Anda di halaman 1dari 20

Datangnya Ratu Adil, Sedulur Sikep: Gerakan Samin Perlawanan Tanpa

Kekerasan Terhadap Kolonial

Oleh:
Nama : Dian Octaviani
NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
KATA PENGANTAR

Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan segala
karunia dan rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Datangnya Ratu
Adil, Sedulur Sikep: Gerakan Samin Perlawanan Tanpa Kekerasan Terhadap Kolonial” . Dengan
segala kemudahan dan kelancaran dari Allah saya dapat menyelesaikan makalah tersebut dengan
tepat waktu. Makalah ini akan membahas mengenai perlawanan yang dilakukan oleh kelompok
wong sikep yang masuk dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan gerakan samin. Gerakan ini
dipelopori oleh seseorang yang bernama Samin Surosentiko, perlawanan dilakukan tanpa adanya
kekerasan.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester. Selain
sebagai pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester makalah ini saya buat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Julianto Ibrahim selaku dosen Sejarah Asia II, sebab tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa
menambah wawasan dan pengetahuan saya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman –
teman saya yang telah mendukung dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terima kasih
juga saya sampaikan kepada orang – orang yang telah menyediakan jurnal maupun buku dengan
tema yang sesuai dengan topik bahasan saya.
Yogyakarta, 04 Oktober 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ....................................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 6
2.1 Kemunculan Gerakan Orang Samin Dalam Melawan Pemerintah Kolonial............................ 6
2.2 Pola Gerakan dan Ajaran Samin Melawan Belanda ................................................................. 9
2.3 Perlawanan Gerakan Samin Melawan Terhadap Kebijakan Pemerintah Belanda ................. 13
BAB III KESIMPULAN............................................................................................................. 18
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 19

3
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saminisme adalah sebuah gerakan yang dibawa oleh Raden Kohar yang mengubah namanya
menjadi Samin Surosentiko. Raden Kohar dilahirkan di daerah Randublatung, Blora, Jawa Tengah
pada 1859, dan mulai tahun 1890, ia menyebarkan ajarannya di sejumlah daerah, antara lain di
Klopodhuwur dan Blora. Ajaran Samin akhirnya juga berkembang di daerah lainnnya seperti Pati,
Kudus, Madiun, Bojonegoro, Rembang, Grobogan, Brebes, Tuban, Ngawi, dan Lamongan.
Sebagaimana diketahui pada umumnya, masyarakat Samin adalah golongan yang mendapat
stigma negatif dari masyarakat luas. Stigmatisasi negatif orang Samin ini bahkan sampai saat ini
masih dirasakan oleh warga di Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Hal itu terbukti ketika warga
di sana enggan atau bahkan tidak mau disebut sebagai wong samin. Mereka menolak dikatakan
Samin, dan lebih suka disebut sebagai wong sikep. Alasan mereka, pada umumnya adalah karena
Samin itu identik dengan kebodohan, dan identik dengan segolongan masyarakat yang tidak
kooperatif, tak mau membayar pajak, tidak mau ikut ronda, suka membangkang, dan bahkan
tuduhan ateis. Singkatnya, perilaku dan tingkah laku orang Samin dianggap tidak sejalan seperti
orang pada umumnya.
Orang pada umumnya menganggap Samin sebagai orang yang tidak taat aturan. Perilaku dan
tingkah laku yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki keanehan dan keunikan,
salah satunya adalah komitmen mereka untuk memegang teguh budaya leluhur. Mereka tidak mau
terkontaminasi dengan budaya Barat. Orang samin adalah orang yang nyeleneh dan perilakunya
sangat berbeda dengan orang pada umumnya. Orang samin itu tidak mau sekolah, mereka tidak
mau terbawa arus modernisasi, apalagi untuk berdagang dan berbisnis. Orang samin hanya
mengandalkan kehidupan melalui alam semesta, yakni dengan bercocok tanam, atau bekerja di
sawah.
Perilaku dan tindakan yang aneh seperti orang gila inilah yang membuat image orang samin
hingga kini masih membekas di kalangan masyarakat di Jawa, terutama di daerah Blora. Orang
Samin dianggap sebagai golongan orang yang berperilaku di luar kodratnya. Orang Samin adalah
orang yang jauh dari peradaban dan tidak mau ikut trend yang ada. Menurut J Benda dan Lance
Castles, orang-orang samin di desa Tapelan memeluk Saminisme telah ada sejak tahun 1890.
Dalam Encyclopedia van Nederlandsch Indië (1919) diterangkan orang-orang samin itu
seluruhnya berjumlah 2.300 orang tersebar di beberapa daerah di Blora, Bojonegoro, Pati dan
Kudus.1
Samin Surosentiko mulai ada sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20, Samin Surosentiko
adalah sebuah fenomena sejarah kehidupan sosial yang panjang dalam sejarah Jawa. Samin
Surosentiko ternyata memiliki pengaruh yang banyak terhadap karakter dan perilaku dari
masyarakat Jawa secara umum, termasuk yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa
dalam berpikir pun tak bisa dilepaskan dari ajaran samin terhadap orang Jawa. Samin adalah nama
yang umum pada orang Jawa, dan unsur-unsur nama suro dan sentiko pun umum, seperti tampak
pada nama-nama Suro Sadikin, Suprayitno, di samping Joyo Sentiko, Wongsosentiko, Ia seorang

1
Suripan Hadi Hutomo, 1985, Samin Surosentiko dan Ajaran-Ajarannya, di Majalah Basis, Januari-
XXXIV, hal. 2-3.

4
petani, menurut dokumen resmi ia punya sawah 3 bau, sawah kering 1 bau, dan 6 ekor lembu.
Melihat jumlah sawahnya dan keluarganya, ia anak keluarga yang kaya raya.2

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana munculnya gerakan Samin dalam melawan pemerintah Kolonial?
2. Bagaimana pola gerakan yang dilakukan oleh kelompok wong singkep melawan
pemerintah Kolonial?
3. Bagaimana perlawanan yang dilakukan orang Samin terhadap kebijakan pemerintah
Kolonial?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kemunculan gerakan orang Samin dalam melawan Pemerintah Kolonial
2. Untuk mengetahui pola gerakan orang Samin dalam melawan Pemerintah Kolonial
3. Untuk mengetahui perlawanan yang dilakukan orang Samin terhadap kebijakan
pemerintah Kolonial

2
Paulus Widiyanto, 1983, Samin Surosentiko dan Konteksnya, di Majalah Prisma, No. 8, Agustus tahun
XII, hal. 60.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kemunculan Gerakan Orang Samin Dalam Melawan Pemerintah Kolonial


Pada masa kolonial muncul banyak gerakan protes di Jawa, salah satu bentuk gerakan protes
yang ada di Jawa adalah gerakan orang Samin. Munculnya gerakan samin dianggap sebagai
kedatangan ratu adil. Permasalahan tanah komunal dan tanah hutan pada periode akhir abad ke 19-
20 memegang peranan penting dalam mendorong timbulnya gerakan protes petani. Lahirnya
ajaran Samin mendapat sambutan dari rakyat yang kemudian dijadikan wadah kolektif untuk
menyalurkan rasa frustrasi mereka terhadap perubahan yang diterima dan telah menggeser budaya
Jawa. Ajaran Samin akhirnya dapat berkembang menjadi sebuah gerakan sosial pada masa
kolonial di Blora.3
Ajaran mengenai wong sikep dikembangkan oleh Samin Surosentiko pada tahun 1859, di Desa
Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih
dikenal dengan Samin Sepuh. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar yang kemudian
diganti menjadi Samin yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih
mempunyai pertalian darah dengan Kyai keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian
darah dengan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto 4 pada
tahun 1802-1826.
Tahun 1890 Samin Surosentiko memperhatikan keadaan masyarakat sekitar hidup dalam
kesulitan dan kekurangan yang berkepanjangan. Maka ia berkeinginan untuk mendapat petunjuk
dari Tuhan dengan jalan dan bertapa. Selama bertapa, Samin Surosentiko mendapat wahyu yang
berisi bahwa apabila hendak memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami
kesulitan dan kekurangan hendaknya membentuk suatu perkumpulan. Banyak orang yang datang
ke Desa klopoduwur, Sambongrejo, dan beberapa desa di daerah Blora untuk berguru tentang
ajaran samin sebagai pengobat rasa frustrasi.5 Keadaan tersebut dikarenakan pelaksanaan politik
kolonial yang banyak merampas hak masyarakat di tanah Jawa.
Metode yang dipakai dalam pendekatan ajaran samin kepada masyarakat dilakukan dnegan
ceramah umum yang dilaksankana di Balai Desa, tanah lapang. Ceraman menjadi salah satu cara
yang digunakan oleh Samin Surosentiko untuk menyampikan ajaran yang telah diterimanya,
aharan tersebut memuat banyak ide tentang kerajaan Amartaputra dengan prabu Dharmokusuma
alias Puntadewa, Raja titisan Bathara Dharma yang terkenal sebagai dewa keadilan. Isi-isi ceramah
yang disampaikan oleh Samin membahas mengenai kebaikan yaitu sikap hidup yang tenang,
teduh, mendiri, dan pengabdian diri.
Ceramah-ceramah yang dilakukan oleh Samin dianggap membahayakan ketentraman umum.
Pada masa liberal, pemerintah Belanda belum begitu memperhatikan dan tertarik pada ajaran

3
Indah Sri, Puji Lestari, 2017, “Masyarakat Samin Ditinjau Dari Sejarah dan Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter”, Vol. 13, No. 1, hal. 10.
4
Saat ini menjadi suatu nama daerah di Kabupaten Tulungagung.
5
Indah Sri, Puji Lestari, Ibid, hal. 10.

6
Samin. Hal ini terjadi karena ajaran Samin dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru
yang tidak mengganggu keamanan. Sampai pada tahun 1903, penyebaran ajaran Samin masih
terbatas di wilayah sekitar daerah Kabupaten Blora. Hal ini terbukti adanya laporan Residen
Rembang pada bulan Januari 1903 yang pada waktu itu membawahi Blora. Dia melaporkan bahwa
di Blora terdapat 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa di Blora selatan wilayah bagian yang
menghubungkan Blora dengan wilayah Bojonegoro.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan gerakan samin tidak begitu pesat. Selain
memberikan ceramahnya di lapangan, Samin Surosentiko hanya memberikan dan menyebarkan
ajaran pada murid-murid yang berdatangan di rumahnya. Setelah tahun 1903, gerakan samin mulai
menunjukkan sifat dan coraknya. Pada tahun 1905 pengikut Samin mulai membangkang untuk
membayar pajak tetapi tetap membantu secara sukarela dan menolak untuk mengandangkan sapi
dan kerbau mereka di kandang umum bersama orang desa yang bukan masyarakat Samin. Sikap
seperti itu sangat membingungkan dan menjengkelkan para pamong desa. siap tersebut dipelopori
oleh Samin Surosentiko. Namun yang sebenarnya Samin Surosentiko sendiri tidak menganjurkan
pengikutnya untuk melakukan atau menirukan hal yang demikian. Pada tahun 1906 ajaran Samin
menyebar ke wilayah bagian selatan Rembang yang disebarkan oleh Surokamidin dan Karsiyah.
Gerakan Samin muncul pada 7 Februari 1889 yaitu ketika Samin Surosentiko untuk pertama
kali berbicara di depan pengikutnya di tanah lapang.6 Banyak dari masyarakat setempat kemudian
menjadi pengikutnya. Pada tanggal tersebut, Samin mengumpulkan pengikutnya di sekitar
Bapangan dan mengkampanyekan gerakan berdirinya kerajaan Jawa. 7 Di desa Tapelan, Samin
dikenal sebagai petani, sesepuh, guru kebatinan, dan pemimpin pergerakan melawan pemerintah
kolonial. Pihak pemerintahan kolonial belum tertarik pada ajaran Samin karena dianggap sebagai
ajaran yang penuh dengan kekuatan gaib.
Empat tahun kemudian yakni 1907, jumlah pengikut samin mengalami peningkatan yang
cukup signifikan hingga mencapai 5.000 orang. Di tahun ini pula, samin diangkat oleh pengikutnya
sebagai ratu adil atau ratu adil heru cakra dengan gelar prabu panembahan suryangalam. Mereka
menganggap samin berjasa dalam gerakan dengan tujuan untuk menentang pihak kolonial yang
telah mengganggu kehidupan masyarakat, terutama atas pemberlakuan pajak yang dibebankan
kepada rakyat. Bertambahnya jumlah pengikut Samin membuat pemerintah kolonial mulai
khawatir. Pada tanggal 1 Maret 19078, kontrolir Belanda sempat menyebarkan isu akan adanya
pemberontakan Samin dan pengikutnya.
Empat puluh hari setelah pengukuhan Ratu Adil tersebut, Samin ditangkap oleh Raden
Pranolo (Asisten Wedana) di Randublatung. Ia ditahan di bekal tobong pembakaran batu gamping.
Kemudian ia dibawa ke Rembang untuk prose interogasi. Kemudian ia bersama pengikutnya yakni
Kartogolo, Reno Dikromo, Soerjono, Soredjo, Singo Tirto dibuang ke Sawahlunto hingga
akhirnya meninggal.9 Penangkapan samin tidak lantas membuat perlawanan orang samin

6
Nurmalitasari, 2016, “Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani Kawasan
Hutan Di Blora”, Skripsi, hal. 52.
7
Agus Budi Purwanto, 2011, Samin dan Kehutanan Abad XIX, Yogyakarta: Perpustakaan Sanata
Dharma, hal. 74.
8
Andrik Purwasito, 2003, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger,
Yogyakarta: Lkis, hal. 19.
9
Agus Budi Purwanto, Op.cit, hal. 77.

7
terhenti.pada 1908 sejumlah pengikut samin giat mengembangkan ajaran Samin ke berbagai
daerah sekaligus.10 Seperti wangsareja yang menyebarkan ajaran samin hingga distrik Jiwan,
Madiun, Samat di daerah Pati, Serta Karsiyah dan mbah Engkrek di daerah Grobogan. Di sini
orang-orang desa dihasut untuk tidak membayar pajak pada pemerintahan kolonial Belanda.
Gerakan samin mencapai puncaknya pada tahun 1914 atau dikenal sebagai Geger Samin.
Hal ini disebabkan karena pajak yang dibebankan kepada warga semakin tinggi. Pajak yang kian
mencekik membuat masyarakat semakin menaruh kebencian terhadap pemerintah Belanda.
Pamong desa dan pemerintah Belanda semakin tidak dihormati lagi. Di desa larangan, Kabupaten
Blora pengikut Samin mulai menyerang lurah dan polisi. Penyerangan ini membuat pemerintah
Belanda mulai khawatir akan adanya perlawanan yang lebih besar.
Untuk mengantisipasi pertumbuhan pengikut Samin, pemerintah Belanda menyerang dan
membakar desa-desa pusat pertahanan pengikut samin di jawa tengah dan jawa timur. Banyak
pengikut samin terbunuh, sedangkan yang selama tercerai berai. Selanjutnya, belanda melarang
ajaran samin dan mengancam masyarakat yang menyembunyikan para pengikut samin yang masih
selamat. Untuk lebih menghancurkan komunitas tersebut, belanda mendiskreditkan11 pengikut
samin sebagai kaum perampok dan penjahat sehingga pada akhirnya masyarakat menolak
keberadaan pengikut samin.12
Dari buku berjudul Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora
Jawa Tengah yang ditulis oleh Titi Mumfangati dan kawankawan merumuskan lima ajaran pokok
Saminisme. Pertama, agama adalah senjata atau pegangan hidup. Kedua, jangan mengganggu
orang, jangan bertengkar, jangan iri hati, dan jangan mengambil hak milik orang lain. Ketiga,
Bersikap sabar dan jangan sombong. Keempat, manusia harus memahami kehidupannya sebab
hidup hanya satu dan akan dibawa abadi selamanya. Kelima, bila berbicara harus bisa menjaga
mulut, jujur, dan saling menghormati. Buku ini tampaknya berupaya menghindari realitas sosial
dan politik yang mengitari keberadaan Saminisme, dan cenderung membahas hal-hal yang
sifatnya normatif.13
Ada kata-kata yang sangat terkenal yang diucapkan oleh Samin Surosentiko ketika
berceramah di tanah lapang di Desa Bapangan Blora. Ia mengatakan bahwa tanah Jawa bukan
milik Belanda, melainkan milik wong Jowo, maka tidak perlu membayar pajak, justru sang
pemiliklah yang harus memanfaatkannya (Murbandono, Sinar Harapan 5 Februari 2005). Ajaran-
ajaran perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas dan tidak adil secara detail ditulis Samin
Surosentiko dalam sebuah kitab Serat Jamus Kalimasada. Menurut Sastroatmodjo serat ini jatuh
ke tangan pejabat Belanda dan dimusnahkan hingga sulit untuk melacak ajaran perlawanan
Saminisme,14 namun sebagian masih dapat ditelusuri dari tembang macapatan dan juga dari salinan
serat tersebut yang masih disimpan penduduk.
Dalam konteks politik, pengaruh ajaran Saminisme telah mampu menggerakkan perlawanan
non violence (tanpa kekerasan) yang dilakukan oleh pengikut Samin terhadap pemerintah Belanda.

10
Nurmalita, Ibid, hal. 53.
11
Usaha untuk menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau pihak tertentu.
12
Nurmalita, Ibid, hal. 54.
13
Huzeir Apriansyah, 2013, “Saminisme Dan Islam Jawa”, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1, hal
103.
14
Soerjanto Sastroatmodjo, 2003, Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?, Yogyakarta: Penerbit Narasi,
hal. 12.

8
Pembangkangan-pembangkanganterhadap negara dilakukan oleh pengikut Samin di Blora,
Bojonegoro, Pati, Rembang, dan Grobogan serta beberapa daerah lainnya. Adapun penganjur
ajaran Samin, Ki Samin Surosentiko, meninggal dunia di pembuangannya di Sawahlunto Sumatera
Barat pada tahun 1914. Menurut Murbandono, orang-orang Samin sampai saat ini masih mendapat
hinaan dari orang di luar pengikut Samin. Begitupun dengan kehidupan berpolitik masyarakat
Samin cenderung masih dimarginalkan.

2.2 Pola Gerakan dan Ajaran Samin Melawan Belanda


Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep dikembangkan oleh penduduk bernama Samin
Surosentiko atau Raden Kohar, putra dari Raden Surowijoyo. Dalam sumber lain, Raden Kohar
disebut sebagai keturunan Pangeran Kusumaningayu, yang lahir tahun 1859 di Bapangan,
Randublatung, Blora.15 Komunitas ini tidak menyebut Samin untuk dirinya sendiri secara spesifik.
Pengikut Samin disebut ‘Orang Samin’ atau masyarakat Samin; ‘Wong Sikep’ atau orang yang
bersikap; ‘Wong Adam’ atau pengikut Agama Adam.16 Komunitas ini dikenal sebagai orang yang
lugu, tidak mau dipengaruhi oleh orang atau paham lain.17
Dalam pegangan hidup, masyarakat Samin mempercayai hukum Karma atau hukum sebab
dan akibat (Djawatan Penerangan Provinsi Jawa - Tengah 1953, 480). Hukum sebab yang
dipercayai antara lain: nandur pari, ngunduh pari (menabur padi, tumbuh padi dan akan memetik
buah padinya); becik ketitik ala ketara (baik dan buruk akan berakibat yang selaras). Samin tidak
membeda-bedakan agama yang dianut masyarakat. Agama dalam perspektif komunitas ini adalah
baik, oleh karena itu mereka tidak membenci agama. Begitu juga dengan manusia. Dalam
perspektif komunitas ini, manusia itu tidak ada bedanya, yang membedakan adalah perjalanan
hidupnya serta sifat baik dan buruknya (Djawatan Penerangan Provinsi Jawa - Tengah 1953, 480).
Yang penting adalah substansinya atau pokok tujuan, bukan dilihat dari segi fisiknya. Samin
menyebarkan keyakinan berdasar logika dan filosofi yang sederhana tentang kejujuran dan
kepemilikan.18
Samin Surosentiko mengajarkan perlawanan terhadap kolonial dengan cara tidak membayar
pajak. Menurut Budi,19 perlawanan terhadap kolonial itu disebut tata negara. Komunitas Samin
beranggapan tanah Jawa adalah peninggalan nenek moyang. Oleh karena itu, Samin Surosentiko
mengajak para pengikutnya yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk tidak membayar
pajak, tidak mau harta, tidak mau membantu pembangunan jalan. Semua cara itu dilakukan karena
meyakini hasil dari pembayaran pajak hingga membangun jalan adalah untuk kepentingan
Belanda, bukan untuk kemakmuran orang Jawa.
Penolakan Samin untuk tidak membayar pajak, menurut Al-Makin, lebih karena Samin
merasa tanah hutan adalah warisan dari nenek moyang. Ketika diminta membayar pajak oleh
Belanda,pengikut Samin mempertanyakan pemungut, karena mereka tidak pernah merawat hutan

15
M Junus Melalatoa, 1995, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, hal. 773.
16
Burhanuddin, Mukodi dan Afid, 2015, Pendidikan Samin Surosentiko, Yogyakarta: Lentera Kreasindo,
hal. 11-12.
17
Nazar Nurdin, Ubbadul Adzkiya, 2021, “Tradisi Perlawanan Kultural Masyarakat Samin”, Jurnal
Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol. 15, No. 1, hal 76.
18
AL Makin, 2016, Challenging Islamic Orthodoxy. Switzerland: Springer. https://doi.org/10.1007/9783-
319-38978, hal. 151.
19
Budi Santoso, 2016, Hanggo Puspo Aji: Ajaran dan Sejarah Pergerakan Samin Surosentiko,
Semarang: ELSA Press, hal. 20.

9
(sarang dan kayu jati) tapi ingin mengambil keuntungan atas hasil hutan. Mereka yang boleh
memungut hasil hutan atau yang mengambil manfaat, adalah mereka yang melakukan pekerjaan,
bukan pemerintah kolonial yang tidak memiliki hak pengelolaan.Pada 1980, Samin Surosentiko
mengajak masyarakat sekitar desa Randublatung dan desa penghasil pohon Jati lainnya di Blora
untuk menolak kehadiran Belanda. Kehadiran Belanda di wilayah hutan jati Randublatung
membuat warga setempat kesulitan hidup, karena aparat kolonial bertindak lalim dengan
melakukan pembatasan atas akses ke hutan.20
Belanda memungut pajak tidak hanya pajak tanah, melainkan juga pajak kepemilikan ternak,
pajak air pertanian. Warga yang mengumpulkan kayu dari hutan juga harus membeli ‘tiket’ dari
aparat kolonial. Menurut Budi, Samin Surosentiko mampu berfikir seperti itu karena ia dari
keturunan priyayi atau meningkat. Selain memahami konsep tata negara, Samin ingin mengadakan
perlawanan terhadap Belanda tanpa kekerasan. Samin mengadakan perang lewat keyakinan
(ideologi).21 Prinsip tanpa kekerasan didasarkan atas keyakinan, ‘jika mencubit orang rasanya
sakit, maka jangan mencubit orang lain’. Oleh karena itu, dalam perlawanannya, masyarakat
Samin tidak mengadakan kontak perang secara langsung dengan penjajah.
Samin melawan dominasi mayoritas dengan cara tidak membayar pajak yang diberlakukan
pihak kolonial Belanda. Ajaran ini menurut Budi (Santoso 2016, 20) didasarkan atas pemahaman
bahwa tanah Jawa warisan nenek moyang sedang dijajah. Sebagai pewaris tanah, mengapa harus
membayar pajak kepada pihak pendatang? Konsep perlawanan itulah yang dikembangkan oleh
masyarakat Samin. Namun dalam versi lainnya, masyarakat Samin yang menolak membayar pajak
karena tidak suka Jawa dikuasai kekuasaan asing (Djawatan Penerangan Propinsi Jawa -
Tengah1953, 481). Penyebutan Wong Samin atau Wong Sikep merujuk kepada seseorang yang
memiliki jenis hak atas tanah disertai dengan tenaga kerja inti, termasuk seorang yang pertama
kali menebangi hutan untuk pertanian.22
Akibat perlawanan politik ini, Samin dan para pengikutnya diburu Belanda untuk disidang.
Pihak kolonial mempertanyakan gerakan Samin, dan tidak mendapati alasan logis mereka menolak
membayar pajak. Pemerintah kolonial memandang aliran ini berbahaya, dan jika dibiarkan
keyakinan ini akan menyebar. Samin dan pengikutnya pun akhirnya dipenjara, hingga diasingkan
ke Bengkulu pada 1907, dan meninggal pada 1914 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Samin dibagi
menjadi dua, yaitu Samin lugu dan Samin Sangkak. Samin lugu adalah mereka yang sabar, tidak
takut terhadap ancaman, tidak dendam kepada musuh. Samin lugu penuh dengan tepa selira (peri
kemanusiaan). Sementara Samin Sangkak adalah Samin pemberani. Berkebalikan dengan lugu,
Samin Sangkak ketika mendapat serangan berusaha menangkis untuk melindungi diri. Samin
Sangkah adalah mereka yang menaruh curiga, membantah dengan alasan yang tidak masuk akal.
Meski berbeda, namun Samin tetap memiliki perasaan yang halus, dan tidak melawan ketika
diserang, tidak suka berbohong, dan berbahasa jawa (Djawatan Penerangan Provinsi Jawa –
Tengah 1953, 480–81).
Dalam ajaran lain, masyarakat Samin mempraktekkan sikap gotong royong dalam istiadatnya.
Ketika ada khitanan, kawin, kematian semua dilakukan dengan bersama-sama. Komunitas ini
mempraktekkan sama rasa sama rasa, atau dinikmati bersama-sama. Ajaran Samin berintikan nilai
kebersamaan, tolong menolong, saling berbalasan (Melalatoa 1995, 733). Samin Surosentiko

20
Nancy Lee Peloso, 1992, Richt Forest, Poor People Resource Control and Resistance in Java,
Berkeley, LA and Oxford: University of California Press, hal. 69.
21
Nazar Nurdin, Ubbadul Adzkiya, Ibid, hal. 77.
22
Nancy Lee Peloso, Op.cit, hal. 280.

10
disebut meninggalkan Serat Jamuskalimada. Serat terdiri dari beberapa judul, antara lain Serat
Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat
Lampahing Urip.23
Saminisme dikenal tidak hanya sebagai gerakan spiritual yang memiliki ajaran kebatinan
semata, melainkan juga sebagai gerakan sosial dan politik yang memiliki ajaran khusus dalam
bidang sosial dan politik. Dalam bidang sosial, ajaran-ajaran Samin banyak berkaitan dengan tata
kehidupan individu dalam berhubungan dengan individu lainnya. Berikut ini ajaran Samin
Surosentiko mengenai tata aturan perilaku sosial individu. Dalam masyarakat Samin, hal-hal
tersebut dikenal dengan angger-angger pratikel. Berikut ini petikannya:
“Tumandukipun sageda anglenggahi keleresan tuwin mawi lalapah ingkang ajeng,
sampun ngantos miyar-miyur.Tekad Ipun sampun ngantos teguh dening godha rencana,
tuwin sageda anglampahi sabar lair batosipun, amati sajroning urip. Tumindak ing
kelainan sarwa kuwawi anyanggi sadaya lelampahan ingkang dumawahing sariranipun.
Sanadyan kataman sakit, ngerakaos pagesangnipun, ketaman sok serik serta pengawon-
awon saking sanes, sadaya wau sampun ngantos ngeresula serta amales piawon, nanging
panggalihipun sageda lestari enget.”
Individu dalam masyarakat Samin dituntut memiliki kesabaran, keteguhan, dan kesadaran
sebagai makhluk Tuhan. Ajaran-ajaran ini hingga saat ini masih dianggap penting oleh masyarakat
hingga tetap terus dipertahankan, meski dalam praktiknya mengalami perubahan. Ajaran sosial
mengenai Saminisme ini menurut Mbah Randim adalah upaya manusia untuk menjaga
keseimbangan antara tiga unsur; manusia, alam dan Tuhan. Hal-hal yang berkaitan dengan tata
aturan juga termuat dalam hal-hal yang harus ora dilakoni masyarakat Samin24. Hal itu yakni
drengki (dengki), srehi (khianat), dahpen (mencampuri urusan orang lain), ndromos (suka meminta
barang orang lain dengan kata-kata manis), kemeren (iri hati), nemu disingkiri, bila menemukan
barang dikembalikan karena yang kehilangan pastilah bingung, colong jupuk disiriki (jangan
mengambil milik orang lain), dan ucapan niku sing bener (berbicaralah yang benar).
Ajaran-ajaran tersebut merupakan ajaran perilaku yang telah ada sejak Samin Surosentiko,
hingga saat ini pengikut Saminisme sangat meyakini bahwa untuk hidup selamat di dunia harus
mengikuti ajaran tersebut. Ajaran ini juga diyakini untuk diikuti oleh pengikut Saminisme sebagai
bekal untuk salin sandhangan (meninggal). Ajaran mengenai perilaku individu ini juga ada dalam
undaran sebagai berikut:
Her run tumurning tumus25
Winetu hing praja,
Nalar wikan reh kasudarman,
Hayu rumiyeng badra,
Nukti nuting lagon,
Wirama natyeng kewuh
Sangka-sangganing-rat
Ajaran yang menyerupai hal di atas juga dapat ditemukan dalam dokumen ceramah Samin
Surosentiko di lapangan Desa Kasiman pada 11 Juli 1901.26

23
Burhanuddin, Op.cit, hal. 36.
24
Huzeir Apriansyah, Op.cit, hal. 107.
25
Soerjanto Sastroatmodjo, Op.cit, hal. 36-37.
26
Huzeir Apriansyah, Ibid, hal. 108.

11
Lan lakunira saputat-saputat
Nastyasih kukuluwung,
Lagangan harah
Kadyatmikan cuwul heneng
Pambudi malatkung
Sing dingin, hakarsa
Adyatmika tanpolih.
Dwinya maneges tapi
Hakarep tumiyang
Katinempuh Gendholan
Batin, nagarah-arah
Catur mangeran ayun lweh
Dening tatasnya ngadil
Myang
Peneamangkin, sumarah
Rengkep artikel patuh

Ceramah Samin tersebut menurut Sastroatmodjo menerangkan mengenai kejatmikaan


yang berjumlah lima. Pertama, jatmika dalam kehendak, yang berlandaskan pada usaha
pengendalian diri. Kedua, jatmika dalam ibadah suci yang disertai pengabdian kepada sesama
makhluk. Ketiga, jatmika dalam mawas diri, menjenguk batin sendiri suatu ketika demi
keseimbangan diri dan lingkungan. Keempat, jatmika dalam mengatasi bencana, yang terjadi
lantaran cobaan Khalik atas makhluk-Nya. Kelima, Jatmika sebagai pegangan budi sejati. Ajaran
mengenai sikap individu dalam menghadapi kondisi lingkungan dan tata cara berhubungan dengan
individu lain juga muncul dalam tradisi lisan masyarakat pengikut Saminisme, tradisi itu tampak
dalam ucapan keseharian, seperti:
Aja drengki, srei, tukar padu, dahpen kemeren, Aja kutil jumput, bedhog colong

(Janganlah mengganggu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hati, jangan suka
mengambil barang milik orang tanpa seizin pemiliknya)

Sabar lan trokal sampun ngantos jrengkei sare sampun ngantos riya, sepadan empun nganti
pek pinek kutil jumput bedhog colong. Napa malih bedhog colong, napa malih milik
barang, nemu barang neng dalan mawon kula simpangi.

(Berbuatlah sabar dan trokal, janganlah mengganggu orang, janganlah takabur pada sesama
orang, janganlah mengambil barang milik orang tanpa seijin pemiliknya. Apalagi mencuri,
menemukan barang tercecer di jalan saja itupun dijauhi).

Di samping ajaran-ajaran tersebut, ada lagi sebuah keyakinan yang dimiliki oleh
masyarakat pengikut Saminisme yang berkaitan dengan sifat kebersamaan. Semua orang bagi
masyarakat Samin adalah saudara (sedulur) sehingga masyarakat Samin memanggil orang dengan
panggilan lur sedhulur. Seperti dikemukakan oleh Mbah Randim, “urip iku nggolek sedhuluran

12
sing okeh, menyang nduk ngendi yo nggolek sedulur”, rak kabeh iki sedulur”.27 Secara umum,
ajaran-ajaran mengenai pola laku individu ini telah dipahami lama oleh masyarakat dan bagi
pengikut Saminisme hingga hari ini tetaplah diperhatikan. Dalam konteks ajaran sosial dalam
Saminisme, tampak ada irisan yang signifikan dengan ajaran Islam.
Buku-buku peninggalan ajaran samin yang masih ada di desa tapelan Jawa Timur disebut
Serat Jamus kalimasada. Buku ini berisi tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi,
nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras. Mereka
menganggap semua orang adalah saudara. Sehingga mereka harus hidup rukun dan harmonis
dengan orang lain.28 Mereka menolak dipimpin oleh eksternalitas karena mereka dianggap bukan
orang Jawa dan keberadaan mereka tidak mendatangkan keuntungan apa-apa.
Semua ajaran samin adalah demi hidup yang lebih baik. Ia memiliki pemahaman sendiri
mengenai konsep ketuhanan atau sering disebut Manunggaling Kawula Gusti. Hal ini diartikan
sebagai dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini, dan kemana tujuan hidup
yang dijalani dan dituju.29 Ajaran tersebut oleh beberapa peneliti disebut sebagai Agama Adam
atau The Religion of Adam.30 Menurut Samin, Perihal Manunggaling Kawula Gusti itu dapat
diibaratkan sebagai rangka umajining curiga atau tempat keris yang meresap masuk ke dalam
kerisnya.
Meskipun Samin sering memaki istilah-istilah Arab, namun kepercayaan ini tidak
berkaitan langsung dengan agama Islam. Terdapat semacam kompleksitas dari ajaran Samin di
mana cakupan ajaran menjangkau berbagai segi kehidupan dari pengikutnya, baik dalam bidang
spiritual, kekerabatan, ekonomi, dan politik. Ricklefs berpendapat bahwa ajaran samin merupakan
doktrin yang tidak jelas.
“ajaran samin lebih merupakan kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang tidak jelas.
Menitikberatkan pada mistik, kekuatan seksual, perlawanan, dan keutamaan keluarga.
Mereka menolak perekonomian uang, struktur-struktur, dan segala bentuk kekuasaan”31

Gerakan Samin juga menjadi tradisi Abangan di Jawa.32 Samin menganut agama Adam,
tentang agama yang dianutnya mereka mengatakan bahwa “Agama niku gaman, man gaman
lanang”. Tetapi Samin tidak membedakan agama yang ada, mereka menganggap semua agama
baik dan mereka merasa memilikinya.

2.3 Perlawanan Gerakan Samin Melawan Terhadap Kebijakan Pemerintah Belanda


Pada tahun 1890 praktik kolonialisme dan imperialisme melanda di Indonesia. Para penjajah
memeras sumber daya manusia maupun alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pada masa
kolonialisme akhir abad 19 sampai awal abad 20 sering terjadi pemberontakan oleh masyarakat
Jawa akibat kebijakan-kebijakan kolonial yang sangat merugikan masyarakat Jawa. Menurut Indah
Saminisme muncul dari berbagai reaksi pemerintahan kolonial saat itu, masyarakat samin

27
Huzeir Apriansyah, Op.cit, hal. 109.
28
Nurmalitasari, Op.cit, hal. 57.
29
Kata pengantar Parsudi Suparlan pada buku Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa
Karangan Clifford Geertz, Jakarta: Pustaka Jaya.
30
Bagi orang Samin, Adam adalah suara sehingga di dalam bersuara membutuhkan Hawa.
31
M.C. Ricklefs, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 254.
32
Titi Mumfangati, dkk, 2004, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Jawa
Tengah, Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, hal. 45.

13
memberontak tanpa fisik tetapi dengan sikap-sikap non fisik.33 Contohnya masyarakat samin
dipaksa untuk melepaskan tanahnya tetapi masyarakat samin mengatakan bahwa tanah ini milik
komunal dan sebagai perwujudan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat adat tak luput
dari kebijakan kolonial yang diterapkan di Jawa. Sektor pertanian dan hak kepemilikan sering
terjadi permasalahan antara masyarakat Jawa dengan pihak penjajah. Dominasi bangsa barat yang
kuat di Jawa menciptakan masyarakat membentuk kelompok dengan tujuan memprotes kebijakan.
Adanya ajaran saminisme di kehidupan masyarakat Jawa merupakan hal yang positif dan
menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya. Ajaran saminisme ini mendapat respon
dan diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Kelompok yang dibentuk oleh Samin
Surosentiko merupakan wadah untuk masyarakat mengaspirasikan kegelisahannya yang dirasakan
selama kebijakan kolonialisme diterapkan di masyarakat Jawa. Samin Surosentiko menyebarkan
ajarannya ke desa-desa dengan metode ceramah yang dilakukan di balai desa dan tanah lapang.
Masyarakat samin tersebar di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
umumnya, pekerjaan masyarakat samin berada di sektor agraria yaitu berladang, petani dan
peternak. Pada tahun 1905, Samin Surosentiko berhasil memikat masyarakat untuk melakukan
gerakan sosial dengan menolak semua kebijakan kolonialisme yang diberikan. Masyarakat samin
menolak untuk membayar pajak, menolak menyumbang lumbung desa yang dikuasai oleh
kolonial, menolak menggembala ternak bersama-sama.34
Sejak melakukan gerakan kepada pemerintah kolonial, masyarakat samin memiliki strategi
yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang melakukan aksi secara verbal. Masyarakat
samin mempercayai bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam melakukan gerakan.
Berhasil atau tidaknya suatu gerakan mengacu kepada pengelolaan komunikasi yang dilakukan
masyarakat. Menurut Burt komunikasi berfungsi sebagai metode untuk menyebarluaskan orang-
orang, kelompok dan organisasi sebagai bentuk penyaluran informasi, pesan maupun perilaku.35
Pola komunikasi masyarakat samin dilakukan non verbal atau sikap diam terhadap kebijakan
pemerintah kolonial dengan menolak kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada masyarakat.
Masyarakat samin melawan dominasi bangsa barat atas hak tanah dengan kebijakan
mewajibkan membayar pajak. Menurut Budi, aksi yang dilakukan oleh masyarakat samin merujuk
kepada kepercayaan dan pemahaman bahwa tanah dan seisi alam merupakan warisan nenek
moyangnya.36 Pemahaman masyarakat samin sebagai pewaris dari tanahnya untuk dijaga dan
dilestarikan kepada generasi selanjutnya dan tidak mengharuskan membayar pajak oleh para
penjajah yang sebagai pendatang di tanahnya.
Gerakan Samin baik secara panduan ideologis gerakan maupun cara-cara pergerakannya
nyaris disandarkan pada pengetahuan lokal tentang konsep kekuasaan tanah jawa serta mitologi
pewayangan warisan tradisi leluhur Jawa melalui pujangga-pujangga Keraton.37 Keyakinan bahwa

33
Indah Puji Lestari, 2013, “Interaksi Sosial Komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar,”
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 5, No. 1, hal 74-86.
34
Munawir Aziz, 2012, “IDENTITAS KAUM SAMIN PASCA KOLONIA PERGULATAN NEGARA,
AGAMA, DAN ADAT DALAM PRO-KONTRA PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DI SUKOLILO,
PATI, JAWA TENGAH,” Kawistara, Vol. 2, No. 3, hal. 225-328.
35
Dwi Retno Hapsari, 2016, “Peran Jaringan komunikasi Dalam Gerakan Sosial Untuk Pelestarian
Lingkungan Hidup,” Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol. 1, No. 1, hal. 25.
36
Budi Santoso, Op.cit, hal…
37
Salah satu pujangga Keraton yang menjadi referensi Samin Surosentiko yakni Ronggowarsito. Hal ini
bisa dilihat di Suripan Sadi hutomo, 1985, “Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya” di dalam majalah
Basis edisi Februari, hal. 63.

14
mereka adalah keturunan Pandawa membuat mereka berusaha untuk menjadi warisan leluhur
mereka yakni Jawa dan seisinya adalah milik mereka dan tidak boleh ada yang menguasai.
Keyakinan bahwa mereka adalah keturunan Pandawa dapat dilihat dari Serat Punjer Kawitan.
Dengan dasar dari Serat Punjer Kawitan tersebut maka, Samin mengajak pengikutnya untuk
melawan pemerintah kolonial belanda. Tanah jawa bukan milik Belanda, tanah jawa adalah miliki
orang Jawa. Oleh karena itu, tarikan pajak tidak dibayarnya, pohon-pohon jati di hutan ditebang
karena pohon jati yang ditanam oleh belanda juga dianggap sebagai miliknya yaitu warisan
Pandawa. Perlawanan yang dilakukan oleh Samin dan pengikutnya memang berbeda dengan
perlawanan lain yang terjadi di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan sebagai perlawanan tanpa
menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan oleh Gandhi (1869-1948) di India.
Meskipun apa yang dilakukan oleh Samin dan pengikutnya adalah gerakan tanpa kekerasan,
namun apa yang mereka lakukan adalah gerakan yang radikal. Gerakan yang mereka lakukan
adalah gerakan yang prinsipal dimana mereka tetap pada pendirian untuk pendirian untuk tidak
membayar pajak, menolak mengandangkan sapi, maupun melawan dengan kata-kata. Semua itu
menunjukkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap kelompok yang berkuasa saat ini adalah
pemerintah Belanda. Dengan demikian ciri tersebut sangat berkaitan dengan nilai nilai yang
menjadi acuan masyarakat Randublatung pada saat itu. Gerakan tanpa kekerasan yang dijalankan
Samin dan pengikutnya misalnya pembakangan melalui kata-kata. Contohnya seperti pada bulan
Desember 1914, dilaporkan oleh wartawan Jawa yang kemudian dimuat dalam De Locomotief
Semarang bahwa Rembang terdapat persidangan kasus pajak. Berikut ini salh satu sesi tanya jawab
seorang Patih yang menginterogasi salah satu pengikut Samin dalam persidangan:

“Kamu masih berhutang 90 kepada negara”


“Saya tidak hutang kepada negara”
“Tapi kamu mesti bayar pajak”
“Wong Sikep tidak mengenal pajak”
“Apa kamu gila atau pura-pura gila”
“Saya tidak gila atau pura-pura gila”
“Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
“ Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”
“Negara mengeluarkan uang juga penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak
mungkin merawat jalan-jalan dengan baik”
“Kalau menurut kami, keadaan jalan-jalan itu mengganggu kami, kami akan membetulkan
sendiri”
“Jadi kamu tak mau bayar pajak?”
“Wong Sikep tak kenal pajak”38

Setelah proses interogasi di pengadilan berjalan cukup sengit, sang patih akhirnya
memutuskan: “Pengadilan distrik memerintahkan anad untuk membayar utang anda kepada
negara. Jika selama 8 hari, anda tidak membayar, maka harta benda anda akan disita. Pergi!.
Pengikut Samin tersebut pergi, delapan hari telah berlalu dan pengikut Samin tersebut tetap tidak
mau membayar pajak, akhirnya barang-barangnya disita oleh pemerintah Belanda dan tidak ada

38
Harry J. Benda dan Lance Castle, The Samin Movement, Dalam Bijdragen tot de Taal, Land-en
Volkenkunde, Vol. 125, hal. 225.

15
perlawanan apapun. Pada tanggal 8 Januari 1914 barang-barang sitaan tersebut dijual dan dilelang
oleh pemerintah kolonial. Uangnya hendak diserahkan kembali kepada pengikut Samin tersebut.
Namun pengikut Samin tersebut menolak dengan berkata: “Sepanjang yang saya ketahui, saya
tidak pernah menyewakan apapun.”
Perdebatan antara salah satu orang Samin dengan Patih tersebut memperlihatkan bentuk
pembangkangan melalui kata-kata. Para petani dalam gerakan Samin mempertanyakan mengapa
mereka harus membuat jalan-jalan yang mereka tidak lalui. Kalaupun mereka memerlukan jalan
atau memperbaiki jalan, maka dengan sendirinya mereka akan membuat atau memperbaikinya
sendiri. Para petani juga mempertanyakan mengapa mereka harus membayar pajak. Kalau
pemerintahan kolonial memerlukan, mereka akan memberikan namun para petani yang
menentukan sendiri jumlahnya.39 Munculnya perlawanan dengan kata-kata bukan tanpa maksud.
Selain melawan dengan cara halus, perlawanan dengan katakata dapat menunjukka sikap-sikpa
kultural dan politik Samin dan pengikutnya. Misalnya untuk menyebut mati/meninggal,
masyarakat akan mengatakan salin sandhang (berganti baju). Karena tubuhnya ini hanyalah baju
dari roh kita.40 Hal ini bisa dilihat sebagai berikut:
1. Jenengmu sinten mbah?
1a. Jenengku lanang pangaran Samin.
2. Mpun pinten taun teng mriki?
2a. Nggih mboten ngitung taune.
3. Umure pinten?
3a. Setunggal kangge selawase.
4. Anake pun disekolahake?
4a. Mpun kulo sekolahake dhewek. Sekolah macul.
5. Mbah anda harus disuntik (periksa dokter) biar cepet sembuh
5a. Kula pun gadhah suntikan dhewek.
6. Sapinya berapa mbah?
6a. Lanang kalih wedok.
7. Berapa hitungannya?
7a. Sekawan.
Dialog no 1, 2, dan 3 memperlohatkan falsafas khiudpan masyrakan pengikut Samin.
Terutama pada jawaban atas pertanyaan umur yang menyatakan “Satu untuk selamanya”. Menurut
mereka umur mansusia itu satu, umur ialah hidup. Hidup adalah roh dan nyawa, manusia hanya
memiliki umur satu. Hal itu selamanya akan dibawa. Lahir dan mati, oleh karena itulah orang yang
meninggal di sebut saling sandhang.41 Sementara untuk dalam dialog 4, 5, 6, dan 7 menunjukkan
bahasa politik. Bahasa politik ialah bahasa yang berisi politik. Dalam bidang politik, pengikut
Samin pernah berurusan dengan pemerintah kolonial. Mereka anti dengan Belanda. Oleh karena
itu apa saja yang berbau Belanda mereka tolak. Menolak dengan cara halus yakni dengan cara
berbahasa yang lazim disebut bahasa Sangkaki atau bahasa sangka.42 Misalnya menolak untuk
menyekolahkan anaknya dengan perkataan “saya sudah sekolahkan sendiri, sekolah mencangkul”.
Kemudian soal permintaan untuk memeriksa kesehatan ke petugas kesehatan pemerintah Belanda,
mereka secara halus mengatakan “saya sudah punya alat suntik sendiri”.

39
Onghokham, 1979, “Peranan Rakyat dalam Politik”, dalam Prisma, Augustus 2019, Jakarta, hal. 43.
40
Suripan Sadi Hutomo, 1985, “Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin”, dalam Basis edisi Januari.
41
Agus Budi Purwanto, Op.cit, hal. 85.
42
Agus Budi Purwanto, Ibid, hal. 86.

16
Dalam konteks lain pembangkangan dengan kata-kata juga digunakan untuk
memperlihatkan posisi serta prinsip masyarakat terhadap kehidupan yang dipaksakan oleh
pemerintah kolonial. Misalnya masalah membayar pajak, pelarangan pemanfaatan hutan, serta
pemakaian air untuk pertanian. Pemaksaan tata kehidupan yang dibangung dengan nilai-nilai
masyarakat pengikut Samin. Terlebih lagi, keyakinan bahwa tanah Jawa merupakan warisan dari
Pandawa yang diwariskan kepada mereka semakin bertentangan dengan pengakuan dan
pelaksanaan perluasan areal hutan jati yang diterapkan oleh pemerintah Belanda.43 Terkait dengan
masalah perhutanan mereka menolak berbicara dengan para pejabat hutan dengan menggunakan
bahasa krama. Misalnya beberapa pengikut Samin membandingkan diri di atas tanah mereka
ketika ada penataan ulang tanah komunal. Mereka bilang “Kanggo” (tanah ini masih saya pakai).
Karena penataan ulang tanah komunal pada tahun 1914 berujung pada pengurangan atau bahkan
memintakan paksa tanah-tanah tersebut untuk dijadikan hutan jati atau keperluan pemerintah
Belanda yang lain.
Kekuasaan kolonial dan ketertiban masyarakat kolonial mulai terganggu hingga berujung
pada penangkapan Samin pada tahun 1914. Pada prinsipnya Samin dan pengikutnya merasa heran
ketika ada sekelompok entitas bernama pemerintah Belanda mengklaim diri sebagai penguasa
sekaligus pemilik tanah kehutanan seluas itu, yang di dalamnya termuat segala hal yang diperlukan
bagi masyarakat agraris. Peraturan-peraturan kolonial pada abad XIX hingga awal abad ke XX
telah menyasar petani hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Persentuhan petani dengan peraturan
kolonial selalu berimplikasi dalam dua hal: pertama jika peraturan tersebut dipatuhi, maka politik
pertanian, perkebunan,dan kehutanan dapat berjalan dengan lancar, petani mendapatkan insentif
berupa uang tunai, terutama pada masa globalisasi dimulai. Kedua jika peraturan kolonial tidak
dipatuhi oleh petani, maka politik pertanian, perkebunan, dan kehutanan kolonial tidak dapat
berjalan lancar. Sementara itu petani harus menerima konsekuensi berupa sanksi-sanks, karena itu
tidak melaksanakan peraturan berarti melanggar peraturan.

43
Op.cit, hal. 64.

17
BAB III

KESIMPULAN

Intervensi pemerintah kolonial dalam sistem kehidupan masyarakat pinggir hutan serta
tekanan-tekanan dari pemerintah berupa kerja wajib, hukum pengelolaan kehutanan dan kenaikan
pajak membuat kehidupan masyarakat mulai terganggu. Masyarakat Randublatung, Kabupaten
Blora yang merupakan tempat tinggal Samin dan pengikutnya merasa harga dirinya telah diinjak-
injak oleh pemerintah kolonial karena telah merampas hak mereka terhadap pemanfaatan hutan
dengan penetapan berbagai peraturan kehutanan. Selama ini hutan telah menjadi sumber
kehidupan masyarakat. Bagi Samin dan pengikutnya, hutan adalah milik mereka yang merupakan
warisan dari leluhur sehingga tidak boleh ada yang menguasai. Munculnya gerakan Samin juga
tidak dapat terlepas dari faktor geografis. Kawasan Randublatung sendiri merupakan tanah kapur
yang membuat pohon jati tumbuh subur di sana.
Saminisme bukanlah sebuah komunitas yang melakukan perlawanan politik maupun fisik
terhadap kekuasaan (baca kolonialisme) tapi lebih pada ajaran sikap hidup. Sedari awal
kelahirannya Hindu dan Islam memberi peran dalam pembentukan ajaran Saminisme oleh Samin
Surosentiko yang memiliki nama asli Raden Kohar. Menilik nama Kohar sendiri telah tersirat
pengaruh Islam. Ajaran-ajaran religius dan ajaran sosial Saminisme juga mengarah pada substansi
ajaran Islam. Interpretasi atas teks-teks agama yang dilakukan Samin Surosentiko maupun
pemimpin penerusnya mengalami penyesuaian dengan realitas sosial dan budaya setempat. Ajaran
tentang kesalehan religius dan sosial juga mencerminkan pengaruh Islam yang kuat. Masyarakat
samin berada di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat samin berpegang teguh kepada
ajaran Samin Surosentiko yang membentuk kelompok untuk melakukan gerakan menolak
kebijakan kolonialisme. Kemudian ajaran tersebut hingga saat ini masih dipertahankan.
Masyarakat Samin adalah salah satu kelompok masyarakat yang masih terbelakang, namun
memiliki nilai-nilai dan norma yang relevan dengan pendidikan karakter. Ajaran Samin dicetuskan
oleh Samin Surosentiko pada tahun 1890 dan mudah diterima oleh masyarakat Blora. Hal ini
dikarenakan keadaan masyarakat Blora pada abad ke-19 sangat memprihatinkan. Disamping
keadaan alam yang kurang berpotensi, juga adanya tekanan dari pemerintah kolonial yang ditandai
dengan masuknya sistem ekonomi uang, serta tuntutan pajak yang tinggi. Perampasan tanah milik
rakyat yang dijadikan hutan jati milik negara dan masuknya budaya barat membuat Masyarakat
Samin memilih mengasingkan hidupnya dari tekanan hidup yang berlainan dengan mereka.
Terdesaknya nilai-nilai dalam masyarakat membuat warga masyarakat tersentuh oleh ajaran Samin
yang mengalihkan orientasi hidup pada dunia kebatinan.

18
Daftar Pustaka
Apriansyah, H. (2013). Saminisme Dan Islam Jawa. Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11, No. 1, hal
103.

Aziz, M. (2012). Identitas Kaum Samin Pasca Kolonial Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat
Dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Kawistra,
Vol. 1, No. 1, 225-328.

Benda, H. J., & Castle, L. (-). The Samin Movement. Bijdragen tot de Taal, land-en Volkenkunde,
Vol. 125, 225.

Burhanuddin, Mukodi, & Afid. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo.

Hapsari, D. R. (2016). Peran Jaringan Komunikasi Dalam Gerakan Sosial Untuk Pelestarian
lingkungan Hidup. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vo. 1, No.
1, 25.

Hutomo, S. H. (1985). Samin Surosentiko dan Ajaran-Ajarannya, dalam Majalah Basis, Januari.
Yogyakarta: Majalah Basis.

Hutomo, S. S. (1985). Bahasa dan Sastra Lisan Orang Samin. Basis, Januari.

Lestari, I. P. (2013). Interaksi Sosial komunitas Samin Dengan Masyarakat Sekitar. International
Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 5, No. 1, 74-86.

Makin, A. (2016). Challenging Islamic Orthodoxy. Switzerland: Springer.

Melalatoa, M. J. (1995). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal


Kebudayaan.

Mumfangati, T., & dkk. (2004). Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Nurdin, N., & Adzkiya, U. (2021). Tradisi Perlawanan Kultural Masyarakat Samin. Jurnal
Sosiologi Agama: Jurnal ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol. 15, No. 1,
76.

19
Nurmalitasari. (2016). Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani
Kawasan Hutan Di Blora, Skripsi.

Onghokham. (2019). 1979, Peranan Rakyat dalam Politik. Prisma, Agustus, 43.

Peloso, N. L. (1992). Richt Forest, Poor People Resource Control and Resistance in Java.
Berkeley: University of California Press.

Purwanto, A. B. (2011). Samin dan Kehutanan Abad XIX. Yogyakarta: Perpustakaan Sanata
Dharma.

Purwasito, A. (2003). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger.
Yogyakarta: LKis.

Ricklefs, M. C. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Santoso, B. (2016). Hango Puspa Aji: Ajaran dan Sejarah Pergerakan Samin Surosentiko.
Semarang: ELSA Press.

Sastroatmodjo, S. (2003). Masyarakat Samin, Siapakah Mereka? Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Sri, I., & Lestari, P. (2017). Masyarakat Samin Ditinjau Dari Sejarah dan Nilai-Nilai Pendidikan
Karakter . Vol. 13, No. 1, hal 10.

Widiyanto, P. (1983). Samin Surosentiko dan Konteksnya, dalam Majalah Prisma, No. 8, Agustus.
-: Majalah Prisma.

20

Anda mungkin juga menyukai