Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH SUKU BUGIS

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 1

YASMIN JUSTITIANA LUBIS


A. ALFINA RATU
KASMINI ANI
NOVIYANTI
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang suku bugis
dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah Multikultural “Kebudayaan Suku Bugis” ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
                             
DAFTAR ISI
Kata pengantar ……………………………………………………………………………………. i

Daftar isi ………………………………………………………………………………………….. ii

Bab I  Pendahuluan …………………………………………………………………………….. 1

1. Latar belakang ……………………………………………………………………………. 1


2. Rumusan masalah ………………………………………………………………………. 2
3. Tujuan penelitian ……………………………………………………………………….. 2
Bab II Pembahasan…………………………………………………………………………………….. 3

1. Kebudayaan Bugis …………………………………………………………. 3


2. Ciri khas Bugis ……………………………………………………………… 4
3. Kerjaan Bugis ……………………………………………………………….. 9
Bab III Penutup……………… …………………………………………………………………12

1. Kesimpulan ………………………………………………………………………………12
 

                     
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Keragaman etnis dan budaya memiliki potensi besar dalam membangun bangsa ini,
termasuk dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya yang
tumbuh dan berkembang pada setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan sekaligus dapat
dijadikan landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar  mengemukakan bahwa pendidikan
nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu
membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas
berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang kebudayaan nasional sendiri dibangun dari
kebudayaan daerah yang tumbuh dan berkembang di setiap etnis. Dalam kaitannya dengan
upaya pembaharuan pendidikan dan keragaman budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat
diabaikan. Sistem pendidikan yang digunakan di negara maju, seyogyanya tidak diciplak secara
menyeluruh tanpa memperhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem
pendidikan suatu negara harus sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia
dengankeanekaragaman budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap sistem
pendidikan yang akandigunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan digunakan di setiap
daerah dan setiap etnis, sehinggasistem yang dipakai sesuai dengan kondisi budaya masyarakat
setempat.

Oleh karena itu, perlu ada upaya bagaimana memperhatikan dan mengungkapkan keterlibatan
faktor budaya dalam interaksi tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa.Siri’ sebagai inti budaya Bugis-Makassar memiliki potensi untuk dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa, sebab siri’ merupakan pandangan hidup yang bertujuan
untuk meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial.
Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi
Selatan. Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis padaumumnya sama
dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Oleh karena itu
membahas tentang budaya  Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya
Makassar. Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah yang mengatakan bahwa dalam sistem
keluarga atau dalam kekerabatan kehidupan manusia Bugis dan manusia Makassar, dapat
dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kedua kelompok
suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar) pada hakekatnya merupakan suatu unit
budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam duniamanusia Bugis, berlaku pula pada manusia.

Setiap budaya memiliki keunikan dan kekhasan karakternya masing-masing yang


membedakan antara budaya satu dengan budaya yang lain, baik berupa bahasa yang
digunakan, logat, pakaian adat, aturan adat, serta pola pikir masyarakatnya. Perbedaan setiap
budaya inilah yang menjadi identitas tiap-tiap budaya untuk mempermudah orang-orang dalam
mengenali budaya yang berbeda-beda.
Budaya dan komunikasi memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya. Pola komunikasi
seseorang dapat dipengaruhi oleh beragam unsur budaya. Dan dengan komunikasi orang-orang
akan mampu menafsirkan budaya. Komunikasi menjadi sarana penyampaian budaya-budaya
dan dengan komunikasi mampu menjadi perantara kepada generasi-generasi muda penerus
bangsa untuk melestarikan budaya yang turun-temurun telah diwariskan kepada mereka.
Sementara itu, Bugis merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang berasal
dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis termasuk dalam suku melayu muda. Secara geografis, mereka
masuk wilayah Sulawesi Selaran pasca terjadinya gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
(Darmapoetra, 2017:2).
Ciri utama dari kelompok etnik ini (Suku Bugis) adalah bahasa dan adat-istiadat.
Pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai
tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, dikategorikan pula
sebagai orang Bugis.

1. Rumusan Masalah
2. Apa yang dimaksud Bugis Makssar?
3. Bagaimana Adat Bugis
4. Agama Apa Yang dianut Bugis
1. Tujuan Penulisan
2. Mengetahui Kebudayaan Bugis
3. Mengetahui Agama di Bugis
 

                                 
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kebudayaan Bugis
Awal mula suku bugis Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero
Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya
Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk
pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah
kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah
kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa
tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa
kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan
pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis,
tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah
Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar
adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua
bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng)
dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan) Masa Kerajaan Kerajaan Bone Di daerah Bone
terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang
dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang
sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal
dengan istilah ade pitue. Kerajaan Makassar Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa,
Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa
laksana ikan. Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam
perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar. Kerajaan
Soppeng Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama,
seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah
Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi
Kerajaaan Soppeng. Kerajaan Wajo Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari
berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang
memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau,
komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki
kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina
(Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima
generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Konflik antar Kerajaan Pada abad ke-
15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul,
maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba.
Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga
melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru.
Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan Luwu kemudian
mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau
Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu
membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan
ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian
merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi
hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut
“tellumpoccoe”. Penyebaran Islam Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari
Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur
(Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang)
menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di
Bulukumba.[2] Kolonialisme Belanda Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam
antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone
ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng
Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang
tidak sudi berada dibawah Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La
Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang
dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan
ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa
Dalam sistem kehidupan masyarakat budaya Bugis-Makas¬sar di Sulawesi Selatan, siri’adalah
salah-satu bentuk pranata susila sosial yang dianggap cukup tabu oleh masya¬rakat di daerah
ini. Begitu tabunya masalah siri’ ini dalam sistem kehidupan kemasyarakatan semesta termasuk
di antaranya adalah siri’ sebagai upaya privensi terjadinya delik dalam kehidupan bermasya¬kat
dan berbudaya, bahkan sampai kepada bernegara sekalipun. Karena siri’ dianggap suatu
sebagai pandangan hidup, dan seolah olah masalah itu ditaati sebagai suatu undang-undang
yang tertulis.

Dalam penerapan nilai-nilai budaya siri’ ke dalam sistem kehidupan sehari-hari, bagi suku Bugis-
Makasar bukanlah sekedar simbol. Tetapi lebih dari itu sangat penting artinya terutama sekali
dalam kehidupan kemasyarakatan, tata pemerintahan, dan bahkan tata hukum sebagai hukum
tak tertulis (dalam hal ini, khususnya hukum adat pidana). Orang yang tidak memiliki nilai siri’
dalam dirinya, maka orang tersebut dianggap tidak bernilai atau tidak beradab dan tidak
berharkat-martabat (demikian tulisan Kamri, dalam laporan hasil penelitiannya yang berjudul
-Budaya Siri’ Sebagai Pola Tatanan Kehidupan Masyarakat Bugis- Makassar: Suatu Tinjauan
Pelestarian Nilai-nilai Budaya Berdasarkan Pasal 14 UULH, 1995 hal. v-vi).

Terdapat empat macam prototipe manusia menurut konsep siri’. Pertama, Tomasiria = Toengka
siri’ne. Orang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Orang seperti ini paling dibutuhkan dalam KEPEMIMPINAN. Kedua, tositengnga-tengnga sivi’na.
Orang yang memiliki rasa siri’ hanya setengah-setengah. Pada umumnya orang seperti ini tidak
memiliki pendirian yang tetap. Ketiga, Tbmakurang siri” dan kempat, Todegaga siri’na = orang
yang tidak memikirkan rasa siri’.

Pada umumnya orang seperti ini cenderung melakukan tindak pidana tanpa tujuan kecuali
kejatan. Bertautan dengan hal tersebut di ataslah sehingga penu- lis berpandangan bahwa siri’
merupakan salah satu bentuk pranata susila sosial yang dapat dijadikaninstrumen pranata
hukum pidana yang bersifat priventif. Hanya raja dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekno¬logi dewasa ini, lalu kondisi kehidupan sosial masyarakat adat Bugis-Makassar turut
terpengaruh. Salah-satu penga¬ruhnya adalah pemahaman terhadap makna hakikat sini’
ternyata berkembang. Yaitu ada siri” dalam arti positif dan ada dalam arti negatif. Sid” dalam
arti positif inilah yang dimaksudkan oleh penulis dalam judul tesis ini. Sebab pada dasarnya
memang hakikat makna itu terletak pada siri” dalam anti positif dan bukan dalam arti yang
negatif.

1. Ciri Khas Bugis


Secara garis besar pemduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu,
Makassar, Toraja,Bugis dan Mandar :Bukan hanya Inggris, Norwegia serta negara-negara
kerajaan lain yang memiliki gelar kehormatan, Indonesia juga memilikinya. Jangan lupakan
gelar-gelar kehormatan dari keraton-keraton serta kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia.
Jika berbicara mengenai panjang gelar, gelar dari Indonesia juga tidak kalah panjang. Kadang
menyulitkan bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya. Tetapi, ada gelar milik Indonesia yang
cukup singkat. Gelar tersebut adalah Andi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar Andi adalah nama gelar? Lalu, kenapa
namanya terkesan seperti nama seseorang? Sulit memang membedakan nama Andi sebagai
gelar dan mana Andi sebagai nama. Untuk mengetahuinya, Anda bisa melihat asal-usul dari
orang tersebut. Jika berasal dari Bugis, kemungkinan Andi yang dimiliki adalah gelar. Gelar Andi
memiliki cerita sejarah yang cukup panjang. Semua terangkum dalam kebudayaan masyarakat
Bugis. Untuk itu, ketika membicarakan gelar yang satu ini, kebudayaan masyarakat Suku Bugis
secara tidak langsung juga akan ikut dibicarakan. Simak pembahasan mengenai Suku Bugis
berikut ini!

Suku Bugis Suku Bugis berada di Sulawesi Selatan. Anggota masyarakat suku ini merupakan
hasil akulturasi dari berbagai etnis. Masyarakat Melayu dan Minangkabau yang datang ke
daerah ini, tepatnya Kerajaan Gowa, sekitar abad 15 juga dapat dikelompokkan sebagai
masyarakat Bugis. Masyarakat Suku Bugis menyebar ke berbagai penjuru Indonesia, bahkan
hingga luar negeri. Jika membicarakan asal-usul keberadaan suku ini, jangan ragukan soal
panjangnya cerita yang akan Anda dapat. Semua bermula dari kebiasaan masyarakat La
Sattumpugi, masyarakat yang saat ini mendiami Kabupaten Wajo, yang menyebut dirinya
dengan nama to ugi. To ugi sendiri adalah sebutan bagi pengikut La Sattumpugi. Ceritanya
berlanjut hingga kemudian La Sattumpugi memiliki anak bernama We Cudai dan Batara Lattu.
Batara Lattu kemudian memiliki anak bernama Sawerigading. Sawerigading sendiri menikah
dengan We Cudai dan memiliki anak bernama La Galigo. La Galigo merupakan seorang
sastrawan besar yang melahirkan karya sebanyak ribuan folio. Masyarakat Bugis pun
membentuk beberapa kelompok kerajaan. Kerajaan Bugis yang tergolong memiliki usia tua
adalah Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidrap,
Kerajaan Rappang dan Kerajaan Sidenreng. Pernikahan yang terjadi antara masyarakat
Makassar dan Mandar membuat percampuran darah antara dua budaya tidak bisa lagi
dielakkan.

Suku Bugis juga menjadi identitas atau akar silsilah dari beberapa tokoh yang ada di Indonesia.
Sebut saja Jusuf Kalla. Kemudian ada B.J Habiebie, Sophan Sophiaan, serta Andi Mallarangeng.
Nama Andi pada Andi Mallarangeng kemungkinan adalah gelar Andi yang dimaksud. Ragam
Pendapat Tentang Andi Gelar Andi selaku gelar kehormatan yang dimiliki masyarakat Bugis
disematkan pada bangsawan-bangsawan Bugis. Ada beragam pendapat yang menceritakan
asal-usul dari pemberian gelar Andi ini. Namun, temuan berupa sumber asli belum ada.
Menurut beberapa pendapat, Andi merupakan gelar kebangsawanan yang diturunakan
berdasarkan garis keturunan. Setelah Bugis mendapatkan kemerdekaannya dari masyarakat
Gowa, mereka yang merupakan keturunan dari campuran dari beberapa garis keturunan
mendapatkan gelar ini. Mereka adalah keturunan dari percampuran berikut. Percampuran
pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Bone Sejati; Percampuran
pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Wulu yang bekerjasama dengan
Kerajaan Gowa;

Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Wajo;

Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Sultan Hasanuddi;

Kemudian percampuran dari pernikahan antara anak serta cucu Lapatau dengan putri dari Raja
Suppa dan Tiroang; Dan, percampuran pernikahan antara anak cucu Lapatau dengan putri-putri
raja dari kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat di Sulawesi. Pemberian gelar tersebut konon
merupakan upaya dari Belanda, dalam hal ini VOC, untuk membangun serta mengendalikan,
dalam hal ini lebih tepatnya mengubah kehidupan sosial yang ada di Sulawesi. Itu lah mengapa
ada seorang jenderal bernama Muhammad Yusuf yang menolak penggunaan nama Andi.
Padahal secara garis keturunan, beliau adalah memiliki garis keturunan dari Sawerigading.
Pemberian Nama Andi di Era La Pawawoi Pendapat beberapa ahli lainnya adalah berhubungan
dengan kehidupan masyarakat Bugis pada zaman pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Menurut cerita, pada masa pemerintahan itu, hubungan Kerajaan Bone dan pihak VOC dalam
keadaan memanas. Kerajaan Bone kemudian membentuk sekelompok pasukan untuk
menghadapi pasukan dari Belanda tersebut. Pasukan itu diberi nama Anre Guru Ana’ Karung.
Pemimpin dari pasukan bentukan Kerajaan Bone tersebut adalah Petta Ponggawae. Anggota
dari pasukan bentukan Kerajaan Bone bukan hanya anak-anak bangsawan, tetapi juga anak dari
orang-orang berkedudukan di daerahnya masing-masing. Pemuda-pemuda itu lah yang
kemudian konon dianugerahi gelar Andi. Gelar itu diberikan karena mereka sudah dianggap
sebagai keluarga muda Raja Bone yang rela mati demi menegakkan kehormatan yang dimiliki
rajanya, atau patetong’ngi alebbirenna Puanna. Pemberian Nama Andi versi Raja Bone Versi
lain mengenai pemberian gelar Andi berhubungan dengan Raja Bone ke 30 dan 32 bernama La
Mappanyukki. Beliau merupakan putra dari Raja Gowa dan putrid Raja Bone. La Mappanyukki
mendapatkan gelar Andi d depan namanya atas pengaruh dari pihak Belanda. Peristiwa itu
terjadi pada 1930-an. Mengapa dalam pemberian nama Andi ini pihak Belanda memiliki
pengaruh? Ini adalah siasat Belanda untuk membedakan bangsawan mana yang berpihak
padanya. Para bangsawan yang menggunakan gelar Andi di depan namanya, adalah mereka
yang berpihak kepada pihak Belanda. Melihat kemudahan yang diterima para bangsawan
pemihak Belanda, satu tahun kemudian, raja-raja yang berkuasa di Sulawesi sepakat untuk
menggunakan nama Andi di depan namanya. Dalam buku milik Susan Millar juga disebutkan
bahwa penggunaan nama Andi di depan awalnya adalah bertujuan untuk membedakan mana
golongan bangsawan dan mana yang bukan. Karena saat itu, terjadi perdamaian antara pihak
kerajaan dengan VOC. VOC kemudian berjanji untuk melepaskan budak yang masih merupakan
keturunan bangsawa. Penggunaan nama Andi kemudian merujuk pada peristiwa tersebut.

Pengelompokkan mana bangsawan dan mana yang bukan menemukan kendala. Banyaknya
budak yang dimiliki Belanda pada saat itu berimbas pada bercampurnya seluruh lapisan
masyarakat. Akhirnya, diputuskan bahwa mereka yang lolos mengikuti berbagai test, yang
pastinya hanya dikuasai oleh para bangsawan, lah yang akan mendapatkan sertifikat. Test
tersebut salah satunya adalah test sebagai montir mobil.

Dari peristiwa tersebut, gelar Andi seolah menjamur. Semua keturunan bangsawan
menggunakan nama tersebut di depan nama aslinya. Penggunaan nama Andi pada saat itu juga
cukup beragam di setiap kerajaan yang ada di Sulawesi. Misalnya seperti yang terjadi di
Kerajaan Soppeng. Kerajaan ini hanya membolehkan gelar Andi digunakan oleh keturunan
ketiga. Pemaknaan Gelar Andi Ketika seseorang memang sudah ditakdirkan menjadi
bangsawan, siapa yang akan memungkirinya? Gelar-gelar kebangsawanan yang ada di
Indonesia ini harus diakui cukup membuat garis strata sosial semakin jelas terlihat. Tidak heran
jika pada akhirnya, ada beberapa bangsawan, yang ditandai dengan gelar di depan namanya,
bangga terhadap gelar yang dimilikinya. Sehingga, gelar tersebut terus dibawa-bawa kemana
pun ia pergi. Seperti gelar Andi ini sendiri. Dan hal tersebut membuat jurang pemisah antara
golongan bangsawan dan golongan masyarakat biasa.

Di golongan masyarakat Bugis sendiri, khususnya mereka para orang tua, ada sebuah anggapan
bahwa siapa pun yang sering mengaku-aku dirinya sebagai bangsawan dan membawa gelarnya
kemana pun serta seolah menonjolkanya kepada masyarakat luas, adalah bukan keturunan
murni bangsawan. Kebanggaan mereka terhadap gelar dengan menonjolkan nama gelar yang
dimiliki seolah sebagai bentuk ketakutan apabila gelar bangsawan yang dimilikinya tidak diakui.
Padahal, jika memang ia adalah bangsawan murni, tanpa menggunakan embel-embel Andi di
depan namanya, masyarakat akan tetap tahu bahwa ia adalah bangsawan. Pemaknaan gelar
kebangsawanan di masyarakat Indonesia, seperti Andi memang menimbulkan perbedaan
pendapat. Sejatinya, menurut salah seorang keturunan bangsawan, gelar bangsawan tidak
berbeda jauh dengan kadar karat yang dimiliki sebongkah emas. Ada yang kadar karatnya tinggi
dan ada yang rendah. Kadar karat ini diasosiasikan sebagai tingkah laku atau kepribadian
bangsawan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Gelar Andi sendiri seolah menjadi suatu hal
yang bisa menaikkan gengsi seseorang di lingkungan masyarakat. Pada akhirnya, pemakaian
gelar Andi ini banyak yang dipaksakan. Aturan berdasarkan kebudayaan masyarakat Sulawesi
Selatan, gelar Andi hanya boleh diturunkan dari garis ayah. Jika ayahnya tidak “Andi”, ia tidak
boleh menempatkan gelar tersebut di depan namanya. Sayang, aturan tersebut banyak
diterabas.

1. Kerajaan Bugis
Bugis memliki lima Kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Bone, Kerajaan Makassar, , Kerajaan
Wajo, Kerajaan Soppeng Kerajaan Luwu:

1. Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To
Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge
ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif
yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama
Mata Silompoe. Adapun ade’ pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang,
matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung.
setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa’
Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa’ anak dari adiknya yang menikah raja
Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara
massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.

2. Kerajaan Makassar

Sejarah Kerajaan Makassar sebenarnya terdiri atas 2 kerajaan yakni kerajaan Gowa dan Tallo.
Kemudian, kerajaan itu bersatu dibawah pimpinan raja Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah
menganut agama Islam, Ia bergelar Sultan Alauddin. Raja Tallo, yaitu Karaeng Mattoaya yang
bergelar Sultan Abdullah, menjadi mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan tersebut
bersamaan dengan tersebarnya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari
Kerajaan Makassar terletak di Sombaopu. Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena
berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis
itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat,
Makassar berkembang menjadi salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.

3. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo terbentuk dari komune-komune atau komunitas yang terdiri dari berbagai arah
yang berada di sekitar Tappareng Karaja. Terbetuknya kerajaan wajo berawal dari danau
Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut 
puangnge ri lampulungeng. setelah puangnge ri lampulungeng, komune lampulungeng
berpindah ke Boli yang kemudian dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan
supranatural. kedatangan Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) adalah
pendiri (Founding Father) kerajaan Cinnongtabi ,Kerajaan ini terbentuk dari banyaknya
komunitas di sekitar tappareng karaja. Selama lima generasi kerajaan Cinnongtabi
Berdaulat,yang kemudian kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.
4. Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To Manurung. Yang
pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang
kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah seorang laki-laki yang bernama La
Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada
akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.

5. Kerajaan Luwu
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Luwu, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali
dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Luwu kemudian
mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan
kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Luwu.

 
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kebudayaan Bugis adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis yang mendiami bagian terbesar
dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi. Seacara garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan
terdiri dari empat suku bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar, Suku, Toraja Dan suku
Mandar.Kebudayaan Bugis dari segi Kependudukan mendiami Kabupaten-Kabupaten
diataranya adalah Sinjai, Bone,soppeng,Wajo,Sidenreng-Rappang,Pinrang, Polewali-
Mamasa,Enrekang, Luwu,Pare-Pare, Pangkajenne Kepulauan dan Maros.

Kebudayaan Bugis Makssar juga memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu kerajaan Bone,
kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan Wajo.Adapun bahasa orang
Bugis adalah Bahasa Ugi,sedangkan orang Mkassar adalah MANGKASA,Hurup yang dipakai
adalah naskah-naskah Bugis kuno adalah AKSARA LONTARA
DAFTAR PUSTAKA

bugiskha.wordpress.com
Ahmad. (2015, Desember 1). Rumah Adat Suku Bugis. Retrieved from
solatasejarahbudaya.blogspot.co.id: http://solata-
sejarahbudaya.blogspot.co.id/2015/11/rumahadat-suku-bugis.htm

Andra. (2017, April 10). Kebudayaan Suku Bugis Makasar Sulawesi Selatan. Retrieved from
www.ilmuseni.com: https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-bugis

Budiman, A. (2012, April 12). Peta Etnis di Sulawesi Selatan. Retrieved from Gold-Oriole:
http://goldoriole.blogspot.co.id/2012/04/peta-etnis-di-sulawesi-selatan.html

Bugis, A. (2016, November 14). Baju Bodo Pakaian Adat Suku Bugis Makassar Yang Mendunia.
Retrieved from http://www.bloggersbugis.com: http://www.bloggersbugis.com/2015/08/baju-
bodo-pakaian-adat-suku-bugis-makassaryang-mendunia.html

Anda mungkin juga menyukai