PENDAHULUAN
1
2
mendasari teorisasi data didalam seting alamiah seperti dalam dunia nyata merupakan
kekhasan model grounded theory. Secara ideografis diharapkan dapat ditemukan teori
Tandha melalui penggalian fenomena diskrit perubahan sifat keruangan sakral menuju
profan pada Alun-alun Surakarta. Tandha merupakan label dianggap paling sesuai
sebagai pengetahuan inti yang akan dibangun. Melalui tahapan penelitian diharapkan
memperoleh kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam adat, budaya dan tradisi Jawa
yang muncul dan terbentuk dalam konsep-konsep transformasi keruangannya. dalam
teori Tandha.
‘Tandha’ Sebagai Basis Transformasi Ruang Dari Sakral ke Profan Pada Alun-
alun Surakarta dimaksudkan untuk memberikan suatu pemahaman keruangan dengan
memakai istilah Tandha. Kata Tandha digunakan dalam penelitian ini berasal dari
bahasa Jawa-Sanskerta yang berarti: kenang-kenangan, tandha mata, mirip juga dengan
yang bermakna lain – tetenger. Penelitian terhadap tandha diharapkan memberi
kejelasan makna yang diperoleh tentang kenangan pada/akan ‘sesuatu’ (terkait
kenangan yang baik, indah, serta bermanfaat), sesuatu yang perlu untuk tetap dijaga
secara tetap/ kokoh (ajeg), sesuatu yang selalu diberikan perlindungan (pangayoman),
serta sesuatu untuk mendapatkan kenyamanan (pelipuran). (Lestari, 2010; Amaji, 2010)
Fenomena ‘tandha’ merupakan obyek tesis dalam penelitian ini yang dipandang
mampu untuk mengungkapkan perubahan sifat keruangan pada kawasan Alun-alun
Surakarta sebagai tempat atau lokus penelitian dilakukan. Sebagai contoh kegiatan ritual
budaya Malam Satu Suro. Ritual tersebut dilaksanakan tepat tengah malam hari
menjelang perpindahan tahun baru Jawa berupa kegiatan arak-arakan pusaka keraton
yang dinggap keramat dan sudah dijamasi (dibersihkan oleh abdi keraton). Saat
dilakukan arak-arakan pusaka tersebut, jalur yang dilalui adalah sebuah seting ruang
yang tadinya bersifat profan berubah menjadi ruang sakral dan akan kembali menjadi
profan (profan-sakral-profan) setelah acara arak-arakan selesai dilakukan. Konteks
ruang ( jalur arak-arakan) dan waktu (menjelang pergantian hari/tengah malam) menjadi
saksi perubahan sifat keruangannya secara temporer. Fenomena kondisional arak-
arakan pusaka tersebut adalah tandha dalam tranformasi keruangan dalam wujud
perubahan secara non-fisik.
Contoh lain adalah sistem fisik kota dalam sejarah kerajaan Jawa merupakan satu
kesatuan dimana keraton dan alun-alun dapat dikatakan sebagai sub sistem yang
merupakan inti atau inti kota. Jika Keraton Surakarta secara fisik berupa kawasan yang
dikelilingi benteng (cepuri dan baluwerti), maka secara spasial keraton dan alun-alun
4
berada di ruang paling dalam sebagai inti dengan pembatas berupa tembok yang
mengelilinginya (gambar 1.1). Keraton memiliki pengertian beragam, seperti: negara
atau kerajaan, sebagai pekarangan raja yang berada di dalam wilayah cepuri baluwerti
(tembok benteng), sebagai seluruh halaman pekarangan beserta bangunan mulai kori
depan di alun-alun lor sampai kori terakhir alun-alun kidul (Soeratman, 2000a). Menurut
kitab Negarakertagama, bahwa orientasi keraton Majapahit bersama alun-alun nya di
bagian barat yang merupakan simbol kekuasaan sang raja dan berbeda dengan keadaan
pusat-pusat kekuasaan di Jawa pada masa sesudahnya, dimana poros utara-selatan
menjadi sumbu absis yang kuat (Ashadi, 2017b).
Gambar 1 - 1. Pusat Kota dan Keraton tahun 1860. Diolah dari Sumber: (Google 2017)
dan kontemplasi sinuwun atau raja. Contoh-contoh fungsi ruang terkait dengan orientasi
spasial adalah tandha dalam bentuk yang lebih mewujud secara fisik.
Kembali merujuk kepada konsep SDGs terkait pentingnya pelestarian warisan
budaya, maka sangat penting dalam mempertimbangkan keberadaan warisan dunia di
berbagai negara dan wilayah dengan latar belakang budaya dan tingkat perkembangan
yang berbeda. Karena kompleksitas sistem, metode evaluasi berdasarkan sistem objektif
menjadi masalah yang sulit. Interpretasi mendalam dari sistem target, data dan
pengukuran yang andal sangat penting untuk mengubah SDG menjadi alat praktis untuk
memecahkan masalah. Oleh karenanya pembacaan ‘tandha’ dalam memahami perilaku
perubahan ruang Alun-alun Surakarta menjadi sangat perlu dilakukan.
Fenomena transformasi ruang atau perubahan ruang Alun-alun Surakarta dapat
dilihat pada pola-pola kegiatan budaya yang bersifat non fisik sakral-profan. Nilai dan
kualitas sakral-profan mengacu kepada konsep keyakinan yang dianut sejak lama oleh
masyarakat. Perwujudannya dalam bentuk aktifitas budaya yang ditunjukkan pada
sekuens berupa kalender kegiatan budaya. Ruang Alun-alun Surakarta beserta segala
kompleksitasnya merupakan karya yang dibentuk oleh eksistensi budaya, ekonomi dan
sosial masyarakatnya. Kegiatan masyarakat yang hidup dan beraktivitas di lingkungan
binaan memiliki peluang dan peran yang besar dalam mengendalikan perubahan yang
terjadi di lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, ketika terjadi transformasi ruang
secara spasial di kawasan Alun-alun Surakarta tidak lepas dari kegiatan budaya dan pola
aktivitas masyarakat. Kegiatan budaya dalam masyarakat ikut berperan serta dalam
perubahan yang terjadi. Oleh karenanya memahami perubahan ruang Alun-alun
Surakarta berarti wajib memahami konteks sejarah budaya masyarakat Surakarta,
konsep morfologi (bentuk dan fungsi) ruang termasuk di dalamnya konsep makna ruang-
ruang kosmologis sebagai representasi budaya Nusantara pada umumnya.
Memahami perubahan ruang Alun-alun Surakarta juga harus mengacu kepada
konsep morfologi (bentuk dan fungsi) ruang. Dalam konteks kota tradisional (Surakarta
dan Yogyakarta), terdapat tiga fungsi alun-alun, yaitu: pertama, alun-alun melambangkan
terwujudnya sistem kekuasaan atas suatu wilayah kekuasaan tertentu, berupa
harmonisasi. antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua, alun-alun berfungsi sebagai
tempat untuk semua perayaan ritual penting atau upacara keagamaan. Hal-hal tersebut
berkaitan erat dengan arah implementasi hukum universal dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, alun-alun merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan militer yang profan dan
6
konsep lingkaran konsentris. Raja adalah pusat, disusul pada lingkaran pertama adalah
keraton, tempat tinggal raja yang diistimewakan, kemudian lingkaran kedua yang disebut
sebagai negara, tempat tinggal kaum bangsawan dan kaum priyayi yang dibawah
wewenang patih; ketiga sebagai negaragung yang pada umumnya tanah berupa tanah
lungguh dan dipercayakan kepada para pangeran dan pejabat tinggi yang berhak
mengutip pajak atas nama raja; dan keempat adalah daerah-daerah luar yang disebut
mancanegara yaitu tanah yang terlalu jauh dan dipercayakan bupati yang langsung
tunduk pada patih dan raja.
Konsep kosmologis juga mempengaruhi peri kehidupan masyarakat tradisional.
Konsep kosmologis mengkondisikan masyarakat dalam berkehidupan memiliki nilai-nilai
yang disakralkan dan dikeramatkan (disucikan) (A Marlina, 2020;Sutrisno, M; Putranto,
2005). Hal itu tersermin dalam hubungan antara kawulo dengan Gusti dalam sistem
sosial kemasyarakatan Jawa yang memliki batas-batas tertentu dapat diibaratkan
hubungan antara kawulo dengan Alloh (Gusti) yang ditunjukkan dalam berperilaku
ketaatan yang semestinya harus sesuai dengan ketaatan antara manusia terhadap
Tuhan Nya (Moedjanto G, 1987).
Hal-hal tersebut berkaitan pula dengan ide-ide dasar seperti dikatakan oleh
Prijotomo (Prijotomo, 1992) bahwa yang dipergunakan dalam arsitektur Jawa (termasuk
keraton Surakarta) yang bersumber pada kepercayaan religius, dari apa yang dikenal
dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh beberapa kepercayaan dan agama. Ketika
memahami agama maka dapat bersumber dari ayat suci Al Qur’an, kitab agama Hindu,
kitab agama Budha serta kepercayaan awal yang sudah dimiliki masyarakat Jawa. Di
dalam kepercayaan Hindu, bahwa seorang Raja adalah Tuhan; hanya Raja sebagai
Tuhan yang mampu memerintah masyarakat di bumi keterkaitan hubungan selaras
dengan kosmik. Bagi masyarakat Jawa melalui kepercayaannya bahwa peraturan-
peraturan yang ada saling berhubungan antara: masa lalu, masa sekarang dan masa
akan datang. Sehingga seorang Raja dianggap memiliki kedudukan yang sakral dalam
kerajaan, sehingga istana Raja merupakan perwujudan dari mikrokosmos dan
makrokosmos.
Berdasar hal-hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan-
kegiatan ritual di Alun-alun Surakarta sebagai warisan budaya masa lalu dan menjadi
bagian dari kegiatan sakral yang dilakukan oleh keraton, tetap wajib dilestarikan serta
harus mampu tetap dilakukan. Alun-alun sebagai bagian ruang publik keraton yang tidak
terpisahkan dan tetap harus dipertahankan keberadaannya, sehingga menjadi salah satu
9
ciri khas kota Jawa peninggalan era Mataram dan merupakan ruang terbuka publik
didalam arsitektur perkotaan. Sehingga, ketika masih dianggap memiliki peran penting
untuk pembelajaran dalam studi ruang publik perkotaan kedepannya, maka sangat perlu
untuk mempelajari pola-pola ruang kota Jawa serta transformasi ruang terhadap
pergeseran fungsi alun-alun keraton tersebut. Pembelajaran dimulai dari yang berskala
mikro, meso maupun makro pada studi di alun-alun Surakarta.
1.3 Transformasi
Secara pengertian, arti kata transformasi menurut kamus bahasa Indonesia dan
secara etimologis adalah transfigurasi (bentuk, karakteristik, fungsi, dll.). Sedangkan
secara definisinya, bahwa transformasi yang dikutip dalam kamus The New Grolier
Webster International Dictionary of English Language adalah perubahan dari satu bentuk
ke bentuk lain yang berbeda tetapi memiliki nilai yang sama. Perubahan dari satu bentuk
ke bentuk lain memiliki arti bahwa terhubung dengan struktur permukaan dan fungsinya.
Sedangkan ketika mendasarkan pada Kamus Kontemporer Longman English (2007),
transformasi memiliki arti perubahan kelengkapan atau parsial yang biasanya menjadi
sesuatu lebih baik atau bahkan tidak berfungsi dalam kinerja atau fungsi. Dapat
disimpulkan bahwa transformasi ada kemiripan, seperti: perubahan, penyesuaian,
modifikasi dan perbaikan menjadi lebih baik. Dalam pemahaman lain, bahwa transformasi
adalah perubahan fisik dan mendasar yang disebabkan oleh adanya kekuatan non fisik
yaitu perubahan budaya, sosial, ekonomi, dan politik, serta perilaku dan pola-pikir
(Poutiatine, 2009; Rossy, 1982) dan fisik penghuni (Makachia, 2011).
Transformasi juga sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga
sampai pada tahap akhir (ultimate), yang dilakukan dengan cara memberi respon
terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal, mengarahkan perubahan dari bentuk
yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses penggandaan yang berulang-ulang, untuk
menyatukan masa lalu dengan masa kini, mempertahankan budaya setempat
(Antoniades, 1990; Habraken, 1998; Broadbent G, 1980). Transformasi bukan hanya
merubah atau memperbaiki tetapi juga dengan adanya sebuah proses perubahan yg
terjadi pada suatu struktur ruang kawasan, antara lain ditentukan oleh sistem ideologi,
aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung didalamnya (Dazko,
2005; Granham, 1985).
Menurut Habraken (1998) transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan, yatu:
tatanan fisik, tatanan teritorial, dan tatanan budaya. Hubungan erat dari elemen-elemen
10
Gambar 1 - 3 . Zonasi Kosmis Keraton Surakarta Sumber : (hasil olahan penulis 2017)
dan cara menstabilkan tatanan keselarasan jagad raya, mata angin utara – selatan,
simetri timur-barat, tembok keliling, gerbang yang dilindungi, dominasi atas dibandingkan
bawah, memiliki pusat suci, konsep raja-dewa yang memiliki kesetaraan makrokosmos
dan mikrokosmos (Budiarto, 2012; Lynch, 1960; Geldern, 1982).
Konsep nomotesis diperlukan dalam membaca pola-pola penggunaan ruang. Kota
kosmis juga berlaku pada Keraton Surakarta, alun-alun dan kawasannya yang secara
fisik masih utuh, dan secara pasti akan dilakukan penyesuaian dalam penggunaan
ruang-ruangnya, terdapat kebutuhan akan penggunaan ruang sebagai tempat untuk
berkegiatan dan fungsi baru pada satu pihak, dalam pihak lainnya memiliki kepercayaan
atau tatanan aturan pada acara penggunaan ruang-ruang tertentu (Priyatmono, 2013).
Untuk itu digunakan teori keterhubungan antara ruang dan tempat yang merupakan sifat
dasar dari geografi sebuah lingkungan (Tuan, 1977a). Ruang (space) didefinisikan
sebagai sebuah hal yang abstrak, sedang tempat (place) yang diartikan sebagai sebuah
entitas unik yang memiliki nilai sejarah dan makna. Sehingga dapat dikatakan bahwa
tempat (place) mampu mewujudkan pengalaman dan aspirasi dari masyarakat. Tempat
bukan sekedar fakta yang mampu dijelaskan lebih luas dari pemahaman tentang ruang
(space) tetapi merupakan realitas data yang dapat diklarifikasi menjadi dipahami dari
cara pandang masyarakat terhadap makna sendiri pada sebuah tempat. Ruang
melingkupi batas-batas yang imajiner dan tampak, bahwa ada dimensi-dimensi ruang
yang hidden dimension (tak terlihat) tetapi memiliki kontribusi dalam pembentukan ruang
arsitektural (Hall, 1966), sehingga mempermudah pemahaman dapat dikatakan tempat
menjadi lebih rasional ketika dibahas lebih jauh dalam ranah fisik arsitektural.
Konsep nomotesis lain digunakan dalam komunikasi terkait keruangan, yaitu
dalam cara-cara untuk memahami makna ruang. Konsep komunikasi tersebut diperlukan
untuk mengenali elemen-elemen dan simbol-simbol yang mengkomunikasikan makna-
makna tertentu, atau bagaimana masyarakat mengkomunikasikan makna tertentu.
Sebagai contohnya, bahwa ada pemaknaan simbolik dari perabot, tata letak bangunan,
gaya dan desain lansekap, yang dalam hal ini menjadi suatu mekanisme non verbal yang
digunakan orang untuk mengkomunikasikan pesan tentang diri mereka sendiri, latar
belakangnya, status sosialnya dan pandangannya mengenai dunia (Rapoport, 1990;
Harisah, Afifah dan Masiming, 2008). Hall (1966) menyusun klasifikasi elemen di dalam
ruang terdapat sebagai: Elemen fixed/elemen permanen, Semi fixed /elemen semi
permanen/ perabot yang dapat berpindah, Non-fixed /elemen yg keberadaannya tidak
tetap.
13
Kawasan Alun-alun Lor dan kawasan alun-alun kidul ketika disebut sebagai ruang
milik keraton Surakarta, maka didasarkan pada batasan fisik dan tata letak nya yang tidak
dapat dipisahkan dari lingkungan keraton (Isbandiyah, 2008). Menurut teori transformasi
bahwa transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan: tatanan fisik, tatanan teritorial, dan
tatanan budaya. Hasil telusur dilapangan (grandtour) mengindikasi terjadinya
transformasi ruang wilayah kawasan secara tatanan fisik terkait juga tatanan teritorial dan
tatanan budaya dari (Habraken, 1998). Hal ini terkait kawasan Alun-alun Keraton sebagai
ruang yang bersifat publik dan milik keraton Surakarta.
Konsep dari keraton Surakarta sangat mempengaruhi pola ruang kota Surakarta
yang melambangkan unsur budaya, tradisi dan spiritual Jawa, dalam hubungan sakral-
profan secara makrokosmos dan mikrokosmos. Konsep-konsep yang diterapkan di dalam
pola ruang kota Surakarta antara lain dengan simbolisasi kategori-kategori, bagian utara
keraton dianggap sebagai tempat tinggi (melambangkan laki-laki), dan bagian selatan
melambangkan perempuan sebagai sumber kehidupan. Konsep lain menunjukkan pola
ruang kota Surakarta masih menunjukkan ciri konsepsi dari macapat.
Pola ruang ini menunjukkan pusat kerajaan sebagai kutha berbentuk segi empat,
melambangkan dunia wadag, lingkungan kekuatan yang berpusat di ndalem keraton
melambangkan dunia sejati, idea, secara konsentris semakin jauh dari pusat, dianggap
makin menipis kekuatannya. Konsep inipun akibat kosmologis pada kota Jawa yang
menjadi ciri mancapat, terkait keberadaan alun-alun lor, alun-alun kidul, Pasar Gede di
Utara, Pasar Gading di Selatan.
dan mengasikkan bagi warga kota Surakarta. Antara teori dan fenomena terjadi gap,
secara faktual terjadi perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Berdasarkan hal tersebut maka problem finding ditemukan pada Alun-alun
Keraton Surakarta ditengarai memiliki keunikan termasuk ruang publik yang berkarakter
unik tinggalan masa kerajaan yang sakral ke profan, memiliki nilai tradisi budaya Jawa/
Keraton Surakarta yang masih berlangsung hingga saat ini. Pola keruangan yang ada
pada kawasan tersebut telah mengalami perubahan yang non fisik, seperti: keberadaan
lapangan di Alun-alun Lor sejak terjadi kebakaran di tahun 2012 dan di Alun-alun Kidul
dahulu tempat privasi raja hening/ semedi saat ini terbuka bagi masyarakat kawulo. Kini
pada saat acara sekaten menjadi area pasar malam, sehingga area sakral seperti di area
pohon beringin kembar ditengah alun-alun, area kereta jenazah dan kereta pesiar (di
Alun-alun Kidul) menjadi profan sebagai tempat kongkow dan kuliner lesehan. Kebersihan
dan keindahan dari trotoar menjadi terabaikan dan rusak, kondisional jalur utama sebagai
akses masuk dan keluar kawasan Alun-alun Kidul menjadi kurang terkontrol, ramai dan
macet. Akibatnya, menjadikan kawasan Alun-alun Surakarta kehilangan kenangan makna
keruangannya yang sakral dan lebih sebagai keruangan profan.
Terjadinya fenomena perubahan sifat keruangan sakral ke profan tersebut telah
berlangsung sejak bertahun-tahun. Akan tetapi pergeseran sebagai tempat kegiatan yang
bermakna sakral ke profan, dapat diartikan sebagai inti permasalahannya. Bahwa telah
terjadi perubahan keruangan yang bersifat non-fisik; fungsi ruang terkait perubahan sifat
keruangan dari yang bermakna sakral ke profan atau sebaliknya, secara zonasi dan
mendasarkan pada waktu (kondisional dan temporer). Dalam penelusuran terkait teori-
teori tentang transformasi, dapat dikatakan bahwa secara perubahan keruangan masih
belum ditelaah lebih dalam hal-hal yang terkait pada perubahan ruang sakral ke profan
atau sebaliknya pada Alun-alun Surakarta’ (problem statement).
Sehingga rumusan masalahnya dalam penelitian ini, adalah:
1. Ragam kegiatan masyarakat pengguna di alun-alun menyebabkan terjadinya
transformasi ruang terkait zonasi ruang sakral ke profan di Alun-alun Surakarta.
2. Bergesernya zonasi pada nilai sifat ruang yang terjadi akibat dari perubahan non-
fisik di Alun-alun Surakarta.
3. Perubahan makna nilai ruang (Jawa) dengan melihat nilai-nilai terkait antara ruang
sakral ke profan di Alun-alun Surakarta.
18
penelitian-penelitian yang telah ada/ dilakukan oleh peneliti terdahulu. Kajian dilakukan
terhadap penelitian-penelitian dengan substansi tentang nilai ruang – ruang publik yang
umum dan berfilosofi budaya Jawa (nusantara). Selain itu juga dilakukan kajian-kajian
penelitian yang terkait objek keraton, terkait kota Surakarta. Kajian-kajian tersebut
dilakukan untuk dapat menentukan celah substansif terhadap penelitian yang belum ada
(belum pernah) dilakukan.
Memahami teori ruang publik (public space) berdasarkan pemetaan teori yang
sudah dilakukan dan ditemukan sebagian besar masih membicarakan hasil temuan-
temuan terhadap ruang publik hanya menyentuh pada kawasan yang bersifat umum
(profan) saja, seperti: perumahan (Setioko, 2010; Wardhani, 2015), permukiman, plasa
(Amin, 2008; Subagio, 2006), lapangan terbuka/ alun-alun (Alstad, 2013; Dharmawan,
2005; Ghavampour et al., 2016; Iswanto, 2006; Madanipour, 2005b; Picon, 2008a;
Rukayah, 2010; R. G. Sunaryo et al., 2015; Wibowo et al., 2015a; Winansih, 2010), taman
kota (Kusliansyah, 2014), koridor jalan (Ardiansari, Erisa; Ernawati, Jenny; nugroho, 2015)
dan mall (Prastyatama, 2015).
Ruang publik terkait heritage (Baskara, 2012a; Damayanti, 2004; Handinoto,
1992; Indra Riztyawan et al., 2015; Martokusumo, 2008a, 2011; Nugroho, 2011; Pettricia
& Wardhani, 2014; Prayudi, 2011; Putra, 2016; Rahman, 2015a; Russell, 2011; Savarro,
2014; Sesunan, 2014).
Ruang publik terkait tradisi Jawa (Dwiananto A, 2003; Hilman, 2015; Miranto,
2016; Nitisudarmo, 2009; Priyatmono, 2013; J. Santoso, 2008a; R. G. Sunaryo et al.,
2015; Sutrisno, Mohammad, 2014; Widiyastuti, 2013; Widyawati, 2017b).
Beberapa topik penelitian tentang ruang publik pada ruang perkotaan, seringkali
dijadikan studi kasus dan mendapat beberapa amatan dari beberapa penelitian. Pada
ruang publik dapat berupa ruang umum tertutup maupun ruang publik terbuka. Peran
ruang publik kota dapat menjadi katalisator kegiatan-kegiatan sosial-rekreasi-budaya
warga kota kota (R. G. Sunaryo et al., 2015). Dan juga sebagai penyediaan ruang publik
kota sesuai dengan kebutuhan tingkat sosial masyarakat (Dharmawan, 2005). Ruang
publik memiliki citra afektif dan fokus kognitif yang terkait dengan aspek tingkah laku
(Ghavampour et al., 2016). Ruang publik sebagai pusat interaksi, tempat usaha bagi
pedagang kaki lima, paru-paru kota, dimana secara esensial harus memiliki karakter
sebagai ruang publik yang meaningful-responsive-democratic (Iswanto, 2006). Sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa arsitektur dan ruang publik seringkali
memiliki hubungan dekat dengan ancaman dan kekerasan (secara budaya dan politik),
23
sehingga dikatakan pula selalu memiliki hubungan kedekatan (relasi sosial) dengan
wilayah budaya dan politik (Picon, 2008b). Hasil penelitian bahwa didalam menangani
ruang publik urban heritage terkait sekali dengan akses kesejarahan, sosial-kultural,
keilmuan, poltik dan ekologis (Baskara, 2012b). Penanganan ruang publik heritage perlu
adanya sistem manajemen untuk menangani kepentingan yang saling bertentangan di
daerah perkotaan yang memiliki aset nila-nilai bersejarah (Martokusumo, 2008b).
Keberadaan terhadap faktor manusia/human factor, gubahan fisik/physical setting dan
aktivitas/ activities; selalu ada kaitan terhadap manusia, gubahan fisik dan aktivitas dalam
urban heritage (Sesunan, 2014). Penelitian ruang publik terkait tradisi budaya Jawa,
melihat keterpaduan konsep profan dan sakral dapat dapat dijumpai pada tata ruang kota
Surakarta, yaitu terdapat sebuah jalan yang lurus dan lebar memanjang dari timur ke barat
membagi kota Surakarta menjadi dua bagian, bagian utara yang profan dan bagian
selatan yang sakral, kawasan kompleks keraton masuk ke dalam bagian kota selatan
yang sakral (J. Santoso, 2008a). Adanya kerelaan dari pihak keraton untuk memberikan
halamannya kepada rakyat adalah faktor utama terpenting sebagai upaya terbentuknya
ruang publik di alun-alun (Widyawati, 2017a). Sedangkan sejalan dengan terjadi ke-tidak
stabilan budaya, politik dan ekonomi, maka selalu dibuat dan berlanjut untuk menuju
keberbedaan terhadap penggunaan ruang publik (Dwiananto A, 2003; Widiastuti, 2013a).
Terkait tentang peningkatan kualitas lingkungan fisik, yaitu: 1. Aktivitas dalam ruang dan
mengatur sistem keterhubungan (linkage); 2. Meningkatkan kondisi komponen-komponen
perancangan dengan menghadirkan kembali citra dan identitas alun-alun sebagai bagian
dari keraton.
Transformasi pada kawasan seringkali terjadi bersamaan dengan suatu
perubahan sosial yang mengikuti atau mempengaruhinya. Transformasi adalah
perubahan mendasar dari satu keadaan yg membutuhkan pergeseran budaya, perilaku
dan pola pikir (Poutiatine, 2009). Transformasi salah satunya disebabkan oleh faktor
budaya sebagai sistem nilai yang terlihat pada gaya hidup masyarakat yg mencerminkan
status, kekuasaan dan kekayaan(Rossy, 1982). Pada umumnya transformasi dimotivasi
oleh kelangsungan hidup, oleh kesadaran bahwa segala sesuatu perlu mengubah diri,
dan secara signifikans dalam pola pikir diperlukan untuk berubah yang lebih baik.
Transformasi bukan hanya merubah atau memperbaiki jika ingin menciptakan masa
depan yang layak (Dazko, 2005). Akan tetapi juga dengan adanya sebuah proses
perubahan yg terjadi pada suatu struktur ruang kawasan antara lain ditentukan oleh
sistem ideologi, aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung
24
menjelaskan yang bersifat ruang profan saja, maka secara explisit belum ada yang
menjelaskan transformasi ruang yang menjelaskan perubahan pada hal-hal yang
intangible (abstrak) ruang dari sakral ke profan. Yang terkait ruang publik pada kota yang
masih memiliki kekuatan dalam tradisi budaya Jawa. Secara teori lokal ‘Tandha’ Sebagai
Basis Transformasi Ruang dari Sakral ke Profan Pada Alun-alun Surakarta akan dapat
menjadi teori lokal yang mampu memberikan nilai keruangan yang bersifat sakral-profan
khususnya pada keruangan publik di alun-alun.
Ketika tempat (place) dapat dikatakan sebagai integrasi antara ruang dan
kebudayaan manusia dan merupakan keterpaduan totalitas dari berbagai unsur,
substansi bentuk, tekstur, warna yang berpadu dengan manusia, budaya, sejarah serta
lingkungan alam (Rapoport, 1977), tempat (place) dikatakan pula sebagai ruang social
(Tuan, 1977b), dan ruang juga memiliki beberapa elemen yang dikatakan sebagai:
Elemen fixed / elemen permanen, Semi fixed /elemen semi permanen/ perabot yang dapat
berpindah, Non-fixed /elemen yg keberadaannya tidak tetap (Hall, 1966).
26
Laporan disertasi ini terbagi dalam tujuh bagian. Bagian Pendahuluan merupakan
bagian awal (pertama), yang meliputi latar belakang, rumusan masalah penelitian yang
berisi problem area-problem finding-problem statement dan pertanyaan penelitian, tujuan
dan sasaran penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, kerangka penelitian,
keaslian dan kebaruan penelitian yang mengungkapkan posisi penelitian terhadap
penelitian lain yang sejenis dan mirip dilakukan oleh peneli sebelumnya, serta sistematika
dari pembahasan.
Bagian kedua merupakan kajian teoritik Alun-alun kota Tradisional Jawa yang
berisi kajian literature yang mendasari terbentuknya landasan teori yaitu teori-teori ruang
publik sebagai space dan place, transformasi terhadap nilai keruangan, ruang sakral dan
profan. Kajian teoritik disini akan menjadi background knowledge peneliti, tetapi tidak
dipergunakan pada saat studi di lapangan, karena melalui metoda penelitian kualitatif
dalam tahapannya menggunakan prosedur sistematis guna membangunan teori
substantive dari suatu fenomena (mendasarkan grounded research); sehingga dalam
menyusun proposisi yang terkait fenomena disusun secara induktif.
Bagian ketiga menjelaskan tentang metode penelitian kualitatif (Strauss & Corbin,
2015) yang memaknai grounded research (Barney, Glaser and Strauss, 1967) sebagai
metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna
membangun teori substantive tentang suatu fenomena yang disusun secara induktif
(Barney, Glaser and Strauss, 1967; Setioko, 2011). Sehingga dalam tahapan yang
bersifat induktif memerlukan pemaknaan didalam prosesnya. Fenomena secara empiris
mendasari teorisasi data didalam seting alamiah seperti dalam dunia nyata merupakan
kekhasan model grounded theory. Dan beberapa ciri penelitian kualitatif, yaitu:
[1] Penelitian kulitatif tidak memakai kerangka teoritik sebagai langkal awal persiapannya,
agar dapat menghasilkan penelitian yang natural; [2] Penelitian kualitatif tidak terikat oleh
hipotesis yang muncul mendahului kerangka teoritiknya, karena berangkat dari pikiran
yang open minded bukan empty minded sebagai keberlanjutan membangun konsep dan
ke proposisi; [3] Penelitian kualitatif tidak menentukan variable, maupun mengukurnya
ataupun mengkuantifikasikanya; [4] Penelitian kualitatif menuntut bersatunya antara
subyek penelitian dan obyek penelitiannya (Setioko, 2011).
Bagian ke keempat merupakan penjabaran data dan analisis trnsformasi keruangan
pada Alun-alun Surakarta, yang berisi penjelasan tentang penggambaran perkembangan
28
singkat lokasi penelitian terkait kondisi visual Alun-alun, analisis sifat keruangan terkait
kondisi non fisik pada kawasan Alun-alun Surakarta (Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul).
Bagian kelima adalah analisis Konsep dan Kategorisasi transformasi keruangan
pada Alun-alun Surakarta. Temuan yang mengungkapkan fenomena diskrit keruangan
pada Alun-alun Surakarta dari ruang terbuka inti (RTI), dari Ruang Terbuka Antara (RTA),
dan dari Ruang Terbuka Inti disaling silangkan untuk mendapatkan konsep lokal dengan
pengkodean berporos, melalui matriks konseptualisasi, untuk menemukan rumusan
konsepsi, agar dapat dilanjutkan ke kategorisasi konsep (pengkodean berpilih) sehingga
mampu di buat alur ceritanya untuk disusun menjadi matriks kategorisasi. Sehingga
selanjutnya dianalisis menjadi kategori inti agar dapat diwujudkan menjadi proposisi dan
medapatkan hasil induksi nya.
Bagian enam adalah merupakan hasil proses bangun teori transformasi dengan
pelabelan sebagai teori Tandha sebagai basis transformasi ruang sakral ke profan pada
Alun-alun Surakarta dengan memakai analisis dari Pengetahuan Awal (tataran
permukaan), Pengetahuan Tengah, dan Pengetahuan Inti. Sehingga analisi tersebut
mampu mengungkapkan bangun teori untuk dapat dilanjutkan kearah keberlanjutan teori
(proyeksi/ prediksi teori). Dan mendialogkan teori Tandha terhadap pengetahuan
transformasi keruangan sakral ke profan yang ajeg, pangayoman, dan pelipuran dalam
konteks keruangan di Alun-alun Surakarta.
Bagian ketujuh mengenai kesimpulan dan saran yang berisi ringkasan temuan,
kontribusi teoritik, konstribusi praksis, saran dan sumbangan terhadap penelitian lanjutan,
serta pengembangan pengkayaan/ modifikasi teori tandha berbasis transformasi ruang
sakral ke profan pada Alun-alun Surakarta.
BAB II
KISI KISI TEORI
29
30
(keberanian), identity hold a special character for person. Alun-alun sebagai ruang terbuka
publik di perkotaan memiliki nilai historis yang sangat kuat dalam sejarah perkembangan
kota. Alun-alun menjadi salah satu ruang terbuka dengan ciri fisik dari sistem perkotaan
dari kota administratif, yang sangat berbeda dengan kota pelabuhan. Perkembangan
alun-alun Kota Bandung mempengaruhi fungsi dan makna yang terdapat didalamnya
berangkat dari fenomena tersebut dapat dilihat adanya transformasi fungsi ruang alun-
alun Kota Bandung dari masa ke masa (Wibowo et al., 2015b). Ketika, keberadaan ruang
publik di tengah pusat kota, maka alun-alun menjadi tempat yang memiliki simbol
kewibawaan, kekuasaan pemerintahan, dan pusat kebudayaan kota Bandung pada
zamannya.
Menurut penelitian tentang identifikasi kualitas penggunaan ruang terbuka publik pada
perumahan di kota Bandung mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan penyediaan
ruang terbuka publik pada kelas perumahan yang sama oleh pengembang berbeda dan
tidak tersedianya ruang terbuka publik yang layak di perumahan menyebabkan
pemanfaatan jalan sebagai interaksi warga. Index kualitas ruang yang diperoleh dari
penelitian pada perumahan tersebut menunjukan cukup baiknya penggunaan ruang
terbuka publik (Wardhani, 2015)
Seputar penelitian (R. G. Sunaryo et al., 2015) bahwa peran ruang publik kota menjadi
katalisator kegiatan-kegiatan sosial-rekreasi-budaya warga kota. Ruang publik kota
sebagai ruang konsensus warga kota merupakan indikator sejauh mana proses
transformasi konsepsi urbanitas warga kota terbentuk. Lebih lanjut, ruang publik kota
merupakan katalis dalam pembentukan konsepsi urbanitas yang setara di seluruh warga
kota dan menjadi bekal utama kota bertransformasi menuju nilai-nilai baru.
Pergeseran kegiatan pada koridor jalan yang seharusnya dilakukan di ruang privat,
namun penggunaan dilakukan di ruang publik, sehingga pemanfaatkan dari koridor jalan
kampung sebagai batas antara ruang privat dan ruang publik, diantaranya sebagai:
kegiatan ekonomi/ bisnis, kegiatan parkir kendaraan, kegiatan berwudhu/ mencuci
menjadi pilihan. Hasil berupa penataan setting fisik koridor jalan yang berpengaruh pada
aktifitas sehari-hari (Ardiansari, Erisa; Ernawati, Jenny; nugroho, 2015).
Menurut penelitian tentang Public Space, Public Discourse, and Public Libraries ,
bahwa proyek untuk ruang publik telah mengidentifikasikan empat kualitas utama di ruang
publik yang sukses (Alstad, 2013) , yaitu:
1) Accesible;
2) People are engaged in activities;
3) Comfortable and has a good image;
31
4) Sociable place.
Penelitian yang telah dilakukan bahwa teori Interaksi kolaboratif ruang perkotaan di
kawasan pinggiran, dengan tiga faktor utama terwujudnya interaksi kolaboratif antara
permukiman terrencana, tak ter-rencana dan otonom, yaitu perilaku pelaku ruang, setting
ruang dan kesalingtergantungan antar pelaku ruang. Interaksi kolaboratif dapat
berlangsung apabalia dipenuhinya tiga syarat: toleransi, konsensus dan kekerabatan
(Setioko, 2010).
Menurut penelitian tentang simbiosis di ruang terbuka kota di Simpang Lima Kota
Semarang berhasil menemukan bahwa simbiosis di ruang terbuka kota yang membentuk
bejana berhubungan sehingga menjadikan ruang terbuka sebagai publik bazaar, kembali
pada gejala kedepan di ruang terbuka masa lalu (Rukayah, 2010). Sedangkan, perubahan
ruang terbuka pusat kota yang berkelanjutan di Indonesia, yang dipahami awal dari yang
bersifat kultural menjadi komersial dalam bentuk mal dan pusat perbelanjaan, dikatakan
bahwa ruang publik ditingkat urban yang memungkinkan adanya relasi sosial tersebut,
dapat berbentuk ruang terbuka, taman atau plasa, ataupun mall (ruang tertutup) yang kini
makin semarak berfungsi sebagai tempat pertemuan (Subagio, 2006). Pengamatan relasi
informal antar manusia dalam ruang publik dapat dialami sebagai studi penyadaran
eksistensi kemanusiaan yang kesemuanya itu dapat mentranformasikan hidup kita.
Merujuk kepada penelitian terdahulu (Prastyatama, 2015) bahwa mall sebagai ruang
publik yang menjadi simbol “kemajuan”, dan “modernitas” (komoditas/ ekonomi).
Hal terkait didalam merencanakan dan merancang ruang publik dengan
menggunakan estetika simbolis – sensori akan dapat memberi arahan yang signifikan
bagi perancang untuk lebih arif dan bijaksana terhadap lingkungan binaan (Winansih,
2010). Estetika simbolis dan sensori ruang publik sangat berkaitan dengan estetika
formal, yang secara fisik menuntut tatanan tertentu/ estetis secara formal/ visual. Secara
pandangan, bahwa arsitektur dan ruang publik seringkali memiliki hubungan dekat
dengan ancaman dan kekerasan, dan hubungan ini pada momen sejarah tertentu tidak
hanya berkaitan dengan domain khusus infrastruktur militer dan arsitektur. Arsitektur
seperti public space seringkali tertutup dengan tantangan dan kekerasan (Picon, 2008a).
Mengembangkan akun post-humanis ruang publik perkotaan merupakan terobosan
dengan tradisi panjang yang telah menemukan budaya dan politik ruang publik seperti
jalanan dan taman atau perpustakaan dan balai kota dalam kualitas hubungan antar
pribadi di ruang-ruang tersebut (Amin, 2008). Sebaliknya, ia berpendapat bahwa dinamika
manusia di ruang publik dipengaruhi secara sentral oleh belitan dan peredaran tubuh dan
32
materi manusia dan non-manusia pada umumnya, menghasilkan budaya material yang
membentuk semacam kerangka pra-kognitif untuk perilaku kewarganegaraan dan politik.
Makalah ini membahas gagasan 'surplus yang ada', yang terwujud dalam berbagai
dimensi kepatuhan, sebagai kekuatan yang menghasilkan rasa khas budaya kolektif
perkotaan dan penegasan kewarganegaraan dalam kehidupan perkotaan. Dalam hal ini ,
kota menjadi ekologi dari surplus yang hanya bisa menghasilkan politik yang kuat, dengan
tabrakan badan di ruang publik dikurangi menjadi permainan perampasan milik bersama.
Hasil di lapangan, bagaimanapun, adalah masalah konteks, dibentuk oleh dinamika
material dan warisan sejarah dari ruang publik individu.
Ruang publik pada dasarnya adalah ruang kosong yang sangat berguna, dengan
kekosongan dapat memuat berbagai aktivitas didalamnya. Ruang publik secara umum
terdapat beberapa fungsi yang diantaranya sebagai; - pusat interaksi, ruang terbuka yang
menampung koridor-koridor jalan yang mengikat dalam struktur ruang kota, tempat usaha
bagi pedagang kaki lima, paru-paru kota, secara esensial harus meaningful-responsive-
democratic (Iswanto, 2006).
Dikatakan bahwa ruang publik adalah tempat banyak penduduk perkotaan memiliki
kepentingan yang sah. Jika proses musyawarah tentang skema ruang publik dapat
mencakup suara sebanyak mungkin penduduk dan stakesholder lainnya. Ruang urban
sering dianalisis dalam hal dikotomi terbatas, menafsirkannya sebagai fisik atau sosial,
sebagai ruang atau tempat abstrak atau relasional, temporal atau spasial, dari sudut
pandang individu atau masyarakat (Madanipour, 2005a).
Ruang publik kota merupakan kebutuhan penting masyarakat yang dapat
meningkatkan kualitas ruang kota (Dharmawan, 2005). Sehingga, dapat dikatakan pula
bahwa penyediaan ruang publik kota harus sesuai dengan kebutuhan tingkat sosial
masyarakat. Terkait kebutuhan yang menjadi salah satu kendala dihadapi kota Bandung
adalah kekurangan arena ruang publik alami, yang dapat menyediakan wadah kegiatan
refreshing bagi warga kota maupun pendatang; sekaligus bermanfaat untuk membangun
wawasan tentang lingkungan alam (Kusliansyah, 2014). Hasil analisa menunjukkan
bahwa Kolam Pakar dapat diadaptasi, dan adaptasi tersebut harus tetap mengacu pada
peraturan yang berlaku agar nilai-nilai penting yang ada di dalam Kolam Pakar tidak hilang
akibat adaptasi yang dilakukan. Peraturan yang digunakan sebagai acuan adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
33
Tabel. 2.1
Penelitian Tentang Public Space Yang Pernah Dilakukan:
No. Judul Penelitian Peneliti Unit Kajian Hasil Metoda Keterangan
Penelitian Publikasi/ Tahun/
Hal.
1 Theory of Place in Ensiyeh Ruang publik diperlunak dengan Kuantitatif www.sustasis.net/Gha
Public Space Ghavampour, deskripsi ruang dan aktivitas dan Kualitatif vampour-Vale-
Brenda Vale & fungsi pengguna yang Aguila2.pdf, download
Mark Del Aguila berkolaborasi dengan ruang 25-04-2017
Hasilnya menunjukkan
Penggunaan ruang publik
berasal dari citra afektif dan
fokus kognitif yang dibingkai oleh
antisipasi tingkah laku
Cognitive: legibility
(keterbatasan) obvious
arrangement, clear structure,
meaningfullness (keberanian),
identity hold a special character
for person.
2 Persepsi Heru Wibowo, Alun-alun sebagai ruang terbuka Deskriptif Ejournal Undip
Masyarakat R. Siti Rukayah, publik di perkotaan memiliki nilai Kuantitatif TEKNIK, Vol. 36 (1)/
Terhadap alun-Alun Atiek Suprapti historis yang sangat kuat dalam 2015/ pp. 10-16
Kota Bandung sejarah perkembangan kota. Dan
Sebagai Ruang alun-alun menjadi salah satu
Terbuka Publik ruang terbuka dengan ciri fisik dari
sistem perkotaan dari kota
administratif, yang sangat berbeda
dengan kota pelabuhan
- Bandung merupakan
sebuah kota yang
strategis yang memiliki
nilai sejarah yang cukup
panjang dalam masa
perjuangan. Alun-alun
Bandung merupakan
hasil warisan ciri kota
tradisional yang
dibangun oleh
penguasa kolonial
yang merupakan pusat
ruang terbuka kota
- Perkembangan Alun-
alun Kota Bandung
mempengaruhi fungsi
dan makna yang
terdapat didalamnya
Berangkat dari
fenomena tersebut
dapat dilihat adanya
transformasi fungsi
ruang Alun-alun Kota
Bandung dari masa ke
masa.
- Alun-alun Bandung
sendiri dibangun tahun
1811 setelah
pemindahan Krapyak
34
3 Identifikasi Kualitas Saraswati T. Hasil penetian ; Terdapat Deskriptif Prosiding Sem Nas
Penggunaan Ruang Wardhani, Devi perbedaan penyediaan ruang Kualitatif IPLBI/ 2015/ pp. B 021
Terbuka Publik Hanurwani, terbuka publik pada kelas
Pada Perumahan di Nurhijrah, perumahan yang sama oleh
Kota Bandung Ridwan pengembang berbeda; tidak
tersedianyanya ruang terbuka
publik yang layak di perumahan
menyebabkan pemanfaatan jalan
sebagai interaksi warga
4 Posisi Ruang Publik Rony Gunawan Ruang publik kota sebagai ruang Deskriptif https://www.researchg
dalam Transformasi Sunaryo, Nindyo konsensus warga kota merupakan Kualitatif ate.net/publication/277
Konsepsi Urbanitas Suwarno, indikator sejauh mana proses 200468_Posisi_Ruang
Kota Indonesia Ikaputra, Bakti transformasi konsepsi urbanitas _Publik_dalam_Transf
Setiawan warga kota terbentuk. Lebih lanjut, ormasi_Konsepsi_Urb
ruang publik kota merupakan anitas_Kota_Indonesi
katalis dalam pembentukan a, available Juli 18,
konsepsi urbanitas yang setara di 2015
seluruh warga kota dan menjadi
bekal utama kota bertransformasi
menuju nilai-nilai baru
7 Ruang Adaptasi Di Arief Rahman Teori Ruang adaptasi kawasan Kualitatif Disertasi PDTAP PPS
Kawasan konservasi kota berbasis ruang Fenomenolo UNDIP/ 2013
Konservasi Braga asimilasi adaptasi kawasan gis
Kota Bandung konservasi kota berbasis ruang
simbiosis; dan adaptasi kawasan
konservasi kota berbasis ruang
kreatif
9 Integrasi Ruang Bambang Teori Interaksi Kolaboratif Ruang Kualitatif Disertasi PDTAP PPS
Perkotaan Di Setioko Perkotaan di Kawasan Pinggiran, (grounded UNDIP /2010
Kelurahan Meteseh dengan tiga faktor utama theory)
Kawasan Pinggiran terwujudnya interaksi kolaboratif
Kota Semarang antara permukiman terrencana,
tak ter-rencana dan otonom, yaitu
perilaku pelaku ruang, setting
ruang dan kesalingtergantungan
antar pelaku ruang
36
Di negara-negara seperti
Prancis dan Amerika Serikat,
wacana di ruang publik sering
kali dipenuhi dengan gambar
agora damai dan piazza Italia
yang beradab dengan anggun
seolah-olah model ini adalah
tengara yang tak tertandingi
yang menyiratkan, jika tidak
memastikan, hubungan
harmonis antara warga negara.
Bahkan rekonstruksi kota
seperti Beirut telah diberikan ke
dalam citra ini.
13 Kajian Ruang Publik Danoe Iswanto Ruang publik pada dasarnya Deskriptif Jurnal Ilmiah
Ditinjau Dari Segi ruang kosong yang sangat Kualitatif Perancangan Kota
Proporsi/ Skala Dan berguna, dengan kekosongan dan Permukiman,
Enclosure dapat memuat berbagai aktivitas ENCLOSURE Vol. 5
didalamnya. No. 2/ Juni 2006/ pp.
Ruang publik secara umum 74-81
terdapat beberapa fungsi yang
diantaranya sebagai; - pusat
interaksi, ruang terbuka yang
menampung koridor-koridor jalan
yang mengikat dalam struktur
ruang kota, tempat usaha bagi
pedagang kaki lima, paru-paru
kota, secara esensial harus
meaningful-responsive-
democratic.
14 Public Space of Ali Madanipour Ruang publik adalah tempat Dekriptif Noordisk Arkitektur
European Cities banyak penduduk perkotaan Kualitatif For Skining 2005
memiliki kepentingan yang sah.
Jika proses musyawarah tentang
skema ruang publik dapat
mencakup suara sebanyak
mungkin penduduk dan
stakesholder lainnya,
16 ADAPTASI KOLAM Y. Karyadi kebutuhan yang menjadi salah Deskriptif Jurnal Arsitektur
PAKAR TAHURA Kusliansjah satu kendala dihadapi kota Analisi TATANAN/ Vol. 1/
IR. H. DJUANDA Bandung adalah Kualitatif 2014/
SEBAGAI ARENA kekurangan arena ruang publik http://journal.unpar.ac.
RUANG PUBLIK alami, yang dapat menyediakan id/index.php/rekayasa
KOTA BANDUNG wadah kegiatan refreshing bagi
warga kota maupun pendatang;
sekaligus bermanfaat untuk
membangun wawasan tentang
lingkungan alam
Buku The production of Space (Lefebvre 1992) mengungkapkan bahwa ruang diproduksi
secara sosial (space is socially produced), sementara dalam ilmu arsitektur dan perkotaan kita
diproduksi secara keruangan (we are spatially produced). Hal tersebut dapat diartikan bahwa
ruang yang terbentuk oleh manusia dan kegiatan di dalamnya, sedangkan manusia dari
kegiatannya kemudian juga dibentuk oleh ruang tersebut. Jadi ruang tercipta menurut cara
kehidupan sosial kita tinggal didalamnya (lived space), dan kehidupan sosial tersebut
bersinggungan dengan aspek material fisik dari ruang yang terekam oleh indera kita (perceived
space) dan aspek-aspek non-material (mental) dari ruang yang terkonsepsi dalam pemikiran atau
benak (conceived space). Ruang diproduksi secara dinamis oleh hubungan timbal balik antara
representasi ruang (representations of space), representasional ruang (representational space),
dan praktik (practise) seiring (Lefebvre, 1992).
Gambaran ruang dimulai dari angan-angan, bayangan, dan gambaran masa depan yang
ideal. Hal tersebut merupakan apa yang kita rasakan atau perceived dan kemudian hal tersebut
dipresentasikan ke dalam ruang melalui gambar rencana, peta, model, dan desain. Ketiga unsur
tersebut saling berhubungan secara dinamis satu sama lain dalam ruang dan waktu.
Hubungannya dapat terbentuk dari angan-angan atau perceived (representational space),
kemudian diwujudkan atau conceived (sudah dialami) dalam suatu gambaran (representations of
space), dan diwujudkan secara nyata/ riil atau konkret dalam realitas kehidupan atau lived
(practice). Selain daripada itu, juga dapat terjadi sebaliknya, yaitu mengabstraksikan yang
riil/nyata/ konkret (practise), menjadi suatu gambaran representasi (representations of space) ,
dan kemudian menjadi sesuatu yang tidak terwujud dan hanya dapat dirasakan
(representationals of space). Peran antar ruang dan waktu tersebut menunjukkan bahwa suatu
perubahan hubungan tertentu atau kedinamisan hubungan tersebut (Lefebvre, 1992). Hal-hal
tersebut dapat diinterpretrasikan seperti dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.5
Produksi ruang dan Kedinamisan Hubungan
Sumber :(Lefebvre, 1992)
Mengelompokkan ruang ke dalam empat pengertian, yaitu: ruang alamaiah (natural space),
ruang mutlak (absolute space), ruang abstrak (abstract space), dan ruang diferensial atau
differential space (Lefebvre, 1992). Ruang alamiah (natural space) adalah ruang yang sudah ada
dengan sendirinya atau sudah terbentuk secara hukum-hukum alam. Ruang mutlak (absolute
space) adalah ruang yang merupakan fenomena universal yang diciptakan oleh Tuhan dan
berlaku mutlak. Ruang abstrak (abstract space) adalah ruang dari budaya modern kapitalis yang
cenderung mereduksi pemahaman dari perceived, conceived dan lived space. Ruang diferensial
(differential space) adalah sebuah ruang yang lebih membaur (mixed) dan lebih inter-penetrative
sifatnya. Ruang tidak hanya sebagai produk, akan tetapi juga sebagai media atau sarana
(Lefebvre, 1992).
adalah Keraton dan fasilitas pendukungnya seperti alun-alun dan bangunan disekitarnya
yang mendukung kekuasaan penguasa atau raja (Damayanti, 2004).
Menurut sebuah kajian, bahwa definisi sebuah ruang publik pada jaman Republik
Romawi adalah ruang publik yang terbayangkan sangat kacau, tidak terkendali,
kompetitif, dan eksperimental, serta memang banyak ruang yang memiliki karakteristik,
sehingga harus lebih sadar akan kebebasan akses dan perilaku yang ditawarkan kepada
kondisi non-rumah tangga terhadap ruang-ruang yang lebih umum (Russell, 2011).
Temuan yang dihasilkan didalam sebuah kota modern kontemporer, tidak ada
kesinambungan antara unsur-unsurnya inkoherensi terkait fungsional, simbolis, budaya
dan lain-lain (Savarro, 2014). Mengatasi pertumbuhan akibat infiltrasi fungsi tertentu
didalam suatu kawasan perlu diskenariokan dan diarahkan melalui penataan sistem
keterkaitannya atau linkage system (Nugroho, 2011). Hal tersebut mengakibatkan sebuah
pola pergerakan, moda pergerakan serta sarana pergerakan, yang perlu ditata
sedemikian hingga dapat terbentuk rangkaian kegiatan yang saling menunjang dan tidak
berbenturan dengan kepentingan publik. Sejalan dengan adanya elemen-elemen
pembentuk citra bersejarah di pusat kota (Pettricia & Wardhani, 2014), yaitu: elemen path
(kayu tangan – ps besar); elemen node (perempatan kayutangan dan kawasan alun-alun
merdeka); elemen landmark (alun-alun tugu – Masjid Jami’), dan Kecamatan Klodjen
disebut juga sebagai place. Atas hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa taman sebagai
salah satu bagian dari urban heritage dan juga merupakan salah satu bagian dari urban
archaeology (Prayudi, 2011).
Tabel. 2.2
Penelitian Tentang Heritage (Urban Heritage) Yang Pernah Dilakukan:
ketidakpastian.
Konsekuensinya, diperlukan
sebuah manajemen untuk
menangani kepentingan
yang saling bertentangan di
daerah perkotaan yang
bersejarah.
Dengan demikian, gerakan
konservasi harus menuntut
perhatian heritage total
3 Pelestarian Koridor Iwan Indra Kawasan serta bangunan Deskriptif Planning for Urban
Jalan Pasar Besar Riztyawan, perlu mendapatkan Kualitatif, Region and
Kota Malang Antariksa, Chairul tindakan pelestarian sinkronik- Environment Vol. 4 No.
Maulidi sebagai warisan sejarah, diakronik 3/ Juli 2015
menjaga karakteristik
kawasan
direncanakan mengikuti
peran dari Alun-alun Bunder
sebagai pusat
pemerintahan Belanda.
- Strategi menguatkan nilai
sejarah pada kawasan
Alun-alun Bunder yang
diperoleh melalui penguatan
linkage terhadap obyek
historis di dalamnya
9 Ruang Terbuka Di Leonardo Widya Belajar dari Central Park di Dekriptif Prodi Magister Desain
Jakarta: Antara New York mengenai Kualitatif Universitas Trisakti
Kenyataan Dan komitmen, ketegasan dan (Grounded Jakarta
Harapan konsistensi pemerintah Theory) Email:
dalam pembebasan lahan LeonardoWidya@gmai
th 1957 sekitar 1600 jiwa l.com
harus pindah, dan sejarah 2012
panjang 100 th lebih jatuh
bangun melawan: krisis
ekonomi serta vandalisme
dan perancangan yang
tidak mengacu pada kriteria
desain mempertahankan
keindahan dan keasrian
taman demi meningkatkan
kualitas hidup lewat ruang
publik
17 Taman Kolonial Di Ashwin Prayudi Taman sebagai salah satu Deskriptif International Seminar
Kota Bandung bagian dari Urban Heritage Kualitatif Proceedings – URBAN
dan juga merupakan salah HERITAGE Its
satu bagian dari Urban Contribution to te
Archaeology. Bukan hanya Present, Dept. Of
lahan hijau saja, tetapi Archeology, UGM
bangunan pemerintah Yogyakarta, 2011
Belanda dan fasilitas-
fasilitas publik termasuk
milik Belanda
18 EVALUASI Mas Muhammad hasil studi, didapatkan tiga Kualitatif Jurnal Arsitektur
PERWUJUDAN Hizbullah buah dimensi utama TATANAN/ Vol. 1 No.
PLACE Sesunan terbentuknya sebuah 2 / 2014/
ATTACHMENT keterikatan tempat yaitu http://journal.unpar.ac.i
PADA faktor manusia/human d
REVITALISASI factor, gubahan /index.php
KAWASAN TEPI fisik/physical setting dan unpargraduate/issue/vi
AIR BENTENG aktivitas/activities mayoritas ew/129
KUTO BESAK prinsip-prinsip tersebut telah
terwujud di dalam plaza
Benteng Kuto Besak
(kawasan heritage )
45
kondisi komponen2 perancangan dengan menghadirkan kembali citra dan identitas alun-alun
sebagai bagian dari keraton.
Tabel. 2.3
Penelitian Tentang Public Space di Keraton (Yogya- Solo) Yang Pernah Dilakukan:
Yogyakarta:
Lapangan, Nol
Kilometer, Koridor
Malioboro; sebagai
Identitas Kotayang
berkarakter kuat :
Keraton, Lapangan,
Malioboro
6 Vulnerable pada Mohammad Mengandung nilai- Deskriptif Jurnal Arsitektur dan Perencanaan
Kompleks Keraton Sutrisno, nilai kultural Kualitatif (JAP)/ Januari 2014/ Vol.1
Yogyakarta Mohammad edukatif yang
Sani visualisasinya
Royhansyah terlihat dalam
simbol-simbol
7 Peran Ruang Alpha Febela Pemanfaatan Deskriptif http://www.docdatabase.net/more-
publik Di Priyatmono sebagian ruang Kualitatif peran-ruang-publik-di-permukiman-
Permukiman privat penghuninya tradisional-kampung-laweyan-
Tradisional sebagai ruang semi surakarta--701706.html/2013
Kampung Laweyan publik &
Surakarta pemanfaatan
masjid-masjid serta
ruang terbuka
budaya sebagai
pusat kegiatan
sosial budaya
8 Transformation of Dyah Temuan riset Deskriptif Dissertation submitted to the Faculty of
Public Space: Widiastuti bahwa ketika ke- Kualitatif Spatial Planning Technical University
Social and Spatial tidak stabilan of Dortmund (TU Dortmund)/ April
Changes A Case budaya, politik & 2013
Study of ekonomi dibuat dan
Yogyakarta Special berlanjut untuk
Province, menuju
Indonesia keberbedaan
terhadap
penggunaan ruang
publik
9 The Role of Suparwoko Hasil temuan, Deskriptif http://www.corp.at ; Proceedings REAL
Informal Sector in Nitisudarmo Sektor informal Kualitatif CORP 2009/ April 2009/ ISBN 978-
Contributing to The yang tidak 39502139-6-6/ pp. 519-528
Urban Landscape terstruktur di ruang
in Yogyakarta – perkotaan telah
Indonesia; menciptakan
Concerning on the kualitas
Urban Heat Island pemandangan kota
Issue yang tak terduga,
bahwa keberadaan
perdagangan
informal di ruang
publik tidak
memiliki peran
untuk mengurangi
dan mengurangi
dampak negatif
10 Peningkatan Sigit Temuan, tentang Deskriptif Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Kualitas Dwiananto peningkatan Kualitatif Vol. 14 No. 3/ Desember 2003/ pp.
Lingkungan Fisik kualitas lingkungan 119-134
Alun-Alun Kota fisik:
Yogyakarta 1. Aktivitas
Sebagai Ruang dalam ruang &
Publik Kota mengatur sistem
keterhubungan
(linkage) antara
Alun-alun Utara
dan Selatan;
2.Meningkatkan
kondisi komponen2
perancangan
dengan
menghadirkan
kembali citra &
48
identitas Alun2
sebagai bagian dari
keraton
2.3 Hakekat Alun-alun sebagai Komponen Ruang Publik Kota Bertradisi Budaya Jawa
Keberadaan alun-alun saat ini sebagai ruang publik kota yang berfungsi sebagai wadah
berbagai kegiatan masyarakat, diantaranya: kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, dan ini
merupakan indikasi telah terjadi pergeseran fungsi yang berdampak terhadap pergeseran fisik
kawasan alun-alun (Ruwaidah, 2012b).
Pemerintah maupun masyarakat sebagai aktor utama cenderung memandang alun-alun
sebagai sarana hiburan dan komersial semata. Peran dan fungsi alun-alun seakan-akan
dikerdilkan, sehingga alun-alun yang awal mulanya merupakan sarana untuk ritual keagamaan
serta pusat pemerintahan (keraton) yang sakral, kini hanya dianggap sebagai tanah lapang yang
tidak punya kesan spiritual. Padahal dalam tata kota masyarakat Jawa tradisional, keraton dan
alun-alunnya merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan dengan
memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai
pengejawantahan dari konsep kosmologis.
Tatanan spasial kota-kota tradisional Jawa menunjukkan alun-alun berada pada tengah
kota sebagai lambang dari pusat jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari
kehidupan masyarakat yang meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-
alun, serta masjid agung di sebelah baratnya (Moerdjoko, 2005). Sementara pada babad Sala:
Menurut Babad Sala (Sajid, 1984):
Alun-alun tegesipun papan waradin ingkang wiyar, minangka papan kangge gladhen ajar
perang-perangan, sarta kangge ajar baris para prajurit. Alun-alun punika wonten kalih;
ingkang satunggal wonten ing saelering kadhaton, satunggalipun ing sakiduling kadhaton.
Ingkang eler langkung wiyar katimbang kaliyan ingkan kidul.
Sumbu Masjid Agung melintas sejajar dan di sebelah selatan pasangan pohon beringin. Panjang
sisi utara/selatan dan sisi timur/barat berbanding sebagai 28:29 (Roesmanto, 2010).
Pada masa kerajaan Jawa Kuna, bahwa Sitihinggil berada di dalam tembok keraton, tetapi
pada keraton yang lebih muda tempat yang ditinggikan tersebut merupakan kompleks tersendiri
di luar tembok keraton (Soeratman, 2000b). Sitihinggil sebagai paseban bersama dengan Tratag-
rambat yang merupakan lingkaran ketiga, sedangkan alun-alun sebagai halaman atau
pekarangan yang terbentang luas di depan paseban merupakan lingkaran keempat.
Gambar 2 - 1. Konsep Keraton dan Kosmos. Diolah dari Sumber: (Bahrend 1982, Santoso 2008,
Marlina 2017)
Besaran ruang pada Alun-alun Lor yang merupakan halaman depan Keraton, memiliki
ukuran 300 m tiap sisinya dan memiliki sepasang pintu depan yaitu Kori Pamurakan dan Kori
Gladhag. Dimana kedua Kori tersebut merupakan batas gledhegan (pintu) yang menghubungkan
Keraton dengan luar Keraton (Soeratman, 2000b). Sedangkan disisi timur laut dan barat daya
terhubung dengan pintu samping yaitu, Kori Gledheg Wetan menuju ke kampung Bathangan dan
Kori Gledheg Kulon menuju ke kampung Slompretan. Sehingga ke tiga macam Kori tersebut di
alun-alun menunjukkan adanya penerapan klasifikasi dualisme dengan satu di pusat yang
berkedudukan lebih daripada dua lainnya. Sepasang beringin yang ditanam di tengah Alun-alun
Lor, diapit oleh dua pasang beringin lainnya, sepasang berada di selatan dekat dengan meriam
di depan Pagelaran, dan sepasang lainnya di sebelah utara dekat dengan Kori Pamurakan.
50
Beringin sepasang di tengah alun-alun Lor yaitu beringin Dewadaru dan beringin Jayadaru diberi
pagar besi bersegi delapan seakan membelah alun-alun menjadi bagian timur dan barat. Sejajar
dengan bagian depan Sasanasumewa, di sebelah kiri dan kanan yang terdapat Bangsal
Pacikeran dan Bangsal Pacekotan. Dimana ke dua pohon beringin tersebut melambangkan
loroning atunggal, dua unsur berjarak tetapi merupakan persatuan yang sulit dipisahkan. Ruang
di antara dua buah pohon beringin itu dianggap keramat, dan hanya raja sebagai penguasa yang
berkedududkan sebagai wakil persatuan dua unsur tersebut yang bebas melalui ruang tersebut
(Soeratman, 2000b).
keadaan yg membutuhkan pergeseran budaya, perilaku dan pola pikir (Poutiatine, 2009),
sedangkan transformasi salah satunya disebabkan pula oleh faktor budaya sebagai sistem nilai
yang terlihat pada gaya hidup masyarakat yg mencerminkan status, kekuasaan dan kekayaan
(Rossy, 1982). Pada umumnya transformasi dimotivasi oleh kelangsungan hidup, oleh kesadaran
bahwa segala sesuatu perlu mengubah diri, dan secara signifikans dalam pola pikir diperlukan
untuk berubah yang lebih baik. Transformasi bukan hanya merubah atau memperbaiki jika ingin
menciptakan masa depan yang layak (Dazko, 2005), akan tetapi juga dengan adanya sebuah
proses perubahan yg terjadi pada suatu struktur ruang kawasan antara lain ditentukan oleh
sistem ideologi, aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yg berlangsung didalamnya
(Granham, 1985). Dikatakan pula bahwa transformasi mencerminkan sosial, ekonomi, dan fisik
penghuni (Makachia, 2011), sedangkan transformasi dapat terjadi pada tiga tatanan: tatanan fisik,
tatanan teritorial, dan tatanan budaya (Habraken, 1998). Mengacu pada teori Habraken tersebut,
tentang: 1. Transformasi tatanan fisik, bahwa perubahan yang terjadi pada elemen pembentuk
kawasan lingkungan binaan yang disebut kelas nominal (nominal classes), dari level terendah
yaitu peralatan (utensils) hingga pada level tertinggi yaitu jalur utama (major arteries). 2.
Transformasi teritorial, yang merupakan transformasi pada ruang yang terbentuk dari konfigurasi
elemen-elemen pada kelas nominal (nominal classes), sebagai akibat adanya perubahan yang
dilakukan oleh agen-agen yang berkuasa pada setiap level kawasan lingkungan binaan tersebut.
3. Transformasi budaya, adalah transformasi yang tidak hanya melibatkan unsur fisik tetapi juga
pemahaman dan konsensus dari para agen yang terlibat. Hubungan erat dari elemen-elemen
fisik pembentuk kawasan lingkungan binaan, terbentuknya ruang-ruang dari konfigurasi elemen
fisik, serta pemahaman suatu kelompok masyarkat atas bentuk fisik tersebut yang menyebabkan
terjadinya transformasi budaya.
Ketika transformasi kawasan alun-alun keraton Surakarta mencakup tiga tatanan, yaitu
transformasi tatanan fisik, tatanan teritorial dan tatanan budaya (Habraken, 1998), maka
transformasi pada elemen-elemen pembentuk kawasan alun-alun Keraton Surakarta merupakan
transformasi fisik pada kawasan tersebut. Berikutnya adalah transformasi teritorial, yang
mengacu pada perubahan spasial karena adanya kendali/ kontrol pengguna atas ruang ruang
yang dihasilkan dari konfigurasi elemen-elemen fisik pada transformasi fisik. Sedangkan
transormasi pada kesatuan elemen dan ruang disebutkan sebagai transformasi budaya.
Tabel 2.4.2 Tatanan transformasi lingkungan binaan
Sumber: (Bukit et al., 2012)
Tabel. 2.4.3
Penelitian Tentang Transformasi Yang Pernah Dilakukan:
untuk setiap individu dalam mengambil tanggung jawab pribadi, untuk membantu menciptakan
masa depan baru, untuk mengambil resiko, dan untuk membuat perbedaan.
Suatu perubahan ada tiga tipe perubahan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik
(Dazko, 2005). Perubahan yang berdasarkan pada tradisi merupakan perubahan yang signifikan
yang akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Jika ingin pindah ke tingkat berikutnya
yang lebih aman, maka harus membuat transisi yaitu merencanakan suatu perubahan dan
bekerja sesuai dengan rencana. Ketika ingin melakukan suatu perubahan yang lebih baik, maka
harus melepaskan dan meraih sesuatu yang tidak akan diketahui dan membutuhkan strategi yang
sulit serta membutuhkan tantangan yaitu adanya transformasi. Adapun tiga tipe perubahan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5
Tiga Jenis Tipe Untuk Perubahan
Sumber : (Dazko, 2005)
Menurut Yosodipuro (1994), bahwa bangunan yang dinamakan keraton adalah kediaman
ratu dan sekaligus ‘pepunden’ bagi kerabat keraton. Bangunan tersebut kecuali mempunyai
nama, juga merupakan ‘pasemon’ yang mengandung makna tuntunan, sehingga setiap
bangunan keraton memiliki makna yang terkandung didalamnya dan merupakan perlambang
kehidupan manusia dari lahir hingga kembali ke asalnya (seda/ mati). Ketika memaknai bangunan
keraton Surakarta, maka perlu disimak:
Keraton Surakarta masih menjalankan ritual adat sebagai warisan budaya yang selalu
dijaga dan menjadi daya tarik utama para turis asing serta wisatawan lokal dari berbagai negara.
Ritual adat sebagai warisan budaya tersebut, diantaranya adalah: upacara-upacara adat, kirab
pusaka, tarian tradisi dan musik-musik tradisional. Upacara-upacara adat yang masih dijaga dan
dijalankan keberadaannya, antara lain: Garebeg, yang diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun
kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas Bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal
satu Bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh Bulan Besar (bulan kedua belas).
Upacara Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari
untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Upacara Kirab Pusaka Malem Satu Suro,
upacara sakral yang jatuh pada Malem Satu Suro mulai terbenam matahari pada hari terakhir
bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan
pertama tahun berikutnya (Satu Suro).
58
Keraton disamakan dengan gunung Meru dan sebagai pusat kosmo-magis termasuk
antara jagad raya dan dunia manusia. Menurut konsep dari sebuah kota yang berpangkal pada
kepercayaan, yaitu adanya konsep raja-dewa raja yang dipercaya memiliki sifat-sifat dewa yang
dianggap titisan dari dewa dan memiliki kesetaraan makrokosmos dan mikrokosmos (Geldern,
1982). Ungkapan di kalangan masyarakat Jawa, bahwa raja sebagai pusat dari alam sejagad
seperti pada gelar raja Paku Buwono (Paku Dunia), yang dianggap sebagai wakil dari Dewa
Indera dan dianggap memiliki kekuasaan absolut saat berkuasa (saat menempati keraton atau
kedhaton).
Teori kosmik seperti yang diungkapkan bahwa teori ini merupakan sarana untuk
menghubungkan manusia dengan kekuatan-kekuatan besar dan cara menstabilkan tatanan dan
keselarasan jagad raya, yang mengacu pada mata angin utara-selatan, simetri barat-timur,
tembok keliling, gerbang yang dilindungi, dominasi atas dibandingkan bawah, atau dari yang
besar dibandingkan kecil, memiliki pusat suci, makna beragam dari arah mata angin yang
menghubungkan ke matahari dan musim (Lynch, 1960).
Konsep kosmik juga berlaku pada keraton Surakarta dan kawasan keraton Surakarta
secara fisik masih utuh, dan secara pasti akan dilakukan penyesuaian di dalam penggunaan
ruang-ruangnya, terdapat kebutuhan akan penggunaan ruang untuk berkegiatan dan fungsi baru
pada satu pihak, di lain pihak terdapat kepercayaan atau tatanan yang mengatur cara
penggunaan ruang-ruang tertentu (Priyatmono, 2013).
Tata letak Keraton Surakarta membujur dari arah Utara ke Selatan, dengan adanya Kori
Kamandungan dan Prabasuyasa, hal tersebut mengingatkan pada Keraton Kartasura
(Soeratman, 2000a). Dalam konsepsi empat lingkaran untuk sebuah kerajaan di Jawa, dipakai
pula untuk pembagian keraton, seperti yang terjadi pada Keraton Surakarta. Pembagian tersebut
adalah: Lingkar pertama, yaitu Kedhaton (inti) dan sekitarnya yang dilingkungi oleh beteng bata
; Lingkar kedua, yaitu wilayah di antara dua beteng yang disebut Baluwerti; Lingkar ketiga, yaitu
halaman di luar Kori Bradjanala yang disebut sebagai paseban; Lingkar keempat, yaitu alun-alun
di depan paseban. Alun-alun Lor merupakan bagian depan keraton dan rakyat (kawula) selalu
memberi penghormatan apabila mereka masuk ke wilayah ini. Selanjutnya supaya tidak terjadi
pelanggaran terhadap adat yang berlaku, Raja Pakubuwana IV pada masanya bersama kompeni
Belanda membuat peraturan yang berkaitan dengan alun-alun, yang diperuntukkan kepada
orang-orang kompeni, Cina dan suku-suku lainnya di Indonesia.
59
Besaran ruang pada Alun-alun Lor yang merupakan halaman depan keraton, memiliki
ukuran 300 m tiap sisinya dan memiliki sepasang pintu depan yaitu Kori Pamurakan dan Kori
Gladhag. Dimana kedua Kori tersebut merupakan batas gledhegan (pintu) yang menghubungkan
keraton dengan luar keraton (Soeratman, 2000a). Sisi timur laut dan barat daya terhubung
dengan pintu samping yaitu, Kori Gledheg Wetan menuju ke kampung Bathangan dan Kori
Gledheg Kulon menuju ke kampung Slompretan. Sehingga ke tiga macam kori tersebut di alun-
alun menunjukkan adanya penerapan klasifikasi dualisme dengan satu di pusat yang
berkedudukan lebih daripada dua lainnya.
‘Alun-alun Kidul punika alun-alun pungkuran, nanging sajatosipun malah ingkang nama ngajengan,
sabab miturut griya Jawi ingkang kangge ancer-ancer punika adheping griyanipun. Ing mangka Kadhaton
Surakarta dalemipun Ageng Prabasuyasa majeng mangidul, dados ingkang nama Karaton punika inggih
majeng ngidul’.
Sesuai dengan fungsi ruangnya, keadaan paseban dan alun-alun Kidul jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan alun-alun Lor. Sitihinggil tidak begitu tinggi, dan bangsal Witana
yang dibangun oleh Pakubuwana IV tidak seperti empat bangsal di sebelah utara. Sepasang
pohon beringin di tengah alun-alun Kidul yang ditanam tidak diberi nama khusus dan sepasang
pohon beringin kurung lainnya sebagai pengapit. Sehingga, alun-alun Kidul sebagai alun-alun
pungkuran, berada didalam lingkup tembok keraton. Sebuah Kori Gledheg di sebelah timur di
sebut Kori Gurawan. Di sisi sebelah barat daya terdapat kandang gajah dan berisi seekor gajah
betina. Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, di Sitihinggil Pengkeran juga ada seba,
terutama pada hari-hari besar sebagai tempat dilangsungkan upacara. Sebagai contoh, pada hari
garebeg, yang caos dan seba di Sitihinggil ini adalah para panewu dan mantri undhagi, tukang
batu, pande serta bawahannya, mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya. Pada masa
lampau, alun-alun dipakai sebagai tempat untuk latihan perang para abdi dalem prajurit yang
disaksikan oleh raja dan dilangsungkan pada setiap hari selasa dan minggu pagi (Soeratman,
2000a).
Terkait tampilan kawasan Alun-alun Surakarta sebagai ruang publik kota yang berfungsi
sebagai wadah beragam kegiatan masyarakat, yaitu berupa kegiatan ekonomi, sosial dan
budaya, sehingga kegiatan yang bersifat ekonomi tesebut sangat mendominasi kawasan di
sekitaran alun-alun (Ruwaidah, 2012b). Telah terjadi pergeseran fungsi yang berdampak pada
61
aspek sosial (urban) dan fisik kota merupakan hal yang saling mempengaruhi dan tidak dapat
saling mengabaikan (Hariyono, 2007).
Ketika perlu mendapat perhatian dan sense of belonging dari masyarakatnya terkait
dalam pembentukan pola ruang atau kawasan terkait dengan tatanan fisik pada perkotaan, maka
hal tersebut berindikasikan bahwa telah terjadi transformasi ruang di kawasan alun-alun
Surakarta. Pada pola pembentukan dalam ruang terbuka publik perlu adanya proses yang tidak
menimbulkan konflik, sehingga masyarakat mampu menumbuhkan perasaan memiliki dan
hubungan yang harmonis dengan ruang kota sebagai ruang publik.
2.8 Keterpaduan kawasan ruang publik dapat terbentuk oleh adanya berbagai relasi:
a. Relasi Sosial
Faktor sosio-ekonomi dan perilaku pergerakan berperan dalam membentuk pola
pergerakan dalam suatu kawasan perkotaan. Jarak dari tempat tinggal ke pusat kota
merupakan faktor kunci yang mempengaruhi aksesibilitas untuk menuju sejumlah fasilitas
yang mewadahi beragam kegiatan (N/Ess & Jensen, 2004).
Dengan pentingnya penggunaan dasar pertimbangan struktur sosial dalam revitalisasi
dan pembangunan kembali beragam komponen dalam suatu perkotaan. Pembangunan
kembali pusat kota biasanya berkonsentrasi terlalu banyak pada transformasi spasial dan
mengabaikan pentingnya tatanan sosial yang ada, disisi lain nilai sosial tradisional
memiliki energi yang dapat dilestarikan dan ditingkatkan untuk mengembangnkan
kawasan ruang publik yang bernilai komersial. Dalam lingkup yang lebih makro,
perencanaan kota harus mempertimbangkan evolusi kota dalam perjalanan waktu,
pengalaman dari masa lalu, dan nilai-nilai yang melekat pada bentuk tradisional perkotaan
untuk menuju kota dengan komunitas yang berkelanjutan secara sosial (Sharifi, A;
Murayama, 2013).
b. Relasi Budaya
Mendefinisikan budaya sebagai cara hidup bagi seluruh masyarakat; ini meliputi: kode
cara, pakaian, bahasa, agama, ritual, norma-norma perilaku seperti hukum dan moralitas,
dan sistem kepercayaan serta seni (Raymonds, 1976).
Dalam kehidupan yang masuk dalam era modernisasi yang semakin membumi, bahwa
keberadaan alun-alun yang dikatakan sebagai salah satu produk budaya asli masyarakat
Jawa, secra kenyataannya kini sedang mengalami pergeseran fungsi. Pemerintah
maupun masyarakat sebagai aktor utama cenderung memandang alun-alun sebagai
sarana hiburan dan komersial semata. Peran dan fungsi alun-alun seakan-akan terasa
62
diminoritaskan dan dikerdilkan. Alun-alun yang pada mulanya merupakan sarana untuk
ritual keagamaan serta pusat pemerintahan (keraton) yang sakral, keberadannnya kini
hanya dianggap sebagai tanah lapang yang tidak bermakna dan memiliki kesan spiritual.
Padahal dalam kehidupan tata kota masyarakat Jawa tradisional dahulu, bahwa keraton
dan alun-alun adalah merupakan pusat orientasi perkembangan kota yang direncanakan
dengan memperhatikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dan
sebagai pengejawantahan dari konsep kosmologis. Tatanan spasial kota-kota tradisional
Jawa menunjukkan alun-alun berada pada pusat tengah kota sebagai lambang dari pusat
jagat raya dan di sisinya berdiri komponen-komponen inti dari kehidupan masyarakat yang
meliputi pusat pemerintahan yang berdiri di sebelah selatan alun-alun, serta Masjid Agung
di sebelah baratnya (Moerdjoko, 2005).
c. Relasi Ekonomi
Struktur ekonomi kapitalis adalah pola struktur bersaing/ penuh persaingan. Dalam hal
tersebut adalah sudah merupakan suatu keharusan, dikarenakan jumalah persaingan
yang cukup dan sangat diperlukan apabila seluruh proses produksi dan distribusi diatur
oleh kekuatan pasar. Selanjutnya, kapitalisme menyatakan bahwa persaingan dapat
menyebabkan suatu proses seleksi alami, sehingga setiap individu dapat mencapai
tingkat dalam posisi yang paling mampu untuk didudukinya. Mereka yang mampu
memimpin dan berorganisasi eksekutif akan menjadi pengusaha yang berhasil, mereka
akan berada dalam posisi yang terbaik untuk melaksanakan kualitas yang dimilikinya.
Pengusaha yang tidak efisien akan tersingkir oleh proses kegagalan sederhana (Mannan,
1992).
Pada konteks Alun-alun Surakarta saat ini, kawasan Keraton Surakarta mengalami
perkembangan seiring perkembangan jaman, terutama dalam aktivitas perdagangan.
Perkembangan ini tidak dapat dihindari, mengingat tuntutan masyarakat di masa kini yang
menempatkan sektor ekonomi sebagai prioritas utama. Perkembangan aktivitas
perdagangan yang paling pesat terjadi di sekitar Alun-alun Lor sampai ke Gapura Gladag
sebagai gerbang masuk utama karena langsung menghadap ke Sitihinggil utara pada
posisi dari keraton. Kawasan Alun-alun Lor Surakarta yang seharusnya dikonservasi
mengalami peralihan fungsi. Peralihan fungsi lahan tersebut menjadi sangat dominan.
Seperti terjadi dikawasan perdagangan di sebelah barat keraton Surakarta. Pasar Klewer
yang semula bernama pasar Slompretan dan tidak direncanakan keberadaannya menjadi
berkembang pesat seiring dengan perkembangan perdagangan sekitarnya. Memang
perkembangan pasar klewer tersebut tidak dapat dilepaskan dari peranan keraton
63
sebagai obyek wisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Kawasan ini
semula hanya melengkapi fasilitas kawasan saja, tetapi karena letaknya yang strategis di
pusat kota Surakarta maka kawasan perdagangan ini maju dengan pesat. Pada hari-hari
biasa kegiatan perdagangan di sebelah barat keraton ini sudah cukup membuat
keruwetan lalu lintas yang ada di Alun-alun Lor Keraton, apalagi pada saat acara-acara
khusus yang diselenggarakan oleh keraton; pada waktu-waktu tertentu seperti: acara
Mauludan, Garebeg, Malam Satu Suro, dll. Kemacetan di depan pagelaran keraton
sebagai pendopo keraton dan kepadatan kendaraan yang diparkir menjadi pemandangan
yang sudah biasa dikawasan ini. Masalah parkir juga semakin merepotkan, sebagian
halaman keraton sebelah barat sudah dijadikan area parkir pengunjung pasar Klewer
bahkan sampai ke halaman Masjid Agung yang merupakan bagian dari kawasan keraton.
Lokasi perdagangan pada hari-hari biasa juga sudah menjalar ke sekitar Aun-alun Lor.
Pedagang-pedagang tersebut terutama adalah pedagang kaki lima (PKL). Penempatan
pedagang yang menempel di pinggir bahkan di tengah alun-alun tersebut mengurangi
view pandang dan orientasi ke arah bangunan pendopo keraton dengan bebas, bahkan
kegiatan perdagngan tersebut lebih menjadi pusat perhatian masyarakat dibandingkan
dengan Keraton Surakarta dengan latar belakang historisnya. Kawasan alun-alun ini
menjadi bagian penting sebagai salah satu simpul kegiatan masyarakat kota Surakarta di
masa sekarang. Hanya saja kegiatan yang ada pada kawasan saat ini sangat didominasi
oleh kegiatan perdagangan yang semakin menjalar hampir di seluruh sisi kawasan.
Apabila hal tersebut berlarut-larut bisa jadi kawasan Alun-alun Lor Keraton Surakarta yang
merupakan ruang publik di area konservasi akan berubah menjadi kawasan perdagangan
saja. Karena karakter sebuah ruang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di
dalamnya, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Terkait dengan hal tersebut, maka
dikawatirkan peran alun-alun sebagai bagian dari kawasan Keraton Surakarta dan
sebagai kawasan budaya yang ada di kota Surakarta khususnya dan Jawa Tengah pada
umumnya akan tergeser oleh perkembangan kegiatan perdagangan. Terutama terkait
nilai-nilai historis dan makna-makna simbolis yang menyertai keberadaannya, yang juga
merupakan ruang publik pusat kota dan bagian dari kawasan keraton Surakarta.
d. Relasi Nilai Tempat
Central Place Theory dijelaskan adanya distribusi spasial sistem kota (Smith, JW; Floyd,
2013), sehingga penyediaan ruang terbuka perkotaan terjadi melalui mekanisme politik
dan ekonomi yang dapat meminggirkan kelompok minoritas ras, dan akses untuk
membuka ruang ditentukan oleh pola spasial aglomerasi ekonomi. Dan pertumbuhan
64
perkotaan sangat dipengaruhi oleh konsekuensi sosial masyarakat lokal melalui variasi
dalam tingkat kelompok/ras/etnis yang berbeda dalam mengakses ruang. Hal tersebut
diperkuat bahwa regenerasi suatu kota secara berkelanjutan harus mampu membuat
tempat bagi masyarakat lokal untuk melestarikan sejarah sosial-budaya lingkungan
perkotaan, tidak hanya sekedar melestarikan bentuk tradisional sebagai simbol budaya
(Chen, 2011). Tradisi harus berkembang dalam bentuk kolektif yang digunakan dalam
desain arsitektur dan perkotaan dengan tetap menjaga keterlibatan masyarakat, dalam
rangka mencapai identitas budaya secara nyata dan kesatuan sosial. Hal tersebut
didukung dengan adanya upaya optimalisasi potensi ruang kota melalui peningkatan
integrasi sosial. Hubungan ruang dengan manusia dan perilaku manusia dapat digunakan
sebagai tolok ukur dimensi lingkungan sosial dan identitas lingkungan perkotaan
(Cheshmehzangi, 2012). Dikatakan pula bahwa dalam menghidupkan ruang bersejarah
dapat dilakukan dengan mengaktifkan ruang di sekitar kawasan bersejarah dengan
aktivitas pasar sementara atau temporer, sehingga aktivitas antara kegiatan bersejarah
dengan kegiatan sehari-hari dapat mendukung keberlanjutan budaya (Zakariya, KS;
Harun, 2013).
2.9 Pemetaan Teori (Theory Mapping) dan Ujung Keilmuan dan Nilai Kebaruan
Pemetaan teori (Theory Mapping ) yang telah dilakukan dengan melalui beberapa tahap
seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.6 (public space), tabel 2.7 (public space urban heritage),
tabel 2.8 (public space tradisi Jawa), dan terkait diperjelas lagi dengan pemetaan pada teori
transformasi (tabel 2.9) yang telah dilakukan untuk mendapatkan celah teori atau gap theory.
Sehingga dalam hal ini diperlukan pemetaan dalam dua bagian, yaitu pemetaan teori
berdasarkan literatur, buku, hasil penelitian, jurnal nasional, jurnal internasional serta disertasi
dengan topik penelitian yang akan mendukung dan pemetaan kondisi empirik. Berdasarkan
pemetaan teori public space didapatkan hasil bahwa ruang publik secara teori-teori yang sudah
ditemukan, sebagian besar masih/ hanya menyentuh pada kawasan-kawasan yang bersifat
umum (profan), seperti: perumahan, permukiman, plasa, lapangan terbuka/ alun-alun, taman
kota, koridor jalan, mall, baik dikota di kota lama ataupun kota moderen. Sedangkan pada
pemetaan teori transformasi didapatkan ujung teori, bahwa transformasi dapat terjadi pada
struktur ruang kawasan, transformasi ruang terkait aspek budaya dan aspek perilaku,
transformasi mendasarkan pada aspek tradisi, transformasi bagian dari kehidupan sosial dan
komersial, transformasi ruang terkait: tatanan fisik, tatanan teritorial dan tatanan budaya.
65
Fenomena yang terkait dengan kondisi empirik didapatkan bahwa secara kenyataan di
ruang publik dapat terjadi transformasi/ perubahan ruang antara ruang privat menjadi ruang
publik, ruang publik menjadi ruang privat, atau tetap sebagai ruang privat itu sendiri atau ruang
publik itu sendiri (tanpa terjadi konflik).
Theory mapping menghasilkan gap theory: Ruang publik pada kawasan alun-alun yang
masih terkait dengan tradisi budaya Jawa, dengan lokus pilihan pada dua kota terpilih dan yang
masih menjunjung tinggi budaya tradisi Jawa peninggalan kerajaan hingga saat ini, yakni Kota
Surakarta dan Kota Yogyakarta. Dan pilihan ruang publik jatuh pada lokus alun-alun kota
Surakarta sebagai kota pusat budaya di Jawa Tengah yang hingga kini masih menjunjung tradisi
Jawa secara utuh dan konsisten. Didukung dengan kondisi kawasan alun-alun nya sebagai ruang
publik yang masih digunakan, baik sebagai kegiatan tradisi budaya yang sakral, serta area publik
masyarakat yang bersifat profan dengan kegiatan perdagangan dan pariwisata. Problem finding
sebagai hasil dari gap theory didapatkan adalah berupa pengkayaan terhadap teori ruang publik,
transformasi ruang, dan sosial-budaya yang memiliki karakter sakral ke profan yaitu di kawasan
Alun-alun Surakarta.
State of the art merupakan ujung keilmuan atau penutup lubang keilmuan dalam suatu
rangkaian mata rantai ataupun gugusan ruang yang terus bergerak dan tumbuh dalam bidang
keilmuan. Sehingga, didalam penggunaan terminologi mata rantai keilmuan tersebut yang
didalamnya masih ada beberapa simpul yang belum terkait dan masih ada kemungkinan belum
tepat, maka hasil penelitian didalam tulisan ini diharapkan akan mampu untuk merangkai dan
menutup celah pada hal bagian tersebut dengan tepat dan sesuai pada tempatnya.
Mendasarkan pada kajian hasil penelitian yang telah digali, pada teori –teori tentang
transformasi barat lebih pada hal-hal yang tangible (kongkrit), maka novelty dari penelitian ini
adalah menggali teori lokal yang lebih kepada hal-hal yangl intangible (abstrak) yang terkait
tempat (place) melalui teori tandha sebagai basis transformasi ruang dari sakral ke profan di Alun-
alun Surakarta. Harapannya, mampu dalam mengungkapkan jelas bagaimana transformasi
keruangan di Alun-alun Surakarta dengan nilai-nilai sifat keruangan sakral ke profan.
Keterkaitan keilmuan antara teori ruang publik dan teori transformasi, secara spesifik yaitu
teori transformasi, yang akan dapat saling berpengaruh dan melihat fenomena dan empirik
dengan tepat terhadap nilai sakral profan yang terjadi pada kawasan alun-alun Surakarta, dengan
harapan mampu melihat rangkaian terkait dengan proses man, place and activity with time, yaitu:
man (manusianya sebagai pelaku), proses place (tempat sebagai ruangnya), proses activity
(kegiatannya), dan proses time (waktu dalam rangkaian) yang saling terkait.
66
Pada tabel 2.6, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space, yaitu mulai dari teorinya Ali Madanipour di tahun 2005 hingga Ensiyeh
Ghavampour tahun 2017, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Ruang publik dapat berupa ruang umum tertutup maupun ruang publik terbuka
- Ruang publik memiliki hubungan kedekatan (relasi social) dengan budaya dan politik
- Ruang publik sebagai pusat interaksi tempat usaha pedagang K5
- Ruang publik sebagai katalisator kegiatan social-rekreasi-budaya
- Ruang publik memiliki citra afektif dan focus kognitif yang terkait dengan aspek tingkah
laku
Tabel 2.6
Theory mapping – Public Space Sumber: analisis Penulis (2017)
67
Pada tabel 2.7, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space urban heritage, yaitu mulai dari teorinya Rully Damayanti di tahun 2005
hingga R. Dimas Widyaputra tahun 2016, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Kebutuhan manajemen untuk menangani kepentingan yang saling bertentangan
didaerah perkotaan yang bersejarah
- Di dalam menangani urban heritage terkait dengan akses kesejarahan, social-kultural,
keilmuan, politik dan ekologis
- Kaitan terhadap manusia, gubahan fisik dan aktivitas dalam urban heritage
Tabel 2.7
Theory mapping – Public Space Urban Heritage Sumber: analisis Penulis (2017)
68
Pada tabel 2.8, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan public space tradisi Jawa, yaitu mulai dari teorinya Rony Gunawan Sunaryo di tahun
2014 hingga Laksmi Widyawati tahun 2017, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Adanya kerelaan pihak keraton memberikan halamannya untuk rakyat adalah utama
terbentuknya ruang publik di alun-alun
- Ketika ke-tidak stabilan budaya, politik dan ekonomi dibuat dan berlanjut untuk menuju
keberbedaan terhadap penggunaan ruang public
- Aktivitas didalam ruang dan mengatur system keterhubungan (linkage)
Tabel 2.8
Theory mapping – Public Space Tradisi Jawa Sumber: analisis Penulis (2017)
69
Pada tabel 2.9, setelah melalui serangkaian pencarian teori-teori (mapping theories) terkait
dengan transformasi, yaitu mulai dari teorinya Granham di tahun 1984 hingga Yulia Pratiwi
tahun 2016, maka didapatkan ujung teorinya, bahwa:
- Transformasi dapatterjadi pada struktur ruang kawasan,
- Transformasi budaya dan aspek perilaku
- Transformasi bagian dari kehidupan social dan bagian dari kegiatan komersial
- Transformasi ruang terkait tatanan fisik, territorial dan budaya
Tabel 2.9
Theory mapping – Transformasi Sumber: analisis Penulis (2017)
70
GAP THEORY
Gambar Diagram 2 - 2. Kajian Teori – Teori dan Empirik. Diolah dari Sumber: (analisis penulis
2017)
GAP THEORY
Gambar Diagram 2 - 3. Teori – Teori – Empirik – Gap Theory. Diolah dari Sumber: (analisis
penulis 2017)
71
Gambar Diagram 2 - 4. Teori dan Fenomena Empirik saat ini di Alun-alun Lor. Diolah dari
Sumber: (analisis penulis 2017)
GAP THEORY
Gambar Diagram 2 - 5. Teori dan Fenomena Empirik saat ini di Alun-alun Kidul. Diolah dari
Sumber: (analisis penulis 2017)
72
Bentuk kosmis dalam kosmologi Jawa merupakan pusat dari kosmos yang dilambangkan
sebagai gunung Mahameru. Makna dari titik pusat tersebut adalah sebagai simbol dari proses
manusia dalam menstabilkan kehidupan dunia sehingga menjadi sempurna.
Otto mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal yang
misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau mysterium
tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan dengan yang
sakral. Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung, tinggi, dan
menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang bersifat duniawi.
Perasaan inilah yang menjadi titik kunci apa yang disebut dengan agama. Eliade (Eliade, 1959b)
sepenuhnya sepakat dengan hal ini. Ia menyatakan bahwa perjumpaan dengan yang sakral
dapat dialami oleh semua orang. Perasaan ini begitu kuatnya sehingga kekuatan dari yang sakral
itu dianggap sebagai sebuah realitas, sesuatu yang nyata. Kesakralan adalah keseluruhan
realitas yang dahsyat dan abadi. Manusia ingin berada dekat dengan kekuatan itu. Meskipun
benar inilah apa yang dianggap Tuhan oleh agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam,
namun Eliade meminta untuk tidak menginterpretasikan yang sakral sebagai Tuhan, karena
konsepnya mengenai yang sakral tidak hanya berpusat pada Tuhan. Segala konsep-konsep
yang berada dalam ruang lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai
yang sakral, dan ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal.
Kalimat Takbir berbunyi: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa illa
haillallahuwaallaahuakbar, Allahu Akbar walillaahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan segala puji
bagi Allah. Kalimat Takbir merupakan bentuk kalimat pujian untuk mengagungkan nama Tuhan
dari agama Islam yaitu Allah SWT. Kalimat Takbir adalah salah satu manifestasi simbol agama
Islam. Kalimat tersebut senantiasa membutuhkan wujud untuk dapat diserap oleh panca indera
manusia. Maka, dibuatlah nada-nada yang mengandung unsur artistik dan citarasa (estetis)
supaya lebih impresif diterima oleh panca indera manusia.
Kegiatan yang terselenggara pada malam Takbiran adalah sebagai bentuk praktik akan
keberagamaan dari umat Islam. Hal ini sebagai tanda berakhirnya ritual ibadah puasa dalam
bulan suci Ramadhan. Malam Takbiran dilaksanakan secara bersama umat dalam acara yang
meriah dan melafalkan kalimat Takbir yang dilakukan secara berulang-ulang hingga menjelang
waktu Sholat Hari Raya Idul Fitri. Dalam aktivitas perayaan malam takbir ini, biasanya disebut
sebagai Takbiran khususnya di Indonesia. Dan umumnya merupakan beragam ekspresi kegiatan
yang bersifat kegembiraan. Perayaan Takbiran dilakukan dengan kumpul-kumpul atau singgah
di Mushola dan Masjid, berjalan arak-arakan keliling kampung, konvoi berkendaraan di jalan raya,
ataupun lomba takbir keliling.
Gambar Diagram 2 – 7 a. Arak-arakan peserta Festival Takbir dalam peringatan Hari Raya Idul
Fitri di Yogyakarta. Sumber: (Foto: instagram permata_tamtama/ teraSeni.com)
Pada saat kegiatan acara Takbiran dikatakan sebagai tradisi dan rutinitas yang
berlangsung di masyarakat berbagai wilayah di Indonesia dan lintas agama. Secara khusus bagi
umat Islam, adanya festival ini menjadi bagian praktik keberagamaan, sedangkan bagi non-
muslim menjadi wahana rekreatif serta edukatif. Di kota Yogyakarta, agenda Festival Takbir
menjadi salah satu momen yang selalu dinantikan oleh masyarakat umum. Pergelaran Festival
Takbir Keliling dalam rangka peringatan Hari Raya Idul Fitri yang diselenggarakan oleh PHBI
(Panita Hari Besar Islam) kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Kegiatan tingkat provinsi ini
guna memperebutkan trophy Walikota Yogyakarta, yang acaranya digelar di halaman Museum
78
Perjuangan dengan melibatkan ratusan partisipan. Peserta lomba dalam festival ini mayoritasnya
adalah masyarakat local di kecamatan Mergangsan dan sekitarnya yang mewakili Masjid di
lingkungan tempat tinggal masing-masing (Nurvijayanto, 2020) (Pawestri, 2019).
Festival Takbir merupakan media masyarakat dalam bersosialisasi pada satu ruang dan
waktu yang bersifat temporal. Peristiwa festival tersebut menjadi aspek ritual dan hiburan yang
saling berkelindan. Proses dalam acara Festival Takbiran Keliling ini mampu mencerminkan
ragam bentuk festival yang ditawarkan oleh Falassi yaitu sebagai a) Rites of competition, berarti
kontestan bersaing dan menghasilkan pemenang dan ada yang kalah. b) Rites of purification atau
ritus pemurnian atau pembersihan diri. c) Rites of Conspicuous Display, dapat diinterpretasikan
sebagai media menampilkan ekspresi dalam bentuk pawai atau karnaval (Nurvijayanto,
2020;Murgiyanto, 2017).
Definisi sakral dan profan yang merujuk pada penjelasan Eliade dan Durkheim. Eliade
menjelaskan bahwa sesuatu yang sakral dan profan ditentukan oleh ruang dan waktu. Ruang
dan waktu yang sakral selalu menghadirkan dan memanifestasikan keillahian, sedangkan yang
profan tidak menghadirkan apa-apa (Eliade, 1959b). Ruang dan waktu profan sama seperti
waktu-waktu biasa tidak terdapat perbedaan. Berbeda dengan Eliade, Durkheim menjelaskan
bahwa yang sakral bersifat komunal atau berkelompok, memunculkan sesuatu yang supranatural
dan memanifestasikannya pada bentuk simbol-simbol. Sesuatu yang profan lebih bersifat individu
atau natural, tidak menjalin relasi dengan yang transenden atau lebih bersifat imanen. Komunal
lebih tinggi derajatnya, dihormati, serta memiliki suatu hirarki, sedangkan profan adalah bentuk
keseharian dan bersifat biasa saja (Kamiruddin, 2011).
2.12.3. Bulan September sebagai Momen Sakral dari Perayaan 4 Festival Keagamaan Di
India
Bulan September, secara periodik setiap tahunnya menjadi momen penting bagi warga
negara India, oleh karena di periode ini digelar sejumlah festival keagamaan terbesar. Akan
tetapi, akibat situasi pandemic-19 yang masih berlangsung sejak awal tahun 2020 lalu
mengharuskan festival-festival tahunan keagamaan dalam hal ini dibatalkan sehingga
79
Gambar Diagram 2 – 7 b.1. Orang-orang berkumpul di Kota Hadiwar dalam peringatan Festival
Kumbh Mela di Bagian Uttarakhand India. Sumber: (Foto: panorama.id)
Banyaknya orang yang berkumpul di Kota Haridwar, pada negara bagian Uttarakhand,
dalam prosesi untuk merayakan Festival Kumbh Mela. Dimana dalam festival tersebut, orang-
orang secara bersama melalakukan ritual berendam bersama di Sungai Gangga. Sesuai
kepercayaan umat Hindu di India, bahwa ada keyakinan dan meyakini Sungai Gangga tersebut
suci dan berendam di dalamnya akan menghapus dan membersihkan dosa-dosa yang sekaligus
membawa keselamatan.
Gambar Diagram 2 – 7 b.2. Festival Ganesha Cathurthi di negara bagian Maharashtra, Goa
Tamil Nadu di Bagian Kota Mumbai India. Sumber: (Foto: panorama.id)
Festival Ganesh Chaturthi berlangsung selama sepuluh hari yang spektakuler, digelar
untuk menghormati kelahiran dewa berkepala gajah yaitu Ganesha. Di awal festival, ada patung
Ganesha besar yang dibuat dengan desain dan ukiran rumit, yang akan dipasang di rumah dan
panggung. Di akhir penghujung perayaan, patung-patung Ganesha tersebut akan diarak di
sepanjang jalan-jalan kota dan diiringi dengan nyanyian dan tarian, kemudian pada akhirnya
patung-patung tersbut akan ditenggelamkan di sungai terdekat. Pada festival Ganesh Chaturthi
biasanya dirayakan dengan istimewa di negara bagian Maharashtra, Goa, Tamil Nadu,
80
Karnataka, dan Andhra Pradesh, namun perayaan yang terbaik dan berlangsung marak rama di
kota Mumbai.
Gambar Diagram 2 – 7 b.3. Festival Onami di negara bagian Kerala, India. Sumber: (Foto:
panorama.id)
Setiap tahunnya, Kerala menggelar festival panen terbesar, Onam, yang juga
berlangsung selama sepuluh hari. Perayaan ini menandai kepulangan Raja Mahabali yang mistis,
di mana warga akan menghiasi tanah depan rumah dengan bunga yang ditata dengan pola indah.
Festival ini dimeriahkan dengan pesta, tarian, olahraga, permainan, dan lomba perahu.
Gambar Diagram 2 – 7 b.4. Drama Ramlila di negara India bagian Utara. Sumber: (Foto:
panorama.id)
Ramlila adalah pertunjukan drama yang berasal dari India utara, yang membawakan
cerita-cerita Ramayana menggunakan boneka raksasa (badawang). Ramlila tertua di dunia, yang
menghidupkan kembali kisah epik Hindu Ramayana, sudah berlangsung selama hampir 200
tahun. Ini dimulai dengan inkarnasi Dewa Wisnu sebagai Rama untuk menyelamatkan manusia
dari raja iblis, Rahwana. Ramlila berlangsung selama tiga puluh satu hari, dari Anant Chaturdashi
dan berakhir pada saat malam bulan purnama.
81
Gambar Diagram 2 – 7 b.4. Festival Ladakh di negara India bagian Ladhak. Sumber: (Foto:
panorama.id)
Festival Ladakh adalah acara tahunan yang meriah dengan pertunjukan budaya di seluruh
wilayah Ladakh, yang dibuat untuk memperpanjang musim turis. Kemeriahan festival ini
menawarkan banyak hal kepada para wisatawan, seperti pertandingan polo, konser musik, tarian
topeng dari biara, panahan, arung jeram, pameran foto, dan pertunjukan rakyat.
Manusia religious berusaha hidup sedapat mungkin untuk dekat dengan pusat dunia.
Dengan demikian, manusia tradisional hanya dapat hidup dalam komunikasi dengan dunia lain,
transedental secara ritual. Mari kita tengok proses sakralitas pada ruang yang terjadi dalam
pembangunan rumah (bangunan, tempat ibadah). Bagi masyarakat primitif rumah merupakan
manifestasi dari kosmos. Sebelum para tukang meletakan batu pertama seorang ahli astronomi
akan menunjukan pada mereka tempat dimana batu harus diletakkan dan tempat ini dianggap
terletak di atas ular yang menyokong dunia. Sang pembuat rumah meruncingkan sebuah tiang
panjang dan mengarahkannya ke tanah yang telah ditunjuk oleh ahli astronomi untuk memaku
kepal ular. Dalam keyakinan mereka ular menyimbolkan kekacauan, ketiadaan bentuk, yang tak
terwujud. Memotong kepalanya sama dengan tindakan penciptaan keadaan dari yang maya dan
tak berbentuk menuju keadaan yang punya bentuk. Walhasil, rumaha bukanlah sebuah objek
“mesin untuk ditinggali”. Melainkan, bahwa jagat raya yang dibangun manusia untuk dirinya
sendiri dengan meniru penciptaan paradigmatic dari dewa-dewa kosmogini. Untuk orang yang
beragama ruang sakral ini hadir dalam Kuil, Basilika dan Katedral. Pasalnya, kesucian kuil
merupakan bukti melawan segala kerusakan duniawi berdasarkan bukti-bukti perencanaan
arsitektur para dewa yang berada di surga. Begitu pula Bisilika dan Katedral pada Kristen yang
mengambil alih sekaligus meneruskan simbolisme kosmik. Satu sisi gereja dipahami sebagai
tiruan dari Jerusalem surgawi sejak zaman patristic. Lain sisi gereja adalah perwujudan kerajaan
Allah (surga) (MANSYURI, 2011;Eliade, 2002) . Kedua, Waktu. Pada dasarnya waktu sakral
82
dapat diulang-balik. Yakni penghadiran kembali waktu mitos (mythical time) primordial. Setiap
perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sacral yang terjadi
pada zaman mitos pada permulaan. Partisipasi religious dalam perayaan menandakan
perpindahan dari duraasi temporal yang biasa dan penyatuan dengan waktu mitos yang
direaktualisasika dalam perayaan. Dengan kata lain, peserta perayaan menemukan dalam pesta
itu kelahiran pertama dari waktu sakral. Upaya mereaktualisai kosmogoni hadir dalam tahun baru.
Pasalnya meindikasikan waktu diulang lagi mulai dari awal, yakni retsorsi waktu primordial, murni
ada pada saat penciptaan. Inilah menjadi alasan tahun baru merupakan kesempatan untuk
pemurnian untuk penghapusan dosa, pengusiran setan, sekedar penghapusan dosa.
Pengalaman sakralitas ruang, waktu menunjukkan keinginan untuk bersatu kembali dengan
situasi permulaan saat para dewa-dewa dan leluhur mitos hadir guna menciptakan dunia,
mengaturnya dan menunjukkan fondasi peradaban manusia. Manusia berkehendaka
memperbarui kehadiran aktif para dewa-dewa, leluhur dan berkeinginan untuk hidup di dunia ini.
(Mircea Eliade, 2002: 65-86) Mengenai Alam. Bagi manusia religious alam tidak hanya sesuatu
yang alami, tetapi alam selalu penuh dengan nilai religious. Hal ini mudah dipahami karena
kosmos merupakan penciptaan illahi; berasal dari kekuasaan dewa-dewa, dunia dipenuhi
kesakralan. Ingat, dunia bukan hanya sakralitas yang dikomunikasikan oleh dewa-dewa dan
mentasbihkan kehadiran ilahiah. Dewa-dewa bertindak memanisfestikan beragama modalitas
dari yang sacral ke dalam setiap struktur dunia dan fenomena kosmik. Bila posisi Tuhan (Dewa
Zeus, Jupiter, Taranis, Perkunnas, Perun, Tien, Ahura Mazda, Yahweh) selalu menunjukkan ke
arah langit, tinggi dan jauh, maka orang primitif menjauh dari dewa langit yang transdental karena
perhatiannya terhadap hierofani kehidupan melalui penemuan kesuburan tanah yang sakral dan
melalui penemuan dirinya sendiri yang ditampakkan pada pengalam religious yang lebih kongkrit.
Salah satunya terra mater (ibunda bumi). Seorang nabi Indian, Smohalla ketua suku Wanapun
menolak untuk bercocok tanam. Pasalnya ia berkeyakinan sangat berdosa bila kita melukai dan
meneteskan air mata bumi, ibu segala benda. Ia berkata kamu memintaku membajak tanah?
Akankah saya mengambil pisau dan menyogok payudara ibuku? Ketika saya meninggal, saya
tidak dapat masuk ke dalam tubuhnya untuk dilahirkan kembali. Kamu meminta saya memotong
rumput dan membuat jerami kering dan menjualnya, hingga menjadi kaya seperti orang-orang
putih. Namun bagaimana saya berani memotong rambut ibuku? Pemahaman ini sering disebut
hylogeni, yakni satu keyakinan yang menggap manusia dilahirkan dari air. Harus diakui, segala
kerusakan yang ada di bumi ini, seperti banjir, longsor, bencana, tsunami merupakan satu bukti
nyata dari segala kerakusan kita dalam mengeksploitasi alam untuk kepentingan sesaat. Proses
desakralisasi alam cikal bakalnya pelbagai bencana yang seakan-akan enggal lepas dari
83
kehidupan keseharian kita. Kiranya, kita harus belajar kepada masyarakat tradisional yang
menggapa alam masih memamerkan keramahan, misteri, keagungan. Untuk itu, menjaga,
melestarika alam harus kita pupuk dari sejak dini. (Eliade, 2002). Mengenai sejarah agama-
agama Mircea Eliade memberikan sumbangan yang besar atas khazanah studi agama-agama.
Pasalnya, ia menetapkan ilmu sejarah agama sebagai cabang pengetahuan. Semula yang giat
mengkampanyekan ilmu agama-agama, studi perbandingan agama hanyalah Max Muller. Atas
ikhtiar Eliade sejarah agama-agama mendapat ruang. Kecintaanya terhadap pengetahuan ini
melahirkan maha karya Encycloaedia of Religion and Ethic (13 vol. Edinburgh, 1908-1923)
Kongres internasional pertama tentang ilmu agama-agama digelar pada tahun 1897 di
Stockholm. Baru pada tahun 1900 Congres d'Histoire des Religions dibuka di Paris dengan tidak
menyertakan teologi dan filsafat agama dalam Studi Agama-agama. Baginya sejarawan agama
dibagi kedalam dua wilayah dengan mengunakan orientasi metodologi yang saling melengkapi.
Pertama, Kelompok yang memusatkan perhatianya kepada karakteristik struktur fenomena
agama-agama dan berusaha memahami esensi agama. Kedua, Golongan yang memilih meneliti
konteks historisnya dan berusaha menamukan sekaligus mengkomunikasikan sejarahnya.
Menurut Mircea Eliade agama merupakan suatu sistem yang timbul dari sesuatu yang
disakralkan (sakral) dan harus dijelaskan sesuai bahasanya sendiri serta diposisikan yang
kostan. Ini terlihat di masyarakat Arkais yang berusaha untuk hidup sedapat mungkin dalam
kesakralan atau dekat dengan objek suci. Pasalnya, kesakralan identik dengan kekuasaan,
kekuatan, dan realitas (being).
Pada gambar diagram 2-8 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas yang terjadi dalam
aktivitas sehari-hari di kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ditunjukkan adanya titik
poin aktivitas pembagian keruangan seperti: ruang los berdagang ex pasar Klewer (los sementara
setelah peristiwa kebakaran yang terjadi), ruang PKL, ruang kuliner, dan ruang parkir.
85
Gambar Diagram 2 – 9. Fenomena Ruang Aktivitas Keagamaan (Sholat Idul Adha dan
Sholat Idul Fitri) pada Kawasan Alun-alun Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017
(analisis penulis)
Pada gambar diagram 2-9 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas keagamaan di
kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ditunjukkan adanya titik poin aktivitas
pembagian keruangan aktivitas keagamaan seperti: ruang Masjid Agung Keraton, ruang halaman
Masjid Agung Keraton, ruang halaman alun-alun sisi Utara-Barat, serta ruang depan halaman
luas Kamandungan (depan Kori Brojonolo Lor). Kondisi perubahan sifat keruangan ini terjadi
pada saat ruang-ruang tersebut digunakan sebagai ruang aktivitas keagamaan Sholat Idul Adha
86
dan Sholat Idul Fitri (terutama di depan halan luas Kamandungan Lor dan hamparan tanah lapang
di Alun-alun Lor pada sisi Barat.
Gambar Diagram 2 – 10. Fenomena Ruang Aktivitas Sekaten pada Kawasan Alun-alun
Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
Gambar diagram 2-10 menunjukkan fenomena ruang pada situasi aktivitas upacara adat/ budaya
dan Sekaten di kawasan Alun-alun Lor. Bagaimana secara spasial ruang ditunjukkan adanya titik
poin aktivitas pembagian keruangan aktivitas budaya seperti: ruang halaman depan
Kamandungan Lor, ruang Pagelaran, ruang Jalan Supit Urang serta ruang halaman Masjid Agung
Keraton. Kondisi perubahan sifat keruangan ini terjadi pada saat ruang-ruang tersebut digunakan
87
sebagai ruang aktivitas budaya (arakan gunungan Sekaten, Malam Satu Suro, Jumenengan
Dalem).
Gambar Diagram 2 – 11. Fenomena Ruang Aktivitas Kirab Budaya Malam Satu Suro pada
Kawasan Alun-alun Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
Pada gambar diagram 2-11 menunjukkan alur (rute) daripada arak-arakan kirab Malam Satu Suro
yang merupakan acara rutin terjadual tahunan dari Keraton Surakarta terkait ritual suci pen-
jamasan pusaka dan lelaku bisu pada saat tengah malam pergantian tahun baru Jawa. Alur rute
arak-arakan tersebut dimulai dari ritual awal yaitu acara jamasan pusaka keraton dan pembacaan
doa dari Ngulama nDalem dikawasan depan halaman Prabayaksa tepatnya di area
Kamandungan Lor, kemudian berjalan melalui kori Bradjanala lor, ke arah jalan supit urang,
menuju Alun-alun Lor, terus melewati Kori Gladak, melewati Kori Pamurakan, menuju ke Jalan
Adi Sucipto, memutar ke arah Pasar Klewer dilanjut menuju ke arah Alun-alun Kidul. Hal ini terjadi
88
dan merupakan agenda pariwisata kota Solo yang terjadual dalam acara tahunan dan
menunjukkan bahwa adanya korelasi antara filosofi budaya masa kerajaan Mataram dengan
melakukan ritual pusaka keraton (kebo Kiai Slamet, pusaka-pusaka keraton).
Gambar Diagram 2 – 12. Fenomena Ruang Aktivitas Garebeg pada Kawasan Alun-alun
Lor Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
Dalam hal ini, aktifitas terkait dengan kegiatan budaya dan tradisi selalu menarik minat banyak
pengunjung yang hadir sehingga memberikan secara filosofis memiliki pesan tentang kesatuan
antara Gusti manunggaling kawulo, yang memiliki makna keterikatan batin antara kawulo dengan
rajanya didalam membangun sikap uri-uri budaya leluhur Jawa (budaya keraton sejak jaman
Gusti PB II) yang terus berjalan hingga saat ini.
Sedangkan pada gambar diagram 2-12 adalah menunjukkan fenomena keruangan yang terjadi
di saat acara Garebeg berlangsung. Acara ini biasanya disebut sebagai Garebeg Syawal adalah
89
acara selamatan sebagai tanda awal akan masuknya pada bulan suci puasa bagi umat Islam,
sehingga dilakukan doa dan selamatan dengan membuat gunungan sebagai ungkapan rasa
syukur memasuki bulan Syawal. Dan gunungan ini setelah di doakan oleh Ngulama nDalem,
akan dibawa (di arak-arak) menuju ke halaman Masjid Agung Keraton untuk dibagi-bagikan
kepada kawulo sebagai ungkapan makna bersyukur sinuwun Raja kepada rakyatnya.
Gambar Diagram 2 – 13. Fenomena Ruang Aktivitas Sehari-hari pada Kawasan Alun-
alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
90
Gambar Diagram 2 – 14. Fenomena Ruang Aktivitas Keagamaan (Sholat Idul Adha –
Sholat Idul Fitri) pada Kawasan Alun-alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017
(analisis penulis).
Pada gambar 2-14 fenomena ruang yang terjadi ketika dalam aktivitas keagamaan terutama pada
saat Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha, dimana bagian sisi Utara Alun-alun Kidul digunakan
sebagai ruang sholat bersama. Dan hal ini dilakukan oleh aktivitas masyarakat Alun-alun Kidul
setiap kali kegiatan keagamaan (hari besar umat Islam tersebut).
91
Gambar Diagram 2 – 15. Fenomena Ruang Aktivitas Sekaten pada Kawasan Alun-alun
Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
Pada gambar diagram 2-15 merupakan fenomena ruang aktivitas upacara adat/ budaya dan
Sekaten yang berlangsung di kawasan Alun-alun Kidul. Dimana secara spasial ruang
menunjukkan poin-poin aktivitas pada pembagian keruangan aktivitas budaya seperti: ruang
lapangan Alun-alun Kidul sebagai tempat arena permainan dan area kuliner. Kondisi perubahan
sifat keruangan ini terjadi pada saat ruang lapangan terbuka alun-alun, pinggiran sekitar trotoar
sebagai sarana berjualan PKL.
92
Gambar Diagram 2 – 16. Fenomena Ruang Aktivitas Gladen Prajurit pada Kawasan
Alun-alun Kidul Surakarta. Sumber: Bappeda Kota Surakarta 2017 (analisis penulis).
Pada gambar diagram 2-16 merupakan fenomena spasial ruang yang terjadi saat aktivitas
gladden prajurit keraton dalam melatih diri, dan dahulu masa pemerintahan masih dalam bentuk
kerajaan hal kegiatan ini merupakan sarana rutin dilakukan guna melatih ketangkasan dan
ketrampilan para prajurit keraton dalam upaya menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Saat
ini kegiatan gladden prajurit dilakukan hanya saat-saat tertentu saja dan dalam rangka
melestarikan kegiatan budaya dan pariwisata keraton saja.