Anda di halaman 1dari 18

SENI PERTUNJUKKAN DI INDONESIA

PADA MASA ORDE BARU

Dosen Pengampu: Drs. Muryadi, M. IP

Disusun oleh:

Fara Dian Natanya 121911433022


Ardhilla Maghfirdha 121911433023
Nabilah Rahmawati 121911433057
Agustina Nurhayati 121911433089

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2021
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang dikenal kaya akan memiliki keaneka ragaman
yang tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia
sendiri tidak hanya berupa sumber daya alam saja, melainkan Indonesia juga terkenal
kaya akan seni maupun kebudayaan suku bangsa yang telah tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia. Salah satu bentuk kebudayaan yang cukup berkembang dan menyebar di
Indonesia tersebut adalah seni pertunjukan.
Seni pertunjukan merupakan suatu bentuk sajian pentas seni yang diperlihatkan
atau dipertunjukan kepada khalayak umum atau orang banyak oleh pelaku seni (seniman)
dengan tujuan untuk memberikan hiburan yang dapat dinikmati oleh para penonton. 1
Hiburan merupakan salah satu hal yang selalu bersifat menyenangkan, begitu juga dengan
seni pertunjukan yang bersifat menghibur masyarakat setelah melakukan aktifitas atau
rutinitasnya sehari-hari agar bisa menghilangkan penat dan lelah selama beraktivitas.
Pada dasarnya, sebenarnya setiap individu di masyarakat memiliki kecenderungan untuk
menciptakan sebuah seni atau kebudayaanya sendiri. Kebudayaan nyatanya memiliki
relasi satu sama lain dengan manusia yang dapat dilacak melalui bentuk interaksi individu
maupun sosial di tengah masyarakat dan proses pembentukan norma-norma sosial
maupun pola perilaku.
Kebudayaan yang terjadi di Indonesia merupakan sesuatu yang dapat ditentukan
oleh faktor ekonomi, politik maupun ideologi. Hal tersebut tentunya hadir akibat
hegemoni penguasa melalui orang-orang yang memiliki privilege dalam bidang tertentu,
seperti pemimpin negara dan daerah, ketua adat, tokoh agama, seniman dan lain
sebagainya. 2 Melalui historisnya, kebudayaan menjadi sesuatu yang erat berkaitan
dengan proses produksi maupun reproduksi makna oleh masyarakat, dengan
memperhatikan tatanan kondisi kehidupan yang meliputi situasi politik, ekonomi dan
sosial. Maka dengan demikian, sebuah kebudayaan yang diciptakan secara sengaja

1 Adutua Syaeful, Skripsi “Pertunjukan Kesenian Ebeg Grup Muncul Jaya Pada Aacara Khitanan di
Kabupaten Pangandaran”, (Bandung: UPI, 2015), hlm. 7.
2 Ibnu Khair, Skripsi “Sejarah Seni pertunjukan: Penciptaan dan Perkembangan Seni Tari di Sulawesi Selatan

1960-2000-an”, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2021), hlm. 4.


maupun tidak disengaja, memiliki dasar relasi kuasa yang berlaku di tengah-tengah
kondisi kehidupan masyarakat.3
Salah satu bagian dari bentuk relasi dari kebudayaan masyarakat tersebut adalah
kesenian, atau lebih tepatnya yaitu berupa seni pertunjukan. Kehidupan seni pertunjukan
di Indonesia sendiri merupakan produk masyarakat yang selalu mengalami
perkembangan, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan masyarakat Indonesia
dalam berbagai aspek seperti aspek-aspek ekonomi, politik maupun sosio-kultural.
Perkembangan serta perubahan yang terjadi pada seni pertunjukan ini biasanya sesuai
dengan kondisi perubahan lingkungan serta pemaknaan penonton itu sendiri dalam
menikmati seni.
Pada perkembangannya wujud seni pertunjukan cenderung selalu mengalami
perubahan di setiap era, hal ini tentunya berimplikasi terhadap fungsi atau peran seni
pertunjukan terhadap masyarakat yang cukup kompleks, dalam artian bahwa antara
masyarakat yang satu dengan masyarkat lainnya dalam menempatkan seni pertunjukan
tersebut tidaklah sama. Perubahan yang terjadi pada setiap era tersebut meliputi fungsi
seni pertunjukan sebagai ritual keagamaan, sebagai alat kekuasan untuk propaganda
maupun komoditas pasar. Tentunya hal ini didasari bahwa seni pertunjukan memiliki
kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang terjadi dalam setiap
tahapan era masyarakat di Indonesia. Era Orde Baru menjadi salah satu tahapan yang
cukup spesifik dalam perjalanan seni pertunjukan dibanding dengan tahapan era
sebelumnya.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, seni pertunjukan menjadi bagian
penting untuk dikaji dalam tatanan kehidupan masyarakat yang terus berkembang dari
masa ke masa. Sehingga tulisan ini nantinya ingin menjelaskan terkait bagaimana wujud
seni pertunjukan yang hadir pada masa Orde Baru. Kemudian, pembahasan juga tidak
akan luput dari uraian terkait sistem kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah dalam
menunjang hadirnya seni pertunjukan pada saat itu beserta pengaruh dari kebijakan
tersebut.

3 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Bantul: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 51-53.
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Seni Pertunjukan


Berbagai sistem sosial hadir dalam kehidupan masyarakat, dimana sistem sosial
itulah yang kemudian menjadi penggerak kehidupan masyarakat. Sistem tersebut
diantaranya meliputi: sistem kekuasaan, sistem kepercayaan, sistem sosial, dan
sebagainya 4 , adanya sistem tersebut lah yang membuat seni pertunjukan yang
berkembang di masyarakat mendapatkan pengaruh dari sistem-sistem tersebut.
Bagaimanapun, suatu kebudayaan tidak terkecuali kesenian pasti berkaitan erat dengan
ruang tempat dilahirkannya kebudayaan tersebut, pemeliharaan, pelestarian, hingga
berbagai perubahan 5 . Seiring dengan berkembangnua waktu dan adanya pergantian
pemerintahan di Indonesia, membuat adanya perubahan terhadap kebijakan
pengembangan kebudayaan, tidak terkecuali seni pertunjukkan pada masa Orde Baru
dibawah pimpinan presiden Soeharto.
Hadirnya reformasi kebijakan ekonomi liberal pada tahun 1967 hingga 1972
menjadi salah satu penyebab dari adanya perubahan kebijakan budaya pada awal era Orde
Baru. Hal tersebut terjadi karena terdapat peningkatan produk-produk budaya yang
penting seperti media massa dan juga produk-produk mewah. Di sisi lain, kebijakan
budaya pada masa Orde Baru yang berorientasi pada “Pembangunan Nasional” dinilai
terlalu banyak memberikan aturan serta pembatasan pada para seniman dan pelaku seni
lainnya pada masa itu. Penilaian tersebut didasarkan karena pada praktiknya, berbagai
pertemuan budaya di hampir seluruh wilayah Indonesia harus melalui tahapan perizinan
terlebih dahulu kepada kepolisian, sedangkan dalam undang-undang sendiri tidak
terdapat keharusan untuk mengajukan izin dalam pelaksanaan pertemuan budaya
terkecuali jika kegiatan tersebut akan menimbulkan gangguan bagi kepentingan
masyarakat umum6.
Pada tahun awal dimulainya era Orde Baru, permasalahan akan penciptaan suatu
kondisi untuk mempercepat modernisasi serta pengamanan polisi politiknya sangat

4 Umar kayam, “Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan” dalam Gelar, Jurnal Ilmu dan Seni STSI

Surakarta, Vol. 2(1), 1999, hlm. 1


5 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 4
6 Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya selama Abad Ke-20 hingga Era

Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, 2015), hlm. 203
berpengaruh pada bagaimana kebudayaan diartikulasikan dalam wacana pemerintahan 7.
Strategi politik yang diterapkan oleh rezim Orde Baru dilabeli dengan sebutan
“depolitisasi” oleh para analis, salah satunya yaitu David Bourchier (1998). Strategi
politik ini dilakukan mulai awal tahun 1970-an melalui beberapa metode untuk
melakukan konsolidasi posisi politik bagi para pemegang kekuasaan di era ini. Salah satu
metodenya yaitu dengan melakukan pembersihan pada birokrasi ataupun tubuh militer
dari segala hal yang berkemungkinan untuk menjadi oposisi. Pengebirian politik pun
dilakukan sebagai salah satu strategi menjelang dilakukannya pemilihan pada tahun 1971
dan 1977. Pengebirian politik ini dilakukan dengan upaya pelarangan adanya berbagai
diskusi politik hingga pengekspresian seni dan budaya pada kehidupan masyarakat
Indonesia sehari-hari. Berbagai kegiatan dengan tema yang dianggap berkaitan dengan
politik akan diberikan peringatan hingga pelarangan8.
Rezim Orde Baru menekankan kebijakan budayanya pada nilai spiritual budaya
serta gagasan konservatif mengenai warisan dan berbagai nilai budaya yang kontras
dengan penekanan pada keterlibatan selama Demokrasi terpimpin9. Terdapat perubahan
peran pada para seniman , dimana mereka didorong untuk memasukkan tema serta pesan
mengenai pembangunan dalam karya-karya mereka. Kemudian untuk pada seniman yang
berkaitan dengan partai politik kiri yang memberikan dukungan pada Soekarno pada
tahun 1960-an akan dilarang untuk melakukan pertunjukkan, dipenjara, hingga dibunuh.

2.2 Wujud Seni Pertunjukkan Era Orde Baru


Sebelum era Orde Baru, lingkaran pandangan dunia masyarakat cukup
mempengaruhi seni pertunjukan di Indonesia. Pandangan yang mengartikan bahwa
realitas mampu dilihat sebagai satu kesatuan pengalaman, di mana realitas tersebut
meliputi dunia, masyarakat serta alam adikodrati (supernatural) itu sendiri. Seperti
pendapat yang dikatakan oleh salah satu ahli sosiologi Hauser (1974) terkait seni
merupakan produk masyarakat, sehingga pandangan dunia masyarakat dapat
mempengaruhi wujud seni yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut.10 Sehingga dapat

7 Ibid, hlm. 134.


8 Ibid, hlm. 145.
9 Ibid, hlm. 207.
10 Arnold Hauser, The Sociology of Art, Terj. Kenneth J Northcott, (Chicagi and London: The University of

Chicago Press, 1974), tanpa halaman.


dikatakan bahwa pandangan dunia tentang seni pertunjukan tersebut merupakan bukan
hal yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usaha manusia untuk
menghadapi segala tantangan dalam kehidupan masyarakat serta sebagai tolok ukur nilai
pragmatis untuk mencapai keadaan psikis seperti ketenangan, ketenteraman dan
keseimbangan batin.
Memasuki era Orde Baru, seni pertunjukan memiliki pandangan yang berbeda.
Penguasa pada masa Orde Baru sedikit demi sedikit telah membuat perubahan besar
terhadap tata kehidupan masyarakat Indonesia.11 Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya
suatu tatanan kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia yang hampir sepenuhnya
menjadi sistem kapitalis. Dengan demikian, era Orde Baru telah menciptakan sebuah
iklim baru bagi seni pertunjukan yang lebih condong ke arah materialisasi dan
ekonomisasi dalam seni pertunjukan. Sebagai tontonan, seni pertunjukan dipaksa oleh
Orde Baru untuk menyesuaikan dengan perubahan dan keadaan yang telah berubah. Seni
pertunjukan dipaksa untuk mengabdi kepada penguasa Orde Baru yang jelas memiliki
modal ekonomi besar.
Jika seni pertunjukan pada masa sebelum Orde Baru, peristiwa atau cerita yang
dibawakan dalam pertunjukan cukup banyak menampilkan hal-hal yang mengandung
ajaran budi pekerti maupun mengandung pesan-pesan moral di dalamnya yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Maka hal ini cukup mengalami
perubahan di era Orde Baru, di mana cerita yang megandung budi pekerti tersebut tidak
dapat diterima lagi oleh masyarakat. Kritik sosial yang biasanya disampaikan melalui seni
pertunjukan mulai dirasa kosong oleh masyarakat dan tidak memberikan pengaruh
apapun bagi penonton, dalam artian Orde Baru telah meniadakan gagasan mengenai
fungsi kritis seni pertunjukan yang berasal dari lembaga pendidikan formal. Hal ini
disebabkan oleh konsep tatanan seni pertunjukan yang telah diarahkan oleh Orde Baru
pada program-program pembangunan mapupun aturan-aturan pemerintah.
Perubahan dari wujud seni pertunjukan pada era Orde Baru ini, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari peran penguasa. Sikap penguasa era Orde Baru turut menentukan
pengaruh dalang sebagai corong atau media semangat pembangunan, dengan upaya
membuat dalang berperan menyampaikan program-program pembangunan di dalam seni

11T. Slamet Suparno, “Seni Pertunjukan Tradisional (Jawa), Era Reformasi”, dalam Jurnal Dewa Ruci, Vol. 5, No. 2,
( Desember 2008), hlm. 236.
pertunjukan. Program-program pembangunan tersebut dikemas sedemikian rupa oleh
para dalang (seniman) untuk disampaikan pada saat-saat tertentu, sehingga masih
menyatu dengan tema seni pertunjukan yang ditampilkan. Para dalang tidak serta merta
mengikuti kehendak penguasa Orde Baru sepenuhnya, dalang tetap berupaya
mensukseskan pembangunan dalam wujud seni pertunjukan dan menanggapi dengan
bijak.
Pada upayanya, pemerintah melakukan tekanan terhadap seniman seni
pertunjukan dengan dilarangnya kritik terhadap pemerintah era Orde Baru. Tepatnya
setelah peristiwa G30S PKI, para dalang diminta untuk menyerahkan naskah kepada
pemerintah (pihak polisi) sebelum melakukan pertunjukan.12 Sehingga dengan demikian
di era Orde Baru para penguasa menempatkan seni pertunjukan yang merupakan seni
populer tidak hanya sebagai hiburan bagi masyarakat luas saja, melainkan seni
pertunjukan juga berfungsi atau dimanfaatkan sebagai propaganda pembangunan.
Biasanya seni pertunjukan dilaksanakan pada hari-hari tertentu, berbagai lembaga
pemerintah menggelar seni pertunjukan dengan rutim dan turut dihadiri oleh lembaga
swasta maupun pelaku bisnis lainnya. Beberapa bentuk Seni Pertunjukan pada era Orde
Baru dan kebijakan yang berlaku diantaranya:
1. Seni Pertunjukan Wayang Kulit
Sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru wayang kulit menjadi media
penyalur lidah pesan-pesan dari partai tertentu ataupun pemerintah kepada rakyat,
pada pertunjukan wayang kulit dalanglah yang menjadi unsur terpenting dalam
komunikasi yang dibangun melalui sebuah pegelaran pertunjukan seni.Pagelaran
wayang kulit pada masa Orde Baru digunakan sebagai alat komunikasi untuk
menyiarkan pesan-pesan pembangunan seputar politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan, pertahanan nasional, dan administrasi. Dipergunakannya seni
pertunjukan dalam penyampaian pesan-pesan pemerintah ini dilatarbelakangi oleh
kesulitan elit birokrasi pemerintah dalam mengkomunikasikan kebijakan-
kebijakan yang baru terbentuuk kepada rakyat. Wayang kulit menjadi media
propaganda Orba dikarenakan wayang kulit diminati oleh semua golingan baik
para golongan atas maupun rakyat biasa. Pada pasca gerakan G30SPKI yang gagal
dilakukan dan berujung pada pembersihan siapa saja yang dicurigai sebagai PKI,

12 T. Slamet Suparno, Op. Cit, hlm. 237


hal ini juga terjadi pada para dalang wayang kulit, bagi siapa saja yang lolos
penangkapan dan tidak terbunuh dikenai larangan bermain dalam jangka waktu
tertentu. Seluruh dalang harus mendaftarkan diri, menunjukkan rencana jadwal
pagelaran hingga penyerahan naskah alur cerita lakon yang hendak dipergelarkan
kepada pemerintah setempat13.
Masa Orde Baru dibentuk sebuah organisasi dalam pertama yaitu
Himpunan Kebaktian Dalang yang didirikan pada Desember 1966 di Surakarta,
pada 1969 diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia yang kemudian
menghasilkan beberapa keputusan salah satunya yaitu menjadikan pertunjukan
wayang sebagai media komunikasi massa guna untuk menyukseskan REPELITA.
Keseriusan pemerintah Orde baru terhadap seni wayang kulit terutama pada
dalang ditunjukkan pada pembentukan Lembaga Pembinaan Seni Pedalangan
Indonesia (GANASIDI) pada 7 Desember 1969, lembaga ini dibentuk guna untuk
menekankan fungsi dalang sebagai abdi negara yang harus mengutamakan
kepentingan nasional dan berkiblat pada Garis Kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia.
Segala bentuk pagelaran seni dibawah pengawasan pemerintah sehingga
tidak dapat dipungkiri jika pertunjukan seni wayang kulit terjerumus menjadi
suatu alat propaganda bahkan hampir dipaksa untuk berada di pihak pemerintah,
dampak buruk yang ditimbulkan atas perlakukan pemerintah Orba adalah
menurunnya kreativitas dan produktivitas dalang yang notabenya adalah pemeran
tunggal pada pegelaran wayang kulit, dalang dianggap mampu untuk menjadi
penghubung dengan rakyat tanppa menimbulkan pergolakan sehingga dalang
harus akomodatif, menyelaraskan dan menjadi penetral untuk meredamkan
ketegangan antara pemerintah dan masyarakat tentu saja hal ini menjadi
penghambat meluasnya kreativitas dalang, selain itu dampak lainnya juga
hilangnya independensi. Wayang kulit menjadi wadah legitimasi kekuasaan dan
dipenuhi dengan aturan dan sikap taat14.

2. Seni Pertunjukan Wayang Potehi

13 Fadhil Nugroho Adi, Peranan Dalang Wayang Kulit dalam Propaganda Pembangunan di bawah Orde
Baru dalam Jantra Vol. 12 No. 2. Desember 2017, hlm. 108-109.
14 Ibid., hlm. 111
Wayang Potehi merupakan salah satu warisan budaya yang berasal dari
Fujian yang dibawa oleh etnis Tionghoa ke Indonesia sekitar abad ke-16,
Wayang Potehi adalah wayang yang dimainkan dalang dengan dengan
memaksukkan tangan ke sarung boneka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
sendiri “Potehi” yaitu sejenis boneka kayu berbentuk kantong kain berukuran
kecil, bagian kepalanya dikaitkan dengan kain dan bagian luar diberi pakaian.
Pada masa Orde Lama wayang Potehi sangan digemari oleh masyarakat
Indonesia khususnya para penduduk pulau Jawa, nmaun pada masa Orde Baru
sekitar tahun 1967-1988 pementasan wayang Potehi dilarang tentu saja hal ini
menurunkan peminat pada pertunjukkan wayang Potehi.
Pementasan wayang Potehi dapat dilakukan dimana saja yang terpenting
cukup untuk mendirikan panggung kecil dan tempat luas yang mampu mewadahi
penonton, biasanya pementasa dilakukan di depan klenteng tempat ibadah etnis
Tionghoa, pemilihan tempat di ruang terbuka ini bertujuan untuk meberikan
keleluasaan terhadap penonton agar dapat menikmati jalannya pertunjukan
sesekali pertunjukan wayang Potehi juga dilakukan di tengah jalan raya. Sejak
masa kolonial pementasan wayang potehi memang diminati sebagai sarana
keagamaan maupun sebagai hiburan hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Eropa menyukai hiburan seni pertunjukan. Kemudian perkembangn wayang
Potehi saat kepemimpinan Presiden Soekarno masih berjalan seperti biasa,
Presiden Soekarno adalah tokoh yang menghargai keberagaman diantara
masyarakat Indonesia, Presiden Soekarno paham betul dengan keberagaman
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan juga suku bangsa, hal
ini membuat Soekarno tidak mengambil tindakan ataupun pelarangan terhadap
masyarakat Cina yang mempertunjukkan kebudayaan dan agamanya15.
Berbeda dengan Presiden Orde Lama pemimpin Orde Baru melakukan
pelarangan pada pementasan wayang Potehi, pertunjukan wayang Potehi
dilarang selama 32 tahun atau sepanjang masa Orde Baru berjalan dan diketahui
pula pementasan wayang potehi sudah jarang dipertunjukkan di depan umum.
Pelarangan keras pertunjukkan wayang Potehi ini terjadi ketika tahun 1967 saat

15 Sunariyadi Maskurin, Perkembangan Wayang Potehi di Surabaya tahun 1967-2001 dalam jurnal Avatara

Vol. 2 No. 3 Oktober 2014, hlm. 177


Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang terdapat pada poin kedua yaitu
“Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak
mencolok di depan umum melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga”,
peraturan ini diartikan sebagai larangan atas berbagai bentuk ekspresi
berkesenian, hal ini tentu saja berdampak pada pertunjukan wayang Potehi16.
Pada tahun sebelum kekuasaan Orde Baru berlangsung pementasan wayang
Potehi cukup meriah hingga pada pelarangan itu dikeluarkan wayang Potehi
dapat kapan saja terancam punah.
Sejak Inpres tersebut diberlakukan warga Cina hanya menjalankan
agama dan keseniannya di lingkup kecil rumah ibadahnya sendiri, pada tahun
1969 dikeluarkan Inpres No. 16 1969 yang menuliskan bahwa wayang Potehi
tidak boleh dipertunjukkan, para dalang berhenti melakukan pertunjukkan tentu
saja ini berdampak pada kehilangannya mata pencaharian para dalang dari
wayang Potehi, namun masih ada pementasan wayang yang dilakukan di
beberapa kelenteng seperti Klenteng Hong San Kiong di Gudo- Jombang dan
pementasan di klenteng Kampung Dukuh Surabaya pada setiap harinya karena
memiliki kepercayaan bahwa pertunjukan itu dipersembahkan kepada Dewa.
Peraturan-peraturan masa Orde Baru ini cukup menyulitkan kehidupan warga
Cina oleh karena itu tahun 1967-1999 menjadi masa suram warga Cina dan
perkembangan kebudayaan Cina di Indonesia17.

3. Seni Pertunjukan Ludruk


Ludruk berasal dari daerah Jombang yang perkembangan diawali oleh
seorang petani, ludruk menjadi pertunjukan tradisional yang di dalamnya
menggunakan dialog prosa bahasa Jawa Timuran yang lahir dari golongan
masyarakat bawah, pementasan ludruk bertujuan untuk menghibur penonton
pementasan ludruk dilakukan dengan cara mengamen yang diiringi musik,
pementasan ludruk mengandung cerita-cerita yang bertemakan cerita
kepahlawanan, namun selain itu ludruk juga menceritakan mengenai kehidupan

16 Ibid., hlm. 172


17 Yohanes Suwanto dan Budi Kurniawan, Pelestarian Seni Pertunjukan Wayang Potehi di Jawa Timur
dalam jurnal Century Vol. 5 No. 1 Januari 2017, hlm. 20
sehari-hari, pada saat pementasan ludruk pelajaran moral hidup akan
tersampaikan pada masyarakat penonton, Sifatnya yang fleksibel dengan
masyarakat membuat ludruk menjadi sasaran media propaganda18.
Ludruk sudah hadir sejak masa kolonial hingga masa pendudukan Jepang
di Indonesia, ludruk masa kolonial membawakan beberapa cerita yang dirasa
mengambil sudut pandang dari kolonial Belanda karena cerita tersebut tentang
kekuatan dan kekuasaan orang-orang Belanda di Indonesia, kebanyakan cerita
yang mengangkat tema ini menempatkan kemenangan pada pihak Belanda,
dalam cerita terbagi menjadi 2 lakon, tokoh pribumi menjadi lakon protagonist
yang berusaha melawan kekuasaan Belanda yang melakukan penindasan, dan
sebaliknya lakon Belanda menjadi sosok antagonis, kemenangan beruntun oleh
pihak Belanda tersebut dikarenakan adanya perbedaan gaya perang yang
mencolok seperti kesenjangan persenjataan yang mana pihak Belanda
menggunakan peralatan modern dan sebaliknya pihak pribumi menggunakan
persenjataan yang lebih tradisional. Pementasan ludruk pada masa pendudukan
Jepang dirasakan selalu berada dalam pengawasan pihak Jepang, ludruk tidak
mampu bergerak bebas dalam ruang kreasinya, taktik propaganda juga dilakukan
Jepang melalui jalur pementasan salah satunya ludruk.
Pada masa kemerdekaan ludruk menjadi media yang diminati untuk
menyebarkan propaganda atau penyebaran ideologi pemikiran tentang komunis
ketika itu, kehadiran ludruk sebagau media propaganda dapat menyebabkan
dampak pada ludruk itu sendiri seperti pada saat ludruk vakum pasca peristiwa
Gestapu, dan juga penuduhan yang berujung penangkapan karena diduga
sebagai anggota PKI.
Masa Orde baru identik dengan keikut campuran pemerintah dalam
berbagai bidang tidak hanya mendominasi namun pihak Orde baru juga
melakukan pengawasan ketat pada segala aspek, sikap yang militeristik
membawa pengawasan pemerintah melalui ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) dan Partai Golongan Karya yang merupakan partai
dominan semasa Orde baru sehingga kedua kekuatan ini mengontrol semua

18 Munifatuz Zuhriyyah, Kelompok Ludruk Cak Durasim (Ludruk Organisatie) di Surabaya Tahun 1933-

1945 dalam jurnal Kaganga Vol. 1 No. 2, Desember 2018, hlm. 96-99
bidang kehidupan termasuk politik, ekonomi, budaya, seni, pendidikan, dll. Pada
pengawasan bidang seni membawa ludruk menjadi salah satu seni yang
mendapatkan pengawasan dari pemerintah, dampak dari kebijakan-kebijakan
pemerintah masa Orde baru membuat kehidupan para penggiat seni ludruk
melakukan usaha lebih keras agar dapat terus menggiatkan kesenian ini, para
pementas mengambil alternatif jalan dengan melakukan kerja sama atau memilih
bergabung menjadi bagian pemerintah seperti yang dilakukan oleh grup ludruk
RRI Surabaya dengan begitu grup ludruk RRI relatif aman ketimbang grup yang
lain dari segi produksi pementasan dan keamanan finansial19.
Keputusan grup ludruk RRI yang bergabung dengan pihak pemerintah
membuat mereka melakukan berbagai pementasan dengan membawa misi
propaganda program-program kerja masa orde baru hal ini dilakukan karena
ludruk RRI memiliki banyak pengemar, ceita ringan yang mudah dicerna dan
diterima oleh masyarakat, seniman-seniman RRI menanggung tanggung jawab
sebagai bagian dari pemerintah sehingga harus turut andil dalam
mensosialisasikan konsep dasar PELITA atau Pembangunan Lima Tahun yang
merupakan suatu jargon dari pemerintah orde baru20.
Tidak berhenti disitu pengawasan pemerintah terhadap ludruk membawa
dampak keterkekangan dalam pementasan, dampak ini menjadikan seniman-
seniman ludruk tidak bebas mengekspresikan kritik secara terbuka, sehingga
mengharuskan para seniman ini melakukan strategi beragam agar dapat bergerak
dalam laju sesuai yang diinginkan, seperti yang dilakukan oleh grup ludruk Cak
Kartolo Cs yang melakukan strategi dengan memasukkan unsur dagelan atau
komedi pada pementasannya, pemilihan strategi dengan komedi ini diharapkan
akan menjadi angin segar bagi masyarakat sehingga akan tetap diminati dengan
melakukan komedi kritik terhadap pemerintah akan terbungkus dengan rapi dan
dapat disampaikan tanpa harus mengutarakan secara gamblang pada yang dituju
sehingga kritik menjadi implisit dan sulit diterka secara langsung.

19Dheny Jatmiko, YB. Agung Prasaja, Praktik Seni Ludruk di Surabaya: Strategi Kebertahanan Seni

Tradisional Ludruk Surabaya dalam jurnal Parafrase Vol. 18 No. 2, Oktober 2018, hlm. 77.
20 Prasetyo Mukti Wicaksono, Kesenian Ludruk Rri Surabaya Sebagai Media Propaganda Program

Pemerintah Pada Dekade Akhir Pemerintahan Orde Baru (1989-1998) dalam jurnal AVATARA Vol. 6 No. 1, Maret
2018, hlm. 248.
2.3 Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Seni Pertunjukan Masa Orde Baru
Pada masa kebijakan orde baru pemerintah melakukan banyak pembangunan
dalam segala bidang. Awal mula pemerintah orde baru berusaha menciptakan stabilitas
ekonomi dan politik dengan kebijakan – kebijakan baru. Masa orde baru juga membntuk
tatanan kehidupan bermasyarakat yang kapitalis sehingga tentu terjadi perubahan besar
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah juga mengambil kebijakan untuk penerapan
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), dimana sebagian besar anggaran dananya
dialokasikan pada bidang pendidikan. Pemerintah juga menetapkan Indonesia kembali
menjadi anggota PBB (Perserikatan bangsa – bangsa) pada tahun 1966, dimana
pemerintah sadar akan pentingnya PBB dalam pemerintahan Indonesia21.
Adanya kebijakan baru yang diambil masa orde baru tentu memiliki dampak yang
cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat, pemerintah juga memberikan pengawasan
pada setiap media massa yang dibawahi oleh Departemen Penerangan. Dampak dari
kebijakan masa orde baru juga terjadi dalam bidang seni dan kebudayaan. Pemerintah
masa orde baru melakukan upaya dalam pemeliharaan sejah budaya nasional Indonesia,
selain itu pula pemerintah juga melakukan pengembangan pada kesenian dengan
mendirikan sekolah seni, membentuk organisasi seni hingga mengadakan kursus seni.
Seni merupakan media yang dapat digunakan untuk membentuk suatu karakter
masyarakat, seni juga bmerupakan representasi dari kebudayaan yang diturunkan secara
turun temurun oleh pendahulu yang diteruskan oleh generasi selanjutnya22. Pada awalnya
para pekerja seni masih bebas mengekspresikan karya sesuai dengan gaya mereka,
mengungkapkan isi hati dengan bebas tanpa ada batasan. Namun, adanya kebijakan
pemerintah pada masa orde baru menetapkan para pekerja seni tidak mengaitkan kesenian
dengan urusan politik hingga kritik terhadap pemerintah. Adanya penyelewengan,
korupsi hingga pencucian uang sudah menjadi rahasia umum pada pemerintahan Soeharto
pada masa orde baru, sehingga dengan ini memunculkan adanya beberapa batasan dan
larangan dalam dunia seni Indonesia salah satunya seni pertunjukan. Para seniman
biasanya melakukan kritik terselubung terhadap kebijakan pemerintah melalui karya

21 Sri Haryati Putri. Sekolah Menengah Kesenian: Cipta Karakter Pelestari Budaya di Sumatera Barat.

Diakronia. Vol. 19 No. 1 Tahun 2019. Hlm. 69.


22 Ibid. Hlm. 75.
mereka, hal ini tentu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yang seolah – olah
menjadi jeritan rakyat23.
Dampak kebijakan orde baru ialah adanya pembatasan ruang karya bagi para
pekerja seni dalam mengekspresikan diri atau menyuarakan isi hati. Dalam masa berkarya
para seniman terkadang mengalami tindakan kurang mengenakkan seperti intimidasi,
kecaman, ancaman, sulitnya perizinan pentas hingga pembubaran secara paksa.
Pembubaran paksa pada seni pertunjukan sangat banyak terjadi seperti adanya
penampilan theater “Marsinah Menggugat” tahun 1997 yang merupakan karya dari Ratna
Sarumpaet, pertunjukan theater ini dikecam oleh aparat kepolisian dan dianggap sebagai
pertunjukan tanpa izin. Selain itu, terdapat kecaman yang ditujukan pada W.S Rendra dan
puisinya dimana beliau dianggap sebagai provokator mahasiswa saat rapat mahasiswa
untuk berbalik mengecam pemerintah orde baru dan segala kebijakannya. Akibatnya,
beliau ditangkap dan beberapa teater berada dalam pengawasan aparat kepolisian.
Penarikan sejumlah karya dari para seniman juga terjadi, bukan tanpa alasan
melainkan para seniman biasanya mencurahkan kondisi negara pada karya seninya secara
terselubung. Pada era orde baru seni pertunjukan sebenarnya masih banyak digelar
mengacu pada Soeharto yang masih erat kaitannya dengan tradisi Jawa. Adanya slogan
anti Tionghoa terutama masa orde baru juga mempunyai dampak khusus bagi masyarakat
Tionghoa di Indonesia yang juga memperkenalkan budaya melalui seni terutama seni
pertunjukan. Selain itu, seni pertujukan di Indonesia sebagai propaganda politik yang
telah berubah dari segi artistik24
Sebelum masa orde baru biasanya seni pertunjukan masih dapat menyampaikan
pesan moral secara baik dan masih mengandung nilai – nilai budaya yang terealisasikan
di lingkungan masyarakat. Berbeda saat memasuki era orde baru kini tidak lagi ditemukan
adanya pesan moral atau nilai kebudayaan, membuat masyarakat merasa bosan dan
memilih untuk tidak berpartisipasi dalam sebuah pertunjukan. Kebijakan orde baru
berpengaruh pada unsur – unsur seni pertujukan yang ada seperti pemerintah memberikan
izin pertunjukan asalkan seniman yang bekerja di balik layar dapat menyampaikan
kebijakan hingga program – program pemerintah seperti pembangunan. Akibatnya
masyarakat kurang antusias dalam menyikapi.

23
Aris Setyoko. Seni Pertunjukan Indonesia. Samarinda: Mulawarman University Press, 2021. Hlm. 39.
24
Fivin Bagus Septiya Pambudi dkk. Perkembangan Bentuk Topeng Barongan Dalam Ritual Murwakala di
Kabupaten Blora. Catharsis: Journal of Arts Education. Vol. 4 No. 2 Tahun 2015. Hlm. 88.
Pada era orde baru seni pertujukan diambil alih oleh pemerintah dengan
nemetapkan fungsi seni pertujukan sebagai hiburan. Seni pertujukan era orde baru
dipaksa untu dapat beradaptasi dengan perubahan dan keadaan, seni pertujukan juga
digunakan sebagai propaganda pembangunan. Seni pertujukan pada era orde baru juga
sering mengalami hambatan karena tidak adanya toleransi dalam kegiatan jika
berhubungan dengan pemerintah, selain itu masuknya budaya asing juga mempengaruhi
masyarakat untuk melestarikan seni pertujukan tradisional. Seni pertujukan seperti
wayang kulit, wayang wong, teater, ketroprak hingga ludruk memang biasanya diselingi
dengan kalimat – kalimat yang mencerminkan kehidupan masyarakat, biasanya mereka
memilih untuk mengadakan pertujukan secara diam – diam membuat pertujukan sangat
minim penontot. Seniman merasa kurang bisa bebas dalam menyebarluaskan karyanya25.
Pada masa orde baru seni pertujukan dominan menyampaikan program – program
pembangunan pemerintah daripada menyampaikan norma kehidupan dan nilai budaya
sehari – hari. Sebelumnya, seni pertunjukan merupakan salah satu wadah untuk
memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, namun sikap anti kritik yang ada sejak
masa orde baru membuat seniman lebih berhati – hati dalam pembuatan suatu karya agar
tidak berimbas pada diri sendiri. Pembatas tersebut tentu memberikan kerugian bagi
seniman karena tidak bebas untuk mencurahkan aspirasinya. Kemudian, pemerintah
memberikan simpati lebih pada bidang seni pertunjukan untuk melancarkan program
yang telah disusun oleh pemerintah, tentunya seni pertujukan dijadikan sebagai ladang
kekusaan. Salah satu seni pertujukan tersebut ialah ludruk. Ludruk biasa dijadikan
sebagai tempat untuk menyampaikan program pemerintah tentunya dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh masyarakat. Para seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga
Kesenian Rakyat) memiliki rasa trauma dalam menampilkan karya mereka karena
bertentangan dengan pemerintah karena jika meneruskan keinginan untuk mengadakan
pertunjukan pemerintah pasti akan membubarkan komunitas tersebut.

25 Yohanes Suwanto. Op.cit. Hlm. 20 – 22.


PENUTUP
Kesimpulan
Seni pertunjukan merupakan suatu bentuk sajian pentas seni yang diperlihatkan
atau dipertunjukan kepada khalayak umum atau orang banyak oleh pelaku seni (seniman)
dengan tujuan untuk memberikan hiburan yang dapat dinikmati oleh para penonton. Seni
pertunjukan menjadi bagian penting untuk dikaji dalam tatanan kehidupan masyarakat
yang terus berkembang dari masa ke masa. Berubahnya era kepemimpinan suatu negara
melahirkan perubahan pada kebijakan budayanya juga, tidak terkecuali pada era Orde
Baru dibawah kepemimpinan presiden Soeharto. Rezim Orde Baru menekankan
kebijakan budayanya pada nilai spiritual budaya serta gagasan konservatif mengenai
warisan dan berbagai nilai budaya yang kontras dengan penekanan pada keterlibatan
selama Demokrasi terpimpin. Rezim ini menciptakan sebuah iklim baru bagi seni
pertunjukan yang lebih condong ke arah materialisasi dan ekonomisasi dalam seni
pertunjukan. Seni pertunjukan yang awalnya sebagai suatu media untuk menyampaikan
aspirasi atau berbagai kritik terhadap penguasa, pada masa ini hal tersebut telah hilang,
dengan kata lain era Orde Baru telah meniadakan gagasan mengenai fungsi kritis seni
pertunjukan yang berasal dari lembaga pendidikan formal. Dampak dari adanya
perubahan kebijakan orde baru tersebut ialah adanya pembatasan ruang karya bagi para
pekerja seni dalam mengekspresikan diri atau menyuarakan isi hati. Dalam masa berkarya
para seniman terkadang mengalami tindakan kurang mengenakkan seperti intimidasi,
kecaman, ancaman, sulitnya perizinan pentas hingga pembubaran secara paksa. Namun
hal tersebut dapat dikatakan lumrah untuk terjadi, karena seorang pemimpin tentu
memiliki kebijakan dan caranya sendiri untuk mengatur negaranya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar).
Adi, Fadhil Nugroho. 2017. “Peranan Dalang Wayang Kulit dalam Propaganda
Pembangunan di bawah Orde Baru”. Dalam Jantra. Vol. 12(2). hlm. 108-109.
Barker, C. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. (Bantul: Kreasi Wacana).
Hauser, A. 1974. The Sociology of Art. Terj. Kenneth J Northcott, (Chicagi and London:
The University of Chicago Press.
Jatmiko, Dheny dan YB Agung Prasaja. 2018. “Praktik Seni Ludruk di Surabaya: Strategi
Kebertahanan Seni Tradisional Ludruk Surabaya”. Dalam Parafrase. Vol. 18(2).
Hlm. 73-78.
Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya selama
Abad Ke-20 hingga Era Reformasi. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
KITLV-Jakarta)
Kayam, Umar. 1999. “Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan”. Dalam Gelar, Jurnal
Seni. Vol. 2(1). Hlm. 7-15.
Khair, I. 2021. “Sejarah Seni pertunjukan: Penciptaan dan Perkembangan Seni Tari di
Sulawesi Selatan 1960-2000-an”. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Maskurin, Sunariyadi. 2014. “Perkembangan Wayang Potehi di Surabaya Tahun 1967-
2001”. Dalam Avatara. E-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 2(3). Hlm. 169-182.
Pambudi, Fivin Bagus S. 2015. “Perkembangan Bentuk Topeng Barongan Dalam Ritual
Murwakala di Kabupaten Blora”. Dalam Catharsis: Journal of Arts Education.
Vol. 4(2). Hlm. 83 – 91.
Putri, Sri Haryati. 2019. “Sekolah Menengah Kesenian: Cipta Karakter Pelestari Budaya
di Sumatera Barat”. Dalam Diakronia. Vol. 19(1). Hlm. 67 – 76.
Setyoko, Aris. 2021. Seni Pertujukan Indonesia. (Samarinda: Mulawarman University
Press).
Slamet Suparno, T. 2008. “Seni Pertunjukan Tradisional (Jawa), Era Reformasi”. Dalam
Jurnal Dewa Ruci. Vol. 5 No. 2.
Suwanto, Yohanes. 2017. “Pelestarian Seni Pertunjukan Wayang Potehi Di Jawa Timur”.
Dalam Century. Vol. 5(1). Hlm. 19 – 26.
Syaeful, A. 2015. Pertunjukan Kesenian Ebeg Grup Muncul Jaya Pada Aacara Khitanan
di Kabupaten Pangandaran. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung
Umam, Khotibul. 2016. “Musik Dangsut Rhoma Irama Sebagai Media kritik Politik Pada
Orde Baru Tahun 1977 – 1983”. Dalam Avatara: Journal Pendidikan Sejarah.
Vol. 4(3). Hlm. 1002 – 1010.
Wicaksono, Prasetyo Mukti. 2018. “Kesenian Ludruk RRI Surabaya Sebagai Media
Propaganda Program Pemerintah Pada Dekade Akhir Pemerintahan Orde Baru
(1989-1998)”. Dalam Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 6(1). Hlm.
238-156.
Zuhriyyah, Munifatuz. 2018. “Kelompok Ludruk Cak Durasim (Ludruk Organisatie) di
Surabaya Tahun 1933-1945”. Dalam jurnal Kaganga. Vol. 1(2). Hlm. 96-99.

Anda mungkin juga menyukai