Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SEJARAH PESANTREN

Jejak-Jejak Dan Eksistensi Pesantren Di Jawa Barat : Penyebaran Pesantren Di Jawa


Barat Pada Abad Ke-19 Sampai Dengan Dekade Keempat Abad Ke-20 (1800-1945)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok

Mata Kuliah: Sejarah Pesantren

Dosen Pengampu: Dr. Ajid Hakim, M.Ag

Yosep Mardiana, M.Pd

Disusun oleh:
Salsabila Kinanti Azzahra 1215010183
Siti Kadija 1215010193
Suni Mutmainah 1215010201
Ummu Azimah 1215010208

KELOMPOK 6 / KELAS SPI 4E

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULITAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini seperti yang diharapkan. Dan tak lupa
pula shalawat serta salam selamanya tercurah limpahkan kepada junjungan kita Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya sampai kepada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah ini berjudul “Jejak-jejak dan eksistensi pesantren di Jawa Barat :
penyebaran pesantren di Jawa Barat pada abad ke-19 sampai dengan dekade keempat abad
ke-20 (1800-1945)”. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Sejarah Pesantren. Penlulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ajid Hakim, M.Ag dan Bapak Yosep Mardiana, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Pesantren yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT.

Bandung, 18 Mei 2023

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. kondisi umat islam dan seperti apa penyebarannya di Jawa Barat pada abad ke-19
B. kondisi umat islam dan seperti apa penyebarannya di Jawa Barat pada abad ke-20

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 21

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 21

Daftar Pustaka ................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi pesantren pada abad ke-19 di Jawa Barat sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam Tradisional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Kehadirannya
menempati posisi yang penting dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Baik dalam penyebaran syiar islam, maupun dalam membentuk budaya-budaya baru serta corak
pendidikan yang baru pula. Itulah sebabnya, posisi dan keberadaan pesantren mendapatkan
tempat yang utama karena dianggap mampu memberi pengaruh serta manfaat bagi sebagian
besar lapisan masyarakat.

Pondok pesantren merupakan lembaga yang sangat penting dalam penyebaran dakwah
Islam. Dikatakan demikan karena kegiatan pembinaan calon-calon guru agama, ulama, dan
kyai hanya dapat terjadi di pesantren.1 Tak hanya berkiprah dalam bidang agama dan
pendidikan saja, pesantren-pesantren yang muncul pada masa itu beberapa diantaranya juga
memiliki peranan dalam menentang penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda. Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai kondisi umat islam di Jawa
Barat pada abad ke-19 dan 20 serta tentang penyebarannya.

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kondisi umat islam dan seperti apa penyebarannya di Jawa Barat pada abad ke-19?

b. Bagaimana kondisi umat islam dan seperti apa penyebarannya di Jawa Barat pada abad ke-20?

C. Tujuan Pembahasan

Untuk mengetahui bagaimana kondisi dan seperti apa proses penyebaran Pesantren di Jawa Barat
pada abad ke-19 sampai abad ke-20.

1
Jawad Mughafar KH, “Jejak-Jejak Dan Eksistensi Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad 19 Sampai Dengan
Dekade Ke Empat Abad 20 (1800-1945),” 2015, 1.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kondisi Umat Islam Di Jawa Barat Pada Abad Ke-19

Wilayah Priangan merupakan wilayah keresidenan yang penduduknya sangat taat


dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kewajiban-kewajiban dalam syariat Islam
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Islam, sebagai agama resmi, telah memberikan
struktur moral bagi kehidupan sosial bagi masyarakatnya, sekaligus memainkan peran yang
sangat penting dalam kehidupan orang Sunda. Salah satu indikator dari itu semua adalah
terdapatnya sejumlah orang Priangan yang menunaikan kewajiban ibadah haji sebagai
manifestasi dari melaksanakan perintah ajaran agama. 2

1) Kondisi Geografis

Pada abad ke 19, Wilayah Priangan merupakan wilayah yang secara geografis
posisinya berbatasan dengan beberapa daerah. Di sebelah utara berbatasan dengan
Keresidenan Batavia dan Cirebon. Di sebelah timur berbatasan dengan Cirebon dan
Banyumas. Di sebelah selatan dan sebelah barat daya berbatasan dengan Samudera Hindia.
Di sebelah barat berbatasan dengan Banten. Luas wilayah Priangan diperkirakan sekitar
seperenam dari luas Pulau Jawa. Tetapi, wilayah Priangan abad ke-19 memiliki luas wilayah
sekitar 21.524 km persegi. 3

Sebaliknya, Thomas Stanford Raffles menyatakan bahwa pada tahun. 1815, luas
wilayah Priangan hanyalah 10.002 mil persegi. Wilayah Priangan merupakan wilayah yang
subur. Salah satu faktor penyebab wilayah Priangan ini berkembang menjadi wilayah yang
subur adalah kontur tanah yang terbentuk oleh vulkanik. Ini terjadi karena keberadaan gunung-
gunung berapi yang memiliki ketinggian di antara 1.800 m sampai 3.000 m di atas
permukaaan laut. Beberapa gunung merapi yang bertengger kokoh di Priangan, antara lain,
Gunung Gede, Gunung Galunggung, Gunung Papandayan, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung
Guntur, dan Gunung Cikuray. Karena wilayah Priangan merupakan daerah vulkanik yang

2
Ading Kusniadi. Sejarah Pesantren : Jejak, penyebaran dan jaringannya di Wilayah Priangan. Hal 52. Humaniora.
2014
3
Ading Kusdiana, Sejarah Pesantren (Bandung: Humaniora, 2014).

2
dibentuk oleh gunung-gunung berapi, tidaklah mengherankan jika daerah ini banyak
ditemukan sungai, danau (situ), rawa, dan sumber air panas.

Wilayah Priangan sebagian besar ditempati oleh suku Sunda, yang oleh orang-orang yang
tinggal di pesisir kerap kali disebut dengan sebutan urang gunung, wong gunung, atau tiyang
gunung. Karena wilayah ini banyak ditempati dan dihuni oleh sebagian besar suku Sunda,
tidaklah mengherankan jika kata Priangan kerap kali disebut sebagai Pasundan. Kata
"Pasundan" menunjuk pada tempat orang-orang Sunda bertempat tinggal. Namun, dalam
perkembangannya, banyak suku bangsa lain atau etnis lain yang masuk ke wilayah ini seperti
dari suku Jawa, suku Bugis, Melayu, Cina dan Eropa. 4

Menurut Raffles, orang Sunda banyak menampilkan karakteristik sebagai ras


pegunungan dengan ciri-ciri: badannya pendek, tegap, kuat/ kokoh, lebih lincah bila
dibandingkan dengan orang-orang Jawa yang berasal wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Mereka lebih mirip orang Madura yang menampakkan ciri lebih perkasa dan
bebas, serta berjalan lebih tegap dibanding penduduk Jawa. Kalangan bangsawan
mempunyai kaki dan bentuk tubuh lebih halus, hampir mirip penduduk India Barat,
sedangkan kalangan rakyat biasa masih menampakkan ciri asli nenek moyangnya. Itulah
gambaran orang Sunda yang tinggal di Priangan yang dilihat Raffles pada abad ke-19.5

2) Kondisi Keagamaan dan pendidikan

Berbicara tentang gambaran kehidupan keagamaaan masyarakat Priangan abad ke-19


sampai dekade keempat abad ke-20, ada beberapa hal yang perlu didisukusikannya lebih dulu.
Pertama, sejauh mana orang-orang Priangan atau orang Sunda menjalankan ajaran agamanya.
Keadaaan ini terlihat dalam kegiatan ritual keagamaaan secara vertikal dalam hubungannya
dengan Tuhan. Hubungan vertikal ini merupakan manifestasi telah menjalankan ajaran
agamanya sesuai dengan doktrin agama yang telah diajarkan. Kedua, gambaran kehidupan
keagamaaan di masyarakat Priangan tampak jelas dalam upacara selamatan yang selalu

4
KH, “Jejak-Jejak Dan Eksistensi Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad 19 Sampai Dengan Dekade Ke Empat
Abad 20 (1800-1945).”
5
Ading Kusniadi. Sejarah Pesantren : Jejak, penyebaran dan jaringannya di Wilayah Priangan. Hal 28-29
Humaniora. 2014

3
berhubungan dengan tahapan-tahapan lingkaran hidup seseorang mulai dari kelahiran, potong
rambut, khitanan, perkawinan, perceraian, hingga sesaat dan sesudah meninggal.

Menurut Suhamihardja, kebanyakan orang Sunda taat menjalankan ajaran agama


Islam, seperti shalat lima waktu, shalat Jumat, puasa, dan membayar zakat. Mereka juga
memiliki keinginan yang sangat kuat untuk dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Menurut
pandangan orang Sunda, agama itu harus menjadi “Ageman” (Harus menjadi pegangan
atau pedoman untuk hidup bermasyarakat dan hidup di akhirat kelak). Mereka juga
berpandangan bahwa ajaran agama Islam itu harus diamalkan atau dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari, “Agama Budu Jeng Darigama”.

Suhamihardja juga berpendapat bahwa, selain menjalankan shalat lima waktu yang
hukumnya wajib, orang Islam di Priangan juga terbiasa menjalankan shalat yang
hukumnya sunat. Shalat Idul Fitri senantiasa dijalankan oleh orang Sunda yang beragama Islam.
Namun, harus diakui pula bahwa ada di antara sebagian kecil orang Sunda, ada juga yang
kurang menjalankan shalat lima waktu, tapi mereka menjalankan shalat Idul Fitri dan Idul
Adha. Padahal, shalat ini merupakan pelengkap ibadah puasa yang hanya dilakukan setahun
sekali.

Gambaran tentang kehidupan religiusitas dari sebuah desa yang menerangkan


ketaaatan masyarakatnya pada akhir abad ke-19 di wilayah Priangan, khususnya daerah
Bandung, dapat dilihat di halaman sebuah masjid yang biasanya bertembok putih dan
hijau. Halamannya penuh dengan bunga yang indah. Di sana, kelihatan sekali kerapihan orang
Sunda dan kesenangan mereka kepada warna yang bermacam-macam. Orang dapat melihat
bagian dalam masjid melalui jendela, tembok yang putih bersih dihiasi dengan pigura yang
berisi ayat-ayat Al Quran dan nama-nama orang suci. Lantainya terdiri dari tegel berwarna. Di
tembok belakang ada mihrab. Di situ juga terdapat sebuah mimbar yang dihiasi dengan
ukiran-ukiran sebagai sebuah bukti hidup dari rasa seni para petani.

Karakteristik khusus bangunan masjid di Priangan, biasanya, menggunakan bentuk


atap yang berumpak-umpak. Umpakan terdiri dari dua atau empat lapisan yang berujung runcing
di bagian atasnya. Sebelum mengerjakan shalat, biasanya, seorang muadzin yang
mengumandangkan adzan dari atap masjid. Sebelum, adzan biasanya didahului oleh
pukulan bedug yang berada di bawah emper tersendiri, yang terletak di halaman masjid. Selain

4
itu, di halaman juga terdapat saluran air atau sebuah kolam yang selalu diisi air secara
penuh. Pengisian air dikerjakan oleh petugas masjid dengan tujuan memberi kesempatan
kepada para mukmin untuk mendapatkan kesucian badan. Masjid biasanya, terdiri dari sebuah
serambi dan sebuah ruangan induk. Di dinding sebelah barat, biasanya, berhadapan dengan pintu
utama, yang disebut mihrab untuk menunjukkan arah kiblat ke Mekkah.

Pendidikan agama secara tradisional di Pulau Jawa, termasuk di wilayah Priangan,


pada pokoknya, diperuntukkan bagi anak laki-laki. Tetapi, kadang-kadang, pesantren pun
didatangi oleh wanita dan gadis-gadis. Di daerah Priangan, wanita dan gadis-gadis itu
tidak dijumpai di pesantren.

Menurut Snouck Hurgronje, yang kemudian dikemukakan kembali kepada Pijper


(1931), mengatakan bahwa selama periode 1889-1906, saya tidak pernah mendengar
bahwa di pesantren daerah Priangan ada gadis yang tinggal di dalamnya. Di lembaga
pendidikan seperti itu merupakan suatu keistimewaaan jika siang hari ada gadis belajar di situ.
Biasanya, orang berpendapat bahwa pokok-pokok pelajaran agama bagi gadis sudah cukup.
Mereka mendapat pelajaran di pesantren di daerah Priangan, dan ini juga terjadi di daerah lain di
Pulau Jawa. Biasanya, gadis-gadis ini bertempat tinggal di sekitarnya atau tinggal sementara di
rumah keluarga dekat pesantren.

Hugronje juga mengatakan kalau di wilayah Priangan, pelaksanaan ibadah puasa


sering diartikan sebagai peleburan dosa yang telah dilakukan setahun ke belakang. Begitu juga
tradisi pemberian selamat oleh yang muda kepada yang lebih tua, oleh yang rendah kepada
atasannnya, setelah berakhirnya waktu puasa yang berat itu. Hal ini dianggap sebagai
permohonan maaf atas kesalahan kesalahan yang mungkin telah diperbuat terhadap mereka
dalam tahun itu. Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan dengan meriah dan diisi dengan kebiasaaan
saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh tersebut. Mereka yang hanya berpuasa
satu hari atau lebih pada awal dan akhir bulan puasa ikut pula merayakan hari raya ini
dengan tidak kurang. gembiranya daripada orang-orang shaleh yang sangat patuh kepada
hukum agama. Suatu hal yang unik dari kehidupan potret kehidupan keagamaan di wilayah
Priangan, walaupun menurut hukum Islam hari raya puasa ini disebut hari raya kecil, namun
dalam praktiknya di wilayah ini, pada hari raya ini, dipandang sebagai hari raya besar.

5
Sebaliknya, dengan hari raya besar Idul Adha yang biasanya jatuh tanggal sepuluh dari bulan
kedua belas (Dzulhijah), justru banyak yang tidak diketahui oleh masyarakatnya.

Suhamihardja menambahkan bahwa, kegiatan penyampaian syiar-syiar Islam juga


seringkali diadakan bersamaan dengan peringatan hari-hari besar Islam, seperti kelahiran Nabi
Muhammad Saw. peringatan Isra Mi’raj, dan Nuzulul Quran. Pada peringatan-peringatan
tersebut, biasanya, diundang kiyai atau ulama dari daerah lain atau dari pesantren tertentu
untuk memberikan penerangan di depan khalayak umum.

Peringatan Maulid Nabi dan Isra-Mi’raj merupakan peringatan yang paling disenangi di
wilayah Priangan. Suatu kebiasaan istimewa terlihat di sini. Peringatan ini dirayakan sampai
ke desa-desa kecil di Priangan. Bisanya, kaum Pria duduk di serambi depan masjid.
Tempat itu pula yang merupakan tempat orang yang membaca kisah Mi’raj. Sedangkan
para wanita duduk di ruang dalam masjid, dan di tempat itu mereka mendengarkan
dengan khusyuk.

Pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, para wanita juga pergi ke masjid.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Ini, seperti halnya dengan peringatan Isra Mi’raj
lainnya, ada yang dirayakan di rumah-rumah. Ada juga yang khusus diperingati di kalangan
kaum wanita. Di sebuah desa, di sebelah selatan Tasikmalaya, masjid diurus oleh kyai desa
tersebut. Pada suatu pagi diadakan peringatan Maulid Nabi, yang pertama khusus untuk para
wanita, kemudian dilanjutkan oleh kaum pria. Gedung itu dipenuh-sesaki oleh kaum
wanita, semuanya memakai kukudung atau mahramah, terutama bagi orang-orang Islam
yang sudah naik haji. Di serambi depan dan serambi kiri-kanan, kaum pria duduk sambil
mendengarkan, sedangkan kaum wanita yang memegang pimpinan. Sebuah bangku rendah
diletakkan di depan pintu tengah antara serambi depan dan ruang dalam mesjid. Di tempat itu,
ada sepuluh anak perempuan duduk sambil mengelilinginya dan bersama-sama membaca Al
Barzanji. Kaum pria kadang-kadang ikut membaca shalawat kepada Nabi Saw. Selanjutnya,
seorang Raden Ayu, isteri bupati menyampaikan nasihat untuk para wanita. Para wanita

6
kemudian meninggalkan masjid, dan kemudian beratus-ratus pria masuk, sebab akan
dimulai peringatan Maulid Nabi Saw, untuk mereka. 6

2. Penyebaran Pesantren Yang Muncul Pada Abad Ke-19 (1800-1900) Di jawa Barat

Jumlah pesantren di daerah Jawa Barat pada abad ke-19 tentunya jauh berbeda dengan
jumlah pesantren yang ada pada masa kini. Pada abad ke-19 khususnya pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda, jumlah pesantren di wilayah Priangan diperkirakan masih
sangat terbatas. Bahkan kemungkinan jumlahnya hanya puluhan saja. 7

Walaupun jumlahnya masih terbatas, pesantren-pesantren yang muncul pada masa ini ada
yang masih eksis dan bertahan sampai dengan sekarang. Ketika Indonesia masih berada dalam
genggaman Pemerintah kolonial Belanda, pesantren-pesantren ini terlibat aktif dalam
mengembangkan syiar islam serta ada beberapa yang berjuang melawan pemerintah kolonial. Ia
juga berperan dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah Priangan. Karena itu dapat
dikatakan bahwa usia pesantren yang terbilang sudah tua, memiliki pengaruh yang sangat
besar di masyarakat muslim sampai saat ini. 8

Berikut beberapa pesantren di Jawa Barat yang sudah berusia tua dan memberikan
sumbangsih yang besar bagi penyebaran islam di wilayah Jawa Barat:

1)Pesantren Sumur Kondang

Disamping menyiarkan ajaran islam, pesantren ini juga melakukan perlawanan fisik
untuk melawan penjajah dan menyelenggarakan kegiatan pendidikan di daerah Garut.
Pesantren Sumur Kondang diperkirakan telah ada sejak dekade pertama abad ke-19.
Pendirinya adalah Kyai Nuryayi serta dilanjutkan oleh Kyai Nursalim dan Nurhikam.
Pesantren ini dipandang sebagai cikal bakal Pesantren Keresek. Hal ini dikarenakan
pendiri Pesantren Keresek, yakni Kyai Tobri merupakan anak dari Kyai Nurhikam. 9

2)Pesantren Keresek

6
Ading Kusniadi. Sejarah Pesantren : Jejak, penyebaran dan jaringannya di Wilayah Priangan. Hal 43-51 Humaniora.
2014
7
Kusdiana, Sejarah Pesantren, 122–23.
8
Kusdiana, 123.
9
Kusdiana, 125.

7
Pesantren Keresek merupakan pesantren tertua ketiga diwilayah Garut yang
diperkirakan telah ada sejak 1887. Letaknya di Desa Cibundar, Kec. Cibatu, Kabupaten Garut.
Pada masa kepemimpinan Kyai Tobri, ia membeli sebidang tanah seluas 2 ha, ia berpindah dan
membangun sebuah bangunan sederhana berukuran 7x7 m untuk tempat belajar, ditambah
masjid dan rumah tempat tinggal kyai sebagai pengajar dan sesepuh. Hingga kini, Ponpes
Keresek telah dipimpin oleh lima generasi. 10

Generasi kedua dari pesantren ini adalah Kyai Nahrowi yang merupakan anak dari
Kyai Tobri. Pada masanya, ia lebih banyak berkiprah dalam pendidikan santri daripada
melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia-Belanda. Karena sikapnya itu ia
dianugerahi Bintang Tanda Jasa oleh pemerintah kolonial sehingga beliau dikenal dengan Mama
Bintang di kalangan para santri serta di masyarakat Garut pada waktu itu.11

Setelah Kyai Nahrowi meninggal, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Kyai


Busyrol Karim. Ketiga Kyai pimpinan pesantren ini hidup pada masa Pemerintahan
Hindia-Belanda. Setelah Kyai Busyrol Karim meninggal, kepemimpinan pesantren ini
diteruskan oleh keturunannnya, yaitu Kyai Hasan Basri. Sekarang Pesantren Keresek
dipimpin oleh Kyai Usman Affandi. Ia merupakan anak Kyai Hasan Basri, sekaligus
generasi kelima yang melanjutkan estafet kepemimpinan Pesantren Keresek ini. Sejak
berdirinya Pesantren Keresek terjadi beberapa perubahan. Pada 1930, terjadi perombakan.
Bangunan lama peninggalan Kyai Tobri yang berukuran 7x7 m tetap dipertahankan, tetapi
ditambah satu bangunan lagi dengan ukuran yang sama, yaitu 7x7 m. Pada 1940, dilakukan
penambahan beberapa bangunan panggung dengan ukuran 12x8 m. 12

3)Pesantren al-Hidayah

Pesantren ini berlokasi di Panembong, Bayongbong, Garut. Pesantren al-Hidayah


didirikan pada 1835 oleh Raden Kyai Mohammad Hasan. Kyai Mohammad Hasan
mendirikan Pesantren al Hidayah setelah ia melihat perkembangan Islam yang sangat
menggembirakan di daerah tersebut.13 Kyai Mohammad Hasan adalah anak Kyai Kasim;
salah seorang penyebar Islam di daerah Panembong yang wafat pada 1710 M. Menurut

10
Kusdiana, 125.
11
Kusdiana, 125.
12
Kusdiana, 126.
13
Kusdiana, 126.

8
informasi, setelah Sultan Agung, Raja Kerajaan Mataram mengadakan penyerbuan pada abad
ke-17, terdapat salah seorang di antara prajuritnya yang tidak ikut kembali. Prajurit itu bernama
Mohammmad Kasim. la berhenti di sebuah hutan yang masih termasuk wilayah Garut dalam
perjalanan kembali ke Mataram. Di tengah hutan tersebut, Mohammmad Kasim membuat
rumah sederhana dan tempat beribadah. 14

Seiring dengan berjalannya waktu, tempat yang didiami oleh Muhammad Kasim
semakin ramai hingga akhirnya ia berkembang menjadi sebuah perkampungan yang ramai.
Karena ramainya itu, kampung tersebut diberi nama Panembong, kira-kira 9 km sebelah
barat kota Garut. Di tempat ini, Kyai Mohammad Kasim menyampaikan dakwah Islam dan
memberikan bimbingan tentang cara bertani kepada penduduk setempat. 15

Kepemimpinan Raden Kyai Muhammad Hasan dalam mengelola dan memimpin


Pesantren al Hidayah tidak berlangsung lama karena ia meninggal pada 1835. Sepeninggal
Kyai Muhammad Hasan, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya, Raden
Mohammmad Kosasih. Estafet kepemimpinan di Pesantren al Hidayah terus berlanjut sampai
kemudian pada dekade ke delapan abad ke-20 dilanjutkan oleh Kyai Abdul Salam. Pada
masa kepemimpinannya, Pesantren al Hidayah memiliki areal tanah seluas 0,14 ha.
Bangunannya meliputi 4 lokal sarana pendidikan, dan 37 kamar untuk 182 santri mukim.
Sejak 1946, pesantren ini telah menerapkan sistem klasikal. 16

4) Pesantren Gentur Cianjur

Keberadaaan Pesantren Gentur yang berlokasi di Desa Jambudipa Warungkondang


Cianjur, diduga, merupakan pesantren tertua di Kabupaten Cianjur. Kehadiran Pesantren ini
sezaman dengan Pesantren Keresek di Garut. Pesantren ini diketahui memiliki hubungan
geneologis (kekeluargaaan) dengan Pesantren Keresek di Garut, karena pendiri Pesantren
Keresek dan Pesantren Gentur adalah dua kakak beradik. Sampai sekarang,menurut M. A.
H. Ismatullah, Pesantren Gentur diperkirakan telah berumur kurang lebih 200 tahun.17

14
Kusdiana, 126.
15
Kusdiana, 126–27.
16
Kusdiana, 127.
17
Kusdiana, 127.

9
Pesantren Gentur didirikan oleh Kyai Muhammad Said. Setelah beliau meninggal
ketika melaksanakan ibadah haji ke Mekah, kepemimpinan Pesantren Gentur dilanjutkan oleh
anaknya, yaitu Kyai Syatibi. Setelah Kyai Syatibi meninggal, Pesantren Gentur dipimpin
oleh Kyai Abdullah Haq Nuh. Pasca-kepemimpinan Kyai Abdullah Haq Nuh, pesantren ini
diteruskan oleh Kyai Amadar. Sekarang, Pesantren Gentur masih esksis dan dipimpin oleh Kyai
Cucu Saliskalimatullah. 18

5) Pesantren Kandang Sapi

Pesantren yang didirikan oleh Kyai Opo Mustofa pada 1897 ini telah berdiri sejak
masa Pemerintah Hindia Belanda dan sampai sekarang masih eksis dalam pengembangan syiar
Islam, serta berperan-aktif dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan di Cianjur. 19

Kyai Opo Mustofa sebenarnya bukanlah putra kelahiran Cianjur. Menilik asal-usul
geneologinya, Kyai Opo Mustofa berasal dari Garut, tepatnya daerah Cibatu, yang pada 1897
berhijrah dari daerah Garut ke Cianjur. Kyai Opo Mustofa lahir pada 1848 M/1265 H dan wafat
pada 1977 M/1398 H. Ia merupakan anak dari Kyai Arkan bin Syekh Jamhari Cikondang
bin Syekh Abdul Jabar bin Syeikh Jafar Sidik Gunung Haruman, Garut.20

Sejak berdirinya pada 1897 hingga 1977, para santri yang belajar di pesantren ini pada
umumnya, kebanyakan datang dari Cianjur, Bogor, Sukabumi dan Tasikmalaya. Tetapi ada
juga santri yang berasal luar Jawa, contohnya dari daerah Jambi. 21

Salah satu ciri khas dari Pesantren Kandang Sapi ini jika dibandingkan dengan
keberadaaan pesantren-pesantren lainnya yang terdapat di daerah Cianjur, adalah komitmen
terhadap tradisi kesederhanaan. Jelasnya, sejak Kyai Opo Mustofa memimpin sampai sekarang,
pesantren ini tidak menggunakan alat-alat elektronik modern, seperti pengeras suara atau
sound system. Generasi penerusnya pun tetap berkomitmen terhadap kebiasaan unik ini. Hal
yang demikian ini tidak berarti bahwa mereka menolak kemajuan zaman. Akan tetapi, semua

18
Kusdiana, 127–28.
19
Kusdiana, 128.
20
Kusdiana, 128.
21
Kusdiana, 128.

10
ini dilakukan dalam rangka memelihara tradisi yang sudah dilakukan oleh Kyai Opo
Mustofa sejak awal berdirinya pesantren. 22

6) Pesantren Jambudipa

Selain Pesantren Gentur dan Kandang Sapi yang sudah ada sejak masa Pemerintahan
Hindia-Belanda, ada juga Pesantren Jambudipa. Menurut Choerul Anam, Pesantren
Jambudipa didirikan pada 1894 M oleh Kyai Mohamad Holil (BeingSambong). Pada awal
berdirinya, pesantren ini hanya berupa masjid dan kobong. Di tempat yang sangat sederhana
tersebut, Kyai Mohammad Holil mengajarkan Ilmu Al-Quran dan Fiqh kepada santri-santrinya. 23

Pada 1917, Kyai Mohammad Holil meninggal. Setelah itu, Pesantren Jambudipa
dipimpin oleh Kyai Fahrudin. Ketika beliau memimpin, Pesantren Jambudipa tidak hanya
mengajarkan Al-Quran, tetapi juga mulai melakukan kegiatan berbagai pengajian kitab
kuning. Pada 1935, untuk memenuhi keinginan masyarakat, didirikanlah bangunan majlis ta’lim
sebagai wadah bagi pengajian masyarakat umum. Pengajian melalui majlis ta’lim ini dilakukan
setiap hari Senin pagi untuk laki-laki dan Selasa pagi untuk wanita. Biasanya, tidak
kurang dari 1.500 pria dan 1.700 wanita mengikuti pengajian tersebut. Mereka datang dari
Cianjur, Sukabumi dan Bogor.24

Para santri disana selain berasal dari daerah sekitar Cianjur, ada juga yang berasal dari
Banten dan Sukabumi. Bahkan ada juga yang berasal dari luar pulau Jawa, tepatnya dari
Sumatera. Pesantren ini melahirkan beberapa tokoh ulama penting. Beberapa diantaranya adalah
Abah Anom (Kyai A. Shohibul Wafa Tajul Arifin), pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya;
Kyai Jumhur, pengasuh Pesantren Ciwaringin Bogor; dan Kyai Acep, pimpinan pondok
pesantren di daerah Cilember. 25

7) Minhajul Karomah Cibenteur-Banjar

Pesantren di wilayah Priangan yang sudah ada sejak masa Pemerintah Hindia-
Belanda, ternyata, tidak hanya ditemukan di daerah Garut dan Cianjur. Di Banjar pun
jejak keberadaan pesantren yang berusia tua juga masih dapat dilacak. Bal hingga kini,

22
Kusdiana, 128.
23
Kusdiana, 128–29.
24
Kusdiana, 129.
25
Kusdiana, 129.

11
beberapa pesantren masih eksis dalam melakukan kegiatan pengembangan syiar Islam dan
pendidikan. Salah satu nama pesantren tersebut adalah Pesantren Minhajul Karomah Cibeunteur
yang terletak di Kota Banjar.26

Pesantren Cibeunteur berdiri sejak awal abad ke-19. Pesantren ini diperkirakan berdiri
pada 1809 M atas insiatif Kyai Mohammad Ilyas. Sepeninggal Kyai Mohammad
Ilyas,Pesantren Cibeuntear diteruskan oleh Kyai Mohammad Holil. 27 Kyai Mohammad Holil
merupakan anak kedua dari Kyai Mohammad Ilyas. Sebelum memimpin Pesantren
Minhajul Karomah, Mohammad Holil pernah belajar kepada beberapa kyai di pesantren lain,
antara lain, K.H. Mohammad Sobari di Pesantren Ciwede dari Kuningan. 28

Setelah Kyai Mohammad Holil wafat, estafeta kepemimpinan Pesantren Cibeunteur


dilanjutkan oleh kedua orang kakak dari Ka Dadang Abdul Wadud, yaitu Kyai Bahrudin dan
Kyai Sudjai. Dalam perjalanannnya, setelah Kyai Bahrudin memimpin dan mengelola Pesantren
Minhajul Karomah sampai wafat, Pesantren Minhajul Karomah diteruskan oleh adiknya, yaitu
Kyai Sudjai. Pascakepemimpinan K Sudjai, pesantren ini diteruskan oleh Kyai Dudung Abdul
Wadud Sebelum Kyai Dudung Abdul Wadud belajar kepada orang tuanya, ia pernah menimba
ilmu di Pesantren Cikalama (Cicalengka) dan Pesantren Keresek. Jadi, hingga kini, Pesantren
Cibeunteur yang hingga kini masih eksis ini sudah dipimpin oleh lima orang kyai. 29

Seiring dengan usianya yang diperkirakan sudah dua abad itu, banyak para santri yang
dihasilkan dari Pesantren Cibeunteur. Para santri yang pernah belajar di pesantren itu
banyak berperan dalam memajukan kehidupan keagamaan masyarakatnya. Dengan kata lain,
sangat tidak mungkin para santri alumni Pesantren Cibeunteur tidak memainkan peran
aktifnya sebagai agen perubahan bagi masyarakatnya. Di antara mereka banyak yang
menjadi agen perubahan bagi kehidupan masyarakat sekembalinya nyantri di pesantren
tersebut melalui pesantren baru yang didirikannya. Banyak alumni Pesantren Cibeunteur
yang tersebar luas di daerah Priangan yang kemudian mendirikan pesantren baru dengan

26
Kusdiana, Sejarah Pesantren.
27
Nina Herlina, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda,
1998).
28
Kusdiana, Sejarah Pesantren.
29
Wadud, wawancara tanggal 19 Januari 2010; Herlina et al., 2011: 42

12
jumlah santri yang sangat banyak. Pesantren baru tersebar di Banjar, Ciamis, Ciburial, Cianjur,
Jasinga, Tangerang dan Banten. 30

8) Pesantren Mahmud, Sukafakir dan Sukamiskin

Pesantren Mahmud adalah pesantren yang telah berdiri sejak abad ke 19 di Bandung.
Menurut salah seorang ajengan di Pesantren Cigondewah. pendiri pesantren ini adalah
Buya Odang yang dilanjutkan oleh puterany Buya Uya. Diduga, Pesantren Mahmud
adalah pesantren tertua di Bandung, yang berdiri pada paruh kedua abad ke-19,
bersamaaan dengan tumbuhnya semangat menimba ilmu agama ke daerah-daerah di timur di
kalangan warga Sunda, baik dari kalangan menak, menak kaum maupun santana.Pesantren
ini pun banyak menghasilkan ajengan yang Jawa dikenal luas di daerah Bandung. Ulama-
ulama dari pesantren ini banyak yang menjadi penasihat bupati Bandung. 31

Dengan banyaknya kyai yang menjadi alumni Pesantren Mahmud, yang kemudian
diangkat menjadi penasihat Bupati Bandung, merupakan indikasi dan bukti tak
terbantahkan bahwa betapa bupati-bupati Bandung memiliki hubungan yang baik dengan dengan
para ulama dari pesantren. Karena itu dapatlah dipahami jika Raden Adipati
Wiranatakusumah III (1829-1846) memberi perhatian yang sangat besar terhadap pesantren
ini. Salah satu buktinya adalah kesungguhan beliau untuk memberikan tanah wakaf bagi
pembangunan masjid dan Pesantren Mahmud. Bupati ini, secara khusus, memang memiliki
kedekatan dengan para kyai. Selama hidupnya, ia juga sering mengunjungi para kyai tidak
hanya dari Pesantren Mahmud, namun juga dari pesantren lain. 32

Masih sezaman dengan Pesantren Mahmud, di Bandung Barat bagian Selatan, selain
Pesantren Mahmud terdapat juga Pesantren Sukafakir. Keberadaan Pesantren Sukafakir
diprediksi lebih muda daripada Pesantren Mahmud. Namun, waktu pendirian Pesantren
Sukafakir tidak diketahui. Diduga, pada 1870-an, sudah banyak santri yang mulai belajar di
pesantren.33

30
Kusdiana, Sejarah Pesantren.
31
Eva Rufaidah, “Perkembangan Kehidupan Keagamaan Masyarakat Muslim Perkotaan Bandung 1906-1930-
An,” 2003, 137–38.
32
Kusdiana, Sejarah Pesantren.
33
Kusdiana.

13
Pondok Pesantren Sukamiskin merupakan salah satu pesantren tua yang berlokasi di arah
timur dari pusat kota Bandung. Pada dekade kedelapan dari abad ke-19, lokasi pesantren
ini berada di Distrik Ujung-berung, tidak jauh dari jalan raya pos. Nama "Sukamiskin"
sendiri diambil dari kata "Suq" yang berarti pasar, dan "Misq" yang berarti minyak wangi.
Nama ini diberikan oleh ajengan Alqo. Nama ini mengasosiasikan pengertian yang sangat
indah tentang sebuah tempat yang menebarkan keharuman bagi lingkungan sekitarnya.
Semula, nama pesantren ini adalah "Suqmi sk". Namun, karena pelafalan orang Sunda,
nama yang lebih dikenal adalah "Sukamiskin". Nama lainnya yang dikenal adalah
Pesantren Gedong. Disebut "Gedong" karena bangunannnya yang bersifat permanen dan
gagah. 34

Pesantren Sukamiskin menempati tanah kosong yang dikelililingi kolam, sawah, dan
perkebunan. Tanah yang dijadikan kompleks pesantren, dulu, adalah dimiliki oleh ajengan
Algo Pesantren Sukamiskin didirikan oleh Kyai Muhammad Alqo pada 1881. Hingga kini,
nama Pesantren Sukamiskin masih bergaung meskipun ketenarannya terlibas oleh
dahsyatnya arus perputaran roda zaman. Sejak berdirinya, Pesantren Sukamiskin dikelola dan
dipimpin oleh beberapa generasi.

Pondok Pesantren Sukamiskin berada di bawah pimpinan Kyai Muhammad Alqo dan
Kyai Muhammmad bin Muhammad Alqo berlangsung selama kurang lebih 29 tahun.
Tepatnya sejak 1881 M sampai 1910 M atau 1300 sampai 1329 H. Setelah era Kyai
Rd.Muhammmad bin Muhammad Alqo, kepemimpinan pesantren sempat ditangani
menantunya, Kyai Rd. Muhammad Kholil sebelum pada 1912 dipegang puteranya Kyai Rd.
Ahmad Dimyati bersama isterinya Rd. Hj. Anisah hingga 1946. Sebelum memimpin Pondok
Pesantren Sukamimiskin, pengalaman yang pernah ditempuh oleh Kyai Rd. A. Dimyati,
antara lain, menuntut ilmu di Pesantren Keresek Garut. Ia juga sempat bermukim di
Mekah selama kurang lebih sembilan tahun bersama K.H. A Sanusi, pendiri dan pembina
Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi. Pada masa Kyai Rd. A. Dimyati ini (1910-1946 M/
1329-1365 H), Pesantren Sukamiskin mengalami masa keemasan dan kemajuan. 35Pada

34
906-1930-an. Tesis. Yogyakarata: Program Pascasarjana Univerisitas Gadjah Mada. Hlm 137-138
12 http://sudutkotabandung.blpgspot.com/2010/11/banyak-pahlawan-dan-ulama-besar-berasal.html. Tanggal 6
Mei 2011 pukul 16:15 WIB
35
Aziz, wawancara tanggal tanggal 15 Juli 2001 dalam Buku Ading Kusdiana hlm-132

14
periode ini, Kyai Ahmad Dimyati," selain mengasuh Pondok Pesantren Sukamiskin, ia juga
memiliki hubungan yang baik dengan Bupati Bandung. Kyai A. Dimyati pernah menjadi
Penasihat Bupa Bandung, R. Adipati Aria Wiranatakusumah V atau yang dikenal sebu Dalem
Haji (1920-1931).

Setelah Kyai Rd. A. Dimyat meninggal, kepemimpinza Pesantren Sukamiskin


dilanjutkan oleh anaknya. Kai Rd. Chaedar Dimyati. Pada masa Kyai Rd. Chaeedar
Dimyati. Pesantren Sukamiskin pernah mengalami masa kekosongan selama kurang lebih dua
tahun. Penyebabnya adalah adanya pendudukan Jepang. Setelah kondisi aman kembali dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Kyzi Rd. Chaedar
Dimyati, putera Kyai Rd. A. Dimyati, malai merintis kembali pesantren yang semula
sudah mengalami kekosongan itu. Tidak hanya itu, ia bahkan berhasil memulihkan kembali
seperti keadaan semula; walaupun dalam jangka waktu yang agak lama. Pondok Pesantren
Sukamiskin, pada periode ini, keadaannya cukup baik, walaupun tidak sebaik periode
sebelumnya.36

9) Pesantren Asyrofudin Sumedang

Pesantren tua lainnya berdiri di Kab. Sumedang. Namanya Pesantren Asyrofudin.


Pesantren ini terletak di daerah Kampung Cipicung, Kecamatan Conggeang, Kabupaten
Sumedang. Pesantren Asyarofudin didirikan pada 1847 oleh Kyai Muhammad Asyrofudin,
salah seorang pangeran yang berasal dari Keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon. 37

Sejak berdirinya, Pesantren Asyrofudin telah dipimpin oleh enam generasi. Setelah
Kyai Raden Asyrofuddin wafat, kepemimpinan Pesantren Asyrofudin diteruskan oleh
anaknya, Kyai Abdul Hamid. Setelah Kyai Abdul Hamid dilanjutkan oleh Kyai Mas`un.
Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Afqoril Waro Ukun, Muhammad Soleh Mas'un,
dan Kyai Ukasyah Mas'un. Setelah Kyai Ukasah Mas'un, kegiatan pengelolaan Pesantren
Asyrofudin dilanjutkan oleh Kyai R. Endang Buchorie Mubarok dan Kyai Anwar Sanusi
2000: 513-514; Sanusi. 38

36
Kusdiana, Sejarah Pesantren.
37
Ajip Rosidi, Ensklopedia Sunda; Alam, Manusia Dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon Dan Betawi
(Jakarta: Pustaka Jaya, 2000).
38
Ibid hlm 513-514

15
Pada masa Bupati Aria Kusumah Adinata, Pesantren Asrofudin banyak mendapat
bantuan dan dorongan dari bupati ini. Barangkali, bukanlah suatu kebetulan apabila tanah
pesantren itu merupakan tanah wakaf dari Pangeran Sugih yang kaya raya. Bupati Aria
Kusuma Adinata atau Pangeran Sugih yang memerintah dari 1836-1882, memang, banyak
memajukan kegiatan pendidikan keagamaan di daerah Sumedang. Bahkan, Aom Sadeli, sebagai
putera Pangeran Sugih, saat masih kecil, pernah belajar di Pesantren Asyropudin Cipicung,
Conggeang, Kabupaten Sumedang ini. Di pesantren ini bukan hanya rakyat kecil yang
menjadi santri, anak kaum priyayi pun banyak yang ikut belajar. Bahkan, Bupati Limbangan pun
ikut mendukung pesantren ini. 39

Itulah beberapa nama pesantren yang tersebar di wilayah Priangan pada abad ke-19.
Sebagian besar di antara pesantren-pesantren tersebut masih eksis hingga kini. Banyak
pula yang terus mengembangkan syiar Islam dan pendidikan agama. Banyak dari
pesantren itu yang pengelolalannnya yang dilakukan oleh keluarga dan generasi berikutnya
yang pada umumnya dipegang oleh generasi kelima dan keenam. Namun, di antara pesantren
tersebut, ada juga yang hanya meninggalkan jejak atau bahkan hanya menyisakan nama
besar yang masih tersimpan dan terpelihara dalam tradisi lisan masyarakat yang terjaga
secara turun temurun. Salah satu pesantren yang tinggal nama adalah Pesantren Mahmud di
Bandung. Ada pula informasi tentang eksistensi pesantren abad ke-19 yang sangat sulit
dilacak. Beberapa nama pesantren yang informasi tentang keberadaaannya sulit dilacak
adalah Pesantren Cilame, Cirangkong, Cikalama, Benda (Gadung), Pakemitan dan Sindang
Laya.

A. Penyebaran Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad Ke-20 (1900-1945)

Keberadaan dan penyebaran pesantren di wilayah Priangan terus bermunculan dan


mengalami peningkatan jumlah. Pada awal abad ke-20, selain terdapat pesantren-pesatren yang
telah bertebaran sebelumnya sejak abad ke-19, diwilayah Priangan juga banyak bermunculan dan
berdiri pesantren-pesantren baru yang tentu saja akan menambah khazanah ilmu pengetahuan
kita.

39
Herlina, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942.

16
Berikut adalah nama-nama pesantren yang berdiri sejak awal ke-20 sampai 1945,
diantaranya:

1. Pesantren Pangkalan, Pesantren Cipari, Pesantren Darussalam

Pesantren pangakalan, Cipari dan Pesantren Darussalam-wanaraja, pada awal abad ke-20,
merupakan pesantren yang pengaruhnya sangat besar di Kabupaten Garut setelah Pesantren Al-
Falah Biru dan Pesantren Keresek. Pesantren Pangakalan didirikan oleh Kyai Quturbi di daerah
Tarogong Garut. Pesantren ini didirikan perkiraan pada abad ke-20. Pada masa Kyai Quturubi
Pesantren Pangkalan banyak dikenal oleh masyarakat Garut sehingga banyak santri yang
berminat besar untuk belajar.

Hampir sama dengan sejarah Peantren Pangakalan, Pesantren Cipari pun tidak memiliki
data yang jelas tentang sejarah kehadiranya. Jelasnya, tidak ada data kepastian dan data yang
jelas tentang kapan berdirinya Pesantren Cipari. Namun, menurut perkiraan, pesantren ini berdiri
antara akhir abad ke-19 awal abad ke-20, yang didirikn oleh Kyai Zaenal Abidin. Pada awal
pemerintahanya Pesantren Cipari telah menitikberatkan pada pendidikan nonformal melalui
kegiatan pengajian berupa majelis taklim untuk masyarakat, pengajian kittab kuning dan Al-
Quran untuk para santri.

Pada dekade ketiga abad ke-20, kepemimpinan dan pengelolaan pesantren dilanjutkan
oleh Kyai Harmaen. Bagi masyarakat Kabupaten Garut, Kyai Harmaen merupak seorang tokoh
ulama besar. Pada masanya, peran serta Pesantren Cipari di kancah perjuangan bangsa menjadi
salahsatu bidang garapannya. Sejak berdirinya sampai sekarang, pesantren ini masih eksis dan
berkiprah bagi seluruh warga masyarakat. Kepemimpinan dan pengelolaan pesantren dipegang
dan dikelola oleh anak-anak Kyai Harmaen yang meneruskan kepemimpinan orangtuanya.
Diantara anak-anak yang meneruskan pergerakan pesantren ini adalah Kyai Abdul Kudus, Kyai
Yusuf Tauziri, Kyai Bustomi, dan Hj. Siti Quraisyn. Sepeninggal Kyai Abdul Kudus, dkk.
Pesantren Cipari dipimpin oleh Kyai Mansyur dak Kyai Abbas dan Kyai Amin Bunyamin
mendirikan Pesantren Darussalam. Diduga pesantren ini didirikan pada tahun 1939. Pesantren
Darussalam menjadi basis kegiatan pergerakan dan perejuangan melawan Belanda.

2. Pesantren Kudang Tasikmalaya

17
Pendiri Pesantren Kudang adalah Kyai Muhammad Syujai, sayangnya tidak ada
informasi yang pasti mengenai kapan pesantren Kudang ini mulai berdiri. Namun menurut
keterangan, diperkirakan Pesantren Kudang ini berdiri antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20. Dikisahkan pula pendiri Pesantren Kudang ini pernah menimba ilmu di Pesantren Ciwedus
Kuningan kepada Kyai Shobari, dengan seiring waktu setelah merasa cukup dalam menimba
ilmu maka beliau mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Kudang. Tidak hanya itu
beliaupun sekaligus menjadi pengasuh pesantren tersebut sampai beliau meninggal pada tahun
1956.40

3. Pesantren Suryalaya

Pesantren Suryalaya berdiri pada 5 September 1905 M/ 7 Rajab 1323 H oleh Kyai
Abdullah Mubarak atau Abah Sepuh. Pendirian pesantren ini diawali dengan pendirian sebuah
masjid yang dijadikan tempat mengaji dn mengajarkan Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
Dalam perkembangannya kemudian, masjid yang menjadi tempat berdzikir itu diberi nama
Patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah sebagai cikal bakalnya. Dengan didirikannya masjid
pada tanggal tersebut, peristiwa ini kemudian dijadikan titik mangsa berdirinya Pesantren
Suryalaya.41

4. Pesantren As-Salam

Pesantren As-Salam sudah berdiri sejak awal 1920. Pendirinya adalah Kyai Qolyubi,
yang merupakan alumni dari Pesantren Keresek Garut. Pada masa kepemimpinannya, pesantren
ini pernah menampung 450 orang santri yang datang dari berbagai tempat. Untuk memenuhi
kebutuhan sarana belajar para santri, pengasuh dari Pesantren As-salam harus berusaha untuk
menyediakan kamar pemondokan santri sebanyak 8 kamar. Namun karena keterbatasannya dana,
kamar pemondokan itu dibuat dari kayu yang kokoh dan bisa tahan lama. Di Pesantren As-Salam
ini pun para santri mempelajari kitab secara tradisional. Pengajian dilakukan di tiga tempat yang
dibangun untuk keperluan tersebut. Beberapa kitab yang dikaji pada pesantren ini diantaranya,
Fathul Qarib, Fathul Muin, I`anatut Tholibin, Jam`ul Jawami, Tijan, Kifayatul Awam, Bidayatul

40
Yahya, Iip D. 2006. Ajengan Cipasung; Bigrafi K.H. Moh. Ilyas Ruhiat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Hlm-14
41
Ibid Hal.16

18
Hidayah, Jurumiah, Alfiyah, Bajuri, Sanusi sahih Bukhori, Shahih Muslim, Riyadus Sholihin dan
Tafsir Jalalain. 42

5. Pesantren Cipasung

Merupakan salah satu pesantren yang menjadi basis perjuangan para ulama NU di
Tasikmalaya. Pesantren ini didirikan oleh Kyai Ruhiyat dan pesantren ini telah berdiri sejak
1931, pesantren ini pun berlokasi di Kampung Cipasung, sekitar 2 km dari kota Singaparna,
Tasikmalaya. Pada awal berdirinya pesantren ini hanya merupakan majelis taklim yang
memilikikegiatan pengajian untuk ibu-ibu setiap hari Rabu pagi, bapak-bapak setiap hari Rabu
sore, pengajian khusus bagi para kyai setiap hari kamis dan pengajian bulanan untuk masyarakat
umum.

6. Pesantren Baitul Arqam

Didirikan oleh Kyai Muhammad Faqih pada tahun 1922. Pesantren ini terletak di sebelah
selatan Kota Bandung, yang tepatnya di jalan Lembur Awi, Desa Pacet, Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung. Pendirian pesantren ini pun berawal dari keinginan Kyai Muhammad Faqih
untuk mengajarkan agama islam kepada masyarakat sekitarnya di bidang al-qur`an, qiraat, dan
penguasaa kitab kuning seperti Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tauhid, dan Tafsir. Setelah Kyai
Muhammad Faqih meninggal, tonggak kepemimpinan pun dilanjutkan oleh Kyai Ubaidillah.
Sepeninggal kyai Ubaidillah estafeta kepemimpinan selanjutnya dilanjutkan oleh Kyai Ali
Imron. Adapun sistem pendidikan atau pengajian yang diselenggarakan di pesantren Baitul
Arqam menggunakan sistem sorogan (salafi) yang mengacu pada seluruh ilmu agama. Pesantren
Baitul Arqam dikenal sebagai pesantren yang sangat menekankan penguasaan bahasa Arab dan
ilmu Nahwu Sharaf. 43

6. Pesantren Darussalam Ciamis

Pesantren ini didirikan pada 1929 oleh Kyai Ahmad Fadlil. Pada awal berdirinya,
pesantren ini bernama Cidewa dan pendirian pesantren ini dimulai dari pembangunan dan sebuah
bilik sebagai asrama diatas seuah tanah wakaf dai pasangan suani-istrei Mas Astapradja dan Siti

42
Mahduri, M. Annas et al. 2002. Pesantren dan pengembangan Ekonomi Ummat; Pondok Pesantren al-Ittifaq
dalam Perbandingan. Jakarta: departemen Agama bekerjasama dengan Indonesia Institut for Civil Society
43
Yahya, Iip D. 2006. Ajengan Cipasung; Bigrafi K.H. Moh. Ilyas Ruhiat. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Hlm-18

19
Hasanah. Mereka mewakafkan sebidang tanah kepada Kyai Ahmad Fadlil di Kamping Kandang
Gajah, Desa Dewasari, kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis (Kusdiana, 2014: 154). Santri
yang pertama kali mondok adalah para pemuda setempat yang tidak saja diajari ilmu-ilmu
agama, tetapi juga diajak mengelola sawah, bercocok tanam, dan percontohan cara memelihara
bilik dan memakmurkan masjid. Pesantren Cidewa, sebutan untuk komunitas baru itu dengan
cepat mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat sekitar. Dampaknya, jumlah santri yang
berminat untuk mondok menjadi lebih banyak lagi. 44

Perlu ditegaskan bahwa selama dalam periode tersebut tidak ditemukan data statistik
yang menunjukan seberapa banyak jumlah pesantren yang ada. Namu jumlah pesantren yang ada
telah menunjukan peran dan jumlah pesantren yang sangat signifikan.

44
Kusdiana, Ading. 2014. Sejarah Pesantren. Bandung: Humaniora. Hlm-154

20
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Seperti yang telah di paparkan di atas, bahwasanya eksistensi pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam Tradisional di Jawa Barat pada abad ke-19 sampai 20 (1800-1945)
tidak bisa dipandang sebelah mata. Kehadiran pesantren menempati posisi yang sangat strategis
dalam kehidupan masyarakat. Pertama, Penyebaran Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad Ke-19
(1800-1899) memiliki banyak pesantren yang berada di wilayah Priangan, pada waktu dulu,
dengan sekarang tentunya berbeda. Dalam konteks sekarang, junlah pesantren di wilyah
Priangan dipastikan lebih banyak. Hal ini tentu saja berbeda dengan jumlah pada abad ke-19.
Pada abad ke-19 jumlah pesantren masih sangat terbatas. Terdapat beberapa pesantren yang
usianya sudah tua dan memberi pengaruh yang sangat besar bagi penyebaran Islam di wilayah
Priangan. Seperti: Pesantren al Falah-Biru Garut, Pesantren Gentur Cianjur, Pesantren Minhajul
Karomah Cibeunteur Banjar dll.

Kedua, Penyebaran Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad Ke-20 (1900-1945) seiring
berjalannya waktu keberadaan dan penyebaran pesantren di wilayah Priangan terus bermunculan
dan mengalami peningkatan jumlah. Pada awal abad ke-20, selain terdapat pesantren-pesatren
yang telah bertebaran sebelumnya sejak abad ke-19, diwilayah Priangan juga banyak
bermunculan dan berdiri pesantren-pesantren baru yang tentu saja akan menambah khazanah
pebendaharaan pesantren, diantaranya: Pesantren Pangkalan, Pesantren Cipari, Pesantren
Darussalam, Pesantren Kudang, Suryalaya, Cilenga, Cintawana, Miftahul Ulum, Miftahul Khair
As-Salam, Bahrul Ulum, Sukahideung, Sukamanah, dan cipasung Tasikmalaya. Pesantren
Cantayan, Genteng dan Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi, dan masih banyak lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ading Kusniadi. Sejarah Pesantren : Jejak, penyebaran dan jaringannya di Wilayah Priangan.
Ajip Rosidi, Ensklopedia Sunda; Alam, Manusia Dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon
Dan Betawi (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000). Humaniora. 2014

Eva Rufaidah, “Perkembangan Kehidupan Keagamaan Masyarakat Muslim Perkotaan Bandung


1906-1930-An,” 2003

Herlina, Nina. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi
Kebudayaan Sunda, 1998.

KH, Jawad Mughafar. “Jejak-Jejak Dan Eksistensi Pesantren Di Jawa Barat Pada Abad 19
Sampai Dengan Dekade Ke Empat Abad 20 (1800-1945),” 2015, 35.

22

Anda mungkin juga menyukai