Anda di halaman 1dari 7

SOSIOLOGI ARSITEKTUR B KAMIS, 21 MARET 2024

KELOMPOK 3

B20121066 Muh. Andra R. Ilamsyah B20119160 Ridwan


B20121068 Delia Triastuti B20121072 Paskalia Persekila M.
B20121056 Firda B20121075 Moh. Aidil
B20121042 Moh. Aan Hardiansyah B20121090 Ari Gusnandar
B20121099 Itria B20121058 Fila Fitriani
B20121077 Wahid B20121091 Iman
B20119163 Mohammad Saum I. B20121082 Haikal
B20121083 Al-Muarif B20121065 Moh. Kautzal

SOSIOLOGI ARSITEKTUR
DAN PENDEKATAN TEORITIS DI DALAM DESAIN SOSIAL ARSITEKTUR

Sosiologi, Arsitektur, Dan Sosiologi Arsitektur

Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang utamanya mengkaji aspek-
aspek yang berhubungan dengan sosial manusia. Menurut tokoh sosiologi Indonesia Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (dalam Baharuddin 2021:4), sosiologi adalah kajian
tentang struktur sosial dan dinamika sosial, yang meliputi perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan antara unsur-unsur utama
dalam masyarakat, seperti norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok
sosial, dan stratifikasi sosial. Sedangkan dinamika sosial mencakup interaksi saling
memengaruhi antara berbagai aspek kehidupan bersama, seperti hubungan antara ekonomi
dan politik, hukum dan agama, agama dan ekonomi, dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah kajian, studi sosiologi utama ialah mengenai masyarakat. Bila melihat
pernyataan Kartasapoetra dan Kreimers (dalam Sobur 2016:667) yang melihat bahwa
manusia selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain dan kemanapun manusia pergi
ia akan selalu mengadakan hubungan secara baik langsung maupun tidak, baik sesama
individu maupun dengan kelompok. Maka sosiologi hadir untuk dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam terkait dengan interaksi manusia tersebut tadi itu.

Menurut Ashadi (2019:6–7), arsitektur dapat didefinisikan sebagai lingkungan yang


terpadu yang merupakan hasil dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal,
bekerja, dan berinteraksi sosial-budaya. Fokus utama arsitektur adalah menciptakan ruang
yang dapat menampung aktivitas manusia sambil memberikan makna, baik pada tingkat

1
elemen bangunan, ruang sebagai bagian dari bangunan, bangunan itu sendiri, kelompok
bangunan, lingkungan, bahkan kota. Untuk mengikuti perkembangan budaya yang terus
meningkat, ruang arsitektur yang dihasilkan harus memenuhi standar kualitas yang mencakup
keberlangsungan fungsi sebagai tempat yang nyaman untuk beraktivitas (livable), memiliki
identitas yang jelas (imageable), meningkatkan produktivitas, berkelanjutan dan ramah
lingkungan (sustainable), terjangkau, serta mudah untuk dikelola dengan efisien.

Sosiologi arsitektur merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi sebagai satu disiplin
sosial, dan arsitektur sebagai ilmu yang lebih bersifat teknik. Sosiologi arsitektur dapat
dipahami sebagai studi tentang hubungan antara manusia dan lingkungan binaan, khususnya
bagaimana desain dan penggunaan ruang fisik memengaruhi interaksi sosial dan struktur
sosial.

Menurut Fu (2022:1–2) sosiologi arsitektur dapat mencakup banyak aspek isu


sosiologis misalnya seperti isu budaya, isu urbanisasi, dan pun isu masyarakatnya. Arsitektur
dalam hubungannya dengan sosiologi merupakan sebuah proses untuk membangun struktur
sosial dan memahami makna non material dari sebuah bangunan. Sosiologi arsitektur juga
digunakan untuk memahami arsitektur sebagai hasil dari suatu kebudayaan yang melibatkan
multi-aspek kehidupan manusia. Jadi sosiologi arsitektur kegunaannya tidak hanya terbatas
pada pengerjaan konstruksi, pembangunan infrastruktur, tata ruang. Tapi di dalam sosiologi
arsitektur terdapat percampuran antara aspek sosial kebudayaan dan pun juga aspek material
kebudayaan yang dituangkan dalam bentuk bangunan dan makna-makna yang mengikut di
dalam desain bangunan tersebut.

Tugu Nol Kilometer Palu: Bentuk Kegunaan Sosiologi Dalam Arsitektur

Tugu Sambulu Gana berdiri kokoh di tengah persimpangan Jalan Sultan Hasanuddin
dan Jalan Jenderal Sudirman, jantung Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tepatnya di titik nol
kilometer, menandakan pusat kota dan awal penomoran jalan di Palu. Tugu Sambulu Gana
merupakan landmark penting di Kota Palu yang merepresentasikan nilai-nilai budaya,
persatuan, dan harapan baru bagi masyarakatnya. Tugu ini merupakan pengingat sejarah dan
semangat untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Palu.

Kata sambulu gana sendiri merupakan kata bahasa kaili yang dapat diartikan sebagai
pembuka pembicaraan saat melakukan ritual, umunya seperti perkawinan. Sambulu gana

2
sendiri dianggap sangat penting dalam suatu ritual adat budaya kaili, karena memiliki makna
yang sangat dalam. Sebab, di dalam sambulu gana tersebut, ada bahan utama dalam proses
ritual adat budaya Kaili berupa, buah pinang, gambir, sirih, Kapur sirih dan juga tembakau.
Tanpa adanya dulang pembuka pembicara tersebut, suatu ritual adat di Tanah Kaili, tidak
akan dijalankan atau dilanjutkan. Karena, syarat utama yang harus ada dalam suatu ritual itu,
adalah Sambulu Gana sehingga, filosofi dari Sambulu Gana, dianggap sangat dalam dan kuat.

Menampilkan filosofi sambulu gana dipandang perlu karena artinya dalam adat kuat
sehingga dibandingkan simbol adat di Tanah Kaili, sambulu gana sangat tepat berada di titik
nol ini, yang dimaksudkan dimana sebuah tugu yang berada di pusat Kota Palu ini.

Tugu ini memiliki struktur berbentuk dulang yang terbuat dari tembaga, serta
dikelilingi kolam berbentuk segitiga mengikuti sirkulasi kendaraan sekitar dan penambahan
elemen air untuk menambah kesan sejuk pada area tugu.

Bila merinci filosofi yang terdapat dalam tugu nol kilometer ini, ada empat yang perlu
diketahui yakni fondasi bawah terdapat dulang raksasa dengan diameter 8 meter, yang
merupakan tempat untuk menaruh makanan saat kegiatan adat Kota Palu dan bermakna
bahwasanya Kota Palu menyambut masyarakat dari luar kota lain. Kemudian struktur tiang
utama yang terdapat 35 besi penghubung mengambil filosofi jumlah provinsi yang ada di
Indonesia, merupakan kesatuan Indonesia sebagai tiang utama nusantara tanpa memandang
suku, ras dan agama. Sedangkan puncak tugu nol Kilometer terdapat mutiara yang
melambangkan kota yang bercahaya dari ketinggian dan terakhir empat pilar penyangga tiang
utama yang filosofinya mewakili UU 1945, Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sementara itu, di bagian bawah tugu tertera tulisan berbahasa Kaili “Masintuvu Kita
Maroso” artinya bersama kita kuat dan “Morambanga Kita Marisi” artinya bersama kita
kokoh yang dapat dibaca dari arah timur ke barat.

Dalam bentuk tugu ini terdapat bentuk arsitektur dasar yang memiliki makna masing-
masing; (1) Pada fondasi bawah tugu terdapat dulang raksasa yang berdiameter 8 Meter.
Dulang ini merupakan tempat untuk menaruh makanan, saat kegiatan adat menyambut tamu
yang datang berkunjung ke dalam Kota Palu. (2) Tiang utama yang terdapat 35 besi
penghubung. Ini bermakna, jumlah semua provinsi yang berada di Indonesia. Semua provinsi
tersebut, merupakan satu kesatuan Indonesia, yang tanpa memandang suku ras dan agama.
(3) Pada puncak tugu terdapat mutiara besar yang melambangkan eksistensi Kota Palu yang

3
bersinar di kancah nasional maupun internasional. Keempat pilar penyangganya yang
membentuk tiang utama mewakili Negara Indonesia, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Ketiganya merupakan landasan hidup masyarakat Kota Palu sebagai warna
negara Indonesia. (4) Tugu Sambulu Gana ini dibangun dengan ketinggian 17 meter, hal
tersebut melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia.

Tugu Sambulu Gana Dalam Teori Semiotika

Semiotika, atau yang terkadang disebut semiologi, adalah ilmu yang mempelajari
tentang tanda dan simbol. Secara luas, semiotika mencoba memahami bagaimana manusia
memberi makna pada hal-hal di sekitar kita, dan bagaimana kita menggunakan tanda dan
simbol untuk berkomunikasi. Menurut Ambarini dan Umaya (2020:27) semiotika adalah
ilmu yang berurusan dengan tanda, mulai dari sistem tanda, dan proses penggunaan tanda
yang dimaksud tersebut.

Semiotika, ilmu tentang tanda dan simbol, memiliki peran penting dalam sosiologi.
Sosiologi menggunakan semiotika untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan
dinegosiasikan dalam interaksi sosial. Sosiologi juga melihat bagaimana manusia
menggunakan tanda dan simbol, baik verbal maupun nonverbal, untuk berkomunikasi,
membangun identitas, dan membentuk realitas sosial.

Semiotika berfokus pada sistem makna yang lebih luas, seperti struktur dan kode yang
mendasari budaya dan masyarakat. Teori semiotika menganalisis tanda dan simbol sebagai
unit pembentuk makna, dan bagaimana mereka terhubung dalam sistem yang kompleks.
Metodologi semiotika sering kali melibatkan analisis teks, wacana, dan artefak budaya untuk
memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Menurut Rachmat Pradopo (2012:76) dalam mempelajari simbol, terhadap simbol


tersebut terdapat aspek; (1) Penanda, yang merupakan bentuk formal tanda itu, misal dalam
bahasan berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. (2) Sedangkan, petanda adalah
artinya yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu, atau makna dari penanda itu sendiri.

Sedangkan interaksionalisme simbolik berfokus pada proses interaksi mikro dan


bagaimana individu menggunakan simbol untuk membangun makna dalam situasi tertentu.
Teori ini menekankan peran individu dalam menafsirkan dan menegosiasikan makna melalui
interaksi sosial. Metodologi interaksionalisme simbolik sering kali melibatkan observasi

4
partisipan dan wawancara mendalam untuk memahami bagaimana individu menggunakan
simbol dalam interaksi.

Dalam melihat simbol, teori semiotika menganggap simbol memiliki makna yang lebih
kompleks, mendalam, dan abstrak jika hanya dibandingkan dengan simbol biasa. Jadi, simbol
tidak hanya mewakili sesuatu secara langsung, tetapi simbol juga merujuk pada berbagai ide,
konsep, dan juga nilai.

Dalam melihat tugu Sambulu Gana melalui teori ini pertama dapat dilihat pada unsur
fisik dari desainnya, yang kemudian dihubungkan dengan pemaknaan yang terdapat
dibaliknya.

Mutiara yang berada di puncak tugu, mutiara sendiri mewakili Kota Palu sebagai satu
kesatuan, desain mutiara di puncak tugu yang dibuat bersinar juga mewakili simbol yang
lebih dalam dari Kota Palu sebagai satu kesatuan, yaitu bentuk yang mewakili tadi buat
bersinar mewakili harapan Kota Palu yang juga bersinar – yang dimaksudkan yaitu terkenal,
berprestasi, jaya – di tingkat nasional maupun internasional.

Tiang penyangga mutiara terdiri dari 4 bagian utama, yang masing-masing mewakili
negara Indonesia, UUD 1945, Pancasila, dan juga prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang ketiga
merupakan dasar dari kehidupan bangsa Indonesia. Kota Palu yang tersimbol sebagai
mutiara yang bersinar, di topang oleh ketiga bentuk tiang penyangga tersebut. Sehingga
dimaknakan jika kehidupan masyarakat Kota Palu bertumpu dan bersendikan dasar-dasar
negara Republik Indonesia. Kota Palu, negara Indonesia, dan dasar-dasar negara merupakan
satu kesatuan. Di mana eksistensi Kota Palu sendiri bisa ada karena di topang oleh
keberadaan negara Indonesia. Struktur penyangga tambahan yang menghubungkan antara ke
4 bagian tiang penyangga tersebut di buat sebanyak 35 buah, yang menyimbolkan jumlah
provinsi di Indonesia. Maksud lebih lanjut dari desain tersebut ialah jika provinsi-provinsi
yang ada di Indonesia merupakan bagian-bagian pembentuk dari Indonesia itu sendiri, yang
mana berfungsi sebagai perekat untuk memperkuat ke empat unsur dasar yang disebutkan
sebelumnya.

Kemudian pada bentuk utama tugu yang dibuat berbentuk helix atau melingkar, desain
tersebut terinspirasi dari bentuk sambulu gana yang memang berbentuk demikian. Pada
tradisi perkawinan suku kaili, sambulu gana yang berisikan seperangkat peralatan menyirih
di susun dan kemudian dibungkus dengan daun atau yang lebih umum dengan menggunakan
sarung sehingga menjadi berbentuk menjulang. Pilihan warna tugu yang memakai warna

5
kuning juga memiliki arti sendiri. Warna kuning dalam budaya kaili merupakan warna yang
dianggap suci dan sakral, yang banyak dipakai untuk mewakili kesakralan dari sesuatu.
Warna kuning juga dianggap memiliki energi supranatural sehingga dianggap sakral. Desain
bentuk ini dan pemilihan penggunaan warna kuning dalam kaitannya sosiologi arsitektur
dapat terlihat dari penggunaan satu bentuk materiil dari budaya (dalam hal ini hantaran
sambulu gana) sebagai bentuk inspirasi, yang mana bentuk tersebut dimodifikasi lebih lanjut
dengan juga menambahkan bentuk dan makna lain di dalamnya, sehingga pada akhirnya
dapat saling berkaitan, baik dari bentuk dan desainnya, juga pada makna-makna yang
terdapat di dalamnya.

Bentuk dasar tugu yang terinspirasi dari dulang atau dalam bahasa Kaili disebut dula.
Dula merupakan sebuah tempat yang digunakan pada perkawinan maupun upacara adat
lainnya oleh suku Kaili, berupa tempat yang berbentuk bulat, cukup besar dan digunakan
untuk menaruh makanan dalam rangka menyambut tamu yang datang dalam upacara adat
yang disebutkan sebelumnya. Dalam teori semiotika satu bentuk simbol dapat
dikombinasikan/digabung sedemikian rupa dengan bentuk simbol lainnya hingga membentuk
satu makna spesifik. Hal demikian terimplikasi pada penggunaan bentuk dula sebagai dasar
tugu. Kota palu yang ter simbolkan melalui mutiara di puncak tugu, tiang penyangga tugu
yang menyimbolkan dasar-dasar bangsa dan fungsi penyokongnya terhadap eksistensi kota
palu, kedua bentuk tersebut di letakan atau berada di dalam bentuk piringan dula yang mana
tadinya digunakan untuk menjamu tamu. Sehingga dari sini tergambar jika masyarakat Kota
Palu selalulah bersifat terbuka dan menyambut tamu-tamu yang datang dengan niat yang baik
dan terbuka.

Terakhir pada bagian dasar tugu terdapat kolam air mancur, yang selain berfungsi untuk
menambah estetika dengan membuat suasa tugu menjadi lebih sejuk. Tapi juga berfungsi
untuk menyimbolkan kedamaian antara berbagai elemen-elemen masyarakat yang ada di
Kota Palu. Di dinding kolam terdapat tulisan kata Masintuvu kita maroso, morambanga kita
marisi, tulisan tersebut dapat diartikan yaitu ‘Bersama kita kuat, bergandengan kita bersatu’.
Hal demikian menyimbolkan jika perdamaian seperti yang disebutkan sebelumnya ialah
terjadi dalam satu bingkai yang menghimpun seluruh elemen masyarakat Kota Palu melalui
prinsip kata tersebut.

6
Daftar Referensi

Ambarini, dan Nazla Maharani Umaya. 2020. SEMIOTIKA TEORI DAN APLIKASI PADA
KARYA SASTRA. Semarang: IKIP PGRI.

Ashadi. 2019. Konsep Desain Arsitektur. Cetakan 1. Jakarta: Arsitektur UMJ Press.

Baharuddin. 2021. Pengantar Sosiologi. Cetakan 1. disunting oleh S. Arifin. Mataram:


Sanabil.

Fu, Albert S. 2022. “Can Buildings Be Racist? A Critical Sociology of Architecture and the
Built Environment.” Sociological Inquiry 92(2):1–24. doi: 10.1111/soin.12478.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. “SEMIOTIKA: TEORI, METODE, DAN


PENERAPANNYA DALAM PEMAKNAAN SASTRA.” Humaniora 11(1):76–84.
doi: 10.22146/jh.628.

Sobur, Alex. 2016. Kamus Besar Sosiologi. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai