Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TANTANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah
masyarakat.Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai kebudayaan. Seperti: tari-tari an, musik,
rumah adat, pekaian, senjata dan pola hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok
merupakan contoh yang dapat kita definisikan sebagai contoh dari kebudayaan. Contoh-
contoh tersebut lah yang sering kita bahas dalam lingkup pendidikan. Pembahasan tentang
kebudayaan pun sangat banyak sekali yang tidak akan selesai dalam membahasnya karena
kebudayaan terus berlangsung, baik faktor pendorongnya maupun faktor penghambatnya.
Suatu kebudayaan tidak bisa kita nyatakan berjalan hanya saat kebudayaan tersebut
berkembang, karena kebudayaan yang belum berkembang pun juga sedang berjalan.Karena si
empunya kebudayaan juga berbeda dalam menjalankan kebudayaannya. Suatu suku
mengembangkan kebudayaan dengan menerima budaya modern sehingga akan nampak
perkembangan kebudayaan mereka, di lain sisi suatu kebudayaan menjalankan aktivitas
kebudayaan mereka dengan cara tertutup, mereka lepas tangan dan tidak mau menerima
kebudayaan modern karena menganggap kebudayaan modern akan mengahancurkan
kebudayaan asli mereka, sehingga  terkesan kita akan menjudge kebudayaan tersebut tidak
berkembang.
Oleh karena itu, tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk menjabarkan tentangan-
tantangan yang dijalani oleh suatu budaya yang menyebabkan suatu kebudayaan tersebut
terkesan stagnan dan sulit berkembang.Dan untuk lebih men-spesifik atau mengkhususkan
pembahasan dalam makalah singkat ini,penjabaran tentang tantangan kebudayaan makalah
ini hanya mencangkup tantangan-tantangan kebudayaan yang dihadapi Indonesia.Baik dalam
segi tradisional maupun dalam perspektif modern.

B. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa sajakah hal-hal yang menghambat perkembangan kebudayaan indonesia?
2.      Bagaimana cara mengatasi tantangan-tantangan yang menghambat jalannya kebudayaan di
Indonesia?
C.Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja tantangan-tantangan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam melestarikan budaya asli maupun budaya  asing dan
apa peran mahasiswa sebagai agent of change.
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui bahwa dirinya mempunyai peranan yang penting bagi
bangsanya.
2.  mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Tantangan budaya Indonesia

Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku budaya, dari
Sabang sampai Meraoke yang keseluruannya merupakan wilayah indonesia memiliki budaya
yang khas pada masing-masing wilayah tersebut. Ratusan kebudayaan asli Indonesia tersebut
mempunyai ciri-ciri yang tidak ada kesamaan satu sama lainnya. Hal yang paling mendasar
yang mempengaruhi perbedaan ke-khas-an suatu kebudayaan adalah letak wilayah geografis
si-empunya kebudayaan. Kebudayaan yang masyarakatnya berada di wilayah pegunungan
akan sangat berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di daerah pesisir. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh letak geografis yang akan mempengaruhi pola pikir suatu
masyarakat dan kemudian masyarakat tersebut dengan pola pikir yang telah terpengaruh letak
dan keadaan geografis membuat budaya-budaya yang tentu akan tidak sama dengan yang
lainnya.
Kebudayaan masyarakat jawa yang telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing
yang modern tentu berbeda sangat jauh dengan milik masyakat papua yang kebanyakan
wilayahnya masih terjaga dari penetrasi-penetrasi kebudayaan asing. Masyarakat jawa secara
pola pikir atau pendidikan, cara berpakaian, dan pola hidupnya lebih maju dan modern
dibandingkan dengan pola pikir, pakaian, dan pola hidup masyarakat papua.

Dalam berbudaya terutama negara yang kaya akan budaya, tentunya akan sangat banyak
masalah-masalah yang menghambat jalannya kebudayaan. Semakin banyak kebudayaan akan
semakin banyak tantangan hidup berbudaya. Dalam makalah ini akan dijelaskan tantangan-
tantangan kebudayaan Indonesia secara garis besar agar tidak terlalu panjamg pembahasan.

Tantangan-tantangan itu diantaranya:

1.      KAPITALISME

Kaum kapitalis berperan aktif dalam menghabat jalannya suatu kebudayaan. Hal ini
didasara oleh watak dasar mereka yang tidak mau menerima sebuah kemajuan selama hal
tersebut tidak menguntungkan mereka. Mereka tidak akan mengijinkan suatu kebudayaan
menjalankan aktivitas budayanya karena dianggap akan menghalangi kemajuan
perekonomian mereka, tidak cukup hanya itu golongan ini akan melakukan berbagai cara
untuk menghentikan aktivitas-aktivitas yang tidak menguntungkan mereka.
Dalam bukunya, Nurani Suyomukti mengungkapkan ‘’Kaum KAPITALISME tidak
menghendaki sebuah kemajuan ketika kemajuan tersebut tidak menguntungkan baginya.
Bahkan ketika ada sebuah kemajuan yang walaupun positif namun akan membahayakan
mereka(kaum kapitalis), memunculkan orang-orang pintar yang mengetahui bahwa
kapitalisme adalah suatu penindasa, kemajuan ini akan dihilangkan. “kapitalisme tidak ingin
memintarkan, jika ingin berderma secara serius, para kapitalis tentu akan membiayai semua
proyek sekolah dan pendidikan, tetapi kenapa itu tidak dilakukan? Karena kapitalisme
memang tidak menginginkan kesetaraand dan akan tetap menjaga prestise sosial “orang
kaya” denganmembiarkan banyak orang lain miskin. Karenanya jika mereka berderma yang
receh-receh saja, asal jangan sampai ada orang mati kelaparan-atau agar kapitalisme dan
ketimpangan (penindasannya) tidak terlalu kejam.’’(SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN
DAN REVOLUSI INDONESIA 2010.14)
            Kapitalisme akan melakukan segala macam cara agar mereka tidak hancur. Mereka
tidak menghiraukan baik buruk cara yang mereka gunakan untuk menghindar dari
kehancuran. Sesuatu yang baik tapi mengancam eksistensi kesuksesan, merekan akan
hancurkan, sebaliknya buruk pun kalau menguntungkan, kapitalis akan memperjuangkannya.
            “mula-mula, untuk mencari sumber daya alam yang murni, kapitalis(me) melakukan
ekspansi ke negara-negara ketiga atau mencari wilayah-wilayah baru. Tujuannya untuk
mencari sumber-sumber ekonomi yang murahatau jika dapat gratis. Untuk membuat supaya
buruh atau rakyat mayoritas tetap tertindas, maka dibuat jangan sempai rakyat tahubahwa
kapitalisme menindas. Hal yang dilakukan adalah terutama melalui pendidikan dan
kebudayaan. Meraka membuata agar rakyat mengira bahwa yang membuat penindasan ini
adalah sesuatu yang kadang tidak perlu dijelaskan, yaitu sesuatu kekuatan ghoib di luar sana.
Maka agama dan mistik dibangkitkan. Di luar sekolah yang mengajarkan agama, di berbagai
tempat dan media massa (cetak dan elektronik), doktrin agama tampak menggema lagi”.
(SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN DAN REVOLUSI INDONESIA 2010.16-17)
2.      KRISIS KESEJAHTERAAN YANG MELANDA MASYARAKAT
Krisis kesejahteraan yang dialami masyarakat Indonesia sangat berpengaruh pada
jalannya kebudayaan. Semakin sejahtera maka akan semakin lancar jalannya suatu
kebudayaan. Sebaliknya semakin rendah rana kesejahteraan seatu masyarakat maka akan
memberi hambatan pada jalannya aktivitas-aktivitas budaya (cultural activity). Banyak faktor
yang mengpengaruhi kurangnya unsur kesejahteraan di Indonesia. Dalam bukunya Nurani
Suyomukti menyebutkan empat faktor yang menjadi akar krisis kesejahteraan suatu
masyarakat.
1.      Kita terjajah secara ekonomi, kekayaan kita dikeruk oleh asing.rakyat kita tidak mendapatkat
prlindungan kesejahteraan dari negara sehingga banyak yang kian miski. Kemiskinan itu kian
menulkan kejahatan/kriminalitas, amoralitas, bahkam konflik dan kekerasan antar individu
dan kelompok. Karena tanpa perlindungan negara itu pulalah banyak rakyat menjadi
kuli/pekerja di negara orang sehingga bangsa kita semakin dipandang dengan mata terpicing
oleh malaysiadan negara-negara lain yang dipenuhi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) – artinya
rakyat kita menjadi budak di negeri asing bersamaan dengan fakta bahwa Indonesia(elit-nya)
juga menjadi udak pemodal asing yang mengeruk kekayaan Indonesia.
2.      Kita, terutama generasi muda kian tidak produktif. Lihatlah, mereka tidak lagi menyukai
kegiatan produktif yang menyokong dasar ekonomi kita. Mereka tidak lagi suka bertani.
Mereka lebih menyukai kegiatan seperti berbelanja dan mengonsumsi,meniru budaya dan
gaya hidup, membeli produk-produk seni dari luar negeri. Mereaka tidak berproduksi dan
terus dipaksa mengonsumsi. Maka mereka menjadi kallangan yang tergantung, tumpul
produktivitasnya bahkan secara mental lemah dan” cemen”. Inilah penyebab utama bahwa di
masa mendatang budaya kita kian terbelakang karena kini remajanya tidak produktif-kreatif.
3.      Munculnya produk-produk seni dan kegiatan kreatif (film, sastra, sinotron, seni rupa, dll)
yang didominasi oleh pasar yang secara ideologis dan muatannya membentuk kebiasaan
liberal, individualis, dan melemahkan kepribadian generasi (juga kepribadian bangsa).
Hasilnya pun  semakin membuat tumpul kreativitas karena produksi seni-budayanya adalah
hasil budaya meniru. Mulai dari acara TV yang berkibkat ke acara TV di negara Amerika dan
Eropa, sehingga gaya bicara ala TV (plis dech, gitu lho(H)! Capek dech) yang diucapkan oleh
seniman pasar (artis-selebritis) dan kemudian masuk di kalbu dan pikiran generasi yang
memang berkesenian dengan cara meniru yang tidak mampu berkesenian sendiri.
4.      Elit kita juga masih menerapkan budaya dan kebiasaan yang feodalistik dalam menjalankan
pemerintahan. Korupsi, kolusi, nepotisme, politik berbiaya tinggi sebagai bagian budaya
konsumtif di bidang politik semua itu membentuk kebudayaan kita yang terus mundur.
( SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN DAN REVOLUSI INDONESIA hal 47-48).
3.      KONFLIK DALAM KELOMPOK
Konflik adalah faktor yang sangat sering sekali kita temui hampir di setiap daerah,
dalam buku -DINAMIKA KELOMPOK ,Drs. ABU HURAERAH, M. Si dan Drs.
PURWANTO, M. Si- mengatakan  Konflik adalah suatu proses sosial di mana individu-
individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan
dengan ancaman atau kekerasan (Santosa; 1983:32).
Sedangkan sebab-sebab terjadinya konflik, antara lain:
1.            Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antar individu, sehingga terjadi konflik di antara
mereka.
2.            Adanya perbedaan kepribadian di antara mereka, yang di sebabkan oleh adanya perbedaan
latar belakang kebudayaan.
3.            Adanya perbedaan kepentingan individu atau kelompok di antara mereka.
4.            Adanya perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat karena adanya perubahan
nilai/system yang berlaku (Sentosa;1983:32).
Berkaitan dengan konflik didalam kelompok, Yusuf menjelaskan bahwa sebetuknya bentuk
konflik bukan hanya bertolak dari bentuk interaksinya saja, akan tetapi memang terjadi
setelah kelompok di bangun, di mana antara masing-masing anggota terjadi konflik, mungkin
saja konflik dalam peran, fungsi, tugas dan konflik dalam jaringan komunikasi dengan atasan
dan sebagainya. Konfik dalam kelompok, bisa terjadi akibat ketentuan norma yang berlaku
tidak sesuai dengan norma pribadi individu selaku anggota kelompok, bisa pula terjadi
penempatan posisi yang tidak di inginkan dalam suatu kelompok, karena kemampuan yang
kurang dibandingkan dengan anggota kelompok lain ( dalam hal ini kemampuan dasar
seseorang), dan bis pula karena kohesi suatu kelompok sangat rendah, sehingga tidak
memiliki kemampuan untuk menarik individu anggota kelompok dan melakukan konformitas
sikap dan persepsi dalamkelompok tersebut (Yusuf;1989:90).
Ada jenis kelompok yang menganggap suatu bentuk konflik memberi kekuatan kelompom
untuk mengembangkan dirinya, ada pula suatu kelompok yang menghindari kenflik dan
mementingkan keseimbangan dalam kelompok. Namun konflik tetap muncul sejauh anggota
kelompok tersebut tetap belum bisa menetapkan persepsi terhadap nilai, norma yang berlaku
dalam suatu kelompok, dan di sini juga peran seorang pemimpin kelompok untuk
menggembleng keadaan, guna menggerakan kelompok tersebut ke arah pencapaian tujuan
kelompok (Yusuf;1989:90).

4.      STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI


NASIONAL

              Struktur masyarakat Indonesia sebagaimana kita ketahui sering menimbulkan


persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional.
Pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional itu akan dan telah menimbulkan
persoalan tantang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara
stratifikasi social sebagaimana yang di wujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi
bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical.
              Untuk menjelaskan hal tersebut, marilah kita pertama kali memulainya dengan
mengingat kembali beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu
masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh van den Berghe, yakni; 1)
terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; 2) memilki
stuktur social yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplomenter;
3) kurang mengembangkan consensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai
social yang bersifat dasar; 4) secara relative sering terjadi konflik di antara kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain; 5) secara relative integrasi social tumbuh di atas paksaan
( coercion ) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta 6)  adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
              Untuk lebih memperjelas hal tersebut, marilah kita sejenak mengikuti pandangan
para penganut fungsionalisme structural di dalam melihat bagaimana suatu system social itu
terintegrasi. Mengikuti pandangan mereka, suatu system social senantiasa terintegrasi di atas
landasan dua hal berikut. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi diatas tumbuhnya
consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. Dari sudut lain, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh
karena berbagai-bagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai-bagai
kesatuan nasional.
              Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi social
di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, olehkarena tanpa keduanya sustu masyarakat
bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Akan tetapi sifat-sifat masyarakat majemuk
sebagaimana kita yang sebutkan di atas, telah menyebabkan landasan terjadinya integrasi
social seperti yang di kemukakan oleh para penganut fungsionalisme structural hanya dapat
berlaku di dalam derajat yang sangat terbatas. (Bab V Struktur Masyarakat Indonesia dan
Masalah Integrasi Nasional. BUKU SISTEM SOSIAL INDONESIA, Dr. Nasikun. Ed. 1.
Cet. 10.-Jakarta: PT Raja Grafindo 2000 vi, 88 hlm.;21 cm.)
5.      BANGSA YANG MULTIKULTURAL
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula
memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang
dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa
dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan  pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling
melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling
menyesuaikan (fleksibel)  dalam percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia 
perlu  dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya,
serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu  dapat
didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki
hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan
yang lainnya. Maka  menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi
hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan  secara aktif memberi dorongan
dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Banyak wacana  mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada  ciri pluralistik bangsa
kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya  memberikan
kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus
diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal
leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus  memperoleh
kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke
arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari
hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu
dikembangkan lebih lanjut agar  dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya
unsur-unsur kebudayaan nasional.  Meskipun demikian, sebagai  kaum profesional Indonesia,
misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber
kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi,
keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai  potensi dan haknya
untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran
leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang  dan
kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-
sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah
leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun
dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa
merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.
6.      MANUSIA MEMBENTUK ATAU DIBENTUK OLEH KEBUDAYAAN?
Dalam hal ini tantangan kebudayaan dijelaskan pula Mudji Sutrisno dalam bukunya yang
berjudul Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, hal 108-109, yaitu
diantaranya sebagai berikut:
1.      Tradisi kontruksi bahasa, ideology kelas pengguna dengan hegomoni tafsir makna
(Karl Marx, Louis Althusser) adalah ‘penentu’ dan peng-kontruksi identitas dirinya
Diranah kesadaran: lewat pendidikan ‘pembedaan’ (reifkasi kata kunci Gramsci), relasi
kebudayaan adalah hubungan saling membedakan dan bukan hubungan saling bembuahi
demi peradaban.
Bagi Karl Marx, kesadaran ‘palsu’ dalam keterasingan masyarakat diawetkan oleh
bangunan atas ideology, pendidikan dan kebudayaan. Kesadaran ‘tidur’ pasif, dibandingkan
dalam system pendidikan yang tidak kritis. Sementara Paulo Freire berikhtiar, penamaan
dunia dimatikan oleh banking system education terutama mengawatkan ‘buta aksara’ karena
modal pendidikan kesadaran mengaksara dan aktif ditidurkan dalam perlakuan anak didik
sebagai botol yang diisi terus oleh guru atau pun si murid yang dijadikan objek.
Tiga tahap kesadaran, yaitu: kesadaran tidur; kesadaran intensif pasif dan kesadaran
transitif aktif, kritis dalam menamai realitas lewat pengaksaraan. Sebagai contoh penggunaan
istilah wanita tuna susila (1970-an) berubah menjadi pelacur (penamaan obywk, bias jender)
dan kini saat ‘hegomoni’ nilai ekonomis capital jual beli mendominasi, sebutan yang muncul
dan dipakai adalah PSK (Pekerja Sex Komersial).
Bahasa sebagai ungkapan sistemik penanda dan yang ditandai ‘hanya’ merumuskan yang
logis dan disadari (Ferdinand de Saussure melanjutkan Frued). Sementara banyak
ketidaksadaran yang tidak terungkap oleh bahasa, yang oleh Jacques Lacan diurai defacto dan
deskriptif membentuk dan menentukan manusia dalam kode-kode, semiotika: sistem tanda
dan simbol ikon.
2.      Manusia menentukan atau ‘membentuk’ kebudayaan
Dipacu oleh perkembangan kesadaran manusia dalam masa pencerahan, subjektivitas
manusia sebagai pelaku kebudayaan ditegaskan dalam ‘homo significans’ artinya manusia
sebagai subjek yang menamai sejarahnya.
Sejak Descartes, dipuncakan oleh Kant dan Hegel kesadran subjektivitas membuahkan
kesadaran historitas. Kedararan sejarah ini kemudian membuahkan kesadaran keindividuan
untuk menulis sejarahnya secara unik, khas milik dirinya.
Rasionalitas, subjektivitas dan libertas (kebebasan) merupakan penemuan kesadaran
manusia untuk merajut kebudayaan menjadi peradaban.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

            Dari pembahasan di atas, banyaknya tantangan kebudayaan Indonesia yang di alami
di Negara kita ini yang intinya dapat kita simpulkan bahwa Identitas Nasional Indonesia
adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Di era globalisasi ini, eksistensi kebudayaan nasional sebagai identitas
bangsa Indonesia sedang terancam. Mahasiswa sebagai kalangan yang mempunyai posisi dan
bekal strategis diharapkan mampu memberikan perannya untuk mempertahankan eksistensi
kebudayaan nasional. Peran tersebut diterjemahkan dalam bentuk, mahasiswa sebagai aset
kemajuan bangsa di masa depan, mahasiswa sebagai teladan masyarakat yang berkualitas,
mahasiswa sebagai pelestari kebudayaan & kesenian daerah, serta mahasiswa sebagai
pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis kemasyarakatan.
Rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset
nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan,
ditingkatkan potensi dan  produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
Tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan.
Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan”
menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
Diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama
sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir
persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara
bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-
kultural sebagai bangsa.
Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada  suatu strategi
kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?”
yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi
bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila,
bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan
penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian
dunia”.
Yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya  upaya
“membentuk” secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan
menghadapi kehancuran.
Daftar Pustaka
Huraerah,M. Si, Dr. Abu dan Dr. Purwanto, M. Si, 2006, Dinamika Kelompok-Konsep dan
Aplikasi, Bandung, PT Refika Aditama.
Dr. Nasikun, 2000, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Sutrisno, Mudji. dkk, Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan,
Depok, Koekoesan.
Suyomukti, Nurani, 2010, Soekarno Visi Kebudayaan Dan Revolusi Indonesia,Yogyakarta ,
Ar-Ruzz media
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, 2003, Hidup Berbangsa dan Etika
Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya
.
http://wandimashum.blogspot.co.id/2015/02/makalah-tantangan-kebudayaan-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai