Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Chanoyu: Upacara Minum Teh Di Jepang Yang Berakar Dari

Buddha Zen

Nama : Dian Octaviani


NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan
segala karunia dan rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“SEJARAH CHANOYU: UPACARA MINUM TEH DI JEPANG YANG BERAKAR
DARI BUDDHA ZEN”. Dengan segala kemudahan dan kelancaran dari Allah saya
dapat menyelesaikan makalah tersebut dengan tepat waktu. Makalah ini akan membahas
mengenai sejarah dari upacara minum teh yang ada di Jepang yang diadopsi dan dibawa
oleh seorang buddha dari Tiongkok, menjelaskan mengenai makna, aliran, dan peralatan
yang digunakan dalam upacara minum teh di Jepang.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Akhir
Semester. Selain sebagai pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester makalah ini saya buat
untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya juga
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Julianto Ibrahim selaku dosen Sejarah Asia I,
sebab tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa menambah wawasan dan pengetahuan
saya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman – teman saya yang telah
mendukung dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terimakasih juga sya
smapaikan kepada orang – orang yang telah menyediakan jurnal maupun buku dengan
tema yang sesuai dengan topik bahasan saya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Chanoyu
2.2 Peralatan Dalam Chanoyu
2.3 Prinsip Dalam Upacara Minum Teh
2.4 Pengaruh Buddha Zen Dalam Chanoyu
2.5 Aliran Urasenke dan Aliran Wabicha
2.6 Makna dan Nilai Filosofi Dari Upacara Minum Teh (Chanoyu)

BAB III KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jepang merupakan salah satu negara yang masih menjunjung tinggi kebudayaannya.
Banyak masyarakat Jepang yang masih melakukan beberapa tradisi yang sudah sangat lama
tercipta. Salah satu budaya yang sampai saat ini masih banyak dilakukan adalah upacara
minum teh. Upacara minum teh di Jepang sering disebut sebagai chanoyu atau sado. Dalam
bahasa Jepang, seni dan pertunjukan menyajikan teh hijau atau matcha disebut otemae.
Tempat yang digunakan ketika melaksanakan upacara minum teh disebut sebagai chakai,
sebuah tempat pertemuan informal yang diadakan untuk menghormati ritual penyajian teh.
Upacara minum teh di Jepang berasal dan berakar dari Buddha zen yang berasal dari
Tiongkok.

Karena upacara minum teh dianggap sebagai salah satu dari tiga seni klasik murni dari
Jepang, di dalam upacara minum teh terdapat dupa kodo dan seni dalam merangkai bunga.
Ha ini bermula ketika biksu Eichu yang kembali dari Tiongkok pada tahun 815 dengan
membawa teh yang telah dikonsumsi ribuan tahun dan secara pribadi menyiapkannya untuk
Kaisar Saga. Karena Kaisar terkesan dengan rasa teh yang dibuat, kemudian Kaisar
memerintahkan untuk melakukan budidaya perkebunan teh di daerah Kinki, Jepang bagian
barat. Setelah adanya perkebunan tersebut, hasil teh Jepang melimpah dan banyak para
bangsawan yang mulai menyukai minuman tersebut. Mulai abad ke 12 teh mulai dikenal luas
di Jepang, semakin melimpah dan meluasnya teh. Maka minuman jenis ini sering digunakan
dalam upacara keagamaan di biara.

Mulai maraknya penggunaan the dalam acara keagamaan, membuat teh semakin
diminati dan menjadikan the sebagai sebuah minuman untuk kaum elit. Sehingga upacara
minum the menjadi trend di kalangan masyarakat Jepang pada waktu itu. Bahkan the hijau
terbaik berasal dari perkebunan di Kyoto yang bibitnya di bawa ke Jepang dari Tiongkok
oleh seorang biksu.

Pada zaman Muromachi tahun 1336 – 1573 muncul sebuah estetika Jepang yang di
dalamnya termasuk upacara minum the. Pada abad ke 16 upacara minum the menjadi hal
yang lazim di kalangan masyarakat Jepang. Selanjutnya ada tokoh yang diangga oenting
dalam sejarah the Jepang dan memiliki falsafah bahwa setiap pertemuan harus dihargai
karena tidak akan pernah bisa terulang. Bahkan dia memasukkan beberapa prinsip dalam
upacara minum teh yaitu harmoni, rasa hormat, kemurnian, dan ketenangan.

Karena keunikan dari upacara minum teh inilah maka, diharapkan makalah ini akan
memberikan wawasan baru kepada para pembaca. Upcara minum the ayng sudha mendarah
di Jepang merupakan sebuah budaya yang diadopsi dai budaya Tiongkok. Dibawa oleh
seorang biksu ke Jepang yang memperkenalkan teh kepada kaisar dan semenjak itu the
semakin meluas dan digemari oleh masyarakat Jepang. Meluasnya the ini di dukung dengan
perintah dari kaisar untuk melakukan budidaya the dan budidaya the yang peling baik berada
di Kyoto.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah Upacara Minum Teh Di Jepang?
2. Bagaimana Prinsip Yang Ada Di Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang?
3. Apa Saja Peralatan Yang Digunakan Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang?
4. Bagaimana Pengaruh Dari Buddha Zen Di Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang?
5. Bagaimana Aliran dan Makna serta Nilai Filosofis Upacara Minum Teh Di Jepang?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Upacara Minum Teh Di Jepang
2. Untuk Mengetahui Prinsip Yang Ada Di Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang?
3. Untuk Mengetahui Peralatan Yang Di Gunakan Di Dalam Upacara Minum Teh Di
Jepang?
4. Mengetahui Pengaruh, Aliran, dan Makna serta Nilai Filosofis Dalam Upacara Minum
Teh Di Jepang?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Chanoyu


Teh baru terkenal di Jepang bersamaan dengan masukknya agama Buddha dari
Tiongkok pada periode Nara (794 – 1192). Pad amasa itu the hanya ditanam di kuil dan
dianggap sebagai barang mewah, sehingga hanya bisa dinikmati oleh golongan pendeta atau
bangsawan. Sedangkan untuk Chanoyu baru dikenal di Jepang pada zaman Kamakura (1192
– 1333) oleh seorang Buddha Zen yang bernama Eisai yang kembali dari Tiongkok untuk
mempelajari agama Buddha1. Eisai memperkenalkan ritual minum the karena menurut
tradisi Buddha the dapat digunakan sebagai penambah kesiagan selama bermeditasi. Setelah
itu, seiring dengan makin berkembang dan meluasnya ajaran Buddha Zen. Chanoyu juga
turut berkembang di Jepang.

Chanoyu pada awalnya hanya diselenggarakan di lingkungan kaum bangsawan saja.


Biasanya juga dilakukan sebagai car auntuk merayakan sebuah kejadian penting yang
berkaitan dengan kaum bangsawan tersebut. Ritual ini dilaksanakan di dalam Chashitsu 2
yang biaanya dimiliki oleh seorang Kaisar dan kaum bangsawan. Peralatan, hiasan, dan
makanan yang disajikan sangat mewah dan beragam, sehingga pada masa itu chanoyu
dianggap sebagai perayaan yang menekankan kemewahan.

Sen no Rikyu (1522 – 1591) adalah seorang tokoh chanoyu yang membawa pemikiran
tentang kesederhanaan ke dalam upcara minum teh3. Sen no Rikyu merupakan penganut
setia Buddha Zen yang salah satu ajarannya adalah tentang kesederhanaan. Dia berpendapat
bahwa chanoyu seharusnya dapat diikuti oleh semua golongan masyarakat. pemikiran Rikyu
mendapat perhatian dan dukungan dari Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan seorang
bangsawan yang berpegaruh pada waktu ini.

Toyotomi Hideyoshi meminta kepada Sen no Rikyu untuk membawakan upacara pada
setiap chanoyu yang dia adakan. Sejak saat itu Rikyu menjadi tokoh yang dapat membawa
jiwa Wabi4 dalam setiap ritual minum teh yang dibawakannya yang kemudian disebut
sebagai wabicha5. Dengan mempertahankan pemikiran tersebut, Rikyu berhasil
mempertahankan chanoyu atau wabicha tetap eksis hingga sekarang. Seiring dnegan
1
Fajria Noviana, 2015. Kesederhanaan Wabicha Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang. Jurnal Izumi, Volume 5 No
1. Hlm 38.
2
Ruangan kecil untuk melakukan chanoyu.
3
Reny Wiyatasari. Penyajian Teh oleh Teishu dalam Ritul Sadoo: Potret Representasi Karakter Bangsa Jepang.
Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi. Hlm 195.
4
Sifat kesederhanaan
perkembangan tentang chanoyu, chashitsu kemudian dibangun di kuil, universitas, sekolah,
bahkan tempat kursus yang menyelenggarakan kursus chanoyu. Ruangan ini kerap kali
dibangun terpisah dari bangunan utama atau dibangun menempel dengan bangunan utama,
dikelilingi oleh taman kecil. Hal ini disebabkan karena telah dimulai ritual sejak sebelum
memasuki chashitsu jauh sebelum saat upacara minum teh dimulai.

Melanjutkan dari apa itu wabicha, wabi merupakan sebuah prinsip estetika dan moral
yang cenderung pada ketenangan dan bebas dari permasalahan duniawai. Bebas dari
permasalahan duniaawi juga dimaknai sebagai bebead dari kekhawatiran dan hal – hal yang
sifatnya materi. Prinsip yang menekankan pada kesederhanaan, keindahan, dan ketenangan
merupakan konsep utama dalam estetika chanoyu. Dengan prinsip ini Sen no Rikyu
menegaskan bahwa snagatlah penting untuk mencari “kekayaan dalam kepapanan”6 dan
“keindahan dalam kesederhanaan”. Dengan kata lain, dalam wabi seseorang akan diajak
untuk menghargai dan menikmati apa yang ada di sekitarnya dan walaupun itu sederhana.

Selain wabi terdapat pula istilah sabi yang umumnya digunakan untuk mengikuti kata
wabi. Sabi berasal dari kata sabishi yang berarti kesendirian. Menurut The Kodansha
Bilingual Encyclopedia of Japan, istilah sabishi memiliki arti secara luas sebagai
“pemisahana diri dari keramaian untuk menjcari keindahan”, suatu pandangan tipikal dari
ajaran Buddha di abad pertengahan. Jika kedua kata digunakan dalam satu rangkaian yait
wabi – sabi maka dapat diartiken sebagai “ketidaksempurnan, ketidaktetapan, dan
ketidaklengkapan. Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy tentang Japanese
Aesthetic merupakan bagian dari dua hal yang dapat dilihat dari kebudayaan jepang adalah
ketidaktetapan dan cara. Ketidaktetapan berkaitan dnegan ajaran Buddha Zen yang
perwujudannya dapat dilihat dari seni tradisional Jepang yang di dalmnya terkadang
mengandung keedihan dan juga terkadang mengandung kegembiraan7. Semetara untuk cara,
merupakan hal yang berkaitan erat dnegan konfusianisme yang mauk ke Jepang, seperti
yang terdapat dalam chanoyu (cara meminum teh) dan shodo (cara menulis/kaligrafi).

Sementara untuk ciri – ciri keindahan menurut estetika wabi – sabi adalah asimetris,
tidak halus, sederhana, akrab, dan alamiah. Sehingga dengan begitu sautu benda atau karya
seni yang memiliki bentuk sedikit kurang sempurna justru berharga lebih tinggi daripada
yang sempurna. Misalnya seperti dapat dilihat pada permukaan chawan yang kurang halus
atau lingkaran chawan yang tidak 100% bundar8.

Chanoyu merupakan sebuah wadah untuk memahami akan prinsip wabi yang
dikembangkan secara penuh. Dengan demikian wabicha yang dipelopori oleh Sen no Rikyu
5
Karena istilah ini kurang familiar maka penyebutan dalam upacara minum teh dengan jiwa wabi tetapi disebut
chanoyu
6
Opcit, Fajria Noviana, hlm 41.
7
Hal ini sama halnya dengan haiku.
8
Herbert Plutchow, 1986. Historical Chanoyu. Tokyo: The Japan Times.
dapat dianggap sebagai sebuah cara untuk lebih menghargai tata cara dan peralatan chanoyu
lokal yang lebih sederhana dibandingkan dnegan tata cara yang lebih mewah dan mahal.
Rikyu mendesai ulang sendiri tata cara, peralatan, dan chashitsu yang lebih sederhana
tersebut9.

2.2 Peralatan Dalam Upacara Minum Teh Di Jepang


Perjamuan upacara the didasarkan pada tema yang berbeda. Kesenangan dan
kenyamanan bagi para tamu adalah hal yang utama untuk merenungkan tema apa yang telah
dipilih tuan rumah. Tuan rumah harus mempertimbangkan secara khusus dalam menyatukan
perlengkapkan yang mencerminkan ide tema upacara tersebut. misalnya, jika perjamuan
diadakan pada musim panas, tuan rumah akan menawarkan tema yang leih sejuk. Misalnya
chawan atau mangkuk the dangkang dan sendok the dnegan tema seperti “embun” akan bisa
membantu para tamu merasa sejuk.
Suasana upcara perjamuan minum teh juga menentukan tema yang akan dipakai.
Pertemuan secara formal biasanya cenderung lebih tenang, temanya mngkin lebih kompleks
sehingga para tamu dapat meluangkan waktu mereka merenung sepanjang hari. Sebaliknya,
pertemuan informal lebih langsung dan menunjukka hati yang puitis dan ceria. Tuan rumah
menyatukan berbagai peralatan yang berbeda dalam bentuk, ukuran, warna, kebanyakan dari
alat yang digunakan merupakan peralatan the yang dibuatsecara tradisional. Menurut
Gensitsu berikut merupakan temuan istilah dalam peralatan pada chanoyu.
a. Chasitsu
Chashitsu dalam tradisi Jepang adalah ruang arsitektur yang dirancang digunakan untuk
upacara minum teh (Chanoyu). Leksikon ini terdiri dari 2 karakter yaitu cha yang artinya the
dan sitsu yang artinya ruangan. Ciri khas chashitsu adalah jendela shoft atau pintu geser
yang terbuat dari kisi – kisi kayu yang ditutupi oleh kertas Jepang yang tembus cahaya,
lantai tikar tatami, sebuah ceruk tokonoma10 serta warna dan gaya yang sederhana dan
lembut11. Ukuran idela untuk chashitsu adalah 4,5 tatami tikar.

b. Tatami
Tatami merupakan semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara
tradisional, Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatmi
dibuat dari sryrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam yang rata – rata
910 mm X 1.820 mm, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brocade atau kain hijau yang
polos12. Karena tatami terbuat dari jerami, tikar ini tidak hanya memberikan keindahan
dalam rumah, tetapi juga membantu untuk tetap hangat selama musim dingin di Jepang.

9
Ibid, Fajria Noviana, hlm 42.
10
Sebidang rungan yang menjadi titik puat di dalam sebuah ruangan.
11
Irzam Sarif, Susu Machdalena, 2021. Istilah – Istilah dalam Upacara Minum Teh Jepang Chanoyu (Suatu Kajian
Etnolinguistik). Jurnal Diglosia, Vol 2 No 2. Hlm 132.
12
Ibid, Irzam Sarif, hlm 133.
c. Chawan
Chawan (mangkuk teh) adalah mangkuk kecil yang digunakan untuk meminum teh.
Terdapat berbagai ukuran dna bentuk. Mangkuk dengan dasar yang rendah digunakan untuk
musim panas agar teh cepat dingin, sedangkan pada musim panas akan digunakan mangkuk
dengan dasar yang dalam13.

d. Chaki/natsume
Chaki atau natsume merupakan bak tempat penyimpangn bubuk teh hijau. Nama benda
ini pada dasarnya chaki, tetapi nama natsume juga digunakan karena ada wadah teh tertentu
yang bentuknya mirip buah plum yang memiliki bagian bawah lebih kecil daripada bagian
atasnya dan berwarna cokelat kemerahan.

e. Chasen
Chasen adalah pengocok teh dari bambu yang digunakan untuk persiapan pembuatan teh.
Dibuat dengan cara diukir dengan tangan dari sebatang bambu. Bergantung pada jenis
bambu mereka dibuat dari bentuk ruas, jumlah ruas, ketebalan bambu, panjang bambu,
warna benang yang dianyam di sekelilingan pangkal taring dan sebagainya.

f. Hishaku
Hishaku adalah sendok bambu panjang dengan bintil di sekitar bagian tengah
pegangannya. Ini digunakan untuk menuangkan air panas dari ketel (Kana) ke dalam
mangkuk the dan bila sesuai untuk memindahkan air dingin dari wadah air bersih ke panic
besi. Tetsubin (ketel besi) tidak membutuhkan hishaku. Untuk berbagai upacara dan musim,
jenis yang berbeda digunakan. Untuk upacara pembilasan tangan dan mulut oleh para tamu
sebelum memasuki ruang teh atau untuk digunakan oleh tuan rumah di area periapan
belakang ruang the (mizuya), versi yang lebih besar yang terbat dari kayu cemara dikenal
sebagai mizuya bishaku.

g. Chashaku
Leksikon ini terdiri dari dua karakter kanji yaitu cha dan shaku. Kanji pertama artinya
the dan kanji kedua artinya snedik besar sering disebut sendok teh, chashaku digunakan
untuk memindahkan teh bubuk dari wadah teh14 ke cangkir the (chawan). Sendok the pada
chanoyu biasanya terbuat dari bambu yang sempit dan tipis, meskipun yang terbuat dari
kayu atau gading juga tersedia. Panjangnya sekitar 18 cm. bahan asli yang dikirim dari
Tiongkok ke Jepanf adalah gading. Secara tradisional, ahli teh di Jepang telah mengukir
chashaku bambu mereka sendiri, memberi mereka tabung penyimpanan bambu (tsutsu) serta
nama puitis (mei) yang juga terukir di tabung penyimpanan. Ini akan sangat bergantung pada
nama puitisnya untuk memilih chashaku untuk digunakan pada pertemuan chanoyu.

13
Suryawati, 2018. Cerminan Jiwa Chanoyu dalam Pepatah Zen yang Terdapat pada Kakejiku. Jurnal Ayumi, 5(1).
Diakses dari https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/ayumi/article/view/862
14
Chaki
h. Mizusashi
Mizusashi adalah wadah berpenutup yang digunakan selama upcara oleh tuan rumah di
ruang teh untuk air dingin segar. Air di akhir upacara biasanya digunakan untuk mengisi air
di kama. Mitzusashi biasnaya terbuat dari keramik, tetapi mizusashi dari kayu, kaca, dan
logam juga digunakan.

i. Chabako
Chabako merupakan kota tertutup khusus berisi cangkir the, wadah the, sendok teh, dan
peralatan lainnya. Alat – alat tersebut merupakan perangkat pembuat the untuk perjalanan
luar rungan dan pembuatan teh. Tersedia juga dalam berbagai jenis, kota the terbuat dari
kayu dan mungkin diperni dan dihiasi atau dibiarkan tanpa perawatan. Dalam prosedur
pemakaiannya pada upacara teh, kotak dibawa ke tempat dimana teh akan dibuat. Sering kali
diatas nampan dan upacara berlanjut dengan setiap benda dikeluarkan dari kotak dan
terakhir akan dikembalikan lagi dalam kotak.

j. Kama
Kama atau ceret digunakan untuk memanaskan air. Kama diletaknya di atas kompor
arang yang disebut furo, dalam tungku yang terletak di atas lantai di ruang minum teh
Jepang. Kama memiliki dua jenis yaitu untuk musim panas dan musim dingin. Ada pula
banyak bentuk dan tekstur yang berbeda pada kama, tetapi yang paling penting adalah
kualitas dari suara pada saat air mulai mendidih.

k. Furo
Furo berada di bagian tengah rungan the yang digunakan sebagai pemanggang portable
untuk memanaskan ketel air panas (kama) untuk membuat the. Leksikon ini terdiri dari dua
karakter kanji yatu fu yanga rtinya angin dan ro anrtinya pemanas. Sementara contoh langka
dari furo kayu juga tersedia, mereka biasanya terbuat dari keramik atau logam.

l. Ro
Ro merupakan lubang api yang berada di lantai ruang tengah dan digunakan untuk
memanaskan ketel air panas untuk tdi musim dingin. Robuchi merupakan sebauh bingka
yang dipasang di sekelilingnya di bagian atas dan biasanya terbuat dari kayu berpernis.
Rangkanya dapat dilepas dan ro ditutup dengan salah satu tikar tatami yang membentuk
permukaan lantai selama musim saat ro tidak digunakan dan tidka terlihat.

m. Kensui
Kensui adalah istilah untuk wadah air bilas yang digunakan oleh tuan di ruang the.
Biasanya terbuat dari metal atau keramik, air yang telah digukana untuk membilas mangkuk
the yang dibuang lalu kemudian di masukkan ke dalam. Alat dijauhkan dari pandangan para
tamu sejauh mungkin dan menjadi barang terakhir yang dibawa ke ruang teh. Meskipun
kensui adalah benda yang diperlukan untuk upacara minum the. Namun bukan barang
“pameran” yang diharapkan secara khusus diperhatian oleh para tamu.
n. Tetsubin
Tetsubin terdiri dari dua karakter kanji yaitu tetsu yang artinya besi dan bin artinya kendi
atau ketel besi memiliki cerat dan pegangan tuang yang melintang diatas wadah besi. Selama
beberapa upacara minum teh, alat ini digunakan untuk memanaskan dan menuangkan air
panas.

Gambar 1. Bebarapa peralatan Chanoyu


seperti chasen, natsume, chasaku, chawan, hishaku.

Anda mungkin juga menyukai