Disusun oleh:
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
PENDAHULUAN
1 Adutua Syaeful, Skripsi “Pertunjukan Kesenian Ebeg Grup Muncul Jaya Pada Aacara Khitanan di
Kabupaten Pangandaran”, (Bandung: UPI, 2015), hlm. 7.
2 Ibnu Khair, Skripsi “Sejarah Seni pertunjukan: Penciptaan dan Perkembangan Seni Tari di Sulawesi Selatan
3 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Bantul: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 51-53.
PEMBAHASAN
4 Umar kayam, “Seni Pertunjukan dan Sistem Kekuasaan” dalam Gelar, Jurnal Ilmu dan Seni STSI
Reformasi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, 2015), hlm. 203
berpengaruh pada bagaimana kebudayaan diartikulasikan dalam wacana pemerintahan 7.
Strategi politik yang diterapkan oleh rezim Orde Baru dilabeli dengan sebutan
“depolitisasi” oleh para analis, salah satunya yaitu David Bourchier (1998). Strategi
politik ini dilakukan mulai awal tahun 1970-an melalui beberapa metode untuk
melakukan konsolidasi posisi politik bagi para pemegang kekuasaan di era ini. Salah satu
metodenya yaitu dengan melakukan pembersihan pada birokrasi ataupun tubuh militer
dari segala hal yang berkemungkinan untuk menjadi oposisi. Pengebirian politik pun
dilakukan sebagai salah satu strategi menjelang dilakukannya pemilihan pada tahun 1971
dan 1977. Pengebirian politik ini dilakukan dengan upaya pelarangan adanya berbagai
diskusi politik hingga pengekspresian seni dan budaya pada kehidupan masyarakat
Indonesia sehari-hari. Berbagai kegiatan dengan tema yang dianggap berkaitan dengan
politik akan diberikan peringatan hingga pelarangan8.
Rezim Orde Baru menekankan kebijakan budayanya pada nilai spiritual budaya
serta gagasan konservatif mengenai warisan dan berbagai nilai budaya yang kontras
dengan penekanan pada keterlibatan selama Demokrasi terpimpin9. Terdapat perubahan
peran pada para seniman , dimana mereka didorong untuk memasukkan tema serta pesan
mengenai pembangunan dalam karya-karya mereka. Kemudian untuk pada seniman yang
berkaitan dengan partai politik kiri yang memberikan dukungan pada Soekarno pada
tahun 1960-an akan dilarang untuk melakukan pertunjukkan, dipenjara, hingga dibunuh.
11T. Slamet Suparno, “Seni Pertunjukan Tradisional (Jawa), Era Reformasi”, dalam Jurnal Dewa Ruci, Vol. 5, No. 2,
( Desember 2008), hlm. 236.
pertunjukan. Program-program pembangunan tersebut dikemas sedemikian rupa oleh
para dalang (seniman) untuk disampaikan pada saat-saat tertentu, sehingga masih
menyatu dengan tema seni pertunjukan yang ditampilkan. Para dalang tidak serta merta
mengikuti kehendak penguasa Orde Baru sepenuhnya, dalang tetap berupaya
mensukseskan pembangunan dalam wujud seni pertunjukan dan menanggapi dengan
bijak.
Pada upayanya, pemerintah melakukan tekanan terhadap seniman seni
pertunjukan dengan dilarangnya kritik terhadap pemerintah era Orde Baru. Tepatnya
setelah peristiwa G30S PKI, para dalang diminta untuk menyerahkan naskah kepada
pemerintah (pihak polisi) sebelum melakukan pertunjukan.12 Sehingga dengan demikian
di era Orde Baru para penguasa menempatkan seni pertunjukan yang merupakan seni
populer tidak hanya sebagai hiburan bagi masyarakat luas saja, melainkan seni
pertunjukan juga berfungsi atau dimanfaatkan sebagai propaganda pembangunan.
Biasanya seni pertunjukan dilaksanakan pada hari-hari tertentu, berbagai lembaga
pemerintah menggelar seni pertunjukan dengan rutim dan turut dihadiri oleh lembaga
swasta maupun pelaku bisnis lainnya. Beberapa bentuk Seni Pertunjukan pada era Orde
Baru dan kebijakan yang berlaku diantaranya:
1. Seni Pertunjukan Wayang Kulit
Sejak masa Orde Lama hingga Orde Baru wayang kulit menjadi media
penyalur lidah pesan-pesan dari partai tertentu ataupun pemerintah kepada rakyat,
pada pertunjukan wayang kulit dalanglah yang menjadi unsur terpenting dalam
komunikasi yang dibangun melalui sebuah pegelaran pertunjukan seni.Pagelaran
wayang kulit pada masa Orde Baru digunakan sebagai alat komunikasi untuk
menyiarkan pesan-pesan pembangunan seputar politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan, pertahanan nasional, dan administrasi. Dipergunakannya seni
pertunjukan dalam penyampaian pesan-pesan pemerintah ini dilatarbelakangi oleh
kesulitan elit birokrasi pemerintah dalam mengkomunikasikan kebijakan-
kebijakan yang baru terbentuuk kepada rakyat. Wayang kulit menjadi media
propaganda Orba dikarenakan wayang kulit diminati oleh semua golingan baik
para golongan atas maupun rakyat biasa. Pada pasca gerakan G30SPKI yang gagal
dilakukan dan berujung pada pembersihan siapa saja yang dicurigai sebagai PKI,
13 Fadhil Nugroho Adi, Peranan Dalang Wayang Kulit dalam Propaganda Pembangunan di bawah Orde
Baru dalam Jantra Vol. 12 No. 2. Desember 2017, hlm. 108-109.
14 Ibid., hlm. 111
Wayang Potehi merupakan salah satu warisan budaya yang berasal dari
Fujian yang dibawa oleh etnis Tionghoa ke Indonesia sekitar abad ke-16,
Wayang Potehi adalah wayang yang dimainkan dalang dengan dengan
memaksukkan tangan ke sarung boneka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
sendiri “Potehi” yaitu sejenis boneka kayu berbentuk kantong kain berukuran
kecil, bagian kepalanya dikaitkan dengan kain dan bagian luar diberi pakaian.
Pada masa Orde Lama wayang Potehi sangan digemari oleh masyarakat
Indonesia khususnya para penduduk pulau Jawa, nmaun pada masa Orde Baru
sekitar tahun 1967-1988 pementasan wayang Potehi dilarang tentu saja hal ini
menurunkan peminat pada pertunjukkan wayang Potehi.
Pementasan wayang Potehi dapat dilakukan dimana saja yang terpenting
cukup untuk mendirikan panggung kecil dan tempat luas yang mampu mewadahi
penonton, biasanya pementasa dilakukan di depan klenteng tempat ibadah etnis
Tionghoa, pemilihan tempat di ruang terbuka ini bertujuan untuk meberikan
keleluasaan terhadap penonton agar dapat menikmati jalannya pertunjukan
sesekali pertunjukan wayang Potehi juga dilakukan di tengah jalan raya. Sejak
masa kolonial pementasan wayang potehi memang diminati sebagai sarana
keagamaan maupun sebagai hiburan hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
Eropa menyukai hiburan seni pertunjukan. Kemudian perkembangn wayang
Potehi saat kepemimpinan Presiden Soekarno masih berjalan seperti biasa,
Presiden Soekarno adalah tokoh yang menghargai keberagaman diantara
masyarakat Indonesia, Presiden Soekarno paham betul dengan keberagaman
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan juga suku bangsa, hal
ini membuat Soekarno tidak mengambil tindakan ataupun pelarangan terhadap
masyarakat Cina yang mempertunjukkan kebudayaan dan agamanya15.
Berbeda dengan Presiden Orde Lama pemimpin Orde Baru melakukan
pelarangan pada pementasan wayang Potehi, pertunjukan wayang Potehi
dilarang selama 32 tahun atau sepanjang masa Orde Baru berjalan dan diketahui
pula pementasan wayang potehi sudah jarang dipertunjukkan di depan umum.
Pelarangan keras pertunjukkan wayang Potehi ini terjadi ketika tahun 1967 saat
15 Sunariyadi Maskurin, Perkembangan Wayang Potehi di Surabaya tahun 1967-2001 dalam jurnal Avatara
18 Munifatuz Zuhriyyah, Kelompok Ludruk Cak Durasim (Ludruk Organisatie) di Surabaya Tahun 1933-
1945 dalam jurnal Kaganga Vol. 1 No. 2, Desember 2018, hlm. 96-99
bidang kehidupan termasuk politik, ekonomi, budaya, seni, pendidikan, dll. Pada
pengawasan bidang seni membawa ludruk menjadi salah satu seni yang
mendapatkan pengawasan dari pemerintah, dampak dari kebijakan-kebijakan
pemerintah masa Orde baru membuat kehidupan para penggiat seni ludruk
melakukan usaha lebih keras agar dapat terus menggiatkan kesenian ini, para
pementas mengambil alternatif jalan dengan melakukan kerja sama atau memilih
bergabung menjadi bagian pemerintah seperti yang dilakukan oleh grup ludruk
RRI Surabaya dengan begitu grup ludruk RRI relatif aman ketimbang grup yang
lain dari segi produksi pementasan dan keamanan finansial19.
Keputusan grup ludruk RRI yang bergabung dengan pihak pemerintah
membuat mereka melakukan berbagai pementasan dengan membawa misi
propaganda program-program kerja masa orde baru hal ini dilakukan karena
ludruk RRI memiliki banyak pengemar, ceita ringan yang mudah dicerna dan
diterima oleh masyarakat, seniman-seniman RRI menanggung tanggung jawab
sebagai bagian dari pemerintah sehingga harus turut andil dalam
mensosialisasikan konsep dasar PELITA atau Pembangunan Lima Tahun yang
merupakan suatu jargon dari pemerintah orde baru20.
Tidak berhenti disitu pengawasan pemerintah terhadap ludruk membawa
dampak keterkekangan dalam pementasan, dampak ini menjadikan seniman-
seniman ludruk tidak bebas mengekspresikan kritik secara terbuka, sehingga
mengharuskan para seniman ini melakukan strategi beragam agar dapat bergerak
dalam laju sesuai yang diinginkan, seperti yang dilakukan oleh grup ludruk Cak
Kartolo Cs yang melakukan strategi dengan memasukkan unsur dagelan atau
komedi pada pementasannya, pemilihan strategi dengan komedi ini diharapkan
akan menjadi angin segar bagi masyarakat sehingga akan tetap diminati dengan
melakukan komedi kritik terhadap pemerintah akan terbungkus dengan rapi dan
dapat disampaikan tanpa harus mengutarakan secara gamblang pada yang dituju
sehingga kritik menjadi implisit dan sulit diterka secara langsung.
19Dheny Jatmiko, YB. Agung Prasaja, Praktik Seni Ludruk di Surabaya: Strategi Kebertahanan Seni
Tradisional Ludruk Surabaya dalam jurnal Parafrase Vol. 18 No. 2, Oktober 2018, hlm. 77.
20 Prasetyo Mukti Wicaksono, Kesenian Ludruk Rri Surabaya Sebagai Media Propaganda Program
Pemerintah Pada Dekade Akhir Pemerintahan Orde Baru (1989-1998) dalam jurnal AVATARA Vol. 6 No. 1, Maret
2018, hlm. 248.
2.3 Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Seni Pertunjukan Masa Orde Baru
Pada masa kebijakan orde baru pemerintah melakukan banyak pembangunan
dalam segala bidang. Awal mula pemerintah orde baru berusaha menciptakan stabilitas
ekonomi dan politik dengan kebijakan – kebijakan baru. Masa orde baru juga membntuk
tatanan kehidupan bermasyarakat yang kapitalis sehingga tentu terjadi perubahan besar
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah juga mengambil kebijakan untuk penerapan
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), dimana sebagian besar anggaran dananya
dialokasikan pada bidang pendidikan. Pemerintah juga menetapkan Indonesia kembali
menjadi anggota PBB (Perserikatan bangsa – bangsa) pada tahun 1966, dimana
pemerintah sadar akan pentingnya PBB dalam pemerintahan Indonesia21.
Adanya kebijakan baru yang diambil masa orde baru tentu memiliki dampak yang
cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat, pemerintah juga memberikan pengawasan
pada setiap media massa yang dibawahi oleh Departemen Penerangan. Dampak dari
kebijakan masa orde baru juga terjadi dalam bidang seni dan kebudayaan. Pemerintah
masa orde baru melakukan upaya dalam pemeliharaan sejah budaya nasional Indonesia,
selain itu pula pemerintah juga melakukan pengembangan pada kesenian dengan
mendirikan sekolah seni, membentuk organisasi seni hingga mengadakan kursus seni.
Seni merupakan media yang dapat digunakan untuk membentuk suatu karakter
masyarakat, seni juga bmerupakan representasi dari kebudayaan yang diturunkan secara
turun temurun oleh pendahulu yang diteruskan oleh generasi selanjutnya22. Pada awalnya
para pekerja seni masih bebas mengekspresikan karya sesuai dengan gaya mereka,
mengungkapkan isi hati dengan bebas tanpa ada batasan. Namun, adanya kebijakan
pemerintah pada masa orde baru menetapkan para pekerja seni tidak mengaitkan kesenian
dengan urusan politik hingga kritik terhadap pemerintah. Adanya penyelewengan,
korupsi hingga pencucian uang sudah menjadi rahasia umum pada pemerintahan Soeharto
pada masa orde baru, sehingga dengan ini memunculkan adanya beberapa batasan dan
larangan dalam dunia seni Indonesia salah satunya seni pertunjukan. Para seniman
biasanya melakukan kritik terselubung terhadap kebijakan pemerintah melalui karya
21 Sri Haryati Putri. Sekolah Menengah Kesenian: Cipta Karakter Pelestari Budaya di Sumatera Barat.
23
Aris Setyoko. Seni Pertunjukan Indonesia. Samarinda: Mulawarman University Press, 2021. Hlm. 39.
24
Fivin Bagus Septiya Pambudi dkk. Perkembangan Bentuk Topeng Barongan Dalam Ritual Murwakala di
Kabupaten Blora. Catharsis: Journal of Arts Education. Vol. 4 No. 2 Tahun 2015. Hlm. 88.
Pada era orde baru seni pertujukan diambil alih oleh pemerintah dengan
nemetapkan fungsi seni pertujukan sebagai hiburan. Seni pertujukan era orde baru
dipaksa untu dapat beradaptasi dengan perubahan dan keadaan, seni pertujukan juga
digunakan sebagai propaganda pembangunan. Seni pertujukan pada era orde baru juga
sering mengalami hambatan karena tidak adanya toleransi dalam kegiatan jika
berhubungan dengan pemerintah, selain itu masuknya budaya asing juga mempengaruhi
masyarakat untuk melestarikan seni pertujukan tradisional. Seni pertujukan seperti
wayang kulit, wayang wong, teater, ketroprak hingga ludruk memang biasanya diselingi
dengan kalimat – kalimat yang mencerminkan kehidupan masyarakat, biasanya mereka
memilih untuk mengadakan pertujukan secara diam – diam membuat pertujukan sangat
minim penontot. Seniman merasa kurang bisa bebas dalam menyebarluaskan karyanya25.
Pada masa orde baru seni pertujukan dominan menyampaikan program – program
pembangunan pemerintah daripada menyampaikan norma kehidupan dan nilai budaya
sehari – hari. Sebelumnya, seni pertunjukan merupakan salah satu wadah untuk
memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, namun sikap anti kritik yang ada sejak
masa orde baru membuat seniman lebih berhati – hati dalam pembuatan suatu karya agar
tidak berimbas pada diri sendiri. Pembatas tersebut tentu memberikan kerugian bagi
seniman karena tidak bebas untuk mencurahkan aspirasinya. Kemudian, pemerintah
memberikan simpati lebih pada bidang seni pertunjukan untuk melancarkan program
yang telah disusun oleh pemerintah, tentunya seni pertujukan dijadikan sebagai ladang
kekusaan. Salah satu seni pertujukan tersebut ialah ludruk. Ludruk biasa dijadikan
sebagai tempat untuk menyampaikan program pemerintah tentunya dengan bahasa yang
mudah dimengerti oleh masyarakat. Para seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga
Kesenian Rakyat) memiliki rasa trauma dalam menampilkan karya mereka karena
bertentangan dengan pemerintah karena jika meneruskan keinginan untuk mengadakan
pertunjukan pemerintah pasti akan membubarkan komunitas tersebut.