Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Raihan Abdurrahman Pangestu


Nama Mahasiswa : ………………………………………………………………………………………..

048907185
Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : ………………………………………………………………………………………..

Sosial Budaya
Kode/ Nama Mata Kuliah : ………………………………………………………………………………………..

21/UT Jakarta
Kode/Nama UPBJJ : ………………………………………………………………………………………..

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1.Multikulturalisme Dalam Era Globalisasi
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif paling anyar dalam khazanah ilmu
pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan
perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era global, era dunia terbuka
dan era demokrasi kehidupan. Akan tetapi multikulturalisme yang ada pada bangsa ini sudah lama kita
kenal karena bangsa ini adalah bangsa yang pluralis, yakni bangsa yang multi budaya, multi kultur,
multi bahasa, multi etnis, dan multi agama. Ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia adalah bangsa
yang besar dan bangsa yang multikutural.
Era globalisasi telah membawa bangsa Indonesia kepada paham kapitalis dan materialis, yang
semuanya mengadopsi sistem Barat tanpa adanya filterisasi akan kepentingan yang ada. Sehingga
muncul dalam kehidupan di negeri ini paham Barat adalah sebuah kemajuan dan kemodernan. Padahal
jelas bahwa bangsa Indonesia secara kultur dan budaya tidak sama dengan bangsa Barat.
Perkembangan Multikulturalisme juga didorong oleh keterbukaan kehidupan manusia karena
terbentuknya apa yang disebut the global village (kampung global). Terutama didorong oleh kemajuan
teknologi komunikasi, hubungan antarmanusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu sehingga
timbullah rasa persaudaraan dan juga rasa permusuhan yang dimungkinkan oleh hubungan global yang
semakin erat.
Pada masyarakat multikultur, mereka memiliki tipe atau pola tingkah laku yang khas. Sesuatu yang
dianggap sangat tidak normal oleh budaya tertentu tetapi dianggap normal atau biasa-biasa saja oleh
budaya lain. Perbedaan semacam inilah yang sering menyebabkan kontradiksi atau konflik,
ketidaksepahaman dan disinteraksi dalam masyarakat multikultur.
Contoh : Kerusuhan berbau SARA yang merebak di banyak tempat di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia seperti di wilayah Ambon, Poso, Sampit dan sebagainya, merupakan bagian dari
adanya kesalahpahaman. Dari banyak studi yang dilakukan, salah satu penyebabnya adalah akibat
lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang adanya sebuah perbedaan. Di zaman orde baru, dengan
diselimuti kata “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu berusaha untuk membuang potensi
benturan atas dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Namun ketika Orde Baru runtuh,
terlihatlah jurang pemisah antarsuku, ras, agama dan golongan yang berakibat terjadinya kerusuhan
Mei 1998 yang menewaskan kurang lebih 1000 orang (mayoritas keturunan Tionghoa) di Jakarta yang
pada dasar permasalahannya adalah adanya ketidakadilan. Selain masalah terjadinya kerusuhan yang
berbau ras, ada juga beberapa wilayah seperti, Aceh, Maluku dan Papua yang berusaha memisahkan
diri dari negara Republik Indonesia, yang akar masalahnya adalah adanya pengerukan sumber daya
alam yang besar namun tidak membawa perubahan pada masyarakat dan daerah sekitar tapi malah
membawa perubahan pada daerah yang sebenarnya punya potensi alam yang sedikit. Hal-hal seperti itu
tidak akan terjadi seandainya kita bisa menghargai satu sama lain dan tidak berusaha untuk menang
sendiri, lebih-lebih pada era globalisasi yang sangat rentan terhadap intervensi pihak luar dalam urusan
lokalitas di Indonesia. Hal tersebut mengharuskan kepada kita untuk menyiapkan diri menghadapi era
globalisasi dengan peningkatan kualitas diri melalui jalur pendidikan.
Sebagai konsekuensi logis dalam kehidupan di era plural, kenyataan multikulturalisme tidak dapat
dihindarkan, karena itu pendidikan yang terkait dengan multikultural adalah keharusan (Ruslan, 2008:
119). Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana
baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam
menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras,
agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik
pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman
budaya. Melihat alasan-alasan itulah penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang
wacana pendidikan multikultural di Indonesia pada era Globalisasi melalui sebuah makalah yang
berjudul ”Peran Pendidikan Multikultural di Indonesia pada Era Globalisasi”.

2. STEREOTIPE
Stereotip adalah sebuah keyakinan positif ataupun negatif yang dipegang terhadap suatu kelompok
sosial tertentu. Setelah munculnya stereotip maka akan munculah prejudice/ prasangka yang merupakan
sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap anggota kelompok terebut, prasangka dapat berupa
perasaan tidak suka, marah, jijik, tidak nyaman dan bahkan kebencian. Setelah munculnya steretip dan
prasangka akhirnya dapat muncul diskriminasi yang merupakan perilaku negatif yang tidak dibenarkan
pula untuk anggota kelompok tersebut ( Stangor, 2011). Stangor ( 2011) melanjutkan bahwa stereotip
itu berada dalam ranah kognitif sedangkan prasangka dalam ranah afektif dan diskriminasi berada
dalam ranah perilaku yang munculnya. Namun ternyata pengaruh lebih lanjut karena stereotip bukan
hanya pada perilaku kita saja, tetapi juga perilaku korban stereotip ketika kita berinteraksi dengan
mereka yang bisa menjadi dugaan pemuas diri sehingga lebih merusak. Misalnya anggota kelompok
tersbut mulai melakukan sesuatu sesuai dengan stereotip itu dan menampilkan karakteristik yang sesuai
dengan stereotip tersebut. Kalau stereotip itu hal positif tentunya akan jadi baik, tapi apa jadinya jika
stereotip yang ditanamkan adalah hal negatif ( Sears; Freedman & Peplau, 1985).
Stereotip itu ada yang positif dan ada yang negatif , Contohnya pada etnis di Indonesia
• etnis minang/padang, stereotip positifnya adalah pekerja keras dan pedagang namun setereotip
negatifnya adalah keras kepala dan egois. Nah oleh karena adanya stereotip tersbut akhirnya ketika kita
bertemu dengan orang padang munculah prasangka-prasangka sehingga perilaku kita pun
menyesuaikan dengan stereotip tersebut padahal belum tentu orang minang/padang yang kita temui
adalah orang yang kerasa kepala, egois, pekerja keras dll. Inilah bahayanya jika kita berperilaku sesuai
dengan stereotip yang berlaku.
• etnis papua, yang terkenal dengan keprimitifan dan agresifitas yang tinggi namu faktanya tidak
semua orang papua demikian, papua tetap ada wilayah kota nya tidak semua pedalamannya. Meskipun
sebagian besar iya, sangatlah berbahaya jika kita menganggap semua orang papua primitif dan agresif
karena stereotip yang ada.
• etnis batak , orang batak terkenal dengan volume suara yang keras dan nada suara yang tinggi
sehingga terdapat stereotip bahwa karakternya pun demikian, keras dan kasar. Padahal faktanya
meskipun sebagian besar demikian belum tentu orang batak yang kita jumpai demikian karakternya,
sehingga tidak tepat jika kita ikut berperilaku sesuai dengan stereotip yang ada.
• etnis sunda, dari suaranya orang sunda terkenal dengan suara yang lembut dan mengalun
sehingga terdapat stereotip positif bahwa karakternya nya lemah lembut dan sopan serta terdapat
stereotip negatif nya kurang power atau kurang semangat ketika beraktifitas. Nah stereotip positif dan
negatif terhadap orang sunda tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk kita berperilaku, karena
sejatinya meskipun sebagian besar demikian tidak berarti jadi semuanya seakan demikian ya.
Sekarang kita masuk ke contoh diluar indonesia , misalnya
• etnis china/tionghoa nih yang terkenal di indonesia. Etnis china ini stereotip negatifnya adalah
orang yang kasar, pelit, keras dan tidak berperasaan. Sedangkan stereotip positifnya adalah pekerja
keras dan hemat. Nah meskipun ada stereotip tersebut faktanya belum tentu semua etnis china itu kasar,
pelit, keras, tidak berperasaan, pekerja keras, hemat dll. Karena adanya stereotip tersebut tidak tepat
jika kita berprasangka dan berperilaku sesuai dengan stereotip tersebut.
• Selanjutnya orang arab nih, orang arab saat ini memiliki stereotip positif religius/rajin
beribadah, berhijab, kaya raya dengan minyaknya dan stereotip negatifnya adalah adanya penindasan
terhadap kaum perempuan, teroris, kekerasan dan orang arab tinggal di gurun. Padahal faktanya belum
tentu semuanya tepat misalnya tidak semua orang arab rajin beribadah bahkan ada yang non muslim,
tidak semua orang arab berhijab, tidak semua orang arab kaya karena minyaknya, tidak semua orang
arab melakukan penindasan dan kekerasan khusunya terhadap perempuan, tidak benar orang arab itu
teroris karena mayoritas penduduknya islam karena islam bukan berarti teroris dan tidak semua orang
arab tinggal di gurun. Nah karena stereotip yang berkembang, kita akhirnya berperilaku sesuai dengan
stereotip yang berlaku yang jelas menimbulkan kesalahpahaman yang fatal.
• Negara selanjutnya misalnya polandia, menurut Sears, Freadman, Peplau (1985) di polandia
terdapat stereotip negatif bahwa orangnya canggung/ tidak supel saat berinteraksi. Oleh karena adanta
stereotip tersbut akhirnya orang pun beranggapan demikian sehingga enggan untuk berinteraksi bahkan
orang polandianya sendiri karena ada stereotip tersebut membuat mereka benar-benar berperilaku
sesuai dengan setereotipnya, hal inilah yang dianggap berbahaya.
• Contoh lainnya adalah negara India, yang mengejutkan di India ini sangat banyak sekali
stereotip negatif nya dibandingkan positifnya. Stereotip positif di India adalah bahwa orang india
berkulit putih dan memiliki kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Sedangkan stereotip
negatifnya adalah india adalah negara miskin, india adalah negara pemikat ular, india adalah negara
yang kotor, india adalah negara yang kurang berpendidikan, orang india menari dan bernyanyi pada
setiap aktifitas hidupnya dan semua pernikahan diatur oleh orang tua. Faktanya tidak semuanya
demikian, tidak semua orang india berkulit putih , tampan dan cantik seperti artis dan aktor bollywood,
india adalah negara berkembang bukan negara miskin, di india ular yang menawan itu ilegal sudah
berlaku beberapa tahun, tidak semua kota di india itu kotor, tidak semua orang india tidak berpendidikan
jtru sekarang banyak pakar IT berasal dari India, tidak benar jika aktifitas orang india menyanyi dan
menari seperti dalam film bollywood dan karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi sekarang ini tidak
benar semua pernikahan di india diatur oleh orang tua. Karena stereotip yang ada kita jadi berperilaku
dan berpandangan yang kurang tepat.
Setelah stereotip tentang berbagai etnis dan negara saatnya contoh yang krusial namun seringkali
dilupakan yaitu setereotip tentang gender dan perannya.
• Misalnya dalam aspek fisik, stereotipnya adalah laki laki lebih kuat dibandingkan dengan
perempuan dan perempuan lebih lemah dibandingkan laki laki, padahal faktanya meskipun sebagian
besar seperti itu berarti tidak semuanya seperti itu dong, semuanya tergantung latar belakang masing
masing, ada lelaki yang lebih lemah dari segi fisik dibandngkan perempuan, begitupun sebaliknya.
• Selanjutnya aspek emosional, lelaki memiliki stereotip yang kasar, tidak berperasan, tidak peka
dan menakutkan. Perempuan memiliki stereotip yang tenang, lembut, emosional dan terlau baper (
bawa perasaan). Padahal meskipun kebanyakan seperti itu belum tentu semuanya seperti, ada lelaki
yang begitu lembut dan peka dan ada perempuan yang kasar dan tak berperasaan. Jad tidak tepat jika
kita berperilaku sesuai stereotip tersebut.
• Aspek selanjutnya adalah sosial, laki laki kurang berkomunikasi dan cenderung kurang supel
dan perempuan lebih supel karena kecerewetannya. Ini tidak tepat ya tidak semuanya demikian adanya,
tergantung latar belakang dan tidak bisa disamaratakan begitu saja.

3. Multikulturalisme dapat disebut sebagai paham tentang “kesetaraan dalam perbedaan”(Bhiku


Parekh 2008: 322) atau “kesetaraan dalam keberagaman”. Dalam rumusan tersebut terkandung
pengertian bahwa multikulturalisme merupakan paham yang mengakui adanya perbedaan atau
keberagaman dalam masyarakat, yang antara lain keberagaman budaya. Selain itu, hal yang jauh lebih
penting adalah bahwa multikulturalisme merupakan paham yang memandang bahwa masyarakat yang
berbeda budaya atau perbedaan budaya itu memiliki “kesetaraan” atau “kesederajatan”. “Kesetaraan”
yang dimaksud adalah kesetaraan dalam penghormatan atau penghargaan. Dalam hal ini masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain yang berbeda budayanya memperoleh penghormatan atau
penghargaan yang sama atau saling menghormati agar tercipta perdamaian dalam kehidupan bersama
(periksa juga Nugroho 2011: 15).
Contohnya adalah Kesetaraan Gender dalam dunia hukum dan politik. Yaitu keterlibatan perempuan
dalam sebuah kepemimpinan dalam birokrasi.
Dampak dari kesetaraan tersebut
• berakhirnya diskriminasi terhadap semua perempuan karena jika diskriminasi tidak ada maka
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan terminimalisir bahkan bisa hilang,
• kemudian meningkatnya pelayanan umum dan kebijakan publik yang lebih pro terhadap
perempuan sehingga perempuan akan memberikan partisipasi penuh dan efektif.
• Dan yang terakhir kesempatan yang sama untuk kepemimpinan di semua tingkat pengambilan
keputusan dalam kehidupan politik yang tentunya telah melalui kesepakatan bersama dari semua pihak
dan sesuai atas dasar undang-undang yang berlaku. Dengan berbagai upaya untuk mewujudkan
kesetaraan gender tersebut setidaknya akan membantu untuk meminimalisir terjadinya diskriminasi
atau kesenjangan bagi kaum feminisme tersebut. Sehingga jika kesenjangan ini mulai berkurang maka
tingkat kesejahteraan, kemakmuran, serta kesetaraan dapat tercapai dan berjalan dengan baik. Kita
sebagai kaum millenial harusnya berusaha memperjuangkan hak perempuan untuk mencapai
kesetaraan gender tersebut, karena tidak ada maknanya kesetaraan gender kalo kita tidak
memperjuangkannya.

Referensi:
-Buku materi pokok MKDU4109/3SKS/MODUL1-9
-Bhikhu Parekh. 2008. Rethingking Multiculturalism. Diterjemahkan dari buku RETHINGKING
MULTICULTURALISM: Cultural Diversity and Political Theory oleh C.B. Bambang Kukuh Adi.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-Sears, Freadman, Peplau. ( 1985). Psikologi Sosial. Jilid 2 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
-Stangor, C. ( 2011). Social Psychology Principles. Volume 1. Flat World Knowledge.

Anda mungkin juga menyukai