Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PPKN

PENJELASAN TENTANG SUKU MELAYU

NAMA KELOMPOK

NABILA

ULAA KEYSA ANGGUN

NAYLA OLIVIA

KELAS: X.6

SMAN 1 PUTUSSIBAU UTARA JL.GADJAH MADA NO.2


Kata Pengantar...................................................i

Daftar Isi.............................................................ii

Bab I Pendahuluan

A.Latar Belakang...........................................1

B.Rumusan Masalah.....................................

Bab II Pembahasan

A.Landasan Teori..........................................

B.Hubungan Terbentuknya Identitas Individu atau Kelompok

Terhadap Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia................

C.Kolaborasi Budaya....................................

Bab III Kesimpulan dan Saran

A.Kesimpulan................................................

B.Saran.........................................................

Daftar Pustaka...........................…………………...
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang "PENJELASAN SUKU MELAYU".Sebagai
penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata
bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Kami berharap semoga makalah
yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Putussibau, 17 Januari 2023


BAB 1

PENDAHULUAN
Selanjutnya peneliti hanya akan membahas tentang Etnis Melayu yang bermukim di Batubara. Etnis
Melayu yang ada di Batubara berasal dari Pagaruyung Batu Sangkar, Minangkabau, Kampar dan Siak
yang pada mulanya bermigrasi melalui jalur laut dari sungai yang ada di Bengkalis, dari sinilah proses
penyebaran Etnis Melayu di Batubara. Menurut catatan Anderson bahwa wilayah ini sudah dihuni
sejak tahun 1720 M. Lebih lanjut Anderson menjelaskan bahwa kerajaan Melayu yang ada di
Batubara seperti Istana Lima Laras, Kerajaan Indrapura dan lain sebagainya, masih memiliki
hubungan dengan Kesultanan Siak yang ada di Riau (Anderson, dalam Suriani 2011:2). Corak
kebudayaan yang ada pada Etnis Melayu Batubara mirip dengan orang-orang Minangkabau, seperti
ditandai dengan nama kota kampung dan tata cara mereka dalam bergaul.

Walaupun ada sedikit kemiripan dengan orang Minangkabau, namun corak kemelayuan yang ada di
Batubara masih terlihat, seperti penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, hasil budaya
tenunan yang menjadi sektor ekonomi bagi masyarakat sekitar, dan ditemukannya meriam sebagai
benda peninggalan Sultan Melayu yang pernah menguasai daerah Batubara.

Namun kelompok etnis yang terdapat di Batubara tidak hanya Etnis Melayu melainkan ada Etnis
Jawa, Mandailing, Batak Toba dan lain sebagainya. Untuk memahami konteks keberagaman tersebut
maka perlulah kita pahami yang namanya relativitas budaya. Budaya itu relative, maka tidak ada
standar baku yang bisa diterima oleh semua budaya. Oleh karena itu, apa yang terbaik tentu tidak
sama dengan pandangan orang lain. Salah satu akibat yang disebabkan oleh adanya kerelatifan
budaya itu bisa adalah munculnya sebuah stereotip. Dalam konteks keberagaman etnis terutama
yang ada di Batubara tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pemberian julukan atau label
buruk bagi beberapa etnis yang sering dikenal dengan istilah stereotip. Stereotip itu sendiri adalah
prasangka-prasangka terhadap suatu etnis yang hanya ada di kepala untuk menyederhanakan
gambaran luas yang ada di masyarakat dan diperkecil dalam gambaran di kepala saja.

Sebuah stereotip mengenai suatu kelompok etnis tertentu itu muncul dari pengalaman seseorang
atau sejumlah orang yang menjadi anggota dari kelompok etnis tertentu yang berhubungan dengan
para pelaku dari suatu etnik tersebut. Adapun pengetahuan kebudayaan yang bercorak stereotip,
yaitu mengenai ciri-ciri suatu etnik menjadi pengetahuan yang berlaku umum dalam kebudayaan
dari masyarakat tersebut dan diyakini kebenarannya.

Kajian ilmu sosial atau kajian mengenai keberagaman etnis sering muncul hal-hal yang berkenaaan
dengan stereotip. Sebab sudah merupakan hal lumrah orang yang memberikan julukan stereotip
kepada suatu etnis. Dahulu banyak etnis di Sumatera Utara yang dikaitkan dengan stereotip
tertentu. Sampai saat ini stereotip yang ada di masyarakat semakin berkembang untuk memberi
label khusus pada etnis yang mendapatkan julukan tertentu.

Berkembangnya stereotip yang dahulunya dikenakan kepada setiap etnis merupakan bagian dari
politik pecah belah yang dilakukan oleh Belanda. Tujuannya agar hubungan yang harmonis diantara
sesama etnis tidak terjalin. Dengan kata lain agar sesama etnis itu saling mencurigai satu sama lain.
Sebab biasanya stereotip yang dikenakan kepada suatu etnis yang mengandung sesuatu yang
negatif dalam arti menonjolkan anggapan yang tidak baik, seperti halnya julukan “kojo saibu tak kojo
mangatus kojo tak kojo saibu mangatus” yang artinya kerja dapat seribu tak kerja dapat lima ratus
kerja tak kerja dapat seribu lima ratus. Stereotip tersebut memiliki pengaruhnya terhadap etos kerja
masyarakat Melayu, dimana etos kerja tersebut merupakan sikap, karakter, tingkah laku seorang
individu dalam memaknai sebuah pekerjaan yang sedang ia tekuni.

Stereotip tersebut memiliki pengaruhnya terhadap etos kerja masyarakat Melayu, dimana etos kerja
tersebut merupakan sikap, karakter, tingkah laku seorang individu dalam memaknai sebuah
pekerjaan yang sedang ia tekuni.

Stereotip mengenai Melayu malas merupakan sebuah citra diri terhadap Etnis Melayu yang
memandang Etnis Melayu itu termasuk ke dalam kategori masyarakat yang malas untuk bekerja,
artinya disini masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang memiliki karakter yang sangat santai
dalam bekerja. Pemicu utamanya adalah karena di pengaruhi oleh kondisi geografis yang
mendukung, sebab masyarakat Melayu yang ada di Desa Nenassiam merupakan kelompok etnis
yang tinggal dan menetap di daerah pesisir yang ada di Batubara tepatnya di Kecamatan Medang
Deras, dengan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung maka
masyarakat Melayu dapat dengan mudah untuk mengais rezeki dengan menjadi nelayan, namun
yang di sayangkan adalah masyarakat Melayu hanya berfokus untuk menjadi nelayan tanpa ingin
beralih profesi ke pekerjaan yang lainnya. Hal inlah yang membuat masyarakat Melayu masih
dipandang sebagai masyarakat yang pemalas.

Akibat adanya kemalasan tersebut maka masyarakat Melayu pesisir khususnya yang ada di Desa
Nenassiam terlihat terpinggirkan dengan tidak didukungnya sarana dan prasarana serta akses
pendukung lainnya untuk mengembangkan desa mereka. Penduduk Desa Nenassiam masih banyak
juga yang tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya, sektor perekonomian penduduknya juga
masih terbilang rendah, dan kondisi kebersihan lingkungannya juga terlihat kotor.

Stereotip yang berkembang saat ini memicu timbulnya ketidaknyamanan dalam berhubungan
dengan masyarakat lainnya. Adanya julukan-julukan negatif yang berkembang saat ini dapat menjadi
pemicu potensi terjadinya konflik antar kelompok etnis khususnya orang Melayu. Namun pandangan
dari masyarakatnya sendiri tidak terlalu menanggapi atau memberikan pengaruh besar di lingkungan
sosialnya, justru stererotip tersebut hanya ditanggapi dengan santai dan dianggap hanya becandaan
atau seloroan saja. Padahal jika kita sadar bahwa stereotip atau julukan yang diberikan oleh
masyarakat yang menjadi pemilik budaya ataupun masyarakat diluar dari pemilik budaya dapat
berakibat pada hubungan sosial dimasyarakat, misalnya saja masalah pekerjaan, adat perkawinan,
politik, pendidikan, sosial budaya dan lain sebagainya.

Bertolak dari fenomena-fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut agar
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam “stereotip melayu malas dan pengaruhnya pada etos
kerja”.

A. Latar Belakang

Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh keanekaragaman etnis yang tercakup di


dalamnya, seperti Etnis Batak, Etnis Jawa, Etnis Melayu, Etnis Minang, Etnis Bugis dan lain
sebagainya. Keanekaragaman tersebut memiliki corak yang khas pada kebudayaan yang dibawa oleh
masing-masing etnik. Setiap suku bangsa memiliki identitas keetnisannya untuk membentuk sebuah
ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan suku bangsa lainnya. Termasuk Etnis Melayu yang
memiliki kekhasannya sebagai etnis yang beragam dan mempunyai corak kebudayaan yang berbeda.
Etnis Melayu merupakan suku bangsa yang hampir ada disetiap pesisir pantai di Indonesia, termasuk
salah satunya Etnis Melayu yang ada di Batubara.

Etnis Melayu merupakan salah satu etnis yang terbesar di Indonesia setelah Jawa dan Batak. Ciri
khasnya mereka bermukim di pesisir – pesisir pantai khususnya Sumatera dan Kalimantan. Nama
Melayu mulai dikenal pada masa berdirinya Kerajaan Malayu di wilayah Sungai Batanghari, Jambi.
Dari sini kemudian tersebar hingga ke Semenanjung Melayu. Rumpun sub Etnis Melayu yang ada di
Indonesia, antara lain sebagai berikut Melayu Deli, Melayu Tamiang, Melayu Riau, Melayu Jambi,
Melayu Bengkulu, Melayu Bangka, Melayu Palembang, Melayu Pontianak dan lain sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang ada di makalah ini adalah :

Apa arti budaya?

Apa saja kebudayaan Melayu?

Apa arti Melayu?

Bagaimana asal usul bangsa Melayu?

Bagaimana perkembangan kerajaan Melayu?


BAB 2

PEMBAHASAN

Suku Melayu merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia. Umumnya, masyarakat
suku ini bermukim di Pulau Sumatera bagian selatan, barat, dan Pulau Kalimantan. Ras Melayu
terbagi atas beberapa rumpun, hal itu juga yang membedakan etnis Melayu di berbagai wilayah.
Di Indonesia sendiri, ras Melayu dibagi menjadi dua bagian, yaitu Melayu Deautro (rumpun Melayu
Muda yang datang di zaman logam abad 500 SM), dan Melayu Proto (rumpun Melayu Tua yang
menginjakkan kaki di Sulawesi, Kalimantan, Lombok, Sumatera, dan Nias di tahun 1500 SM).

A.Landasan Teori:

Sistem kemasyarakatan yang mempunyai kegayutan dengan tata rancang arsitektur Melayu adalah
tentang adat resam, tanggap terhadap iklim setempat yang berkaitan dengan konsep
kemasyarakatan dan sistem keagamaan dan syariatnya. Konsep kemasyarakatan melayu mencari
perpaduan yang serasi antara tiga kepentingan pribadi agama, adat resam dan perilaku alam
semesta yang ensensial. Adat resam ini dilandaskan pada dasar ‘ tiga tungku sejarangan ‘ artinya
segala sesuatu perbuatan hanya sempurna adanya jika dirundingkan dengan 3 tingkatan
kekeluargaan perkauman yaitu aluran mertua, aluran anak dan aluran menantu. Yang dipentingkan
adalah kemaslahatan bersama dengan mengakomodasi perubahan kemajuan jaman.

Iklim alam merupakan hal yang menjadi perhatian bagi perancangan sistem bangunan masyarakat.
Alam bagi masyarakat melayu dimaknai sebagai guru pusaka yang aktif tidak pasif belaka.
Masyarakat melayu mengutamakan alam terbuka, menyatu dengan kondisi alam dan udara yang
bergerak mengalir. Penghawaan rumah banyak diupayakan mengalir sejuk dengan banyaknya pintu
dan jendela sera angin – angin yang berukir indah. Sesuai dengan iklim 70.

Masyarakat melayu juga gemar akan keindahan atau estetika yang tergambar pada uraian pantun
dan seloka disamping tergambar pada ukiran ornamen yang indah menawan. Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa budaya melayu merupakan budaya yang memilki jiwa
kemasyarakatan , rasa saling hormat kepada sesama atau yang lebih tua, cinta terhadap lingkungan
dan iklim alam yang dimaknai dengan guru pusaka, cinta terhadap seni yang diutarakan melalui seni
ukiran, cara berpikir yang religius.
B. KOLABORASI

Provinsi Kalimantan sebagai wilayah yang kental dan memiliki jejak sejarah
kebudayaan yang kuat akan budaya Melayu bertekad untuk dapat menjaga
eksistensi kebudayaan Melayu dan sekaligus memiliki visi untuk menjadikan kalimantan
sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Hal penting yang harus
dilakukan adalah bagaimana agar budaya Melayu dapat menjadi sebuah
identitas yang melekat kuat di masyarakat. Upaya ini tentunya tidak terlepas dari
adanya Kolaborasi dari berbagai pihak seperti Dinas Kebudayaan, Lembaga
Adat Melayu, dan pihak lain yang terlibat dalam pelestarian budaya Melayu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kolaborasi yang
dilakukan oleh pihak-pihak tersebut dalam melestarikan budaya. Metode analisa
data yang di pakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu berusaha
memaparkan data yang ada dari berbagai sumber dan menghubungkan
fenomena-fenomena yang ada serta menelusuri segala fakta yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa Dinas Kebudayaan dan Lembaga Adat Melayu memiliki
kebijakan dalam melestarikan budaya Melayu yaitu mematenkan warisan budaya
daerah dan mewajibkan setiap sekolah dan Instansi Pemerintah yang berada di
Kalimantan untuk menggunakan Busana Melayu pada hari tertentu serta pelestarian dan
pengembangan nilai dan seni budaya melayu seperti pantun, syair, gurindam,
kompang, silat, dan seni budaya melayu lainnya yaitu pembakuan tari
persembahan, pelestarian warian budaya tak benda seperti pacu jalur,
menumbai, koba, serta melakukan sosialisasi budaya melayu pada generasi
muda, pelajar dan mahasiswa. Selain itu LAM Kalimantan juga mendorong terbentuknya
Desa Adat sebagai amanat dari UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa”.
BAB 3

A.KESIMPULAN

Berdasarkan keseluruhan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pada intinya dalam
menyelesaikan konflik masyarakat Melayu Palembang lebih banyak diselesaikan melalui
musyawarah. Hal ini karena masyarakat Melayu Palembang lebih mengedepankan perdamaian
sesuai dengan ajaran Islam yang telah menjadi landasasan nilai dalam kehidupan. Dengan slogan
Melayu identik dengan Islam dan Islam identik dengan Melayu. Jadi Melayu dan Islam merupakan
dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam masyarakat Melayu Palembang saat ini telah terjadi kecenderungan penguatan identitas
kemelayuan. Misalnya, dapat diidentifikasi dari fakta yang ada di lapangan, di maa

masyarakat Melayu Palembang cenderung mengidentifikasikan dirinya sebagai pewaris sah kejayaan
kesultanan Melayu di masa lalu. Di Palembang salah satu organisasi yang aktif memperkuat identitas
kemelayuan di kawasan Sumatera adalah Kerukunan Keluarga Palembang yang merupakan
keturunan sultan. Mereka ingin membangkitkan kembali ikon- ikon identitas kemelayuan di
Palembang dengan cara melantik sultan, mengadakan festival budaya Palembang dan seni
kemelayuan Nusantara. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa
identitas kemelayuan di daerah tersebut masih ada hingga kini.

Dalam perspektif sejarah, Palembang pernah dikenal sebagai “ibukota tidak resmi ekonomi” sebab
posisinya sangat strategis sebagai pusat perdagangan dan bisnis. Karena posisinya yang strategis,
Palembang yang secara sosio-kultural masyarakatnya mengidentifikasikan diri sebagai rumpun etnis
Melayu, seperti diakui oleh Russel.

Berkaitan dengan konflik pendatang, khususnya etnis Cina dan Arab Hadrami dengan penduduk
pribumi Palembang, sejauh ini masih dalam batas-batas yang wajar. Dalam sejarah, misalnya, konflik
Arab Hadrami dengan kesultanan Palembang pernah terjadi. Demikian pula konflik antara etnis Cina
dengan pribumi Palembang juga pernah terjadi pada medio Mei 1998. Peristiwa medio Mei 1998
bukan hanya terjadi di Palembang, tetapi hampir di seluruh tanah. Konflik yang terjadi antara etnis
Cina dan Arab Hadrami sejauh ini lebih banyak disebabkan oleh politik dan ekonomi, bukan akibat
proses sosial-budaya.

Relasi pendatang dengan penduduk pribumi Palembang kalau dilihat dari pandangan teori asimilasi
telah terjalin dengan harmonis. Meskipun akibat politik segregasi di zaman penjajah Belanda di
mana pemukiman masyarakat Cina Palembang dapat kita lihat jejak sejaranya terdapat di wilayah 7
Ulu yang secara administratif, termasuk wilayah Kelurahan 7 Ulu, kecamatan Seberang Ulu I,
Palembang disebut “Kampung Kapitan”. Sedangkan etnis Arab Hadrami berdomisili di kampung 7
Ulu kepala keluarga besar ada Klan Barakah, kampung 10 Ulu Klan Alkaf, kampung 13 Ulu Klan al-
Munawar, kampung 14 Ulu Klan al- Mesawa, kampung 16 Ulu Klan Assegaf, dan kampung 15 Ulu
Klan Aljufri. Sementara di daerah seberang Ilir, kepala keluarga besarnya di kampung 8 Ilir adalah
Klan Alhabsyi dan Klan Alkaf. Klan-klan ini kemudian disebut “Kampung Arab”

Dalam masyarakat Melayu Palembang telah terjadi kesadaran stratifikasi sosial. Sejak masa
kesultanan Palembang bahwa orang Palembang asli telah memiliki kesadaran kelas, akibat pengaruh
budaya Jawa yang disesuaikan budaya lokal Palembang. Kesadaran kelas tersebut dengan jelas dapat
dilihat dalam identitas pemakaian gelar di kalangan lingkungan kraton. Berbeda dengan bahasa
Palembang Alus, identitas pemakaian gelar masih tetap hidup dalam kalangan masyarakat
Palembang. Identitas gelar tidak saja berlaku sebagai pembeda antara kelas bangsawan, priyayi,
dengan kelas rakyat, namun juga di kalangan priyayi itu sendiri.Elite tradisional yang masih terdapat
di Palembang membentuk masyarakat dengan stratifikasi sosial yang didasarkan atas tingkat
kebangsawannya, seperti Raden, Masagus, Kiagus, dan Kemas untuk bangsawan laki-laki. Sedangkan
untuk gelar kebangsawanan wanita, yaitu, Raden Ayu, Masayu, Nyiayu, dan Nyimas. Di samping itu
terdapat kelas rakyat jelata yang sering memakai sebutan Si.

Dalam Palembang hingga saat ini. Salah satu contoh asimilasi dan akulturasi budaya pernikahan
adalah legenda Pulau Kemaro, arsitektur Masjid Agung Palembang, Masjid Cheng Ho, dalam
perspektif antropo-religius, akulturasinilai-nilai keislaman dalam tradisi dan budaya masyarakat
Palembang tidak terlepas dari latar historis terkait dengan kedatangan dan proses penyebarannya
ajaran Islam dalam masyarakat Palembang. Di sinilah salah satu peran yang dimainkan oleh para
ulama, termasuk lembaga pendidikan Islam, dalam masyarakat Melayu Palembang sebagai broker
culture.

B.SARAN

Sebelum mengakhiri tulisan ini penulis ingin memberikan saran kepada para pihak yang
berkompeten dalam bidang ini, para pembaca, khususnya masyarakat Melayu kalimantan sebagai
berikut :

1. Kepada para pembaca, khususnya masyarakat Melayu Riau penulis sarankan agar menggunakan
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Kepel Press

Al-Mudra, Mahyudin. 2008. Redefinisi Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengabdian Budaya
Melayu

Bruner, E.M. (1984) ‘Introduction: the opening up of anthropology’, in E.M.Bruner (ed.), Text, Play,
and Story: the Construction and Reconstruction of Self and Society , Proceedings of the American
Ethnological Society 1983:1–16
al-shulh dalam pembagian harta warisan, karena al-shulh merupakan solusi terbaik untuk mnyikapi
perbedaan kondisi ekonomi/ kebutuhan para ahli waris.

2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpunan hukum waris Islam yang lengkap, baik yang
tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim
dapat menyusun himpunan hukum waris Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab
tertentu, tetapi memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman
B. IDENTITAS BUDAYA

Identitas budaya kita sebagai bangsa Indonesia identic dengan kemelayuan, dan kemelayuan kita
tidak lain ialah ke-Indonesiaan. Akan tetapi, terpaan pengaruh kebudayaan asing di era globalisasi
dewasa ini sangat kuat dan dominan, di hampir semua aspek kehidupan bermasyarakat. Bahkan,
semua aspek kehidupan kita sehari-hari telah dijangkiti dengan sangat mendalam oleh pengaruh cita
rasa asing, seperti selera makanan (kuliner), selera pakaian, selera bentuk arsitektur rumah, selera
music, dan bahkan selera berbahasa. Perhatikanlah trend di dunia kuliner, hampir semua restoran
elite di semua kota-kota di seluruh Indonesia diramaikan oleh aneka restoran Jepang, restoran
Korea, restoran Chinese, restoran Italia, restoran Timur Tengah, dan restoran Mexico. Bahkan aneka
makanan siap saji Kentucky Fried Chicken, Texas, dan lain-lain sejak lama sudah menjadi makanan
favorit di kalangan anak- anak muda, termasuk anak-anak dan orang tua.

Selera berpakaian dan selera music juga demikian. Cara orang, terutama di kalangan generasi muda
berbicara dengan menggunakan istilah-istilah campuran dengan bahasa Inggeris sangat menonjol
dalam setiap pembicaraab sehari-hari. Untuk daya tarik pemasaran (marketing) hampir semua
kompleks perumahan baru dan apartemen-apartemen mewah oleh para pengembangnya diberi
nama-nama asing. Demikian pula toko-toko swalayan, mall, pasar raya ̧diberi nama dan istilah-istilah
asing, seperti ‘junction’, ‘city-hall’, ‘town square’, ‘Grand Indonesia’, ‘Senayan Plaza’, ‘Ancol
Mension’, dan sebagainya. Bahkan, kompleks kuburan modern pun diberi nama ‘Sun Diego Hill’.
Pendek kata, tanpa disadari, selera dan cita rasa hampir semua orang telah mengalami pembaratan
atau westernisasi. Bahkan music dangdut saja yang dikenal sebagai aliran music campuran antara
tradisi Melayu plus India, sekarang sudah dimasuki oleh pengaruh barat, sehingga warnanya sudah
jauh berbeda. Semua ini mencerminkan begitu besar dan dominannya pengaruh budaya barat
dewasa ini dalam perkembangan kebudayaan nasional Indonesia sehari-hari.

Di era globalisasi kebudayaan dewasa ini, semua pengaruh kebudayaan asing ini merupakan
kenyataan yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat posisi
tawar tradisi budaya local bangsa kita sendiri agar dalam menghadapi aneka pengaruh budaya asing
itu dapat terbuka adanya akulturasi yang seimbang. Dalam dinamika persilangan budaya dan
hubungan saling pengaruh mempengaruhi antar kebudayaan dapat berlangsung dengan rasional dan
memberi pilihan-pilihan kreatif dan dialogis bagi setiap insan kebudayaan untuk
memperkembangkan jatidiri dan kepriadian budayanya masing-masing. Bangsa kita tidak boleh
dibiarkan tercerabut dari akar budayanya

sendiri karena harus melayani pengaruh budaya asing yang sangat dominan dan hegemonic. Untuk
itu, diperlukan upaya bersengaja untuk melakukan revitalisasi aneka adat istiadat dan tradisi budaya
local dalam menghadapi arusan pengaruh budaya asing tersebut.

Kebudayaan nasional, identitas budaya dan kepribadian nasional haruslah merupakan hasil atau
‘resultante’ dari dinamika persaingan, perbenturan, atau pun pertarungan budaya antara tradisi
local dengan pengaruh global. Untuk itu, posisi tawar tradisi local dan adat istiadat masyarakat
daerah-daerah di seluruh nusantara harus diperkuat sebagaimana mestinya. Jika tidak tentulah
segenap anak bangsa akan kehilangan jatidiri masing-masing sebagai orang Indonesia yang
berkepribadian Indonesia. Kita tidak perlu menutup diri dari pengaruh budaya asing, tetapi kita juga
tidak boleh membiarkan tradisi budaya bangsa sendiri yang kita warisi dari para leluhur tergilas oleh
zaman, dan kita sebagai anak bangsa tercerabut dari akar budaya kita sendiri.

Untuk itu kita perlu membangun jembatan kebudayaan antara tradisi local dengan ide-ide yang baik
yang datang dari luar. Tidak boleh dibiarkan ada jarak yang menganga terlalu lebar antara dunia ide-
ide yang berasal dari pendengaran, penglihatan, dan bacaan kita tentang realitas yang berasal dari
dunia luar kesadaran sejarah bangsa kita dengan tradisi-tradisi yang tercermin dalam perilaku kita
sehari-hari yang berasal dari warisan-warisan sejarah dari masa lalu kehidupan orangtua dan nenek
moyang kita. Tidak boleh dibiarkan ada jarak antara dunia ide kita dengan dunia perilaku kita sehari-
hari. Ide-ide modern yang berasal dari luar sudah banyak yang kita institusionalisasi menjadi
lembaga- lembaga resmi dalam kehidupan kenegaraan, tetapi sepanjang ide-ide itu belum
berkembang menjadi tradisi yang menyejarah, sudah tentu akan terus ada jarak antara institusi yang
kita bangun dengan tradisi budaya yang menopang keberadaan dan efektifnya fungsi kelembagaan
itu masing-masing.

Jembatan kebudayaan yang saya maksudkan itu tidak lain adalah agenda revitsalisasi adat istiadat,
lembaga-lembaga adat dan penguatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang oleh Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas dijamin eksisternsinya. Untuk itu, pemerintah daerah di seluruh
Indonesia harus membangun kesadaran baru tentang pentingnya penguatan kesadaran budaya
daerahnya masing-masing. Mungkin saja aka nada kritik yang ditujukan kepada semangat untuk
menghidupkan semangat yang bersifat primordial kedaerahan dan semangat kesukuan ini. Akan
tetapi, secara positif, muncul dan berkembangnya kesadaran kedaerahan ini penting untuk
mengimbangi arus derasnya pengaruh budaya asing yang bersifat hemenonik tanpa tandingan dari
tradisi budaya local. Yang penting bukanlah semangat kedaerahan dan kesukuannya itu sendiri,
tetapi yang penting justru terletak pada hasil dari pergumulan saling pengaruh mempengaruhi
antara budaya local dan budaya asing itulah yang kelak secara kreatif akan membentuk kesadaran
baru dalam bentuk dan bingkai kebudayaan nasional Indonesia modern.

Anda mungkin juga menyukai