Anda di halaman 1dari 11

B.

PEMBAHASAN

ADAT ISTIADAT SUKU BUGIS :

Ada tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang orang bugis, yaitu konsep ade, siri, dan
simbolisme orang bugis sendiri, yaitu sarung sutra. Ade dalam bahasa indonesia yaitu adat istiadat.
Bagi masyarakat bugis, ada empat jenis adat yaitu :

a. Ade maraja . (Adat yang dipakai dikalangan raja atau para pemimpin).
b. AdeAde puraonro. (Adat yang dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun).
c. Ade assamaturukeng. (Peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan).
d. Ade abiasang. (Adat yang dipakai dari dulu dan sudah diterapkan di dalam masyaraka

1. Adat pernikahan

Adapun beberapa adat adat dalam pernikahan yaitu :

 Prosesi mappasideppe mabelae

Masyarakat Bugis menganggap bahwa perkawinan tidak saja menyatukan dua


mempelai dalam ikatan perkawinan tetapi juga menyatukan dua keluarga. Prinsip itu
melahirkan istilah mappasideppe mabelae, artinya mendekatkan yang sudah jauh.
Oleh sebab itu, kebanyakan perkawinan dilaksanakan masih ada hubungan keluarga
(dijodohkan) karena mereka sudah saling memahami.Namun, gak perlu takut kalau
kamu naksir dengan wanita atau pria dari Bugis karena perjodohan antarkeluarga ini
tidak dilakukan secara ketat.

 Masa penjajakan atau disebut mammanu-manu

Jika seorang pria telah mantap dengan gadis pujaan dan berniat mempersunting, maka
ada kegiatan rahasia yang dilakukan oleh seorang perempuan yang diutus oleh pihak
laki-laki. Semua ini untuk mencari tahu keberadaan gadis pujaannya. Terutama untuk
memastikan gadis tersebut sudah ada yang mengikat atau belum.

 Mappetuada
Setelah tahap Mammanu'- manu' dan Madduta' selesai, dilanjutkan dengan tahap
Mappetuada. Acara Mappetuada' ini bertujuan untuk mengumumkan apa yang telah
disepakati sebelumnya mengenai tanggal pernikahan, mahar, dan lain-lain. Biasanya
pada Mappetuada, pinangan diresmikan dengan diberikan hantaran berupa perhiasan
kepada pihak wanita.

 Mappasili

Mappasili sendiri merupakan prosesi siraman. Prosesi siraman ini bertujuan untuk
tolak bala dan membersihkan calon mempelai lahir dan batin. Biasanya air siraman
atau Mappasili diambil dari 7 mata air dan juga berisi 7 macam bunga. Selain itu,
terdapat juga koin di dalam air Mappasili.Selesai Mappasili, tamu undangan yang
hadir akan berebut koin yang terdapat di dalam air Mappasili. Koin yang didapatkan
akan diberikan kepada anaknya yang belum menikah.

 Mappaci atau mappanre temme

Mappanre temme merupakan ritual khatam Alquran dan juga permohonan doa kepada
Allah SWT agar rencana pernikahan tersebut berjalan lancar. Pelaminan selama
prosesi acara pernikahan di rumah. Sementara itu, yang berada di meja merupakan
Bosara berisi berbagai macam kue-kue tradisional. Mappaci merupakan ritual adat
sesudah Mappanre temme. Mapacci sendiri bisa diartikan memberikan daun pacar ke
calon mempelai sebagai bentuk doa restu.Biasanya jumlah orang yang diundang
untuk memberikan daun pacar tersebut tergantung status sosial calon mempelai.
Orang-orang yang dipanggil pun biasanya pasangan yang pernikahannya bahagia dan
kedudukan sosialnya baik.Semua itu dimaksudkan agar calon mempelai kelak bisa
mengikuti jejak pasangan tersebut. Perlengkapan Mapacci berupa sarung 7 susun
sesuai derajat keningratan, daun pisang, daun pacar yang ditumbuk halus, rokok,
jagung kering, dan lain-lain.

 Bosara

Sepanjang prosesi sebelum dan sesudah pernikahan disuguhkan berbagai macam kue-
kue khas Bugis yang manis rasanya seperti barongko, biji salak, bolu pecek, katiri
sala, sikapporo, srikaya kenari, srikaya nangka, sanggara balada, bannang-bannang,
beppa pute.Kue-kue dengan rasa manis ini sebagai simbolik agar kehidupan kedua
calon mempelai selalu manis, harmonis, rukun, dan damai hingga akhir.Kue-kue
tersebut ditaruh dalam Wadah yang disebut bosara. Bosara sudah ada sejak zaman
kerajaan, khususnya kerajaan Gowa dan Bone. Menyuguhkan kue dengan
menggunakan bosara merupakan penghormatan tuan rumah terhadap tamu.

 Mappasikarawa atau Mappasiluka (sentuhan pertama)

Setelah akad nikah selesai pengantin pria dituntun oleh orang yang dituakan menuju
kamar mempelai wanita untuk ipakasirawa (disentuh). Bagi masyarakat Bugis
mappasikarawa merupakan hal yang penting karena keberhasilan rumah tangga
tergantung dari sentuhan pertama mempelai laki-laki pada mempelai wanita.Bagian
tubuh mempelai wanita yang dapat disentuh adalah buah dada, ubun-ubun atau leher
belakang, tangan, dan perut. Setiap sentuhan ini mempunyai maknanya tersendiri.
Setelah prosesi mappasikarawa keduanya mempelai keluar dari kamar untuk bersujud
minta restu pada orangtua dan kerabat.

 Mapparola

Mapparola merupakan kunjungan mempelai wanita ke rumah orangtua mempelai


pria.Mempelai wanita datang ditemani iring-iringan dari keluarga mempelai
wanita.Mempelai wanita juga membawa seserahan berupa perlengkapan pribadi dan
kue-kue untuk mempelai pria. Kunjungan ini sangat penting bagi masyarakat Bugis
Makassar karena kunjungan tersebut menandakan kalau mempelai wanita diterima
dengan baik di keluarga mempelai pria.Di Mapparola inilah, mempelai kembali
sungkem kepada orangtua dan kerabat yang dituakan dari mempelai pria. Setelah
acara Marola atau Mapparola selesai, kedua mempelai akan kembali ke rumah
mempelai wanita.

 Mallukka botting

Dalam prosesi ini, kedua pengantin menanggalkan busana pengantin mereka. Setelah
itu pengantin laki-laki umumnya mengenakan celana panjang hitam, kemeja panjang
putih dan kopiah, sementara pengantin perempuan menggunakan rok atau celana
panjang, kebaya dan kerudung. Kemudian pengantin laki-laki dililitkan tubuhnya
dengan tujuh lembar kain sutera yang kemudian dilepas satu persatu.
 Ziarah
Sehari setelah hari pernikahan berlangsung, kedua pengantin, bersama dengan
keluarga pengantin perempuan melakukan ziarah ke makam leluhur. Ziarah ini
merupakan bentuk penghormatan dan syukur atas pernikahan yang telah berlangsung
lancar.

 Massita Beseng

Sebagai penutup rangkaian acara pernikahan, kedua keluarga pengantin bertemu di


rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun tali
silaturahmi antara kedua keluarga.

Demikianlah prosesi pernikahan adat Bugis yang bisa diketahui. Banyak dari
masyarakat kadang lebih memilih pernikahan modern daripada tradisional karena
dianggap lebih sederhana. Namun nggak ada salahnya juga ketika kamu mengikuti
prosesi secara tradisional. Selain melestarikan budaya pernikahan juga akan lebih
berwarna.

2. Adat Tujuh Bulan Kehamilan

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, artinya
memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari
malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap.
Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju
sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang
meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu yang hamil tujuh bulan dari
pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari
tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti
langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang
diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang
dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.

Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran
dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di
rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa
mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap
dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan menyiram tubuh calon ibu,
namun di Mappassili hanya memercikkan air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh
tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya
tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas
kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan
kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau
mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan
beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.

Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat
pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa.
Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu
dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai
harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar
anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila
ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir
perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh
dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

AcaraAcara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-
ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-
anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah

3. Tahapan Upacara Kematian Dalam Adat Bugis

Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis terdapat
satu upacara adat yang disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis
merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung
meninggal dunia. Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar
lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang
hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang
atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi
uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan
seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga
terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu
yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu mabbolo
(menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’ (menggosok
bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa
dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya) dan
mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang
yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si mayat ketika
hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Mayat yang telah selesai
dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah
itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara
diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara
(orang kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun.
Bersamaan dengan pembuatan ulereng, dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang
berbentuk lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang
lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai
dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun
diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.

Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas
kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut,
barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan
pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian mengusung
ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti,
sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului
rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti
beberapa orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat
segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan
segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda
siame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai
selesai. Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah
kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan
cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang Bugis Makassar,
bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran.
Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi
arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga
merupakan simbol keturunan.

Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam atau ustadz
dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah
dikuburkan sebelum rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama
yang umumnya disampaikan sekalian dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian,
bahwa kematian itu pasti akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya
mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian didunia maupun
di akhirat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal
kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat pulang,biasanya pihak
keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah.
Semalaman, di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran
secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus
penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan
selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara bilampenni sudah bergeser
namanya menjadi tiga malam saja. Sebagai penutup, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji
dan dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.

Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian,
biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah
mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini
dilakukan penyembelihan sapi. Upacara adat mattampung akan dibahas khusus di artikel
kampung bugis selanjutnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, Sulawesi Selatan khususnya suku bugis memiliki cukup banyak
tradisi unik dan tergolong unik. Namun sayang tradisi-tradisi unik itu mulai tergusur oleh
perkembangan jaman dan budaya yang kian hari makin modern, berikut budaya – budaya
tanah bugis yang hampir punah.

4. Lecce bola / pindah rumah

Biasanya saat orang akan pindah rumah mereka akan disibukkan dengan mengemasi barang untuk
memindahkannya ke rumah yang baru dari rumah lama. Kegiatan tersebut tidak terjadi pada
masyarakat suku Bugis. Ya, mereka memiliki tradisi sendiri dalam pindahan rumah dengan benar-
benar memindahkan rumah yang sebenarnya tanpa membongkar. Tradisi ini disebut Mappalette Bola.

Pemindahan rumah oleh Suku Bugis ini dilakukan oleh ratusan orang laki-laki untuk
memindahkan rumah ke lokasi yang baru. Biasanya bagian bawah rumah akan diberi sebuah
pegangan yang terbuat dari bambu agar mudah saat mengangkatnya. Prosesi ini pun dipimpin
oleh ketua adat yang nantinya memberikan aba-aba saat mengangkat, berjalan, hingga
meletakan pada lokasi yang baru. Sedangkan warga perempuan akan menyiapkan makanan
bagi warga yang membantu mengangkat rumah.

Sebelumnya, pemilik rumah pun akan menyediakan makanan untuk warga yang membantu,
baik makanan pembuka sebelum memindahkan dan makanan berat usai meletakan rumah di
lokasi baru. Tradisi Mappalette Bola ini penuh dengan arti gotong royong yang terjadi di
dalam masyarakat Suku Bugis yang solid

5. Sigajang Leleng Lipa

Sigajang Laleng Lipa, merupakan tradisi yang dijalani kaum lelaki Bugis saat menyelesaikan
masalah. Tradisi tersebut berupa pertarungan antar dua laki-laki, namun dilakukan di dalam
sarung. Tradisi ini dilakukan pada masa kerajaan Bugis dahulu, dan ini merupakan upaya terakhir
menyelesaikan suatu masalah adat yang tidak bisa diselesaikan. Tradisi ini sendiri artinya saling
tikam menggunakan badik dalam bertarung. Sigajang Laleng Lipa sendiri dianggap sebagai
cara terakhir apabila tidak mencapai kata mufakat dalam sebuah musyawarah untuk
menyelesaikan masalah. Konon, tradisi ini berasal dari sifat masyarakat Bugis yang
menjunjung tinggi rasa malu, atau yang dalam bahasa setempat disebut siri.
Siri ini sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat Bugis. Bahkan ada pepatah yang
mengatakan, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia.
Sigajang Laleng Lipa sendiri telah ada sejak masa kerajaan bertahun-tahun silam.
Ritual ini dilakukan oleh dua orang yang berduel dalam satu sarung, keduanya menggunakan
badik. Dalam tradisi tersebut, tak tanggung tanggung, nyawa taruhannya.
Walaupun nyawa yang menjadi taruhannya, suku Bugis tetap memiliki cara-cara khusus
untuk menyelesaikan permasalahan dengan bijak. Sebagaimana dalam pepatah Bugis Makassar
yang kira-kira maknanya “ketika badik telah keluar dari sarungnya pantang diselip dipinggang
sebelum terhujam ditubuh lawan”.Makna filosofinya mengingatkan agar suatu masalah selalu
dicari solusi terbaik tanpa badik. Hal ini biasanya dilakukan dengan musyawarah melibatkan dua
belah pihak bermasalah serta dewan adat.

6. Massallo kawali

Atraksi budaya dari tanah Bugis yang berasal dari kabupaten Bone yakni MASSALLO KAWALI
atau bermain asing-asing/gobak sodor menggunakan kawali/badik. Badik yang digunakan oleh
para pemain adalah badik asli bukan imitasi. Sebelum melaksanakan atraksi ini dilakukan ritual-
ritual khusus untuk menghindarkan peserta & penonton dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Atraksi MASSALLO KAWALI ini juga menyimbolkan semangat para pemuda Bugis untuk
melindungi atau mempertahankan harga diri & tanah kelahiran dari rongrongan musuh atau
penjajah.

7. Angngaru

Pada catatan sejarah, Angngaru’ sesungguhnya merupakan ikrar kesetiaan rakyat atau prajurit
kepada raja yang bersifat pemimpin. Raja yang bersifat pengayom disenangi rakyatnya. Saat
genderan perang ditabuh oleh sang Raja, maka rakyat serta merta menyodorkan diri, rela
mengobarkan jiwa raganya untuk tunaikan titah sang Raja.
Soal dan jawaban

1. Sebutkan tiga hal yang bisa menggambarkan orang bugis!

Jawab : konsep ade, siri, dan simbolisme orang bugis sendiri, yaitu sarung sutra.

2. Sebutkan adat-adat dalam pernikahan!

Jawab :

1. Prosesi mappasideppe mabelae

2. Masa penjajakan atau disebut mammanu-manu

3. Mappetuada

4. Mappasili

5. Mappaci atau mappanre temme

6. Bosara

7. Mappasikarawa atau Mappasiluka (sentuhan pertama)

8. Mapparola

9. Mallukka botting

10. Ziarah

11. Massita Beseng

3. Jelaskan makna adat tujuh bulan kehamilan!

Jawab :

Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana,
menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap.

4. Mengapa tradisi sigajang laleng lipa merupakan upaya untuk menyelesaikan suatu masalah
adat?
Jawab :

Sigajang Laleng Lipa sendiri dianggap sebagai cara terakhir apabila tidak mencapai kata
mufakat dalam sebuah musyawarah untuk menyelesaikan masalah. Konon, tradisi ini berasal
dari sifat masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, atau yang dalam bahasa
setempat disebut siri.

5.

Anda mungkin juga menyukai