Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KOLONISASI AFRIKA SELATAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Afrika

Anggota Kelompok:

1. Rizqullah Baktian Widyadhana (121811433038)


2. Nurul Ainun Fitriyah (121911433004)
3. Nabila Putri Syasabil (121911433014)
4. Ardhilla Maghfirdha (121911433023)
5. Devi Ayu Pertiwi (121911433035)
6. Rafif Rayhaan R (121911433048)
7. Rama Narendra (121911433061)
8. Rakha Wikrama Yasa (121911433076)
9. Muhammad Burhanudin Ilmansyah (121911433090)

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalh ini dengan
tepat waktu. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap rekan-rekan yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah Kolonisasi Afrika Selatan ini.
Makalah ini kami susun dengan sebaik-baiknya, juga dengan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Kami
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan untuk para pembaca.
Makalah yang berjudul Kolonisasi Afrika Selatan ini kami buat guna memenuhi
tugas kelompok mata kuliah Sejarah Afrika.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah. Kami
juga sangat berharap semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya.

Penyusun,

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI

MAKALAH ................................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ 3
BAB I ............................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................... 6
BAB II .......................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 7
2.1 Kolonisasi Afrika Selatan Pada Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ... 7
2.2 Kebijakan Apartheid Kolonisasi Afrika Selatan Pada Masa Inggris............................. 9
2.3 Respons dan Hubungan Masyarakat Lokal Terhadap Kolonialisme Eropa Pada Abad
Ke-19 15
• Maroteng ..................................................................................................................... 15
• Swazi ........................................................................................................................... 16
• Zulu ............................................................................................................................. 17
• Xhosa........................................................................................................................... 19
BAB III ....................................................................................................................................... 20
PENUTUP .................................................................................................................................. 20
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Benua Afrika terletak di bagian selatan bumi sekaligus merupakan benua terbesar
ketiga di dunia. Luas benua Afrika kurang lebih 30.343.578 km2 dengan luas daratan
sebesar 20%1. Benua Afrika merupakan benua terbesar setelah Asia dan Amerika. secara
geografis, benua Afrika juga terbagi menjadi berbagai macam wilayah. Pembagian
wilayah ini dapat didasarkan dalam berbagai macam aspek salah satunya adalah
geopolitik. Afrika secara iklim dibagi menjadi tiga iklim utama yaitu iklim gurun pada
bagian utara, hutan tropis pada bagian tengah, dan subtropis pada bagian selatan. Selain
itu, kandungan mineral dan bahan tambang lain juga cukup melimpah di Afrika.

Afrika selatan merupakan salah satu negara tertua di afrika. banyak suku bangsa
yang telah mendiami negara ini beberapa diantaranya adalah bangsa Khoi, Bushman,
Xhosa, dan Zulu.2 selain itu juga terdapat ras campuran salah satunya adalah bangsa
Afrikaner yang merupakan orang-orang belanda yang tinggal di afrika selatan. Afrika
selatan sendiri sebenarnya belum banyak diketahui oleh publik keberadaannya sebelum
didatangi oleh bangsa Eropa. Pelaut Eropa sendiri yang dipercaya sebagai orang Eropa
pertama yang menemukan dataran Afrika Selatan adalah Bartholomeus Diaz. Pelaut
kebangsaan Portugis ini singgah dan membuka Tanjung Harapan (Cape of Hope) pada
tahun 1488 dalam perjalanannya pulang setelah mencoba untuk mencari rute menuju
timur. Meskipun bangsa Portugis merupakan bangsa pertama yang menemukan Tanjung
Harapan, mereka tidak menorehkan banyak kisah di dataran ini. Justru bangsa lain seperti
Belanda dan Inggris yang berperan paling besar.

Kolonisasi yang dilakukan bangsa Barat tentu tidak tanpa sebab. Keinginan
bangsa Barat untuk menguasai Afrika didasarkan pada tiga motif, yaitu motif politik,
motif budaya, dan motif ekonomi. Penguasaan Afrika ini juga bisa ditarik kepada
semangat 3G (Gold, Glory, Gospel) yang menjadi modal awal bangsa eropa untuk

1
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1990), hlm. 3.

4
menjelajah dunia. ditambah lagi dengan ditemukannya Tanjung Harapan oleh
Bartholomeus Diaz pada 1488 yang menjadi penyemangat bangsa Eropa lain untuk
menjelajah semakin ke timur.

Afrika Selatan sendiri telah mengalami beberapa masa kolonialisasi oleh bangsa-
bangsa Eropa. Pembukaan Tanjung Harapan yang membuat bangsa lain di eropa semakin
berusaha untuk menjelajah ke timur membuat bangsa-bangsa lain di Eropa juga singgah
di Tanjung Harapan. tak jarang dari mereka yang pada akhirnya menginginkan untuk
menguasai wilayah tersebut. Hal ini banyak diakibatkan oleh sumber daya alam di
wilayah afrika selatan yang bisa dibilang cukup melimpah. Setelah Portugis datang,
bangsa Belanda juga datang ke Tanjung Harapan. Mereka menguasai banyak lini
perdagangan dari wilayah Afrika Selatan dengan perusahaan dagang mereka yaitu VOC.
Keberadaan bangsa belanda disini juga cukup lama, banyak orang-orang belanda yang
pada akhirnya memilih untuk menetap dan tinggal di Afrika Selatan, mereka menamai
diri mereka sebagai bangsa Afrikaner.

Inggris sebenarnya merupakan bangsa yang cukup merubah total afrika selatan.
namun mereka sendiri bisa dibilang sebagai bangsa eropa terakhir yang mencapai afrika
selatan. Orang-orang inggrs sendiri baru berhasil datang ke Tanjung Harapan pada tahun
1795. Kedatangan mereka ditujukan untuk membnatu penduduk asli Afrika Selatan
dalam menghadapi konflik dengan VOC. hal tersebut pada akhirnya berhasil membuat
Inggrs menguasai Tanjung Harapan.

Kehadiran Inggris di Afrika Selatan juga bukan tanpa masalah. layaknya negara-
negara koloni lain, banyak terjadi perselisihan antara pihak pengkoloni dan penduduk asli
Afrika selatan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara pengkoloni untuk negara
yang dikoloni juga bisa merubah kehidupan negara koloni seperti Afrika selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses kolonisasi Afrika Selatan pada masa VOC/Belanda?


2. Bagaimana kebijakan kolonisasi Afrika Selatan pada masa Inggris?

5
3. Bagaimana respons masyarakat lokal (Bantu/Zulu) terhadap kolonisasi bangsa
Eropa?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara umum makalah ini bertujuan untuk
menjelaskan mengenai terjadinya kolonisasi di Afrika Selatan. Secara rinci makalah ini
memiliki tujuan:

1. Memaparkan bagaimana proses kolonisasi Afrika Selatan pada masa


VOC/Belanda
2. Mendeskripsikan berbagai kebijakan kolonisasi Afrika Selatan pada masa Inggris
3. Menjelaskan bagaimana respons masyarakat lokal (Bantu/Zulu) terhadap
kolonisasi bangsa Eropa

1.4 Manfaat Penulisan


Makalah yang dibuat diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap berbagai
pihak terkait, diantaranya sebagai berikut:

1. Untuk penulis, diharapkan makalah ini dapat menabmbah wawasan dan


keterampilan dalam menulis makalah.
2. Untuk dosen, diharapkan makalah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran, serta
dapat memenuhi tugas kami.
3. Untuk mahasiswa, diharapkan makalah ini dapat meningkatkan kemampuan
memahami aspek historis mengenai kolonisasi di Afrika Selaran serta menambah
literatur untuk penulisan selanjutnya.
4. Untuk perguruan tinggi, makalah ini diharapkan dapat meningkatkan mutu dan
kualitas pembelajaran di perguruan tinggi tersebut.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kolonisasi Afrika Selatan Pada Masa Vereenigde Oostindische Compagnie


(VOC)
Sejarah kolonial Afrika Selatan secara tradisional terbagi antara periode Belanda
dan Inggris. Dari pendirian stasiun penyegar di Table Bay pada tahun 1652 hingga
penaklukan, dalam konteks perang Napoleon, Tanjung Harapan oleh Inggris pada
tahun 1795, pantai barat dan selatan Afrika selatan berada dibawah kendali Perusahaan
India Timur Belanda (VOC). Sejak tahun itu, kecuali untuk interregnum singkat selama
1803-1806 ketika Tanjung dikembalikan ke kontrol oleh Republik Batavia Belanda,
Afrika selatan tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris sampai pembentukan Uni
Afrika Selatan pada tahun 1910. Untuk sebagian besar dari kedua puluh abad
pembagian sejarah ini direplikasi dalam historiografi negara dengan periode VOC
dianggap sebagai medan yang hampir eksklusif dari sejarawan berbahasa Afrika (yang
memandang diri mereka sebagai keturunan pemukim Eropa yang datang ke Afrika
selatan selama periode VOC).
Para sejarawan ini menafsirkan kembali sejarah modern awal Afrika Selatan
untuk melayani paradigma nasionalis Afrikaner yang lazim di sebagian besar abad
kedua puluh. Dalam istilah praktis ini berarti konsentrasi pada perselisihan pemukim
dengan VOC (menunjukkan keinginan untuk kebebasan dan kedaulatan dari kekuatan
asing yang menindas) sehingga mengungkapkan nasionalisme bawaan di pihak nenek
moyang Afrikaner dan di perbatasan maju koloni yang didorong oleh kebutuhan petani
penggembala. Yang terakhir (disebut trekboer) dipandang sebagai pelopor Voortrekkers
abad kesembilan belas yang dalam mitologi Afrikaner membuka pedalaman (Highveld
Afrika selatan) untuk Afrikaner, sehingga menyebarkan mereka ke seluruh tempat yang
kemudian menjadi 'Afrika Selatan'. Terlihat jelas bagaimana para sejarawan Afrikaner
dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas ini hampir mengabaikan sejarah Cape
Town (sangat kosmopolitan) modern awal, serta tempat yang lebih besar dari Cape di
dunia VOC dan dalam konteks ekspansi Eropa dan interaksi global. Ini bukan
sejarawan yang akan mendorong siswa mereka untuk mengadopsi perspektif yang lebih

7
luas tentang sejarah kolonial Afrika Selatan.3

Afrika Selatan menjadi bagian kuat dari dunia global yang diciptakan oleh
perusahaan-perusahaan dagang lintas samudera ketika VOC secara resmi mendirikan
stasiun penyegaran untuk kapal-kapalnya di Table Bay. Komandan pertamanya, Jan
van Riebeeck, mendarat dengan lebih dari seratus pria (dan beberapa wanita dan anak-
anak) pada tahun 1652 dengan instruksi untuk membangun 'benteng dan taman' dan
untuk memelihara hubungan persahabatan (dan menguntungkan) dengan Khoikhoi
setempat. Meskipun van Riebeeck sama sekali bukan 'bapak pendiri' mitologi
Afrikaner yang mencoba membuatnya kemudian (terus-menerus melamar, seperti yang
dia lakukan, untuk promosi ke Hindia Timur), masa jabatannya di Tanjung mengubah
nasib sejarah Afrika selatan. Dia tidak hanya berhasil setelah beberapa kesulitan untuk
mendirikan sebuah stasiun dengan sukses dan untuk membuktikan kegunaannya bagi
VOC dan kapal-kapal dan awaknya, tetapi dua keputusannya mulai berjalan dengan
efek luas pada sejarah selanjutnya di wilayah tersebut.

Pertama, dalam upaya untuk meningkatkan keuntungan stasiun dan memastikan


kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang, VOC mengizinkan beberapa
karyawannya untuk berhenti bekerja pada tahun 1657 dan menetap sebagai petani
dengan pengertian bahwa mereka akan menjual hasil produksi mereka kepada
Kompeni. Orang-orang ini dikenal sebagai 'penduduk bebas', mereka 'dibebaskan' dari
kontrak awal mereka dengan VOC, meskipun mereka tetap menjadi bawahan
Kompeni. Kedua adalah keputusan pada tahun 1658 untuk mengimpor budak ke Afrika
bagian selatan untuk melayani baik VOC maupun kelompok burgher bebas yang baru
dibentuk. Budak harus diimpor karena VOC melarang van Riebeeck memperbudak
penduduk Khoikhoi setempat karena khawatir hal itu dapat menyebabkan pembalasan
dan penurunan pasokan ternak yang sangat dibutuhkan untuk kapal yang lewat.
Dengan peristiwa tahun 1650-an ini, perkembangan masa depan masyarakat
kolonial yang unik mulai bergerak. Seperti masyarakat kontemporer Amerika, Tanjung
Harapan menjadi masyarakat pemukim yang didasarkan pada tenaga kerja budak yang
diimpor. Namun, tidak seperti kebanyakan dari mereka, dan sejalan dengan milik VOC

3
Gerald Groenewald, "Southern Africa and The Atlantic World" dalam The Atlantic World, ed.
D'Maris Coffman, dkk (London: Routledge,2014), Hlm. 101.

8
lainnya di Hindia Timur, Tanjung sampai tahun 1795 tetap menjadi milik perusahaan
dagang yang secara ketat mengendalikan semua aspek kehidupan, terutama ekonomi
di koloninya: sebagai salah satu negara jajahan yang tinggi. Pejabat tinggi VOC
mengingatkan burgher bebas di Tanjung pada tahun 1780-an ketika beberapa dari
mereka bergolak untuk kebebasan yang lebih besar: ' adalah kebenaran yang tidak
dapat disangkal oleh siapa pun bahwa seluruh pendirian [Tanjung Harapan] ini ada
hanya karena, dan demi perusahaan. Sebelumnya pada tahun 1680-an dan 1690-an,
burgher bebas dan budak mereka telah mendirikan pertanian gandum dan anggur yang
luas di daerah yang subur di Cape barat daya ( pedalaman langsung Cape Town ) , dan
dari awal 1700-an dan seterusnya, keturunan mereka secara bertahap pindah ke
pedalaman utara dan timur di mana mereka kebanyakan terlibat dalam pertanian
pastoral. “Pada akhir pemerintahan Belanda, sebagian besar bagian barat Afrika
Selatan modern yang bukan gurun pasir dihuni oleh para burgher bebas yang semuanya
terhubung secara hukum, ekonomi, budaya, dan mental dengan pusat koloni, Cape
Town. Seperti di tempat lain di dunia Atlantik, ekspansi orang Eropa ini memiliki efek
merusak pada penduduk asli: sudah pada dekade kedua abad kedelapan belas tidak ada
lagi Khoikhoi independen yang tersisa di distrik-distrik yang subur di barat daya koloni
setelah menyerah pada kombinasi penyakit dan perang. Sementara mereka yang
melarikan diri ke atau awalnya tinggal di pedalaman terus-menerus berkonflik dengan
para pemukim Eropa penggembala yang bersaing dengan mereka untuk mendapatkan
sumber daya.
Ketika masa pendudukan Belanda, banyak imigran yang berasal dari Eropa ikut
mengembara ke Afrika Selatan. Anggota kru Jan Van Riebeeck bernama Paulus
Petkouw merupakan orang Polandia. Beberapa bulan kemudian pangkatnya di militer
semakin melesat. Selain Petkouw, terdapat lagi seorang imigran Polandia yang
memiliki karir cemerlang di Afrika Selatan bernama Jan Liskij. Pada tahun 1656 ia
merupakan seorang kadet hingga pada tahun 1657 ia mendapatkan status pemukim
bebas (warga koloni). Hal ini membuktikan bahwa tak hanya orang Belanda saja yang
dapat merintis karir di Afrika Selatan.

2.2 Kebijakan Apartheid Kolonisasi Afrika Selatan Pada Masa Inggris

9
Pada tahun 1652, Belanda masuk ke Afrika Selatan dengan tujuan untuk
menguasai pertambangan dan melihat kesuburan alam di Afrika Selatan. Pada saat
itu pula Inggris juga berminat pada negara Afrika Selatan, terutama setelah
ditemukannya tambang emas dan berlian yang melimpah di Afrika Selatan. Hal
ini menyebabkan perang Inggris dan Belanda terjadi.4 Sehingga akhirnya sebagian
wilayah Cape dapat dikuasai oleh Inggris. Dengan bertambah besarnya kekuasaan
Inggris di Tanjung Harapan serta semakin banyaknya orang Inggris dan
Scotlandia berimigrasi ke Afrika Selatan pada tahun 1820-1830an, maka orang-
orang Boer semakin terdesak.5
Pada tahun 1930, Afrika Selatan menjadi jajahan Inggris seutuhnya
dengan itu pula Afrika Selatan mendapatkan kemerdekaannya. Afrika Selatan
sangat terkenal dengan politik Apartheid yang telah dibentuk oleh kaum kulit
putih sejak tahun 1948. Apartheid ialah sistem pemisahan ras antara kulit putih
dan kulit hitam dan disahkan melalui undang-undang dari Partai Nasional (NP)
yang berkuasa pada 1948-1994. Pada tahun 1961, setelah pemilu khusus kaum
kulit putih Afrika Selatan dideklarasikan sebagai sebuah negara republic.6
Kebijakan Apartheid Partai Nasionalis terus berlanjut dan semakin
intensif di bawah pengganti Malan, Perdana Menteri Hendrick F. Verwoerd.
Pemerintah memutuskan hubungan dengan Persemakmuran Inggris dan
menyatakan negara tersebut menjadi Republik Afrika Selatan.7 Sistem pemisahan
ras di Afrika Selatan ini disahkan oleh para kaum kulit putih saja tanpa melibatkan
atau campur tangan dari kaum kulit hitam. Sehingga, Afrika Selatan pada zaman
koloni Inggris berbentuk dominion. Hal tersebut membuat Afrika Selatan
membentuk sebuah persatuan yaitu South Africa Native National Congress,
kemudian berganti menjadi African National Congress (ANC). ANC kemudian
meminta kepada pemerintah agar kaum kulit hitam mendapatkan kesempatan dan
hak yang sama dengan kaum kulit putih, namun usulan tersebut ditolak oleh

4
Benjamin Poground, Mereka Yang Berjasa Bagi Dunia: Nelson Mandela: Pemimpin Afrika
Selatan Yang Dipenjara Selama Dua Puluh Tujuh Tahun Karena Berjuang Menentang Apartheid, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama,1993), hlm. 9-10.
5
Darsiti Soepratman, Sejarah Afrika Zaman Imprealisme Modern, (Yogyakarta: Penerbit Vita,
1965), hlm. 75.
6
Benjamin Poground, Op.Cit.
7
Agus Budiman, “Politik Apartheid di Afrika Selatan”, Dalam Jurnal Artefak Vol. 1 No. 1 Tahun
2013, hlm. 22-23.

10
pemerintah. ANC kemudian mengutus utusannya ke Inggris untuk meminta
bantuan perlindungan terhadap pemerintah kulit hitam yang semena-mena, namun
ditolak oleh pemerintah Inggris.8
Apartheid dalam konteks politik Afrika Selatan ini diterapkan dalam
sebuah sistem politik yang diskriminatif didasarkan atas perbedaan rasial.
Kelompok kulit hitam mayoritas di tempatkan dalam posisi sosial yang lebih
rendah dengan hak‐hak politik yang lebih minim pula. Ideologi ini tentu berimbas
pada posisi ekonomi dan pendidikan kaum kulit hitam mayoritas yang seolah‐oleh
menjadi warganegara “kelas dua” dibawah minoritas kulit putih yang menguasai
politik dan ekonomi. Penerapan politik apartheid diawali dengan politik
segregasionist yang diterapkan dalam kebijakan buruh terutama di bidang
pertambangan yang pada waktu itu menjadi salah satu industri besar di Afrika
Selatan.9
Undang-undang Apartheid dicabut pada tahun 1990 dan 1991, yaitu
Undang-undang Pemisahan Fasilitas, Undang-undang Tanah tahun 1913 dan
1936, Undang-undang Wilayah Kelompok, Undang-Undang Komunitas
Kelompok Berkulit Hitam tahun 1984 dan Undang-Undang Registrasi Populasi
tahun tahun 1950. Partai Nasional terbuka untuk semua ras dan ANC sepakat
untuk menghentikan seluruh aktivitas terorisme. Saat yang sama pemerintah
berjanji membebaskan lebih banyak lagi tahanan politik dan untuk memfasilitasi
repatriasi sekitar 40.000 mereka yang mengasingkan diri.10
• Sosial Politik
Pada tahun 1950 mengeluarkan Group Areas Act sebagai pilar ketiga dari
Apartheid yang sudah dibangun sebelumnya. Undang-undang ini menetapkan
bahwa setiap golongan penduduk kulit hitam diharuskan menempati
pemukiman diwilayah yang diperuntukkan secara khusus bagi setiap sukunya
masing-masing. Dalam pelaksanaannya ternyata hanya 40% penduduk Iulit
hitam yang menaati UU tersebut, sementara 60% lainnya masih tetap berada

8
Benjamin Poground, Op.Cit., hlm. 20.
9
Harold Wolpe, “Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa”, Dalam William Beinart
& Saul Dubow, Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa, (London: Routlegde, 1995), hlm.
60‐63.
10
Agus Budiman, Op.Cit., hlm. 23.

11
diwilayah perkotaan serta wilayah pertanian dan wilayah pertambangan yang
dikuasai oleh masyarakat kulit putih. UU diatas kemudian dikuti dengan
berbagai UU Rasial lainnya, seperti:
a) Undang-undnag registrasi penduduk (1950) yang memecah penduduk
berdasarkan ras yang dikuti dengan UU Tanda Pengenal (1953), yang
mewajibkan semua warga Negara memakai Tanda Pengenal sesuai dengan
rasnya masing-masing
b) Undang-Undang Larangan Kawin Campur antar ras dan Undang-undang
Ammoralias yang melarang hubungan sex antar ras (1949). The Separate
Amenities Act yang membedakan standar fasilitas umum antar ras
c) Undang-Undang Otorita bantu (1950), yang menghapus Dewan
Perwakilan Penduduk Asli dan mengantikannya dengan system Hierarkis
Kepala Suku yang diangkat oleh pemerintah
d) Undang-Undang pendidikan Bantu (1953), yang menempatkan
pengawasan pendidikan kulit hitam berada di Departemen Urusan
Penduduk Asli. Selain itu juga pemerintah mengambil alih sekolah-
sekolah kulit hitam yang selama ini dikelola oleh Gereja dan Misionaris.11
• Sosial Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Asia Selatan mengalami hambatan selama
sistem politik Apartheid berlangsung. Sistem politik Apartheid merupakan
sebuah kebijakan politik yang dibentuk oleh bangsa Eropa saat berada di
Afrika Selatan dan mendapat kecaman dari dunia internasional. Kedatangan
bangsa Eropa membuat ras kulit hitam yang merupakan penduduk Afrika
Selatan mulai tergusur dari tanah yang ditempatinya. Pada saat sistem politik
Apartheid berlangsung ras kulit putih memiliki kekuasaan atas 87% tanah dan
75% perekonomian di Afrika Selatan. Ras kulit hitam yang berjumlah 87%
harus tinggal dipinggiran kota, sedangkan ras kulit putih yang berjumlah 13%
menempati kota-kota besar yang berada di Afrika Selatan. Politik Apartheid
memberikan berbagai kebijakan, seperti memisahkan kegiatan ras kulit putih
dan ras kulit hitam dalam bidang politik, pendidikan, dan ekonomi.

11
Benjamin Paground, Op.Cit., hlm. 38-40.

12
Kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia Afrika Selatan
dieksploitasi secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Politik Apartheid sangat
merugikan masyarakat Afrika dan memberikan keuntungan bagi para
penjajah. Kewajiban dan hak yang dimiliki masyarakat Afrika menjadi tidak
seimbang sejak adanya sistem politik Apartheid. Kekayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Afrika sangat rendah jika dibandingkan dengan kekayaan para
penjajah, sehingga keadan ekonomi mereka hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan beberapa hari dan tidak dapat mencukupi kebutuhan
lainnya seperti dalam bidang kesehatan. Diskriminasi di Afrika Selatan
banyak ditemukan pada masa itu, seperti perdagangan manusia yang berasal
dari ras kulit hitam untuk dijadikan budak. 12 Kegiatan perdagangan manusia
menjadi pemasukan yang besar dan menguntungkan para penjajah.
Politik Apartheid menyebabkan sebagian besar masyarakat ras kulit
hitam berada dalam kemiskinan yang berlangsung lama. Kekayaan alam
Afrika Selatan telah dikuasai dan diatur oleh masyarakat ras kulit putih yang
menunjukkan bahwa mereka telah menguasai perekonomian Afrika Selatan.
Sebagai negara yang berkembang dengan pendapatan menengah, Afrika
Selatan memiliki tiga sektor yang mendukung perkembangan
perekonomiannya, yaitu:
1. Pertanian
Sektor Pertanian menjadi sumber ekonomi yang utama di Afrika Selatan,
sejak politik Apartheid berlangsung masyarakat Afrika Selatan bermata
pencaharian sebagai petani. Pada masa ini masyarakat ras kulit putih
menduduki tempat teratas dan masyarakat ras kulit hitam menduduki
tempat terbawah.13 Masyarakat ras kulit hitam menjadi petani dengan
lahan tanah yang tidak subur dan tanpa adanya irigasi, sedangkan para
petani yang berasal dari ras kulit hitam memiliki lahan tanah yang sangat
subur. Sektor pertanian Afrika Selatan memiliki tanaman utama seperti
gandum, wol, tembakau, anggur, tebu, jagung, dll. Meskipun telah
menjadi sumber ekonomi utama, sektor pertanian di Afrika Selatan tidak

12
Irma Sulistiowati, “Gejolak Politik dan Ekonomi Afrika Pasca Perang Dunia II” Dalam Istoria:
Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vol. 17 No. 1 Tahun 2021, hlm. 3.
13
Agus Budiman, Op.Cit., hlm. 19.

13
dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal tersebut
dikarenakan oleh lemahnya ketersediaan dalam pendanaan kegiatan
pertanian, kurangnya kemampuan dalam pertanian modern, dan
ketidakmampuan dalam mengoperasikan teknologi untuk
mengoptimalkan pupuk dan mengembangkan bibit unggul dalam kegiatan
pertanian.
2. Pertambangan
Sumber daya alam yang melimpah menjadi penopang perekonomian di
Afrika Selatan. Sejak ditemukannya batu permata pada tahun 1867 di
Orange River dan emas yang berada di Witwatersrand tahun 1884, Afrika
Selatan yang pada awalnya bergerak dalam sektor pertanian mulai beralih
menjadi industri pertambangan. Pertambangan Afrika Selatan banyak
menghasilkan emas, berlian, platinum, biji timah, biji besi, nikel, fosfat,
dan bahan tambang lainnya. Daerah-daerah pertambangan di Afrika
Selatan banyak dieksploitasi saat sistem politik Apartheid berlangsung.
Industri pertambangan yang semakin berkembang ini menarik investasi
asing, manufaktur, imigran, dan transportasi yang digunakan untuk
mencapai wilayah pedalaman.
3. Manufaktur
Selain sektor pertanian dan industri pertambangan, sektor manufaktur juga
menjadi penopang perekonomian Afrika Selatan. Sektor manufaktur di
Afrika Selatan mulai mengalami perkembangan setelah tahun 1970-an.
Dengan perkembangan yang semakin meningkat, sektor manufaktur mulai
menghasilkan kendaraan bermotor, besi atau baja, tekstil, kayu, dan
barang olahan dari tekstil maupun kayu.
Selain tiga sektor utama penopang perekonomian tersebut, Afrika
Selatan juga mendapatkan dukungan dari perusahanan multinasional dengan
adanya penanaman modal asing. Dalam perhitungan “South Africa Reserve
Bank” mengungkapkan bahwa terdapat $8,5 milyar modal asing yang masuk
di Afrika Selatan, dengan hampir 50% modal asing tersebut berasal dari
perusahaan-perusahaan Inggris. Selain perusahaan Inggris juga terdapat
perushaan asal Amerika Serikat dan Jerman yang ikut melakukan penanaman

14
modal dalam jumlah hampir mencapai $3 milyar. Penanaman modal asing
digunakan oleh Afrika Selatan dalam menggerakkan roda perekonomiannya
dan melalukan perbaikan pada infrastruktur yang berada di negaranya.

2.3 Respons dan Hubungan Masyarakat Lokal Terhadap Kolonialisme Eropa


Pada Abad Ke-19
Relasi antara masyarakat lokal dengan penduduk kolonial Eropa di Afrika Utara
dikarakteristikkan dengan dua hal: Pertama adalah pembentukan Zuid-Afrikaansche
Republiek/ZAR (Republik Afrika Selatan) atau Republik Transvaal oleh Bangsa Boer
pada 1852. Karena posisi mereka yang berada jauh lebih dalam di kawasan Afrika Utara,
merekalah yang membentuk persepsi dan hubungan antara penduduk lokal dengan
penduduk kolonial Eropa. Kedua adalah munculnya beberapa kekuatan bumiputera
Afrika Selatan: kwaZulu (Kerajaan Zulu), abakwaDlamini (Kerajaan Swazi),
emaXhoseni (Negara Xhosa), dan Kerajaan Maroteng pada abad ke-18. Entitas-entitas
politik inilah yang manjadi aktor utama dalam interaksi antara penduduk lokal dan
penduduk kolonial Eropa.
• Maroteng
Kerajaan Maroteng merupakan negara Bangsa Bopedi, yang disatukan
oleh Dinasti Maroteng pada abad ke-18. Mereka awalnya merupakan salah satu
kerajaan terkuat di Afrika Selatan, tetapi mereka dilumpuhkan oleh serangan
Kerajaan Zulu dan Kerajaan Swazi pada perang Mfecane. Pada 1845, sekelompok
Boer menuju daerah sungai Tubatse di dekat wilayah Kerajaan Maroteng. Raja
Sekwati memperbolehkan mereka untuk menetap di Tubatse, dengan syarat
mereka mau menjadi bawahan Kerajaan Maroteng. Akan tetapi, lama-kelamaan
penduduk Boer menolak untuk membayar upeti kepada Maroteng dan beraliansi
dengan Kerajaan Swazi yang bermusuhan dengan Maroteng.14 Hubungan
Maroteng dengan Inggris cukup dekat, dan Maroteng menjadi salah satu
pengimpor senjata api Inggris dari Natal dan Cape.

Hubungan Maroteng dengan ZAR menjadi lebih dingin dengan aliansi


Swazi- Boer, masuknya misionaris Boer ke wilayah Maroteng, dan masuknya

14
John Laband, Zulu Warriors: The Battle for the South African Frontier (London: Yale
University Press, 2014), Hlm. 52-53.

15
pengungsi Afrika dari wilayah ZAR yang membenci kebijakan pajak dan
kerja ZAR yang opresif. Pada 1876, Kerajaan Maroteng mengusir pemukim Boer
di Sungai Tubatse, yang menyebabkan pecahnya perang antara ZAR dengan
Maroteng. 2,000 pasukan Boer dan 2,400 pasukan Swazi menyerang Kerajaan
Maroteng dibawah Raja Sekhuhune. Awalnya, menggunakan senjata api dan
pertahanan mereka, pasukan Maroteng berhasil menghalau pasukan Boer dan
Swazi, akan tetapi serangan Boer atas tanaman dan hewan ternak Maroteng
mendorong Maroteng untuk bernegosiasi. Maroteng menyerahkan sebagian lahan
mereka ke ZAR, dan dengan kekuatan mereka yang melemah, menjadi bawahan
Inggris.15 Maroteng sendiri akan memberontak melawan otoritas Inggris pada
1876 dan 1879, akan tetapi keduanya berakhir dengan kegagalan

• Swazi

abakwaDlamini atau Kerajaan Swazi merupakan kerajaan Bangsa Swazi,


yang masih satu rumpun dengan Bangsa Zulu. Walaupun mereka berasal dari satu
rumpun dan memiliki budaya militer yang mirip dengan Bangsa Zulu, mereka
menganggap mereka berbeda dari Bangsa Zulu dan bahkan menganggap Kerajaan
Zulu sebagai musuh utama mereka. Pada tahun 1850an, Kerajaan Swazi
merupakan salah satu kekuatan regional di Afrika Selatan bersama dengan
Maroteng dan Zulu.

Dibandingkan dengan Maroteng, Kerajaan Swazi sering berinteraksi dan


bahkan beraliansi dengan ZAR. Walaupun begitu, pemerintah Swazi tidak begitu
memercayai orang Eropa. Salah satu tradisi lisan Swazi menceritakan bagaimana
Raja Sobhuza I memeringatkan rakyat mereka untuk tidak memercayai orang kulit
putih, “bangsa berkulit labu” yang menggunakan “tongkat api” untuk membunuh
dan menjarah bangsa lain.16 Oleh karena itu, aliansi antara AZR dan Kerajaan
Swazi bersifat strategis, untuk melindungi Kerajaan Swazi dari serangan Zulu dan
Maroteng.

15
Ibid, 65-70.
16
Mazisi Kunene, Emperor Shaka the Great - A Zulu Epic (Scottsville: University of KwaZulu-
Natal Press, 2017), Hlm. 206.

16
Akan tetapi, lama-kelamaan Kerajaan Swazi semakin jatuh ke dalam orbit
AZR. Perang Swazi-Maroteng tahun 1869 berujung kekalahan, yang
melumpuhkan Kerajaan Swazi dan membuat mereka semakin tergantung pada
AZR. Pada tahun 1875, pemerintah AZR bahkan berhasil memaksa Raja
Mbandzeni untuk menyerahkan Kerajaan Swazi sebagai bawahan AZR. Dengan
jatuhnya Transvaal ke tangan Inggris pada tahun 1877, Kerajaan Swazi kemudian
jatuh menjadi bawahan Inggris.17

• Zulu

Beberapa waktu di bulan September atau Oktober 1872, Raja Mpande tua
meninggal. Dia telah tumbuh sangat gemuk di tahun-tahun terakhirnya –
sedemikian rupa sehingga pelayannya mendorongnya dengan kereta kecil yang
digambar tangan – tetapi meskipun cacat fisik, pikirannya tetap setajam biasanya
dan dia berhasil mempertahankan beberapa kemiripan otoritas sampai dia
akhirnya menyerah pada usia tua, satu-satunya Putra Senzangakhona yang luar
biasa dan menggelora untuk melakukannya.

Dekade terakhir dari kehidupan mendiang raja telah ditandai dengan


perebutan kekuasaan yang halus dengannya putra Cethwayo. Sejak kemenangan
Cetshwayo atas saingannya Mbuyazi pada tahun 1856, tidak ada penantang yang
serius untuk suksesi telah berani menyatakan dirinya di dalam Zululand, tetapi
sejumlah saudara laki-lakinya yang tersisa telah mengambil keuntungan dari
kebingungan untuk menempatkan diri mereka dengan aman di luar jangkauan
Cetshwayo di seberang berbatasan. Mpande mempertahankan komunikasi rahasia
dengan mereka, dan menggunakan mereka untuk mempertahankan sisa-sisa
terakhir dari kendalinya atas Cetshwayo, mengubah ambisi putranya dengan
mengisyaratkan bahwa dia mungkin belum memberikan dukungan resminya pada
yang pertama, lalu yang lain. Itu adalah situasi yang semakin terkorosi otoritas
pusat negara sebagai raja dan calon ahli warisnya bermanuver untuk mendapatkan
dukungan di antara baron regional yang kuat di negara itu, membeli kesetiaan
dengan harga pemberian meningkat otonomi daerah. Ini melebih-lebihkan
kecenderungan nasional terhadap gesekan antar generasi, juga, sebagai Mpande

17
John Laband, Op.cit, Hlm. 60.

17
mengimbau konservatisme bawaan amakhosi tua yang telah menikmati kekuasaan
mereka dan hak istimewa sejak hari Shaka sementara Cetshwayo bekerja untuk
membangun basis kekuatannya di antara anak muda dan pria lapar seusianya.

Pada tahun 1856, tak lama setelah pertempuran di Thukela, Pangeran


Mkhungo dan Sikhotha menyelinap perbatasan ke Natal. Cetshwayo dengan
marah mendesak mereka untuk kembali, tetapi Shepstone telah— mengakui nilai
mereka sebagai sandera bagi nasib masa depan Zululand, dan telah menolak.
Mkhungo adalah hanya anak laki-laki pada saat itu, dan Shepstone telah melihat
kesempatan untuk menanamkan dalam dirinya penghargaan terhadap ideologi
kekaisaran Inggris. Dia menyerahkan dia ke dalam perawatan kepala Gereja
Anglikan di Natal, Uskup John Colenso.

Colenso sendiri belum lama berada di Afrika bagian selatan, tetapi dia
sudah mengembangkan mencari minat dalam urusannya, termasuk urusan
kerajaan Zulu yang bertetangga. Seorang Cornishman, lahir di St Austell pada
tahun 1814, kehidupan awal Colenso ditandai dengan kerja keras dan kegigihan
tekad untuk mengatasi kemalangan. Aset keluarga telah hancur ketika laut
membanjiri kaleng tambang di mana ayahnya telah berinvestasi besar-besaran,
dan Colenso harus membayar dengan caranya sendiri melalui Cambridge
University dengan bekerja sebagai guru privat. Setelah lulus ia telah mengambil
mengajar, dan telah menulis buku teks matematika yang sukses sebelum
mengubahnya dengan rajin dan keras pikiran bertanya kepada teologi. Pada tahun
1846 ia telah memasuki Gereja Anglikan, dan tampaknya ditakdirkan untuk a karir
yang tenang sebagai pendeta desa di desa Norfolk sampai kesempatan bertemu
dengan Robert Gray, the Uskup Cape Town, menyebabkan undangan untuk
menjadi Uskup Natal pertama. Colenso telah tiba di koloni pada tahun 1853,
membuntuti istrinya Frances dan keluarga muda mereka di belakangnya, dan telah
mendirikan a rumah di Bishopstowe, di luar Pietermaritzburg.

Untuk sebagian besar, sementara misionaris tampaknya telah menerima


niat baik Mpande pada nilai nominal, mereka sangat menyadari posisi mereka di
ujung tajam konflik antara Afrika dan Eropa sistem nilai. Terpisah di antara
perbukitan, pulau-pulau kecil kepercayaan Eropa pada tradisi lanskap, mereka

18
akan memenangkan beberapa mualaf. Orang-orang Zulu terbukti terlalu terikat
pada kepercayaan mereka, pada tautan yang mengikat mereka dengan leluhur
mereka, dan terlalu skeptis terhadap perubahan budaya yang menyertainya
konversi – mengesampingkan pernikahan poligami, mengenakan pakaian Eropa,
adopsi prinsip-prinsip ekonomi kapitalis - untuk rela memeluk agama Kristen.
Frustrasi, banyak misionaris membiarkan diri mereka terlibat dalam politik,
menerima keramahan mereka. Zulu menjadi tuan rumah sementara pada saat yang
sama mendesak sponsor mereka di Natal untuk campur tangan untuk mengurangi
kekuatan dan pengaruh raja-raja Zulu, untuk melemahkan rasa bangga dan
kemandirian Zulu dan membuat mereka lebih menerima ajaran asing tentang
keselamatan.

• Xhosa

Xhosa Etnis ini banyak ditemui di selatan benua afrika. Nama “Xhosa”
diambil dari nama raja legendaris bernama uXhosa. Etnis Orang Xhosa menyebut
dirinya sebagai AmaXhosa, dan bahasanya disebut IsiXhosa. Bahasa Xhosa
berhubungan dekat dengan Bahasa Zulu. Pada Tahun 1600an orang eropa
mebentuk pemukiman di wilayah Afrika Selatan adalah orang Belanda. Mereka
membangun pemukiman dekat sungai Fish River di Afrika Selatan. Sementara
orang Xhosa sudah mendiami wilayah timur sungai itu. bangsa eropa mulai
mendesak kaum Xhosa sehingga menjadikan konflik seperti menguasai pertanian
dan peternakan yang itu adalah sumber kehidupan suku Xhosa. Pertikaian ini
menyulut adu senjata pada tahun 1700an di sekitar Somerset East. Di tahun
berikutnya, konflik semakin memanas dengan perluasan bangsa eropa di Afrika
selatan. 20 tahun lebih perang dan konflik ini hingga Xhosa melakukan perang
terbuka dengan bangsa Eropa. Pada tahun 1811-1812, suku Xhosa semakin
terdesak semakin timur oleh pasukan kolonial inggris dalam perang Third Frontier
War. Ditahun berikutnya Xhosa juga terlibat konflik antar suku Afrika dan
terdesak dalam ekspansi suku Zulu. kehidupan Suku Xhosa pun semakin terjepit
karena terdesak oleh suku Zulu dan bangsa Eropa.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu bahwa Afrika
Selatan sendiri sebenarnya belum banyak diketahui oleh publik keberadaannya sebelum
didatangi oleh bangsa Eropa. Pelaut Eropa sendiri yang dipercaya sebagai orang Eropa
pertama yang menemukan dataran Afrika Selatan adalah Bartholomeus Diaz. Pelaut
kebangsaan Portugis ini singgah dan membuka Tanjung Harapan (Cape of Hope) pada
tahun 1488. Keinginan bangsa Barat untuk menguasai Afrika didasarkan pada tiga motif,
yaitu motif politik, motif budaya, dan motif ekonomi. Penguasaan Afrika ini juga bisa
ditarik kepada semangat 3G (Gold, Glory, Gospel) yang menjadi modal awal bangsa
eropa untuk menjelajah dunia, ditambah lagi dengan ditemukannya Tanjung Harapan
oleh Bartholomeus Diaz pada 1488 yang menjadi penyemangat bangsa Eropa lain untuk
menjelajahi dunia semakin ke timur.

Setelah Portugis datang, bangsa Belanda juga datang ke Tanjung Harapan. Pada
tahun 1652, Belanda masuk ke Afrika Selatan dengan tujuan untuk menguasai
pertambangan dan melihat kesuburan alam di Afrika Selatan. Pada saat itu pula Inggris
juga berminat pada negara Afrika Selatan, terutama setelah ditemukannya tambang emas
dan berlian yang melimpah di Afrika Selatan. Hal ini menyebabkan perang Inggris dan
Belanda terjadi. Sehingga akhirnya sebagian wilayah Cape dapat dikuasai oleh Inggris.
Pada tahun 1930, Afrika Selatan menjadi jajahan Inggris seutuhnya dengan itu
pula Afrika Selatan mendapatkan kemerdekaannya. Afrika Selatan sangat terkenal
dengan politik Apartheid yang telah dibentuk oleh kaum kulit putih sejak tahun 1948.
Apartheid ialah sistem pemisahan ras antara kulit putih dan kulit hitam dan disahkan
melalui undang-undang dari Partai Nasional (NP) yang berkuasa pada 1948-1994.

20
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, A. (2013). Politik Apartheid di Afrika Selatan. Artefak, 1(1), 17-23.


Coffman, D., Leonard, A., & O'Reilly, W. (Eds.). (2014). The Atlantic World. London:
Routledge.
Kunene, M. (2017). Emperor Shaka the Great - A Zulu Epic . University of KwaZulu-Natal
Press.
Laband, J. (2014). Zulu Warriors: The Battle for the South African Frontier. London: Yale
University Press.
Poground, B. (1993). Mereka Yang Berjasa Bagi Dunia: Nelson Mandela: Pemimpin
Afrika Selatan Yang Dipenjara Selama Dua Puluh Tujuh Tahun Karena Berjuang
Menentang Apartheid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soepratman, D. (1965). Sejarah Afrika Zaman Imperealisme Modern. Yogyakarta:
Penerbit Vita.
Sulistiowati, I. (2021). Gejolak Politik dan Ekonomi Afrika Pasca Perang Dunia II. Istoria:
Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 17(1), 1-6.
Suryokusumo, S. (1990). Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wolpe, H. (1995). Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa. London:
Routledge.

21

Anda mungkin juga menyukai