Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGEMBANGAN KULTUR LOKAL DALAM KONTEKS


MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA

Disusun untuk memenuhi Tugas Matakuliah


ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

Dosen Pengampu Nur arifuddin, S.Ip., M.Sos


Disusun oleh kelompok 11 :
Amik Suwandi (HES)
Rovico geraldiansyah (HES)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


PERGURUAN TINGGI DA’WAH ISLAM INDONESIA
(STAI-PTDII)
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimushshalihat, segala Puji bagi Allah


yang dengan nikmatNYA segala kebaikan menjadi sempurna. Puji syukur kami
panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan nikamt
iman, islam dan sehat kepada kami hingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang membahas ” Pengembangan
Kultur Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multikultural Indonesia“.

Sholawat serta salam tercurah teruntuk rasulullah salallahu ‘alaihi wa


sallam, keluarga, sahabat, dan ummatnya hingga akhir zaman. Serta tidak lupa
pula kami ucapkan jazakallah khairan katsir dan terima kasih kepada dosen
pengampu matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bapak Nur Arifuddin, S.Ip.,
M.Sos yang telah membimbing hingga tugas makalah ini selesai.

Semoga makalah ini dapat menjadi resefensi bagi pembaca dan menambah
pengetahuan serta motivasi kepada para pembaca. Saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan makalah ini sangat kami harapkan, karena
kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan didalam penyusunan makalah
ini.

Jakarta, Januari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengaruh Multikulturalisme Dalam Pengembangan di Indonesia


B. Hambatan Dalam Membangun Masyarakat yang Multicultural
C. Masyarakat Multikultural
D. Pengembangan Kultur Lokal Sebagai Bagian dari Pembangunan Masyarakat
Multikultural Indonesia

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari beraneka


ragam masyarakat, suku bangsa, etnis atau kelompok sosial, kepercayaan,
agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda dari daerah satu dengan daerah
lain yang mendominasi khasanah budaya Indonesia.

Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah


tentu setiap masing-masing individu masyarakat mempunyai keinginan yang
berbeda-beda, Orang-orang dari daerah yang berbeda dengan latar belakang
yang berbeda, struktur sosial, dan karakter yang berbeda, memiliki
pandangan yang berbeda dengan cara berpikir dalam menghadapi hidup dan
masalah mereka sendiri. dan hal tersebut kemungkinan besar akan
menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi
diantara individu masyarakat, apalagi kondisi penduduk Indonesia sangatlah
mudah terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam.
Untuk itulah diperlukan paham pluralisme dan multikulturalisme untuk
mempersatukan suatu bangsa.

Apalagi apabila kita melihat pedoman dari bangsa Indonesia yaitu


Bhineka Tunggal Ika, yang mempunyai pengertian berbeda-beda tetapi tetap
menjadi satu, yang mengingatkan kita betapa pentingnya pluralisme dan
multikulturalisme untuk menjaga persatuan dari kebhinekaan bangsa,
Dimana pedoman itu telah tercantum pada lambang Negara kita yang
didalamnya telah terangkum dasar Negara kita juga.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis merasa perlu untuk


menjelaskan tentang Pengembangan kultur lokal dalam konteks masyarakat
multikultural Indonesia. Sehingga penulis mengharapkan agar pembaca dapat
memperoleh pengetahuan dari makalah yang penulis sajikan.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pengaruh perkembangan multikulturalisme di Indonesia?
2. Apa Hambatan Dalam Membangun Masyarakat yang multikultural?

C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :


1. Mengetahui pengaruh dan perkembangan multikulturalisme di
Indonesia.
2. Mengatasi hambatan dalam membangun masyarakat multikultural.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaruh multikulturalisme dalam pengembangan di Indonesia

Sesungguhnya, multikulturalisme adalah jati diri bangsa Indonesia.


Jati diri yang melekat pada masyarakat Indonesia. Namun, mengapa
multikulturalisme yang dulu menjadi jati diri bangsa malah ternodai oleh
perubahan zaman yang dari tahun ke tahun kebudayaan kita perlahan-lahan
menghilang dan merubah kebudayaan aslinya. Sebenarnya, apa penyebab
dari masalah tersebut? Mari kita berbenah diri sesaat, mengapa perubahan
zaman (modernisasi) menjadi penyebab hilangnya kepribadian bangsa,
berubahnya kebudayaan bangsa dan masyarakat yang ada didalamnya?
Sebenarnya, modernisasi dapat diartikan sebagai perubahan secara
menyeluruh baik dari segi teknologi dan sebagainya dimana perubahan
tersebut ikut mempengaruhi perubahan sikap, etika dan moral individu yang
mengikuti perubahan tersebut. Menurut Eissenstadt, “modernisasi
merupakan proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi dan politik
yang telah berkembang di Eropa barat dan Amerika Utara dari abad ke-19
dan 20 meluas ke negara-negara Amerika Selatan, Asia serta Afrika” (M.
Francis Abraham,hal.4). Menurut Everett Rogers, modernisasi adalah proses
dengan mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya
hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah”.

Dari definisi diatas, kita melihat dari segi modernisasi


kebudayaan, apa pengaruh modernisasi terhadap kebudayaan terutama
kebudayaan yang ada di Indonesia? Modernisasi adalah perubahan yang
cepat dengan melibatkan individunya secara tidak langsung. Jelas saja,
kalau individunya berubah maka otomatis budaya yang mereka punya juga
berubah. Kita contohkan saja masyarakat Bali, masyarakat Bali dulunya
terkenal sopan, ramah, dan memakai baju longgar (tidak ketat), menutup
aurat dan memakai kain. Itu adalah budaya asli mereka pada zaman dahulu.

3
Tetapi, setelah datangnya perubahan zaman (Modernisasi), kita bisa
lihat secara nyata apa yang telah berubah dan apa yang tidak berubah.
Perubahan yang terjadi adalah :

1. Orang Bali modern memakai pakaian ketat


2. Tidak memakai kain
3. Masuknya budaya public kissing, public huging, public sex
4. Tidak mengindahkan kesopanan
5. Dan tidak mengindahkan Tuhan
Sedangkan yang tidak berubah hanya sebagian saja, yaitu :

1. Hanya orang-orang di pedesaan yang masih memakai baju yang sopan


dengan kain.
2. Tradisi Ngaben.
3. Bangunan-bangunan ibadah yang masih tertata rapi untuk semua agama
yang ada di Indonesia
Mari kita menelaah lebih dalam dan berfikir lebih kritis, mengapa
bisa terjadi perubahan yag begitu cepat dan sangat mempengaruhi
masyarakat yang ada didalamnya? Sebenarnya, modernisasi itu adalah
perubahan zaman yang baik. Namun tidak semua perubahan itu baik, setiap
yang baik pasti ada yang buruk. Sesuatu yang diciptakan oleh sang pencipta
itu adil dan berpasangan. Oleh karena itu, kita harus pintar-pintar memilih,
menyaring mana yang baik untuk kita dan bangsa serta mana yang buruk
untuk kita dan bangsa kita.

Masyarakat Indonesia tidak memikirkan hal itu, kebanyakan


masyarakat Indonesia tidak berfikir kritis terhadap perubahan zaman yang
melibatkan dirinya. Perubahan yang masuk ke dalam dirinya diterima
semuanya tanpa memilih mana yang baik dan mana yang buruk untuk
dirinya serta untuk bangsanya, mana yang menguntungkan untuk dirinya
dan mana yang merugikan untuk dirinya. Semua diambil. Maka dari itulah
orang dari luar negeri menganggap masyarakat indonesia adalah masyarakat
yang tidak suka berfikir, masyarakat yang gila perubahan dan perubahan

4
menjadi kebutuhan. Hal inilah yang menyebabkan perubahan yang terjadi
terhadap kebudayaan Di Indonesia. Kebudayaan Indonesia kehilangan jati
dirinya, kehilangan induknya dan orang-orang yang menyayangi
kebudayaan tersebut.

Modernisasi menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi


masyarakat yang modern, masyarakat teknologi, masyarakat yang tidak
memperdulikan kepentingan golongan tapi hanya mementingkan
kepentingan diri sendiri. Apapun dilakukan demi tercapainya kepentingan
dan tujuan tersebut. Itulah ciri masyarakat modern. Apakah itu masyarakat
Indonesia yang sesungguhnya ? wajar saja nenek moyang kita sedih dan
menangis. Kemana perginya hasil perjuangan kami terdahulu, apa
pembangunan yang dilakukan untuk perjuangan kami itu, apa kegunaan dari
perjuangan kami itu ? bagaimana kita harus menjawabnya, apakah kita
harus jujur dan menjawab bahwa perjuangan mereka telah kita nodai dengan
hal-hal yang sangat berlawanan dengan pandangan mereka dahulu. Sungguh
menyedihkan dan mengecewakan.

Seharusnya, modernisasi bukan perubahan total bagi diri kita. Jangan


kita menganggap modernisasi adalah perubahan secara menyeluruh
termasuk kebudayaan yang kita miliki. Kita seharusnya sadar bahwa
kebudayaan kita bergama, unik, indah, tentu kita wajib menjaga dan
melestarikannya, bukan? Tapi apa yang terjadi, kita malah menambah
kebudayaan kita dengan budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya
aslinya. Itu sama saja kita kehilangan martabat bangsa, harga diri bangsa,
derajat bangsa dan kepribadian bangsa. Bagaimana kita bisa berkembang
dan menjadi negara maju kalau semua perubahan yang baik dan buruk kita
ambil, kita serap dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemana
harga diri kita, kemana harga diri bangsa kita? Semuanya hilang. Apakah itu
yang masyarakat Indonesia inginkan? Menjadi masyarakat modern namun
jati diri yang asli hilang.

5
Kita bangsa Indonesia harus prihatin dengan keadaan tersebut, kita
harus belajar berfikir kritis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
dunia. Biarkan semua perubahan masuk ke negara kita namun gunakan
pikiran kita, ambillah segi positif dari perubahan tersebut, kemudian kita
terapkan ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegeara.
Sehingga negara kita tetap aman, tentram dan damai dan juga kita tidak
perlu khawatir akan kehilangan kepribadian kita, kebudayaan kita karena
kita telah menyaring apa yang sesuai dengan kebudayaan kita sehingga
kebudayaan kita tetap utuh dan melekat di dalam diri masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, dalam melakukan sebuah perbuatan dan memutuskan


apa yang akan di lakukan, kita harus menimbang beberapa hal agar
perbuatan yang kita lakukan tersebut tidak menjadi kita troublemaker atau
kambing hitam bagi diri sendiri, orang lain dan bangsanya. Beberapa hal
tersebut yaitu :

Resiko dari perbuatan tersebut


a. Baik untuk individu yang melakukannya, untuk masyarakat
sekitarnya dan bangsanya.
b. Buruk untuk individunya, masyarakta sekitarnya dan bangsanya.

c. Keuntungan dari perbuatan tersebut.


d. Apakah perbuatan tersebut bermanfaat untuk masa depan ?
Dengan memikirkan dan menimbang beberapa hal yang disebutkan
diatas, maka kita mampu menyadari dan memutuskan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan untuk kita sendiri,
masyarakat dan bangsa kita Indonesia.

B. Hambatan Dalam Membangun Masyarakat yang multicultural

Dalam kenyataannya, perjalanan menuju masyarakat Bhineka


Tunggal Ika ini terganggu oleh berbagai hal, pertama Pemerintah-
pemerintah awal Republik Indonesia, baik yang dipimpin oleh soekarno

6
maupun soeharto, mempunyai kultur politik yang hampir sama, pertama
pemerintah lebih mengutamakan pembangunan politik daripada
pembangunan masyarakat. Pemerintah lebih mengutamakan cita-cita
persatuan Indonesia, sebaliknya kurang memperhatikan dan
mempertimbangkan kenyataan dan keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan pemerintah jauh lebih dikuasai
oleh das willlen daripada das sein. Akibatnya muncullah pemerintah yang
otoriter, yang kurang memperhatikan hak kultural setiap suku bangsa di
Indonesia.

Pemerintah otoritas dan satuan maniak ini, harus diakui, sedikit


banyak adalah hasil dari ketakutan terhadap ‘hantu’ Negara federal
Indonesia sebagai pemberontakan daerah yang muncul setelah proklamasi
kemerdekaan 1945. Baik pemerintah soekarno maupun soeharto sama-sama
melihat Negara federal sebagai bentuk politik yang menakutkan, karena itu
harus dibuang jauh-jauh. Masyarakat daerah jangan diberi terlalu banyak
hak politik, ekonomi, dan cultural. Kedua pemerintah, khususnya pada
periode 1945-1970 banyak digangu oleh Negara separatism daerah.
Sehingga sedikit saja daerah bergerak menuntut hak mereka, termasuk hak
cultural, langsung dituduh sebagai tindakan politik yang akan
membahayakan persatuan Indonesia.

Kedua, karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah mereka


yang berasal dari tradisi kultural jawa maka konsekuensinya, baik disengaja
atau tidak, masyarakat indonesiasangat dipengaruhi oleh kultur jawa.
Birokrat- birokrat jawa, baik disengaja atau tidak, telah memimpin negara
ini dengan menggunakan standar kultur jawa. Mereka melihat masyrakat lai
dengan mengunakan kaca mata kultur jawa. Apabila mereka ditempatkan
menjadi pemimpin disuatu daerah, mereka berusaha untuk menata
masyarakat daerah tersebut sesuai dengan nilai-nilai sosio-cultural jawa
bahkan lebih jauh dari itu, mereka berusaha untuk mengfungsikan simsol-
simbol kultur jawa dalam masyarakat jawa itu. Akibatnya, khususnya dalam

7
massa pemerintahan soeharto terlihat semacam gejala dominasi kultur jawa
didalam masyarakat Indonesia.

Sebuah anekdot tentang dominasi kultur jawa ini adalah seperti


cerita ini. Hatta, kata sahibul hikayat, pada suatu hari disebuah daerah di
Sulawesi, seorang Bugis bertengkar dengan seorang Buton tentang nama
seekor binatang ( yaitu ikan ). Pertengkaran terjadi karena perbedaan pola
bahasa lokal, dimana huruf ”n” pada akhir kata tidak diucapkan dalam
bahasa Buton, tapi sebaliknya diucapkan menjadi ”ng” dalam bahasa Bugis.
Kata sang Bugis nama binatang tersebut adalah ”ikkang”. Sementara itu
sang Buton berkeras menyebutnya ”ikka”. Kedua pihak bertahan pada
pendirian masing-masing. Tidak ada kata putus yang disepakati besama.
Akhirnya masalah ini dibawa kepada pejabat resmi daerah itu, yaitu seorang
jawa. Setelah menyelidiki secara teliti dan bijaksana, sang pemimpin jawa
lalu memutuskan dengan bangganya kedua belah pihak tidak menguasai
bahasa Indonesia yang benar. Nama binatang itu, berkata sang pemimpin,
bukan ”ikkang’ juga bukan ”ikka” tapi ”ikken”. Kepada para pembaca yang
budiman, untuk menemukan anekdot ini, silahkan anda menghubungkan
dengan kebiasaan pemimpin jawa, termasuk mantan Presiden Soekarno dan
Soeharto, yang selalu mengucapkan akhiran ”kan” dengan ”ken”. Kebiasaan
ini, baik sengaja atau tidak, telah diikuti pula oleh pejabat-pejabat non jawa,
agar supaya mereka dapat dimasukan kedalam golongan birokrat yang
berbudaya.

Dalam suatu kesempatan, Hamungku Buwono X, salah satu lambing


tertinggi kultur jawa, mengatakan bahwa situasi dominasi kultur jawa
seperti yang diuraikan di atas adalah hasil tindakan salah kaprah dari
pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru sebagai minritas penguasa
telah mengekploitasi kultur jawa untuk membangun struktur dan kultur
politik yang sentralistik seberapa jauh Eksplanation ini dapat diterima, tentu
diperlukan pengkajian yang lebih mendalam.

8
Hal ketiga yang mengganggu perjalanan indonesia menuju
kemasyarakat bhineka tinggal ika dalah kultur militeristik orde baru. Kultur
militeristik ini berisi sikap mental komando atau top-down, disiplin militer,
seragam, opresip, menyelesaikan masalah pada tingkat terakhir dengan
menggunakan senjata. Pemerintahan orde baru di dominasi oleh militer
yang di puncak komandonya berkuasa jendral pensiunan soeharto. Untuk
menjaga agar masyarakat tetap aman diperlukan militer khususnya angkatan
darat, dapat menjalankan keamanan dengan baik maka, kepolisian diletakan
dibawah lembaga angkatan bersenjata. Salah satu kultur militeristik adalah
seragam. Pemerintah memberikan ruangan yang sempit Bgi kultur dan
masyarakat lokal untuk menunjukan keanekaragamannya. Semuanya
berorientasi kepusat, apa yang ada di pusat adalah yang terbaik, dan harus
dituruti oleh daerah.

Di Boston USA sebelum tahun 1988 mahasiswa indonesia


mempunyai sebuah organisasi yang bernama ”PERMASI”. Pada tahun 1988
datang instruksi dari pusat (Washington, DC) agar nama itu diganti dengan
PERMIAS, karena semua organisasi mahasiswa indonesia di tempat lain
adalah PERMIAS. Dalam bidang pemerintahan desa, penyeragaman
dilakukan melalui undang-undang no 5 tahun 1979. Sementara itu dalam
bidang politik, yaitu agar sebagian besar orang ikut kedalam Prtai
pemerintah Golkar, diciptakan undang-undang no 3 tahun 1985, khususnya
sebagaimana yang diformulasikan dalam pasal 8, ayat (2) dan pasal 10, ayat
(1)c.

Dalam bidang kepercayaan agama yang di akui secara resmi dari


pusat sampai kedaerah hanya lah 5, yaitu islam, kristen protestan, kristen
katolik, hindu, dan budha. Agama-agama lokal harus menyesuaikan diri
dengan lima agama resmi akibatnya, agama orang Dayak (kaharingan),
agama orang Toraja (aluk to dolo), agama orang Tengger, dan seterusnya
yang animistik harus tunduk menggabungkan diri dengan agama hindu.
Padahal klo kita teliti sejarahnya, 5 agama resmi yang diakui pemerintah RI

9
itu pada mulanya adalah juga agama lokal, tidak kalah lokal dari agama
kaharingan, aluk to dolo, dan tengger.

Hal terakhir yang patut dicatat sebagai pengganggu kearah


masyarakat bhineka tunggal ika adalah ideologi pembangunanisme.
Pembangunan dirancang dari pusat yaitu di departemen dan bappenas.
Kemudian disetujui oleh MPR / DPR salah satu kebijakan pembangunan
yang berdampak luas terhadap kehidupan sosiokultural masyarakat lokal
adalah undang-undang no 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kehutanan. Undang-undang ini telah di revisi pada tahun 1999 menjadi
undang-undang no 41 tahun 1999. Yang katanya memberi tempat yang
cukup bagi masyarakat lokal untuk mengekspresikan ciri-cirinya masing-
masing, sebagaimana yang diformulasikan dalam Bab IX dan Bab X.
Namun demikian, banyak pihak yang masih meragukan efektifitas dari
undang-undang ini.

C. Masyarakat Multikultural

Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan


kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti
keberagaman budaya. Pengertian multikulturalisme memiliki tiga unsur
yaitu budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi
keragaman budaya.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia


merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak
pulau di mana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang
membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah
kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas
pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku dengan


budayanya masing-masing, dalam dunia yang semakin terbuka maka

10
perjumpaan dan pergaulan antar suku semakin mudah. Di satu sisi,
kenyataan ini menimbulkan kesadaran akan perbedaan dalam berbagai
aspek kehidupan. Perbedaan bila tidak dikelola dengan baik maka akan
menimbulkan konflik, yang bahkan akhir-akhir ini sudah menjadi
kenyataan. Di lain pihak, kenyataan ini juga menimbulkan kesadaran
perlunya dan pentingnya dialog dalam kehidupan yang semakin terbuka saat
ini.

Dengan demikian sikap multikultural merupakan sikap yang terbuka


pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan:
perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang bisa menimbulkan
konflik, namun bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan
justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat agar sikap
multikultural efektif adalah bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa
manusia bukan makhluk sempurna, manusia adalah makhluk yang selalu
menjadi. Padahal agar dapat menjadi, manusia membutuhkan sesamanya.

Dengan perkataan lain sikap yang seharusnya mendasari masyarakat


multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima kenyataan), bahwa
tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran absolute, karena
kebenaran absolute melampaui ruang dan waktu, padahal manusia adalah
makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Kita merupakan makhluk yang
berjalan bersama menuju kebenaran absolute tersebut. Untuk itu kita perlu
mengembangkan sikap hormat akan keunikan masing-masing
pribadi/kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas dasar gender, agama,
dan etnis.

Selain daripada itu perlu juga mengembangkan sikap hormat pada


masing-masing pribadi/kelompok dengan cara-cara berada mereka masing-
masing.

11
D. Pengembangan Kultur Lokal Sebagai Bagian Dari Pembangunan
Masyarakat Multikultural Indonesia

Pengembangan kultur lokal pada masa kini dapat dipandang sebagai


ekspresi dari nasionalisme baru masyarakat lokal, ini adalah sah namun
demikian, demi kelanjutan cita-cita negara RI yang bersatu, demokratis,
bebas, adil, dan mengakui hak asasi dan hak sosiokultural setiap individu
dan kelompok maka upaya pengembangan kultur lokal ini seyogiannya
dilaksanakan dalam konteks masyarakat multikultural indonesia. Dalam
masyarakat multikultural Indonesia, masyarakat lokal adalah rakyat dari
sebuah daerah dalam lingkungan Negara republik Indonesia. Sebagai rakyat
daerah , mereka mempunyai hak untuk mengekspresikan diri mereka
dengan cara mengfungsikan dan memajukan kultur sendiri. Sebagai rakya
sebuah daerah, mereka mempunyai hak untuk melestarikan dan mewariskan
kultur local mereka kepada generasi berikutnya.

Selanjutnya, dalam konteks yang lebih luas, sebagai bagaian dari


masyarakat bangsa Indonesia, mereka adalah bagaian dari permadani kultur
Indonesia yang indah dan berwarna-warni sebagai bagaian dari masyarakat
Indonesia, mereka tentu berkeinginan untuk menyumbangkan dari unsure-
unsur dari kultur mereka bagi memperkaya kultur nasional Indonesia jika
kultur nasinal Indonesia adalah satu bangunan hasil sumbangan dari puncak-
puncak kultur local, maka merekea akan mengusahakan sebanyak mungkin
puncak-puncak kultur mereka untuk disumbangkan bagi bangunan kultur
nasional Indonesia itulah tujuan yang ingin dicapai oleh usaha
pengembangan kultur lokal, jadi, upaya pengembangan kultur local,
sepanjang hal itu dilakukan dalam konteks pembangunan masyarakat
multicultural Indonesia, adalah positif dan mengembirakan. Karena itu,
upaya seperti ini harus didukung oleh semua pihak, termasuk pemerintahan
Indonesia.

12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Multikulturalisme adalah keberagaman kebudayaan dan suku bangsa di


Indonesia. multikulturalisme mempunyai tujuan yaitu menghormati orang lain
dengan budaya, agama, ras, dan adat istiadat mereka masing-masing.

Seperti halnya semboyan Negara kita yaitu “ bhineka tunggal ika”,


walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Dengan adanya perbedaan itu muncul
suatu rancangan baru yang pada akhirnya terbentuklah rasa nasionalisme dan rasa
patriotism terhadapa tanah air Indonesia. Usaha-usaha ekstern, yang diharapkan
bagi pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bersama bangsa indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai