Anda di halaman 1dari 14

KRIMINALITAS DI KOTA SURAKARTA DALAM KONTEKS HISTORIS:

STUDI KASUS TINDAKAN PERKECUAN AWAL ABAD KE-20

DISUSUN OLEH
PRILIANO NANDA GEMILANG 121911433009
ARDHILLA MAGHFIRDHA 121911433023
SHAFA SALSABILA 121911433027
DEVI AYU PERTIWI 121911433035

MATA KULIAH SEJARAH PERKOTAAN KELAS B


DOSEN PENGAMPU DR. SARKAWI, S.S., M.HUM.

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan izin-Nya, kami
dapat menyelesaikan makalah yang membahas tentang “KRIMINALITAS DI KOTA
SURAKARTA PADA AWAL ABAD KE-20”.
Terimakasih kepada Bapak Dr. Sarkawi, S.S., M.Hum. selaku dosen pengampu
mata kuliah Sejarah Perkotaan kelas B yang telah memberikan tugas dan membimbing
kami dalam menyusun materi pada makalah ini.
Tidak lepas dari kekurangan, kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Saran dan kritik yang membangun diharapkan demi karya yang lebih
baik dimasa mendatang. Besar harapan kami, semoga makalah ini membawa manfaat
khususnya bagi kami.

Surabaya, 31 Maret 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penulisan 2

BAB 2 PEMBAHASAN 3
2.1. Kondisi Kota Surakarta Pada Abad Ke-20 3
2.2. Kriminalitas di Surakarta Abad Ke-20...............................................................
5

BAB 3 PENUTUP 8
3.1. Kesimpulan 8

Daftar Pustaka 9

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Kartini Kartoyono dalam Tipologi Sosial, kriminalitas adalah kegiatan-
kegiatan yang ditentang oleh masyarakat atau pemerintah karena dianggap telah
melanggar hukum, norma sosial, dan aturan agama yang ada, serta merugikan orang
lain, baik dalam segi psikilogi maupun ekonomi. 1 Kriminalitas bukanlah masalah
baru di dalam urusan perkotaan, bahkan mungkin umur dari kriminalitas sendiri
hampir setara dengan umur peradaban manusia yang telah mengenal hukum dan
peraturan. Di Nusantara, jauh sebelum Majapahit mempersatukan wilayah-wilayah
Asia Tenggara di bawah perlindungannya, masyarakat sudah mengenal apa itu
hukum, peraturan, dan pelanggaran.
Ketika orang-orang Barat mendarat di wilayah Nusantara, mereka menambah
peraturan yang telah diterapkan oleh penduduk lokal sebelumnya untuk
menyesuaikan kekuasaan mereka. Peraturan-peraturan ini, yang tidak semuanya
menguntungkan semua pihak (lokal, kolonial, maupun pendatang), pada
penerapannya memercikkan amarah masyarakat yang merasa dirugikan. Amarah
dan dendam ini mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang kelak diputuskan
oleh pihak pemerintah sebagai pelanggaran yang membuat mereka ditetapkan
sebagai kriminal.
Termasuk dari bagian koloni Kerajaan Belanda, Surakarta pun tidak luput dari
kriminalitas yang sempat marak pada awal abad ke-20, apalagi sejak ditetapkannya
Undang-Undang Agraria 1870, yang memperluas wilayah perkebunan hingga ke
desa-desa. Kebijakan ini tentunya menimbulkan penolakan dari kaum petani yang
merasa dirugikan, di mana penolakan disampaikan dengan cara-cara yang berbeda.
Bukan hanya Undang-Undang Agraria 1980, kebijakan-kebijakan lain dari Belanda
yang merendahkan penduduk lokal Nusantara, menimbulkan sentimen rasial, salah
satu faktor yang menimbulkan kriminalitas di Surakarta pada awal abad ke-20.
Mengapa para kriminal bergerak? Siapa saja yang menentang dan mendukung
mereka? Dalam makalah ini, Penulis akan membahas mengenai kriminalitas yang
terjadi di Surakarta pada awal abad ke-20, di mana terjadi banyak kriminalitas

1
Kartono. 1999. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 122
seperti perbanditan atau yang tidak jarang disebut sebagai perkecuan, yang
membuat Surakarta menjadi salah satu kota dengan angka kriminalitas tertinggi di
Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

1.1 Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang, maka rumusan masalah yang diambil oleh
Penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi Surakarta pada awal abad ke-20?
2. Apa saja bentuk dan penyebab dari kriminalitas di Surakarta pada awal abad ke-
20?
3. Apa saja yang melatarbelakangi hadirnya tindakan perkecuan di Surakarta awal
abad ke-20?

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang kriminalitas di Surakarta pada awal abad ke-20
2. Untuk membantu pembaca meluaskan wawasan tentang kriminalitas di
Surakarta pada awal abad ke-20
3. Untuk mengetahui aspek apa saja yang melatarbelakangi hadirnya tindakan
perkecuan di Surakarta pada awal abad ke-20

2
BAB 2
PEMBAHASAN

.1. Kondisi Kota Surakarta Pada Abad Ke-20


Kota Surakarta atau yang juga disebut Vorstenlanden merupakan kota
tradisional dibawah wilayah teritorial Pemerintah Hindia Belanda yang diorganisir
oleh pejabat kolonial yang disebut Residen, sehingga juga disebut sebagai kota
Keresidenan. Ditandai dengan adanya pembagian spasial berdasarkan status sosial
serta dekatnya kedudukan pemukiman dengan kraton. Pada awal abad ke-20
struktur masyarakat kota Surakarta tidak terlepas dari struktur masyarakat kolonial
pada umumnya. Masyarakat Surakarta secara umum terbagi menjadi tiga golongan,
yaitu orang Jawa yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan, orang Eropa yang
sebagian besar merupakan orang-orang Belanda, serta orang Cina dan Arab yang
menempati wilayah kota-kota.2
Sejak awal abad ke-20, tepatnya tahun 1902 Pakubuwono X sudah melakukan
pembaharuan-pembaharuan terhadap kota Surakarta, salah satu yang menjadi
pemulai dari hadirnya pembaharuan tersebut yaitu dibangunnya instalasi listrik
dengan tenaga diesel yang dapat menghidupkan kota Surakarta pada malam hari.
Pembangunan tersebut didasari atas berdirinya perusahaan Solosche Electricity
Maatscappij (SEM).3 Setelah pembaharuan mengenai listrik tersebut dilakukan,
disusul dengan perkembangan layanan kepentingan umum di Surakarta seperti
diadakannya hotel, taman hiburan, benteng, notaris, pelayanan pos, dan masih
banyak lagi. Periode ini menjadikan Surakarta menjadi kota yang sibuk karena telah
menjadi pusat perdagangan serta aktivitas sosial dan religius pada masa itu.
Pada kurun waktu yang sama, jumlah komunitas berkulit putih di
Surakarta mengalami peningkatan, terutama yaitu wanita Belanda. Hal tersebut
2
Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surkarta 1830-1920, (Yogyakarta:
Tiara Wacana), hlm.24.
3
Sariyatun, 2005, Usaha Baik Masyarakat Cina di Vorstenlanden Surakarta awal abad 20, (Yogyakarta:
UNS Press), hlm.39

3
dikarenakan Surakarta termasuk dalam salah satu dari enam kota besar yang ada di
Jawa.4 Pada masa ini juga Surakarta mengalami Eropanisasi yang utamanya terlihat
jelas pada bidang hukum dan pendidikan. Dalam bidang hukum yaitu dengan
bergantinya pengadilan tradisional menjadi pengadilan gubernemen atau Landraad,
adanya peraturan mengenai pembangunan rumah di dalam kota, peraturan
mengenai kepala desa, serta peraturan kepolisian5. Kemudian dalam bidang
pendidikan yaitu dengan diterapkannya penggunaan bahasa Belanda dan Melayu
sebagai bahasa baku dalam sekolah-sekolah, penetapan aturan baru mengenai
penulisan bahasa-bahasa anak negeri di Hindia Belanda menggunakan huruf
Belanda, serta pembakuan bahasa Melayu.6
Dalam hal kegiatan ekonomi dan pembangunan, sejak awal abad ke-20
pemerintah menerapkan prinsip kerja bebas yang didukung oleh para pengusaha
swasta hingga pada masa depresi ekonomi. Ekonomi keuangan pada masa ini
sangatlah pesat hingga merasuk dalam kehidupan masyarakat Surakarta.
Perdagangan di Surakarta pada masa ini dikuasi oleh orang-orang Cina dan Arab,
terutama dalam penjualan kain batik. Untuk orang-orang Cina, tidak hanya
berdagang batik melainkan mereka juga mulai mencari sumber uang yang lain yaitu
pada perkebunan tebu dan industri lokal seperti rokok kretek.7
Dalam menunjang kegiatan ekonomi utamanya dalam hal perdagangan,
pemerintah Kolonial Belanda melakukan perbaikan dan perluasan pada jalan-jalan
di pusat kota pada daerah residensi Eropa. Sedangkan untuk kelancaran arus
ekonomi yang berasal dari timur, pada tahun 1915 Pakubuwono X membangun
jembatan yang menghubungkan Surakarta dengan Sukoharjo, juga di daerah
Bacem. Selain itu, pembangunan dalam hal transportasi juga dilakukan, yaitu
pembangunan trem sebagai angkutan umum pada saat itu. Pembangunan ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kota menuju modernisasi.
Pembangunan trem tersebut juga menimbulkan sebuah polemik, yaitu
timbulnya unsur diskriminasi etnis dan sosial dikarenakan fasilitas tersebut tidak
4
Henk Schulte Nordholt, 2005, Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, (Yogyakarta:
LKiS), Hlm.227.
5
Susanto, 2017, “Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas”, dalam
Jurnal Sejarah Cita, Vol.2(1), hlm.8.
6
Ibid, hlm.10
7
Takahshi Shirasi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti),
hlm.48.

4
bisa dirasakan oleh seluruh penduduk. Hanya orang-orang Eropa saja yang mampu
menggunakan fasilitas tersebut dikarenakan tarifnya yang terlalu mahal bagi
penduduk pribumi. Memang ada beberapa kaum pribumi yang dapat menggunakan
fasilitas tersebut, namun mereka mendapatkan pelayanan yang berbeda, seperti
lebih minimnya gerbong yang di sediakan untuk kaum pribumi sehingga
penggunaannya melebihi kapasitas.
Selain itu, pada masa ini juga terjadi konflik antara etnis Cina dengan
pribumi. Hal tersebut tidak lain karena selama ratusan tahun Kolonial Belanda
menjadikan etnis Cina sebagai tonggak utama dalam penghasil uang, sehingga etnis
Cina diberikan hak-hak istimewa dalam berbagai kebijakan ekonomi. Hal tersebut
menimbulkan banyaknya kebencian dan sentimen rasial dari sebagian rakyat
Indonesia.8 Tindakan kebencian kaum pribumi tersebut dapat dilihat dari maraknya
kasus perkecuan sejak awal abad ke-20.

2.2. Kriminalitas di Surakarta Abad Ke-20


Kota Surakarta tumbuh menjadi ibukota kerajaan Jawa. Campur tangan
dari pemerintah Kolonial bukan hanya dalam urusan perdagangan, namun sudah
masuk hingga wilayah politik kerajaan. Tetapi struktur sosial yang berada di
Surakarta masih tetap menggambarkan susunan dari masyarakat Jawa dengan
segala tata kehidupannya.  Kedatangan etnis asing yang memegang kendali terbesar
dalam bidang ekonomi perdagangan kota mendapat dukungan dari para penjajah
dan membuat klasifikasi dalam masyarakat Surakarta mengalami pergeseran. 
Struktur tertinggi dalam masyarakat yang sebelumnya ditempati oleh raja maupun
bangsawan kini digantikan oleh posisi pemerintah Kolonial.9
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam kebudayaan, selain itu
juga terdapat agama maupun kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Hal
tersebut menjadi faktor terbentuknya masyarakat majemuk. Dengan bermodalkan
gotong royong, toleransi, dan saling tolong menolong menjadikan masyarakat
Indonesia mampu untuk melawan segala perbedaan yang ada. Namun masih juga

8
Benny G. Setiono, 2008, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia), hlm.293.
9
Suci Nur Aini Zaida dan Nurhayati Arifin, 2010, “Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat
Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa”, dalam Jurnal Lanskap Indonesia,
Vol.2(2), hlm 85.

5
terdapat beberapa masyarakat majemuk yang tidak dapat menerima perbedaan
seperti perbedaan pola pikir, sudut pandang, dan perilaku. Ketidakterimaan atas
perbedaan tersebut pada akhirnya menimbulkan sebuah konflik seperti konflik ras,
suku, agama dan tidak jarang dapat berakhir dengan tindakan kekerasan. 
Tindakan kriminal di Surakarta, terutama pada masa Hindia Belanda dapat
dikatakan sebagai teman oleh penduduknya. Hal tersebut dikarenakan korban dari
berbagai tindakan kriminal yang terjadi tersebut merupakan pihak-pihak yang
merupakan musuh dari penduduk. Para pelaku kriminal ini dilindungi oleh para
penduduk ketika terjadi pengejaran oleh polisi, begitu pun sebaliknya, penjahat
akan memberikan hasil dari tidakannya kepada penduduk yang turut serta
melancarkan aksinya. Bahkan para kepala penjahat (benggol) yang merupakan
kepala desa pun turut menikmati hasilnya10.
Di Surakarta, kriminalitas dapat dikategorikan menjadi dua bentuk. Yang
pertama yaitu kriminalitas yang dilandasi oleh faktor ekonomi dan bentuknya
berupa penggedoran atau perampokan. Kemudian yang kedua yaitu kriminalitas
yang didasari oleh permasalahan politik yang bentuknya berupa penculikan dan
pembunuhan. Kerbagai bentuk kriminalitas yang pernah marak di Surakarta yaitu
perbanditan, perkecuan dan begal.
Kriminalitas di Surakarta juga sudah ada sejak abad ke 19, dimana pada masa
itu tindakan kriminal yang sangat marak yaitu perbanditan yang disebabkan oleh
pergantian sistem hukum kerajaan menjadi sistem hukum kolonial. Kemudian pada
abad ke-20, perbanditan sudah tidak begitu marak, namun digantikan dengan
banyaknya kasus perkecuan yang disebabkan oleh faktor ekonomi dan kesenjangan
sosial. Pada masa ini, tindak kejahatan begal juga cukup banyak terjadi. Begal
merupakan kejahatan yang tindakannya hampir sama dengan perkecuan yaitu
dikarenakan permasalahan ekonimi, namun mereka tidak terorganisir.

2.3 Tindakan Perkecuan di Surakarta Awal Abad ke-20


Permasalahan antara etnis Cina dengan pribumi telah ada sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada saat pemerintah Kolonial menjalin

10
Suhartono Wiryo Pranoto, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), hlm.155

6
hubungan kerjasama dengan etnis Cina yang datang di Indonesia. Hal tersebut
menjadi faktor terbentuknya sentimen rasial, yaitu konflik yang terjadi antara para
etnis Cina dan para pribumi. Rasisme menjadi induk dari sentimen rasial yang
memiliki pandangan akan tingginya suatu kelompok ras daripada kelompok ras
lainnya dalam hak dan martabat yang menyebabkan munculnya gerakan penjajahan
oleh suatu ras.11 Dari sentimen rasial yang muncul diantara etnis Cina dan pribumi
menimbulkan suatu fenomena sosial yaitu aksi perkecuan.
Pemerintah Kolonial yang telah mengeluarkan kebijakan serta melakukan
monopoli perdagangan menggunakan etnis Cina sebuah alat penghasil uang bagi
mereka. Pemerintah Kolonial juga memberikan hak-hak istimewa berupa
pemberian kebijakan ekonomi dalam perdagangan dan menimbulkan ketimpangan
sosial bagi kaum pribumi, tentu saja hal tersebut mengundang rasa kebencian dari
kaum pribumi. Aksi perkecuan yang semakin meningkat pada awal abad ke-20
diasumsikan sebagai bentuk protes dari kaum pribumi. Perkecuan sendiri sudah ada
bahkan sejak abad ke-18. Kasus perkecuan merupakan salah satu bagian yang
ditimbulkan dari konflik etnis Cina dengan pribumi sejak etnis Cina datang ke
Indonesia.
Kecu merupakan sekelompok orang bersenjata yang melakukan kejahatan di
malam hari dengan meminta secara paksa harta dari para korbannya. Kekerasan
maupun pembunuhan tidak jarang dilakukan dalam setiap aksinya. Kecu dipimpin
oleh seseorang yang disebut benggol dan dalam organisasi Kecu terdapat beberapa
struktur jabatan mulai dari benggol, mata-mata, bendahara, hingga tenaga
pengangkut dalam jumlah yang banyak untuk mengangkut hasil rampokan. Begal
dan kecu ini selalu menggunakan senjata dalam melakukan aksinya, mereka bahkan
tidak segan-segan untuk melukai korbannya. Target dari kejahatan kecu ini
merupakan para golongan ataupun pihak-pihak luar yang dianggap telah merugikan
rakyat.
Begitu juga dengan peningkatan kasus perkecuan di Surakarta pada awal abad
ke-20. Perkecuan yang terjadi di Surakarta dilatarbelakangi oleh tingginya
kesenjangan sosial dan kebijakan pemerintah Kolonial berupa hak-hak istimewa

11
Tissa Balasuriya, 2004, Teologi Siarah, (Jakarta: Gunung Mulia).

7
kepada etnis Cina yang tentunya dapat merugikan kaum pribumi.12 Karena peluang
untuk mengadukan nasibnya sangat sedikit dan sebagai bentuk dari rasa
kekecewaan maka kaum pribumi memilih melakukan aksi perkecuan sebagai jalan
pintas untuk merebut haknya yang telah diambil oleh pemerintah Kolonial. Namun
pemerintah Kolonial menganggap gerakan perkecuan yang dilakukan oleh kaum
pribumi ini sebagai suatu tindakan kriminalitas, tanpa melihat penyebab munculnya
gerakan tersebut secara mandalam. Mereka juga menganggap bahwa kecu
merupakan perkumpulan rahasia yang memiliki reputasi buruk dan merupakan
musuh dari pemerintah
Kelonjakan kasus perkecuan di Surakarta terjadi pada tahun 1919 yaitu
mencapai sebanyak 85 kasus. Namun pada tahun 1924, tindakan perkecuan ini
mengalami penurunan hingga tersisa hanya sebanyak 24 kasus. Penurunan kasus
perkecuan ini salah satunya yaitu karena hadirnya organisasi Sarekat Islam yang
dapat meredam proses perkecuan karena anggota mereka banyak direkrut dari kaum
petani yang sebagian besar merupakan pelaku dari tindakan perkecuan. Dengan
hadirnya organisasi ini, gerakan reaksi masyarakat yang awalnya menggunakan
gerakan tradisional bergeser menjadi gerakan modern melalui keorganisasian,
sehingga dapat mengurangi praktek sentimental kaum pribumi atas keterpurukan
kondisi sosial dan ekonomi yang dialami 13. Karena keanggotaannya berasal dari
kaum pribumi yang memiliki kesamaan nasib, maka organisasi Sarekat Islam ini
dapat mengikat kaum pribumi dalam sebuah wadah sehingga dapat mendorong
lahirnya kepentingan bersama yang harus direbut kembali dari tangan Kolonial
Belanda.
Aksi dari perkecuan di Surakarta memang memiliki sejarahnya sendiri,
motifnya merupakan motif ekonomi yang utamanya disebabkan karena pelaku
mengalami kekurangan pangan,14 serta adanya kesenjangan sosial yang tinggi
akibat dari pemberian hak istimewa kepada etnis Cina oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Kekecewaan masyarakat pribumi pun diluapkan melalui tindakan kriminal
kecu tersebut.15 Yang menjadi sasaran sebagai korban dari aksi perkecuan ini
12
Siti Rahmana, 2018, “Sarekat Islam: Mediasi Perkecuan di Surakarta Awal Abad ke-20”, dalam
JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol.2(1), Hlm 55.
13
Ibid, hlm.56.
14
Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, (Yogyakarta:
LKiS), hlm.326.
15
Siti Rahmana, Op.cit, hlm.54.

8
adalah orang-orang yang secara langsung maupun tidak langsung ikut serta
membantu pemerintah Kolonial dalam mengambil hak mereka sehingga
menimbulkan kerugian dan terciptanya kemiskinan penduduk pribumi.
Awalnya perkecuan ditujukan kepada etnis Cina sebagai suatu bentuk protes
kaum pribumi, namun seiring dengan perkembangannya sasaran dari para kecu
bukan hanya etnis Cina melainkan pihak-pihak lain yang juga menjadi penyebab
dalam kesengsaraan kaum pribumi, diantaranya yaitu orang Eropa, orang kaya
asing, dan orang Jawa yang berasal dari kalangan keatas.16 Aksi perkecuan ini
merupakan sebuah praktek perampokan yang dapat dikatakan paling banyak
mengisi khasanah kriminalitas di wilayah Kota Surakarta pada abad ke-20.17

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kriminalitas merupakan suatu perilaku yang melanggar hukum, tidak sesuai
dengan norma sosial, agama, dan merugikan orang lain. Surakarta merupakan salah

Ibid, hlm.325
16

Suhartono, 1995, Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Aditya
17

Media), hlm.132.

9
satu wilayah yang berhubungan langsung dengan koloni Kerajaan Belanda.
Kriminalitas di kota ini meningkat ketika memasuki abad 20. Hal ini dikarenakan
kebijakan UU Agraria tahun 1870 yang menimbulkan penolakan dari petani yang
dirugikan. Selain faktor ekonomi, isu sosial terkait rasisme menjadi salah satu
faktor meningkatnya kriminalitas di Surakarta pada awal abad 20.
Surakarta merupakan kota tradisional di bawah teritorial Pemerintah Hindia
Belanda. Pada 1902, Pakubuwono X melakukan pembaruan terhadap Surakarta,
salah satunya adalah instalasi listrik dan disesel. Disusul dengan pembangunan
layanan umum lain seperti hotel dan lain-lain. Kemajuan tersebut membuat
populasi orang kulit putih di Surakarta bertambah. Pada masa ini Surakarta
mengalami Eropanisasi terutama di bidang hukum dan pendidikan. Namun,
pembangunan yang dilakukan ternyata tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat. Hanya golongan tertentu seperti orang-orang Eropa yang dapat
menggunakan fasilitas tersebut sehingga menunjukkan ketimpangan yang cukup
jelas.
Pemerintah kolonial yang meletakkan etnis Cina sebagai penghasil uang
memberikan beberapa hak-hak istimewa dalam kebijakan ekonomi. Hal ini turut
memicu perselisihan dan sentimen rasial sehingga marak kasus perkecuan sejak
awal abad ke-20.
Yang menjadi sasaran sebagai korban dari aksi perkecuan ini adalah orang-
orang etnis Cina namun merembet pula pada oknum yang secara langsung maupun
tidak langsung ikut serta membantu pemerintah Kolonial dalam mengambil hak
mereka. Aksi perkecuan ini merupakan sebuah praktek perampokan yang dapat
dikatakan paling banyak mengisi khasanah kriminalitas di wilayah Kota Surakarta
pada abad ke-20.

DAFTAR PUSTAKA

Balasuriya, T. (2004). Teologi Siarah. Jakarta: Gunung Mulia.


Nordholt, H. S. (2005). Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.
Yogyakarta: LKis.

10
Pranoto, S. W. (1991). Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Rahmana, S. (2018). Sarekat Islam: Mediasi Perkecuan di Surakarta Awal Abad ke-20.
JUSPI: Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 2(1), 55.
Sariyatun. (2005). Usaha Baik Masyarakat Cina di Vorstwnlanden Surakarta Awal
Abad 20. Yogyakarta: UNS Press.
Setiono, B. G. (2008). Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia.
Shirasi, T. (1997). Zaman Bergherak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta:
Grafiti.
Suhartono. (1991). Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suhartono. (1995). Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942.
Yogyakarta: Aditya Media.
Susanto. (2017). Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya
Identitas. Jurnal Sejarah Cita, 2(1), 8.
Wasino. (2008). Kapitalisme Bumi Putera: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran.
Yogyakarta: LKiS.
Zaida, S. N., & Arifin, N. (2010). Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat
Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa. Jurnal
Lanskap Indonesia, 2(2), 83.

11

Anda mungkin juga menyukai