko, 2005), akan tetapi juga dengan adanya sebuah
proses perubahan yg terjadi pada suatu struktur ruang kawasan antara lain ditentukan oleh
sistem ideologi, aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung didalamnya
(Granham, 1985). Dikatakan pula bahwa transformasi mencerminkan sosial, ekonomi, dan fisik
penghuni (Makachia, 2011), sedangkan transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan: tatanan fisik,
tatanan teritorial, dan tatanan budaya (Habraken, 1998). Mengacu pada teori Habraken tersebut,
tentang: 1. Transformasi tatanan fisik, bahwa perubahan yang terjadi pada elemen pembentuk
kawasan lingkungan binaan yang disebut kelas nominal (nominal classes), dari level terendah
yaitu peralatan (utensils) hingga pada level tertinggi yaitu jalur utama (major arteries). 2.
Transformasi teritorial, yang merupakan transformasi pada ruang yang terbentuk dari konfigurasi
elemen-elemen pada kelas nominal (nominal classes), sebagai akibat adanya perubahan yang
dilakukan oleh agen-agen yang berkuasa pada setiap level kawasan lingkungan binaan tersebut.
3. Transformasi budaya, adalah transformasi yang tidak hanya melibatkan unsur fisik tetapi juga
pemahaman dan konsensus dari para agen yang terlibat. Hubungan erat dari elemen-elemen
fisik pembentuk kawasan lingkungan binaan, terbentuknya ruang-ruang dari konfigurasi elemen
fisik, serta pemahaman suatu kelompok masyarkat atas bentuk fisik tersebut yang menyebabkan
terjadinya transformasi budaya.

Tabel 2.4.1 Hierarki level lingkungan binaan


Sumber:(Habraken, 1998)
52

Ketika transformasi kawasan alun-alun keraton Surakarta mencakup tiga tatanan, yaitu
transformasi tatanan fisik, tatanan teritorial dan tatanan budaya (Habraken, 1998), maka
transformasi pada elemen-elemen pembentuk kawasan alun-alun Keraton Surakarta merupakan
transformasi fisik pada kawasan tersebut. Berikutnya adalah transformasi teritorial, yang
mengacu pada perubahan spasial karena adanya kendali/ kontrol pengguna atas ruang ruang
yang dihasilkan dari konfigurasi elemen-elemen fisik pada transformasi fisik. Sedangkan
transormasi pada kesatuan elemen dan ruang disebutkan sebagai transformasi budaya.
Tabel 2.4.2 Tatanan transformasi lingkungan binaan
Sumber: (Bukit et al., 2012)

Tabel. 2.4.3
Penelitian Tentang Transformasi Yang Pernah Dilakukan:

No. Judul Peneliti Unit Kajian Hasil Metoda Keterangan


Penelitian Penelitian Publikasi/ Tahun/ Hal.
1 Analisis Sunarti Penelitian ini merupakan Studi Penelitian Disertasi
Transforma 2015 bagian dari disertasi yang Kasus Doktor RISTEKDIKTI
si dapat untuk mengembangkan Download:
Permukima teori tentang permukiman http://jarlitbangnov.bapp
n Kumuh (human settlement) khususnya eda.jatengprov.go.id/ind
Menjadi tentang permukiman kumuh ex.php?ref=publication&
Layak Huni yang legal (slum). mod=doc&id=20713; 13
di JUNI 2017; PK: 12.44
Kampung WIB
Kajen
Kelurahan
Danukusu
man Kota
Surakarta
2 Memahami Jo Santoso Dalam tulisan ini penulis Studi kasus TATA LOKA
Transforma - 2013 membahas tiga proses yang VOLUME 15 NOMOR 2,
si Urban di menjadi pendorong utama MEI 2013, 102-115
Asia: terjadinya © 2013 BIRO
Belajar dari proses restrukturisasi kota PENERBIT
Kasus yaitu komodifikasi, privatisasi PLANOLOGI UNDIP
Jakarta dan komersialisasi. Akibat
perkembangan tersebut
adalah bahwa fungsi kota
53

sebagai institusi sosial


semakin terabaikan
dan kesenjangan sosial
semakin dalam.
3 Pengaruh Maulana – Terkait dg perubahan fisik Deskriptif Jurnal Senirupa &
Penghuni 2013 akibat transformasi ruang Kualitatif Desain, 2013, Mei-
terhadap hunian dilakukan dg cara Agustus; 5 (1)
Perubahan beberapa cara: memperbesar/
Tata Letak memperluas ukuran ruang,
Ruang d penambahan jumlah ruang,
Kompleks penambahan jenis ruang,
Perumahan merubah fungsi ruang
Margahayu
Raya
Bandung
4 Evolution of Makachia – Transformasi mencerminkan Deskriptif City, Culture and
Urban 2011 sosial, ekonomi, dan fisik Kualitatif Society. 2011,
Housing penghuni December; 2 (4); p.219 -
Strategies 234
and Dweller
– Initiated
Transforma
tions in
Nairoby
5 What is Poutiatine– Transformasi adalah Deskriptif Journal of
Transforma 2009 perubahan mendasar dari satu Kualitatif Transformative
tion? : Nine keadaan yg membutuhkan Education, 2009: 7: 189
Principles pergeseran budaya, perilaku
Toward an & pola pikir
Understand
ing
Transforma
tional
Process for
Transforma
tional
Leadership.
6 Survival is Dazco – Transformasi bukan hanya Deskriptif Theory of
Optional: 2005 merubah atau memperbaiki Kualitatif Transformation Final to
Only jika ingin menciptakan masa Short article April 2005
Leaders depan yg layak
With New
Knowledge
Can Lead
the
Transforma
tion
7 The Habaraken Transformasi dapat terjadi Deskriptif Cambridge,
Structure of -1998 pada tiga tatanan: tatanan Kualitatif Massachusetts: MIT
The fisik, tatanan teritorial, dan Press; 1989
Ordinary tatanan budaya

8 Tranformati Mezirow - Transformasai Proses Deskriptif New Directions for Adult


ve 1997 mempengaruhi perubahan Kualitatif and Continuing
Learning: terhadap individu dalam suatu Education, 74, 5-12
kerangka acuan tertentu,
54

Theory to mencakup komponen: kognitif,


Practice konatif dan emosional

9 History and Rapoport – Transformasi disebabkan Deskriptif Newyork; Plennum


Precedent 1990 karena perubahan aktivitas Kualitatif Press; 1990
in penghuni dan pengguna
Environme tercermin pada bangunan dan
ntal Design lingkungan binaan

10 Maintaining Granham – Proses perubahan yg terjadi Deskriptif Arizona: PDA Publishers


The Spirit 1985 pada suatu struktur ruang Kualitatif Corporation
of Place kawasan antara lain ditentukan
oleh sistem ideologi, aktivitas
budaya dan nilai-nilai
kemasyarakatan yg
berlangsung didalamnya
11 The Rossy – Deskriptif Cambridge: MIT Press;
Architectur 1982 Transformasi salah satunya Kualitatif 1982
e of The disebabkan oleh faktor budaya
City sbg sistem nilai yg terlihat pd
gaya hidup masyarakat yg
mencerminkan status,
kekuasaan & kekayaan

12 Mezirow Mezirow– Transformasi yaitu makna alur Deskriptif Mezirow from


and 1978 & makna perspektif Kualitatif Dissertation
Transforma Makna Alur = keyakinan, dpt
tion Theory berupa norma/ aturan
Makna Perspektif =mengubah
pengalaman masa lalu
sesorang menjadi pengalaman
baru

2.4.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Transformasi


Transformasi adalah merupakan dari istilah ilmu eksakta yang kemudian diintrodusir ke
dalam ilmu sosial dan humaniora, dan memiliki maksud yaitu adanya perubahan bentuk
(transform) yangmana secara lebih rinci memiliki arti sebagai sebuah perubahan fisik maupun
non-fisik (bentuk, rupa, sifat, dan sebagainya). dalam bidang ilmu sosial, transformasi memiliki
pengertian sebagai perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat,watak, dan sebagainya,
dalam hubungan timbal balik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok (Sunarti,
2016).
Transformasi bukan hanya merubah atau memperbaiki jika ingin menciptakan masa depan
yang layak, sehingga tidak mudah, tetapi sangat penting untuk kesehatan keluarga kita dan
masyarakat global (Dazko, 2005). Untuk melakukan transformasi tidak untuk orang lain, tetapi
55

untuk setiap individu dalam mengambil tanggung jawab pribadi, untuk membantu menciptakan
masa depan baru, untuk mengambil resiko, dan untuk membuat perbedaan.
Suatu perubahan ada tiga tipe perubahan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
(Dazko, 2005). Perubahan yang berdasarkan pada tradisi merupakan perubahan yang signifikan
yang akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Jika ingin pindah ke tingkat berikutnya
yang lebih aman, maka harus membuat transisi yaitu merencanakan suatu perubahan dan
bekerja sesuai dengan rencana. Ketika ingin melakukan suatu perubahan yang lebih baik, maka
harus melepaskan dan meraih sesuatu yang tidak akan diketahui dan membutuhkan strategi yang
sulit serta membutuhkan tantangan yaitu adanya transformasi. Adapun tiga tipe perubahan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5
Tiga Jenis Tipe Untuk Perubahan
Sumber : (Dazko, 2005)

TIGA TIPE PERUBAHAN

Tradisi Transisi Transformasional


Motivasi Perubahan Lebih baik, lebih cepat, Memperbaiki masalah Survival, lingkungan,
lebih murah perubahan dunia,
dibutuhkan terobosan
Tingkat Perubahan Tambahan perbaikan Transisi dari lama ke Diperlukan
baru; A ke B revolusioner
Pola Pikir Memperbaiki Perubahan perubahan radikal
manajemen; dalam pola pikir/
Perencanaan strategis berpikir/ tindakan
Tindakan Mengelola dan Desain rencana; Perubahan seluruh
mengontrol proses melaksanakan sistem, perbaikan
rencana tersebut lengkap pola pikir,
paradigma, budaya,
komunikasi, strategi,
struktur, tindakan,
sistem dan proses,
penggunaan data,
Sistem pengetahuan
mendalam, siklus
implementasi rencana
studi
Tujuan Perbaikan, dapat Proyek yang Terus mengubah; tidak
dibatasi untuk diselesaikan ada akhir
memperbaiki hal-hal
yang salah
Membutuhkan Peningkatan Proses yang Kepemimpinan senior
keterampilan, praktek dikendalikan/ proyek berkomitmen untuk
Perubahan
dan kinerja; sering dikelola/ ditugaskan pemikiran baru,
terbatas berfokus pada pembelajaran dari
kinerja individu tindakan; pembinaan
daripada keseluruhan dari luar; ‘sistem tidak
56

sistem untuk membuat bisa melihat dirinya


perbedaan yang sendiri’
signifikan
Hasil Perbaikan, terbatas Perubahan, terbatas Perubahan
berkelanjutan (dengan
kepemimpinan dan
pembelajaran terus
menerus dan tindakan
baru) sistem baru;
tangkas, beradaptasi,
fleksibel, cerdas,
muncul, terhubung,
terlibat, kreatif,
bergerak maju,
kemampuan untuk
merasakan dan
merespon

2.5 Keterkaitan Alun-alun sebagai Ruang Publik Kota


Berdasarkan kaidah konsep, komponen, pola pada penataan ruang kota tradisional budaya
Jawa serta kajian yang terkait tentang proses transformasi sakral-profan pada Alun-alun Keraton
Surakarta, maka dapat diuraikan sistem hubungan atau keterkaitan antar aktivitas yang ada pada
alun-alun tersebut. Keterkaitan dalam konteks ruang kota tradisional budaya adanya beberapa
keterkaitan seperti: relasi sosial, relasi budaya, dan relasi ekonomi, serta relasi nilai tempat.
Bahwa ruang publik dalam hal ini berperan sebagai wadah interaksi sosial. (Madanipour,
1996). Alun-alun sebagai bagian dari perancangan kota dan berperan sebagai fasilitas ruang
publik memegang peran penting sebagai penghubung fungsi-fungsi yang memiliki karakter dan
kebutuhan yang berbeda-beda (H Shirvani, 1985). Dengan demikian keberadaan ruang publik
dalam usaha memadukan pola aktivitas dan tatanan fisik yang ada pada kawasan alun-alun
menjadi signifikan. Sedangkan, keterpaduan tatanan fisik dan pola aktivitas dalam perancangan
spasial suatu kawasan sebagai ruang publik (Trancik, 1986) akan memberikan:
o Komposisi solid-void yang jelas pada ruang; hubungan antar bagian ruang yang
terorganisir dan terstruktur dengan baik; dan rancangan yang tanggap terhadap
kebutuhan pengguna.
Sedangkan membagi elemen fisik perancangan kota (Hamid Shirvani, 1985) kedalam:
• Land us, building form and missing, circultaiuon and parking, pedetrian way, open space,
activity support, signage, preservation
Dan mensyaratkan nilai-nilai kualitas ruang atau fasilitas publik yang berhasil harus
memenuhi nilai kebutuhan masyarakat, demokratis dan bermakna (Stephen, Carr; Mark Francis,
Leanne G. Rivlin, 1992).
57

2.6 Alun-alun Dalam Konfigurasi Kawasan Keraton


Kawasan Keraton Surakarta merupakan komplek bangunan bersejarah masa lalu yang
dibangun sebagai pusat kerajaan yang berdiri di atas tanah seluas 54 Ha dan terletak di pusat
kota Surakarta dan merupakan cikal bakal adanya kota Surakarta sekarang ini. Kawasan
kompleks bangunan keraton Surakarta secara keseluruhan dimulai dari Gapura Gladag, Alun-
alun Lor dan Masjid Agung, Baluwarti, Kedaton (bangunan inti sebagai tempat tinggal raja), Alun-
alun Kidul sampai Gapura Gading. Kawasan komplek bangunan kedaton ini dikelilingi oleh
tembok setinggi enam meter dan tebal dua meter di beberapa tempat tertentu. Sedang untuk
keluar masuk kawasan, warga di dalam komplek Baluwarti dapat melalui empat pintu besar yang
bernama ‘Lawang Gapit’ dari keempat penjuru (Isbandiyah, 2008).

Menurut Yosodipuro (1994), bahwa bangunan yang dinamakan keraton adalah kediaman
ratu dan sekaligus ‘pepunden’ bagi kerabat keraton. Bangunan tersebut kecuali mempunyai
nama, juga merupakan ‘pasemon’ yang mengandung makna tuntunan, sehingga setiap
bangunan keraton memiliki makna yang terkandung didalamnya dan merupakan perlambang
kehidupan manusia dari lahir hingga kembali ke asalnya (seda/ mati). Ketika memaknai bangunan
keraton Surakarta, maka perlu disimak:

‘Sabda Dalem Sahandap Dalem Sampeyan Dalem Sawarga Hingkangminulya Hingkang


Wicaksana ISKS Pakoe Boewono X: ‘ Karaton Surakarta Hadiningrat hawya kongsi dinulu wujude
wewangun kewala, nanging sira padha nyurupna sarta hanindakna maknane kang sinandi, dimen
daya tuntunan laku wajibing urip hing dunya tumeken delahan’ (Yosodipuro, 1994).

Keraton Surakarta masih menjalankan ritual adat sebagai warisan budaya yang selalu
dijaga dan menjadi daya tarik utama para turis asing serta wisatawan lokal dari berbagai negara.
Ritual adat sebagai warisan budaya tersebut, diantaranya adalah: upacara-upacara adat, kirab
pusaka, tarian tradisi dan musik-musik tradisional. Upacara-upacara adat yang masih dijaga dan
dijalankan keberadaannya, antara lain: Garebeg, yang diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas Bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal
satu Bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh Bulan Besar (bulan kedua belas).
Upacara Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari
untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Upacara Kirab Pusaka Malem Satu Suro,
upacara sakral yang jatuh pada Malem Satu Suro mulai terbenam matahari pada hari terakhir
bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan
pertama tahun berikutnya (Satu Suro).
58

Keraton disamakan dengan gunung Meru dan sebagai pusat kosmo-magis termasuk
antara jagad raya dan dunia manusia. Menurut konsep dari sebuah kota yang berpangkal pada
kepercayaan, yaitu adanya konsep raja-dewa raja yang dipercaya memiliki sifat-sifat dewa yang
dianggap titisan dari dewa dan memiliki kesetaraan makrokosmos dan mikrokosmos (Geldern,
1982). Ungkapan di kalangan masyarakat Jawa, bahwa raja sebagai pusat dari alam sejagad
seperti pada gelar raja Paku Buwono (Paku Dunia), yang dianggap sebagai wakil dari Dewa
Indera dan dianggap memiliki kekuasaan absolut saat berkuasa (saat menempati keraton atau
kedhaton).

Teori kosmik seperti yang diungkapkan bahwa teori ini merupakan sarana untuk
menghubungkan manusia dengan kekuatan-kekuatan besar dan cara menstabilkan tatanan dan
keselarasan jagad raya, yang mengacu pada mata angin utara-selatan, simetri barat-timur,
tembok keliling, gerbang yang dilindungi, dominasi atas dibandingkan bawah, atau dari yang
besar dibandingkan kecil, memiliki pusat suci, makna beragam dari arah mata angin yang
menghubungkan ke matahari dan musim (Lynch, 1960).

Konsep kosmik juga berlaku pada keraton Surakarta dan kawasan keraton Surakarta
secara fisik masih utuh, dan secara pasti akan dilakukan penyesuaian di dalam penggunaan
ruang-ruangnya, terdapat kebutuhan akan penggunaan ruang untuk berkegiatan dan fungsi baru
pada satu pihak, di lain pihak terdapat kepercayaan atau tatanan yang mengatur cara
penggunaan ruang-ruang tertentu (Priyatmono, 2013).

Tata letak Keraton Surakarta membujur dari arah Utara ke Selatan, dengan adanya Kori
Kamandungan dan Prabasuyasa, hal tersebut mengingatkan pada Keraton Kartasura
(Soeratman, 2000a). Dalam konsepsi empat lingkaran untuk sebuah kerajaan di Jawa, dipakai
pula untuk pembagian keraton, seperti yang terjadi pada Keraton Surakarta. Pembagian tersebut
adalah: Lingkar pertama, yaitu Kedhaton (inti) dan sekitarnya yang dilingkungi oleh beteng bata
; Lingkar kedua, yaitu wilayah di antara dua beteng yang disebut Baluwerti; Lingkar ketiga, yaitu
halaman di luar Kori Bradjanala yang disebut sebagai paseban; Lingkar keempat, yaitu alun-alun
di depan paseban. Alun-alun Lor merupakan bagian depan keraton dan rakyat (kawula) selalu
memberi penghormatan apabila mereka masuk ke wilayah ini. Selanjutnya supaya tidak terjadi
pelanggaran terhadap adat yang berlaku, Raja Pakubuwana IV pada masanya bersama kompeni
Belanda membuat peraturan yang berkaitan dengan alun-alun, yang diperuntukkan kepada
orang-orang kompeni, Cina dan suku-suku lainnya di Indonesia.
59

Gambar 2 - 2 . Konsepsi empat lingkaran sebagai pola dasar hirarki ruang


pada Keraton Surakarta Sumber : (Bahrend, 1982)

Besaran ruang pada Alun-alun Lor yang merupakan halaman depan keraton, memiliki
ukuran 300 m tiap sisinya dan memiliki sepasang pintu depan yaitu Kori Pamurakan dan Kori
Gladhag. Dimana kedua Kori tersebut merupakan batas gledhegan (pintu) yang menghubungkan
keraton dengan luar keraton (Soeratman, 2000a). Sisi timur laut dan barat daya terhubung
dengan pintu samping yaitu, Kori Gledheg Wetan menuju ke kampung Bathangan dan Kori
Gledheg Kulon menuju ke kampung Slompretan. Sehingga ke tiga macam kori tersebut di alun-
alun menunjukkan adanya penerapan klasifikasi dualisme dengan satu di pusat yang
berkedudukan lebih daripada dua lainnya.

Sitihinggil sebagai paseban bersama dengan tratag-rambat yang merupakan lingkaran


ketiga, sedangkan alun-alun sebagai halaman atau pekarangan yang terbentang luas di depan
paseban merupakan lingkaran keempat. Sepasang beringin yang ditanam di tengah Alun-alun
Lor, diapit oleh dua pasang beringin lainnya, sepasang berada di selatan dekat dengan meriam
di depan Pagelaran, dan sepasang lainnya di sebelah utara dekat dengan Kori Pamurakan.
Beringin sepasang di tengah Alun-alun Lor, yaitu beringin Dewadaru dan beringin Jayadaru diberi
pagar besi bersegi delapan seakan membelah alun-alun menjadi bagian timur dan barat. Sejajar
dengan bagian depan Sasanasumewa, di sebelah kiri dan kanan yang terdapat Bangsal
Pacikeran dan Bangsal Pacekotan. Dimana ke dua pohon beringin tersebut melambangkan
loroning atunggal, dua unsur berjarak tetapi merupakan persatuan yang sulit dipisahkan. Ruang
di antara dua buah pohon beringin itu dianggap keramat, dan hanya raja sebagai penguasa yang
berkedududkan sebagai wakil persatuan dua unsur tersebut yang bebas melalui ruang tersebut
(Soeratman, 2000a).
60

Menurut Babad Sala (Sajid, 1984):

‘Alun-alun Kidul punika alun-alun pungkuran, nanging sajatosipun malah ingkang nama ngajengan,
sabab miturut griya Jawi ingkang kangge ancer-ancer punika adheping griyanipun. Ing mangka Kadhaton
Surakarta dalemipun Ageng Prabasuyasa majeng mangidul, dados ingkang nama Karaton punika inggih
majeng ngidul’.

Sesuai dengan fungsi ruangnya, keadaan paseban dan alun-alun Kidul jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan alun-alun Lor. Sitihinggil tidak begitu tinggi, dan bangsal Witana
yang dibangun oleh Pakubuwana IV tidak seperti empat bangsal di sebelah utara. Sepasang
pohon beringin di tengah alun-alun Kidul yang ditanam tidak diberi nama khusus dan sepasang
pohon beringin kurung lainnya sebagai pengapit. Sehingga, alun-alun Kidul sebagai alun-alun
pungkuran, berada didalam lingkup tembok keraton. Sebuah Kori Gledheg di sebelah timur di
sebut Kori Gurawan. Di sisi sebelah barat daya terdapat kandang gajah dan berisi seekor gajah
betina. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, di Sitihinggil Pengkeran juga ada seba,
terutama pada hari-hari besar sebagai tempat dilangsungkan upacara. Sebagai contoh, pada hari
garebeg, yang caos dan seba di Sitihinggil ini adalah para panewu dan mantri undhagi, tukang
batu, pande serta bawahannya, mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya. Pada masa
lampau, alun-alun dipakai sebagai tempat untuk latihan perang para abdi dalem prajurit yang
disaksikan oleh raja dan dilangsungkan pada setiap hari selasa dan minggu pagi (Soeratman,
2000a).

2.7 Perubahan Alun-alun Surakarta


Perkembangan kawasan Alun-alun Surakarta dan sekitarnya, mengakibatkan berbagai
perubahan dan peralihan fungsi terkait aktivitas, maupun arsitektur. Amatan awal terlihat gejala
perubahan sosio-kultural maupun terhadap tatanan ruang lingkungannya. Kondisi saat ini,
perubahan pada sebagian besar kawasan alun-alun dan sekitar keraton (termasuk kawasan
Baluwerti) telah menunjukkan degradasi sifat keruangan pada penggunaannya. Hal ini akan
berakibat menurunnya nilai kesakralan kawasan serta nilai sebagai pusat kebudayaan Jawa nya.
Tanah dan bangunan keraton Kasunanan Surakarta berikut segala kelengkapan didalamnya
(Masjid Agung dan alun-alun keraton) adalah milik Kasunanan Surakarta yang perlu dilestarikan
sebagai peninggalan budaya (Isbandiyah, 2008).

Terkait tampilan kawasan Alun-alun Surakarta sebagai ruang publik kota yang berfungsi
sebagai wadah beragam kegiatan masyarakat, yaitu berupa kegiatan ekonomi, sosial dan
budaya, sehingga kegiatan yang bersifat ekonomi tesebut sangat mendominasi kawasan di
sekitaran alun-alun (Ruwaidah, 2012b). Telah terjadi pergeseran fungsi yang berdampak pada
61

aspek sosial (urban) dan fisik kota merupakan hal yang saling mempengaruhi dan tidak dapat
saling mengabaikan (Hariyono, 2007).

Ketika perlu mendapat perhatian dan sense of belonging dari masyarakatnya terkait
dalam pembentukan pola ruang atau kawasan terkait dengan tatanan fisik pada perkotaan, maka
hal tersebut berindikasikan bahwa telah terjadi transformasi ruang di kawasan alun-alun
Surakarta. Pada pola pembentukan dalam ruang terbuka publik perlu adanya proses yang tidak
menimbulkan konflik, sehingga masyarakat mampu menumbuhkan perasaan memiliki dan
hubungan yang harmonis dengan ruang kota sebagai ruang publik.

2.8 Keterpaduan kawasan ruang publik dapat terbentuk oleh adanya berbagai relasi:

a. Relasi Sosial
Faktor sosio-ekonomi dan perilaku pergerakan berperan dalam membentuk pola
pergerakan dalam suatu kawasan perkotaan. Jarak dari tempat tinggal ke pusat kota
merupakan faktor kunci yang mempengaruhi aksesibilitas untuk menuju sejumlah fasilitas
yang mewadahi beragam kegiatan (N/Ess & Jensen, 2004).
Dengan pentingnya penggunaan dasar pertimbangan struktur sosial dalam revitalisasi
dan pembangunan kembali beragam komponen dalam suatu perkotaan. Pembangunan
kembali pusat kota biasanya berkonsentrasi terlalu banyak pada transformasi spasial dan
mengabaikan pentingnya tatanan sosial yang ada, disisi lain nilai sosial tradisional
memiliki energi yang dapat dilestarikan dan ditingkatkan untuk mengembangnkan
kawasan ruang publik yang bernilai komersial. Dalam lingkup yang lebih makro,
perencanaan kota harus mempertimbangkan evolusi kota dalam perjalanan waktu,
pengalaman dari masa lalu, dan nilai-nilai yang melekat pada bentuk tradisional perkotaan
untuk menuju kota dengan komunitas yang berkelanjutan secara sosial (Sharifi, A;
Murayama, 2013).
b. Relasi Budaya
Mendefinisikan budaya sebagai cara hidup bagi seluruh masyarakat; ini meliputi: kode
cara, pakaian, bahasa, agama, ritual, norma-norma perilaku seperti hukum dan moralitas,
dan sistem kepercayaan serta seni (Raymonds, 1976).
Dalam kehidupan yang masuk dalam era modernisasi yang semakin membumi, bahwa
keberadaan alun-alun yang dikatakan sebagai salah satu produk budaya asli masyarakat
Jawa, secra kenyataannya kini sedang mengalami pergeseran fungsi. Pemerintah
maupun masyarakat sebagai aktor utama cenderung memandang alun-alun sebagai
sarana hiburan dan komersial semata. Peran dan fungsi alun-alun seakan-akan terasa
62

diminoritaskan dan dikerdilkan. Alun-alun yang pada mulanya merupakan sarana untuk
ritual keagamaan serta pusat pemerintahan (keraton) yang sakral, keberadannnya kini
hanya dianggap sebagai tanah lapang yang tidak bermakna dan memiliki kesan spiritual.
Padahal dalam kehidupan tata kota masyarakat Jawa tradisional dahulu, bahwa keraton
dan alun-alun adalah merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan
dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan
sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional
Jawa menunjukkan alun-alun berada pada pusat tengah kota sebagai lambang dari pusat
jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang
meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta Masjid Agung
di sebelah baratnya (Moerdjoko, 2005).
c. Relasi Ekonomi
Struktur ekonomi kapitalis adalah pola struktur bersaing/ penuh persaingan. Dalam hal
tersebut adalah sudah merupakan suatu keharusan, dikarenakan jumalah persaingan
yang cukup dan sangat diperlukan apabila seluruh proses produksi dan distribusi diatur
oleh kekuatan pasar. Selanjutnya, kapitalisme menyatakan bahwa persaingan dapat
menyebabkan suatu proses seleksi alami, sehingga setiap individu dapat mencapai
tingkat dalam posisi yang paling mampu untuk didudukinya. Mereka yang mampu
memimpin dan berorganisasi eksekutif akan menjadi pengusaha yang berhasil, mereka
akan berada dalam posisi yang terbaik untuk melaksanakan kualitas yang dimilikinya.
Pengusaha yang tidak efisien akan tersingkir oleh proses kegagalan sederhana (Mannan,
1992).
Pada konteks Alun-alun Surakarta saat ini, kawasan Keraton Surakarta mengalami
perkembangan seiring perkembangan jaman, terutama dalam aktivitas perdagangan.
Perkembangan ini tidak dapat dihindari, mengingat tuntutan masyarakat di masa kini yang
menempatkan sektor ekonomi sebagai prioritas utama. Perkembangan aktivitas
perdagangan yang paling pesat terjadi di sekitar Alun-alun Lor sampai ke Gapura Gladag
sebagai gerbang masuk utama karena langsung menghadap ke Sitihinggil utara pada
posisi dari keraton. Kawasan Alun-alun Lor Surakarta yang seharusnya dikonservasi
mengalami peralihan fungsi. Peralihan fungsi lahan tersebut menjadi sangat dominan.
Seperti terjadi dikawasan perdagangan di sebelah barat keraton Surakarta. Pasar Klewer
yang semula bernama pasar Slompretan dan tidak direncanakan keberadaannya menjadi
berkembang pesat seiring dengan perkembangan perdagangan sekitarnya. Memang
perkembangan pasar klewer tersebut tidak dapat dilepaskan dari peranan keraton
63

sebagai obyek wisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Kawasan ini
semula hanya melengkapi fasilitas kawasan saja, tetapi karena letaknya yang strategis di
pusat kota Surakarta maka kawasan perdagangan ini maju dengan pesat. Pada hari-hari
biasa kegiatan perdagangan di sebelah barat keraton ini sudah cukup membuat
keruwetan lalu lintas yang ada di Alun-alun Lor Keraton, apalagi pada saat acara-acara
khusus yang diselenggarakan oleh keraton; pada waktu-waktu tertentu seperti: acara
Mauludan, Garebeg, Malam Satu Suro, dll. Kemacetan di depan pagelaran keraton
sebagai pendopo keraton dan kepadatan kendaraan yang diparkir menjadi pemandangan
yang sudah biasa dikawasan ini. Masalah parkir juga semakin merepotkan, sebagian
halaman keraton sebelah barat sudah dijadikan area parkir pengunjung pasar Klewer
bahkan sampai ke halaman Masjid Agung yang merupakan bagian dari kawasan keraton.
Lokasi perdagangan pada hari-hari biasa juga sudah menjalar ke sekitar Aun-alun Lor.
Pedagang-pedagang tersebut terutama adalah pedagang kaki lima (PKL). Penempatan
pedagang yang menempel di pinggir bahkan di tengah alun-alun tersebut mengurangi
view pandang dan orientasi ke arah bangunan pendopo keraton dengan bebas, bahkan
kegiatan perdagngan tersebut lebih menjadi pusat perhatian masyarakat dibandingkan
dengan Keraton Surakarta dengan latar belakang historisnya. Kawasan alun-alun ini
menjadi bagian penting sebagai salah satu simpul kegiatan masyarakat kota Surakarta di
masa sekarang. Hanya saja kegiatan yang ada pada kawasan saat ini sangat didominasi
oleh kegiatan perdagangan yang semakin menjalar hampir di seluruh sisi kawasan.
Apabila hal tersebut berlarut-larut bisa jadi kawasan Alun-alun Lor Keraton Surakarta yang
merupakan ruang publik di area konservasi akan berubah menjadi kawasan perdagangan
saja. Karena karakter sebuah ruang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di
dalamnya, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Terkait dengan hal tersebut, maka
dikawatirkan peran alun-alun sebagai bagian dari kawasan Keraton Surakarta dan
sebagai kawasan budaya yang ada di kota Surakarta khususnya dan Jawa Tengah pada
umumnya akan tergeser oleh perkembangan kegiatan perdagangan. Terutama terkait
nilai-nilai historis dan makna-makna simbolis yang menyertai keberadaannya, yang juga
merupakan ruang publik pusat kota dan bagian dari kawasan keraton Surakarta.
d. Relasi Nilai Tempat
Central Place Theory dijelaskan adanya distribusi spasial sistem kota (Smith, JW; Floyd,
2013), sehingga penyediaan ruang terbuka perkotaan terjadi melalui mekanisme politik
dan ekonomi yang dapat meminggirkan kelompok minoritas ras, dan akses untuk
membuka ruang ditentukan oleh pola spasial aglomerasi ekonomi. Dan pertumbuhan
64

perkotaan sangat dipengaruhi oleh konsekuensi sosial masyarakat lokal melalui variasi
dalam tingkat kelompok/ras/etnis yang berbeda dalam mengakses ruang. Hal tersebut
diperkuat bahwa regenerasi suatu kota secara berkelanjutan harus mampu membuat
tempat bagi masyarakat lokal untuk melestarikan sejarah sosial-budaya lingkungan
perkotaan, tidak hanya sekedar melestarikan bentuk tradisional sebagai simbol budaya
(Chen, 2011). Tradisi harus berkembang dalam bentuk kolektif yang digunakan dalam
desain arsitektur dan perkotaan dengan tetap menjaga keterlibatan masyarakat, dalam
rangka mencapai identitas budaya secara nyata dan kesatuan sosial. Hal tersebut
didukung dengan adanya upaya optimalisasi potensi ruang kota melalui peningkatan
integrasi sosial. Hubungan ruang dengan manusia dan perilaku manusia dapat digunakan
sebagai tolok ukur dimensi lingkungan sosial dan identitas lingkungan perkotaan
(Cheshmehzangi, 2012). Dikatakan pula bahwa dalam menghidupkan ruang bersejarah
dapat dilakukan dengan mengaktifkan ruang di sekitar kawasan bersejarah dengan
aktivitas pasar sementara atau temporer, sehingga aktivitas antara kegiatan bersejarah
dengan kegiatan sehari-hari dapat mendukung keberlanjutan budaya (Zakariya, KS;
Harun, 2013).

2.9 Pemetaan Teori (Theory Mapping) dan Ujung Keilmuan dan Nilai Kebaruan
Pemetaan teori (Theory Mapping ) yang telah dilakukan dengan melalui beberapa tahap
seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.6 (public space), tabel 2.7 (public space urban heritage),
tabel 2.8 (public space tradisi Jawa), dan terkait diperjelas lagi dengan pemetaan pada teori
transformasi (tabel 2.9) yang telah dilakukan untuk mendapatkan celah teori atau gap theory.
Sehingga dalam hal ini diperlukan pemetaan dalam dua bagian, yaitu pemetaan teori
berdasarkan literatur, buku, hasil penelitian, jurnal nasional, jurnal internasional serta disertasi
dengan topik penelitian yang akan mendukung dan pemetaan kondisi empirik. Berdasarkan
pemetaan teori public space didapatkan hasil bahwa ruang publik secara teori-teori yang sudah
ditemukan, sebagian besar masih/ hanya menyentuh pada kawasan-kawasan yang bersifat
umum (profan), seperti: perumahan, permukiman, plasa, lapangan terbuka/ alun-alun, taman
kota, koridor jalan, mall, baik dikota di kota lama ataupun kota moderen. Sedangkan pada
pemetaan teori transformasi didapatkan ujung teori, bahwa transformasi dapat terjadi pada
struktur ruang kawasan, transformasi ruang terkait aspek budaya dan aspek perilaku,
transformasi mendasarkan pada aspek tradisi, transformasi bagian dari kehidupan sosial dan
komersial, transformasi ruang terkait: tatanan fisik, tatanan teritorial dan tatanan budaya.
65

Fenomena yang terkait dengan kondisi empirik didapatkan bahwa secara kenyataan di
ruang publik dapat terjadi transformasi/ perubahan ruang antara ruang privat menjadi ruang
publik, ruang publik menjadi ruang privat, atau tetap sebagai ruang privat itu sendiri atau ruang
publik itu sendiri (tanpa terjadi konflik).
Theory mapping menghasilkan gap theory: Ruang publik pada kawasan alun-alun yang
masih terkait dengan tradisi budaya Jawa, dengan lokus pilihan pada dua kota terpilih dan yang
masih menjunjung tinggi budaya tradisi Jawa peninggalan kerajaan hingga saat ini, yakni Kota
Surakarta dan Kota Yogyakarta. Dan pilihan ruang publik jatuh pada lokus alun-alun kota
Surakarta sebagai kota pusat budaya di Jawa Tengah yang hingga kini masih menjunjung tradisi
Jawa secara utuh dan konsisten. Didukung dengan kondisi kawasan alun-alun nya sebagai ruang
publik yang masih digunakan, baik sebagai kegiatan tradisi budaya yang sakral, serta area publik
masyarakat yang bersifat profan dengan kegiatan perdagangan dan pariwisata. Problem finding
sebagai hasil dari gap theory didapatkan adalah berupa pengkayaan terhadap teori ruang publik,
transformasi ruang, dan sosial-budaya yang memiliki karakter sakral ke profan yaitu di kawasan
Alun-alun Surakarta.
State of the art merupakan ujung keilmuan atau penutup lubang keilmuan dalam suatu
rangkaian mata rantai ataupun gugusan ruang yang terus bergerak dan tumbuh dalam bidang
keilmuan. Sehingga, didalam penggunaan terminologi mata rantai keilmuan tersebut yang
didalamnya masih ada beberapa simpul yang belum terkait dan masih ada kemungkinan belum
tepat, maka hasil penelitian didalam tulisan ini diharapkan akan mampu untuk merangkai dan
menutup celah pada hal bagian tersebut dengan tepat dan sesuai pada tempatnya.
Mendasarkan pada kajian hasil penelitian yang telah digali, pada teori –teori tentang
transformasi barat lebih pada hal-hal yang tangible (kongkrit), maka novelty dari penelitian ini
adalah menggali teori lokal yang lebih kepada hal-hal yangl intangible (abstrak) yang terkait
tempat (place) melalui teori tandha sebagai basis transformasi ruang dari sakral ke profan di Alun-
alun Surakarta. Harapannya, mampu dalam mengungkapkan jelas bagaimana transformasi
keruangan di Alun-alun Surakarta dengan nilai-nilai sifat keruangan sakral ke profan.
Keterkaitan keilmuan antara teori ruang publik dan teori transformasi, secara spesifik yaitu
teori transformasi, yang akan dapat saling berpengaruh dan melihat fenomena dan empirik
dengan tepat terhadap nilai sakral profan yang terjadi pada kawasan alun-alun Surakarta, dengan
harapan mampu melihat rangkaian terkait dengan proses man, place and activity with time, yaitu:
man (manusianya sebagai pelaku), proses place (tempat sebagai ruangnya), proses activity
(kegiatannya), dan proses time (waktu dalam rangkaian) yang saling terkait.
66

Pada tabel 2.6, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space, yaitu mulai dari teorinya Ali Madanipour di tahun 2005 hingga Ensiyeh
Ghavampour tahun 2017, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Ruang publik dapat berupa ruang umum tertutup maupun ruang publik terbuka
- Ruang publik memiliki hubungan kedekatan (relasi social) dengan budaya dan politik
- Ruang publik sebagai pusat interaksi tempat usaha pedagang K5
- Ruang publik sebagai katalisator kegiatan social-rekreasi-budaya
- Ruang publik memiliki citra afektif dan focus kognitif yang terkait dengan aspek tingkah
laku
Tabel 2.6
Theory mapping – Public Space Sumber: analisis Penulis (2017)
67

Pada tabel 2.7, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space urban heritage, yaitu mulai dari teorinya Rully Damayanti di tahun 2005
hingga R. Dimas Widyaputra tahun 2016, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Kebutuhan manajemen untuk menangani kepentingan yang saling bertentangan
didaerah perkotaan yang bersejarah
- Di dalam menangani urban heritage terkait dengan akses kesejarahan, social-kultural,
keilmuan, politik dan ekologis
- Kaitan terhadap manusia, gubahan fisik dan aktivitas dalam urban heritage

Tabel 2.7
Theory mapping – Public Space Urban Heritage Sumber: analisis Penulis (2017)
68

Pada tabel 2.8, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space tradisi Jawa, yaitu mulai dari teorinya Rony Gunawan Sunaryo di tahun
2014 hingga Laksmi Widyawati tahun 2017, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Adanya kerelaan pihak keraton memberikan halamannya untuk rakyat adalah utama
terbentuknya ruang publik di alun-alun
- Ketika ke-tidak stabilan budaya, politik dan ekonomi dibuat dan berlanjut untuk menuju
keberbedaan terhadap penggunaan ruang public
- Aktivitas didalam ruang dan mengatur system keterhubungan (linkage)

Tabel 2.8
Theory mapping – Public Space Tradisi Jawa Sumber: analisis Penulis (2017)
69

Pada tabel 2.9, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan transformasi, yaitu mulai dari teorinya Granham di tahun 1984 hingga Yulia Pratiwi
tahun 2016, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Transformasi dapatterjadi pada struktur ruang kawasan,
- Transformasi budaya dan aspek perilaku
- Transformasi bagian dari kehidupan social dan bagian dari kegiatan komersial
- Transformasi ruang terkait tatanan fisik, territorial dan budaya

Tabel 2.9
Theory mapping – Transformasi Sumber: analisis Penulis (2017)
70

GAP THEORY

Gambar Diagram 2 - 2. Kajian Teori – Teori dan Empirik. Diolah dari Sumber: (analisis penulis
2017)

GAP THEORY

Gambar Diagram 2 - 3. Teori – Teori – Empirik – Gap Theory. Diolah dari Sumber: (analisis
penulis 2017)
71

Gambar Diagram 2 - 4. Teori dan Fenomena Empirik saat ini di Alun-alun Lor. Diolah dari
Sumber: (analisis penulis 2017)

GAP THEORY

Gambar Diagram 2 - 5. Teori dan Fenomena Empirik saat ini di Alun-alun Kidul. Diolah dari
Sumber: (analisis penulis 2017)
72

2.10 Place Sebagai Ruang Yang Berkarakter Dari Suatu Tempat


Argumen arti pentingnya variable social budaya bagi terciptanya lingkungan yang
bersuasana budaya dikatakan sebagai cultural-supportive environment (Rapoport, 1977), secara
prinsip yang dikemukakan adalah bagaimana menempatkan waktu, material dan simbol-simbol
yang berbasis pada prioritas kebudayaan. Dan yang menjadi prioritas terkait budaya menurut
Rapoport adalah adanya indikasi tentang: a) originalitas kelompok dengan karakteristik yang khas
pada perilaku, skemata, system pengklasifikasian ruang dan waktu, b) komunikasi privasi, c)
simbol-simbol yang diekspresikan pada lokasi, hunian dan artefak, d) system aktivitas dan, e)
organisasi sosial.
Ketika sebuah tempat (place) dapat dikatakan sebagai integrasi antara ruang dan
kebudayaan manusia dan merupakan keterpaduan totalitas dari berbagai unsur, substansi
bentuk, tekstur, warna yang berpadu dengan manusia, budaya, sejarah serta lingkungan alam
(Rapoport, 1977), Place sebagai sebagai ruang social Tuan (2008), dan ruang juga dikatakan
sebagai: Elemen fixed / elemen permanen, Semi fixed /elemen semi permanen/ perabot yang dpt
berpindah, Non-fixed /elemen yg keberadaannya tidak tetap (Hall 1966). Sebuah ruang akan
terlihat berkarakter ketika dalam ruang social budaya mampu membuat pelaku ruang dapat
merasakan suasana kerasan, ketakutan, tentram, dan sebagainya (Budiarto, 2012). Selanjutnya
dikemukakan Rapoport bahwa arsitektur sebagai symbol non verbal yang merupakan refleksi
pemikiran manusia akan kebutuhan ruang.
Melalui indera yang kasat/ panca indera mampu meluaskan cara pandang dan merubah
pula alat baca yang digunakan (Budiarto, 2012), sedangkan melalui indera kasat tersebut
memungkinkan ruang didefinisikan atas materialnya, dengan alat-alat visual, peraba, pendengar,
pencium, serta pencecap yang berperan menidentifikasi suatu ruang (Pangarsa, 2006). Ketika
memasuki batas dimensi waktu dan energi, ruang menjadi lebih dominan ke ranah yang lebih
luas daripada hanya terbatas unsur fisikalnya, sehingga kemampuan dimensi waktu mampu
mensejajarkan antara sejarah sosial dengan dimensi fisikal yang telah dijalani manusia. Salah
satu aspek penting terkait dengan sosial-budaya sebagai pendukung desain dan dalam hal ini
memerlukan alat baca yang memiliki kemampuan mengeksplorasi pada dimensi sejarah sosial-
budaya, sehingga diperlukan kemampuan lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa non
verbal (Budiarto, 2012). Fenomena arsitektur banyak terkait dengan Bahasa non verbal yaitu
melalui symbol, tanda-tanda yang wajib dibaca dan diinterpretasikan, keseimbangan dan
keselarasan antara elemen-lemen penyusun ruang menjadi indikasi sisitem energi pada ruang.
Sehingga menjaga karakter ruang adalah hal yang sangat penting agar kawasan tersebut tetap
menjadi kawasan yang terpelihara dan terbina.
73

2.11 Kosmologi Ruang Arsitektur Jawa


Terkait ide-ide dasar yang dipergunakan dalam arsitektur Jawa yang bersumber padai
kepercayaan religius dari masyarakat yang dipengaruhi oleh beberapa kepercayaan agama Islam
dan bersumber dari ayat suci Al Qur’an, kepercayaan Hindu, Budha serta kepercayaan awal yang
sudah dimiliki masyarakat Jawa (Prijotomo, 1992).
Menurut kepercayaan Hindu, seorang Raja adalah Tuhan; hanya Raja sebagai Tuhan yang
mampu memerintah masyarakat di bumi keterkaitan hubungan selaras dengan kosmik. Bagi
kepercayaan masyarakat Jawa, bahwa peraturan-peraturan yang ada saling berhubungan
antara: masa lalu, masa sekarang dan masa akan datang. Oleh dari itu, maka Raja dianggap
memiliki kedudukan yang sakral dalam kerajaan, sehingga istana Raja merupakan perwujudan
dari mikrokosmos dan makrokosmos.
Keberadaan Istana, Raja, dan Negara saling berhubungan dan yang didirikan membentuk
dua image yaitu ketuhanan dan kehidupan sosial. Konsep pada istana Raja adalah meliputi
kegiatan, gaya hidup, penataan dan keseluruhan kehidupan didalamnya sebagai gambaran
kehidupan Tuhan yang menyediakan kesenangan tidak nyata. Kesejahteraan negara dilihat dari
kejayaan kerajaan, dan kejayaan kerajaan dilihat dari kemegahan istana Raja, yang pada
akhirnyakemegahan istana berdasarkan pada kepercayaan spiritual dari Raja. Harmoni dalam
kepercayaan masyarakat Jawa bukan berupa hanya keseimbangan dalam dunia, tetapi juga atas
hubungannya dengan Tuhan pencipta sekalian alam, sehingga tujuan akhir tidak atau bukan
pada yang bersifat keduniawian tetapi sesuatu yang tidak berbatas (Astuti, 2003).

2.11.1 Interpretasi Kosmologi Pola Penataan Hindu- Jawa


Kehidupan sosial masyarakat Jawa, secara konkrit masing-masing elemen saling berkaitan,
dimana pusat/ poros memegang peranan yang sangat penting dalam posisi maupun maknanya.
Masing-masing elemen memiliki proses dan manifestasi, titik pusat sebagai poros berhubungan
dengan sesuatu yang tidak terbatas.
Menurut hubungan kosmologi di dalam masyarakat Jawa, terdiri dari elemen-elemen yang
diinterpretasikan interaksinya (Astuti, 2003), yaitu:
a. Pola interaksi antara kekuatan yang bersifat keduniawian dengan kekuatan yang
bersifat ilahiah atau ke akherat-an.
b. Arah barat dan timur melambangkan kekuatan duniawi, dimana kelahiran berawal dari
arah timur dan kehidupan manusia berakhir di arah barat.
c. Arah utara dan selatan melambangkan kekuatan akherat, dimana arah utara
melambangkan surga dan arah selatan sebagai lambang neraka.
74

Bentuk kosmis dalam kosmologi Jawa merupakan pusat dari kosmos yang dilambangkan
sebagai gunung Mahameru. Makna dari titik pusat tersebut adalah sebagai simbol dari proses
manusia dalam menstabilkan kehidupan dunia sehingga menjadi sempurna.

Gambar Diagram 2 - 6 . Simbol Kosmologi Hindu - Jawa. Sumber: (Astuti 2003)

2.11.2 Interpretasi Elemen Jawa-Islam


Islam memiliki filosofi yang lengkap dalam hidup dan pemerintahan, dalam Islam tidak ada
suatu perbedaan antara kehidupan keagamaan dan kehidupan kemasyarakatan. Muslim percaya
bahwa Islam memberikan kesatuan yang lengkap dalam hidup.
Interpretasi hidup bagi kaum Sufi dalam Islam diterjemahkan dalam sebuah komposisi
makrokosmos dan mikrokosmos dalam tiga elemen, yaitu jasad (jism), jiwa (nafs) dan spirit (ruh).
Dalam hal konsep tersebut ada dua interpretasi yang muncul dikalangan muslim, tetapi esensinya
sama yaitu Tuhan dalam wujud (zahir) sebagai perwujudan realita. Sedangkan interpretasi yang
kedua yaitu Tuhan yang tersembunyi (batin) berupa faktor spiritual manusia.
Secara material, kosmos disimbolkan dalam empat elemen, yaitu: api, udara, air, dan tanah.
Api memiliki sifat panas, udara melambangkan sifat dingin, air melambangkan kebasahan sumber
kehidupan, dan tanah elemen yang pasif memiliki sifat kering (Astuti, 2003).

Gambar Diagram 2 – 7. Simbol Kosmologi Kaum Sufi. Sumber: (Astuti 2003)


75

2.12.1 Sakral dan Profan dalam Peristiwa Keagamaan


Pemahaman akan sifat sakral menempatkan benda sebagai yang tidak dapat didekati
atau dipahami secara rasional. Mengutip Hubert, Caillois mengungkapkan bahwa kesakralan itu
ide dasar dari agama. Melalui keyakinan, mitos dan dogma menjelaskan karakteristik bendanya
dan perlakuan seharusnya terhadap yang sakral itu. Ritual adalah refleksi atau realisasi dari
kepercayaan kepadanya. Etika religius berkembang dan dikembangkan dari kepercayaan
kepada yang sakral. Sesuatu yang sakral harus diletakkan dalam tingkat yang suci, dipuja,
dihormati, disembah, dan diperlakukan dengan tata cara dan upacara tertentu. Bulan yang suci
seperti dalam bulan Ramadhan bagi umat Islam diperlakukan dengan menahan makan minum
dan hubungan seks di siang hari. Kitab suci Al-Qur’an dihormati dan dibaca dengan duduk yang
sopan, pakaian yang rapi, dan dalam keadaan berwudhu (bersih dari najis). Ka’bah yang suci
diberlakukan sebagai arah tempat menghadap shalat dan dikelilingi dengan bacaan tertentu yang
dinamakan dengan ibadah tawaf. Tanah suci di sekitar Makkah diperlakukan dengan larangan
membunuh hewan dan menebang pohon-pohonnya ketika sedang ber-ihram (Nurdinah, 2013).
Ruang sakral sendiri dalam hal ini diartikan sebagai makna dan fungsi yang melampaui makna
dan fungsi obyektifnya dari suatu tempat atau ruangan (Eliade, 2002).
Pada studinya mengenai agama yang mengkhususkan dengan masyarakat arkhais, yaitu
masyarakat pra-sejarah dengan peradaban paling kuno. Mereka berburu, bercocok tanam, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan alami lainnya. Dalam masyarakat ini, akan selalu ditemui apa
yang disebut sebagai pemisahan antara yang sakral dan yang profan (Eliade, 1959b). Menurut
bahasannya bahwa yang sakral adalah sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat penting, dan
tidak mudah dilupakan. Sementara, yang profan adalah sesuatu yang biasa, bersifat keseharian,
hal-hal yang dilakukan sehari-hari secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting.
Pemahaman menurut Eliade (Eliade, 1959b) tersebut yang sakral bersifat abadi, mengandung
substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral mengandung kesempurnaan dan keteraturan, dimana
di dalamnya bersemayam roh, nenek moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara
yang profan bersifat mudah hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu
berbuat salah, manusia selalu berubah, dan mengalami kekacauan. Dari sini terlihat sebenarnya
perbedaan konsep yang sakral antara Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim selalu
mengunakan pendekatan sosial kemasyarakatan yang non-supernatural dalam menentukan apa
yang sakral itu, Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya, kekuatan supernatural adalah inti dari
yang sakral itu. Dengan demikian, pemikiran Eliade ini bukanlah bersumber sepenuhnya dari
pemikiran Durkheim meski menggunakan istilah-istilah yang sama, melainkan bersumber dari
seorang teolog yang pernah menjadi pembimbingnya, yaitu Rudolf Otto.
76

Otto mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal yang
misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau mysterium
tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan dengan yang
sakral. Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan
menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi.
Perasaan inilah yang menjadi titik kunci apa yang disebut dengan agama. Eliade (Eliade, 1959b)
sepenuhnya sepakat dengan hal ini. Ia menyatakan bahwa perjumpaan dengan yang sakral
dapat dialami oleh semua orang. Perasaan ini begitu kuatnya sehingga kekuatan dari yang sakral
itu dianggap sebagai sebuah realitas, sesuatu yang nyata. Kesakralan adalah keseluruhan
realitas yang dahsyat dan abadi. Manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Meskipun
benar inilah apa yang dianggap Tuhan oleh agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam,
namun Eliade meminta untuk tidak menginterpretasikan yang sakral sebagai Tuhan, karena
konsepnya mengenai yang sakral tidak hanya berpusat pada Tuhan. Segala konsep-konsep
yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai
yang sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal.

2.12.2. Malam Takbiran sebagai bentuk Keberagaman Umat Islam,


Festival Takbir adalah Meleburnya Dimensi Sakral-Profan dalam Seni
Pada dunia seni, sebutan sakral dan profan setiap kali dipakai sebagai dasar yang
dipergunakan untuk membaca sifat dari bentuk karya seni. Umumnya pembacaan tersebut
dilandasi oleh peran seni dalam ritus atau praktik keagamaan atau kepercayaan lokal sebagai
wujud simbol. Sebagai contoh, di Surakarta atau di Yogyakarta paling umum misalnya: gamelan
sekaten, gamelan selonding, di gereja ada lagu rokhani, di pura ada patung dewa-dewi, di masjid
ada kaligrafi, dan sebagainya.
Acara pada Festival Takbir di Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.
Mendasarkan pada logika konsep sakral-profan menurut Durkheim dan Eliade (Eliade, 1959b),
dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan Festival Takbiran dapat dipisahkan mana yang
sakral dan profan. Hal yang bersifat sakral terletak pada lantunan kalimat Takbir yang
dikumandangkan secara terus-menerus. Kalimat Takbir sebagai manifestasi dari simbol agama
Islam yang menyiratkan keillahian. Festival Takbir juga dapat diinterpretasikan sebagai ruang
sakral, prinsipnya sama yaitu masyarakat berkumpul (bersosialisasi) yang menghadirkan
transenden atau keillahian. Hal yang dianggap profan menunjuk pada wujud dan bentuk seni
yang digunakan sebagai media perwujudannya. Seni itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang
profan, karena secara fundamental diciptakan oleh manusia dan bersifat imanen.
77

Kalimat Takbir berbunyi: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa illa
haillallahuwaallaahuakbar, Allahu Akbar walillaahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan segala puji
bagi Allah. Kalimat Takbir merupakan bentuk kalimat pujian untuk mengagungkan nama Tuhan
dari agama Islam yaitu Allah SWT. Kalimat Takbir adalah salah satu manifestasi simbol agama
Islam. Kalimat tersebut senantiasa membutuhkan wujud untuk dapat diserap oleh panca indera
manusia. Maka, dibuatlah nada-nada yang mengandung unsur artistik dan citarasa (estetis)
supaya lebih impresif diterima oleh panca indera manusia.
Kegiatan yang terselenggara pada malam Takbiran adalah sebagai bentuk praktik akan
keberagamaan dari umat Islam. Hal ini sebagai tanda berakhirnya ritual ibadah puasa dalam
bulan suci Ramadhan. Malam Takbiran dilaksanakan secara bersama umat dalam acara yang
meriah dan melafalkan kalimat Takbir yang dilakukan secara berulang-ulang hingga menjelang
waktu Sholat Hari Raya Idul Fitri. Dalam aktivitas perayaan malam takbir ini, biasanya disebut
sebagai Takbiran khususnya di Indonesia. Dan umumnya merupakan beragam ekspresi kegiatan
yang bersifat kegembiraan. Perayaan Takbiran dilakukan dengan kumpul-kumpul atau singgah
di Mushola dan Masjid, berjalan arak-arakan keliling kampung, konvoi berkendaraan di jalan raya,
ataupun lomba takbir keliling.

Gambar Diagram 2 – 7 a. Arak-arakan peserta Festival Takbir dalam peringatan Hari Raya Idul
Fitri di Yogyakarta. Sumber: (Foto: instagram permata_tamtama/ teraSeni.com)

Pada saat kegiatan acara Takbiran dikatakan sebagai tradisi dan rutinitas yang
berlangsung di masyarakat berbagai wilayah di Indonesia dan lintas agama. Secara khusus bagi
umat Islam, adanya festival ini menjadi bagian praktik keberagamaan, sedangkan bagi non-
muslim menjadi wahana rekreatif serta edukatif. Di kota Yogyakarta, agenda Festival Takbir
menjadi salah satu momen yang selalu dinantikan oleh masyarakat umum. Pergelaran Festival
Takbir Keliling dalam rangka peringatan Hari Raya Idul Fitri yang diselenggarakan oleh PHBI
(Panita Hari Besar Islam) kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Kegiatan tingkat provinsi ini
guna memperebutkan trophy Walikota Yogyakarta, yang acaranya digelar di halaman Museum
78

Perjuangan dengan melibatkan ratusan partisipan. Peserta lomba dalam festival ini mayoritasnya
adalah masyarakat local di kecamatan Mergangsan dan sekitarnya yang mewakili Masjid di
lingkungan tempat tinggal masing-masing (Nurvijayanto, 2020) (Pawestri, 2019).
Festival Takbir merupakan media masyarakat dalam bersosialisasi pada satu ruang dan
waktu yang bersifat temporal. Peristiwa festival tersebut menjadi aspek ritual dan hiburan yang
saling berkelindan. Proses dalam acara Festival Takbiran Keliling ini mampu mencerminkan
ragam bentuk festival yang ditawarkan oleh Falassi yaitu sebagai a) Rites of competition, berarti
kontestan bersaing dan menghasilkan pemenang dan ada yang kalah. b) Rites of purification atau
ritus pemurnian atau pembersihan diri. c) Rites of Conspicuous Display, dapat diinterpretasikan
sebagai media menampilkan ekspresi dalam bentuk pawai atau karnaval (Nurvijayanto,
2020;Murgiyanto, 2017).
Definisi sakral dan profan yang merujuk pada penjelasan Eliade dan Durkheim. Eliade
menjelaskan bahwa sesuatu yang sakral dan profan ditentukan oleh ruang dan waktu. Ruang
dan waktu yang sakral selalu menghadirkan dan memanifestasikan keillahian, sedangkan yang
profan tidak menghadirkan apa-apa (Eliade, 1959b). Ruang dan waktu profan sama seperti
waktu-waktu biasa tidak terdapat perbedaan. Berbeda dengan Eliade, Durkheim menjelaskan
bahwa yang sakral bersifat komunal atau berkelompok, memunculkan sesuatu yang supranatural
dan memanifestasikannya pada bentuk simbol-simbol. Sesuatu yang profan lebih bersifat individu
atau natural, tidak menjalin relasi dengan yang transenden atau lebih bersifat imanen. Komunal
lebih tinggi derajatnya, dihormati, serta memiliki suatu hirarki, sedangkan profan adalah bentuk
keseharian dan bersifat biasa saja (Kamiruddin, 2011).

2.12.3. Bulan September sebagai Momen Sakral dari Perayaan 4 Festival Keagamaan Di
India
Bulan September, secara periodik setiap tahunnya menjadi momen penting bagi warga
negara India, oleh karena di periode ini digelar sejumlah festival keagamaan terbesar. Akan
tetapi, akibat situasi pandemic-19 yang masih berlangsung sejak awal tahun 2020 lalu
mengharuskan festival-festival tahunan keagamaan dalam hal ini dibatalkan sehingga
79

menghentikan kemeriahan acara yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun (Tatarenko,


2020).

Gambar Diagram 2 – 7 b.1. Orang-orang berkumpul di Kota Hadiwar dalam peringatan Festival
Kumbh Mela di Bagian Uttarakhand India. Sumber: (Foto: panorama.id)

Banyaknya orang yang berkumpul di Kota Haridwar, pada negara bagian Uttarakhand,
dalam prosesi untuk merayakan Festival Kumbh Mela. Dimana dalam festival tersebut, orang-
orang secara bersama melalakukan ritual berendam bersama di Sungai Gangga. Sesuai
kepercayaan umat Hindu di India, bahwa ada keyakinan dan meyakini Sungai Gangga tersebut
suci dan berendam di dalamnya akan menghapus dan membersihkan dosa-dosa yang sekaligus
membawa keselamatan.

Gambar Diagram 2 – 7 b.2. Festival Ganesha Cathurthi di negara bagian Maharashtra, Goa
Tamil Nadu di Bagian Kota Mumbai India. Sumber: (Foto: panorama.id)

Festival Ganesh Chaturthi berlangsung selama sepuluh hari yang spektakuler, digelar
untuk menghormati kelahiran dewa berkepala gajah yaitu Ganesha. Di awal festival, ada patung
Ganesha besar yang dibuat dengan desain dan ukiran rumit, yang akan dipasang di rumah dan
panggung. Di akhir penghujung perayaan, patung-patung Ganesha tersebut akan diarak di
sepanjang jalan-jalan kota dan diiringi dengan nyanyian dan tarian, kemudian pada akhirnya
patung-patung tersbut akan ditenggelamkan di sungai terdekat. Pada festival Ganesh Chaturthi
biasanya dirayakan dengan istimewa di negara bagian Maharashtra, Goa, Tamil Nadu,
80

Karnataka, dan Andhra Pradesh, namun perayaan yang terbaik dan berlangsung marak rama di
kota Mumbai.

Gambar Diagram 2 – 7 b.3. Festival Onami di negara bagian Kerala, India. Sumber: (Foto:
panorama.id)

Setiap tahunnya, Kerala menggelar festival panen terbesar, Onam, yang juga
berlangsung selama sepuluh hari. Perayaan ini menandai kepulangan Raja Mahabali yang mistis,
di mana warga akan menghiasi tanah depan rumah dengan bunga yang ditata dengan pola indah.
Festival ini dimeriahkan dengan pesta, tarian, olahraga, permainan, dan lomba perahu.

Gambar Diagram 2 – 7 b.4. Drama Ramlila di negara India bagian Utara. Sumber: (Foto:
panorama.id)

Ramlila adalah pertunjukan drama yang berasal dari India utara, yang membawakan
cerita-cerita Ramayana menggunakan boneka raksasa (badawang). Ramlila tertua di dunia, yang
menghidupkan kembali kisah epik Hindu Ramayana, sudah berlangsung selama hampir 200
tahun. Ini dimulai dengan inkarnasi Dewa Wisnu sebagai Rama untuk menyelamatkan manusia
dari raja iblis, Rahwana. Ramlila berlangsung selama tiga puluh satu hari, dari Anant Chaturdashi
dan berakhir pada saat malam bulan purnama.
81

Gambar Diagram 2 – 7 b.4. Festival Ladakh di negara India bagian Ladhak. Sumber: (Foto:
panorama.id)

Festival Ladakh adalah acara tahunan yang meriah dengan pertunjukan budaya di seluruh
wilayah Ladakh, yang dibuat untuk memperpanjang musim turis. Kemeriahan festival ini
menawarkan banyak hal kepada para wisatawan, seperti pertandingan polo, konser musik, tarian
topeng dari biara, panahan, arung jeram, pameran foto, dan pertunjukan rakyat.
Manusia religious berusaha hidup sedapat mungkin untuk dekat dengan pusat dunia.
Dengan demikian, manusia tradisional hanya dapat hidup dalam komunikasi dengan dunia lain,
transedental secara ritual. Mari kita tengok proses sakralitas pada ruang yang terjadi dalam
pembangunan rumah (bangunan, tempat ibadah). Bagi masyarakat primitif rumah merupakan
manifestasi dari kosmos. Sebelum para tukang meletakan batu pertama seorang ahli astronomi
akan menunjukan pada mereka tempat dimana batu harus diletakkan dan tempat ini dianggap
terletak di atas ular yang menyokong dunia. Sang pembuat rumah meruncingkan sebuah tiang
panjang dan mengarahkannya ke tanah yang telah ditunjuk oleh ahli astronomi untuk memaku
kepal ular. Dalam keyakinan mereka ular menyimbolkan kekacauan, ketiadaan bentuk, yang tak
terwujud. Memotong kepalanya sama dengan tindakan penciptaan keadaan dari yang maya dan
tak berbentuk menuju keadaan yang punya bentuk. Walhasil, rumaha bukanlah sebuah objek
“mesin untuk ditinggali”. Melainkan, bahwa jagat raya yang dibangun manusia untuk dirinya
sendiri dengan meniru penciptaan paradigmatic dari dewa-dewa kosmogini. Untuk orang yang
beragama ruang sakral ini hadir dalam Kuil, Basilika dan Katedral. Pasalnya, kesucian kuil
merupakan bukti melawan segala kerusakan duniawi berdasarkan bukti-bukti perencanaan
arsitektur para dewa yang berada di surga. Begitu pula Bisilika dan Katedral pada Kristen yang
mengambil alih sekaligus meneruskan simbolisme kosmik. Satu sisi gereja dipahami sebagai
tiruan dari Jerusalem surgawi sejak zaman patristic. Lain sisi gereja adalah perwujudan kerajaan
Allah (surga) (MANSYURI, 2011;Eliade, 2002) . Kedua, Waktu. Pada dasarnya waktu sakral
82

dapat diulang-balik. Yakni penghadiran kembali waktu mitos (mythical time) primordial. Setiap
perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sacral yang terjadi
pada zaman mitos pada permulaan. Partisipasi religious dalam perayaan menandakan
perpindahan dari duraasi temporal yang biasa dan penyatuan dengan waktu mitos yang
direaktualisasika dalam perayaan. Dengan kata lain, peserta perayaan menemukan dalam pesta
itu kelahiran pertama dari waktu sakral. Upaya mereaktualisai kosmogoni hadir dalam tahun baru.
Pasalnya meindikasikan waktu diulang lagi mulai dari awal, yakni retsorsi waktu primordial, murni
ada pada saat penciptaan. Inilah menjadi alasan tahun baru merupakan kesempatan untuk
pemurnian untuk penghapusan dosa, pengusiran setan, sekedar penghapusan dosa.
Pengalaman sakralitas ruang, waktu menunjukkan keinginan untuk bersatu kembali dengan
situasi permulaan saat para dewa-dewa dan leluhur mitos hadir guna menciptakan dunia,
mengaturnya dan menunjukkan fondasi peradaban manusia. Manusia berkehendaka
memperbarui kehadiran aktif para dewa-dewa, leluhur dan berkeinginan untuk hidup di dunia ini.
(Mircea Eliade, 2002: 65-86) Mengenai Alam. Bagi manusia religious alam tidak hanya sesuatu
yang alami, tetapi alam selalu penuh dengan nilai religious. Hal ini mudah dipahami karena
kosmos merupakan penciptaan illahi; berasal dari kekuasaan dewa-dewa, dunia dipenuhi
kesakralan. Ingat, dunia bukan hanya sakralitas yang dikomunikasikan oleh dewa-dewa dan
mentasbihkan kehadiran ilahiah. Dewa-dewa bertindak memanisfestikan beragama modalitas
dari yang sacral ke dalam setiap struktur dunia dan fenomena kosmik. Bila posisi Tuhan (Dewa
Zeus, Jupiter, Taranis, Perkunnas, Perun, Tien, Ahura Mazda, Yahweh) selalu menunjukkan ke
arah langit, tinggi dan jauh, maka orang primitif menjauh dari dewa langit yang transdental karena
perhatiannya terhadap hierofani kehidupan melalui penemuan kesuburan tanah yang sakral dan
melalui penemuan dirinya sendiri yang ditampakkan pada pengalam religious yang lebih kongkrit.
Salah satunya terra mater (ibunda bumi). Seorang nabi Indian, Smohalla ketua suku Wanapun
menolak untuk bercocok tanam. Pasalnya ia berkeyakinan sangat berdosa bila kita melukai dan
meneteskan air mata bumi, ibu segala benda. Ia berkata kamu memintaku membajak tanah?
Akankah saya mengambil pisau dan menyogok payudara ibuku? Ketika saya meninggal, saya
tidak dapat masuk ke dalam tubuhnya untuk dilahirkan kembali. Kamu meminta saya memotong
rumput dan membuat jerami kering dan menjualnya, hingga menjadi kaya seperti orang-orang
putih. Namun bagaimana saya berani memotong rambut ibuku? Pemahaman ini sering disebut
hylogeni, yakni satu keyakinan yang menggap manusia dilahirkan dari air. Harus diakui, segala
kerusakan yang ada di bumi ini, seperti banjir, longsor, bencana, tsunami merupakan satu bukti
nyata dari segala kerakusan kita dalam mengeksploitasi alam untuk kepentingan sesaat. Proses
desakralisasi alam cikal bakalnya pelbagai bencana yang seakan-akan enggal lepas dari
83

kehidupan keseharian kita. Kiranya, kita harus belajar kepada masyarakat tradisional yang
menggapa alam masih memamerkan keramahan, misteri, keagungan. Untuk itu, menjaga,
melestarika alam harus kita pupuk dari sejak dini. (Eliade, 2002). Mengenai sejarah agama-
agama Mircea Eliade memberikan sumbangan yang besar atas khazanah studi agama-agama.
Pasalnya, ia menetapkan ilmu sejarah agama sebagai cabang pengetahuan. Semula yang giat
mengkampanyekan ilmu agama-agama, studi perbandingan agama hanyalah Max Muller. Atas
ikhtiar Eliade sejarah agama-agama mendapat ruang. Kecintaanya terhadap pengetahuan ini
melahirkan maha karya Encycloaedia of Religion and Ethic (13 vol. Edinburgh, 1908-1923)
Kongres internasional pertama tentang ilmu agama-agama digelar pada tahun 1897 di
Stockholm. Baru pada tahun 1900 Congres d'Histoire des Religions dibuka di Paris dengan tidak
menyertakan teologi dan filsafat agama dalam Studi Agama-agama. Baginya sejarawan agama
dibagi kedalam dua wilayah dengan mengunakan orientasi metodologi yang saling melengkapi.
Pertama, Kelompok yang memusatkan perhatianya kepada karakteristik struktur fenomena
agama-agama dan berusaha memahami esensi agama. Kedua, Golongan yang memilih meneliti
konteks historisnya dan berusaha menamukan sekaligus mengkomunikasikan sejarahnya.
Menurut Mircea Eliade agama merupakan suatu sistem yang timbul dari sesuatu yang
disakralkan (sakral) dan harus dijelaskan sesuai bahasanya sendiri serta diposisikan yang
kostan. Ini terlihat di masyarakat Arkais yang berusaha untuk hidup sedapat mungkin dalam
kesakralan atau dekat dengan objek suci. Pasalnya, kesakralan identik dengan kekuasaan,
kekuatan, dan realitas (being).

2.13. Fenomena Ruang pada Alun-alun Surakarta


Fenomena ruang pada Alun-alun Lor dan Kidul Surakarta merupakan gambaran
mendasarkan pada jelajah awal terkait data-data lapangan yang sudah didapatkan beberapa
waktu lalu. Data-data tersebut merupakan penggalian yang telah dilakukan melalui survey awal
(grand tour) dan melalui beberapa sumber penelitian yang telah dilakukan. Dalam hal ini, masih
perlu untuk dipelajari secara detail dan mendalam sebagai satu usaha terkait memahami
fenomena transformasi ruang yang terjadi di lokusi penelitian ini, yaitu di kawasan Alun-alun
Surakarta.
84

Gambar Diagram 2 – 8. Fenomena Ruang Aktivitas Sehari-hari pada Kawasan Alun-alun


Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis)

Pada gambar diagram 2-8 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas yang terjadi dalam
aktivitas sehari-hari di kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ditunjukkan adanya titik
poin aktivitas pembagian keruangan seperti: ruang los berdagang ex pasar Klewer (los sementara
setelah peristiwa kebakaran yang terjadi), ruang PKL, ruang kuliner, dan ruang parkir.
85

Gambar Diagram 2 – 9. Fenomena Ruang Aktivitas Keagamaan (Sholat Idul Adha dan
Sholat Idul Fitri) pada Kawasan Alun-alun Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017
(analisis penulis)

Pada gambar diagram 2-9 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas keagamaan di
kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ditunjukkan adanya titik poin aktivitas
pembagian keruangan aktivitas keagamaan seperti: ruang Masjid Agung Keraton, ruang halaman
Masjid Agung Keraton, ruang halaman alun-alun sisi Utara-Barat, serta ruang depan halaman
luas Kamandungan (depan Kori Brojonolo Lor). Kondisi perubahan sifat keruangan ini terjadi
pada saat ruang-ruang tersebut digunakan sebagai ruang aktivitas keagamaan Sholat Idul Adha
86

dan Sholat Idul Fitri (terutama di depan halan luas Kamandungan Lor dan hamparan tanah lapang
di Alun-alun Lor pada sisi Barat.

Gambar Diagram 2 – 10. Fenomena Ruang Aktivitas Sekaten pada Kawasan Alun-alun
Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).

Gambar diagram 2-10 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas upacara adat/ budaya
dan Sekaten di kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ruang ditunjukkan adanya titik
poin aktivitas pembagian keruangan aktivitas budaya seperti: ruang halaman depan
Kamandungan Lor, ruang Pagelaran, ruang Jalan Supit Urang serta ruang halaman Masjid Agung
Keraton. Kondisi perubahan sifat keruangan ini terjadi pada saat ruang-ruang tersebut digunakan
87

sebagai ruang aktivitas budaya (arakan gunungan Sekaten, Malam Satu Suro, Jumenengan
Dalem).

Gambar Diagram 2 – 11. Fenomena Ruang Aktivitas Kirab Budaya Malam Satu Suro pada
Kawasan Alun-alun Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).

Pada gambar diagram 2-11 menunjukkan alur (rute) daripada arak-arakan kirab Malam Satu Suro
yang merupakan acara rutin terjadual tahunan dari Keraton Surakarta terkait ritual suci pen-
jamasan pusaka dan lelaku bisu pada saat tengah malam pergantian tahun baru Jawa. Alur rute
arak-arakan tersebut dimulai dari ritual awal yaitu acara jamasan pusaka keraton dan pembacaan
doa dari Ngulama nDalem dikawasan depan halaman Prabayaksa tepatnya di area
Kamandungan Lor, kemudian berjalan melalui kori Bradjanala lor, ke arah jalan supit urang,
menuju Alun-alun Lor, terus melewati Kori Gladak, melewati Kori Pamurakan, menuju ke Jalan
Adi Sucipto, memutar ke arah Pasar Klewer dilanjut menuju ke arah Alun-alun Kidul. Hal ini terjadi
88

dan merupakan agenda pariwisata kota Solo yang terjadual dalam acara tahunan dan
menunjukkan bahwa adanya korelasi antara filosofi budaya masa kerajaan Mataram dengan
melakukan ritual pusaka keraton (kebo Kiai Slamet, pusaka-pusaka keraton).

Gambar Diagram 2 – 12. Fenomena Ruang Aktivitas Garebeg pada Kawasan Alun-alun
Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).

Dalam hal ini, aktifitas terkait dengan kegiatan budaya dan tradisi selalu menarik minat banyak
pengunjung yang hadir sehingga memberikan secara filosofis memiliki pesan tentang kesatuan
antara Gusti manunggaling kawulo, yang memiliki makna keterikatan batin antara kawulo dengan
rajanya didalam membangun sikap uri-uri budaya leluhur Jawa (budaya keraton sejak jaman
Gusti PB II) yang terus berjalan hingga saat ini.
Sedangkan pada gambar diagram 2-12 adalah menunjukkan fenomena keruangan yang terjadi
di saat acara Garebeg berlangsung. Acara ini biasanya disebut sebagai Garebeg Syawal adalah
89

acara selamatan sebagai tanda awal akan masuknya pada bulan suci puasa bagi umat Islam,
sehingga dilakukan doa dan selamatan dengan membuat gunungan sebagai ungkapan rasa
syukur memasuki bulan Syawal. Dan gunungan ini setelah di doakan oleh Ngulama nDalem,
akan dibawa (di arak-arak) menuju ke halaman Masjid Agung Keraton untuk dibagi-bagikan
kepada kawulo sebagai ungkapan makna bersyukur sinuwun Raja kepada rakyatnya.

Gambar Diagram 2 – 13. Fenomena Ruang Aktivitas Sehari-hari pada Kawasan Alun-
alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
90

Gambar Diagram 2 – 14. Fenomena Ruang Aktivitas Keagamaan (Sholat Idul Adha –
Sholat Idul Fitri) pada Kawasan Alun-alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017
(analisis penulis).

Pada gambar 2-14 fenomena ruang yang terjadi ketika dalam aktivitas keagamaan terutama pada
saat Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha, dimana bagian sisi Utara Alun-alun Kidul digunakan
sebagai ruang sholat bersama. Dan hal ini dilakukan oleh aktivitas masyarakat Alun-alun Kidul
setiap kali kegiatan keagamaan (hari besar umat Islam tersebut).
91

Gambar Diagram 2 – 15. Fenomena Ruang Aktivitas Sekaten pada Kawasan Alun-alun
Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).

Pada gambar diagram 2-15 merupakan fenomena ruang aktivitas upacara adat/ budaya dan
Sekaten yang berlangsung di kawasan Alun-alun Kidul. Dimana secara spasial ruang
menunjukkan poin-poin aktivitas pada pembagian keruangan aktivitas budaya seperti: ruang
lapangan Alun-alun Kidul sebagai tempat arena permainan dan area kuliner. Kondisi perubahan
sifat keruangan ini terjadi pada saat ruang lapangan terbuka alun-alun, pinggiran sekitar trotoar
sebagai sarana berjualan PKL.
92

Gambar Diagram 2 – 16. Fenomena Ruang Aktivitas Gladen Prajurit pada Kawasan
Alun-alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).

Pada gambar diagram 2-16 merupakan fenomena spasial ruang yang terjadi saat aktivitas
gladden prajurit keraton dalam melatih diri, dan dahulu masa pemerintahan masih dalam bentuk
kerajaan hal kegiatan ini merupakan sarana rutin dilakukan guna melatih ketangkasan dan
ketrampilan para prajurit keraton dalam upaya menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Saat
ini kegiatan gladden prajurit dilakukan hanya saat-saat tertentu saja dan dalam rangka
melestarikan kegiatan budaya dan pariwisata keraton saja.

Anda mungkin juga menyukai