Anda di halaman 1dari 292

中國佛教史概説

Sejarah Ringkas
Buddhisme
Tiongkok

i
中國佛教史概説

Sejarah Ringkas

Buddhisme Tiongkok
Oleh:

Nogami Shunjo, dkk.

ii
Sejarah Ringkas Buddhisme Tiongkok

Judul Asal:
仏教史概説 中国篇

Penulis:
Nogami Shunjo
Ogawa Kanichi
Makita Tairyo
Nomura Yosho
Sato Tatsugen

Penerjemah Jepang - Mandarin:


Master Shengyen

Penerjemah Mandarin - Indonesia:


Djoni (Ching Ik)

iii
Daftar Isi
Pengantar ................................................................................................................................................ v

Pengantar Penerjemah ........................................................................................................................... vii

Pengantar Penulis ................................................................................................................................... ix

Bab I Pendahuluan ........................................................................................................................ 1

Bab II Buddhisme Dinasti Han-Belakangan .................................................................................. 8

Bab III Buddhisme Dinasti Wei dan Jin ........................................................................................ 16

Bab IV Buddhisme Masa Dinasti Utara-Selatan ........................................................................... 32

Bab V Perkembangan Seni Buddhisme........................................................................................ 49

Bab VI Buddhisme Dinasti Sui...................................................................................................... 59

Bab VII Buddhisme Dinasti Tang (1) ............................................................................................. 73

Bab VIII Buddhisme Dinasti Tang (2) ............................................................................................. 91

Bab IX Buddhisme Dinasti Tang (3) ........................................................................................... 105

Bab X Buddhisme Dinasti Tang (4) ........................................................................................... 119

Bab XI Buddhisme Masa Lima Dinasti ....................................................................................... 130

BAB XII Buddhisme Dinasti Song-Utara ...................................................................................... 141

Bab XIII Buddhisme Dinasti Song-Selatan.................................................................................... 157

Bab XIV Buddhisme Dinasti Liao dan Jin ..................................................................................... 173

BAB XV Buddhisme Dinasti Yuan ................................................................................................ 185

BAB XVI Buddhisme Dinasti Ming ................................................................................................ 196

BAB XVII Buddhisme Dinasti Qing ................................................................................................. 212

BAB XVIII Buddhisme Era Republik Tiongkok ................................................................................ 226

Kronologi Sejarah Buddhisme Tiongkok ........................................................................................... 235

Daftar Referensi .................................................................................................................................. 261

iv
Pengantar

Dalam sejarah kawasan Asia, Buddhisme menduduki porsi yang sangat besar,
khususnya di kawawan Asia Timur yang telah berlangsung sejak lama. Buddhisme bukan
saja menjadi penopang bagi begitu banyak orang dalam kehidupan spiritual mereka dalam
jangka waktu yang panjang, begitu pula dari berbagai aspek kebudayaan, tidak perlu
disebutkan lagi, dari bidang politik dan ekonomi sedikit banyak juga terpengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa Buddhisme
Tiongkok adalah Buddhisme utama yang berkembang secara populer di Asia Timur.

Dengan bahasa yang dimilikinya, Tiongkok menerjemahkan dan menyerap ajaran


Buddha yang berasal dari India, sehingga menghasilkan kanon Tripitaka edisi bahasa
Tionghoa. Ini merupakan hasil perjuangan berat dan panjang dari para biksu asal barat (India
dan Asia Tengah) bersama umat Buddha Tiongkok. Kitab suci Buddhisme hasil terjemahan
ke bahasa Tionghoa ini diyakini oleh para sesepuh dari berbagai aliran di Tiongkok dan
Jepang sebagai teks yang berisi wejangan asli dari Buddha. Kemudian dari setiap aliran
tersebut membangun sistem ajarannya yang khas, dan pada akhirnya membentuk
karakteristik Buddhisme Mahayana yang berlandaskan “Buddhisme Tiongkok”

Setelah memahami substansi Buddhisme Asia Timur ini, maka kami akan
memperkenalkan sejarah perkembangan Buddhisme Tiongkok serta proses metamorfosanya.
Masing-masing bab dari buku ini ditulis oleh Nogami Shunjo, Ogawa Kanichi, Makita Tairyo,
Nomura Yosho, dan Sato Tatsugen. Naskah dari masing-masing penulis kemudian
dikumpulkan dan dibaca secara bersamaan, lalu dikompilasi menjadi satu buku. Tentu
penanggung jawab atas isi buku ini ditujukan kepada para penulis tersebut. Kami berlima
sekarang ini merupakan dosen pengajar Sejarah Buddhisme Tiongkok di masing-masing
perguruan tinggi. Maka berpijak dari pengalaman analisis pendidikan, semoga buku ini
menjadi bahan pelajaran praktis di perguruan tinggi. Sedangkan bagi kalangan cendikiawan
pada umumnya ia dapat dijadikan sebagai buku referensi untuk memahami sejarah
Buddhisme Tiongkok.

Kebetulan saya sebagai salah satu dari penulis buku ini yang berkarir di Universitas
Rissho. Master Shengyen yang datang ke Jepang untuk belajar, sekarang sedang mengenyam

v
pendidikan di universitas ini dengan mengambil program doktor. Beliau adalah seorang
pencari Dharma yang memiliki ketulusan dalam belajar. Beliau akan menerjemahkan buku
ini ke bahasa Mandarin, dan kabarnya akan diajukan untuk penerbitan. Dengan demikian
buku ini akan terpublikasi secara lebih luas, dan akan menyentuh ke lebih banyak pembaca.
Dengan memahami ini sebagai penyebarluasan yang benar juga merupakan hal yang sangat
menggembirakan. Oleh karena itu atas permintaan penerjemah saya menuliskan kata
pengantar ini, dan atas usaha beliau pula, maka dari lubuk hati yang dalam saya
mengucapkan terima kasih.

Nomura Yosho, November 1971

vi
Pengantar Penerjemah

Buku ini merupakan bagian dari bab tentang Buddhisme Tiongkok dalam buku Fojiao
Shi Gaishuo (Sejarah Ringkas Buddhisme). Selain itu terdapat 2 jilid lain yang berisi bab
tentang Buddhisme India dan Jepang. Bagi orang Tionghoa tentu bagian yang berisi tentang
Buddhisme Tiongkok dianggap paling penting. Sejarah Buddhisme Tiongkok yang disusun
oleh penulis lokal sebelumnya kebanyakan menitikberatkan pada penjabaran dari sisi
perkembangan aliran dan doktrinnya, dan jarang sekali dilakukan seperti dalam buku ini
dengan memperkenalkan dan menganalisis Buddhisme secara menyeluruh dari latar
belakangan kondisi masyarakat dan zaman yang dilaluinya, serta faktor geografi, akar
kebudayaan, dan pengaruh sistem politik yang saling berkaitan dengan Buddhisme.
Sedangkan mengenai aktivitas komunitas ajaran, perkembangan dan perubahan doktrinnya
tentu juga menjadi salah satu dari topik buku ini.

Kelebihan lain dari buku ini terletak pada isinya yang singkat dan padat meskipun
cakupan yang disentuhnya cukup luas, sehingga ketika orang yang membacanya akan dapat
langsung memahaminya.

Buku yang diterbitkan tahun 1968 ini merupakan karya terbaru tentang sejarah
Buddhisme Tiongkok. Yang paling unik dari buku ini adalah dengan menggabungkan 5
orang peneliti sejarah Buddhisme Tiongkok asal Jepang modern. Berdasarkan keahlian
mereka masing-masing lalu ditulis dengan pembagian beberapa bab, dan terakhir dikompilasi
menjadi satu jilid buku, kemudian diterbitkan oleh Heirakuji Shoten yang terkenal di Kyoto.

Buku ini tidak digunakan sebagai pengajaran agama untuk umum, tetapi dengan
memperkenalkan garis-garis besarnya berdasarkan sudut pandang sejarah yang murni bersifat
akademis. Karena itu, di berbagai perguruan tinggi di Jepang sekarang telah
menggunakannya sebagai materi pelajaran sejarah Buddhisme, dan saat yang sama juga
disukai oleh para cendikiawan. Tujuan menerjemahkan buku ini juga untuk memberi
kemudahan bagi cendikiawan lokal [Tiongkok], agar melalui penelitian sejarah Buddhisme
yang riil dapat memahami sejarah Buddhisme Tiongkok secara benar. Berikut akan
diperkenalkan para penulis buku ini:

vii
Nogami Shunjo : Mantan Rektor Universitas Otani (Doktor Ilmu Sastra)
Ogawa Kanichi : Profesor Universitas Ryukoku
Makita Tairyo : Wakil Profesor Universitas Kyoto (Doktor Ilmu Sastra)
Nomura Yosho : Mantan Kepala Fakultas Buddhologi Universitas Rissho (Doktor Ilmu
Sastra)
Sato Tatsugen : Wakil Profesor Universitas Komazawa

Pengantar : Shi Shengyen, Juni 1971, Tokyo

viii
Pengantar Penulis

Jika tidak memahami Buddhisme maka tidak akan dapat memperbincangkan


kebudayaan Asia, karena dalam sejarah Asia, Buddhisme memiliki pengaruh yang sangat
besar. Tiongkok sebagai suku bangsa yang berpusat di Asia Timur pernah menjadikan
Buddhisme sebagai tempat sandaran bagi kehidupan spiritual mereka dalam jangka waktu
yang lama. Hingga masa sekarang pun masih terpengaruh oleh Buddhisme dalam berbagai
aspek kebudayaan yang luas, begitu juga dalam bidang ekonomi dan politik baik secara
langsung maupun tidak langsung. Di kawasan yang luas ini, sehubungan dengan tradisi dan
letak wilayah dari masing-masing suku bangsa yang berbeda, maka cara mereka menyerap
Buddhisme sedikit banyak juga berbeda, oleh karena itu, kondisi Buddhisme yang menyebar
ke berbagai wilayah di Asia Timur juga menjadi hal yang sangat menggembirakan. Maka dari
itu, kita tidak boleh melupakan “Buddhisme Tiongkok” sebagai tonggak Buddhisme yang
berkembang secara populer di Asia Timur.

Tiongkok menerima Buddhisme yang berasal dari India dengan menerjemahkan


ajarannya ke bahasa mereka sendiri. Ini berkat usaha tanpa putus dari para biksu asal barat
(Asia Tengah) dan umat Buddhis Tiongkok. Dari kerja keras jangka panjang tersebut
akhirnya menyelesaikan penerjemahan Tripitaka versi bahasa Tionghoa. Para sesepuh
Tiongkok dan Jepang meyakini isi kitab suci Buddhisme yang diterjemahkan ke bahasa
Tionghoa ini sebagai wejangan asli dari Buddha, dan masing-masing dari mereka mendirikan
sistem ajarannya sendiri. Semua teks kitab suci yang menjadi pedoman dari setiap aliran
menggunakan bahasa Tionghoa, di mana hal ini memberi dukungan bagi Buddhisme yang
dianut umat Asia Timur, sehingga dengan menjadikan Buddhisme Tiongkok sebagai
landasan, ia tumbuh dan berkembang.

Maka di sini kita harus menguasai Buddhisme Tiongkok di mana ia sebagai sumber
utama dari Buddhisme Asia Timur, dan memperkenalkan kronologi sejarah dan kondisi
penyebarannya. Buku Sejarah Ringkas Buddhisme bagian ‘Bab tentang Tiongkok’ yang
dipersembahkan ini, dari sejak awal penulisan hingga diterbitkan telah berlalu 14 tahun.
Untuk edisi penerbitan ulang telah mengalami revisi dengan mengacu pada referensi literatur.
Tentu, masih belum mencapai hasil yang ideal. Karena itu dari segi tampilan bentuk naskah

ix
dan tulisan telah dipertimbangkan untuk revisi agar mencapai standar lembaga penerbit
seperti dalam bentuk baru ini.

Setiap bagian dari naskah ditulis oleh masing-masing penulis, kemudian draf tersebut
dikumpulkan bersama untuk dibacakan hingga seluruh bagian naskah diintegrasikan dalam
bentuk buku yang utuh. Namun dari sisi pertanggungjawaban, tidak perlu dijelaskan lagi,
tetap ditanggung bersama oleh penulis. Sekarang kami menjadi pengajar mata kuliah sejarah
Buddhisme Tiongkok di masing-masing perguruan tinggi, di mana melalui pengalaman yang
didapatkan dari pendidikan nyata ditambah dengan hasil penelitian terbaru hingga
menyelesaikan buku pelajaran ringkas untuk perguruan tinggi ini, dan juga dapat digunakan
para sarjana pada umumnya sebagai bahan referensi untuk memahami sejarah Buddhisme
Tiongkok. Inilah yang menjadi harapan kami dalam penggunaan buku ini. Mengenai
penyelesaian buku ini, banyak yang merupakan hasil kerja keras dari Wakil Profesor
Universitas Otani, Shizuka Shigeno, yang telah membantu melakukan tugas penyusunan dan
pengeditan naskah awal; salinan dan kutipan referensi literatur dikerjakan oleh Shiga
Takyoshi, dosen dari Universitas Otani; Pengerjaan indeks dibantu oleh Oda Yoshihisa,
asisten dosen dari Universitas Ryukoku. Nama-nama yang tercantum di sini sebagai
ungkapan rasa terima kasih dari kami.

Mei 1968,
Nogami Shunjo, Ogawa Kanichi, Makita Tairyo,
Nomura Yosho, Sato Tatsugen

x
Bab I Pendahuluan

1. Karakteristik Buddhisme

Buddhisme adalah agama yang muncul pada zaman India kuno, namun secara
karakteristik ia bukanlah agama monoteis yang memuja satu makhluk adikodrati yang
tunggal, juga bukan agama politeis yang memuja banyak dewa dewi. Meskipun Buddhisme
bersumber dari agama bangsa India kuno, yaitu Brahmanisme, namun ia merupakan agama
yang didirikan berdasarkan ajaran lisan dari Siddharta Gautama atau Sakyamuni pada abad
ke-6 SM.

Pendiri Buddhisme, Siddharta Gautama, meninggalkan kehidupan rumah tangga


untuk menjadi sramana (pertapa). Setelah melalui praktik asketik dan meditasi selama 6
tahun, akhirnya Beliau mencapai pencerahan dan menjadi Buddha (orang yang tercerahkan).
Berdasarkan pengalaman [pencerahan]Nya, tatkala Buddha menjelaskan tentang penerapan
metode hukum sebab musabab yang saling bergantungan, Beliau memperoleh banyak sekali
pendukung yang menjadi pengikutNya. Di antara mereka ada yang meninggalkan kehidupan
rumah tangga dan berfokus pada kontemplasi diri, sehingga terbentuk komunitas Buddhis
(Sangha). Maka pada selanjutnya terbentuk Tiga Permata, yaitu Buddha, Dharma, dan
Sangha, sebagai tanda berdirinya Buddhisme yang memiliki aspek sosial. Secara alami,
permata Buddha menjadi objek keyakinan Buddhisme, permata Dharma menjadi isi ajaran
dari keyakinan tersebut, sedangkan permata Sangha adalah komunitas Buddhis bagi
pemeluknya, dan pada selanjutnya terus berkembang sebagai aktivitas sosial. Secara
berangsur-angsur, hingga akhirnya ia berkembang menjadi agama timur yang dianut oleh
berbagai suku bangsa Asia.

Buddhisme adalah salah satu dari tiga agama besar di dunia pada zaman sekarang. Ia
merupakan agama yang didirikan oleh tokoh besar keagamaan, sama seperti agama Kristen
yang dibawakan oleh Yesus Kristus dan agama Islam yang dibawakan oleh Muhammad.
Akan tetapi dari esensi ajarannya terdapat perbedaan yang fundamental dengan agama
monoteis, seperti Yesus sebagai anak Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Allah,

1
sedangkan Buddhisme mengemukakan bahwa semua orang memiliki kesempatan untuk
mencapai Kebuddhaan, maka ia merupakan agama yang memiliki sifat panteisme.

2. Pengelompokan Wilayah dalam Sejarah Buddhisme

Buddhisme muncul di India, kemudian menjadi agama yang dianut oleh bangsa Asia,
hingga kini telah memiliki sejarah selama 2.500 tahun. Mengacu pada lingkup kebudayaan
Kristen di Eropa dan Amerika, dan lingkup kebudayaan Islam di Timur Tengah, maka
daratan Asia yang luas terbentuk menjadi pusat lingkup kebudayaan Buddhis. Buddhisme
menjadikan Tiga Permata—Buddha, Dharma, dan Sangha—sebagai aktivitas religius yang
bersifat organis tidaklah sama dengan organisme sosial dari suku bangsa dan regional di Asia.
Oleh karena itu, untuk pengelompokan aspek regionalnya diperlukan suatu kajian yang
cermat dan ulasan yang detail. Dengan demikian, Sejarah Ringkas Buddhisme yang kita tulis
juga dikelompokkan secara regional menjadi wilayah India, Tiongkok, dan Jepang, dengan
pembagian “Bab tentang India” , “Bab tentang Tiongkok” dan “Bab tentang Jepang”, yang
mana masing-masing dibagi sesuai dengan periodenya, baru kemudian dijabarkan sejarah
perkembangan Buddhisme. Saat membuat ikhtisar ini, untuk regional India, maka topik
ulasannya adalah mengenai sejarah Buddhisme awal, lalu dituliskan tentang kemunculan
Buddhisme di India. Untuk regional Tiongkok, titik sentralnya adalah sejarah Buddhisme
periode pertengahan, lalu dituliskan tentang penyebaran Buddhisme di berbagai wilayah di
Asia, sekaligus proses terbentuknya lingkup kebudayaan Buddhisme yang luas. Untuk
regional Jepang, meskipun terlihat seperti penyebaran Buddhisme periode pertengahan [dari
Tiongkok] yang kemudian tiba di Jepang, namun Buddhisme yang tersebar di berbagai
wilayah di Asia merupakan hasil penerimaan dari masing-masing etnis masyarakat yang
terserap ke dalam kepercayaan penduduk setempat, dan secara perlahan-lahan memikul
tanggung jawab perkembangan Buddhisme belakangan.

Buddhisme, selain di India, juga menyebar ke berbagai wilayah di Asia hingga


mencapai perkembangannya yang bersejarah. Dengan berpijak pada sudut pandang
Buddhisme Jepang, tatkala kita melihat sejarah Buddhisme dari berbagai wilayah di Asia,
maka India sebagai wilayah kemunculan Buddhisme, dan Tiongkok sebagai wilayah
penyebarannya, sedangkan Jepang menyerap Buddhisme dari Tiongkok, di mana hal ini
menjadi pokok kajiannya. Buddhisme India pertama kali masuk ke Tiongkok sekitar 500-an
tahun setelah kewafatan Buddha (parinirvana). Sedangkan Buddhisme Tiongkok masuk ke

2
Jepang terjadi pada periode 500 tahun kedua setelah parinirvana Buddha. Jarak periode antara
Buddhisme dari India masuk ke Tiongkok, kemudian dari Tiongkok masuk ke Jepang
masing-masing adalah 500 tahun. Tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa Buddhisme
dari sejak diperkenalkan hingga diterima, ajarannya masih dalam bentuk yang murni dari
pendirinya, Buddha Sakyamuni. Setelah ia menyebar ke berbagai wilayah dan sejarah
perkembangannya yang berlangsung selama 500 tahun, maka adanya hal-hal yang tersisip ke
dalam Buddhisme merupakan kenyataan yang tidak boleh tidak diakui. Setelah 1.000 tahun,
Buddhisme yang lahir di India ini menyebar hingga ke Jepang yang terletak di timur laut,
rangkaian peristiwa sejarah yang dilaluinya, mulai dari Buddhisme India hingga terbentuk
menjadi lingkup kebudayaan Buddhisme yang dianut secara luas oleh berbagai suku bangsa
di Asia, hingga mencapai ke Jepang, maka pada proses penyebaran dan penerimaannya tidak
boleh mengabaikan adanya proses interaksi dan akulturasi dengan berbagai kebudayaan dari
berbagai suku bangsa yang telah mengakar kuat. Alhasil, Buddhisme di timur sama seperti
nilai spiritual agama Kristen di lingkup kebudayaan barat, memiliki peran yang sama
pentingnya.

3. Jalur Penyebaran Buddhisme

Kebudayaan timur dibentuk oleh dua kerangka besar, yaitu peradaban India yang
besar dan luas meliputi wilayah aliran Sungai Indus dan Gangga; dan peradaban Tiongkok
yang meliputi wilayah aliran Sungai Kuning hingga Sungai Yangzi di selatan Tiongkok.
Kedua peradaban besar ini memiliki kondisi topografi, iklim, alam, dan budaya yang sama
sekali berbeda. Di antara keduanya, berhubung wilayahnya bersilangan dengan pegunungan
Pamir dan Himalaya, maka mereka mengalami kesulitan dalam menjalin komunikasi, karena
terhalang oleh faktor geografi, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk saling
kontak dalam jangka waktu yang panjang, dan sebagai akibatnya terbentuk kebudayaan yang
berdiri sendiri, yaitu lingkup kebudayaan India dan lingkup kebudayaan Tiongkok.

Misi [penulisan] Sejarah Buddhisme India adalah untuk mampu menyampaikan nilai
kekayaan sejarah Buddhisme yang lahir di tengah-tengah lingkup kebudayaan India. Buku
Bab tentang India yang telah beredar sudah mengemban misi ini. Ulasan berikutnya adalah
Bab tentang Tiongkok dengan tujuan menguasai secara tepat tentang fakta sejarah Buddhisme
India yang menyebar ke berbagai wilayah di Asia, dan bagaimana ia dapat diserap dan
diterima oleh masing-masing suku bangsa di wilayahnya masing-masing sebagai topiknya.

3
Dengan demikian, maka harus mempertimbangkan tentang jalur perkembangan lingkup
kebudayaan Buddhis yang luas. Buddhisme India sehubungan dengan munculnya Raja Asoka
dari Dinasti Maurya dan sokongannya kepada Buddhisme pada abad ke-3 SM, bukan saja
membuat Buddhisme yang baru lahir di wilayah aliran sungai Gangga ini dianut oleh seluruh
penduduk India, sekaligus juga mengirim Dharmaduta ke luar India sehingga memperoleh
kesempatan untuk menyebarkannya kepada suku bangsa lain. Hal ini membuat berbagai
wilayah India barat laut hingga negara-negara jajahan Yunani menjadi tahu tentang
Buddhisme, dan sebagai hasilnya, orang Yunani dan Persia juga menjadi pendukung dan
pemeluk Buddhisme. Selanjutnya, Dinasti Han (漢) sebagai lingkup kebudayaan Tiongkok di
wilayah timur mengawali hubungan dagang dengan Asia Tengah melalui jalur sutra, menjadi
pembuka hubungan antara timur dan barat Asia. Buddhisme India untuk pertama kalinya
didukung oleh para pedagang yang melewati jalur sutra, kemudian melalui Asia Tengah ia
menyebar sampai ke ujung timur Asia yang dihuni oleh suku bangsa Han—merupakan
lingkup kebudayaan Tiongkok. Namun proses penyebaran Buddhisme secara bertahap
melalui jalur darat Asia Tengah ini bukan hanya sebagai suatu aktivitas penyebaran agama
dari India saja, melainkan juga dapat terlihat proses penyerapan kebudayaan yang kompleks
dari Yunani, Romawi, Persia, dan India ke wilayah timur Asia yang luas, dan berinteraksi
dengan kebudayaan Tiongkok. Hal ini mengakibatkan pembentukan kebudayaan timur
mengandung nilai sejarah dunia.

Pada sisi lain, di Sri Lanka, Buddhisme menyebar ke selatan melalui jalur laut dengan
mengarungi samudera India. Setelah abad ke-2 M, bangsa Romawi mulai membuka jalur
perhubungan laut, dan Buddhisme juga memanfaaatkan jalur perdagangan laut selatan ini
untuk menyebarkan ajarannya ke berbagai daerah di wilayah selatan, dan melalui jalur laut
ini pula terlihat Buddhisme menyebar kembali lagi ke lingkup kebudayaan Tiongkok. Oleh
karena itu, Buddhisme Tiongkok pada awalnya masuk melalui jalur darat dari Asia Tengah,
dan pada gilirannya para pertapa dan biksu agung dari luar menyebarkan Dharma dengan
memanfaatkan jalur kapal dari selatan. Selanjutnya, dari Tiongkok sendiri juga terdapat tokoh
biksu peziarah seperti Zhu Shixing (朱士行) dan Faxian (法顯) yang melakukan perjalanan
mencari Dharma ke India serta berziarah ke tempat suci Buddhisme. Ini terjadi pada abad
masehi setelah melewati masa beberapa ratus tahun, di mana di antara kedua negara saling
berhubungan semakin intens, sehingga Buddhisme yang mewakili lingkup kebudayaan India
terserap ke dalam lingkup kebudayaan Tiongkok. Akibat dari penyerapan budaya luar bagi

4
Tiongkok sendiri merupakan tanda munculnya peradaban timur dalam aspek yang utuh. Hal
ini sudah merupakan masa-masa Dinasti Sui (隋) dan Tang (唐).

Sehubungan dengan kebangkitan Tibet dan jalinannya dengan Dinasti Tang dan India
pun telah membukakan gerbang perhubungan yang semakin erat. Setelah abad ke-7 dan 8
Masehi, jalur perhubungan di daratan tengah yang melewati hamparan pegunungan ini telah
menghubungkan India dan Tiongkok. Buddhisme India masuk ke Tibet kemudian
berkembang menjadi Lamaisme, di mana ini terjadi setelah masa akhir Dinasti Tang sebagai
fenomena baru dalam lingkup Buddhisme. Lamaisme berkembang secara garis lintang dari
daratan tengah Tibet ke wilayah Qinghai hingga Mongolia Dalam, dan Rehe (Jehol) hingga
Huabei ( 華 北 —Tiongkok Utara). Sebelumnya telah dikatakan bahwa Buddhisme yang
menyebar melalui jalur darat melalui Asia Tengah dan jalur laut melalui selatan dimediasi
oleh para pedagang yang telah menyebar ke masyarakat kaum petani; sedangkan Lamaisme
yang menyebar secara perlahan dari daratan tengah Tibet ke arah timur secara garis lintang
telah membentuk aspek unik di antara masyarakat kaum nomaden. Tatkala memanfaatkan
jalur perhubungan ini untuk menyebarkan ajarannya di antara para penganut Shamanisme dan
Politeisme di berbagai wilayah Asia, bagaimana Buddhisme India mendeterminasinya, dan
bagaimana pula proses asimilasinya? Inilah yang menjadi tema yang akan dikaji dengan jelas
dalam Bab tentang Tiongkok dalam buku ini.

4. Pembagian Periode dalam Sejarah Buddhisme


Dalam penelitian sejarah, periodesasi zaman dapat dibagi menjadi: zaman kuno,
zaman pertengahan, zaman modern awal, dan zaman kontemporer. Kecenderungan dan spirit
dari masing-masing zaman bukan hanya dilihat dari aspek politik dan ekonomi, tetapi lebih
harus memperhatikan kajian dari aspek agama dan kebudayaan. Sejarah Buddhisme menjadi
subjek dari penelitian Buddhisme, dan sejarah perkembangannya merupakan fokus dari tema
kajiannya yang dipusatkan pada aktivitas Buddhisme yang berkaitan dengan masyarakat dan
negara, kemudian memisahkan antara sudut pandang yang menitikberatkan filsafat
Buddhisme dengan perkembangan keyakinan. Yang awal adalah bentuk sikap penelitian
terhadap sejarah komunitas, dan yang belakangan adalah bentuk sikap penelitan terhadap
sejarah doktrin. Sikap para penulis buku ini, siapa pun dia tidak akan berpihak pada
perkembangan sosial Buddhisme. Di bagian mana pun nilai semangat Buddhisme Tiongkok

5
harus dilihat secara menyeluruh pada aspek perkembangan sejarah religius Buddhisme. Inilah
sikap yang harus dimiliki.

Dari sejak awal kedatangannya hingga sekarang, Buddhisme Tiongkok telah memiliki
sejarah selama 2.000 tahun. Agak sulit untuk mengklasifikasikan periodenya berdasarkan
klasifikasi zaman kuno, zaman pertengahan, zaman modern awal, hingga zaman kontemporer.
Sekarang hanya bisa mengasumsikan bahwa penyebaran Buddhisme dari India ke Asia
Tengah sebagai periode sejarah zaman kuno. Dari masa setelah Dinasti Han hingga era
Republik Tiongkok dapat dibagi menjadi 2 periode, yaitu masa akhir Dinasti Tang (唐)
hingga Lima Dinasti (五代) yang berakhir pada abad ke-10 Masehi sebagai periode awal
yang berlangsung selama 1.000 tahun, dan disebut sejarah zaman pertengahan; kemudian
periode belakangan, yaitu dari masa Dinasti Song-Utara (北宋) hingga akhir Dinasti Qing (清)
yang berlangsung selama 1.000 tahun, disebut periode sejarah zaman modern awal. Dari
masa Enam Dinasti (六朝) hingga Dinasti Sui (隋) dan Tang (唐) disebut sebagai era-nya
kaum borjuis dan ningrat, karena dari mereka-lah Buddhisme sebagai agama luar yang
pertama kali mendapat sambutan dan dukungan. Karena keberhasilan Dinasti Sui dan Tang
yang telah mempersatukan seluruh daratan Tiongkok juga tidak boleh mengabaikan peran
kekuasaan kaum ningrat, maka wajar saja jika bentuk kebudayaan di masa-masa ini memiliki
karakteristik kebangsawanan. Dalam kondisi sosial kemasyarakatan di kerajaan seperti itulah
Buddhisme tumbuh berkembang. Jika dalam 1.000 tahun ini diklasifikasikan lebih terperinci
lagi, maka hingga abad ke-4 merupakan era penerjemahan kitab suci, abad ke-5 dan ke-6
merupakan era pengkajian doktrin, abad ke-7 dan seterusnya merupakan era puncak aliran
Buddhisme, sedangkan kecenderungan pada kajian analitis masih belum terlihat dominan.

Bila perlu cobalah mengacu pada proses pencangkokan tanaman dari urutan
pertumbuhannya hingga berbunga sebagai analogi dari proses masuknya Buddhisme dari luar,
maka akan dapat menangkap aspek periodiknya. Jika proses terbentuknya Buddhisme
Tiongkok terhitung dari sejak masa Enam Dinasti hingga mencapai puncaknya pada masa
Dinasti Sui dan Tang dianggap sebagai topik kajian sejarah zaman pertengahan, maka pada
masa akhir Dinasti Tang dan Lima Dinasti yang mengalami pergolakan, kemerosotan kaum
ningrat, kebangkitan rakyat jelata, dan penegakan rezim monarki merupakan keunikan dari
Tiongkok periode zaman modern awal [untuk masa tersebut]. Para pejabat pendamping
kekuasaan monarki absolut dipilih dari kalangan rakyat melalui sistem ujian negara. Hal ini

6
memberi kekuatan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan politik dan kebudayaan
Tiongkok di masa itu. Buddhisme Tiongkok pada era kemerosotan kaum ningrat di masa
akhir Dinasti Tang dan Lima Dinasti mengalami dua kali penindasan besar-besaran, yaitu era
Huichang (會昌) dan Xiande (顯德), setelah itu yang dihadapi adalah masa-masa para raja
dan pejabat pemegang sistem kediktatoran yang berlangsung hingga zaman modern awal.

Di sini dapat terlihat Buddhisme Tiongkok berada di puncak kejayaannya pada masa
Dinasti Sui dan Tang. Setelah pergolakan politik di wilayah sentral yang kemudian terjadi
arus pengungsian ke wilayah selatan, maka Mazhab Chan (禪宗) mendominasi di masa
Dinasti Song (宋), kemudian aliran-aliran seperti Mazhab Tiantai (天台), Huayan (華嚴—
Avatamsaka), Lü (律—Vinaya) yang berasal dari masa Dinasti Tang mengalami kebangkitan
kembali. Selanjutnya terdapat era di mana aliran Chan, Jiao (教—doktrin; ini merujuk pada
aliran-aliran di luar Chan yang mengutamakan pengkajian doktrin, yaitu Tiantai, Huayan,
dll.), dan Vinaya saling bersaing, lalu berkembang lagi hingga era di mana terjadi peleburan
berbagai aliran. Jika pertentangan antara Buddhisme dan Taoisme pada masa Dinasti Utara
Selatan (南北朝) dijadikan sebagai perbandingan, maka kebangkitan kembali seni sastra pada
masa Dinasti Song-Utara hingga Song-Selatan adalah kejayaan gerakan Neo Konfusianisme,
masa di mana Buddhisme dan Konfusianisme saling mengkritisi. Ditelisik dari masa Dinasti
Yuan (元), Ming (明), Qing (清) secara berturut-turut, internal Buddhisme dapat dijelajahi
hingga ditemukan fenomena asimilasi antar berbagai aliran, sedangkan secara eksternal
terjadi sinkretisasi antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Pada zaman modern
awal, Konfusianisme berkembang menjadi agama golongan cendikiawan dan ningrat,
Taoisme menjadi agama kalangan rakyat jelata, dan Buddhisme berada di posisi antara kedua
golongan di mana ia dapat melakukan penyesuaian diri dengan golongan atas hingga raja, dan
ke bawah ia menjadi agama yang berada di kalangan masyarakat luas. Inilah kondisi
Buddhisme Tiongkok pada periode zaman modern awal.

Sehubungan dengan gerakan revolusi Republik Tiongkok yang meruntuhkan Dinasti


Qing, pada saat yang sama, Buddhisme Tiongkok juga didorong untuk menyambut
kebangkitan era baru. Buddhisme Tiongkok dalam setengah abad tersebut harus kembali
memusatkan perhatiannya pada perspektif sejarah modern.

7
Bab II Buddhisme Dinasti Han-Belakangan

—Masa Kedatangan dan Penyambutan

1. Tahun Kedatangan

Penentuan tahun kedatangan Buddhisme ke Tiongkok sebagai tanda asal usul


Buddhisme Tiongkok merupakan topik penelitian sejarah Buddhisme Tiongkok yang sangat
penting. Mengenai tahun tersebut, terdapat berbagai catatan yang berbeda dalam literatur
Tiongkok. Pernyataan tertua berasal dari masa Dinsati Zhou (周), di mana dikatakan bahwa
orang Tionghoa telah mengetahui tentang keberadaan Buddhisme, namun ada juga
pernyataan bahwa asal mulanya dari masa Kaisar Han Mingdi dari Dinasti Han-Belakangan
(後漢明帝). Apa yang menjadi penyebab adannya perbedaan waktu selama beberapa ratus
tahun dari kedua pernyataan ini?

Pertama, sehubungan dengan penyebaran Buddhisme India ke Asia Tengah,


kemudian terjalinnya hubungan yang intens antara Tiongkok dengan Asia Tengah, maka
secara bertahap Buddhisme di Asia Tengah pun masuk ke Tiongkok, sehingga sangatlah sulit
untuk menentukan tahun kepastiannya.

Kedua, sehubungan dengan berdirinya komunitas Sangha di Tiongkok dan memiliki


cukup kekuatan pengaruhnya, maka muncul pula pertentangan antara Taoisme sebagai
kepercayaan tradisional bangsa Tionghoa dengan Buddhisme, hingga juga mendorong
terbentuknya komunitas Taoisme. Tatkala kondisi kekuatan [pengaruh] dari kedua agama ini
mencapai titik persaingan, maka secara alami juga terjadi perdebatan tentang keunggulan
doktrin masing-masing. Pada saat itu, dari sisi Buddhisme, demi mempertahankan kekuatan
pengaruhnya maka mengeluarkan pernyataan bahwa Buddhisme telah masuk ke Tiongkok
pada masa yang sangat awal. Oleh karena itu, berangsur-angsur muncul berbagai kisah
legenda tentang masuknya Buddhisme, dan di antaranya yang paling populer adalah kisah
pencarian Dharma oleh Kaisar Han Mingdi (28 M – 75 M).

8
2. Kaisar Mingdi Mencari Dharma

Kisah Kaisar Han Mingdi mencari Buddha Dharma tercatat dalam kitab Houhan Shu
bagian Xiyu Zhuan (后漢書. 西域傳—Kitab Sejarah Han-Belakangan –bagian Legenda
Negeri Barat (Asia Tengah)) yang mengisahkan tentang mimpi Kaisar Han Mingdi mencari
Dharma dan bertemu dengan sosok manusia emas, kemudian baru mengetahui adanya tokoh
Buddha beserta ajaranNya. Maka selanjutnya kaisar mengirim para utusannya berangkat ke
Asia Tengah demi mencari ajaran Buddha. Di tengah perjalanan, para utusan bertemu dengan
dua orang biksu dari India, yaitu Kasyapa Matanga dan Dharmaraksa yang sedang
mengangkut kitab suci dan rupang Buddha yang ditunggangi kuda putih. Dan pada tahun ke-
10 dari era Yongping (永平) masa pemerintahan Kaisar Han Mingdi (67 M), mereka tiba di
luar gerbang ibu kota Luoyang, lalu dibangunkan Wihara Baima (白馬寺—Wihara Kuda
Putih) untuk mereka tempati. Selanjutnya disebutkan bahwa mereka menetap di sana sambil
menerjemahkan kitab Sishi’er Zhang Jing (四十二章經— Sutra Empat Puluh Dua Bagian).
Kisah ini telah tersebar luas pada masa Tiga Dinasti (三國) sehingga dipandang sebagai fakta
kebenaran. Namun pada masa sekarang ini, dari penelitian literatur mengenai tahun
pengiriman utusan mencari Dharma dan mimpi sosok manusia emas, serta mengenai nama
utusannya, dengan alasan apa pun, kondisi Tiongkok pada saat itu tidak mungkin terdapat
pengiriman utusan secara resmi dari pihak kerajaan untuk menjalin hubungan dengan Asia
Tengah. Mengenai kitab Sutra Empat Puluh Dua Bagian, ini merupakan salinan potongan isi
Sutra yang ditemukan belakangan, tidak mungkin dapat dianggap sebagai fakta sejarah. Hal
ini jelas terlihat ia tak terlepas dari ranah mitologi. Mungkin tujuannya untuk menunjukkan
kekuatan pengaruh dari Buddhisme yang didatangkan ke Tiongkok melalui kehendak kaisar,
bahkan memperoleh keyakinan dari kaisar.

Lantas, untuk permasalahan ini, terdapat dua sumber informasi yang menjadi
perhatian para sejarawan masa belakangan ini, yaitu catatan dari kitab Weilue (魏略—Sejarah
Dinasti Wei) dan Houhan Shu ( 后 漢 書 —Sejarah Dinati Han-Belakangan) bagian Chu
Wangying Zhuan (楚王英傳—Biografi Chu Wangying).

9
3. Catatan dari Kitab Weilue

Catatan dalam kitab Weilue disalin ke dalam kitab San’guo Zhi (三國志—Catatan
Sejarah Tiga Dinasti) bagian Wei Zhi – Xi Rong Zhuan (魏志. 西戎傳—Sejarah Dinasti Wei
bagian Biografi Xi Rong). Ini merupakan kitab yang ditulis oleh sejarawan asal Dinasti Wei
(魏), Yu Huan (魚豢). Di dalamnya tercatat bahwa pada tahun pertama dari era Yuanshou
(元壽; 2 SM) masa Kaisar Han Aidi (漢哀帝) di akhir Dinasti Han-Awal, seorang terpelajar
bernama Jing Lu (景盧) menerima ajaran lisan tentang Futu Jing (浮屠經—Sutra Buddha)
dari Yi Cun (伊存), utusan raja dari kerajaan Yuezhi. Sumber sejarah ini juga memiliki
tingkat reliabilitas yang tinggi, juga merupakan sumber informasi tertua mengenai masuknya
Buddhisme ke Tiongkok, sehingga dipandang sebagai acuan yang bernilai tinggi.

4. Chu Wangying Memuja Buddha

Catatan kitab Houhan Shu Bab ke-72 yang berkenaan dengan kisah Chu Wangying
(楚王英) secara garis besar adalah sebagai berikut: Ying (? – 71 M) adalah adik Kaisar Han
Mingdi dari ibu yang berbeda. Pada tahun ke-8 dari era Yongping (永平) masa Kaisar Han
Mingdi (65 M), ia dicurigai memiliki maksud buruk terhadap kaisar. Hal ini dapat terlihat
dalam pemberian titah kaisar kepada Ying, di mana dinyatakan bahwa karena Ying sering
memuja Buddha dan memberi persembahan kepada sramana (pertapa) dan upasaka (umat
awam Buddhis), maka kaisar mengembalikan kekayaan dari hasil persembahan Ying untuk
membantunya dalam kegiatan pemujaan Buddha. Tahun peristiwa pemujaan Buddha oleh
Chu Wangying ini bertentangan dengan kisah pencarian Dharma oleh Kaisar Han Mingdi,
namun kisah ini telah dianggap sebagai fakta sejarah.

Dengan merangkai catatan di atas dan diteliti lebih jauh, maka pada masa akhir
Dinasti Han-Awal, atau sekitar awal tahun masehi, kabar tentang Buddhisme telah diketahui
oleh bangsa Tiongkok. Pada abad pertama masehi, [kabar tersebut sampai di] kota Chang’an
dan Luoyang, bahkan telah tiba di Pengcheng (彭城), wilayah kekuasaan Chu Wangying
(Provinsi Jiangsu). Pernyataan ini diketahui dari para bangsawan Dinasti Han-Belakangan
yang telah memeluk Buddhisme. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa bagaimana
pun juga, kisah Yi Cun mengajarkan Sutra Buddha dan Chu Wangying memuja Buddha, juga
hanya merujuk pada penggalan catatan yang tidak utuh. Sesungguhnya kapan sebenarnya

10
bangsa Tiongkok mengetahui keberadaan Buddhisme dan paling awal memeluk Buddhisme
tidaklah diketahui. Akan tetapi, sekitar abad awal masehi, Buddhisme masuk ke Tiongkok
melalui pembukaan jalur perhubungan darat antara barat (Asia Tengah) dan timur.

5. Hubungan Barat dan Timur

Buddhisme yang didatangkan ke Tiongkok melalui pembukaan jalur perhubungan


barat dan timur berawal pada masa Dinasti Han-Awal. Demi menghadapi dan mengatasi
ancaman suku barbarian terhadap Tiongkok bagian utara, maka pihak kerajaan Han-Awal
menaruh perhatian pada hubungan perdagangan dengan Asia Tengah. Di sini dapat dilihat
dengan adanya tokoh Zhang Qian (張騫) (? – 114 M), utusan dari masa Kaisar Han Wudi (漢
武帝) yang melakukan perjalanan ke Asia Tengah. Motif dari perjalanannya adalah memasok
komoditas Asia Tengah ke Tiongkok. Berhubung Tiongkok juga menghargai produk dari
barat tersebut, maka transaksi barang antara timur dan barat pun berkembang dengan pesat.
Transaksi ini terutama dilakukan oleh suku bangsa Iran, kemudian orang Persia dan India
juga berpartisipasi di dalamnya.

Saat itu, karena ada Dharmaduta (misionaris Buddhis) yang pernah dikirim oleh Raja
Asoka hingga ke Asia Tengah, maka di sana sudah terdapat aktivitas penyebaran Buddhisme.
Sebagaimana kita ketahui, para pedagang yang menganut Buddhisme telah memediasi
penyebaran Buddhisme hingga ke Tiongkok, ini bukanlah hal yang aneh. Wilayah Asia
Tengah saat itu selain sedang populernya perkembangan Buddhisme Mahayana, juga populer
dengan Buddhisme Hinayana. Namun Buddhisme yang berkembang di Asia Tengah sama
sekali sudah tidak sepenuhnya sama dengan Buddhisme yang murni dari India, melainkan
sedikit banyak telah terserap oleh kebudayaan Asia Tengah dan mengalami perubahan. Oleh
karena itu, sehubungan dengan kepercayaan suku dan kondisi setempat mengakibatkan
Buddhisme pun sedikit banyak terpengaruh oleh kondisi lokal. Jadi, kita tidak boleh lupa
bahwa Buddhisme yang masuk ke Tiongkok pada periode awal dapat terlihat sehubungan
dengan ia telah melewati Asia Tengah sehingga mengalami perubahan pada proporsi tertentu.

6. Munculnya Kitab Suci

11
Pada awalnya, Dharma yang diwejangkan oleh Buddha tidak dicatat dalam bentuk
tulisan, melainkan dengan cara dihafal oleh para biksu senior, kemudian diwariskan ke para
siswa secara lisan. Kondisi ini bukan saja dialami oleh Buddhisme, namun pada zaman India
kuno, misalnya dalam kitab Veda, satu-satunya cara untuk mewariskan ajaran agung adalah
dengan pelantunan lisan, jadi hal ini juga tidak terkecuali bagi Buddhisme. Setelah
parinirvana (kemangkatan) Buddha, para siswa berkumpul bersama dan melantunkan ajaran
yang dipraktikkan oleh mereka, lalu memverifikasi kembali apakah terdapat perbedaan
dengan apa yang telah diwejangkan oleh Buddha, setelah itu ajaran tersebut dihimpun untuk
dilestarikan agar terhindar dari kelenyapan, dan inilah yang disebut konsili. Akan tetapi,
seiring dengan berjalannya waktu, jumlah ajaran yang terhimpun semakin bertambah hingga
mengakibatkan kesulitan dalam pelantunan. Pada waktu yang sama, dengan hanya
bergantung pada metode pelantunan juga tidak akan terhindar dari munculnya doktrin dan
makna yang berbeda, sehingga mudah menimbulkan kekacauan dalam komunitas. Dengan
demikian, maka muncul motif untuk melestarikan ajaran suci ini dalam bentuk tulisan.
Begitulah, kitab suci Buddhisme muncul sebagai tuntutan kebutuhan atas kondisi nyata pada
saat itu. Hal ini terjadi pada abad awal masehi, sedangkan Buddhisme masuk ke Tiongkok
secara kebetulan juga terjadi pada masa tersebut.

Meskipun orang Tionghoa yang paling awal mengetahui dan menjadi penganut
Buddhisme adalah Chu Wangying, namun fondasi Buddhisme Tiongkok dapat berdiri kokoh
justru menunggu sampai masa akhir Dinasti Han-Belakangan yang diawali dengan
penerjemahan kitab suci Buddha ke dalam aksara Han (bahasa Tionghoa). Di akhir Dinasti
Han masa kekuasaan Kaisar Han Huandi (後漢桓帝; 146 – 167 M), ada dua tokoh biksu
yang datang ke Tiongkok, yaitu An Shigao (安世高) dan Lokakṣema (支樓迦懺).

An Shigao adalah seorang putra mahkota dari Persia. Setelah ayahnya meninggal, ia
mendapat kesempatan meninggalkan kehidupan rumah tangga. Saat menginjak dewasa, ia
mempelajari kitab-kitab Abhidharma dan Sutra yang berkenaan dengan teknik meditasi.
Beliau datang ke Tiongkok pada masa kekuasaan Kaisar Han Huandi dan Han Lingdi (漢靈
帝—yang berkuasa antara 168 – 189 M). Selama 20 tahun, ia memusatkan perhatiannya pada
penerjemahan kitab suci Buddha ke bahasa Tionghoa, di mana hasil terjemahan tersebut di
antaranya adalah Catuḥ-satya-sūtra (四諦經), Dharmacakra-pravartana-sūtra (轉法輪經) ,
Aṣṭâṅga-mārga-satya-sūtra (八正道經), Ānāpānasmṛti Sūtra (安般守意經), dengan total

12
mencapai 34 judul, 40 bab. Semua kitab ini tergolong dalam divisi Hinayana. Sehubungan
dengan pergolakan politik akhir Dinasti Han-Belakangan, An Shigao mengungsi ke wilayah
selatan. Konon, ia meninggal di Kuaiji (會稽), Provinsi Zhejiang (浙江), dan mengenai
kejadian detailnya tidak diketahui dengan jelas.

Selanjutnya, Lokakṣema datang ke Tiongkok lebih belakangan dari pada An Shigao.


Ia lahir di Kerajaan Yuezhi (月支). Pada masa akhir kekuasaan Kaisar Han Huandi, ia tiba di
kota Luoyang. Pada era Kaisar Han Lingdi, ia menerjemahkan kitab Aṣṭasāhasrikā-
prajñāpāramitā-sūtra (道行般若經), Pratyutpanna-buddha-saṃmukhâvasthita-samādhi-sūtra
(般舟三昧經), Śūraṃgama-sūtra (首楞嚴經), Sukhāvatīvyūha-sūtra (無量清淨平等覺經),
dengan total 13 judul, 27 bab. Semua kitab ini tergolong dalam divisi Mahayana.

Pada masa akhir Dinasti Han-Belakangan atau sekitar pertengahan abad ke-2 masehi,
kedua tokoh ini sama-sama menetap di ibu kota Luoyang, dan masing-masing
menerjemahkan kitab divisi Hinayana dan Mahayana. Hal ini disebabkan oleh lokasi
kelahiran mereka memiliki basis aliran Buddhisme yang berbeda. Lantas, kitab-kitab yang
mereka persembahkan kepada bangsa Tionghoa adalah doktrin dasar ajaran Hinayana yang
berupa Empat Kebenaran Mulia, Jalan Kebenaran Beruas Delapan, 12 Sebab Musabab yang
Saling Bergantungan, serta kitab-kitab Mahayana yang dominan dengan gagasan berlimpah,
yang tidak lain sama-sama diterima sebagai ajaran yang diwejangkan oleh Buddha
Sakyamuni. Saat itu juga tidak mempertanyakan tentang bagaimana kemunculan kitab baik
Mahayana maupun Hinayana, juga tidak memikirkan masalah kronologi sejarah
perkembangannya. Sejak awal mereka telah menerima kitab-kitab Mahayana dan Hinayana
yang populer di Asia Tengah dengan memandangnya sebagai ajaran langsung dari mulut
Buddha. Keunikan Buddhisme Tiongkok sesungguhnya berawal pada masa-masa ini.

Selanjutnya, atas dasar sikap apa yang membuat bangsa Tionghoa menerima
Buddhisme? Tatkala Buddhisme menyebar masuk ke Tiongkok era Dinasti Han, kerangka
dasarnya dibangun di atas fondasi budaya bangsa Han yang tinggi dan kokoh. Dengan
demikian, untuk memasukkan sebuah nilai peradaban yang sama sekali berbeda, pertama-
pertama harus menemukan titik kesamaan pemikiran dan keyakinan dengan bangsa Tionghoa
sebagai perantara. Ini sudah sangat jelas. Meskipun Dinasti Han adalah era-nya penegakan
doktrin Konfusianisme secara akademis, namun selain itu juga terdapat Taoisme, sebuah

13
basis ajaran yang menyukai kehidupan terasing dan menjadikan tokoh Laozi (老子) sebagai
pendirinya, namun di kalangan masyarakat, tidak dipungkiri juga berkembang Taoisme yang
berawal dari praktik jalan dewa, dan alkmia yang bertujuan mencari hidup abadi. Oleh karena
itu, hingga masa Dinasti Han-Belakangan, kepercayaan takhayul tentang ilmu kedewataan,
alkimia, simbol ramalan, dll sangat semarak. Sehubungan dengan kepiawaian pendeta
Taois—yang telah mendewakan Huangdi (黄帝— Kaisar Kuning) dan Laozi—dalam ilmu
mantra sehingga banyak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Tatkala para sramana
(biksu) dari luar negeri datang ke Tiongkok, begitu orang Tionghoa melihat keunikan cara
berpakaian mereka, memuja rupang Buddha, melantunkan isi kitab suci yang bahasanya tidak
dipahami, dan praktik upacara keagamaannya, maka di mata orang Tionghoa yang beretnis
Han pun merasa mereka ini hanyalah sekelompok orang yang identik dengan praktisi Taois,
tidak ada perasaan aneh dengan perilaku mereka yang menjauhi kehidupan duniawi setelah
dibandingkan dengan pendeta Taois yang menjalani hidup terasing. Seiring dengan kesan
seperti ini, maka Buddha pun dipersepsikan sama dengan figur Huangdi dan Laozi.

Orang-orang di sekitar Chu Wangying, tokoh yang telah disebutkan sebelumnya,


sudah terdapat pendeta Taois. Chu Wangying sendiri adalah orang yang dikatakan
“melantunkan ajaran luhur dari Huangdi dan Laozi”, sekaligus seorang pemuja Buddha.
Kemudian, Kaisar Han Huandi juga menjalani aktivitas keagamaan dengan antusias, seperti
memuja Huangdi, Laozi, dan Buddha. Oleh karena itu, dalam nasihat pendeta Taois, Xiang
Kai (襄楷) kepada kaisar juga terdapat pernyataan, “Laozi pergi ke negeri barbarian dengan
menjelma sebagai Buddha”, di mana ini sebagai hal yang layak diperhatikan. Buddha sama
sekali tidak memerlukan Huangdi dan Laozi untuk dapat “tampil ke permukaan” secara
bersamaan, namun pada saat itu Beliau dipandang sama dengan Huangdi dan Laozi,
Buddhisme dipandang sebagai agama yang bersumber dari ajaran Huangdi dan Laozi,
dianggap sebagai legenda yang memiliki karakter yang sama, bukan yang lain. Demikianlah
Buddhisme pertama kali dianggap sebagai sesuatu yang identik dengan ajaran Huangdi dan
Laozi sehingga dapat diterima oleh masyarakat bangsa Han . Oleh sebab itu, pada masa akhir
Dinasti Han, kitab Li Huo Lun (理惑論—Risalah Pembenahan Keraguan) yang ditulis oleh
Mouzi ( 牟 子 ), kepala distrik Changwu, menjadi dasar pemikiran untuk merekonsiliasi
Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme; dan meletakkan Buddhisme di atas kedua ajaran
tersebut. Sebagai bahan penelitian tentang bagaimana Buddhisme diterima di masa Tiongkok
klasik, kitab ini telah menyajikan topik kajian yang penting. Hanya saja mengenai kapan

14
kitab ini ditulis masih belum dapat dipastikan, atau disebutkan bahwa ia muncul sekitar masa
Dinasti Utara Selatan, yaitu Song (宋) dan Qi (齊).

15
Bab III Buddhisme Dinasti Wei dan Jin

—Penerjemahan dan Kajian Kitab Suci

1. Penerjemah di Masa Dinasti Wei dan Wu


Pada masa berdirinya Tiga Dinasti—Wei (魏), Shu (蜀), dan Wu (吳),para tokoh
penerjemah yang patut mendapat perhatian adalah mereka yang hidup di sekitar wilayah
Tiongkok utara (Jiangbei 江 北 —bagian utara Sungai Changjiang), di antaranya adalah
Dharmakāla dari India Tengah, Saṃghavarman dari Kangju (Asia Tengah), Dharmottara dari
Persia. Kemudian di wilayah Tiongkok selatan alias Jiangnan (江南—bagian selatan Sungai
Changjiang), di antaranya adalah Zhi Qian (支謙) dari Dinasti Wu, Kang Senghui (康僧會)
dari Kangju.

Salah satu dari mereka, yaitu Dharmakāla, pada tahun ke-2 dari era Jiaping (嘉平;
250 M) masa Kaisar Wei Feidi (魏廢帝), menerjemahkan kitab Mahāsāṃghika-vinaya (僧
祇戒本), dan Dharmottara menerjemahkan kitab Dharmaguptaka-karmavacana (曇無德羯
磨 ), yaitu tatacara penerimaan Sila menurut Cāturvargīya-vinaya (Dharmagupta-vinaya).
Sebelumnya, anggota Sangha di Tiongkok hanya tahu mencukur habis rambut, namun tidak
memahami tata cara penerimaan Sila yang benar (ritual memasuki komunitas Sangha disebut
Jiemo Fa (羯磨法)). Ini merupakan persiapan ritual yang khidmat. Konon, orang Tionghoa
pertama yang menjadi anggota Sangha menurut tata cara ritual ini adalah Zhu Shixing (朱士
行).

Zhu Shixing adalah penduduk asal Yingchuan (穎川; Provinsi Henan). Ia menguasai
dengan baik kitab Prajnaparamita Sutra, dan sesekali memberi ceramah tentang kitab
Aṣṭasāhasrikā-prajñāpāramitā (道行般若經) di kota Luoyang, namun karena ia menemukan
bahwa [hasil terjemahan] kitab ini berbeda dan tidak selengkap dengan sumber aslinya, maka
pada tahun ke-5 dari era Ganlu (甘露; 260 M) masa Dinasti Wei (魏), ia berangkat dari

16
Yongzhou (雍州) (Chang’an, Provinsi Shaanxi) menuju ke kerajaan Khotan (kini wilayah
Xinjiang) yang jauh. Di sana ia memperoleh kitab Prajnaparamita Sutra dari sumber asli
sebanyak 25.000 bait, kemudian muridnya, Puṇyādarsa, ditugaskan membawa pulang kitab
ini ke Wihara Shuinan (水南寺) di kota Cangyuan (倉垣), wilayah Chenliu (bagian barat
daya Kabupaten Kaifeng, Provinsi Henan). Beliau sendiri meninggal di Khotan dalam usia 80
tahun. Pada tahun pertama dari era Yuankang (元康; 291 M) masa kekuasaan Kaisar Jin
Huidi ( 晋 惠 帝 ), kitab Sanskerta yang diperolehnya diterjemahkan ke bahasa Tionghoa
dengan judul Fangguang Bore Jing (放光般若經—Sutra Pancaran Cahaya Kebijaksanaan)
sebanyak 20 bab oleh Mokṣala—penerjemah asal Khotan yang datang ke Tiongkok pada
masa Dinasti Jin-Barat (西晉)—dan Zhu Shulan (竺叔蘭) yang berasal dari Henan. Ada pun
pada tahun ke-4 dari era Jiaping ( 嘉 平 ; 252 M) masa Kaisar Wei Feidi ( 魏 廢 帝 ),
Saṃghavarman tiba di kota Luoyang untuk menerjemahkan kitab Sukhāvatī-vyūha-sūtra (無
量壽經) sebanyak 2 bab, kemudian ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kitab yang
eksis sekarang ini adalah hasil terjemahan oleh Dharmaraksa (竺法護) dari masa Dinasti Jin-
Barat (東晉) atau ada juga yang mengatakan oleh Ratnamegha (法雲) dari masa Dinasti Liu-
Song (劉宋).

Di samping itu, Zhi Qian (支謙) alias Gongming (恭明) dari Dinasti Wu adalah
penerjemah yang leluhurnya berasal dari negeri Yuezhi. Sejak kecil ia bersama kakeknya,
Fadu (法度) pindah ke Tiongkok, dan belajar di bawah bimbingan Zhi Liang (支亮)—salah
seorang murid Lokakṣema. Zhi Qian adalah guru yang dihormati oleh Kaisar Sun Quan (孫權)
dari Dinasti Wu, serta menjadi pejabat perpustakaan negara. Selain menjadi guru
pembimbing putra mahkota di istana timur, ia juga menerjemahkan kitab suci yang di
antaranya adalah Sukhāvatī-vyūha-sūtra (大阿彌陀經), Vimalakīrti-nirdeśa-sūtra (維摩經),
Ruiying Benqi Jing ( 瑞 應 本 起 經 ), Mahāparinirvāṇa-sūtra ( 大 般 泥 洹 經 ). Ia juga
menggubah Tiga Bagian Senandung suci(Brahma-pathaka) Pujian kepada Bodhisatwa (讚菩
薩連句梵唄三契), juga menulis catatan kaki dan komentar atas kitab Liaoben Shengsi Jing
(了本生死經).

Tokoh selanjutnya, Kang Senghui (康僧會) (? – 280 M), adalah penduduk asli dari
Kangju yang menetap di India, kemudian berpindah ke Jiaozhi ( 交 趾 —bagian Vietnam

17
Tengah), lalu di sini ia memasuki kehidupan monastik. Pada tahun ke-10 dari era Chiniao (赤
鳥; 247 M) masa Kaisar Wu Dadi (吳大帝— alias 孫權—Sun Quan), beliau tiba di kota
Jianye, dan di sana ia menerjemahkan kitab Ṣaṭ-pāramitā-saṃgraha ( 六 度 集 經 ) yang
menjabarkan tentang enam praktik kesempurnaan, yaitu dana, disiplin moral, kesabaran,
semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Namun keahlian khusus beliau ada di dalam
aktivitas Dharmaduta. Beliau mendapat kepercayaan dari Kaisar Sun Quan, dan mendirikan
Wihara Jianchu ( 建 初 寺 ) yang terkenal sebagai bangunan wihara pertama di selatan
Tiongkok. Konon, ia juga bersama Zhi Qian menggubah senandung suci Buddhisme, dan
memiliki suara yang merdu. Dapat disimpulkan bahwa beliau adalah tokoh yang aktif dalam
memberi bimbingan di lingkungan masyarakat.

Akan tetapi, metode penerjemahan kitab suci seperti yang dilakukan para tokoh di
atas mengacu pada ajaran yang diwariskan oleh masing-masing anggota Sangha dari berbagai
wilayah di Asia Tengah dan India yang didatangkan ke Tiongkok secara tidak sistematis.
Oleh karena itu, kitab suci tersebut tidak ada yang terklasifikasi secara terpadu, dan
kebanyakan berupa hasil terjemahan dari penggalan yang terpisah, apalagi sang penerjemah
sendiri tidak begitu menguasai bahasa Tionghoa klasik dengan baik, karena pengetahuan
linguistik mereka yang belum sempurna, ditambah dengan akomodasi dan lokasi
penerjemahan yang tidak memadai, maka sudah dipastikan hasil terjemahan ini belum tentu
dapat dipahami dengan mudah oleh orang Tionghoa. Sedangkan untuk wilayah Dinasti Shu
(蜀), Buddhisme masih belum masuk ke sana.

2. Dharmaraksa

Setelah Dinasti Wei mencaplok Dinasti Shu, kemudian tahta Dinasti Wei sendiri
direbut oleh Sima Yan (司馬炎) dan mendirikan ibu kota di Luoyang, serta mengubah nama
dinasti-nya menjadi Jin (晉; 265 M). Selanjutnya Dinasti Wu (吳) juga dicaplok, lalu sekitar
50 tahun kemudian seluruh Tiongkok dipersatukan kembali dengan nama Dinasti Jin-Barat
(西晉). Tokoh penerjemah yang mewakili era tersebut adalah Zhu Fahu (竺法護) alias
Dharmarakṣa. Beliau adalah keturunan bangsaYuezhi, namun ia sendiri lahir di Dunhuang,
sehingga dijuluki sebagai Bodhisatwa Yuezhi atau Bodhisatwa Dunhuang. Berhubung tokoh
penerjemah sebelumnya kebanyakan memberi nama marga mereka berdasarkan negara

18
kelahirannya, maka Dharmaraksa juga dijuluki Zhi Fahu (支法護). Lantaran karena ia juga
memiliki seorang guru bermarga Zhu (竺), yaitu Zhu Gaozuo (竺高座) yang mewariskan
ajaran kepadanya, maka nama beliau dikenal sebagai Zhu Fahu. Beliau memasuki kehidupan
monastik pada usia 8 tahun. Setelah mendengar kabar bahwa di Asia Tengah terdapat banyak
Sutra Vaipulya (Mahayana), maka ia berangkat ke sana dan memperoleh banyak kitab teks
Sanskerta. Sepanjang perjalanan dari Dunhuang hingga Chang’an, ia menerjemahkan kitab-
kitab tersebut dari sejak masa kekuasaan Kaisar Jin Wudi (晉武帝) era Taishi (泰始) (265 M)
hingga masa kekuasaan Kaisar Jin Huaidi (晉懷帝) era Yongjia (永嘉) tahun ke-2 (308 M).
Selama 40 tahun lebih sampai meninggal pada usia 78 tahun, beliau mencurahkan
perhatiannya dalam aktivitas penerjemahan, yang di antaranya adalah Pañcaviṃśati-
sāhasrikā-prajñāramitā ( 光 讚 般 若 經 ), Saddharma-puṇḍarīka-sūtra ( 正 法 華 經 ),
Sukhāvatīvyūha-sūtra (無量清淨平等覺經), dan sebagainya dengan total 154 judul, 309 bab.
Hasil terjemahan ini telah memberi sumbangsih yang sangat besar kepada Buddhisme
Tiongkok. Kelebihan beliau dibandingkan dengan penerjemah sebelumnya adalah
kemampuannya menguasai berbagai jenis bahasa di Asia Tengah, sehingga dengan
reputasinya telah menarik jumlah pengikut yang mencapai ribuan orang. Di antaranya adalah
Nie Chengyuan (聶承遠) dan Nie Daozhen (聶道真), pasangan ayah dan anak yang turut
berpartisipasi dalam aktivitas penerjemahan kitab suci, hingga mensistematisasi kegiatan
penerjemahan yang terdiri dari berbagai tim kerja, seperti penyampaian teks lisan, pencatatan,
nasihat motivasi, dll. Terlebih lagi setelah wafatnya Dharmaraksa, Nie Daozhen masih
melanjutkan karir penerjemahannya. Ia mengawali dengan menerjemahkan bab tertentu dari
Avataṃsaka-sūtra (華嚴經), dan hasil terjemahannya mencapai 24 judul, 36 bab. Beberapa
murid Dharmaraksa yang aktif adalah Zhu Facheng (竺法乘), Zhu Shulan (竺叔蘭), Zhi
Mindu (支敏度), Bo Yuan (帛遠) alias Fa Zu (法祖), dll.

3. Buddhisme Kelompok Etnis Hu

Selanjutnya, dengan munculnya pemberontakan dari Lima Kelompok Etnis Hu (五胡), yaitu
Xiongnu (匈奴), Xianbei (鮮卑), Jie (羯), Di (氐), dan Qiang (羌) di utara Tiongkok
mengakibatkan keruntuhan Dinasti Jin-Barat. Dinasti Jin yang dikuasai satu bangsa Han lalu
mundur ke selatan Tiongkok dengan menetapkan ibu kotanya di Jiankang, dan dikenal

19
sebagai Dinasti Jin-Timur (東晉; 317 M). Kerajaan yang didirikan oleh Lima Kelompok
Etnis Hu terdiri atas: Dua Kerajaan Zhao ( 趙 ), yaitu Zhao-Awal ( 前 趙 ) dan Zhao-
Belakangan (后趙); Tiga Kerajaan Qin (秦), yaitu Qin-Awal (前秦), Qin-Belakangan (后秦),
dan Qin-Barat (西秦); Empat Kerajaan Yan (燕), yaitu Yan-Awal (前燕), Yan-Belakangan
(后燕), Yan-Selatan (南燕), dan Yan-Utara (北燕); Lima Kerajaan Liang (凉), yaitu Liang-
Awal (前凉), Liang-Belakangan (后凉), Liang-Barat (西凉), Liang-Selatan (南凉), dan
Liang-Utara (北凉); dan terakhir adalah Xia (夏); yang semuanya berjumlah 16 kerajaan.
Meskipun Kerajaan Liang-Awal, Liang-Selatan, dan Liang-Utara dikuasai oleh bangsa Han ,
namun secara umum masa tersebut dikenal dengan nama Lima Kelompok Etnis Hu dan Enam
Belas Kerajaan (五胡十六國). Oleh sebab itu, walaupun berbagai kelompok etnis di wilayah
utara saling berkonfrontasi dan terus berperang tanpa hentinya hingga membuat gelisah hati
rakyat, namun Buddhisme justru semakin berkembang dibandingkan dengan masa
sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah: Bagi bangsa Han, Buddhisme adalah agama
dari luar Tiongkok, di mana ajarannya menjadi populer karena sebagai doktrin dari luar; Bagi
lima kelompok etnis Hu, lantaran tidak memiliki peradaban sendiri, maka mereka memiliki
kebebasan untuk menerima Buddhisme. Sedangkan bagi para penguasanya, agar dalam
pengambilan keputusan strategis terhadap masalah militer dan hal-hal lainnya dapat tepat
sasaran, maka mereka juga harus mengandalkan biksu sakti yang mahir dalam ilmu mantra
atau yang berwawasan luas, sekaligus juga mendatangkan banyak biksu agung agar dapat
meningkatkan kebudayaan wilayah kerajaannya. Di antara kerajaan tersebut, Buddhisme
yang perkembangannya paling pesat dan menonjol adalah Kerajaan Zhao-Belakangan, Qin-
Awal, Qin-Belakangan, dan Liang-Utara.

Zhao-Belakangan (319–351 M) pertama kali menetapkan ibu kotanya di Xiangguo


(襄國;kini bagian barat laut Xingtai, Hebei), kemudian memindahkannya ke Yecheng ( 鄴
城; kini bagian barat Linzhang, Hebei). Hanya dalam waktu singkat, seluruh wilayah utara
telah dipersatukannya. Mengenai kondisi Buddhisme, tokoh yang mewakili masa itu adalah
Buddhacinga (佛圖澄—Fotu’cheng; 232-348 M) yang berasal dari kerajaan Kucha. Beliau
belajar di Uddiyana dan Kashmir. Pada tahun ke-4 dari era Yongjia (永嘉; 310 M) masa
pemerintahan Kaisar Jin Huaidi (晉懷帝), beliau tiba di kota Luoyang, kemudian ia sangat
dihormati dan dikagumi oleh Shi Le (石勒), pendiri Kerajaan Zhao-Belakangan, karena telah
membantunya dalam karir politiknya. Selanjutnya, beliau juga diperlakukan dengan

20
terhormat oleh Shi Hu (石虎) hingga akhir hayatnya yang mencapai usia 117 tahun pada
tahun ke-14 dari era Jianwu (建武; 348 M) masa kekuasaan Shi Hu. Selama lebih kurang 38
tahun, beliau dengan gigih menyebarluaskan ajaran Buddha. Menurut catatan biografinya,
Buddhacinga memiliki kemampuan supranatural yang sangat manjur, karena itu beliau diberi
gelar “Guru Pembimbing Agung (大和尚)” oleh Shi Le. Shi Hu juga memujinya dengan
menyatakan, “Guru adalah permata agung kerajaan,” dan sangat memujanya, bahkan
diikutsertakan dalam rapat kerajaan. Beliau berkunjung ke berbagai daerah dan membangun
wihara hingga sebanyak 893 buah yang dihuni oleh para anggota Sangha bangsa Han .

4. Orang Bangsa Han Memasuki Kehidupan Monastik

Semenjak awal, para anggota Sangha hanya terbatas pada warga asing. Orang dari
bangsa Han yang pertama kali mendapat izin kerajaan untuk memasuki kehidupan monastik
terjadi di kerajaan yang dikuasai bangsa Han di wilayah selatan Tiongkok, yaitu sekitar era
Taining (太寧; 323 – 325 M) pada masa pemerintahan Kaisar Jin Mingdi (晉明帝) dari
Dinasti Jin-Timur. Sedangkan untuk wilayah utara yang dikuasai kelompok etnis Hu, berawal
pada tahun pertama dari era Jianwu (335 M) masa pemerintahan Raja Shi Hu dari Kerajaan
Zhao-Belakangan. Yang belakangan ini berkat bujukan Buddhacinga kepada Shi Hu untuk
mengabaikan penolakan para menteri hingga mendapatkan pengakuan. Namun wilayah utara
saat itu berada dalam kondisi di mana banyak kerajaan muncul dan runtuh silih berganti, di
sela-sela kekacauan sosial mengakibatkan banyak rakyat yang mengungsi, maka jumlah
orang yang memasuki kehidupan monastik pun tumbuh dengan pesat. Pada momen inilah
orang dari bangsa Han diperkenankan untuk memasuki kehidupan monastik hingga jumlah
anggota Sangha dan wihara semakin banyak jumlahnya. Dengan demikian, komunitas
Sangha dalam Buddhisme Tiongkok pun mulai terbentuk. Selanjutnya untuk
mempertahankan keberlangsungan komunitas, persoalan yang dihadapi adalah bagaimana
menerapkan peraturan moralitas berdasarkan sistem komunitas di India. Tokoh yang menaruh
perhatian pada permasalahan ini adalah Dao An (道安), siswa Buddhacinga.

5. Dao An

21
Siswa yang mengikuti Buddhacinga kerap mencapai ratusan orang, dan secara
keseluruhan mencapai sepuluh ribu orang lebih. Di antaranya, Dao An (道安), Fa He (法和),
Zhu Fatai (竺法汰), Zhu Faya (竺法雅), dan Fa Chang (法常) memikul misi Buddhisme
Tiongkok generasi ke-2. Terutama Dao An (314-385 M) dengan karya tulisnya. Dao An
adalah penduduk asal Changshan, Fuliu (常山, 扶柳; 60 li arah barat daya Kabupaten Yi (翼),
Hebei). Beliau memasuki kehidupan monastik pada usia 12 tahun. Di bawah bimbingan
Buddhacinga, beliau telah menampakkan kecerdasannya. Kemudian demi menghindari
pergolakan antara kerajaan Zhao-Belakangan dengan Yan-Awal, Dao An bersama lebih dari
500 rekan seperguruannya mengungsi ke wilayah selatan. Ketika beliau menetap di Wihara
Tanxi (檀溪寺) di kota Xiangyang (Kab.Xiangyang, Hubei), banyak orang menaruh respek
pada reputasinya. Sejarawan dan penulis terkenal, Xi Zuochi ( 習 鑿 齒 ), juga menjalin
hubungan dekat dengan Dao An. Beliau menetap di Xiangyang selama 15 tahun, dan pada
saat itu, penguasa Dinasti Qin-Awal (前秦), Fu Jian (符堅), yang mempersatukan wilayah
utara Tiongkok setelah mendengar reputasi Dao An, maka mengerahkan seratus ribu
pasukannya menyerang kota Xiangyang untuk membawa Dao An dan Xi Zuochi ke
Chang’an. Setelah itu mereka ditempatkan di Wihara Wuchong (五重寺) di kota Chang’an.
Selama 7 tahun, beliau dengan gigih menyiarkan Dharma hingga memiliki jumlah siswa
sebanyak ribuan orang. Pada akhirnya, Dao An meninggal di wihara tersebut pada tahun ke-
21 dari era Jianyuan (建元) dalam usia 72 tahun.

Dao An memiliki jasa yang sangat besar pada perkembangan Buddhisme, di antaranya adalah:

• Penyusunan katalog kitab suci: Pada saat itu sudah ada banyak kitab suci yang
diterjemahkan, namun nama penerjemah dan kapan terjemahan itu selesai tidak
pernah tercatat. Oleh karena itu, permasalahan siapa dan kapan kitab itu
diterjemahkan pun menjadi tidak jelas. Sementara itu untuk meneliti apakah kitab
tersebut sebagai terjemahan dari sumber bahasa Sanskerta atau berupa karya yang
disusun di Tiongkok juga tidak dapat diketahui. Maka, Dao’an menata kembali kitab-
kitab tersebut ke dalam bukunya yang berjudul Zongli Zhongjing Mulu (綜理眾經目
錄—Penataan Katalog Kumpulan Kitab Suci), atau dikenal dengan nama Dao An Lu
(道安錄—Katalog Dao An). Sekarang katalog ini sudah tidak ditemukan. Selanjutnya
karena ada lagi kitab suci yang baru diterjemahkan, maka disisipkan lagi oleh Biksu

22
Sengyou (僧佑) dari Dinasti Liang (梁), dan menyusunnya menjadi katalog Chu
Sanzang Jiji (出三藏記集 — Kumpulan Teks Tripitaka). Dengan mengacu pada
katalog ini, maka dapat mengidentifikasi format asli katalog Dao An Lu. Setelah masa
tersebut, seiring diterbitkannya katalog Lidai Sanbao Ji ( 歷 代 三 寶 紀 —Kronik
Triratna Berbagai Generasi) , maka katalog dari berbagai masa pun terus dikompilasi.
Hal ini memberi sumbangsih yang sangat besar kepada generasi berikutnya untuk
keperluan penelitian Buddhisme.

• Komentar kitab suci: Beliau pernah berpartisipasi dalam aktivitas penerjemahan kitab
suci yang dipimpin oleh biksu dari India, dan memberi ceramah tentang kitab
Fangguang Boruo Jing ( 放 光 般 若 經 —Sutra Pancaran Cahaya Kebijaksanaan),
menulis kata pengantar berbagai kitab suci, serta membuat catatan komentar atas
kitab-kitab tersebut yang mencapai 22 judul. Secara garis besar ia banyak ‘meminjam’
pemikiran wuwei ( 無爲—tiada aktivitas) dari Laozi dan Zhuangzi untuk menjelaskan
konsep Prajna dari Buddhisme, yang mana disebut sebagai Buddhisme geyi (格義佛
教 —Buddhisme yang dijelaskan dengan cara meminjam konsep ajaran lain). Ini
dipelopori oleh Zhu Faya (竺法雅), kemudian diikuti oleh teori “ketiadaan mendasar”
dari Kang Falang (康法朗) dan Zhu Qian (竺潛) dari Dinasti Jin-Timur; teori tentang
“adalah bentuk” dari Zhi Dun (支遁); serta teori “batin ketiadaan” dari Zhu Fayun
(竺法蘊). Dao An kemudian mulai menyanggah teori tersebut, dan menaruh fokus
pada pengkajian doktrin Prajna (kebijaksanaan sejati), menjelaskan segala sesuatu
berdasarkan konsep sunyata (kekosongan), di mana hakikat diri sebagai kekosongan.
Hal ini telah meletakkan fondasi pada lingkup Buddhisme masa mendatang dalam
memahami pemikiran Nagarjuna dari India yang dibawa oleh Kumarajiva. Di masa
belakangan, penjelasan dan komentar atas Sutra dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
Pendahuluan, Prinsip Hakiki, dan Penyaluran. Konon cara pembagian ini pertama kali
dicetuskan oleh Dao An, namun siapakah pencetus sesungguhnya belum bisa
dipastikan.

• Tata Tertib Sangha : Awalnya standar nama depan anggota Sangha ditetapkan
berdasarkan tempat kelahiran atau mengikuti marga guru. Anggota Sangha bangsa
Han umumnya memiliki nama depan An (安), Zhi (支), Kang (康), Bo (帛), dan Zhu

23
(竺). Namu Dao An memiliki pandangan bertolak belakang. Menurut beliau semua
orang yang memasuki kehidupan monastik yang mempraktikkan ajaran Buddha,
seharusnya menggunakan Shi ( 釋 —Sakya) untuk nama depannya. Maka beliau
memberi namanya sendiri Shi Dao’an (釋道安). Sejak itu semua umat Buddha yang
memasuki kehidupan monastik menggunakan kata Shi pada nama depan mereka. Ini
merupakan sumbangsihnya yang terbesar dalam upaya penataan komunitas Sangha
agar menjadi terpadu semenjak Buddhisme dari India dan berbagai daerah di Asia
Tengah menyebar masuk Tiongkok. Pada saat yang sama, beliau juga menetapkan
tata tertib bagi Sangha biksu/biksuni dalam piagam Buddha Dharma yang terdiri atas
3 poin sebagai perencanaanya menyeragamkan tata cara puja bakti Sangha Tiongkok.
Tiga poin tersebut adalah : 1. Tata cara pendupaan, penataan mimbar, persiapan
pelantunan sutra, persiapan ceramah. 2. Tata cara berjalan, makan dan minum,
upacara pelantunan paritta dalam enam sesi waktu. 3. Tata cara pelaksanaan hari
upavasatha; pertobatan, dll. Hal ini membuat Buddhisme yang berasal dari luar secara
bertahap mengalami penyesuaian dengan karakter budaya masyarakat Tiongkok yang
terbentuk sesuai dengan perkembangannya.

6. Kumarajiva

Selanjutnya, Buddhisme juga sangat berjaya pada masa Dinasti Qin-Belakangan (后


秦 )— lanjutan dari Dinasti Qin-Awal ( 前 秦 ). Tokoh yang mewakili zaman ini adalah
Kumarajiva (鳩摩羅什; 344-413 M). Ayah Kumarajiva bernama Kumarayana, berasal dari
India. Ibunya bernama Jivaka, merupakan adik dari raja Kerajaan Kucha. Ketika berusia 7
tahun, Kumarajiva memasuki kehidupan monastik, lalu pada usia 9 tahun beliau mengikuti
ibunya ke Kashmir untuk mempelajari ajaran Hinayana dari Bandhudatta, adik raja Kucha.
Selanjutnya beliau mendalami ajaran Mahayana di bawah bimbingan Suryasoma dari
Yarkand, serta mengunjungi berbagai guru lainnya hingga akhirnya menetap di Kucha untuk
mengkaji dan menyebarluaskan ajaran Mahayana. Sejak masa muda, reputasi beliau telah
tersebar ke berbagai kerajaan di Asia Tengah, bahkan sampai ke negeri Tiongkok. Tatkala
penguasa Dinasti Qin-Awal, Fujian (符堅), mendengar kabar popularitas Kumarajiva dari
Dao An, beliau mengirim Jenderal Lu Guang (呂光) dan pasukannya untuk menaklukkan
kerajaan Kucha, Qaraseher, dan sekitarnya. Begitu membasmi Kucha beserta keluarga

24
kerajaan, Lu Guang pun memboyong Kumarajiva ke Tiongkok. Namun karena di tengah
perjalanan menuju Chang’an terdengar kabar kejatuhan Dinasti Qin-Awal, maka Lu Guang
bertahan di Guzang ( 姑 臧 ), dan akhirnya mendeklarasikan berdirinya kerajaan Liang-
Belakangan (后凉).

Dengan demikian, Kumarajiva pun tertahan di daerah tersebut selama belasan tahun.
Sampai ketika Yaoxing (姚興), kaisar ke-2 Dinasti Qin-Belakangan (后秦), menyerang
negara Liang-Belakangan, Kumajiva baru berhasil diboyong ke ibu kota Chang’an. Saat itu
adalah tahun ke-3 bulan 12 dari era Hongshi (弘始; 401 M), di mana Kumarajiva telah
berusia 58 tahun. Kaisar Yaoxing menyambut beliau dengan tata krama guru kerajaan,
menempatkan beliau di Gedung Ximing (西明閣) dan Taman Xiaoyao (逍遙園). Setelah itu
baru dibangunkan Wihara Da Chang’an (大長安寺) sebagai lokasi penerjemahan kitab suci.
Kabar kedatangan Master Kumarajiva dalam sekejap telah tersebar ke berbagai daerah.
Banyak kaum terpelajar berkumpul di kota Chang’an karena mengagumi pengetahuan beliau
yang luas, dan ada juga di antara mereka yang ikut serta dalam tugas penerjemahan kitab suci,
sehingga lokasi tersebut juga dijadikan sebagai tempat ceramah. Berbekal penguasaan bahasa
etnis Hu dan Han, serta memiliki banyak pengalaman pencapaian dalam sistem pengajaran
Buddhisme, Kumarajiva memberi kritik atas kesalahan terjemahan kitab suci terdahulu
sekaligus merevisinya, sehingga hasil terjemahan beliau adalah yang paling akurat dengan
gaya bahasa yang lancar, enak dibaca, dan tidak terkesan kaku seperti teks terjemahan
sebelumnya, serta sangat mudah dipahami oleh orang Tiongkok. Jumlah peserta
penerjemahan kitab suci yang diselenggarakan oleh Kumarajiva sungguh banyak. Peserta
penerjemahan kitab Mahāyāna-brahma-jāla-sūtra (梵網經) mencapai 3.000 orang. Tatkala
menerjemahkan kitab Mahāprajñāparamitā-sūtra (大品般若經), Beliau memegang teks
bahasa Sanskerta, sedangkan Yaoxing melantunkan kitab terjemahan lama, dan jumlah
pesertanya mencapai 500 orang. Kemudian penerjemahan kitab Vimalakīrti-nirdeśa-sūtra (維
摩經) diikuti oleh 1.200 orang, kitab Saddharmapuṇḍarīka-sūtra (法華經) dan Viśeṣa-cinti-
brahma-paripṛcchā-sūtra (思益梵天所問經) masing-masing mencapai 2.000 orang.

Aktivitas penerjemahan kitab suci yang dilakukan oleh Master Kumarajiva


berlangsung selama 12 tahun sampai beliau wafat dalam usia 70 di Wihara Da Chang’an pada
tahun ke-15 bulan ke-4 dari era Hongshi (413 M; Versi lain menyebut pada tahun ke-11 dari
era Hongshi). Total hasil terjemahannya mencapai 74 judul, 384 bab. Di antara kitab-kitab

25
tersebut, yang paling banyak mendapat perhatian adalah Sutra-sutra Mahayana seperti
Mahāprajñāparamitā-sūtra, Saddharmapuṇḍarīka-sūtra, Vimalakīrti-nirdeśa-sūtra,
Sukhāvatī-vyūha; Lalu kitab komentar seperti Madhyamaka-śāstra (中論), Śata-śāstra (百論),
Dvādaśanikāya-śāstra (十二門論), Mahāprajñāpāramitā-śāstra (大智度論), Daśabhūmika-
vibhāṣā (十住毘婆沙論), Satyasiddhi-śāstra (成實論). Terutama karena kitab komentar
tentang Sutra baru pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa tersebut, kemudian melalui
kitab tersebut muncul aliran Mazhab San Lun (三論宗—Tri Sastra) dan Cheng Shi (成實宗
—Satyasiddhi), dan pada selanjutnya juga muncul aliran Mazhab Tiantai (天台宗), Chan (禪
宗),Jingtu (淨土宗—Sukhavati). Setelah ditelaah secara mendasar, aliran-aliran tersebut
ada berkat jasa aktivitas penerjemahan yang dilakukan oleh Master Kumarajiva.

Master Kumarajiva memiliki siswa sebanyak 3.000 orang. Sebanyak 80 orang


memiliki prestasi yang gemilang, dan di antaranya yang jadi pilihan utama adalah Sengzhao
(僧肇), Sengrui (僧叡), Daosheng (道生), Daorong (道融), Huiguan (慧觀), Daoheng (道恆),
Sengdao (僧導), Tan’ying (曇影), Huirui (慧叡), dan Huiyan (慧嚴). Terutama Sengzhao
dan Daoseng adalah siswa paling terkemuka.

Ketika Master Kumarajiva masih menetap di Guzang, Sengzhao (384 - 414 M) telah
mendengar kabar reputasi sang guru. Tatkala ia berguru kepada Master Kumarajiva, usianya
baru 18 tahun. Ia menguasai dengan baik atas kitab Vimalakīrti-sūtra dan Mahāparinirvāṇa
sūtra. Kitab Zhu Weimo Jing (注維摩經 –Penjelasan Atas Vimalakīrti-sūtra) adalah hasil
karyanya yang gemilang dan terkenal hingga sekarang. Selain itu, kitab Boruo Wuzhi Lun (般
若 無 知 論 —Risalah tentang Kebijaksanaan Tanpa Mengetahui) yang sekarang telah
disisipkan ke dalam kitab Zhao Lun (肇論 –Risalah [Seng]zhao) juga dikagumi oleh tokoh
besar Buddhis masa Dinasti Jin-Timur, Huiyuan (慧遠) dan Liu Yimin (劉遺民).

Daoseng awalnya adalah siswa Zhu Fatai (竺法汰), kemudian ia menuju ke Gunung
Lu (廬山) untuk berguru pada Huiyuan (慧遠) selama 7 tahun. Selanjutnya ia bersama para
sahabatnya, Huirui dan Huiyan berangkat ke Chang’an untuk berguru pada Kumarajiva,
hingga kemudian ia diapresiasi sebagai siswa yang menonjol. Pada tahun ke-5 dari era Yixi
(義熙; 409 M) masa kekuasaan Kaisar Jin Andi (晋安帝), beliau kembali ke Tiongkok
selatan, dan menetap di Wihara Qingyuan (青園寺). Karya beliau di antaranya adalah kitab
Komentar atas Vimalakīrti-sūtra, Saddharmapuṇḍarīka-sūtra, dan Mahāparinirvāṇa sūtra.

26
Selain itu juga terdapat karya risalah lainnya, yaitu: Foxing Dangyou Lun (佛性當有論—
Risalah Keberadaan Hakikat Kebuddhaan), Fashen Wuse Lun ( 法 身 無 色 論 —Risalah
Dharmakaya Tanpa Bentuk), Fo Wu Jingtu Lun (佛無淨土論—Risalah Buddha Tanpa Tanah
Murni). Pada masa tersebut, situasi Buddhisme di Tiongkok selatan sedang menggandrungi
doktrin pencerahan-bertahap, sedangkan beliau mengemukakan teori pencerahan-langsung
(seketika), akibatnya muncul gelombang perdebatan yang tak terhindarkan, sehingga beliau
dianggap sesat. Berhubung beliau juga mengemukakan teori yang bersumber dari 6 bab
Mahāparinirvāṇa sūtra (大般泥洹經) terjemahan Faxian (法顯) bahwa kaum ichantika
berpotensi merealisasi Kebuddhaan, maka beliau ditolak oleh kelompok Buddhis di sana, lalu
ia pun meninggalkan kota Jiankang dan menyepi ke Gunung Huqiu ( 虎丘 ; di Suzhou,
Provinsi Jiangsu). Belakangan, setelah Mahāparinirvāṇa sūtra ( 涅 般 經 ) versi 40 Bab
terjemahan Dharmakṣema menyebar sampai Tiongkok selatan, maka kelompok Buddhis di
sana baru sadar bahwa apa yang dikemukakan oleh beliau adalah benar, dan mereka pun
merasa takjub. Di masa-masa akhir kehidupannya, beliau menetap di Gunung Lu. Pada tahun
ke-11 dari era Yuanjia (元嘉; 434 M) masa Kaisar Song Wendi (宋文帝), beliau wafat saat
berada di atas mimbar.

Ketika Kumarajiva menetap di Chang’an, guru beliau, Buddhayāśas (佛陀耶舍) yang


berasal dari Kashmir juga berkunjung ke Chang’an pada tahun ke-10 dari era Hongshi (408
M), untuk menerjemahkan kitab Dīrghâgama- sūtra (長阿含經) sebanyak 22 bab. Begitu
pula Puṇyatāra yang disurati oleh Kumarajiva juga datang untuk menerjemahkan
Sarvâstivāda-vinaya (十誦律), sayangnya beliau meninggal sebelum selesai terjemahannya.
Kemudian ada lagi Buddhabhadra (覺賢; 359 – 429 M) yang berasal dari India, beliau adalah
sahabat baik Kumarajiva, namun karena memiliki pandangan yang berbeda sehingga terjadi
perselisihan dengan siswa Kumarajiva. Akibatnya beliau dan Huiguan (慧觀) serta 40 rekan
lainnya meninggalkan kota Chang’an menuju ke Gunung Lu. Di sana beliau awalnya
memberi ceramah tentang Sutra bertema meditasi, kemudian di Wihara Daochang (道場寺)
di kota Jianye, beliau menerjemahkan kitab Mahāsāṃghika-vinaya (摩訶僧衹律) sebanyak
40 bab, dan Avataṃsaka-sūtra (華嚴經) 60 bab. Berkat terjemahan Avataṃsaka-sūtra dari
beliau telah menimbulkan riak yang cukup besar di lingkup Buddhisme masa itu yang hanya
cenderung pada doktrin Prajna.

27
7. Mazhab Nirvana

Pada sisi lain, ada satu tokoh dari India Tengah, Dharmakṣema (曇無懺 ; 385 – 433
M), tampak aktif di Kerajaan Liang-Utara (北凉). Awalnya beliau belajar doktrin Hinayana,
kemudian beralih ke jalan Mahayana. Pada tahun pertama dari era Xuanshi (玄始; 412 M),
setelah perjalanannya melewati Kashmir, Kucha, dan Dunhuang, beliau tiba di Guzang (姑
臧), dan mendapat penghormatan yang tinggi dari Kaisar Juxu Mengxun (沮渠蒙遜) dari
Hexi (河西). Tahun ke-10 dari era Xuanshi, beliau menerjemahkan kitab Mahāparinirvāṇa
sūtra (大般涅槃經) 40 bab (disebut Edisi Utara) yang mana bagian tugas mencatat dilakukan
oleh 2 tokoh yang terkemuka pada saat itu, yaitu Huisong (慧嵩) dan Daolang (道朗). Pada
tahun ke-3 bulan ke-3 dari era Yihe (義和; 433 M) masa Dinasti Liang-Utara, karena ada
kabar bahwa Mahāparinirvāṇa sūtra masih terdapat teks lanjutan di bagian akhir, beliau pun
berniat berangkat ke barat untuk mendapatkannya, namun kala itu Raja Mengxun mencurigai
kepergian beliau adalah untuk memenuhi undangan kaisar Dinasti Wei-Utara (北魏), Tai
Wudi ( 太 武 帝 ), maka di tengah perjalanan beliau dibunuh oleh utusan rahasia Kaisar
Mengxun. Saat itu usia beliau baru 49 tahun. Kemudian di wilayah Tiongkok selatan,
Huiguan (慧觀), Huiyan (慧嚴), dan Xie Lingyun (謝靈運) melakukan studi banding atas
Mahāparinirvāṇa sūtra 6 bab versi terjemahan Faxian (法顯) dengan versi 40 bab dari
Dharmakṣema, setelah itu disusun kembali menjadi Mahāparinirvāṇa sūtra versi 36 bab
(disebut Edisi Selatan). Sejak itu, kajian atas Mahāparinirvāṇa sūtra pun berkembang dengan
populer. Baoliang (寳亮; 444 – 509 M) yang hidup di masa antara Dinasti Qi (齊) dan Liang
(梁), dan Zhizang (智藏; 454 – 522 M) dari masa Dinasti Liang, masing-masing menuliskan
karya komentar mereka. Jadi, aliran sekolah Nirvana sangat berkembang di wilayah selatan
pada masa itu.

8. Huiyuan dari Gunung Lu

Tatkala Daosheng dan Buddhabhadra bergerak aktif di wilayah selatan, Huiyuan (慧


遠; 334 – 416 M) yang dijuluki sebagai ‘sepasang giok’ bersama Kumarajiva dari Chang’an
juga adalah tokoh yang punya pengaruh kuat di wilayah selatan. Beliau juga adalah siswa
terkemuka dari Dao An. Saat berusia 21 tahun, tokoh yang berasal dari Yanmen (燕門),

28
Loufan (樓煩) (bagian timur Kabupaten Guo (崞) di Provinsi Shanxi) ini bersama adiknya,
Huichi (慧持) pergi berguru kepada Dao An. Namun ketika terjadi pergolakan di Xiangyang
karena peperangan, ia berpisah dengan gurunya, Dao An, lalu menuju ke Gunung Lu (廬山)
yang terletak di Tiongkok selatan. Di sana, Huiyuan menetap di Wihara Donglin (東林寺)
selama 30 tahun lebih, dan semenjak itu tidak pernah turun gunung lagi hingga akhir
hayatnya. Saat mengantar tamu pun ia hanya berjalan sampai batas lokasi Huxi (虎溪).
Huiyuan sangat gigih dalam menyebarkan ajaran Buddha. Pada tahun pertama dari era
Yuanxing (元興; 402 M) masa kekuasaan Kaisar Jin Andi (晉安帝) dari Dinasti Jin-Timur, ia
bersama 23 rekan yang terdiri dari anggota Sangha, kaum terpelajar dan umat awam, di
antaranya Liu Yimin (劉遺民) dan Zhou Xuzhi (周續之) mendirikan sebuah komunitas yang
bertujuan mempraktikkan nianfo (念佛—perenungan pada Buddha) di mimbar Prajna (般若
台) di Wihara Donglin. Komunitas ini dikenal dengan nama Perkumpulan Teratai Putih, di
mana bentuk praktik mereka mengacu pada kitab Pratyutpanna-buddha-saṃmukhâvasthita-
samādhi-sūtra (般舟 三 昧經 ) dengan merenungkan objek Buddha Amitabha, salah satu
Buddha di sepuluh penjuru semesta yang eksis sekarang. Praktik ini sedikit berbeda dengan
metode melafal nama Buddha di masa belakangan. Nama pada masa belakangan, Mazhab
Sukhavati di Tiongkok menetapkan Huiyuan sebagai patriark pertama. Beliau memiliki relasi
yang luas dengan para kaum terpelajar di Tiongkok selatan, karena ia bukan saja seorang
yang mahir dalam pemahaman doktrin Prajna, sekaligus juga menguasai filsafat Konfusius,
Laozi dan Zhuangzi. Pada masa itu, karena terjadi pemberontakan Lima Etnis Hu di wilayah
utara, banyak kaum petani mengungsi ke wilayah selatan dan membuka lahan di sana.
Selanjutnya dengan keruntuhan Dinasti Jin-Barat mengakibatkan etnis ini berpindah ke
selatan dan menetapkan ibu kota di Jianye sebagai tanda berdirinya Dinasti Jin-Timur.
Kemudian karena kaum bangsawan ini sangat banyak jumlahnya, sehingga kekuatan mereka
dapat memberi tekanan kepada kaum borjuis setempat, maka saat itu terbentuk situasi yang
tidak menentu, banyak bermunculan kaum yang menyukai perbincangan tentang metafisika
dan filsafat Taoisme, di mana mereka menghindari kehidupan sosial, hidup menyepi dan
menjalani pola hidup sederhana. Zhulin Qixuan (竹林七玄—Tujuh Orang Bijak dari Hutan
Bambu) adalah salah satu contoh terbaik dari kaum ini. Sikap kaum cendikiawan demikian
memperlihatkan pertalian yang seirama dengan praktik Sila yang ketat dari Huiyuan, beserta
pencanangan praktik samadhi nianfo dari beliau, sehingga kekuatan ini dapat menyadarkan
mereka. Menurut kitab Kisah 18 Orang Bijak (十八高賢傳), Xie Lingyun (謝靈運) ditolak

29
masuk ke komunitas Huiyuan karena dianggap memiliki pemikiran yang buruk, sedangkan
Tao Yuanming ( 陶 淵 明 ) menolak sendiri karena masih mengonsumsi minuman keras.
Kendati demikian, setelah dikaji tentang tokoh Komunitas Teratai Putih yang menjadi bagian
dari 18 Orang Bijak, ada ketidaksesuaian angka tahun di mana mereka hidup, oleh karena itu
ada juga penelitian sejarah yang menyimpulkan bahwa berdirinya Komunitas Teratai Putih
bukanlah fakta sejarah.

Huiyuan wafat di Wihara Donglin pada tahun ke-12 dari era Yixi (義熙; 416 M)
masa Kaisar Jin Andi, dalam usia 83 tahun. Semasa hidupnya, berkat permintaan beliau
kepada Buddhabhadra maka ada terjemahan kitab Dharmatrata-dhyana Sutra (達摩多羅禪
經) yang lantaran praktik meditasi menjadi berkembang luas di wilayah Tiongkok selatan.
Kemudian ada juga Fajing (法淨) dan Faling (法領) diutus oleh Huiyuan untuk mengambil
kitab suci di barat. Konon, Avataṃsaka-sūtra versi 60 bab terjemahan Buddhabhadra berasal
dari kitab yang dibawa pulang oleh mereka. Berhubung Huiyuan tidak pernah meninggalkan
Gunung Lu, maka bila ada bagian dari doktrin ajaran Buddha yang tidak dipahami beliau,
maka ia akan menitipkan pesan kepada siswanya atau melalui surat untuk disampaikan
kepada Kumarajiva. Kini isi surat tersebut tersimpan dalam kitab Dacheng Yizhang (大乘義
章— Bagian Makna Mahayana). Master Huiyuan juga pernah menulis kitab Shamen Bujing
Wangzhe Lun (沙門不敬王者論—Risalah Sramana Tidak Memberi Hormat Kepada Raja)
sebagai reaksi untuk menentang sikap Huanxuan (桓玄) yang mewajibkan sramana (pertapa)
untuk bersujud pada raja. Beliau meneruskan cita-cita gurunya, Dao An, dengan
menunjukkan nilai karakter organisasi Sangha, karena itulah tulisan beliau juga dipersiapkan
sebagai bahan penjelasan sewaktu-waktu muncul permasalahan yang sama di masa
mendatang.

Salah satu tren lain pada masa itu adalah munculnya para biksu peziarah. Pada tahun
ke-6 dari era Hongshi (弘始; 404 M), Zhimeng (智猛) bersama 15 biksu dengan misi yang
sama berangkat dari Chang’an untuk berziarah ke tempat suci Buddhisme. Perjalanan Biksu
Baoyun (寳雲) pada awal tahun era Long’an (隆安; 397 – 401 M) masa Kaisar Jin Andi,
menuju ke Asia Tengah dari Zhangye (張掖). Ia berangkat bersama Faxian (法顯), namun
pulang lebih awal. Kemudian ada lagi Zhiyan (智嚴) yang juga berangkat bersama Faxian.
Awalnya mereka tiba di Kashmir ( 罽 賓 ), lalu beliau kembali ke Chang’an bersama

30
Buddhabhadra. Di antara para biksu peziarah, Faxian adalah tokoh yang tersohor. Karena
menyayangkan ketidaklengkapan kitab Vinaya, maka pada tahun ke-3 dari era Long’an (399
M), beliau bersama rekannya, Huijing (慧景), Daozheng (道整), dkk. berangkat dari kota
Chang’an menuju ke negeri ‘jejak Buddha’. Di tengah perjalanan, satu per satu dari rekannya
berpisah dengan beliau. Pada tahun ke-10 dari era Yixi (義熙), beliau kembali ke Tiongkok
melalui Sri Lanka menggunakan jalur laut, hingga akhirnya tiba di Qingzhou (青州), Provinsi
Shandong, di mana pada saat itu hanya menyisakan beliau sendiri. Selanjutnya, beliau tinggal
di Wihara Daochang (道場寺) di kota Jianye (建業). Di sana beliau bekerja sama dengan
Buddhabhadra menerjemahkan kitab Mahasanghika-vinaya sebanyak 40 bab. Beliau juga
menerjemahkan kitab Maha Parinirvana Sutra (大般泥洹經) sebanyak 6 bab. Faxian wafat
pada usia 80 tahun di Wihara Xing (幸寺) di Jingzhou (荊州). Beliau menulis kitab Liyou
Tianzhu Jizhuan (歷游天竺紀傳—Catatan Kisah Perjalanan ke India) yang juga dikenal
dengan nama Gaoseng Faxian Zhuan (高僧法顯傳—Riwayat Biksu Agung Faxian) atau
Foguo Ji (佛國記—Catatan Negeri Buddha). Kitab ini bersama-sama dengan kitab Datang
Xuyu Ji (大唐西域記—Catatan Perjalan ke Barat dari Negeri Tang) karya Master Xuanzang
telah menjadi pedoman selamanya untuk penelitian wilayah Asia Tengah dan India.

31
Bab IV Buddhisme Masa Dinasti Utara-Selatan

—Perkembangan Komunitas Buddhisme beserta Taoisme dan


Konfusianisme

1. Komunitas Fashe; Yiyi; Sengzhihu; dan Fotuhu

Dinamika perkembangan Buddhisme antara dinasti di utara dan selatan memiliki


sedikit perbedaan. Buddhisme di Tiongkok selatan sejak adanya komunitas Teratai Putih
yang dicetuskan oleh Huiyuan di Gunung Lu, kemudian aktivitas diskusi filsafat kaum
ningrat dan borjuis hingga berkembang menjadi sekolah filsafat, maka kondisi ini melahirkan
komunitas Fashe (法社—Komunitas Dharma) yang unik. Anggota Fashe harus menaati tata
tertib komunitas, berupa penetapan peraturan dengan kewajiban menjalankan disiplin moral
dan pelatihan diri. Dengan menilik kitab karya Huiyan yaitu, Fashe Jiedu Xu (法社節度序
—Pengantar Tata Tertib Komunitas Dharma); Waisi Seng Zhidu Xu (外寺僧制度序 —
Pengantar Peraturan Sangha di Luar Wihara); dan Biqiuni Jiedu Xu (比丘尼節度序—
Pengantar Tata Tertib Biksuni); dapat diketahui bahwa selain komunitas Teratai Putih pada
masa itu juga terdapat komunitas Dharma yang sejenis. Jejak perkembangan Buddhisme di
hutan gunung juga terlihat semakin pesat pada saat itu, yaitu bentuk lain dari Buddhisme
yang menitikberatkan pelatihan diri di tempat terpencil.

Sehubungan dengan sambutan yang semarak dari para raja Lima Etnis Hu di utara
terhadap Buddhisme karena ketertarikan pada sisi kekuatan gaibnya yang membuat mereka
menjadi umat Buddha, maka para raja dan pejabat hingga kalangan rakyat jelata berbondong-
bondong membangun wihara, stupa, dan membuat rupang Buddha sehingga di masyarakat
muncul organisasi Yiyi (義邑—Rukun sosial). Yang dimaksud dengan Yiyi adalah organisasi
dalam Buddhisme yang terhimpun dari sekelompok umat awam di mana mereka sebagai Yizi
(邑子—Anggota rukun sosial), dan dibimbing oleh biksu yang disebut Yishi (邑師—guru
rukun sosial). Perhimpunan semacam ini banyak dijumpai dalam berbagai daftar nama
donatur pembuatan rupang. Di bawah bimbingan guru rukun sosial, beberapa ribu anggota

32
Yizi berpartisipasi dalam pembuatan berbagai rupang seperti Buddha Sakyamuni, Amitabha,
Maitreya, Avalokitesvara, dan sebagainya, dengan harapan dapat melimpahkan jasa
kebajikan ini demi manfaat orang tua, istri, diri sendiri dan anggota keluarga di kehidupan
sekarang dan akan datang. Upacara peresmian rupang Buddha ini disebut Yihui (邑會).
Dalam kitab tentang riwayat hidup biksu [agung] juga dapat terlihat bahwa tokoh yang
menganut keyakinan pada Buddha Amitabha di masa itu adalah Fakuang (法曠), Huidu (慧
度), Sengxian (僧顯), Huizong (慧宗), Tanjian (曇鋻), dan Huitong (慧通). Ada pun tokoh
yang bertekad terlahir di alam Tusita—suatu keyakinan pada Bodhisatwa Maitreya— di
antaranya yang berawal dari Dao’an (道安) dan para muridnya, juga ada Sengfu (僧輔),
Zhiyan (智儼), dan Daofa (道法). Kemudian dengan semakin tersebarnya keyakinan pada
Bodhisatwa Avalokitesvara, maka terdapat tokoh Beidu ( 杯 度 ) yang menyembuhkan
penyakit orang saat memohon kepada Avalokitesvara, Fadu ( 法 度 ) dengan doa
keselamatannya saat perjalanan laut, dan Bo Faqiao (帛法橋) dengan praktik perenungan
pada Avalokitesvara sehingga memiliki suara yang merdu. Karakteristik Buddhisme seperti
inilah yang merasuk ke dalam kepercayaan masyarakat umum.

Keunikan lain dari Buddhisme masa Dinasti Utara adalah populernya [pendirian]
Sengzhi Hu ( 僧 祗 戶 —Lembaga Sangha) dan Fotu Hu ( 佛 圖 戶 —Lembaga Buddha).
Lembaga Sengzhi Hu didirikan oleh Tanyao (曇曜) atas permohonannya kepada Kaisar
Xiaowendi (孝文帝) pada masa Dinasti Wei-Utara, tahun 476 M. Fungsinya secara khusus
sebagai lembaga bantuan bencana yang dananya berasal dari hasil penerimaan pajak atas
wilayah Pingqi (平齊) yang baru masuk ke dalam peta kekuasaan Dinasti Wei-Utara. Dana
ini awalnya masuk ke dalam kas pemerintah kemudian dialihkan ke instansi Sangha (僧曹 ).
Dengan diatur oleh instansi Sangha milik pemerintah, dana ini disalurkan kepada fakir miskin
dan kepentingan pembangunan wihara, kegiatan upacara Buddhisme, dan bantuan saat terjadi
bencana, serta wabah kelaparan pada khususnya. Di samping itu, Fotu Hu adalah panti yang
menampung tahanan pelanggar hukum berat dan budak pejabat yang dikelola oleh wihara,
kemudian para tahanan ini ditugaskan untuk melakukan kegiatan seperti membersihkan
lingkungan, bercocok tanam, dan lain sebagainya, dan pada saat yang sama mereka menerima
bimbingan Dharma.

33
2. Jumlah Wihara dan Anggota Sangha

Dengan demikian maka jumlah wihara dan anggota Sangha tumbuh dengan pesat.
Menurut catatan bab ke-3 dari kitab Bianzheng Lun ( 辯 正 論 —Risalah Argumentasi
Kebenaran) yang ditulis pada masa Dinasti Tang oleh Falin (法琳), jumlah wihara dan
anggota Sangha semenjak masa Dinasti Jin-Timur dan setelahnya adalah sebagai berikut:

-----------------------------------------------------------------------------
Nama Dinasti Jumlah Wihara Anggota Sangha
-----------------------------------------------------------------------------
Jin Timur (東晉) 1.768 buah 24.000 orang
Song (宋) 1.913 buah 36.000 orang
Qi (齊) 2.015 buah 32.500 orang
Liang (梁) 2.846 buah 82.700 orang
Chen (陳) 1.232 buah 32.000 orang
-----------------------------------------------------------------------------

Kemudian menurut catatan kitab Wei Shu (魏書—Kitab Sejarah Dinasti Wei) bagian
Shi Lao Zhi (釋老志—Catatan Tentang Buddhisme) adalah sebagai berikut:

“Pada tahun pertama dari era Taihe (太和) (477 M) masa pemerintahan Kaisar Xiaowendi
dari Dinasti Wei-Utara, jumlah wihara di ibu kota Wei-Utara, Pingcheng (平城), sekitar
100 buah, jumlah anggota Sangha sekitar 2.000 orang; Jumlah wihara di wilayah Jiangbei
( 江北 —bagian utara sungai Changjiang) sebanyak 6.478 buah, jumlah anggota Sangha
sebanyak 77.258 orang.

Di penghujung Dinasti Wei, jumlah wihara di ibu kota Luoyang (洛陽) sebanyak 1.367 buah,
sedangkan jumlah wihara di seluruh wilayah Jiangbei bertambah hingga 30.000 buah,
jumlah anggota Sangha bahkan mencapai 2 juta orang. “

Dengan perkembangan komunitas Buddhisme yang sedemikian rupa, mau tidak mau
harus didirikan sistem jabatan Sangha sebagai badan yang memiliki fungsi kontrol. Karena

34
jumlah anggota Sangha yang tumbuh dengan pesat mengakibatkan turunnya kualitas
[Sangha], sehingga ada anggota Sangha yang hidup tidak beraturan dan melakukan
pelanggaran disiplin, maka muncul masalah pengusiran terhadap anggota Sangha, di mana ini
merupakan tujuan yang harus dijalankan demi menegakkan peraturan komunitas yang benar.
Berdasarkan kondisi inilah maka sistem jabatan Sangha ini muncul.

Di wilayah utara, siswa Kumarajiva menjabat sebagai Sengzheng (僧正;Ketua


Sangha), Sengqian (僧遷) menjabat sebagai Yuezhong (悅眾; pembantu ketua dan bagian
administrasi), Faqin (法欽) dan Huibin (慧斌) sebagai Senglu (僧錄; pengurus anggota
Sangha), di mana merupakan awal munculnya jabatan dalam Sangha. Pada tahun ke-7 dari
era Hongshi (弘始; 405 M) atau masa lebih awal lagi pada era Huangshi (皇始; 396-397 M)
masa pemerintahan Kaisar Beiwei Taizu (北魏太祖), Biksu Faguo (法果) dari prefektur
Zhao (趙) diangkat sebagai Daoren Tong (道人統), yaitu pemimpin anggota Sangha.

Di wilayah selatan, pembakuan istilah-istilah jabatan Sangha seperti Sengzheng,


Yuezhong (悅眾), dan Du Weina (都維那) dimulai pada masa Dinasti Song (宋).

3. Buddhisme Masa Dinasti Selatan

Kaisar Song Wudi (宋武帝;420-422 M) bermaksud menyingkirkan para anggota


Sangha namun sebelum tujuannya terlaksana, beliau malah balik menjadi pemujanya tatkala
dipertemukan dengan murid Kumarajiva, yaitu Huiyan ( 慧 嚴 ) dan Sengdao ( 僧 導 ).
Selanjutnya hingga pada masa Kaisar Song Wendi (宋文帝; 424-453 M), kaisar ini sendiri
mendiskusikan ajaran Buddha bersama Daosheng ( 道 生 ) dan Gunavarman. Beliau juga
menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan konsep hukum karma kepada sekretaris istana,
He Shangzhi (何尚之), kemudian mengundang biksu agung untuk mewejangkan Dharma di
istana, melaksanakan disiplin Atthanga Sila di Wihara Zhongxing ( 中 興 寺 ), juga
memberikan perlindungan. Kemudian ada juga tokoh Hui Lin (慧琳) yang turut serta dalam
urusan kenegaraan hingga dijuluki sebagai perdana menteri berjubah hitam. Sehubungan
dengan kaum kelas menengah ke atas banyak menjalin hubungan dengan umat Buddha,
alhasil perkembangan Buddhisme di Jiankang pun menjadi populer. Hui Lin menulis kitab

35
Heibai Lun (黑白論—Risalah Hitam Putih) atau disebut juga Jun Shan Lun (均善論) yang
membahas tentang persamaan dan perbedaan antara ajaran Buddha dan Konfusianisme. Pada
kesempatan ini, He Chengtian (何承天) menanggapinya dengan menulis karya berjudul Da
Xinglun (達性論—Risalah Pencapaian Hakikat). Ada pun murid Hui Lin, Zong Bing (宗炳),
menulis Nan Heibai Lun (難黑白論—Sanggahan atas Risalah Hitam Putih) dan Ming Fo Lun
(明佛論—Risalah Pemahaman Ajaran Buddha); kemudianYan Yanzhi (顔延之; 348-456 M)
menyanggah tulisan He Chengtian melalui karyanya berjudul Shi He Hengyang Da Xing Lun
(釋何衡陽達性論—Penjelasan Atas Risalah Pencapaian Hakikat dari He Hengyang [He
Chengtian]). Demikianlah pada masa tersebut bermunculan perdebatan mengenai doktrin
ajaran Buddha.

Biksu penerjemah kitab suci dari India pada masa ini adalah Buddhajiva asal Kashmir.
Beliau datang ke Tiongkok pada era Jingping (景平; 423 M) masa Raja Song Yang (宋陽王)
dengan menerjemahkan kitab Wu Fen Lü ( 五 分 律 — Lima Bagian Vinaya
[Mahīsasakavinaya]). Kemudian pada awal era Yuanjia (元嘉), Kalayasa (383-431 M) yang
berasal dari Asia Tengah menerjemahkan kitab Amitayur Dhyana Sutra (觀無量壽經). Pada
tahun ke-8 dari era Yuanjia (元嘉; 431 M) masa Kaisar Song Wendi, Gunavarman yang
menetap di Jiankang selama 9 bulan dan wafat dalam usia 65 tahun, menerjemahkan kitab
Bodhisattva-carya-nirdeśa (菩薩善戒經), Dharmaguptaka-bhikṣuṇī-karman (四分比丘尼羯
磨法), di mana hal ini telah memungkinkan terwujudnya penerimaan Sila dalam Sangha
Tiongkok. Selanjutnya, Gunabhadra (394-468 M) yang tiba di Guangzhou melalui perjalanan
laut, beliau disambut dengan hormat oleh Kaisar Song Wendi pada tahun ke-12 dari era
Yuanjia. Kemudian di Jingzhou, beliau menerjemahkan kitab Saṃyuktâgama-sūtra (雜阿含
經), Śrīmālādevī-siṃha-nāda-sūtra (勝鬘經), Guoqu Xianzai Yinguo Jing (過去現在因果經
— Sutra Hukum Sebab Akibat Masa Lalu dan Kini), yang semuanya berjumlah 52 judul, 44
bab.

4. Dinasti Qi

Kaisar Qi Gaodi (齊高帝) dan Qi Wudi (齊武帝) sama-sama melayani Buddhisme


dengan sangat baik, terutama anak dari Kaisar Qi Wudi, yaitu Pangeran Wenhui (文惠) dan

36
Pangeran Xiao Ziliang (蕭子良) alias Pangeran Jing Ling (竟陵王) atau Pangeran Wen Xuan
(文宣王) memiliki keyakinan yang kuat pada Buddhisme. Beliau kerap menjamu biksu
agung. Xiao Ziliang sendiri juga memberi ceramah tentang Buddhisme, melaksanakan puja
bakti Avatamsaka, Nagapuspa, Daolin, praktik pengorbanan fisik, praktik fangsheng
(pelepasan hewan), dan berdana obat-obatan. Beliau menulis kitab Jingzhu Zi Jingxing
Famen (淨住子淨行法門—Metode Ajaran Praktik Pemurnian Bagi Praktisi Upavasatha)
sebanyak 20 bab, yaitu karya tentang ajaran praktis Buddhisme dalam kehidupan sehari-hari
bagi umat Buddha Tiongkok. Kemudian ada Senghui (僧慧) dan Xuanchang (玄暢) yang
sangat dihormati oleh Kaisar Qi Wudi hingga diikutsertakan dalam urusan kenegaraan, dan
dijuluki sebagai Dua Tokoh Terkemuka Berjubah Hitam. Tokoh penerjemah pada masa ini
adalah Dharmagatayasa yang menerjemahkan kitab Amitartha-sūtra ( 無 量 義 經 ),
Sanghabhadra yang menerjemahkan kitab Samantapāsādikā (善見律毘婆沙), Gunaviddhi
yang menerjemahkan kitab Baiyu Jing ( 百 喻 經 —Sutra Seratus Perumpamaan), dan
Dharmamati yang menerjemahkan kitab Saddharmapundarīka sūtra Devadatta Varga (妙法
蓮華經 - 提婆達多品).

5. Kaisar Liang Wudi

Sekitar tahun ke-55 masa Dinasti Liang (梁) adalah masa puncak perkembangan
Buddhisme era Dinasti Selatan. Terutama pada masa Kaisar Liang Wudi (梁武帝) yang
bertahta selama 48 tahun (502-549 M). Tingkat keyakinan beliau terhadap Buddhisme
sungguh tidak dapat ditandingi oleh kaisar Tiongkok mana pun. Kaisar Liang Wudi pada
dasarnya merupakan siswa dari Xiao Ziliang. Pada tanggal 8 bulan 4 tahun ke-3 dari era
Tianbao ( 天 寶 ; 504 M), bertepatan dengan hari lahir Buddha, Kaisar Liang Wudi
mengundang lebih dari 20.000 umat di Aula Chongyun (重云殿) untuk melepas dari Taoisme
dan melakukan puja bakti Buddhisme. Pada tahun ke-10 dari era Tianbao (511 M), beliau
menulis Duan Jiurou Wen ( 斷 酒 肉 文 —Risalah Menghindari Konsumsi Daging dan
Minuman Keras), kemudian pada tahun ke-16 dari era yang sama (517 M), beliau melarang
upacara persembahan dari hasil pengorbanan hewan, bahkan beliau menutup biara Taoisme,
dan memerintahkan mereka untuk kembali ke kehidupan biasa, sehingga para umat Taois
masa Dinasti Liang banyak yang mengungsi ke Dinasti Qi-Utara (北齊).

37
Pada tanggal 4 bulan 8 tahun ke-18 dari era yang sama (519 M), beliau selanjutnya
menerima peraturan disiplin Bodhisatwa Sila dari Biksu Huiyue (慧約) di Wihara Caotang
(草堂寺). Pada saat itu, dari pangeran hingga rakyat jelata yang menerima Sila mencapai
48.000 orang. Kaisar Liang Wudi mendirikan beberapa wihara besar misalnya Wihara Aijing
(愛敬), Guangzhai (光宅), Kaishan (開善), Tongtai (同泰), dan Xingxing (幸行). Beliau
menyelenggarakan upacara akbar sebanyak lebih dari sepuluh kali. Pada bulan 3 tahun ke-2
dari era Tatong (大通; 528 M), Kaisar Liang Wudi melepas tahta demi mempersembahkan
diri sebagai ‘pelayan’ Triratna di Wihara Tongtai. Para menteri mengeluarkan uang sebanyak
1 triliun sebagai dana pengganti untuk mengembalikan beliau ke tahta kaisar. Praktik
persembahan diri ini dilakukan oleh beliau sampai 3 kali, sehingga ia dijuluki sebagai
bodhisatwa kaisar. Para biksu yang kerap keluar masuk istana dan berdiskusi Dharma dengan
Kaisar Liang Wudi adalah Biksu Sengmin (僧旻), Fachong (法寵), Fayun (法雲), Huichao
(慧超). Kemudian ada juga tokoh biksu terkenal yang menjalin hubungan baik dengan Kaisar
Liang Wudi, yaitu Baozhi (寳(保) 志), Sengyou (僧佑), Baochang (寳唱), Zhizang (智藏),
dan Huiyue (慧約). Diantaranya, Baozhi adalah biksu yang terkenal dengan kemampuan
supranaturalnya. Sedangkan Fayun dari Wihara Guangzhai, Zhizang dari Wihara Kaishan,
dan Sengmin dari Wihara Zhuangyan dijuluki sebagai 3 maha guru dari Dinasti Liang, di
mana mereka merupakan cendikiawan terkenal dari aliran Chengshi (成實—Satyasiddhi) dan
Niepan (涅槃—Nirvana).

Sebagai tambahan, kitab Fahua Yishu ( 法 華 義 疏 —Komentar atas Makna


Saddharmapundarika Sutra) karya Pangeran Shotoku dari Jepang merupakan kitab yang
ditulis dengan merujuk pada Fahua Yishu karya Fayun. Karya tulis dari Biksu Sengyou
berupa kitab-kitab sejarah seperti Chu Sanzang Jiji ( 出 三 藏 記 集 —Kumpulan Teks
Tripitaka), Hongming Ji (弘明集—Antologi Penyiaran dan Penerangan Ajaran), dan Shijia
Pu (釋迦譜—Riwayat Buddha Sakyamuni). Muridnya, Baochang, juga mendapat pengaruh
dari beliau dengan menulis kitab Mingseng Zhuan (名僧傳—Riwayat Biksu Termasyhur),
dan Biqiuni Zhuan (比丘尼傳—Riwayat Biksuni). Kemudian Biksu Huijiao (慧皎) dengan
merujuk pada kitab Mingseng Zhuan lalu menuliskan kitab Gaoseng Zhuan (高僧傳—
Riwayat Biksu Agung).Kitab Riwayat Biksuni dan Riwayat Biksu Agung, serta Kumpulan
Teks Tripitaka yang memuat riwayat biksu, merupakan kitab tertua tentang riwayat para
anggota Sangha, dan merupakan karya yang sangat bernilai tinggi.

38
Anggota keluarga Kaisar Liang Wudi juga adalah pemeluk Buddhisme yang taat.
Putra sulung beliau, Xiaotong (蕭統), adalah penulis kitab Zhaoming Wenxuan (昭明文選—
Teks Pilihan Zhaoming). Kemudian putra ke-3, Xiao Gang ( 蕭 綱 ), yaitu Kaisar Liang
Jianwendi (梁簡文帝; naik tahta pada tahun 550-551 M ), dan putra ke-7, Xiaoyi (蕭繹),
yaitu Kaisar Liang Yuandi (梁元帝; naik tahta pada tahun 552-554 M), di mana wawasan
mereka tentang ajaran Buddha juga tidak kalah dari Kaisar Liang Wudi, dan mereka pun
memiliki karya tulis. Terutama Pangeran Zhaoming, alias Xiaotong, memiliki karya yang
terkenal, yaitu Jie Sandi Yi (解三諦義—Penjelasan Makna Tiga Kebenaran).

6. Paramartha

Meskipun aktivitas penerjemahan kitab suci di wilayah Tiongkok selatan berkembang


pesat di awal Dinasti Liu Song (劉宋), namun perkembangan ajarannya terhitung cukup
lambat dibandingkan dengan Dinasti Qi (齊) dan Liang (梁). Hingga menjelang masa-masa
akhir, sehubungan dengan kedatangan tokoh penerjemah dari jalur laut, maka perkembangan
ajarannya pun berangsur-angsur mengalami kemajuan. Tokoh yang mewakili masa ini adalah
Paramartha (499-569 M) yang berasal dari India barat. Atas undangan Kaisar Liang Wudi,
pada tahun ke-12 dari era Tatong (546 M) beliau tiba di Guangzhou melalui perjalanan laut.
Pada tahun ke-2 dari era Taiqing (太清; 548 M), beliau tiba di kota Jiankang (建康) dan
mendapat layanan yang baik dari Kaisar Liang Wudi. Belakangan karena terjadi peristiwa
pemberontakan Houjin (侯景), beliau berpindah ke Fuchun (富春) di Provinsi Zhejiang,
kemudian pernah kembali sekali lagi ke Jiankang. Namun untuk menghindari kekacauan
akibat peperangan di akhir Dinasti Liang, beliau mulai berpindah-pindah ke berbagai daerah
seperti Yuzhang (豫章). Dan saat hidup dalam pengembaraan ini, beliau akhirnya wafat di
Guangzhou pada tahun pertama dari era Taijian (太建; 569 M) masa Kaisar Chen Xuandi (陳
宣帝).

Lantaran di masa hidupnya dalam pengembaraan, beliau memfokuskan diri dalam


menerjemahkan kitab suci yang semuanya mencapai 49 judul, 142 bab. Kitab terjemahan
utamanya adalah Mahāyāna-samgraha (攝大乘論), Mahāyāna-saṃgraha-bhāṣya (攝大乘論
釋), Mahāyāna śraddhotpada śāstra (大乘起信論), Yogācāra-bhūmi-śāstra (十七地論),
Jueding Zang Lun (決定藏論), Madhyānta-vibhāga-tīkā, Zhuanshi Lun (轉識論), Suvarna-

39
prabhasa Sutra (金光明經), Buddha-dhātu-śāstra (佛性論), Vijnapti-matrata-siddhi (大乘
唯識論), Try-asvabhava-prakarana (三無性論), Abhidharmakośabhāṣya (阿毘達磨俱舍論
釋論), di mana hasil terjemahan tersebut telah memunculkan aliran Mazhab Shelun (攝論宗
—Samgraha) dan Mazhab Jushi (俱舍宗—Kosa) di Tiongkok. Dan pada saat yang sama juga
telah mencetuskan pengkajian terhadap teori Vijnapti. Hal ini telah memberikan satu
perkembangan besar bagi institusi Buddhisme.

7. Dinasti Chen

Lima generasi dalam Dinasti Chen (陳) yang berlangsung selama 33 tahun merupakan
kelanjutan dari Buddhisme Dinasti Liang. Kaisar Chen Wudi (陳武帝) merenovasi kembali
700 wihara yang rusak akibat perang pada masa penghujung Dinasti Liang. Beliau juga
beberapa kali menyelenggarakan bakti sosial (Panca-varsikamaha) di Wihara Zhuangyan (莊
嚴 寺 ). Penerusnya, Kaisar Wendi ( 文 帝 ), Xuandi ( 宣 帝 ), dan Houzhu ( 後 主 ) juga
melakukan hal yang sama, termasuk memberi persembahan tubuh sendiri.

Pada era ini, ada satu tokoh biksu bernama Huisi (慧思; 515-577 M), di mana beliau
menguasai doktrin Saddharmapundarika Sutra atas bimbingan dari Biksu Huiwen (慧文).
Pada tahun ke-3 dari era Chengsheng (承聖; 554 M) masa Kaisar Liang Yuandi (梁元帝),
beliau menetap di Gunung Dashu (大蘇山) di Guangzhou (光州), Provinsi Hunan (湖南).
Setelah itu beliau berpindah ke wilayah Nanyue (南岳), menetap di sini selama belasan tahun,
dan fokus pada pengajaran Dharma. Karena itu, orang-orang memanggilnya dengan nama
Mahaguru Nanyue (南岳大師). Karya tulis beliau di antaranya adalah Dacheng Zhiguan
Famen (大乘止觀法門—Metode Ajaran Meditasi Samatha Vipasyana Mahayana), Wuzheng
Sanmei Famen (無諍三昧法門—Metode Ajaran Aranasamadhi (Samadhi Tanpa Konflik)),
Anleheng Yi (安樂行義—Makna Saddharmapundarika Sutra-Bab Tentang Sukhawihara).
Namun ada pula orang yang menaruh curiga terhadap beliau. Esai yang berjudul Lishi
Yuanwen ( 立 誓 願 文 —Membangkitkan Tekad) merupakan pencetusan teori dari beliau
tentang masa akhir Dharma di Tiongkok, di mana dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa
Tiongkok [masa itu] telah memasuki zaman akhir Dharma. (Teori tentang masa akhir
40
Dharma dapat dilihat pada Bab VI dalam buku ini). Teori perhitungan beliau tentang masa
akhir Dharma dan tahun Parinirvana Buddha lebih dulu muncul sebelum diterjemahkannya
kitab Candragarbha-sūtra (大集月藏經). Karya tulis seperti ini juga merupakan hal yang
terjadi sebelum peristiwa pembasmian Buddhisme pada masa Dinasti Zhou-Utara (北周).

8. Kemunculan Taoisme

Buddhisme juga berkembang pesat pada masa Dinasti Wei-Utara (北魏), di mana
yang cukup mengejutkan adalah pertumbuhan komunitas monastiknya. Dikatakan masa
tersebut terdapat tiga puluh ribu wihara dan tiga juta anggota Sangha. Terutama pada masa
Kaisar Taizu (太祖) alias Daowudi (道武帝; 386-419 M), beliau adalah seorang pemeluk
Buddhisme yang taat, dan turut memberi perlindungan pada Buddhisme. Begitu juga dengan
Kaisar Taizong (太宗) alias Mingyuandi (明元帝; 420-423 M). Selanjutnya, Kaisar Shizu
(世祖) alias Taiwudi (太武帝; 424-451 M) juga sangat menghormati Biksu Tanshi (曇始)
yang berasal dari Guanzhong (関中) dan berpindah menetap di ibukota Pingcheng (平城)
(Tatong (大同), Provinsi Shanxi). Akan tetapi karena Kaisar Taiwudi beralih keyakinan ke
ajaran Taoisme akhirnya ia mulai menjalankan kebijakan penumpasan Buddhisme.

Taoisme muncul antara masa akhir Dinasti Han ( 漢 ) dan Tiga Dinasti ( 三 國 ),
diprakarsai oleh Zhangjiao (張角), Zhangxiu (張修), dan Zhanglu (張魯) melalui aliran
Taiping Dao (太平道) dan Wudoumi Dao (五斗米道) dengan memanfaatkan pengkajian
kitab Daode Jing (道德經) karya Laozi (老子) dan kepercayaan tradisional seperti kertas
jimat Hu dan mantra untuk doa dan penyembuhan penyakit. Pada saat yang sama, ia juga
dikombinasikan dengan praktik ilmu kedewataan, ilmu pemeliharaan kesehatan,
penggodokan pil pengobatan yang dipelopori oleh Zuoci (左慈) dan Gexuan (葛玄) hingga
menjadi terorganisir dan melahirkan berbagai hierarki jabatan seperti Tianshi (天師—Guru
Langit), Buxing Dujiang (布行都講), Jijiu (祭酒—Kepala Pengurus Wilayah), Dudu (都督),
Zhubu ( 主 簿 —skretariat) , Jianling ( 姦 令 ), dan Guishi ( 鬼 使 ). Karena aktivitas ini
mendapatkan banyak pengikut, ditambah lagi dengan pembelajaran falsafah Laozi dan
Zhuangzi, maka ia terbentuk menjadi Taoisme. Pada masa Dinasti Jin-Barat, terjadi
perdebatan terbuka antara pejabat Jijiu, Wangfu (王浮) yang mewakili Taoisme dengan

41
Biksu Boyuan (帛遠) alias Fazu (法祖) asal Henei (河内) yang mewakili Buddhisme. Kitab
Laozi Huahu Jing (老子化胡經—Kitab Penjelmaan Laozi di Negeri Barbar) adalah satu
bukti atas kejadian ini. Sekarang kitab ini sudah tidak ditemukan secara lengkap, hanya
terdapat penggalan kecil berisi kisah Laozi pergi ke India untuk menjelma menjadi
Sakyamuni atau menjadi gurunya Sakyamuni. Atas dasar hal ini, dari pihak Buddhisme juga
menulis kitab Tiandi Jing (天地經—Sutra Langit dan Bumi), Qingjing Faxing Jing (清淨法
行 經 —Sutra Praktik Dharma Suci), Xumi Siyu Jing ( 須 彌 四 域 經 —Sutra Empat Kota
Sumeru), Kongji Suowen Jing (空寂所問經—Sutra Pertanyaan Kongji), di mana dinyatakan
bahwa Konfusius dari Tiongkok adalah jelmaan Bodhisatwa Rutong (儒童菩薩), dan Laozi
disebut sebagai Maha Kasyapa (salah satu siswa utama Buddha).

Sehubungan dengan Buddhisme sebagai agama dari luar yang tersebar luas di
Tiongkok, dan Taoisme yang sedang mengalami perkembangan, maka terjadi persaingan
antara kedua agama ini tentang siapa yang lebih unggul. Untuk menunjukkan bahwa
keyakinan pihak satu lebih unggul dari pihak lainnya, maka dimunculkan kitab karangan
yang digunakan untuk mendukung pandangannya masing-masing. Agar orang Tionghoa
dapat memahami Buddhisme yang berasal dari luar, maka doktrin Buddhisme dari India
dikonversi menjadi kitab berkarakter Tiongkok. Kitab seperti ini juga cukup banyak, dan
jenis kitab yang merupakan karangan orang Tiongkok pun dikategorikan ke dalam kelompok
“kitab palsu”, di mana ini merupakan karakteristik pada masa sedang populernya
perkembangan bentuk Buddhisme geyi (格義佛教—Buddhisme yang dijelaskan dengan cara
meminjam konsep ajaran lain).

Kembali pada pembahasan masa Dinasti Jin-Timur, di sini juga terdapat kitab-kitab
Taoisme seperti Baopuzi (抱朴子—Baopuzi) dan Shenxian Zhuan (神仙傳—Riwayat Dewa)
karya Ge Hong (葛洪). Pendeta Taois dari Gunung Lushan (廬山), Lu Xiujing (陸修靜)
mendapat titah dari Kaisar Song Mingdi (宋明帝) untuk mengepalai Kuil Chongxu (崇虛館)
di kota Jiankang. Ia mengawali tugas pengumpulan kitab-kitab Taoisme, yang dimulai dari
kitab Shangqing Zhenjing (上清真經—Kitab Suci Shangqing), kemudian menata berbagai
kitab Taoisme dari berbagai aliran yang diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu
Dongzhen (洞真), Dongxuan (洞玄), dan Dongshen (洞神), sehingga menghasilkan kitab
Xuandu Guan Jingmu (玄覩觀經目—Katalog Kitab Suci Kuil Xuandu). Kemudian ada juga
pendeta Taois dari Dinasti Liang (梁), Tao Hongjing (陶弘景). Beliau mempraktikkan

42
penyepian di Gunung Maoshan (茅山), dan menulis karya berjudul Zhen Gao (真誥—
Nasihat Suci) sebanyak 7 bab. Pada saat yang sama ia juga mengkultuskan tokoh Laozi
sebagai dewa, menjiplak teks Buddhisme, dan banyak mengarang kitab Taoisme, serta
menjadi pendiri Taoisme aliran Shangqing (上清派). Selanjutnya adalah pendeta Taois, Kou
Qianzhi (寇謙之) dari Dinasti Wei-Utara (北魏). Melalui beliau, Taoisme berkembang pesat
hingga menjadi agama negara.

9. Kaisar Taiwudi dari Dinasti Wei-Utara Menindas Buddhisme

Kou Qianzhi melatih diri di Gunung Songshan (嵩山) selama 20 tahun lebih. Konon,
Dewa Taishang Laojun (太上老君) pernah menganugerahinya gelar Tianshi (天師—Guru
Langit), dan mewariskan 20 bab kitab Yunzhong Yinsong Xinke Zhijie (雲中音誦新科之誡).
Ketika tiba di ibukota Wei-Utara, Pingcheng (平城), beliau sangat dihormati oleh perdana
menteri Cui Hao (崔浩). Setelah diperkenalkan kepada Kaisar Taiwudi, sang kaisar pun
sangat respek dan mempercayainya. Di tenggara kota Pingcheng, kaisar mendirikan pusat
ritual Tianshi dan menjuluki diri sebagai Taiping Zhenjun (太平真君—Suciwan Perdamaian),
bahkan secara resmi menjadikan nama tersebut sebagai nama tahun pemerintahannya. Pada
tahun ke-3 dari era Taiping Zhenjun (442 M), beliau menerima jimat kertas. Pada bulan
pertama tahun ke-5 dari era yang sama (444 M), anggota Sangha Buddhisme ditindas. Pada
tahun ke-7 (446 M), ia menjalankan kebijakan penumpasan Buddhisme secara brutal.
Sedangkan dalangnya adalah Kou Qianzhi dan Cui Hao, serta dilatarbelakangi oleh
pertentangan implisit antara bangsa Han (漢) dengan kelompok etnis Hu (胡) yang dianggap
barbarian. Oleh karena itu, ia hendak menaklukkan Buddhisme yang telah menjadi bagian
dari budaya pada saat itu. Juga pada saat yang sama, karena pertumbuhan komunitas
Buddhisme yang pesat mengakibatkan penurunan kualitas anggota Sangha dan kebobrokan
komunitas. Pun dapat terlihat bahwa karena bertambahnya jumlah anggota Sangha yang
berefek pada kelelahan ekonomi negara akibat subsidi yang diberikan, maka hal ini
mendorong Kaisar Taiwudi melakukan aksi penumpasan Buddhisme. Ditambah lagi dengan
peristiwa Pemberontakan Gaiwu ( 蓋 吳 之 亂 ), di mana gerakan perlawanan dipimpin
langsung oleh sang kaisar, dan pada bulan ke-2 tahun ke-7 dari era Taiping Zhenjun, di
sebuah wihara di kota Chang’an (長安) ditemukan tempat penyimpanan senjata, peralatan
minuman keras, dan kamar rahasia untuk wanita, maka kejadian ini dicurigai berhubungan

43
dengan pemberontak Gaiwu, serta kemarahan kaisar atas kebobrokan dalam tubuh
Buddhisme ini, maka atas usulan Cui Hao (崔浩), Buddhisme pun mengalami penumpasan.

Di samping itu, Taoisme yang dipelopori oleh Kou Qianzhi, terutama kitab Yunzhong
Yinsong Xinke Zhijie yang sebagian isinya merupakan tiruan dari vinaya (peraturan disiplin)
Buddhisme. Begitu juga dengan patung Dewa Yuanshi Tianzun (原始天尊) dan Taishang
Laojun (太上老君) merupakan tiruan dari penghormatan figur Buddha dan bodhisatwa yang
berkembang secara populer pada saat itu. Sampai pada tahap ini, setelah melewati peristiwa
penumpasan Buddhisme, Taoisme yang pada dasarnya tidak memiliki komunitas, dalam
kesempatan ini pun berhasil menyelesaikan susunan sistem organisasinya.

10. Kaisar Wenchengdi Memulihkan Buddhisme

Kou Qianzhi mati tidak lama setelah peristiwa penumpasan Buddhisme, sedangkan
Cui Hao beserta seluruh anggota keluarganya juga mati dihukum. Enam tahun setelah
penumpasan Buddhisme, pada tahun 452 M, Taiwudi pun meninggal, lalu digantikan oleh
Kaisar Wenchengdi ( 文 成 帝 ). Beliau menginstruksikan pemulihan Buddhisme, dan
mengangkat Biksu Tanyao ( 曇 曜 ) sebagai ketua Sangha ( 沙 門 統 ) untuk mengelola
komunitas Buddhisme. Atas permohonan Tanyao, diadakan pemahatan gua batu Yun’gang
( 雲 崗 ) yang terletak di Datong ( 大 同 ). Kaisar berikutnya, Xianwendi ( 獻 文 帝 ) juga
membuat patung Buddha Sakyamuni setinggi 5 meter, sekaligus membangun pagoda tujuh
tingkat di Wihara Yongning (永寧寺) setinggi ±100 meter. Kaisar selanjutnya, Xiaowendi
( 孝 文 帝 ) yang memindahkan ibukota ke Luoyang ( 洛 陽 ), menjadi penyokong Biksu
Daodeng (道登) dan Sengyuan (僧淵). Sang kaisar juga membangun proyek situs besar Gua
Batu Longmen (龍門). Kemudian ada lagi Kaisar Xuanwudi (宣武帝) pernah menjadi bagian
juru tulis dalam kegiatan penerjemahan kitab suci yang dipimpin oleh Bodhiruci. Bodhiruci
adalah biksu yang datang dari Asia Tengah ke Tiongkok, di mana saat itu biksu yang
mengunjungi Tiongkok mencapai tiga ribu orang, sehingga kegiatan penerjemahan kitab suci
pun berkembang pesat. Penerjemah lainnya, yaitu Biksu Kinkara (吉迦夜) dan Tanyao (曇曜)
bersama-sama menerjemahkan kitab Saṃyukta-ratna-piṭaka-sūtra (雜寶藏經) dan Fufazang
Yinyuan Zhuan (付法藏因緣傳). Biksu dari India yang terlihat aktif di masa pemerintahan

44
Kaisar Xuanwendi adalah Bodhiruci, Ratnamati, dan Buddhasanta. Mereka bertiga
menerjemahkan kitab Daśabhūmika-sūtra (十地經)— salah satu bab dari Avatamsaka Sutra
(華嚴經), dan kitab komentarnya, Daśabhūmikasūtra-śāstra (十地經論) yang ditulis oleh
Vasubandhu. Bersamaan dengan kitab Mahāyāna saṃgraha-śāstra ( 攝 大 乘 論 ) yang
diterjemahkan oleh Paramartha (真諦) di Tiongkok selatan, kedua kategori kitab ini saling
berhadapan dan menandai awal masuknya pemikiran Vasubandhu ke Tiongkok yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, bermunculan kelompok aliran jalur selatan yang
dipelopori oleh murid Ratnamati, Biksu Huiguang (慧光), dan kelompok aliran jalur utara
yang dipelopori oleh murid Bodhiruci, Biksu Daochong ( 道 寵 ), di mana kemudian
berkembang menjadi Mazhab Di Lun (地論宗—Aliran Dasabhumika-sutra Sastra). Setelah
terbagi menjadi dua kelompok aliran tersebut, selanjutnya muncul tren yang menjunjung
tinggi kitab Avataṃsaka-sūtra (華嚴經).

Di samping itu, kitab lain hasil terjemahan Bodhiruci di antaranya adalah


Vajracchedikā-prajñāpāramitā-sūtra ( 金 剛 般 若 經 ), Laṅkâvatāra-sūtra ( 入 楞 伽 經 ),
Sukhāvatīvyūhôpadeśa (無量壽經論). Kemudian hasil terjemahan Ratnamati di antaranya
adalah Ratnagotravibhāga-mahāyānôttaratantra-śāstra (寶性論), sedangkan Buddhasanta
menerjemahkan kitab Mahāyāna saṃgraha-śāstra (攝大乘論), dan sebagainya.

Di antara masa ini juga terdapat seorang tokoh bernama Tanluan (曇鸞; 476-542 M)
yang mempelopori keyakinan pada tanah-murni Buddha (淨土). Beliau berasal dari Yanmen
(雁門) di Provinsi Shanxi (山西). Awalnya beliau mempelajari empat kitab risalah. Ketika
menulis penjelasan atas kitab Mahāsamghāta sūtra ( 大 集 經 ) beliau terserang penyakit
pernafasan. Demi kesembuhannya, beliau mengunjungi pendeta Taois, Tao Hongjing (陶弘
景) dari Dinasti Liang (梁) hingga mendapatkan ilmu memperpanjang usia. Tatkala dalam
perjalanan pulang ke utara, beliau bertemu dengan Bodhiruci di Luoyang yang kemudian
memberikannya kitab Amitāyurdhyāna-sūtra (觀無量壽經). Dan sejak itu pun beliau hanya
mengandalkan ajaran Buddha sebagai metode usia panjang dan memfokuskan diri untuk
menyebarluaskan doktrin tanah-murni Buddha Amitabha beserta praktik nianfo (melafal
nama Buddha). Sehubungan dengan kaisar Dinasti Wei sangat respek padanya, maka ia
dijuluki dengan nama Shen-luan (神鸞—Luan yang sakti). Beliau menetap di Wihara Dayan
(大嚴寺) di Bingzhou (并州) (Kabupaten Yangqu (陽曲), Provinsi Shanxi (山西)), kemudian

45
pindah menetap di Wihara Xuanzhong (玄中寺) di Gunung Shibi (石壁山). Pada tahun ke-4
era Xinghe (興和; 542 M) masa Kaisar Xiaojingdi (孝靜帝) dari Dinasti Wei Timur (東魏),
beliau meninggal di Wihara Yaoshan (遙山寺) dalam usia 67 tahun. Kitab hasil karya beliau
adalah Jingtu Lunzhu (淨土論注—Penjelasan Atas Risalah Tanah-murni), Zan Amituofo Ji
(讚阿彌陀佛偈—Sajak Pujian Buddha Amitabha). Kitab Penjelasan Atas Risalah Tanah-
murni merupakan catatan penjelasan atas kitab Sukhāvatīvyūhôpadeśa (淨土論—Risalah
Tanah-murni) karya Vasubandhu dan kitab Daśabhūmika-vibhāṣā-śastra—Bab tentang Jalan
Mudah karya Nagarjuna. Melalui penjelasan atas Risalah Tanah Murni, beliau
menyelaraskan dua aliran falsafah utama di India hingga menghasilkan bentuk pemahaman
baru. Beliau mengemukakan praktik Lima Metode Pelafalan (五念門 ), yaitu pemujaan,
pujian, pembangkitan tekad, penyelidikan, dan pelimpahan jasa. Metode ini melahirkan asas
praktik dan prinsip bagi ajaran Sukhavati di Tiongkok. Belakangan, pemikiran Tanluan dapat
terlihat di tugu prasasti di Wihara Xuanzhong. Sedangkan pada tahun ke-5 dari era Daye (大
業; 609 M) masa Kaisar Sui Yangdi (隋煬帝), sesepuh Mazhab Sukhavati, Daochuo (道綽),
semakin mengokohkan pemikiran Tanluan.

11. Kaisar Zhou Wudi dari Dinasti Zhou-Utara Menindas Buddhisme

Dinasti Wei-Utara (北魏) terpecah menjadi dua, yaitu Wei-Timur (東魏) yang kuasai
oleh Gao Huan (高歡) dengan ibu kotanya di Ye (鄴) (Zhangde (彰德), Provinsi Henan), dan
Wei-Barat (西魏) yang dikuasai oleh Yuwen Tai (宇文泰) dengan ibu kotanya di Chang’an
(長安). Tidak lama kemudian, anak Gao Huan, yaitu Gao Yang (高洋) naik tahta dengan
mendirikan dinasti baru, Qi-Utara ( 北 齊 ; 550 M). Sedangkan di pihak Yu Wentai,
keponakannya, yaitu Yuwen Hu (宇文護) melakukan kudeta hingga melahirkan Dinasti
Zhou-Utara (557 M). Selanjutnya Yuwen Hu mengangkat putra Yuwen Tai, Yuwen Yong
(宇文邕) sebagai kaisar Dinasti Zhou-Utara dengan gelar Kaisar Zhou Wudi (北周武帝; 561
M).

Gao Yang adalah kaisar Dinasti Qi-Utara yang bergelar Kaisar Wenxuandi (文宣帝;
550-559 M). Sama seperti Kaisar Liang Wudi (梁武帝), beliau mendukung perkembangan

46
Buddhisme. Murid utama Biksu Huiguang (慧光), yaitu Fashang (法上; 495-580 M) adalah
guru vinaya beliau—pemberi peraturan disiplin. Pada tahun ke-6 dari era Tianbao (天寶; 555
M) masa pemerintahannya, beliau menurunkan titah untuk menindas Taoisme. Namun Kaisar
Zhou Wudi dari Dinasti Zhou-Utara yang berseberangan dengan beliau sebaliknya
menjalankan kebijakan memperkuat bidang militer dan kemakmuran negara. Ketika
ditemukan jumlah wihara dan anggota Sangha yang berlebihan, Kaisar Zhou Wudi
menganggap kondisi ini mendatangkan mudarat daripada manfaat bagi masyarakat, maka ia
pun mengeluarkan kebijakan represif untuk menindas Buddhisme. Hal ini juga
dilatarbelakangi oleh biksu yang lepas jubah (kembali ke kehidupan rumah tangga) bernama
Wei Yuansong (衛元嵩), di mana ia mengajukan surat kepada pemerintah untuk membasmi
Buddhisme, serta provokasi yang dilakukan oleh pendeta Taois bernama Zhangbin (張賓)
pada tahun ke-2 dari era Tianhe (天和; 567 M) masa pemerintahan Kaisar Zhou Wudi. Pada
tahun ke-4 dari era Tianhe (569 M), sang kaisar mengumpulkan para anggota Sangha,
pendeta Taois dan pejabat tinggi negara untuk menyelenggarakan perdebatan tentang
keunggulan dan kelemahan antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Pada saat itu,
dari pihak Buddhisme diwakili oleh Zhenluan (甄鸞) yang mengajukan literaturnya berjudul
Xiaodao Lun (笑道論—Risalah Menertawai Tao), dan Dao An (道安) dari Zhou-Utara
dengan judul karyanya Erjiao Lun (二教論—Risalah Dua Ajaran). Sebagai hasilnya, pada
tahun ke-3 bulan ke-3 dari era Jiande (建德; 574 M) masa pemerintahan Kaisar Zhou Wudi,
kaisar menurunkan titah penumpasan Buddhisme dan Taoisme sekaligus. Dengan demikian,
patung-patung pemujaan dan wihara dihancurkan. Semua anggota Sangha wihara dipaksa
untuk lepas jubah, dan dimasukkan ke kehidupan masyarakat dan militer. Pada bulan ke-5
tahun yang sama, Kaisar Zhou Wudi membangun Kuil Tongdao (通道觀) dengan menerima
120 anggota, sedangkan anggota Sangha wihara banyak yang bersembunyi ke hutan gunung
atau mengungsi ke Tiongkok selatan untuk menghindari bencana Dharma ini. Hingga pada
bulan pertama tahun ke-6 dari era Jiande, ketika Kaisar Zhou Wudi menyerang Qi-Utara (北
齊), juga terdapat kondisi di mana wihara-wihara di wilayah tersebut juga dihancurkan dan
para anggota Sangha melepas jubah. Hal ini bukan karena atas perintah Kaisar Zhou Wudi,
tetapi lebih diakibatkan oleh pergolakan perang. Dengan demikian, Buddhisme di Tiongkok
utara dalam satu era ini pun mengalami kehancuran. Namun tidak lama kemudian, karena
Kaisar Zhou Wudi jatuh sakit, dan secara berturut-turut tahta kekaisaran pun digantikan oleh
Kaisar Zhou Xuandi (周宣帝) dan Zhou Jingdi (周靜帝), maka Buddhisme pun dipulihkan

47
kembali. Hal ini merupakan upaya nasihat dari Ren Daolin (任道林) dan protes dari Biksu
Huiyuan (慧遠) asal Wihara Jingying (淨影寺), serta pengajuan permohonan dari Wang
Mingguang (王明廣). Pada saat yang sama, upaya ini juga selaras dengan pemikiran perdana
menteri Yang Jian (楊堅; yang kemudian menjadi Kaisar Sui Wendi dari Dinasti Sui).

48
Bab V Perkembangan Seni Buddhisme

Saat Buddhisme pertama kali masuk ke Tiongkok sekitar awal tahun masehi, di India
sedang terjadi peralihan Buddhisme sektarian menuju gerakan Mahayana.Tidak sedikit juga
di antara para cendikiawan Buddhisme sektarian yang membaur dengan praktisi Mahayana
yang beraktivitas di barat laut India. Wilayah yang merupakan kekuasaan Kekaisaran Kushan
ini menjadi penyokong sekaligus sebagai pusat Buddhisme. Sejak abad ke-3 SM, daerah ini
telah diinvasi oleh bangsa Yunani yang akhirnya turut menetap di sana. Setelah berlalunya
masa Dinasti Maurya, dan pada saat yang sama bangsa Bactria menerima Buddhisme, maka
orang Yunani pun pernah memanfaatkan seni pahat yang ada di bangunan Pantheon (Roma)
untuk membuat patung Buddha sebagai objek pemujaan. Sehubungan dengan patung-patung
Buddha dalam jumlah yang besar ini baru ditemukan di wilayah Gandhara melalui
penggalian situs pada masa belakangan ini, maka ia disebut patung Buddha corak Gandhara.
Akan tetapi, masa kemunculan objek ini malah setelah India menghapus tradisi pemujaan
stupa dan patung Buddha. Hal ini dapat disimpulkan dari banyaknya penemuan peninggalan
struktur dasar stupa dan sejumlah artefak lainnya. Metode baru seni patung ini menyebar
masuk ke lingkup Buddhisme India hingga membentuk seni patung corak Madhura,
selanjutnya juga melahirkan seni patung Buddha corak Gupta yang kemudian berkembang
secara populer.

Di sisi lain, seni patung Buddha Gandhara menyebar masuk ke Tiongkok melalui
Jalur Sutra dan terserap olehnya. Oleh karena itu, periode awal karya ukiran patung Buddha
pada bangunan Buddhisme Tiongkok juga merupakan adopsi dari corak yang berasal dari
Asia Tengah dan India. Namun sehubungan dengan perbedaan lingkungan, adat, dan suku
bangsa, maka seiring dengan perkembangan zaman pun ia terbentuk dengan gaya dan corak
tersendiri.

1. Arsitektur

49
Seni arsitektur Buddhisme India secara garis besar terbagi atas bentuk stupa, cetya,
dan wihara. Awalnya ia dibuat dari bahan kayu, selanjutnya menggunakan batu bata atau batu
asli, atau pun dipahat menjadi gua batu. Berhubung di Tiongkok telah menggunakan bahan
kayu dalam mengembangkan seni arsitekturnya sejak zaman dahulu, di mana yang
berkembang secara populer adalah model gedung istana bertingkat yang saling berhadapan
satu sama lain di sisi kiri dan kanan, maka gaya arsitektur Buddhisme Tiongkok pun banyak
menggunakan struktur bangunan model gedung bertingkat. Misalnya tempat ibadah
[Buddhisme] tertua konon dibangun oleh seorang tuan tanah bernama Ze Rong (笮融; ?-195
M) yang berasal dari Xiapi (下丕; Kabupaten Pi, Provinsi Jiangsu) pada tahun ke-4 dari era
Chuping (初平; 193 M) masa Kaisar Han Xiandi (漢獻帝) dari Dinasti Han-Belakangan (後
漢), di mana bangunan wihara tersebut dapat menampung tiga ribu orang. Ia juga membuat
patung yang dilapisi emas, mengenakannya dengan pakaian berhias pernik warna-warni,
mengumpulkan umat untuk melantunkan kitab Sutra, dan pada tanggal 8 bulan ke-4
diselenggarakan upacara besar pemandian rupang Buddha. Ajang seperti ini dilakukan di
bangunan lantai atas yang terdapat pilar wadah penampung embun (露盤) yang disusun
dengan bentuk roda bersusun sembilan yang menjulang tinggi ke atas. Meskipun sisa
peninggalan arsitektur Buddhisme paling awal sudah tidak ditemukan lagi, namun dapat
dipastikan bahwa bangunan Tiongkok model bertingkat dikombinasikan dengan bentuk stupa
bergaya India. Tentu, hal ini disebabkan oleh banyaknya biksu dari India yang mengunjungi
Tiongkok turut membawa contoh desain arsitektur Buddhisme dari sana. Model bangunan
bertingkat dari Tiongkok tetap dipertahankan sebagai struktur utama, namun di bagian atas
bangunan ditambahkan stupa Buddhisme yang bergaya India, atau ditambahkan dengan
beberapa corak dari Asia Tengah. Karena dapat terlihat bahwa stupa sembilan tingkat di
Wihara Baima (白馬寺), stupa tiga tingkat dari batu bata di Wihara Taikang (太康寺) di
Luoyang masa Dinasti Jin-Barat (西晉), dan bagian dasar stupa batu tiga tingkat di Wihara
Stupa Batu (石塔寺—Wihara Shita), di mana strukturnya tidak semua didesain dengan
bentuk lingkaran bergaya India, lebih tepat mengatakannya sebagai desain dalam bentuk
persegi empat yang berciri India bagian barat daya. Sedangkan fondasi dasarnya mengikuti
perkembangan model Tiongkok. Dan lorong dari setiap tingkat juga berasal dari model
bangunan bertingkat. Seiring dengan itu juga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
bangunan wihara pada masa itu, maka juga terdapat patung Buddha yang mana karakternya
pun sama seperti kondisi arsitektur yang berbeda dengan bentuk murni dari India.

50
Hingga pada masa Dinasti Utara-Selatan, skala pembangunan wihara semakin
terbentuk sempurna. Pada tahun pertama dari era Tianxing (天興; 398 M) masa Kaisar Dao
Wudi (道武帝) dari Dinasti Wei-Utara (北魏), beliau menetapkan ibu kota di Pingcheng (平
城; wilayah Datong, Provinsi Shanxi), dan melengkapi pembangunan stupa dan wihara, yaitu
stupa lima tingkat, Gedung Aula Gunung Grdhakuta dan Gunung Sumeru dengan beberapa
ruang kegiatan khusus seperti ruang ceramah Dharma dan ruang meditasi, sehingga Sangha
memasuki tahap kehidupan komunitas yang tersistematis. Setelah berlalunya era penumpasan
Buddhisme oleh Kaisar Tai Wudi, di wilayah Yun’gang (雲崗), Tanyao membangun Wihara
Dashi Ku (大石窟寺—Wihara Gua Batu Besar). Kemudian ada pun Kaisar Wen Chengdi (文
成帝) memerintahkan setiap prefektur dan kabupaten untuk membangun satu stupa Buddha.
Ada juga pada tahun pertama dari era Shen’gui (神龜; 518 M), Kaisar Xiao Mingdi (孝明帝)
memerintahkan berbagai wilayah prefektur untuk membangun stupa lima tingkat, dan
membangun stupa sembilan tingkat di Wihara Yongning (永寧寺) di kota Luoyang, yang
ketinggiannya dapat memandang sejauh ratusan Li. Jumlah bangunan wihara pada saat itu
dapat diketahui melalui kitab Luoyang Qielan Ji (洛陽伽藍記—Catatan Sangharama di
Luoyang). Di dalam lingkup wihara, terdapat aula dan stupa berjejeran satu sama lain dengan
megah dan pretisius, menunjukkan keagungan arsitekturnya.

Susunan aula wihara dan stupa di masa Dinasti Wei-Utara kemungkinan


menggunakan model saling berhadapan di sisi kiri dan kanan. Misalnya Wihara Shitennoji di
Osaka, Jepang yang berkembang hingga masa sekarang mungkin yang paling mendekati
model ini.

Ada juga banyak contoh gedung pribadi para pangeran, jenderal, dan pejabat istana
yang didanakan kepada wihara. Tidak sulit untuk memahami bahwa bangunan ini juga
merupakan model arsitektur yang murni dari Tiongkok.

2. Seni Lukis dan Pahat

Periode awal seni patung Buddha dapat diketahui secara perkiraaan melalui temuan
beberapa karya di masa Tiga Dinasti (三國) dari hasil galian situs di Provinsi Sichuan masa
belakangan ini, namun perkiraan ini masih belum cukup pasti. Untungnya, di beberapa
wilayah seperti Dunhuang, Yun’gang, dan Longmen terdapat peninggalan di sejumlah situs

51
gua batu besar (大石窟). Dari penelitian ukiran Buddha dan stupa di dinding batu tersebut,
maka dapat diketahui nilai seni arsitektur, lukisan dan pahatan pada masa tersebut.

3. Dunhuang

Gua Seribu Buddha (千佛洞) yang terletak di Gunung Mingsha (鳴沙山), Provinsi
Gansu, juga disebut sebagai Gua Mogao (莫高窟). Menurut Prasasti Pemugaran Altar
Buddha Gua Mogao oleh Zhou Lijun (周李君重修莫高窟佛龔碑) dapat diketahui bahwa
proyek gua ini pertama kali diprakarsai oleh Biksu Lezun (樂僔) pada tahun ke-2 dari era
Jianyuan (建元; 366 M) masa Dinasti Fu-Qin (符秦). Akan tetapi, pembangunan gua tersebut
lebih awal 13 tahun menurut kitab Shazhou Dizhi Chijian (沙州地志斥簡) yang tersimpan di
perpustakaan Bibliothéque Nationale, Perancis, yaitu pada tahun ke-9 dari era Yonghe (永和;
353 M) masa Kaisar Jin Mudi (晉穆帝) dari Dinasti Jin-Timur (東晉). Pengerjaan proyek ini
dilanjutkan oleh Faliang (法良) dan Dongyang Wang (東陽王). Hingga masa Dinasti Tang
(唐), bahkan masa Lima Dinasti (五代) pun terdapat beberapa gua. Kini jumlah seluruh gua
sebanyak 480, di mana setiap gua terpajang berbagai patung Buddha, bodhisatwa, dan para
dewa yang terbuat dari batu dan tanah liat. Sedangkan di empat sisi dinding dan langit-langit
terdapat lukisan dari cat bergambar figur yang populer di masa itu, yaitu Buddha Sakyamuni,
Buddha Amitabha, dan Buddha Baisajyaguru, serta berbagai mural (lukisan dinding) tentang
tanah-murni, Sutra Teratai, Sutra Vimalakirti, Sutra tentang Balas Budi, Sutra Avalokitesvara,
Sutra Avatamsaka, Jataka dan Riwayat Buddha Sakyamuni, sehingga disebut sebagai gudang
permata seni Buddhisme.

Kemudian, dalam perkembangan sejarah warisan kitab suci Buddhisme terjemahan


bahasa Tiongkok, Manuskrip Dunhuang (敦煌寫經) yang dikoleksi oleh Marc Aurel Stein,
Paul Pelliot, dan Otani Kozui, seperti halnya Paleografi Nara dari Jepang, sama-sama
merupakan dokumen yang sangat berharga. Khususnya banyak sekali ditemukan dokumen
berisi Sutra-sutra yang diragukan keotentikannya, di mana ini merupakan data yang sangat
diperlukan untuk mempelajari bagaimana bangsa Han menyerap dan memahami Buddhisme.

Mural adalah lukisan dinding yang mendeskripsikan berbagai peristiwa dalam kitab
suci. Umumnya lukisan tersebut diawali dari bagian tengah bawah, selanjutnya digambarkan
setiap tahap kisah dalam Sutra secara melingkar. Hanya saja, lukisan dinding yang terlihat di

52
Gua Dunhuang masih belum sepopuler pola mandala dalam tradisi Tantrayana yang muncul
belakangan. Bagian tertua dari lukisan dinding tersebut adalah peninggalan dari masa Dinasti
Wei Utara. Di antaranya juga terdapat lukisan yang tertulis penanggalan pada tahun ke-2 dari
era Yuanjia (元嘉; 425 M) masa Kaisar Wendi dari Dinasti Liu-Song (劉宋文帝).

Sisi gua batu berbentuk persegi empat. Tidak ada satu ruang pun yang sama seperti
ruang stupa dan ruang gua dari India yang umumnya berbentuk tapal kuda. Ia lebih
dipengaruhi oleh pola ruang Sangha, di mana dinding belakang bagian tengah dan dinding
sisi kiri dan kanan terdapat altar Buddha yang dipajang dengan rupang Buddha dan
bodhisatwa. Inilah yang membentuk maha karya Gua Seribu Buddha.

Ada kalanya saat penggalian di bagian tengah gua batu ditemukan sisa stupa Buddha.
Padahal di keempat sisi dinding gua terdapat altar Buddha beserta rupangnya, tetapi tidak ada
pemberian nama ruang stupa. Hal ini terlihat bahwa pemujaan stupa telah beralih ke
pemujaan rupang Buddha. Bentuk patung Buddha pada awalnya dibuat berdasarkan corak
Gandhara, selanjutnya ada yang bercorak Asia Tengah, dan sebagiannya juga dimasukkan
dengan corak zaman Kerajaan Gupta. Seiring berjalannya waktu, juga muncul karya seni
yang bercorak Tiongkok, yaitu perkembangan dari masa Enam Dinasti (六朝) hingga Dinasti
Sui (隋) dan Tang (唐). Sampai pada masa akhir Dinasti Tang muncul lagi yang bercorak
Tibet.

4. Yun’gang

Situs Gua Yun’gang (雲岡石窟) terletak di pesisir utara sungai Wuzhou (武州),
sekitar 12 km sebelah barat kota Datong, Provinsi Shanxi (大同-山西). Setelah peristiwa
penumpasan Buddhisme oleh Kaisar Tai Wudi dari Dinasti Wei Utara (北魏 太武帝), ketua
Sangha Tanyao (曇曜) pada tahun ke-2 dari era XingAn (興安; 453 M) masa Kaisar Wen
Chengdi dari Dinasti Wei Utara (北魏 文成帝), datang ke kota Pingcheng. Lalu pada musim
gugur tahun berikutnya yaitu tahun pertama dari era Xingguang (興光; 454 M), beliau
menyelenggarakan upacara pelimpahan jasa dan pertobatan kepada lima kaisar Dinasti Wei
Utara, yaitu Kaisar Daowudi (道武帝), Mingyuandi (明元帝), Taiwudi (太武帝), Jingmudi
( 景 穆 帝 ), dan Wenchengdi ( 文 成 帝 ), kemudian memperluas gua Yun’gang dengan

53
menambahkan lima gua baru ukuran besar (gua ke-16 hingga 20). Pengerjaan proyek ini terus
berlangsung hingga masa Dinasti Tang, di mana gua yang dipahat mencapai jarak 12 km.
Setelah melewati masa seribu tahun lebih sampai sekarang, tidak sedikit yang telah
mengalami kerusakan. Sekitar 20 gua dan ukiran patung Buddha dari batu sejak masa Dinasti
Wei-Utara hingga Dinasti Sui dan Tang, sebagiannya merupakan gua yang berkarakteristik
Dunhuang, sedangkan sebagiannya lagi merupakan tambahan yang berkarakter kegagahan
penguasa etnis Hu, sehingga terdapat figur patung setinggi 15 meter dengan sikap berdiri dan
duduk.

5. Longmen

Pada tahun ke-17 dari era Taihe (太和; 493 M) masa Kaisar Xiaowendi (孝文帝) dari
Dinasti Wei-Utara, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Datong ke Luoyang. Kemudian di
gunung Longmen ( 龍 門 山 ) yang terletak di pesisir Sungai Yishui ( 伊 水 ) diadakan
pemahatan gua batu. Menurut kitab sejarah Dinasti Wei, Wei Shu bagian Shilao Zhi (魏書. 釋
老 志 ), Kaisar Xuanwudi ( 宣 武 帝 ) membuka dua buah gua batu di lokasi ini untuk
dipersembahkan kepada Kaisar Xiaowendi dan ratunya. Selanjutnya dibuka lagi satu gua batu
lainnya yang merupakan awal dari pemahatan Gua Longmen. Sama seperti pembukaan Gua
Yun’gang, tujuan dibukanya gua yang memakan waktu selama 20 tahun ini adalah sebagai
bentuk pelimpahan jasa untuk kaisar sebelumnya dengan menghabiskan dana yang sangat
besar. Terutama tiga lokasi yang terletak di sisi paling kanan merupakan yang tertua dengan
jumlah lebih dari 20 gua, dan masih eksis hingga sekarang. Di antaranya, dari inskripsi yang
ada di gua ke-21, yaitu gua Laojun (老君洞), dapat diketahui bahwa ia dibuat pada tahun ke-
7 dari era Taihe (太和), jadi dapat disimpulkan bahwa ia sudah dibuat pada saat sebelum
pemindahan ibukota Dinasti Wei-Utara ke kota Luoyang. Namun proyek besar ini masih
terus berlanjut hingga Dinasti Tang. Dari penelitian peninggalan patung Buddha berbagai
generasi, selain ukurannya yang besar dengan membandingkan bentuk dan paras muka
patung Buddha-nya, gua Yun’gan yang cenderung bercorak Tiongkok, dari yang berkarakter
kuno di masa Enam Dinasti hingga berubah menjadi karakter anggun di masa Dinasti Sui dan
Tang.

54
6. Gunung Maiji

Di sebelah tenggara Kabupaten Tianshui (天水) (Qinzhou (秦州)), Provinsi Gansu


(甘 肅), terdapat Gunung Maiji (麥積山—Gunung Tumpukan Jerami). Bagian tenggara
gunung tersebut juga terdapat sekumpulan gua pahatan. Pemahatan gua ini pertama kali
dipelopori oleh Zhang Liubo (張六伯) pada tahun ke-2 dari era Jingming (景明; 501 M)
masa pemerintahan Kaisar Xuanwudi dari Dinasti Wei-Utara. Pada saat itu, umat perumah
tangga dan anggota Sangha turut meneladani (kegiatan ini). Istri dari Kaisar Xiwei Wendi (西
魏文帝), Ratu Yifu (乙弗), juga dimakamkan di sini. Dari Catatan Prasasti dan Pengantar
Altar Buddha Tebing Maiji di Tianshui Qinzhou (秦州天水郡麥積崖佛龔銘并序) karya Bei
Gengxin (北庚信), diketahui bahwa panglima perang angkatan laut, Lin Yunxin (林允信),
pernah mengadakan pemahatan 7 gua sebagai persembahan kepada almarhum ayahnya. Kini
sisa peninggalan stupa relik berbentuk persegi delapan dengan tinggi lima tingkat yang
terbuat dari batu di puncak gunung beserta 194 patung lainnya, selain patung-patung
berukuran kecil, di dalam gua tersebut juga terdapat seribu patung. Tahun pembuatannya
adalah dari masa antara Dinasti Wei-Utara hingga Dinasti Song-Utara. Gua ini adalah harta
karun kebudayaan yang baru ditemukan setelah masa Perang Dunia II bersamaan dengan
penemuan Gua Batu Wihara Bingling (炳靈寺石窟) di Kabupaten Yongjin (永靖).

7. Wihara Bingling

Gua Batu Wihara Bingling terletak di sebuah gunung batu kecil pesisir utara Sungai
Kuning, bagian timur laut kota kabupaten Yongjin, sebelah barat daya Lanzhou (蘭州).
Menurut kitab Shui Jing Zhu (水經注—Penjelasan Kitab Air) karya Li Daoyuan (酈道元),
dikatakan bahwa gua ini berorientasi Taoisme, di mana terdapat dua gua terbesar yaitu Gua
Tangshu (唐述) dan Shiliang (時亮). Namun menurut kitab Ji Shenzhou Sanbao Gantong Lu
(集神州三寶感通錄—Kumpulan Catatan Kontak Spiritual Tiga Permata Tiongkok) bagian
bab kedua yang disusun oleh Biksu Daoxuan (道宣) pada tahun pertama dari era Lingde (靈
德; 664 M) masa Kaisar Tang Gaozong (唐高宗), telah ada gua Tangshu yang berorientasi
Buddhisme. Tangshu adalah istilah dari bahasa etnis Qiang ( 羌 ) yang berarti makhluk
spiritual. Bingling juga merupakan transliterasi dari bahasa Tibet yang berarti seratus ribu
55
Buddha. Kini terdapat 10 gua dan 2 altar yang diidentifikasi sebagai peninggalan masa
Dinasti Wei. Ada 21 gua dan 85 altar yang merupakan peninggalan masa Dinasti Tang,
kemudian 5 gua dan 1 altar peninggalan Dinasti Ming. Catatan inskripsi paling tua tertulis
tanggal 15 bulan ke-6 tahun ke-2 dari era Yanchang (延昌; 513 M) masa Kaisar Xuanwudi
dari Dinasti Wei-Utara, yaitu teks ikrar dari Cao Ziyuan ( 曹 子 元 ) saat mengadakan
pemahatan gua. Lukisan dinding yang dilukis ulang pada masa Dinasti Ming memiliki gaya
yang mendekati gua Longmen.

8. Gongxian; Gunung Tianlong; Gunung Xiangtang; Gunung Tuo; Gunung Yunmen

Selain itu, sama-sama dari Dinasti Wei-Utara, terdapat gua Gongxian ( 鞏 縣 ; di


Provinsi Henan) di bagian timur Longmen. Kemudian terdapat gua Gunung Tianlong (天龍
山) dan gua Gunung Xiangtang (響堂山) yang mewakili seni Buddhisme masa Dinasti Qi-
Utara (北齊). Ada dua lokasi yang menjadi pusat kebudayaan masa Dinasti Qi-Utara, yaitu
Jinyang (晋陽; atau Taiyuan—太原) dan Ye (鄴; atau Zhangde—彰德). Gunung Tianlong
terletak sejauh 12 km dari barat daya kota Jinyang, sedangkan Gunung Xiangtang berada di
sisi utara kota Ye. Gunung Tianlong memiliki dua puncak, yaitu di sisi barat dan timur, di
mana masing-masing sisi tenggaranya terdapat pemahatan gua batu. Proyek ini dimulai dari
gua Wihara Xianyan (仙岩石窟寺) pada masa Kaisar Xuanwendi, dan gua Wihara Tianlong
(天龍石窟寺) pada masa Kaisar Xiaozhaodi (孝昭帝), kemudian berlanjut hingga masa
Dinasti Tang. Peninggalan yang ada sekarang adalah gua ke-1 hingga gua ke-8 di puncak
timur, dan gua ke-9 hingga gua ke-21 di puncak barat. Paras patung Buddha-nya dilapisi
dengan warna, bentuk pipinya padat dan indah, lekukannya diukir dengan menggunakan tali
besi hingga tampak tegap. Kusen pelengkung sisi utama dalam gua dibuat dengan pola teratai
dari India. Di sekeliling batu pelenkung dan figur pemujaan di atas impluvium sama seperti
figur dewa-dewi yang beterbangan, semuanya merupakan ekspresi dari karakteristik seni
Tiongkok.

Gua gunung Xiangtang juga terbagi menjadi dua lokasi yaitu utara dan selatan.
Gunung Xiangtang Selatan terletak di kota Pengcheng ( 彭 城 ), 18 km dari sisi barat
Kabupaten Ci (磁), bagian dari Provinsi Hebei. Gunung Xiangtang Utara terletak di Yijing

56
(義井), 13 km dari sisi utara Kabupaten An (安), bagian dari Provinsi Henan. Lokasi utara
terdapat 7 gua, sedangkan lokasi selatan ada 3 gua masa Dinasti Qi yang menjadi pusatnya,
selain itu terdapat 4 gua dan 4 altar. Ditinjau dari masanya, gua pertama hingga gua ke-3
merupakan karya masa Dinasti Qi-Utara. Gua ke-8, 10, dan 16 merupakan karya yang luar
biasa dari masa Dinasti Sui, kemudian bagian lainnya kemungkinan adalah peninggalan masa
awal Dinasti Tang. Gua kecil (gua pertama) yang terletak di ujung timur terdapat pahatan
prasasti di patung ‘Tiga Suciwan Alam Sukhavati’ yang tertera pada tahun ke-7 dari era Daye
(大業; 616 M) masa Kaisar Sui Yangdi (隋煬帝). Altar kecil di depan gua ke-3 dan ke-4
terdapat tanggal pemahatan, yaitu tahun ke-4 dari era Xiande (顯德; 957 M) masa Kaisar
Zhou Shizong (周世宗), tahun ke-2 dari era Kangding (康定; 1041 M) masa Kaisar Song
Renzong (宋仁宗), dan tahun ke-17 dari era Hongzhi (弘治; 1504 M) masa Kaisar Ming
Xiaozong (明孝宗). Sebelah kanan dinding batu di luar gua besar (gua ke-2) yang terletak di
sisi barat gua pertama terdapat ukiran teks Sutra Maitreya Mencapai Kebuddhaan beserta
syair pembangkitan tekad merupakan hasil karya Tang Yong (唐邕)—tokoh yang pernah
diangkat menjadi jenderal besar pemimpin pasukan kavaleri—pada tahun ke-3 dari era
Wuping (武平; 572 M) masa Kaisar Wudi dari Dinasti Qi-Utara (北齊武帝). Dapat terlihat
bahwa karakter ini ada kemiripan dengan perlakuan anggota keluarga istana terhadap gua
Gunung Tianlong sebagai kuil sakral. Pengerjaan gua Gunung Xiangtang berawal dari
Dinasti Qi-Utara hingga Dinasti Tang. Ada beberapa perbedaan dari bentuk dan teknik ukiran
dan bangunannya. Struktur dougong (枓栱)—blok kayu pengait—yang dimiliki juga tidak
seperti gua Yun’gang dan Longmen yang berbentuk garis lurus, tetapi menggunakan struktur
melengkung yang kuat dan kokoh. Ini juga menjelaskan adanya perubahan teknik
keterampilan antara masa Dinasti Qi-Utara hingga Dinasti Tang.

Selain itu ada gua Gunung Tuo (陀山石窟) yang dipahat pada masa antara Dinasti
Sui dan Tang berjumlah 6 gua di lokasi sekitar 12 km sisi tenggara Qingzhou (青州) di
Provinsi Shandong yang saling berhadapan dengan Gunung Yunmen (雲門). Di gua pertama
terdapat inskripsi yang bertuliskan tahun ke-2 dari era Chang’an (長安; 702 M) masa Ratu
Wuhou (武后) dari Dinasti Tang, jadi dapat diprediksi tahun pembuatannya. Dinding batu
sebelah barat Gunung Yunmen juga terdapat 5 gua yang dipahat pada masa Dinasti Sui dan
Tang. Sisi barat gua pertama yang terletak di atas puncak gunung terdapat pintu gua sebagai
pusatnya memiliki inskriptsi-inskripsi yang dipahat pada tahun ke-17 (597 M), 18, dan 19

57
dari era Kaihuang (開皇) masa Kaisar Sui Wendi (隋文帝). Sedangkan dekat gua sebelah
timur terdapat inskripsi yang bertuliskan pada tahun ke-19 dari era Kaiyuan (開元; 731 M)
masa Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗). Kemudian 3 gua lainnya [terdapat inskripsi] di atas
gerbang gua. Jika diteliti dari tulisan “Wihara Awan Agung Gunung Yunmen” yang ada di
atas gerbang tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa di atas puncak gunung pernah ada
sebuah wihara bernama Wihara Awan Agung (大雲寺), di mana sekarang sudah tidak eksis
lagi.

Intinya, antara masa Dinasti Wei-Utara hingga Qi-Utara, kesemarakan perkembangan


seni pembuatan patung merupakan jejak luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya
dalam sejarah. Tujuan pembuatan patung tersebut baik demi memperoleh manfaat kehidupan
sekarang maupun untuk memperoleh kebahagiaan masa mendatang. Baik raja, kaum
bangsawan maupun rakyat jelata turut mengambil bagian dalam kegiatan yang semarak ini,
dan melalui catatan inskripsi dapat diketahui fakta kondisi pada saat itu.

Akan tetapi, bagi yang ingin melihat gua seperti ini di wilayah Jiangnan (Tiongkok
selatan) tidak akan berhasil. Walaupun terdapat peninggalan batu pahatan di Gunung Qixia
(栖霞山) yang terletak di luar kota Nanjing, jika dibandingkan, maka akan terlihat sangat
kecil skalanya. Mungkin saja disebabkan oleh daerah tersebut tidak banyak memiliki
bebatuan, dan sulitnya mendapatkan bahan batu yang keras. Dalam kitab Ji Shenzhou Sanbao
Gantong Lu ( 集 神 州 三 寶 感 通 錄 —Kumpulan Catatan Kontak Spiritual Tiga Permata
Tiongkok) bab 2 karya Biksu Dao Xuan (道宣) dari Dinasti Tang mengungkapkan tentang
adanya 50 patung gaib, di mana wilayah selatan Tiongkok semuanya merupakan patung dari
emas. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan pembuatan patung dan jenis patung batu di
wilayah utara Tiongkok, maka wilayah selatan lebih mengutamakan pembuatan patung dari
emas. Untuk wilayah Sichuan, pahatan batu di Dazu (大足; barat daya Chongqing) yang
dikerjakan pada masa akhir Dinasti Tang dan Dinasti Song-Selatan juga terdapat laporan dari
media penerbitan.

58
Bab VI Buddhisme Dinasti Sui

— Buddhisme dan Negara yang Dipersatukan

1. Buddhisme Negara

Tatkala Buddhisme menyebar dan meluaskan penyiarannya di tengah masyarakat


Tiongkok, sebagai keyakinan dan filosofi yang memiliki keselarasan dengan karakter bangsa
Tionghoa, di antara keduanya sering muncul berbagai persoalan komunitas Buddhisme.
Sekarang akan dilihat, bagaimana hubungan antara Dinasti Sui (隋) yang sedang membangun
negeri yang telah dipersatukannya dengan komunitas Buddhisme?

Kaisar Gaozu dari Dinasti Sui (隋高祖) alias Kaisar Sui Wendi (隋文帝) mengambil
alih kekuasaan dari Kaisar Jingdi—penerus Kaisar Zhou Wudi yang menindas Buddhisme—
dari Dinasti Zhou Utara (北周靜帝) dan menduduki tahta pada tahun ke-2 dari era Daxiang
(大像; 581 M), kemudian mengubah nama era-nya menjadi Kaihuang (開皇). Hingga pada
tahun ke-9 dari era Kaihuang (589 M), Dinasti Chen (陳) dari zaman Dinasti Selatan pun
ditaklukkan oleh Dinasti Sui, sehingga selesai sudah misi besar dalam mempersatukan
seluruh Tiongkok. Beliau telah mengakhiri situasi perpecahan dan konflik yang berlangsung
selama 260 tahun antara wilayah utara dan selatan yang dikuasai oleh para penguasa setempat
sejak masa Dinasti Jin-Timur (東晉). Setelah itu, terhitung hingga berakhirnya kekuasaan
Dinasti Sui yang ditaklukkan oleh Tang Gaozu (唐高祖) melalui konflik selama 30-an tahun,
maka Dinasti Sui tidak hanya mempersatukan seluruh negeri saja, pada saat yang sama juga
membawa kemajuan di bidang politik, ekonomi dan budaya. Misalnya, tidak lama setelah
Kaisar Sui Wendi naik tahta, beliau menggunakan kekuasaan sentralistik untuk
memperkokoh kebijakan persatuan, sehingga melahirkan wajah baru bagi kekaisaran yang
dipersatukannya.

Akan tetapi, berdirinya Dinasti Sui sebagai hasil dari menaklukkan Dinasti Qi-Utara
(北齊) dan Zhou-Utara (北周) yang dikuasai etnis Hu, beserta Dinasti Liang-Belakangan (後
梁) dan Chen (陳) yang dikuasai bangsa Han yang berlangsung selama 13 tahun, maka

59
perlakuan dan penangangan terhadap sisa-sisa pejabat keempat dinasti tersebut menjadi
persoalan penting yang harus segera dicari pemecahannya. Untuk meredakan pertentangan
antara etnis Hu dan Han, haruslah memberi perlakuan khusus kepada para pejabat etnis Hu,
dan lantaran pada saat yang sama bahwa yang memberi dukungan revolusi Dinasti Sui juga
adalah pejabat-pejabat Dinasti Zhou-Utara. Demi mengurangi pergesekan antar penguasa
dengan keragaman etnis dari berbagai tingkat di pusat pemerintahan Sui tersebut, maka
pendirian sebuah lembaga rekonsiliasi pemersatu negara menjadi tugas yang sangat
mendesak. Oleh karena itu, untuk memperoleh sebuah nilai semangat persatuan yang
fundamental atau sebuah pedoman standar kebijakan baru, maka Kaisar Sui Wendi
menggunakan filosofi Buddhis yang dipastikan bersifat egaliter dan melampaui semua
pandangan diskriminatif untuk mengarahkan Dinasti Sui menuju misi besar persatuan seluruh
negeri.

Dengan demikian, berkaca dari penumpasan Buddhisme masa Dinasti Zhou-Utara,


maka selanjutnya adalah sebuah gerakan besar kebangkitan Buddhisme oleh rezim Dinasti
Sui. Gerakan ini menandakan bahwa Buddhisme Tiongkok telah melampaui Buddhisme
sebelumnya di India, bahkan memiliki perkembangan baru. Misalnya pertama-tama dengan
menggabungkan Buddhisme Tiongkok utara dan selatan maka akan terlihat suatu Buddhisme
yang terpisah dari karakteristik India, sehingga ia menjadi Buddhisme yang sesuai dengan
karakter bangsa Tiongkok, kemudian ditambah lagi dengan unsur baru yang sesuai dengan
pola pikir bangsa Tionghoa dan pembentukan aliran baru yang berdekatan secara emosional.
Demikianlah rangkaian yang melahirkan sejarah Buddhisme Dinasti Sui. Oleh sebab itu,
tidaklah berlebihan dengan berkata bahwa jika tidak ada latar belakang penumpasan
Buddhisme masa Dinasti Zhou-Utara sebagai pemicunya, maka bisa saja Buddhisme
Tiongkok yang baru tidak akan terlahir. Bicara mengenai kebangkitan Buddhisme di masa
Dinasti Sui dan perkembangannya yang mengejutkan, hal pertama yang patut diperhitungkan
adalah karier Kaisar Sui Wendi dalam membangkitkan Buddhisme. Meskipun Kaisar Sui
Wendi dengan pekerjaan besarnya berhasil mempersatukan seluruh Tiongkok, sama seperti
kaisar-kaisar Tiongkok lainnya menjadikan paham penataan-negara-berdasarkan-moralitas
dari ajaran Konfusianisme—suatu pemikiran tradisional Tiongkok—sebagai idealismenya,
dan melalui penerapan hukum etika untuk mendorong kebijakan pendidikan dan
kebudayaannya, namun di sela-sela pertentangan antara etnis Hu dan Han masih belum sirna
sama sekali, maka tidaklah cukup hanya bergantung pada paham penataan-negara-
berdasarkan-moralitas dari ajaran Konfusianisme, apalagi pemahaman Kaisar Sui Wendi

60
sendiri terhadap ajaran Konfusianisme tidak begitu dalam. Namun sebagai seorang penguasa
bangsa Han, beliau memberi perhatian pada ajaran Konfusianisme hanya sebatas formalitas.
Karena semasa kecil, Sui Wendi telah dididik oleh seorang biksuni sakti, Zhixian (智仙), di
Wihara Prajna (般若寺) di wilayah Fengyi (馮翊). Inilah yang menjadi faktor pengaruh
hubungannya yang dalam dengan Buddhisme. Oleh karena itu, hingga di masa tua,
keyakinannya yang antusias pada Buddhisme berangsur-angsur semakin tinggi, dan
sebaliknya sikapnya terhadap Konfusianisme semakin hambar. Bahkan pada bulan ke-6 tahun
pertama dari era Renshou (仁壽; 601 M), beliau mengumumkan ke seluruh negeri untuk
menghapus sekolah negeri, dan pada saat yang sama beliau menyebarkan relik Buddha ke
distrik-distrik utama di 111 lokasi di seluruh Tiongkok, dan mendirikan stupa di sana. Ini
merupakan langkah terobosan dalam sejarah Buddhisme Tiongkok. Selanjutnya untuk
mengimplementasikan keyakinannya pada Buddhisme, Kaisar Sui Wendi kembali
menggalakkan pembangunan stupa sebanyak tiga kali di era Renshou :

Pertama kali, tanggal 15 bulan 10 tahun pertama dari era Renshou (hari ulang tahun Kaisar
Wendi), pendirian stupa di 30 lokasi.

Kedua kali, tanggal 8 bulan 4 tahun ke-2 dari era Renshou (hari kelahiran Buddha), pendirian
stupa di 51 lokasi.

Ketiga kali, tanggal 8 bulan 4 tahun ke-4 era Renshou (hari kelahiran Buddha), pendirian
stupa di 30 lokasi.

Bangunan stupa relik ini berada di pusat kota masing-masing distrik, serta ditetapkan
pembangunannya di lingkup wihara ternama. Pada saat itu, para utusan dari ibu kota yang
memberikan relik ke berbagai lokasi juga merupakan personil yang bereputasi baik dan
berwawasan luas, khususnya biksu senior yang paling unggul dalam mengemban tugas
mengajar. Pada hari diumumkannya persemayam relik ke dalam stupa, semua pejabat
setempat masing-masing daerah turut berpartisipasi serta menghentikan kegiatan
pemerintahan selama 7 hari, dan sepenuh hati melaksanakan kegiatan upasavatha dan
kontemplasi diri. Hal ini memperlihakan fakta kondisi pemerintahan yang solid dari dinasti
yang baru berdiri ini. Dari pengumuman pendirian stupa, juga dititahkan kepada rakyat di
seluruh negeri untuk mengikuti Kaisar Sui Wendi bersama-sama membangkitkan ‘batin
pencerahan’, bersama-sama mempraktikkan kebajikan dengan harapan agar dari kalangan
istana raja, pejabat, rakyat jelata, hingga makhluk yang tak terlihat secara kasat mata melalui

61
perbuatan ini dapat memperoleh pahala kebajikan. Oleh karena itu, biaya pembangunan stupa
tidak berasal dari uang negara, melainkan berasal dari rakyat secara keseluruhan, dan
membatasi setiap orang untuk berdana dengan nilai di bawah sepuluh sen dengan tujuan agar
setiap orang mampu berpartisipasi dalam pembangunan stupa. Ini sebagai upaya mewujudkan
tekad menjalankan semangat kesetaraan yang menjangkau ke semua kalangan dalam
Buddhisme. Dengan begitu, maka Buddhisme masa Dinasti Sui pun tersebar ke seluruh
negeri, sekaligus juga merefleksikan bahwa Buddhisme telah berkembang menjadi bagian
dari bentuk agama bangsa Tiongkok.

2. Lima Kelompok dan Balai Empat Penjuru

Lingkup Buddhisme masa itu terdapat banyak sekali praktisi yang belajar di bawah
bimbingan biksu agung yang berwawasan luas dan berperilaku baik. Sehubungan dengan
wihara besar di berbagai daerah terdapat banyak siswa-siswa yang mendapatkan bimbingan,
maka atas dasar kenyataan ini didirikanlah suatu komunitas yang disebut dengan ‘kelompok’.
Pada tahun ke-12 dari era Kaihuang (開皇; 592 M) masa pemerintahan Kaisar Sui Wendi,
sang kaisar memberi titah untuk menyeleksi orang yang terpelajar dan berperilaku baik,
kemudian dibentuklah suatu komunitas yang disebut Kelompok 25. Pada saat yang sama juga
dibentuk Kelompok 5. Hal ini boleh dikatakan sebagai bentuk paling awal pengelompokan
komunitas aliran di Tiongkok secara terbuka dalam Buddhisme. Menurut kitab Xu Gaoseng
Zhuan ( 續 高 僧 傳 —Lanjutan Riwayat Biksu Agung) bab 15, yang dimaksud dengan
‘kelompok’ adalah mereka yang menguasai Tiga Pelatihan, setiap hari melantunkan Sutra-
Sutra di ruang Dharmasala, serta memberikan ceramah. Mereka mengulurkan tangan untuk
memberi bimbingan, di mana ibu kota negara sebagai pusat kegiatannya, kemudian menyebar
ke berbagai daerah. Mereka juga memiliki sebutan lain, misalnya Zhongzhu ( 眾 主 —
Pemimpin Kelompok), Moheyan Jiang (摩訶衍匠—Ahli Mahayana), Jiao Dujing Fazhu (教
讀經法主—Pengajar Pelantunan Sutra). Di antara kelompok ini, Biksu Sengcan (僧粲)
sebagai Ahli Mahayana terunggul dari Kelompok 25, Biksu Sengkun (僧琨) sebagai Pengajar
Pelantunan Sutra dari Kelompok 25. Dapat dikatakan bahwa Kelompok 25 seperti ini
merujuk pada para pembimbing yang menguasai seluruh ajaran Buddha; sedangkan
Kelompok 5 mewakili mereka yang khusus menguasai pengetahuan tentang berbagai kitab
risalah atas Sutra-sutra. Mari perhatikan berikut ini :

62
1. Fayan (法彥) dan Baoxi(寳襲) adalah Pemimpin Kelompok dari kelompok risalah-risalah
besar.

2. Zhiyin (智隱) adalah Pemimpin Kelompok dari kelompok yang mewejangkan risalah.

3. Hongzun (洪遵) adalah Pemimpin Kelompok dari kelompok yang mewejangkan Vinaya.

4. Tongzhen (童真), Fazhong (法總), dan Shazhou (善冑) adalah Pemimpin Kelompok dari
kelompok Nirvana.

5. Huiqian (慧遷) adalah Pemimpin Kelompok dari kelompok Dasabhumika.

Jika menyimpulkan kelebihan yang dimiliki oleh para pemimpin Kelompok 5,


pengetahuan khusus Buddhisme mereka juga merupakan perpanjangan tangan dari gaya
pembelajaran masa dinasti utara dan selatan. Meskipun pada saat ini Master Zhiyi (智顗) dari
mazhab Tiantai (天台) dan Master Xinxing (信行) dari sekte Sanjie (三階) telah wafat,
ajaran yang mereka dirikan dan terapan religinya belum cukup kokoh, namun karena ajaran
yang diwariskan dari generasi sebelumnya telah menjadikannya sebagai kekuatan komunitas,
maka hal ini cukup memiliki kekuatan. Khususnya para biksu Pemimpin Kelompok, seperti
Master Huiyuan (慧遠), Huizang (慧藏), Tanyan (曇延), dan Sengxiu (僧休) yang dihormati
sebagai 5 Sesepuh atau 3 Sesepuh, dan memiliki reputasi tinggi di lingkup agama pada saat
itu. Sehubungan dengan aktivitas Kelompok 5 ini, maka dapat terlihat bahwa dalam
komunitas Buddhisme secara keseluruhan, kegiatan kategorisasi terhadap Sutra dan risalah
secara perlahan-lahan telah muncul ke permukaan, sedangkan dari sisi pemikiran berangsur-
angsur juga mulai muncul saling pertentangan. Karena menurut catatan dari riwayat hidup
para biksu, selain Kelompok 5, terdapat juga istilah Kelompok Avatamsaka, Kelompok Chan,
Kelompok Dutanga. Jadi dapat terlihat bagaimana kondisi munculnya gugusan kelompok
pada saat itu. Akan tetapi, istilah ‘Kelompok 5’ secara literatur sudah tidak terlihat lagi
setelah era Kaihuang (581-600 M). Jadi masa penggunaan istilah ini secara resmi cukup
pendek. Namun sekitar 150 tahun setelah itu, pada tahun ke-19 dari era Tempyo (天平; 747
M) di Jepang, dalam lingkup Buddhisme di sana pun muncul komunitas Kelompok 5, yaitu
Kelompok Sutra, Kelompok Trisastra, Kelompok Vinaya, Kelompok Mahayana-Samgraha,
dan Kelompok Trisastra Khusus. Pembentukan kelompok ini meniru semua bentuk
komunitas kelompok dalam Buddhisme Tiongkok, namun kondisinya tidak sama dengan era
Kaisar Sui Wendi. Jika ditilik dari sini tidaklah sulit untuk memahami bahwa lingkup

63
Buddhisme Tiongkok setelah era Sui Wendi masih menjadikan wihara besar sebagai pusat
yang mempertahankan eksistensi ‘kelompok’. Lagi pula kondisi Jepang saat itu, di mana
Pangeran Shotoku pelaksana tugas pemerintahan Kaisar Suiko mereformasi pemerintahan
internal melalui semangat ajaran Buddha dan Konfusianisme, dan sekaligus mengirim duta-
nya ke negara Dinasti Sui untuk menyerap nilai budaya dari sana. Dalam kitab [sejarah] Sui
Shu (隋書) mengatakan, pada era Kaihuang tahun ke-20 ada duta yang datang dari Jepang.
Kitab sejarah Nihon Shoki (日本書紀—Kitab Kronik Jepang) juga mengatakan, pada tahun
ke-15, 16, dan 23 dari era Suiko Tenno, sebanyak tiga kali mengirim duta-nya ke negara Sui.
Tujuan pengiriman duta tersebut adalah untuk mempelajari misi besar Dinasti Sui—sebagai
negara maju—yang telah mempersatukan seluruh negeri, dengan harapan dapat mengatasi
persoalan internal Jepang seputar pemikiran dan kondisi sosial-nya yang saling kontradiktif,
agar memperoleh jalur kebijakan politik yang baru.

Untuk mengatur lokasi penempatan para siswa didik anggota Sangha yang datang dari
luar negeri, maka pada era Kaisar Sui Yangdi (隋煬帝) secara khusus didirikan Balai Empat
Penjuru Direktorat Honglu (鴻臚寺 四方舘), dan menugaskan empat biksu senior, yaitu
Biksu Jingye ( 淨 業 ), Jingzang ( 靜 藏 ), Lingrun ( 靈 潤 ), dan Shenhui ( 神 迴 ), sebagai
penanggung jawab dalam mendidik para siswa luar. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berasal
dari garis silsilah Master Huiyuan (慧遠) dan Tanqian (曇遷), juga merupakan ahli doktrin
Nirvana, Mahayana-samgraha, dan Dasabhumika. Mereka menggunakan keahliannya
masing-masing untuk mendidik para siswa baru. Jadi tidak sulit juga untuk memahami topik
apa saja yang dipelajari para siswa luar negeri tersebut. Di samping itu, kitab Lanjutan
Riwayat Biksu Agung juga memberitahu kita, di Balai Empat Penjuru juga sering diadakan
kegiatan ceramah Dharma secara besar-besaran. Topik ceramah tersebut adalah mengenai
kitab-kitab perlindungan negara, yaitu Svarnaprabhasa Sutra dan Narendra-raja Sutra.
Konon juga pernah diadakan kegiatan revisi atau edit atas kitab suci Buddha.

3. Mazhab Tiantai

Di Tiongkok selatan, awalnya terdapat sekolah doktrin Nirvana dan sekolah doktrin
Chengshi (成實—Tattvasiddhi) yang berkembang pesat. Sedangkan di wilayah Tiongkok
utara muncul sekolah doktrin Dasabhumika (Avatamsaka), dan selanjutnya ada Master Zhiyi
(智顗; 538-597 M) alias Mahaguru Zhizhe (智者—Sang Bijaksana) yang mendirikan mazhab
64
Tiantai dengan berpedoman pada kitab Saddharmapundarika Sutra. Beliau tidak mewarisi
aliran dari Master Fayun (法雲), praktisi doktrin Satyasidhi-sastra dari Wihara Guangzhai (光
宅寺), yang memiliki kontribusi unik atas berdirinya ajaran Tiantai melalui karyanya Fahua
Yishu (法華義疏—Komentar atas Makna Saddharmapundarika Sutra), melainkan mewarisi
ajaran dari Master-Chan Huiwen (慧文禪師) dari Qi-Utara dan Master-Chan Huisi (慧思禪
師) dari Nanyue (南岳). Hal ini tidaklah menunjukkan bahwa pemikiran beliau semata-mata
hanya mewarisi Buddhisme era dinasti selatan yang cenderung pada aspek filsafat, sebaliknya
mengindikasikan beliau telah mengembangkan Buddhisme terapan yang baru, yaitu
menggabungkan bentuk pengklasifikasian ajaran dari berbagai aliran pada saat itu—“Tiga
Selatan dan Tujuh Utara”, dengan mengemukakan hasil temuannya berupa klasifikasi ajaran
Buddha ke dalam “Lima Periode dan Delapan Ajaran”, sekaligus menempatkan
Saddharmapundarika Sutra sebagai otoritas tertinggi dari semua Sutra, demikianlah beliau
terus-menerus mengemukakan teori ini. Jika teori klasifikasi ajaran dari beliau yang dijadikan
sebagai filosofi tertinggi dalam Buddhisme disandingkan dengan teori klasifiksi “Lima
Ajaran dan Sepuluh Aliran” yang dikemukakan Master Fazang (法藏) dari Mazhab Huayan
(華嚴宗), maka mereka menjadi dua tokoh sempurna dalam doktrin Buddhisme.

Zhiyi lahir pada tahun ke-4 dari era Datong (大同; 538 M) masa pemerintahan Kaisar
Liang Wudi di Jinzhou, Kabupaten Huarong (荊州華容縣; Sekarang Jianli, Provinsi Hubei).
Beliau memasuki kehidupan monastik pada saat terjadi pergolakan politik di penghujung
Dinasti Liang, dan mempelajari kitab Maha Parinirvana Sutra, Saddharmapundarika Sutra,
dsb. Selanjutnya beliau berangkat ke Gunung Dasu (大蘇山) di Guangzhou (光州;Provinsi
Henan), kemudian menjadi pengikut Master-Chan Huisi (慧思) yang sedang melakukan
perjalanan menuju Nanyue, hingga memperoleh metode ajaran Saddharmapundarika
Samadhi. Tujuh tahun kemudian, dalam usia 30 tahun, beliau kembali ke wilayah selatan atas
nasihat guru beliau. Pada usia 31 tahun, beliau menetap di Wihara Waguan (瓦官寺) yang
terletak di kota Jinling (金陵), dan memberi ceramah tentang Saddharmapundarika Sutra. Di
masa belakangan, tahun tersebut ditetapkan sebagai tahun berdirinya mazhab Tiantai. Setelah
itu beliau sangat dihormati dan mendapat kepercayaan dari kalangan pejabat hingga warga
sipil. Delapan tahun kemudian beliau meninggalkan tempat ini dan memasuki Gunung
Tiantai (天台—Panggung Surgawi) di daerah Taizhou, Provinsi Zhejiang (浙江台州府)
untuk menjalani praktik asketik. Oleh karena itu beliau dihormati dengan nama Mahaguru

65
Tiantai (天台大師), dan alirannya disebut Mazhab Tiantai (天台宗). Di gunung tersebut
beliau menetap selama 9 tahun, lalu atas undangan penguasa Dinasti Chen ( 陳) beliau
kembali lagi ke Jinling untuk memberi ceramah tentang Fahua Wenju ( 法 華 文 句 —
Penjelasan Teks Saddharmapundarika Sutra) di Wihara Guangzhai ( 光 宅 寺 ). Setelah
keruntuhan Dinasti Chen dan berhasilnya Dinasti Sui mempersatukan seluruh Tiongkok,
Pangeran Jinwang Guang (晉王廣) alias Sui Yangdi (隋煬帝) yang masih menjabat kepala
daerah Yangzhou (揚州) menerima inisiasi Bodhisatwa Sila dari Master Zhiyi, lalu Zhiyi
diberi gelar Mahaguru Zhizhe (智者—Sang Bijaksana). Di kemudian hari beliau mendirikan
Wihara Yuquan (玉泉寺) di kampung halamannya, Jingzhou (荊州). Di wihara inilah beliau
memberikan ceramah tentang doktrin utama ajaran Tiantai, Fahua Xuanyi (法華玄義—
Makna Luhur Saddharmapundarika Sutra), dan metode praktik nyata, Mohe Zhiguan (摩訶止
觀—Maha Samatha Vipasyana). Beliau wafat di Gunung Tiantai pada tahun ke-17 dari era
Kaihuang (開皇; 597 M) dalam usia 60 tahun. Karya beliau selain tiga kitab di atas (Tiga
Kitab Utama Tiantai), ada lagi ‘Lima Kitab Kecil Tiantai’, yaitu : Guanyin Xuanyi (觀音玄義
—Makna Luhur Avalokitesvara Samanthamuka Varga), Guanyin Yishu ( 觀 音 義 疏 —
Penjelasan Makna Avalokitesvara Samanthamuka Varga), Jin’guangming Xuanyi (金光明玄
義—Makna Luhur Svarnaprabhasa Sutra), Jin’guangming Wenju (金光明文句—Penjelasan
Teks Svarnaprabhasa Sutra), Guan Wuliangshou Jing Shu (觀無量壽經疏—Komentar atas
Amitayur-dhyana Sutra). Di antara karya beliau, kebanyakan dalam bentuk ceramah yang
kemudian dicatat langsung oleh murid yang selalu mendampinginya, Master Guanding alias
Mahaguru Zhang’an (章安;561-632 M). Oleh karena itu Master Guanding memiliki jasa
yang boleh dikatakan setara dengan gurunya, Master Zhiyi. Setelah Master Zhiyi wafat,
Master Guanding tekun memajukan komunitas ajaran hingga fondasi mazhab Tiantai dapat
berdiri dengan kokoh. Kemudian untuk mengenang Master Zhiyi, Kaisar Sui Yangdi
menugaskan Sima Wanghong (司馬王弘) untuk membangun Wihara Guoqing (國清寺) di
Gunung Tiantai di mana belakangan ditetapkan seebagai wihara pertama mazhab Tiantai
untuk menyebarluaskan doktrinnya, dan sesungguhnya yang menjadi kepala wihara pertama-
nya adalah Master Guanding. Beliau sendiri juga menulis beberapa buku, di antaranya adalah
Niepan Shu (涅槃疏—Komentar atas Mahaparinirvana Sutra), Guoqing Bailu (國清百錄—
Seratus Catatan Wihara Guoqing), dan Zhizhe Dashi Biezhuan (智者大師別傳—Biografi
Khusus Mahaguru Zhizhe).

66
Setelah era-nya Master Guanding, mazhab Tiantai memasuki masa Dinasti Tang.
Meskipun terdapat Biksu Zhiwei (智威), Huiwei (慧威), Xuanlang (玄朗) sebagai penerus
garis silsilah mazhab ini, namun sehubungan dengan pesatnya perkembangan mazhab Chan
( 禪 ), maka perkembangan mazhab Tiantai pun mengalami hambatan. Hingga masa
pertengahan Dinasti Tang, muncul Biksu Zhanran ( 湛 然 ), murid dari Biksu Xuanlang.
Melalui Beliau, mazhab Tiantai pulih kembali ke kejayaan seperti masa sebelumnya. Zhanran
(711-782 M) dijuluki dengan nama sesuai lokasi kelahirannya, Yang Mulia Jingxi (荊溪). Ia
juga dipanggil dengan nama Mahaguru Miaole ( 妙樂 ). Beliau merupakan patriark ke-6
mazhab Tiantai. Beliau dan Biksu Chengguan (澄觀) dari mazhab Huayan memiliki reputasi
yang tersohor pada masa pertengahan Dinasti Tang, dan masa ini disebut sebagai era
kejayaan Tiantai masa pertengahan. Awalnya beliau adalah seorang Konfusianis di wilayah
Jinling, di Jingxi (晉陵荊溪), sekarang Kabupaten Yixing, Provinsi Jiangsu (江蘇宜興縣).
Kemudian belajar doktrin Tiantai dari Biksu Xuanlang sampai akhirnya menjadi pemuka
mazhab Tiantai. Karya tulisnya cukup banyak, di antaranya adalah dari kategori Catatan
Komentar atas Tiga Kitab Utama Tiantai yaitu, Fahua Xuanyi Shiqian (法華玄義釋簽—
Penjelasan atas Makna Luhur Saddharmapundarika Sutra), Fahua Wenju Ji (法華文句記—
Catatan Komentar atas Penjelasan Teks Saddharmapundarika Sutra). Selain itu beliau juga
menulis risalah doktrin Tiantai, yaitu Zhiguan Dayi (止觀大意—Garis-garis Besar Makna
Samatha Vipasyana), dan Zhiguan Souxuan Ji (止觀搜玄記—Catatan Penyelidikan Samatha
Vipasyana). Sedangkan tulisan beliau yang berkaitan dengan mazhab lain adalah Jin’gangpi
Lun (金剛錍論—Risalah Pisau Bedah Mata), Zhiguan Yilie (止觀義列—Makna Samatha
Vipasyana), Wubai Wenlun (五百問論—Risalah Lima Ratus Pertanyaan). Ada lagi banyak
karya jenis lainnya, misalnya Niepan Jing Shu (涅槃經疏—Komentar atas Mahaparinirvana
Sutra), Weimo Lueshu Ji ( 維 摩 略 疏 記 —Catatan Komentar Singkat Vimalakirti Sutra).
Hingga pada usia senja-nya, karena terjadi pertentangan beliau dengan Biksu Chengguan dari
mazhab Huayan, mengakibatkan pemikiran beliau yang sebelumnya mengutamakan doktrin
Tiantai kini telah mengadopsi doktrin Huayan untuk mengembangkan pandangan tersendiri
dari beliau. Setelah era-nya Zhanran, pewaris mazhab Tiantai yang selanjutnya adalah Daosui
(道邃) dan Xingman (行滿). Dari kedua guru inilah doktrin ajaran Tiantai diwariskan kepada
biksu misionaris dari Jepang yang menjadi pendiri sekte Tendai, Mahaguru Saichō (最澄).

67
4. Mazhab Sanlun

Sehubungan dengan Biksu Senglang (僧朗) dari Wihara Xixia (栖霞寺) di Sheshan
(摄山) menggalakkan pengkajian Tiga Risalah (三論;Sanlun), yaitu Mūlamadhyamakakārikā
(中論;Zhonglun) dan Dvādaśanikāyaśāstra (十二門論; Shi’ermen Lun) karya Nagarjuna,
serta Śatakaśāstra (百論; Bai Lun) karya Aryadeva, kemudian melalui doktrin ‘Jalan Tengah
Penggabungan Dua Kebenaran (二諦合明中道)’ yang dikembangkan secara bertahap oleh
Biksu Sengquan (僧詮) dan Falang (法郎) sehingga melampaui Mazhab Satyasiddhi yang
sempat populer sebelumnya. Namun tokoh yang berkontribusi pada pencapaian besar mazhab
Sanlun adalah Mahaguru Jiaxiang Jizang (嘉祥吉藏; 549-623 M) dari Dinasti Sui. Ayah
beliau berasal dari Persia, sedangkan ibunya yang bermarga Feng (馮) berasal dari Jinling (金
陵). Beliau lahir pada tahun ke-3 dari era Taiqing (太清; 549 M) masa Kaisar Liang Wudi di
Jinling, dan mendapat julukan nama Hu Jizang (胡吉藏—Jizang dari etnis Hu). Beliau
belajar Tiga Risalah sambil mengkaji makna luhurnya dari Biksu Falang (法朗) di Wihara
Xinghuang (興皇寺) di Jinling. Berhubung terjadi pergolakan politik pada masa akhir Dinasti
Chen, beliau mengungsi ke Yuezhou (越州; wilayah Provinsi Zhejiang), dan menetap di
Wihara Jiaxiang (嘉祥寺) sambil mengajarkan doktrin Tiga Risalah. Hingga tahun terakhir
dari era Kaihuang (開皇; 600 M) masa Kaisar Sui Wendi, atas undangan Pangeran Jin (晉王)
alias Yang Guang (楊廣), beliau datang ke Wihara Huiri (慧日寺) di Yangzhou (揚州;
wilayah Jiangsu) untuk menulis karya Sanlun Xuanyi ( 三 論 玄 義 —Makna Luhur Tiga
Risalah). Selanjutnya beliau pindah ke Wihara Riyan (日嚴寺) di kota Chang’an untuk
menyiar-luaskan makna menakjubkan dari doktrin ‘Jalan Tengah Delapan Negasi’ sehingga
menduduki posisi teratas dari 10 Sesepuh Besar di kota Chang’an. Beliau pernah menetap di
beberapa wihara, yaitu Wihara Shiji (實際), Dingshui (定水), dan Yanxing (延興) dengan
mengajarkan doktrin Tiga Risalah, maka itu beliau memiliki reputasi yang luar biasa di
lingkungan Buddhisme kota Chang’an. Beliau wafat pada masa Kaisar Tang Gaozu (唐高祖)
era Wude (武德) tahun ke-6 (623 M) dalam usia 75 tahun, dan dikebumikan di Wihara
Zhixiang (至相寺) di Gunung Zhongnan (終南山). Karya tulis beliau selain Makna Luhur
Tiga Risalah yang merupakan doktrin utama alirannya, juga terdapat Zhonglun Shu (中論疏
—Komentar atas Mūlamadhyamakakārikā), Bailun Shu ( 百 論 疏 —Komentar atas
Śatakaśāstra), Shi’ermen Lunshu ( 十 二 門 論 疏 —Komentar atas Dvādaśanikāyaśāstra),

68
beserta kitab-kitab penjelasan Avatamsaka Sutra, Maha Prajnaparamita Sutra,
Saddharmapundarika Sutra, Sukhavati-vyuhah Sutra, Mahaparinirvana Sutra, yang
mencapai 20-an judul. Setelah beliau wafat, meskipun mazhab Sanlun masih populer di
Chang’an, namun sejak kedatangan Master Xuanzang (玄奘) dengan membawa kitab doktrin
Vijnapti-matrata (Kesadaran Semata), menerjemahkan dan melakukan pengkajian hingga
menjadi populer, maka mazhab Sanlun pun berangsur-angsur merosot. Namun bagi negara
Jepang, berkat murid dari Jizang, Biksu Hyegwan (慧灌; Jp. Ekan) asal Korea, maka mazhab
Sanlun tersebar ke Jepang, bahkan menjadi salah satu dari Enam Mazhab Periode Nara.

5. Ide Gagasan Periode Akhir Dharma

Diawali dari naksah Li Shiyuan Wen ( 立 誓 願 文 —Membangkitkan Tekad) dari


Master-Chan Huisi (慧思) di masa Dinasti Chen, atau dari Tanluan (曇鸞) masa Dinasti Wei-
Utara, lalu melalui Master Daochuo (道綽) dari masa Dinasti Sui hingga Shandao (善導) dari
masa Dinasti Tang, muncul tren besar keyakinan pada Buddha Amitabha dan Tanah
MurniNya. Ini merupakan sumber gagasan tentang periode Akhir Dharma. Terlebih lagi pada
masa Dinasati Sui, sekte Sanjie (三階教) yang didirikan oleh Xinxing (信行) berkembang
secara populer, begitu juga dengan sisa peninggalan Sutra ukiran dari batu di Gunung Fang
(房山), di mana semua ini merupakan tanda bukti gagasan tentang periode Akhir Dharma.

6. Sekte Sanjie

Pendiri sekte Sanjie (三階教—Sekte Tiga Periode) adalah Xinxing (信行;540-594 M)


dari Wihara Fazang (法藏寺) di Xiangzhou (相州)—sekarang Kabupaten An’yang (安陽縣),
Provinsi Henan. Menurut beliau, meskipun bagian terdalam batin makhluk awam yang jahat
di zaman akhir Dharma ini terdapat sisi keburukannya, namun semua makhluk memiliki
hakikat Kebuddhaan. Oleh karena itu, semua bentuk ajaran kebajikan tidak sepatutnya
dipilah-pilah dan dikritisi, malah sebaiknya diyakini dan bersandar padanya secara universal,
sehingga akan dapat mengikis semua rintangan buruk yang ada sejak masa tanpa awal. Beliau
sendiri melepas sila untuk menjalani pengabdiannya, dan pada tahun ke-3 dari era Kaihuang

69
(583 M) masa Kaisar Sui Wendi, di Wihara Guangyan (光嚴寺) di Xiangzhou, beliau
menerapkan praktik berdana dalam sistem pelatihannya yang berpedoman pada praktik
aksayakara (無盡藏). Selanjutnya pada tahun ke-9 dari era Kaihuang, atas undangan Kaisar
Sui Wendi beliau menetap di Wihara Zhenji (真寂寺) di kota Chang’an. Karya tulis beliau
sebanyak 35 judul dengan total 44 bab, di antaranya adalah Duigen Qixing Sanjie Jilu (對根
起行三階集錄—Kumpulan Catatan Sanjie atas Praktik Sesuai Akar Sifat) dan Sanjie Fofa
(三階佛法—Buddha Dharma Sanjie) yang menjelaskan doktrin ajaran beliau. Ada 5 wihara
yang menjadi lokasi pengajaran beliau, yaitu Wihara Huadu (化度寺) atau Zhenji, Wihara
Guangming (光明寺), Wihara Cimen (慈門寺), Wihara Huiri (慧日寺), dan Vihar Hongshan
(弘善寺). Beliau wafat pada tahun ke-14 dari era Kaihuang dalam usia 55 tahun.

Xinxing mengklasifikasikan semua ajaran Buddha ke dalam 3 periode, yaitu :

1. Periode pertama sebagai Dharma Ekayana (Kendaraan Tunggal)

2. Periode kedua sebagai Dharma Triyana (Tiga Kendaraan)

3. Periode ketiga sebagai Dharma Universal.

Kondisi sosial setelah Dinasti Sui bertepatan dengan masa akhir Dharma. Dalam
dunia yang kotor, orang yang melanggar Sila dan diliputi pandangan salah sepatutnya
menggunakan Dharma Universal dalam periode ke-3 sebagai penyelamat. Langkah
berikutnya, beliau mendirikan Balai Aksayakara (無盡藏院) sebagai tempat pengelolaan
dana secara unik. Beliau mengemukakan metode ajaran penyelamatan di masa akhir Dharma
bukan dengan menaruh keyakinan pada Buddha Amitabha, melainkan dengan pelantunan
Saddharmapundarika Sutra. Pada saat yang sama beliau mengatakan, di masa akhir Dharma
tidak ada raja yang mengelola pemerintahan dengan Dharma sejati, juga tidak ada
kepemimpinan Sangha yang sesuai dengan Dharma sejati. Hal ini menyiratkan sikap kritik
beliau kepada penguasa, serta kecamannya terhadap berbagai aliran Buddhisme. Sebagai
akibatnya, pada tahun ke-20 dari era Kaihuang muncul larangan penyebaran ajaran beliau.
Lantas, karena jumlah pengikutnya sangat banyak dan tersebar di mana-mana, maka antara
masa Dinasti Sui dan Tang, alirannya mengalami 5 kali penindasan. Setelah era-nya Xinxing,
para penerus yamg membimbing umat Sanjie adalah Sengyong (僧邕), Benji (本濟), Huiru
(慧如), dan Huiliao (慧了) dengan berpusat di Wihara Zhenji. Perkembangannya terus
berlanjut hingga Dinasti Tang. Mengenai Wihara Zhenji, awalnya merupakan rumah milik

70
Gaojiong (高熲) dari Dinasti Sui. Pada era Kaihuang tahun ke-3 ia menyumbangkan rumah
tersebut untuk dijadikan wihara. Hingga pada tahun ke-2 dari era Wude (武德; 619 M) masa
Kaisar Tang Gaozu, wihara tersebut diganti namanya menjadi Wihara Huadu (化度寺).
Untuk menggiatkan penggalangan dana, bagian dalam wihara didirikan Balai Aksayakara
yang kemudian menjadi basis utama sekte Sanjie.

7. Sutra Batu Fangshan

Walaupun sebelum masa Dinasti Sui telah ada tokoh Tangyong (唐邕) dari Dinasti
Qi-Utara memahatkan teks pembangkitan tekad beliau dan Manjusri Prajanparamita Sutra
serta Sutra Maitreya Mencapai Kebuddhaan di atas batu yang terletak di Gua Batu Gunung
Xiangtang utara; begitu juga di Gunung Xiangtang selatan terdapat ukiran batu Avatamsaka
Sutra, Prajnaparamita Sutra; lalu di Fengyu (風峪) dekat Taiyuan (太原), Provinsi Shanxi,
juga terdapat ukiran batu Avatamsaka Sutra; kemudian di Gushan (鼓山), Kabupaten Wu’an
(武安), Provinsi Henan, dan lembah Jingshi (經石峪) di Zhongfu (中腹), Provinsi Shandong,
juga terdapat peninggalan Sutra ukiran batu; akan tetapi yang skalanya paling besar adalah
ukiran batu Tripitaka yang terletak di Gunung Shijing (石經山; awalnya bernama Gunung
Baidai (白 帶 山 )) bagian barat Kabupaten Fangshan ( 房山 ), Provinsi Hebei. Di bawah
gunung ini terdapat Wihara Yunju (雲居寺) yang dibangun oleh Biksu Jingwan (靜琬) pada
masa Dinasti Sui. Adanya Sutra ukiran batu Fangshan juga dipicu oleh kekhawatiran beliau
akan lenyapnya kitab suci Buddha di masa akhir Dharma. Oleh karena itu pada era Daye (大
業; 605-616 M) masa Kaisar Sui Yangdi (隋煬帝) hingga wafatnya beliau pada tahun ke-13
dari era Zhen’guan (貞觀; 639 M) masa Kaisar Tang Taizong (唐太宗), telah dibangun 7
ruang batu di mana keempat sisi dinding dan lempengan batu di dalamnya dengan tiada
hentinya dipahatkan teks Sutra, lalu disimpan dengan rapat. Setelah itu, proyek pemahatan
Sutra ini tetap dilanjutkan, khususnya pada tahun ke-18 dari era Kaiyuan (開元; 730 M) masa
Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗), atas permohonan dan dukungan dari putri ke-9 Kaisar Tang
Ruizong (唐睿宗), Putri Jinxian (金仙), maka proyek ini dapat dilanjutkan. Selanjutnya,
proyek besar yang pengerjaannya tersendat-sendat di masa Dinasti Liao (遼), Jin (金), dan
Yuan (元) selama 750 tahun, kini telah memiliki 9 ruang batu. Ada juga gua batu berukiran

71
teks Sutra di Baoshan (寳山), Provinsi Henan, yang disebut Sutra Batu Baoshan (寳山石經).
Proyek ini merupakan hasil tekad dari biksu ternama, Lingyu (靈裕) yang dikerjakan pada
masa Dinasti Qi-Utara hingga Dinasti Sui. Tekad beliau untuk melestarikan permata Dharma
karena telah pernah mengalami sendiri masa penumpasan Buddhisme pada masa Kaisar
Wudi dari Dinasti Zhou-Utara. Maka pada tahun ke-9 dari era Kaihuang (589 M) masa
Kaisar Sui Wendi diadakan pemahatan gua permata ini. Di dalamnya terdapat ukiran patung
Buddha Rocana, Buddha Amitabha, dan Maitreya, beserta patung-patung lainnya, yaitu 35
Buddha dan 7 Buddha. Kemudian baik di dalam maupun di luar dinding batu dipahat teks
Śrīmālādevī-siṃha-nāda-sūtra ( 勝 鬘 經 ), Mahāparinirvāṇa sūtra, Saddharmapuṇḍarīka-
sūtra, beserta teks Sutra lain, seperti bab tentang Kelenyapan Dharma dari Candragarbha-
sūtra (大集月藏經).

Dapat diketahui bahwa setiap munculnya persepsi tentang masa akhir Dharma dan
semangat pelestariannya karena dipicu oleh terus adanya gerakan penumpasan Buddhisme,
khususnya para umat Buddha yang telah mengalami sendiri kondisi tragis dari penumpasan
Buddhisme oleh Kaisar Zhou Wudi, sehingga dari lubuk hati mereka muncul tekad yang
sedemikian simpatik.

72
Bab VII Buddhisme Dinasti Tang (1)

—Buddhisme dan Karakteristik Negara serta Aktivitas Sosial

1. Negara dan Buddhisme

Agama dan politik meskipun memiliki misi dan lingkup yang berbeda, namun dalam
satu lingkup kehidupan sosial yang sama, antara negara dan komunitas agama yang terbentuk
dipastikan memiliki kaitan dan jalinan yang erat dan dalam. Sangha Buddhis yang bersumber
dari India pada dasarnya terbentuk melalui komunitas yang mandiri dengan peraturan disiplin
(Vinaya)-nya yang eksklusif, dan sangat jarang mengalami intervensi dari negara atau politik.
Ia merupakan sebuah komunitas yang menikmati hak ekstrateritorial. Sebagai agama yang
memisahkan diri antara hukum raja dengan hukum Buddhis, Buddhisme menyebar secara
bertahap hingga ke Tiongkok, dan ketika ia berkembang di negeri yang mana masyarakatnya
dikendalikan oleh sistem autokrasi, maka pada awalnya ia mendapat kritikan keras dari
kalangan cendikiawan. Buddhisme berada di antara para warga bangsa Han yang meyakini
dan mempelajari ajarannya, sehingga jumlah mereka yang mengikuti jejak para biksu Asia
Tengah untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga semakin bertambah. Mereka memasuki
kehidupan monastik, membentuk komunitas dan mulai melakukan aktivitas di lingkungan
masyarakat. Ketika fenomena ini berangsur-angsur menjadi populer, maka terjadi berbagai
hubungan dan keterlibatannya dengan masyarakat dan negara. Saat setiap warga Tionghoa
menyaksikan bahwa kehidupan anggota Sangha yang tidak mempedulikan keluarga sendiri
tidaklah sesuai dengan apa yang mereka harapkan, maka ini menjadi persoalan. Mereka
meninggalkan tugas merawat kedua orang tua yang sudah renta di rumah, dan mengurus
upacara kematian mereka, ditambah lagi dengan tidak memedulikan kegiatan upacara
penghormatan kepada leluhur sebagai norma bakti dari keluarga dan masyarakat, lalu pergi
meninggalkan rumah untuk menjadi biksu atau biksuni, dan menjalani kehidupan monastik.
Lebih parah lagi sehubungan dengan biksu/biksuni yang khusus mempraktikkan pelafalan
nama Buddha, pada saat yang sama dengan mengikuti peraturan Vinaya yang telah
ditetapkan, mereka tidak boleh melakukan kegiatan pertanian, sekaligus juga terhindar dari
kewajiban pajak sebagai warga, maka sehubungan dengan peraturan yang tidak tertulis ini

73
memberikan hak khusus kepada anggota Sangha, sehingga orang yang malas dan suka
berleha-leha pun berharap dapat memasuki kehidupan monastik, dan jumlahnya pun tumbuh
dengan pesat, sehingga merefleksikan ketidakstabilan sosial. Bertambahnya jumlah wihara
dan anggota Sangha berarti telah meningkatkan jumlah pengeluaran negara. Pada satu sisi
jumlah rekening [warga] berkurang, jumlah penerimaan kas negara pun berkurang. Pada sisi
lain, bagi sebagian orang, beban produksi dan pajak semakin tinggi. Bertambahnya jumlah
pembangunan wihara dan anggota Sangha tentu mencerminkan kejayaan komunitas
Buddhisme, namun jika terlalu berlebihan maka akan merusak keseimbangan sosial dalam
suatu negara. Hal ini bertentangan dengan masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan
dan bertentangan dengan kepentingan finansial negara. Dilihat dari sudut pandang orang yang
duduk di pemerintahan, tidaklah mungkin bagi dia untuk bersikap diam.

2. Masalah Sikap Hormat Anggota Sangha

Mengenai sikap anggota Sangha terhadap raja dan orang tua dalam kehidupan sehari-
hari mereka, pertama-tama telah menjadi masalah bagi masyarakat aristokrat zaman Enam
Dinasti yang sangat menitikberatkan ajaran etika. Karena anggota Sangha Tiongkok menaati
tradisi Buddhis yang berasal dari India dan meyakini nilai otoritas mereka, dan dari sinilah
mereka lantaran mengikuti pelatihan jalan Buddha. Orang yang pertama kali
mempermasalahkan sikap ini adalah seorang pejabat pemerintah, Yubing (庾冰) dari Dinasti
Jin-Timur (東晉). Pada tahun ke-6 dari era Xiankang (咸康; 340 M) masa Kaisar Wendi dari
Dinasti Jin-Timur, beliau mengemukakan, anggota Sangha Tiongkok sepatutnya bersikap
sujud pada raja. Namun karena pejabat administrasi negara, Hechong (何充), dengan keras
menentangnya, maka persoalan ini pun menjadi terhenti. Sejak itu, dari masa Dinasti Jin-
Timur hingga era Dinasti Selatan, masalah sikap hormat anggota Sangha pernah sekali lagi
dimunculkan. Hal ini juga mencerminkan semangat jalan Buddha sebagai agama dari luar
yang kosmopolitanis. Ini berseberangan dengan Konfusianisme dari Tiongkok dengan
semangat ajaran etika-nya yang nasionalis.

Di antara masa ini, Master Huiyuan (慧遠) dari Gunung Lu (廬山) menulis kitab
Shamen Bujing Wangzhe Lun (沙門不敬王者論—Risalah Anggota Sangha Tidak Memberi
Sikap Hormat Kepada Kaum Raja) sebanyak 5 bab untuk menjelaskan bahwa anggota

74
Sangha telah meninggalkan kehidupan duniawi, karena itu ia juga tidak berada di dalam
lingkup hukum raja, melainkan sebagai orang yang melampaui keduniawian, sehingga
mempertahankan posisinya sebagai orang yang berada di ‘lingkup luar’. Dapat terlihat bahwa
Buddhisme di Tiongkok selatan masa itu masih mengandung karakteristik Buddhisme India.

Lantas, di sisi Tiongkok utara, bagi negara-negara Dinasti Utara seperti di Wei-Utara
( 北 魏 ), Zhou-Utara ( 北 周 ), dan Qi-Utara ( 北 齊 ) yang mengambil alih negara ‘Lima
Kelompok Etnis Hu dan Enam Belas Kerajaan (五胡十六國),’ mengenai persoalan apakah
anggota Sangha memberi hormat atau tidak kepada raja, telah berkembang sikap baru bagi
negara-negara etnis Hu yang memiliki kekuasaan raja yang kuat. Tatkala Biksu Faguo (法果)
menjabat sebagai ketua Sangha (道人統) di awal Dinasti Wei-Utara, beliau mengemukakan
bahwa Kaisar Taizu (太祖) yang bijak dan menyukai ajaran Buddha merupakan Buddha
masa sekarang, sehingga para anggota Sangha patut memberi hormat. Oleh karena itu,
mereka kerap bersujud pada Kaisar Taizu alias Daowudi (道武帝), bahkan memberitahu
khalayak umum bahwa orang yang paling mampu menyebarluaskan ajaran Buddha adalah
manusia yang berkuasa, jadi kita tidaklah memuja Putra Langit (raja), melainkan hanya
menghormatinya sebagai Buddha. Hal ini mengacu pada pemikiran bahwa Buddhisme harus
mengandalkan kekuasaan Raja Cakravartin (Pemutar Roda) sebagai pelindung untuk dapat
menyebarkan ajaranNya, sehingga Buddhisme dan negara ditarik ke dalam satu titik
persamaan pandangan dengan harapan melalui kerja sama ini untuk mengembangkan
Buddhisme. Sebagai akibatnya, Buddhisme yang mengandalkan kekuatan politik akhirnya
dikendalikan dalam kekuasaan autokrasi Dinasti Wei-Utara. Dinasti Qi-Utara dan Zhou-
Utara juga terpengaruh olehnya sehingga membentuk kondisi hubungan yang sejenis antara
Buddhisme dengan negara-negara Dinasti Utara.

Dinasti Sui bangkit sebagai penerus negara-negara Dinasti Utara yang dikuasai etnis
Hu, mempersatukan negara-negara antara Dinasti Utara dan Selatan yang dikuasai bangsa
Han dalam kondisi terpecah belah yang berlangsung selama 200 tahun lebih. Sampai masa
Dinasti Tang, selangkah lebih maju, menjadikan kondisi hubungan Buddhisme dan hukum
raja yang saling berseberangan antara Tiongkok utara dan selatan menghasilkan konklusi,
yaitu masalah sikap hormat anggota Sangha mengikuti tradisi Tiongkok.

75
Pada tahun ke-5 dari era Zhen’guan (貞觀; 631 M) masa Kaisar Tang Taizong, kaisar
menurunkan titah yang mewajibkan semua anggota Sangha di seluruh negeri memberi
hormat kepada orang tua. Pada tahun ke-7 di era yang sama, pelaksanaannya dihentikan.
Hingga pada bulan ke-4 tahun ke-2 dari era Longshuo (龍朔; 662 M) masa Kaisar Tang
Gaozong ( 唐 高 宗 ), kembali dititahkan bahwa anggota Sangha dan pendeta Tao harus
bersujud kepada raja dan orang tua. Pada saat itu, Biksu Daoxuan (道宣), Weixiu (威秀), dan
Yancong (彥悰) mengajukan surat pertentangan. Saat dipertimbangkan di ranah pejabat pun
muncul dua pandangan yang saling bertentangan antara setuju dan menolak. Akhirnya
ditetapkan boleh sujud kepada orang tua namun tidak kepada raja. Sampai di sini, Buddhisme
Tiongkok telah selesai melakukan perubahan karakteristiknya yang berasal dari India untuk
diasimilasikan ke dalam konteks kehidupan sosial Tiongkok. Meskipun masih ada sebagian
biksu cendikiawan yang menentang pandangan ini, namun karena tidak berdaya oleh arus
kecenderungan yang lebih besar, maka hal ini pun tidak dipermasalahkan lagi. Pemerintahan
Era Kaiyuan (開元之治) sebagai kelanjutan dari Pemerintahan Era Zhen’guan (貞觀之治)
telah menyelesaikan sistem hukum Dinasti Tang dan membangun persatuan sistem politiknya.
Melalui kondisi perbedaan dan persamaan sikap antara Dinasti Utara dan Dinasti Selatan
sehubungan dengan masalah hukum raja dan tata tertib Buddhis, kekuasaan autokrasi Dinasti
Sui dan Tang yang mempersatukan seluruh negeri telah melahirkan fungsi penyesuaiannya.

Buddhisme masa Dinasti Tang berkembang mengikuti lajur ini hingga menjalin
hubungan yang sangat erat dengan berbagai ritual masyarakat [penganut] sistem
kekeluargaan, khususnya dalam urusan tata upacara leluhur dan pemakaman. Anggota
Sangha Tiongkok bukan saja tidak mengacaukan tata nilai sistem kekeluargaan dan etika
sosial masyarakat-nya, malah turut mendukungnya dari aspek relijius. Tata upacara kepada
leluhur dan upacara pelimpahan jasa secara Buddhistik kepada orang tua merupakan bentuk
penekanan yang sangat mulia dalam sikap bakti. Jadi hal ini memiliki posisi yang cukup
penting dalam Buddhisme Tiongkok. Lagi pula, kitab-kitab seperti Yulanpen Jing (盂蘭盆經
—Ullambana Sutra), Jingtu Yulanpen Jing (淨土盂蘭盆經—Sutra Ullambana Tanah Murni),
Fumu Enzhong Jing (父母恩重經—Sutra Budi Besar Orang Tua), Dabao Fumu Enzhong
Jing ( 大報父 母恩重 經 —Sutra Membalas Budi Besar Orang Tua), Yanluowang Shouji
Shengqizhai Wangsheng Jingtu Jing (閻羅王授 記生七齋往生淨土經 —Sutra Ramalan
Pencapaian Raja Yama dan Sesi Tujuh Hari Upavasatha Untuk Terlahir di Tanah Murni),
Shiwang Jing (十王經—Sutra Sepuluh Raja), dan sebagainya yang populer di kalangan

76
masyarakat masa Dinasti Tang merupakan contoh yang menjadi buktinya. Sampai pada
periode sejarah modern awal Buddhisme yaitu masa setelah Dinasti Song, ini sudah
menyangkut bentuk Buddhisme kepercayaan masyarakat. Lihatlah lagi, ketika biksu masa
Enam Dinasti mengirim memo resmi ke istana, dengan status sebagai ‘orang dari lingkup
luar’, ia sering menyebut diri dengan istilah pindao (貧道—Pendeta Miskin), namun setelah
era Zhen’guan dan Kaiyuan, penggunaannya sudah tidak berjalan lagi, tapi berubah menjadi
chenshamen (臣沙門—hamba sramana/biksu) sebagai pembubuhan tanda tangannya. Kira-
kira demikianlah penetapan sistem tata tertib Buddhis dan kedudukan Sangha di negeri
Tiongkok yang menganut sistem monarki.

3. Pendirian Wihara Negeri di Wilayah Distrik dan Lingkungan Istana

Pada tahun pertama dari era Wude (武德; 618 M), saat awal berdirinya Dinasti Tang,
Kaisar Tang Gaozu (唐高祖) mengundang anggota Sangha dan pendeta Taois yang masing-
masing berjumlah 69 orang ke Aula Taiji (太極殿) untuk menyelenggarakan bakti sosial, dan
menginstruksikan praktik kebajikan dan ritual pelimpahan jasa selama 7 hari kepada para
pejuang yang telah mengorbankan jiwa raganya demi berdirinya negara. Kaisar Tang Taizong
juga mendirikan setiap wihara di tujuh lokasi bekas pertempuran untuk mengenang para
prajurit dan jenderal yang tewas demi kejayaan negara, sekaligus menginstruksikan para
menterinya mendirikan tugu prasasti di masing-masing wihara tersebut untuk mengungkit
jasa-jasa mereka. Pada tahun ke-2 dari era Zhen’guan (628 M) masa Kaisar Tang Taizong,
wihara-wihara di kota Chang’an diadakan upacara persembahan makanan selama 7 hari 7
malam, pelatihan Dharma dan pertobatan untuk mendoakan para korban perang. Pada bulan 5
di tahun ini bertepatan dengan hari wafatnya Kaisar Tang Gaozu, di Wihara Zhangjing (章敬
寺) di kota Chang’an diadakan upacara persembahan dupa dan makanan. Sejak itu kegiatan
tersebut dibuat menjadi ketetapan selamanya, dan ditetapkan sebagai hari upacara haul kaisar
secara nasional. Di bulan 7, diinstruksikan kepada semua anggota Sangha dan pendeta Taois
di ibu kota dan distrik di seluruh negeri untuk melaksanakan upacara doa kesejahteran rakyat
dan negara, mendoakan tanaman pangan panen tepat waktu, serta melantunkan Sutra dan
kontemplasi diri selama tujuh hari tujuh malam. Sehingga pada bulan 1 dan bulan 7 setiap
tahun, kegiatan ini menjadi rutinitas dalam lingkup militer. Pada bulan 1 tahun ke-3 era
Zhen’guan, dititahkan bahwa setiap bulan, tanggal 27, anggota Sangha di kota Chang’an

77
harus melantunkan Narendra-raja Sutra untuk mendoakan perdamaian dan kesejahteraan
Dinasti Tang. Kegiatan upacara yang bersifat sementara, upacara bulanan, dan upacara
tahunan persembahan makanan di lingkup militer yang dititahkan dari kaisar, pendanaannya
ditanggung semua oleh negara. Dari sudut pandang lingkup Buddhisme, kegiatan yang
ditujukan bagi negeri Tang ini adalah tugas dari wihara, juga merupakan tugas dari anggota
Sangha. Tetapi yang memikul tanggung jawab tugas ini tidak hanya terbatas pada wihara dan
anggota Sangha di satu lokasi Chang’an saja, melainkan menyangkut seluruh lingkup
Buddhisme dari berbagai distrik di seluruh negeri.

Selanjutnya mengenai Taoisme, konon pembawa ajarannya adalah Laozi (老子) alias
Li Er (李耳). Berhubung beliau punya hubungan istimewa dengan keluarga Dinasti Tang
karena memiliki marga yang sama, maka sering terlihat kedudukan Taoisme berada di atas
Buddhisme, sehingga ia berkembang dengan pesat. Sebenarnya jika dlihat dari kekuatan
pengaruhnya di masyarakat, Taoisme masih tidak sebanding dengan Buddhisme. Namun di
masa Dinasti Tang, hal-hal keputusan pemerintah dalam bidang keagamaan hingga ketentuan
hukum yang berkenaan dengan Buddhisme dan Taoisme, biksu/biksuni dan pendeta Taois
pria dan pendeta Taois wanita, wihara [Buddhis] dan kuil [Taois], selalu diproses dalam satu
perangkat yang sama.

Pada bulan pertama tahun pertama dari era Qianfeng (乾封; 666 M) masa Kaisar
Tang Gaozong, dititahkan ke distrik di seluruh negeri untuk membangun masing-masing satu
wihara Buddhis dan satu kuil Taois, serta menahbiskan 7 orang anggota Sangha dan 7 orang
pendeta Taois untuk menetap di setiap wihara dan kuil tersebut. Pada tahun pertama dari era
Tianshou (天授; 690 M) masa Maharani Wu Zetian (武則天), diinstruksikan lagi untuk
membangun Wihara Dayun-Jing ( 大 雲 經 寺 —Wihara Mahamegha Sutra) di ibu kota
Chang’an dan Luoyang (洛陽),begitu juga di setiap distrik di seluruh negeri. Di lingkungan
istana dibangun wihara untuk menjamu biksu ternama. Pembangunan Wihara Dayun Jing ini
dimaksudkan untuk mengenang keberhasilan Revolusi Wuzhou (武周革命). Tidak lama
kemudian, setelah Kaisar Tang Zhongzong (唐中宗) memulihkan kembali Dinasti Tang,
setiap distrik di seluruh negeri dibangun masing-masing satu wihara dan kuil dengan nama
Wihara Zhongxing (中興寺—Wihara Kebangkitan Kembali) dan Kuil Zhongxing (中興觀).
Untuk Wihara Zhongxing sebenarnya adalah bekas Wihara Dayun Jing yang diganti namanya,

78
sedangkan Kuil Zhongxing adalah bangunan baru. Namun belakangan nama wihara-wihara
dan kuil-kuil ini diganti lagi dengan nama Longxing (龍興—Kebangkitan Naga).

Pada tahun ke-26 dari era Kaiyuan (738 M) masa kejayaan Kaisar Tang Xuanzong
(唐玄宗), diinstruksikan ke semua distrik di seluruh negeri untuk membangun lagi Wihara
Kaiyuan (開元寺) dan Kuil Kaiyuan (開元觀) masing-masing satu unit di luar wihara dan
kuil Longxing. Dengan demikian, di setiap distrik di seluruh negeri terdapat 4 tempat ibadah
yang dibangun oleh negara, yaitu Wihara Longxing dan Kaiyuan dari Buddhisme; serta Kuil
Longxing dan Kaiyuan dari Taoisme. Kemudian pada tahun berikutnya (739 M),
diinstruksikan bahwa setiap tahun saat perayaan 3 Hari Utama—hari Shangyuan (上元),
Zhongyuan (中元), Xiayuan (下元), dan hari ulang tahun Kaisar Tang Xuanzong—hari
Qianqiu (千秋節—Hari Usia Panjang),di seluruh Wihara dan Kuil Kaiyuan dibuatkan
tempat peribadatan untuk mendoakan kaisar. Para biksu dan pendeta Taois
menyelenggarakan upacara doa usia panjang untuk kaisar dan perdamaian negara.
Selanjutnya pada hari wafat kaisar terdahulu, di setiap Wihara dan Kuil Longxing di setiap
distrik disiapkan tempat upacara kebaktian dan penaburan bunga sebagai pelaksanakan ritual
untuk memperingati haul kaisar terdahulu. Setiap tahun dalam peringatan hari ulang tahun
kasiar dan haul kaisar terdahulu, ditetapkan bahwa pemerintahan daerah setempat wajib
menghentikan semua kegiatan untuk menghadiri ritual kebaktian.

Wihara dan Kuil Kaiyuan yang dibangun oleh negara di seluruh distrik bukan hanya
berfungsi sebagai tempat ritual negara untuk memperingati hari jadi kaisar dan haul nasional
saja, pada saat yang sama ia lebih sebagai pusat keyakinan Buddhisme dan Taoisme setempat,
di mana penyerapan kebudayaan dan agama dari pemerintah pusat kemudian disebarluaskan
ke berbagai daerah, bahkan administrasi agama dari wihara, anggota Sangha, kuil, dan
pendeta yang dikelolanya memiliki posisi penting secara integratif.

Pada tahun ke-5 dari era Tianbao (天寶; 746 M) masa Kaisar Tang Xuanzong,
Master-Tripitaka Amoghavajra (不空), datang kembali ke kota Chang’an. Beliau mengabdi
hingga tiga generasi kekaisaran Tang, yaitu Tang Xuanzong (唐玄宗), Tang Suzong (唐肅
宗), dan Tang Daizong (唐代宗). Di lingkungan istana, beliau mendirikan wihara yang
berfungsi sebagai pusat aktivitas Buddhisme yang baru dibawanya, berupa metode
Tantrayana untuk mengikis bencana dan menggapai kesejahteraan. Pada masa Kaisar Tang
Suzong, jumlah pelayanan kepada anggota Sangha di wihara lingkup istana mencapai

79
ratusan orang. Suara lantunan mantra bergema siang malam di seantero istana. Pada masa
Kaisar Tang Daizong juga terdapat seratusan biksu senior yang diberi persembahan. Mereka
menetap di sana, melantunkan [ayat-ayat suci], praktik kontemplasi diri, memeriahkan
perayaan hari lahir Buddha, dan hari ulambana. Setiap hari raya besar, biksu ternama
diundang ke istana untuk diberi persembahan. Para anggota Sangha yang mendapat
kehormatan untuk keluar masuk istana seperti ini dengan kemegahan ritualnya telah
melampaui para pejabat tinggi istana. Meskipun ada kalanya kegiatan wihara dan
persembahan makanan di lingkup istana dapat berhenti sejenak, namun ini adalah hal yang
sudah biasa terjadi dalam banyak sesi kegiatan para kaisar Dinasti Tang sebagai pemeluk
Buddhisme.

Buddhisme masa Dinasti Tang menjadikan wihara lingkup istana dan berbagai wihara
besar di dua ibu kota negara, serta Wihara Kaiyuan dan Longxing di seluruh distrik sebagai
pusatnya yang terhimpun ke dalam sistem administrasi negara yang terintegrasi dari pusat
hingga ke setiap daerah untuk mendorong pelaksanaan pembangunan wihara, penahbisan
anggota Sangha dan upacara ritual Buddhis. Berdasarkan mekanisme ini, pencapaian tujuan
dan misi keagamaan bagi Dinasti Tang dapat dikatakan mengandung konteks kenegaraan
yang sangat kuat.

4. Buku Data Identitas, Sertifikat Penahbisan, dan Sertifikat Sila Anggota Sangha

Pada awal berdirinya Dinasti Tang telah muncul sikap menentang kebijakan masa lalu
Dinasti Sui yang melindungi Buddhisme yang dianggap sebagai agama dari luar. Sehubungan
dengan pejabat ahli astronomi kerajaan, Fu Yi ( 傅 奕 ) menggunakan alasan demi
meningkatkan pemasukan negara dan kepentingan rakyat, beliau mengajukan permohonan
kebijakan sebanyak 21 pasal untuk mengurangi jumlah wihara dan anggota Sangha. Maka
pada tahun ke-9 dari era Wude (626 M) masa Kaisar Tang Gaozong, diinstruksikan untuk
mengeliminasi Buddhisme dan Taoisme. Akibatnya, di kota Chang’an jumlah wihara
Buddhisme hanya tersisa 3 dan kuil Taoisme tersisa 2. Di berbagai distrik di masing-masing
daerah hanya tersisa 1 kuil dan wihara yang didiami oleh pendeta dan anggota Sangha yang
dianggap tekun dalam berlatih, sedangkan kuil dan wihara lainnya semua dihentikan
kegiatannya, para pendeta dan anggota Sangha dipaksa untuk melepas jubah (kembali ke
kehidupan duniawi). Ini merupakan kebijakan penumpasan Buddhisme paling keras setelah

80
peristiwa penumpasan yang terjadi pada masa Dinasti Wei-Utara dan Zhou-Utara. Kebijakan
ini baru berakhir setelah naiknya Kaisar Tang Taizong. Namun akibat dari perintah untuk
membatasi Buddhisme dan Taoisme, maka para penganut dari kedua ajaran di masa Dinasti
Tang ini pun mengambil sikap waspada terhadap internalnya sendiri setelah merenungkan
kilas balik dari tragedi ini. Alhasil, ini menjadi awal yang menguntungkan dan menjadi
peletak dasar bagi perkembangannya.

Sehubungan dengan keprihatinan Kaisar Tang Taizong atas berkurangnya jumlah pendeta
dan anggota Sangha yang berbakat di seluruh negeri, maka beliau memerintahkan
penyeleksian sebanyak 2.000 orang untuk kemudian dipilih sebagai pendeta dan anggota
Sangha yang berbakat. Pada saat yang sama, ia melarang anggota Sangha melakukan
penahbisan sendiri untuk mencegah penyelewengan dari mereka. Pada tahun ke-9 dari era
Zhen’guan (635 M) masa Kaisar Tang Taizong, diinstruksikan ke distrik di seluruh negeri
untuk menyingkirkan anggota Sangha yang berperilaku jahat, lalu digantikan dengan calon
anggota Sangha yang berbakat. Pada saat itu, Dinasti Tang telah menegakkan suatu kebijakan
agama kepada anggota Sangha dan pendeta untuk memiliki tanda identitas diri dan sistem
penahbisan resmi dari negara. Kepada rakyatnya, pemerintahan Dinasti Tang telah
memberlakukan tanda identitas diri yang benar. Sistem milisi Fubing (府兵制) dan sistem
perpajakan Zhuyongtiao (租庸調) dibangun berdasarkan ‘sistem kesetaraan ladang’ (均田制)
dengan tujuan mempertahankan kestabilan keuangan dan kas negara serta menjaga keamanan
negara, sekaligus untuk memperkuat peralatan militer. Dengan berpedoman pada sistem
tersebut, maka administrasi wihara Buddhis dan kuil Taois juga diterapkan sistem peraturan
yang tetap untuk mengantisipasi pembangunan wihara dan stupa yang berlebihan.
Berdasarkan sistem buku data identitas, anggota Sangha dan pendeta yang telah ditahbis dan
terdaftar secara resmi dari negara akan mendapatkan pelayanan khusus, ditambah dengan
mendapatkan perlindungan berdasarkan identitasnya, sekaligus mengetatkan pelarangan bagi
anggota Sangha yang menyeleweng dan aksi penahbisan yang tidak sah.

Sejak masa Dinasti Sui hingga awal Dinasti Tang, sistem administrasi Budhisme dan
Taoisme yang dikelola oleh lembaga keagamaan Chongxuan (崇玄署) berada di bawah
naungan direktorat Honglu (鴻臚寺). Setelah mengalami beberapa kali perubahan struktur,
maka hingga masa Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗) era Kaiyuan, kewenangannya dipegang
langsung oleh Direktorat Honglu dan Direktorat Ritus ( 祠 部 ) yang berada di bawah
Departemen Urusan Negara (尚書省—Shangshu Sheng). Tanda identitas diri anggota Sangha

81
diperbarui setiap 3 tahun sekali, dan datanya disimpan di Direktorat Honglu dan Direktorat
Ritus. Ini merupakan pusat pengelolaan administrasi agama dari Dinasti Tang. Hal-hal yang
berkaitan dengan penunjukan organisasi Buddhis dan Taois yang terhormat adalah bagian
dari wewenang direktorat Honglu, sedangkan direktorat ritus dari departemen urusan negara
merupakan lembaga yang mengeluarkan instruksi-instruksi terkait.

Sejak masa Enam Dinasti, sehubungan dengan melemahnya kekuatan politik negara, maka
banyak muncul aksi penahbisan biksu tidak sah dan penyelewengan perilaku anggota Sangha.
Ini merupakan persoalan yang membuat pusing para politisi negara selama beberapa era.
Sesampai masa Dinasti Tang, baru dilakukan pencegahan melalui ketetapan hukum. Pertama-
tama, orang yang memiliki niat untuk memasuki kehidupan monastik mendapat rekomendasi
dari seorang guru. Pada masa Kaisar Tang Zhongzong (唐中宗), diberlakukan sistem ujian
Sutra untuk penahbisan calon biksu, yaitu melalui ujian saringan masuk untuk memilih calon
anggota Sangha yang berbakat. Setelah membuat buku data identitas anggota Sangha secara
ketat, kemudian didata jumlah wihara dan anggota Sangha di seluruh negeri, dan jumlah
mereka yang meninggal dan lepas jubah setiap tahun untuk mendapatkan kejelasan berapa
jumlah anggota Sangha yang ditahbis secara sah. Mereka yang lulus ujian akan diberi izin
oleh negara untuk dicukur rambutnya (ditahbiskan). Anggota Sangha yang telah ditahbis
secara resmi harus mengantongi tanda bukti penahbisan, yaitu Sertifikat Penahbisan (度牒—
Dudie) yang dikeluarkan oleh direktorat Ritus dari departemen urusan negara yang disebut
Sertifikat Direktorat Ritus (祠部牒). Fungsinya ibarat sertifikat pengangkatan jabatan bagi
pegawai negeri (atau disebut Gaoshen— 告身 pada masa Dinasti Tang). Anggota Sangha
yang mengantongi sertifikat penahbisan dapat dibebaskan dari kewajiban pajak seumur hidup,
dan hanya berfokus pada kehidupan relijius, serta jaminan perlindungan dari statusnya.
Samanera (calon biksu) yang mengantongi sertifikat penahbisan harus menunggu hingga usia
dewasa untuk menerima upasampada (penahbisan) penuh di Simamandala hingga memasuki
level status biksu melalui pemberian sertifikat Sila (戒牒—Jiedie) yang dikeluarkan oleh
tempat penahbisan. Dengan memiliki sertifikat penahbisan dari negara dan sertifikat Sila
akan menjadi bukti status sebagai anggota Sangha yang sah melalui penahbisan resmi.
Anggota Sangha yang melalui sistem penahbisan resmi di masa Dinasti Tang harus
mengantongi kedua sertifikat ini untuk memudahkan pengawasan bagi biksu penyeleweng
yang ditahbis secara tidak sah, serta mencegah terjadinya percampuran antara kedua

82
kelompok tersebut. Inilah yang menjadi penyebab diberlakukannya sistem penahbisan resmi
dari Dinasti Tang.

5. Sistem Manajemen Anggota Sangha

Dengan melihat kelengkapan format hukum Dinasti Tang, maka dapat mengetahuinya
sebagai era penyelesaian sistematisasi kitab perundang-undangan. Buddhisme memiliki kitab
Vinaya (peraturan disiplin) yang berasal dari India, di mana peraturan tersebut berfungsi
sebagai sistem otonomi dan norma peraturan bagi komunitasnya. Namun, dalam
perkembangan masyarakat Buddhis Tiongkok, tidak hanya menyangkut masalah
kesalingketerkaitan hubungan antara guru dan murid, kakak dan adik secara internal, tapi
juga terdapat berbagai masalah eksternal yang menyangkut kondisi sosial masyarakat dan
negara, sehingga memunculkan hal-hal yang melampaui batas ketetapan Vinaya awal.
Sebagai negara yang memiliki kekuasaan sentralistik, maka sedikit banyak harus ada
penambahan peraturan bagi anggota Sangha menurut peraturan hukum negara. Menurut kitab
Gutang Lüshu Yi (故唐律疏議—Komentar Atas Sistem Hukum Dinasti Tang) bab 6 bagian
‘Daftar Nama’; bab 12 bagian ‘Kependudukan dan Pernikahan’; bab 19 bagian ‘Hukum
Perampokan’ dikatakan bahwa bagi anggota Sangha dan pendeta yang melanggar hukum,
akan terdapat preseden interogasi yang mengikuti hukum sekuler. Selanjutnya dapat dilihat
lagi sistem hukum Taiho Ritsuryo dari Jepang yang memiliki 27 pasal tentang peraturan
anggota Sangha, selama ini ia dianggap mengacu pada sistem hukum tentang karakter
anggota Sangha dan pendeta yang ada di dalam kitab hukum era Yonghui (永徽) masa
Dinasti Tang. Mengenai karakter anggota Sangha dan pendeta masa Dinasti Tang, melalui
kajian beberapa tahun belakangan, dapat ditelusuri hingga ketetapan sistem hukum era
Zhen’guan, hanya saja isi pasal tersebut telah hilang. Berbagai permasalahan Buddhisme dan
Taoisme yang dihadapi negeri Tang menggunakan sistem hukum sekuler dalam proses
pemeriksaan dan penanganan anggota Sangha dan pendeta yang melanggar hukum. Perlu
diketahui bahwa pasal-pasal yang bersifat mendasar ini telah ditetapkan dalam karakter
anggota Sangha dan pendeta. Oleh karena itu, komunitas Sangha yang dibentuk melalui
peraturan Vinaya, dari aspek hak otonominya, ia telah merasakan kerugian yang sangat besar.
Namun yang patut diperhatikan terhadap Dinasti Tang sebagai negara yang menguasai
wilayah daratan yang luas dengan membawahi sistem politik kekuasaan otoriter yang

83
berskala dunia adalah bahwa ia telah membuat sistem administrasi Buddhisme dan Taoisme
secara terstruktur.

Dinasti Tang menetapkan larangan keras pembangunan wihara baru dan mengawasi
jumlah wihara secara ketat. Wihara di masa Dinasti Sui menggunakan pengawas wihara
untuk mengatur anggota Sangha, sedangkan wihara Dinasti Tang menetapkan sistem jabatan
dengan nama 3 jabatan disiplin , yaitu Shangzuo ( 上 座 —Sthavira), Sizhu ( 寺 主 —
Wiharasvamin), Du-Weinuo ( 都 維 那 —Karmadana), yang setelah dipilih di antara para
anggota Sangha , kemudian tugas jabatan tersebut diberikan oleh negara.

Lantas pada masa awal Dinasti Tang, karena sistem jabatan Sangha di pusat dan
daerah masih belum memiliki kondisi yang kokoh, maka pada tahun pertama dari era Wude
(武德; 618 M) masa Kaisar Tang Gaozong, diangkat 10 orang sesepuh untuk mengatur
anggota Sangha. Sistem ini lahir dari keterdesakan untuk menata administrasi negara. Sampai
masa pertengahan Dinasti Tang, secara berangsur-angsur baru menyelesaikan sistem jabatan
administratif Sangha (僧錄—Senglu). Pada masa Kaisar Tang Xianzong (唐憲宗),Duan Fu
(端甫) diangkat sebagai Administrator Sangha Lorong Kiri (左街僧錄) dan Ling Sui (靈邃)
sebagai Administrator Sangha Lorong Kanan (右街僧錄), yaitu dua jabatan administrasi
Sangha Buddhis di ibu kota Chang’an yang bertugas mengelola wihara-wihara dan anggota
Sangha ibu kota. Sebelumnya, di Chang’an yang menjadi ibu kota Dinasti Tang sedang
maraknya kegiatan sosial pembangunan wihara dan stupa. Pejabat yang mengelola kegiatan
ini disebut Duta Praktik Kebajikan (修功德使— Xiu Gongde Shi). Pada masa Kaisar Tang
Daizong (唐代宗),orang pertama yang memegang jabatan Duta Kebajikan Internal (内功德
使) adalah Li Yuancong (李元琮) dan Duta Kebajikan Eksternal (外功德使) adalah Li
Xiancheng (李憲誠). Mereka berdua merupakan siswa umat awam dari Master Amoghavajra.
Li Yuancong adalah seorang komandan pasukan pengamanan ibu kota Chang’an yang
diangkat menjadi Duta Kebajikan, dan Li Xiancheng adalah pejabat yang punya kekuasaan
dalam lingkup istana memegang jabatan Duta Kebajikan Internal, dengan ibu kota Chang’an
sebagai pusat [komando], mereka mengkoordinasi kegiatan pembangunan dan renovasi
wihara dan kuil serta penyelenggaraan upacara besar puja bakti agama Buddha. Ini
merupakan aspek kegiatan untuk mengikis bencana dan mendatangkan kesejahteraan dalam
agama Buddha secara nasional sebagaimana yang dijelaskan oleh Amoghavajra (不空 ).
Kemudian pada masa awal Kaisar Tang Dezong (唐德宗) memegang tampuk kekuasaan,

84
sehubungan dengan adanya berbagai kebijakan yang masih baru, dan masalah Duta
Kebajikan yang dijabat oleh orang dari kalangan militer yang sama sekali bertentangan
dengan karakter keluarga Dinasti Tang dalam mengelola Buddhisme, maka jabatan ini pun
pernah dihentikan. Namun tidak lama kemudian ia dihidupkan kembali. Kekuasaan duta
kebajikan sangatlah besar, bahkan ia memiliki wewenang penunjukan anggota Sangha dan
pendeta dari Direktorat Honglu. Lantas karena fungsi wewenang ini sama sekali tidak
mempertimbangkan kondisi kemajuan atau kemunduran Dinasti Tang, sehingga ia terus saja
melakukan kegiatan sosial pembangunan wihara dan kuil. Ini pula yang menjadi penyebab
dan pemicu munculnya kebijakan penumpasan Buddhisme di era Huichang (會昌) yang
dilakukan oleh Kaisar Tang Wuzong (唐武宗).

Selain jabatan Sangha di wilayah pusat yang disebut Senglu (僧錄), di tingkat daerah
10 dao (十道; wilayah di atas tingkat distrik) terdapat jabatan Sangha yang disebut Sengtong
(僧統). Ada pula jabatan Sangha di masing-masing distrik yang disebut Sengzheng (僧正) di
mana mereka menetap di Wihara Kaiyuan milik negara di masing-masing distrik dengan
tugas mengelola internal wihara dan anggota Sangha. Setelah memasuki periode pertengahan
Dinasti Tang, sehubungan dengan kelengkapan sistem jabatan Sangha dari pusat hingga
daerah telah selesai, namun semua otoritasnya dikuasai oleh pejabat awam. Akan tetapi, masa
Dinasti Tang setelah era Kaiyuan, umumnya Direktorat Ritus yang berada di bawah
Departemen Urusan Negara berfungsi sebagai lembaga negara wilayah pusat yang mengelola
Buddhisme dan Taoisme.

6. Aktivitas Sosial Anggota Sangha

Sejak masa Enam Dinasti, anggota Sangha Tiongkok dengan status sebagai ‘orang
yang berada di lingkup luar [duniawi]’ menetap di wihara sambil menjalani kehidupan
monastik. Namun mereka bukan tidak berhubungan sama sekali dengan masyarakat umum.
Wihara negara dan wihara umum pada masa Dinasti Tang ada menyelenggarakan perayaan
Ulambana dan hari Waisak, juga kegiatan puja bakti lainnya, seperti memperingati hari ulang
tahun kaisar dan haul nasional, di mana ini merupakan kegiatan ritual Buddhis yang
dilaksanakan secara rutin setiap tahun, dan para pejabat hingga rakyat yang mengikuti
kegiatan upacara besar pendupaan ini sangatlah marak. Terutama kegiatan bakti sosial

85
(Panca-varsikamaha) yang populer dari sejak masa Enam Dinasti, yaitu upacara persembahan
makanan yang dilaksanakan secara sederajat tanpa membeda-bedakan status umat awam dan
anggota Sangha serta kaya dan miskin. Pada masa Kaisar Tang Zhongzong dan Tang
Daizong, pernah diadakan bakti sosial [Panca-varsikamaha] secara besar-besaran di luar
Gerbang Fu’an (福安門) dan di dalam Wihara Huadu (化度寺). Setelah periode pertengahan
Dinasti Tang, tradisi upacara puja bakti tahunan yang diselenggarakan oleh wihara telah
tersebar ke masyarakat umum. Dari sini kemudian muncul cara penyampaian isi berbagai
teks Sutra seperti Vimalakirti Sutra, Saddharmapundarika Sutra, dan Sutra-sutra tentang
tanah-murni yang diekspresikan melalui perumpamaan yang sederhana dan mudah
dimengerti serta dengan menggunakan cara-cara yang menarik, itulah masa munculnya
Jiangshu (講俗—Wejangan Awam). Anggota Sangha yang mengemban tugas pengajaran
kepada kalangan rakyat jelata disebut Guru Pembimbing Awam (化俗法師), atau disebut
Guru Wejangan Awam (講俗師). Wen Xu (文漵) adalah seorang guru pembimbing umat
awam yang paling terkemuka pada masa Kaisar Tang Jingzong (唐敬宗) dan Tang Wenzong
(唐文宗). Sejak ditemukannya berbagai mural (lukisan dinding) dan lukisan tekstual di Gua
Seribu Buddha di Dunhuang, sudah terlihat di sini bahwa kondisi Buddhisme pada saat itu
dari aspek keyakinan dan pemikirannya telah merasuk ke lapisan masyarakat secara umum.

Maharani Wu Zetian (武則天), menginstruksikan distrik di seluruh negeri untuk


membangun Wihara Dayun Jing Si (大雲經寺), beliau juga menginstruksikan pendirian Panti
Ladang Belas Kasih ( 悲 田 院 ) untuk merawat anak yatim dan manula yang terlantar;
mendirikan rumah sakit dengan pengobatan gratis kepada pasien. Setiap biaya kebutuhan
akan disubsidi oleh pemerintah. Tugas pengelolaan dan pengoperasiannya dilakukan oleh
anggota Sangha. Panti ladang belas kasih dan balai pengobatan yang didirikan oleh
pemerintah di kota Chang’an dan Luoyang meskipun dipertanggungjawabkan kepada
anggota Sangha, namun ia merupakan bagian dari organisasi wihara yang berdiri sendiri.
Aktivitas pertolongan ini terus berlangsung sampai peristiwa Bencana Dharma (penumpasan
Buddhisme) masa Kaisar Tang Wuzong di era Huichang. Akan tetapi balai pengobatan dan
Panti Ladang Belas Kasih yang dikelola oleh wihara tidak ditumpas. Balai pengobatan di
kedua ibu kota diperbolehkan memiliki tanah seluas 10 qing (66,67 ha), dan di berbagai
distrik diperbolehkan memiliki tanah seluas 5 qing, 3 qing, dan 2 qing tergantung berapa
jumlah orang yang ditampung sebagai kelanjutan dari pengelolaan aktivitas pertolongan ini.

86
Namun para anggota Sangha tidak semata-mata melakukan aktivitas pertolongan yang diatur
oleh negara. Ada juga Master Hong Fang (洪昉) dari Wihara Longguang (龍光寺) di Distrik
Shanzhou ( 陕 州 ) mengumpulkan dana dari cara pindapatra untuk mendirikan balai
pengobatan yang dapat menampung ratusan pasien sebagai upaya memberikan perawatan
kepada mereka.

Pada masa Dinasti Tang, bagian dalam wihara yang masih tersisa balai Aksayakara
(無盡藏) difungsikan untuk berbagai aktivitas seperti usaha batu penggiling, garasi kereta,
toko, dsb. Balai Aksayakara yang paling terkenal berada di Wihara Huadu (化度寺) di Kota
Chang’an, di mana ia didirikan oleh pendiri aliran Sanjie, Master-Chan Xinxing (信行禪師)
dari masa Dinasti Sui. Sebenarnya pengoperasian ini hanyalah salah satu cara yang dilakukan
oleh wihara untuk menambah dana keuangan yang dipersiapkan untuk menjaga-jaga jika
terjadi bencana dan untuk perawatan wihara dan stupa. Sehubungan dengan keuntungan yang
didapatkan dari hasil pinjaman materi dan terus menghasilkan bunga, maka ia disebut aksaya
(tanpa habis). Jika mereka yang melarat karena bencana di tahun bersangkutan, maka mereka
diberi pinjaman tanpa bunga, bila perlu pinjaman tersebut dikeluarkan dengan sistem
pemberian cuma-cuma. Oleh karena itu ia menjadi aktivitas pertolongan yang sama sekali
bersifat sosial. Hingga masa Dinasti Tang kegiatan ini masih mendapatkan sambutan yang
baik. Maharani Wu Zetian pernah memindahkan balai Aksayakara ke Wihara Dafuguang (大
福光寺) di ibu kota timur, Luoyang. Tetapi wilayah yang memanfaatkannya tidak hanya
sebatas di kota Luoyang dan Chang’an saja. Aktivitasnya sangat dirasakan hingga ke
berbagai daerah seperti Yan (燕), Liang (涼), Shu (蜀), dan Zhao (趙), yang mana mereka
datang untuk mengajukan pinjaman. Lantas, karena pertumbuhannya yang semakin besar
maka penyimpangan pun turut bermunculan. Oleh sebab itu, Kaisar Tang Xuanzong
melarang aliran Sanjie terlebih dahulu, setelah itu membekukan Balai Aksayakara.
Aksayakara juga bukan satu-satunya aktivitas dalam aliran Sanjie. Seluruh bentuk aktivitas
wihara Buddhisme Tiongkok juga tidak terdapat kegiatan penyimpanan yang seperti ini.
Hingga masa Dinasti Song namanya berubah menjadi Simpanan Usia Panjang (長生庫).
Aktivitas ini memiliki asal usul yang sama dengan arisan Mujinko dan Tanomoshiko yang
diselenggarakan di wihara di Jepang pada zaman Edo.

87
Di samping itu, anggota Sangha masa Dinasti Tang juga telah berupaya maksimal
dalam melakukan aksi sosial untuk para warga seperti pengendalian banjir, pembangunan
jembatan, penggalian sumur umum, pembuatan perahu umum, dan penginapan umum.
Misalnya, Biksu Ming Yuan (明遠; 765-843 M) dari Wihara Kaiyuan di Lintan (臨檀),
Distrik Sizhou (泗州), ia adalah ketua Sangha tingkat Sengzheng wilayah Xu (徐), Si (泗),
dan Hao (濠). Sehubungan dengan kekhawatirannya pada bencana banjir di Huai’shui (淮水)
dan Si’shui (泗水), serta banyaknya penduduk yang terkena dampak bencana, maka beliau
bersama kepala prefektur, Su Yu (蘇遇), dan rekan lainnya melakukan aksi penanaman
10.000 benih pohon pinus, medang, dan juniperus untuk mengantisipasi penderitaan akibat
bencana banjir. Kemudian ada Biksu Dao Yu (道遇), pada tahun ke-4 dari era Wuchang (武
昌; 844 M) masa Kaisar Tang Wuzong (唐武宗), beliau membuat proyek penggalian beting
Bajie Tan ( 八節灘 ) di Longmen Tan di Luoyang (洛陽 -龍門潭 ) untuk memudahkan
transportasi air dari Luoshui (落水). Seorang penganut tradisi Sukhavati dari Distrik Runzhou
( 潤 州 ), Biksu Tan Rong ( 曇 融 ), melalui prinsip 48 tekad Buddha Amitabha demi
menyelamatkan makhluk yang berada di lautan siklus kelahiran kembali, maka beliau
membangun 48 jembatan yang tersebar di lebih dari 30 distrik di seluruh negeri. Biksu Ming
Du ( 明 渡 ) juga karena terinspirasi 48 tekad Buddha Amitabha, maka demi ingin
menggunakan perahu untuk menyeberangkan para penduduk ke ‘tanah murni’, beliau sendiri
pun melewati hidupnya sebagai tukang perahu yang menyeberangkan orang di Sungai
Kuning (黃河 ). Sehubungan dengan banyaknya orang yang berziarah ke pusat spiritual
(bodhimanda) Bodhisatwa Manjusri di Gunung Wutai di Provinsi Shanxi (山西 五台山),
demi keperluan tempat istirahat para pengunjung maka banyak didirikan rumah umum
‘Putong Yuan (普通院)’. Hal ini tercatat dalam kitab Catatan Perjalanan Mencari Dharma
Ke Negeri Tang (入唐求法巡禮行記) karya Ennin (Jikaku Daishi) dari Jepang, di mana
mengisahkan perjalanan beliau ke Gunung Wutai dan menyaksikan kondisi Rumah Putong
Yuan. Pendirian bangunan ini memiliki karakter yang sama dengan Rumah Pahala Berkah
yang didirikan oleh Raja Ashoka di India, dan Rumah Dana yang didirikan oleh Gyoki (行基)
dan Saicho (最澄) di Jepang.

Buddhisme menjalankan berbagai aksi sosial yang tidak tersentuh oleh kekuatan
politik, seperti bantuan kepada kaum yatim, fakir miskin dan orang sakit. Mereka melakukan

88
berbagai kegiatan sosial dengan rasa penghargaan terhadap kehidupan hingga melakukan aksi
pelepasan makhluk hidup atas dasar kasih sayang. Terhadap para narapidana yang selesai
menjalani hukuman, mereka memberikan perlindungan; mereka memberikan bantuan
sandang pangan kepada mereka yang dilanda kelaparan di tahun-tahun malapetaka, serta
membuat sumur umum, perahu umum, dan jembatan, bahkan berkembang hingga ke aksi
penanaman pohon dan pemberian tempat tinggal secara cuma-cuma. Buddhsime memberikan
kontribusi kepada masyarakat ini sebagai ekspresi dari pemikiran tentang prinsip ladang
kasih sayang dan kesejahteraan dari Buddha, sebagai bentuk penyebaran semangat maitri-
karuna (cinta kasih dan belas kasih).

Meskipun pembangunan wihara dan orang yang memasuki kehidupan monastik


tumbuh dengan subur hingga berimplikasi pada perkembangan kebudayaan Buddhis seperti
pembuatan patung, penyalinan kitab suci dan berbagai benda seni Buddhis lainnya, namun
sejak periode pertengahan Dinasti Tang juga banyak bermunculan hal-hal yang menyimpang.
Seiring dengan kejayaan Buddhisme, aktivitas Buddhis dari pihak negara dilakukan secara
mewah, akibatnya beban keuangan negara pun bertambah. Wihara mendapatkan lahan yang
luas, terbebas dari kewajiban negara, jumlah anggota Sangha bertambah banyak, hal ini juga
mengakibatkan penerimaan negara menjadi berkurang dan keuangan negara mengalami
defisit. Dengan melihat kondisi Buddhisme yang bertolak belakang dengan keuntungan yang
diberikan kepada negara, maka ada cendikiawan yang berpijak pada sudut pandang
kepentingan keuangan negara merasa harus melakukan tindakan pembersihan terhadap
komunitas tersebut. Pendeta Taois saat itu, Gui Zhen (歸真), memberi tuntunan kepada
Kaisar Tang Wuzong untuk menjadi penganut Taoisme. Ada juga karena hubungannya
dengan perdana menteri Li Deyu ( 李 德 裕 ), maka ia langsung menjalankan gerakan
penumpasan Buddhisme.

Diawali pada tahun ke-2 dari era Huichang (會昌; 842 M) masa Kaisar Tang Wuzong,
diadakan gerakan pembersihan seluruh komunitas Buddhis di seluruh negeri. Anggota
Sangha yang melanggar hukum dan tidak menaati Sila dipaksa kembali ke kehidupan rumah
tangga. Pada saat itu, ilmu mantra dan ilmu gaib yang dianggap menyesatkan pun dilarang.
Anggota Sangha dilarang memiliki harta pribadi. Jika ada maka akan disita dan dimasukkan
ke kas negara. Di kota Chang’an, jumlah anggota Sangha yang kembali ke kehidupan rumah
tangga berjumlah 3.459 orang. Perintah penumpasan Buddhisme tampak semakin represif

89
dari tahun ke tahun. Hingga tahun ke-4 dari era Huichang, diperintahkan untuk
menghancurkan semua monastik kecil yang tak memiliki nama identitas seperti wihara kecil,
cetiya, aranya; dan memaksa semua anggotanya kembali ke kehidupan awam. Terutama pada
tahun ke-5 dari era Huichang, ditetapkan batas jumlah wihara di kota Chang’an dan Luoyang
masing-masing hanya 4 buah dan jumlah anggota Sangha 30 orang. Semua distrik di seluruh
negeri masing-masing hanya sebatas 1 buah wihara, dan jumlah anggotanya dibagi menjadi 3
kategori, yaitu distrik besar sebatas 20 orang, distrik sedang sebatas 10 orang, dan distrik
kecil sebatas 5 orang. Wihara yang di luar ketentuan ini dihancurkan semuanya dan
anggotanya dikembalikan ke kehidupan rumah tangga. Dari aksi penumpasan Buddhisme ini,
total jumlah wihara yang dihancurkan berjumlah 4.600 buah. Wihara skala kecil seperti
cetiya, aranya, fotang, cao’ang berjumlah 40.000 lebih. Anggota Sangha yang kembali ke
kehidupan rumah tangga berjumlah 260.500 orang. Ladang milik wihara yang disita
sebanyak ratusan ribu qing (1 qing= 6,7 ha).

Pelayan yang bekerja di wihara berjumlah 150.000 orang. Mereka bersama dengan
anggota Sangha yang telah lepas jubah juga didaftarkan sebagai wajib pajak. Rupang Buddha
dari emas, perak, perunggu, besi, semuanya dilebur kembali untuk dibuatkan mata uang dan
alat pertanian. Sejumlah bangunan wihara dialihfungsikan menjadi sarana umum.

Pada saat itu, Master Ennin (Jikaku Daishi) dari Jepang sedang mengenyam
pendidikan di kota Chang’an. Beliau mengalami sendiri kondisi Bencana Dharma era
Huichang yang tak pernah terjadi sejak dahulu. Karena itu, dalam Catatan Perjalanan
Mencari Dharma ke Negeri Tang Bab 4, beliau mencatat peristiwa ini secara detail. Namun
pada tahun ke-6 dari era Huichang, yaitu saat gerakan penumpasan Buddhisme yang represif
memasuki tahun ke-2 di bulan ke-3 (846 M), Kaisar Tang Wuzong wafat. Tampuk kaisar
selanjutnya dipegang oleh Tang Xuanzong (唐宣宗), dan beliau pun memulihkan kembali
Buddhisme. Akan tetapi, Buddhisme di periode akhir Dinasti Tang sudah tidak sama lagi
dengan kondisi sebelumnya. Warisan tradisi Buddhisme masa Dinasati Sui dan Tang beserta
peninggalan kitab suci dan kitab komentar sudah lenyap. Tokoh pewaris sistem dan warisan
ajarannya pun telah putus sehingga nasibnya sama seperti Dinasti Tang yang secara perlahan-
lahan berjalan ke arah kemunduran.

90
Bab VIII Buddhisme Dinasti Tang (2)

-- Buddhisme Masa Akhir Dharma dan Peraturan Vinaya

1. Gagasan Periode Dharma Sejati, Dharma Tiruan, dan Akhir Dharma

Bagi lingkup Buddhisme di India, rasa kekhawatiran terhadap lenyapnya Dharma


sejati muncul pada masa setelah Dinasti Sunga (185 SM - 75 SM). Hal ini dipicu oleh invasi
bangsa lain dari barat India, di mana negara dilanda kekacauan dan Buddhisme mengalami
penindasan. Oleh karena itu, umat Buddha yang melihat fakta kondisi saat itu pun
menyuarakan keprihatinannya. Hingga berangsur-angsur pada masa munculnya kanon
Buddhis dalam bentuk tertulis, maka istilah Dharma Sejati dan Dharma Tiruan atau pun
Dharma Sejati dan Akhir Dharma dijadikan sebagai perbandingan dengan kondisi zaman
sebelumnya dan sekarang. Seiring dengan masa penerjemahan kitab suci, hal ini pun
memancing perhatian umat Tiongkok yang peduli dengan kondisi ini. Melalui gagasan
perbandingan dan pencocokan dengan kondisi zaman, maka muncul gagasan tiga periode,
yaitu Dharma Sejati (正法), Dharma Tiruan (像法), dan Akhir Dharma (末法). Ini terjadi
pada saat peristiwa penumpasan Buddhisme masa Dinasti Wei-Utara hingga Dinasti Zhou-
Utara, yang mana ia muncul sebagai fenomena zaman yang terjadi di wilayah Tiongkok utara
pada abad ke-6 M.

Mengenai pencocokan tiga periode Dharma dengan kondisi zaman juga terdapat
perbedaan pandangan. Buddhisme sejak masa Enam Dinasti hingga Dinasti Sui dan Tang,
umumnya berlaku pandangan bahwa periode Dharma Sejati berlangsung 500 tahun, Dharma
Tiruan berlangsung 1.000 tahun, dan Akhir Dharma berlangsung 10.000 tahun. Setelah
masuk ke Jepang, pada zaman Kamakura malah berlaku pandangan Dharma Sejati yang
berlangsung 1.000 tahun. Oleh karena itu, mengenai kedatangan periode Akhir Dharma,
pandangan antara Tiongkok dan Jepang berbeda 500 tahun.

91
Tahun wafat Buddha yang berlaku di kalangan Buddhis masa Enam Dinasti adalah
tahun ke-53 masa Kaisar Zhou Muwang (周穆王), siklus tahun Rensheng (任申—tahun Kera;
949 SM). Jika mengacu pada pandangan ini, maka periode Dharma Sejati dan Dharma Tiruan
telah berlalu, dan sudah memasuki periode Akhir Dharma, saat di mana 1.500 tahun setelah
Buddha wafat, di Dinasti Selatan bertepatan pada tahun pertama dari era Chengsheng (承聖)
masa Kaisar Liang Yuandi (梁元帝), dan di wilayah Dinasti Selatan bertepatan pada tahun
ke-3 dari era Tianbao (天寶; 552 M) masa Kaisar Wen Xuandi (文宣帝) dari Dinasti Qi
Utara. Di pertengahan abad ke-6 Masehi ini, Buddhisme kembali berjaya setelah satu abad
sebelumnya mengalami peristiwa penindasan Dharma pertama di masa Kaisar Tai Wudi dari
Dinasti Wei-Utara. Saat ibu kota dari Pingcheng (平城) dipindahkan ke Luoyang, Buddhisme
secara berangsur-angsur juga berkembang dengan sangat marak, namun di lingkup internal
dan eksternal Buddhis justru muncul penyimpangan. Fenomena Akhir Dharma yang
dijelaskan dalam kitab suci yang baru diterjemahkan dapat terlihat di realita kehidupan saat
itu. Sebab itu, ada yang menyuarakan kepedihan hati terhadap datangnya periode Akhir
Dharma. Master Huisi ( 慧 思 ) dari Dinasti Qi-Utara adalah tokoh pertama yang
mengemukakan fenomena ini dalam naskah Li Shiyuan Wen (立誓願文—Membangkitkan
Tekad). Tidak lama kemudian, muncul lagi penindasan Dharma kedua yang dilakukan oleh
Kaisar Zhou Wudi ( 周 武 帝 ) dari Dinasti Zhou-Utara. Beliau menjalankan kebijakan
penumpasan Buddhisme di seluruh Tiongkok utara sehingga bermunculan gagasan fenomena
[Akhir Dharma] yang memedihkan sebagai bukti fakta kedatangan periode Akhir Dharma
seperti yang dijelaskan oleh Buddha. Inilah tren yang terjadi di dalam lingkup Buddhisme
pada masa Dinasti Sui hingga awal Dinasti Tang.

Melihat realita yang ada secara jernih dan mengkritisi penyimpangan yang terjadi
sebelumnya, demi penyesuaian terhadap periode Akhir Dharma dan kondisi makhluk hidup,
maka dikemukakan bentuk Buddhisme baru. Inilah yang merupakan gerakan Buddhisme
periode Akhir Dharma yang meliputi Tiongkok utara, kemudian melewati jalur pegunungan
Taihang (太行山) hingga menggapai wilayah timur dan barat. Tidak lama kemudian, juga
terdapat ajaran Sukhavati (淨土教—Ajaran Tanah Murni) dan Sanjie yang beraktivitas di
kota Chang’an. Mengenai Aliran Sanjie yang dibawakan oleh Biksu Xinxing (信行) dari
Wihara Fazang di Distrik Xiangzhou (相州) telah dijelaskan sebelumnya.

92
Di sini kita akan memperkenalkan perkembangan ajaran Tanah Murni yang
dibawakan oleh Master Daochuo (道綽) dari Wihara Xuanzhong (玄中寺) di Gunung Shibi
(石壁山), Distrik Bingzhou (并州), wilayah cekungan Taiyuan (太原), Provinsi Shanxi (山
西), sebelah barat jalur pegunungan Taihang (太行山).

2. Kebangkitan Ajaran Tanah Murni (Sukhavati)

Seiring dengan masuknya Buddhisme, banyak kitab mengenai tekad Buddha


Amitabha beserta Tanah MurniNya diterjemahkan ke bahasa Tionghoa, sehingga melahirkan
bentuk keyakinan pada kelahiran di alam Sukhavati. Mulai sejak abad ke-5 M, pembuatan
rupang Buddha Amitabha juga berkembang populer.

Di Jepang, saat mazhab Sukhavati berkembang cukup populer pada zaman Kamakura,
karakteristik ajaran Sukhavati dari Tiongkok tersebut pernah dibagi menjadi 3 kategori, yaitu
ajaran Sukhavati dari Master Huiyuan dari Gunung Lu (廬山慧遠), Master Shandao (善導)
dari Wihara Guangming (光明寺), dan Master Cimin Huiri (慈愍慧日). Akan tetapi, di
lingkup Buddhis Tiongkok juga belum tentu tidak membagi ajaran Sukhavati ke dalam tiga
jalur ini. Namun di Tiongkok setelah masa Dinasti Song (趙宋), mazhab Sukhavati melebur
ke berbagai mazhab lainnya dan diberi nama mazhab Lian (蓮宗—Mazhab Teratai) dengan
Master Huiyuan sebagai patriark pertama, dan Master Shandao dari Wihara Guangming di
kota Chang’an pada masa Dinasti Tang sebagai partriark ke-2, di mana mereka sebagai
pewaris lentera ajaran Sukhavati dari Tiongkok. Namun dari sudut pandang Buddhis Jepang,
ajaran Master Shandao bersumber dari Master Daochuo (道綽), sedangkan ajaran Daochuo
bersumber dari Master Tanluan (曇鸞) masa Dinasti Wei Utara. Keyakinan tentang ajaran
Sukhavati berawal dari masa Dinasti Wei-Utara hingga Dinasti Tang, kemudian mencapai
kejayaannya berkat Master Daochuo dan Shandao.

3. Ajaran Sukhavati dari Master Daochuo dan Shandao

Daochuo ( 道 綽 ; 562-645 M) adalah penduduk asal Wenshui ( 汶 水 ), Distrik


Bingzhou, wilayah cekungan Taiyuan, Provinsi Shanxi. Beliau mempelajari kitab Maha

93
Parinirvana Sutra dari seorang guru yang berkompeten. Belakangan ia menetap di Wihara
Xuanzong (玄中寺) di Gunung Shibi (石壁山), dan menemukan prasasti Master Tanluan
beserta karya tulisnya. Faktor inilah yang mendorong beliau menjadi penganut ajaran Tanah
Murni. Hal ini terjadi pada tahun ke-5 dari era Daye (大業; 609 M) masa Kaisar Sui Yangdi
(隋煬帝) saat Daochuo berusia 49 tahun. Setelah menjadi praktisi Sukhavati, beliau memberi
ceramah tentang kitab Amitayur Dhyana Sutra dengan total 200 sesi, dan setiap hari
melafalkan nama Buddha Amitabha sebanyak 70.000 kali, sehingga beliau menjadi seorang
praktisi metode ajaran nianfo (melafal nama Buddha) yang antusias. Kitab Anle Ji (安樂集—
Kumpulan Catatan tentang Sukhavati) sebanyak 2 bab yang ditulis oleh beliau merupakan
ajaran yang beliau serap dari Master Tanluan dari Dinasti Wei-Utara. Ini merupakan kitab
penjelasan khusus tentang metode ajaran nianfo untuk menyambut datangnya zaman Akhir
Dharma dan untuk mereka yang hidup di zaman tersebut. Dalam kitab ini, dengan mengacu
pada Amitayur Dhyana Sutra, dan mengadopsi konsep Jalan Mudah (易行道) dan Jalan Sulit
(難行道) dari Y.A Nagarjuna, serta pandangan Kekuatan Diri Sendiri (自力) dan Kekuatan
Eksternal (他力) dari Master Tanluan, beliau membagi seluruh rangkaian ajaran Buddha
menjadi 2 pintu ajaran, yaitu Pintu Jalan Suci (聖道門) dan Pintu Tanah Murni (淨土門).
Yang dimaksud dengan Pintu Jalan Suci adalah mereka yang memasuki tingkat kesucian di
kehidupan ini dengan mengandalkan Kekuatan Diri Sendiri melalui praktik Jalan Sulit.
Sedangkan Pintu Tanah Murni [Sukhavati] adalah mereka yang [memilih] terlahir di alam
Sukhavati dengan mengandalkan Kekuatan Eksternal dari tekad Buddha Amitabha dengan
cara mempraktikkan Jalan Mudah melalui metode nianfo. Menurut kesimpulan beliau, pintu
ajaran Tanah Murni Sukhavati adalah satu-satunya ajaran yang paling sesuai dengan kondisi
makhluk yang hidup di zaman Akhir Dharma, yaitu masa yang telah melampaui periode
Dharma Sejati dan Dharma Tiruan, atau masa setelah 1.500 tahun wafat Buddha. Dalam
melakukan berbagai ritual dan aktivitas lainnya, beliau menetapkan hanya melafalkan nama
satu Buddha dan menasihati orang untuk fokus pada metode nianfo. Beliau mengembangkan
ajaran Master Tanluan, sekaligus menerapkannya menjadi praktik universal yang menyentuh
ke berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, Daochuo telah melakukan upaya yang
paling besar dalam memberi bimbingan di lapisan masyarakat. Beliau kerap membuat tasbih
dari butiran kayu dan menasihati anggota Sangha maupun umat awam di berbagai daerah
untuk melafal nama Buddha. Kepada para petani dan wanita yang buta huruf, beliau
mengajarkan mereka praktik nianfo dengan cara menghitung dari biji kacang-kacangan kecil.
Cara praktik ini disebut nianfo menggunakan biji kacang. Ini sebagai cara penyebaran metode
94
ajaran nianfo yang disesuaikan dengan kondisi zaman. Alhasil, di wilayah cekungan Shanxi
yang meliputi Taiyuan, Jinyang, dan Wenshui, semua pria dan wanita yang berusia tujuh
tahun ke atas bisa melantunkan nama Buddha Amitabha.

Berdasarkan peninggalan prasasti emas di Wihara Xuanzong diketahui bahwa kabar


reputasi Daochuo sampai ke Kaisar Tang Taizong. Ketika kaisar mengunjungi wilayah
Taiyuan dan Beijing, Daochuo pernah menerima sambutan yang istimewa dari sang kaisar.
Pada tahun ke-19 dari era Zhen’guan (645 M) masa Kaisar Tang Taizong, Daochuo wafat
dalam usia 84 tahun. Ajaran beliau diteruskan oleh muridnya, Shandao, kemudian tersebar
hingga ke ibu kota Chang’an.

Shandao (善導; 613-681 M) lahir di Linzi, Provinsi Shandong (山東-臨淄). Ketika


berkelana ke berbagai daerah, saat melihat lukisan mural tentang tanah murni Sukhavati,
beliau pun menjadi penganut ajaran Sukhavati. Pada era Zhen’guan, beliau mengunjungi
Master Daochuo di Bingzhou, dan menjadi muridnya. Daochuo mengajari beliau tentang
metode ajaran nianfo. Saat menetap di Wihara Wuzhen (悟真寺) yang tenang dan senyap di
Gunung Zhongnan (終南山) beliau memfokuskan diri pada praktik nianfo. Setelah itu beliau
menetap di Wihara Shiji (實際寺) dan Guangming (光明寺) di ibu kota Chang’an untuk
menyebarluaskan ajaran nianfo kepada para anggota Sangha, pejabat dan umat awam. Karya
tulis beliau terdiri atas 5 judul dengan total 9 bab. Karyanya yang paling utama adalah kitab
Guan Wuliangshoufo Jingshu (觀無量壽佛經疏—Komentar atas Amitayur Dhyana Sutra)
sebanyak 4 bab, terdiri atas bab tentang Makna Luhur, bab tentang Makna Pengantar, bab
tentang Makna Kebajikan Tetap, dan bab tentang Makna Kebajikan Acak. Di samping itu,
karyanya yang lain adalah Fashi Zan (法事讚—Pujian Ritual) 2 bab, Wangsheng Lizan (往
生禮讚—Pujian Penghormatan atas Kelahiran [di Sukhavati]), Guan’nian Famen (觀念法門
—Pintu Ajaran Visualisasi dan Pelafalan), dan Bozhou Zan ( 般 舟 讚 —Pujian atas
Pratyutpanna) masing-masing satu bab. Pengkajian dan ceramah atas kitab Amitayur Dhyana
Sutra cukup populer di lingkup Buddhisme masa Dinasti Sui dan Tang. Para sesepuh terkenal
seperti Master Zhiyi ( 智顗 ) dari Mazhab Tiantai, Master Jiaxiang Jizang ( 嘉祥 吉藏 ),
Jingying Huiyuan ( 淨 影 慧 遠 ), masing-masing memiliki karya komentar atas Amitayur
Dhyana Sutra berdasarkan tujuan dan sudut pandang mereka. Mengenai kondisi tanah murni
Sukhavati, ada yang menyimpulkannya sebagai tanah murni kediaman makhluk suci dan
awam, ada pula yang menyimpulkannya sebagai tempat kediaman nirmanakaya Buddha

95
(tubuh jelmaan); Mengenai cara praktik nianfo, ada juga yang membaginya menjadi nianfo
dengan cara visualisasi wujud Buddha dan nianfo dengan cara merenungkan realitas sejati.
Mereka tidak sependapat bahwa makhluk awam yang bodoh dan jahat dapat terlahir di tanah
murni hanya dengan bergantung pada cara praktik melafal nama Buddha. Pada saat itu,
Shandao mengritik pandangan para sesepuh tersebut. Melalui karya Komentar atas Amitayur
Dhyana Sutra yang menjadi doktrin tetapnya hingga sekarang, beliau mengemukakan tanah
murni Sukhavati sebagai kediaman samboghakaya (tubuh berkat Buddha) yang sejati, dan
praktik nianfo melafalkan nama Buddha sebagai cara untuk terlahir di kediaman
samboghakaya Buddha. Beliau dengan jelas mewarisi ajaran tanah murni sebagai tujuan
utama yang dicanangkan oleh Tanluan dan Daochuo dengan mengemukakan metode ajaran
yang disesuaikan dengan kondisi masa sekarang yang berada di zaman akhir Dharma. Lima
Praktik Benar yang dijelaskan dalam kitab tersebut, yaitu Pelantunan, Pengkajian, Persujudan,
Pelafalan Nama, dan Pujian, beserta perumpamaan mengenai dua sungai dan jalur putih
sangatlah populer. Dalam lima karya yang terdiri dari 9 bab, selain kitab komentar tersebut,
penjelasan karya lainnya dibuat sebagai ketetapan puja bakti khusus dan sehari-hari yang
berdasarkan teori ajaran tanah murni. Pujian Penghormatan dalam Sesi Waktu (方時禮贊)
adalah puja bakti sehari-hari yang menggunakan sajak puisi rangkap sebagai ciri utamanya,
ditambah dengan gaya bahasa vernakular yang secara piawai dimasukkan dengan pola
senandung hingga menjadi senandung pujian tanah murni. Master Shandao di samping
menyiarkan ajarannya di kota Chang’an, beliau juga menyalin kitab Amitabha Sutra
sebanyak seratus ribu bab untuk disebarluaskan. Karena itu, beliau juga menulis naskah
Pujian Ritual sebanyak 2 bab yang menjelaskan cara pelantunan. Beliau juga membuat
lukisan mural tentang tanah murni lebih dari 300 buah untuk menghiasi dinding wihara.
Lukisan tersebut menggambarkan tentang situasi pembabaran Dharma oleh Buddha
Amitabha yang dihadiri oleh para makhluk suci yang tak terhingga jumlahnya di tanah murni
Sukhavati. Melalui lukisan mural tentang tanah murni ini, beliau perlihatkan kepada para
wanita dan anak yang buta aksara dan mendorong mereka untuk membangkitkan tekad dan
keyakinan untuk terlahir di tanah murni Sukhavati. Dengan demikian, popularitas Shandao
pun tersebar ke seantero ibu kota. Ketika Maharani Wu Zetian menghibahkan dana tata rias
beliau untuk membangun patung Buddha besar dari batu di Wihara Fengxian (奉先寺) yang
terletak di sisi timur Gua Longmen, beliau juga memerintahkan Shandao untuk mengemban
tugas pengawasan. Master Shandao wafat pada tahun ke-2 dari era Yonglong (永隆; 681 M)
masa Kaisar Tang Gaozong ( 唐 高 宗 ) dalam usia 69 tahun. Beberapa muridnya yang

96
meneruskan ajaran tanah murni dan terus berupaya menyebarluaskan doktrinnya adalah
Huaigan (懷感), Huaiyun (懷惲), dan Jingye (淨業).

4. Cimin – Fazhao - Shaokang

Pada masa Dinasti Tang, sangat banyak biksu agung yang menyebarluaskan ajaran
tanah murni. Biksu Jiacai (迦才) hidup pada masa sedikit lebih awal dari Shandao, beliau
adalah penyusun kitab Anle Ji (安樂集) karya Daochuo, dan meneruskan pengajaran sistem
ajaran tanah murni dengan menulis kitab Jingtu Lun (淨土論—Risalah Tanah Murni). Murid
Shandao, yaitu Huaigan menulis sebuah kitab berjudul Shi Jingtu Qunyi Lun (釋淨土群疑論
—Risalah Penjelasan Berbagai Keraguan pada Tanah Murni) untuk menjawab pertanyaan
seputar masalah tanah murni yang diajukan oleh lingkup Buddhisme masa itu.

Huiri (慧日; 680-748 M); karena pertemuannya dengan Master Yijing (義淨) yang
kembali dari India, beliau pun bertekad untuk pergi ke India mencari Dharma. Pada tahun ke-
2 dari era Chang’an ( 長 安 ; 702 M) masa pemerintahan Maharani Wu Zetian, beliau
berangkat ke India melalui jalur laut. Di sana beliau mengunjungi tokoh-tokoh biksu terkenal
dari berbagai kerajaan demi mencari Dharma. Di India Utara, beliau memperoleh patung
Avalokitesvara, dan menerima pintu ajaran tanah murni. Pada tahun ke-7 dari era Kaiyuan
(719 M) masa pemerintahan Tang Xuanzong (唐玄宗), beliau tiba kembali di Tiongkok.
Dengan membawa pulang rupang Buddha dan gulungan teks Sanskerta, beliau
mempersembahkannya kepada Kaisar Xuanzong. Beliau pun dianugerahi gelar Tripitaka
Master Cimin (慈愍—Cinta Kasih dan Simpatik). Beliau mencari Dharma di India selama 18
tahun. Setelah kembali ke Tiongkok, beliau menulis karya Wangsheng Jingtu Ji (往生淨土集
—Antologi Kelahiran di Tanah Murni) atau disebut juga Cibei Ji (慈悲集—Antologi Welas
Asih), dan sepenuh hati menyebarluaskan ajaran keyakinan pada tanah murni Sukhavati.
Teori ajaran dalam karya beliau memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan teori
Daochuo dan Shandao. Menurut beliau, semua rangkaian ajaran Buddha yang mencakup
seluruh bentuk praktik dan ritual, tiada satu pun yang boleh dipilah-pilah berdasarkan tingkat
penilaiannya. Beliau menganggap bahwa semua ajaran itu merupakan bagian dari praktik
demi terlahir di tanah murni, tiada satu pun yang boleh diabaikan. Dalam lingkup Buddhis
masa itu, keyakinan pada tanah murni telah sedang diserap ke berbagai aliran lainnya dan

97
kehidupan sehari-hari para anggota Sangha. Teori ajaran Cimin Huiri mengenai rangkaian
praktik yang mengarah pada kelahiran tanah murni memang ditujukan untuk fenomena yang
terjadi pada berbagai aliran saat itu yang meleburkan praktik mereka dengan metode nianfo,
dan ia telah mempersembahkan teori-teorinya yang memiliki acuan tersebut kepada
fenomena yang sedang terjadi saat itu. Inilah yang merupakan karakteristik dari ajaran tanah
murni Sukhavati di Tiongkok masa belakangan dari sejak akhir Dinasti Tang, Lima Dinasti
(五代) hingga Dinasti Song, Yuan (元), dan Ming (明). Sumber teori ini berasal dari kitab
Antologi Kelahiran di Tanah Murni karya Huiri. Di Jepang, ia disebut sebagai metode ajaran
nianfo aliran Jimin-ryu (Aliran Cimin).

Fazhao (法照; ?-821 M) mewarisi ajaran dari Nanyue Chengyuan (南岳承遠). Beliau
pergi ke Gunung Wutai di Provinsi Shanxi(山西五台山), dan mendirikan Wihara Zhulin (竹
林寺). Saat menetap di Wihara Pratyutpanna Panggung Amitabha, beliau menulis naskah
Pujian Ritual Singkat Nianfo Lima Sesi Tanah Murni (淨土五會念佛略法事儀讚本), dan
mencetuskan Metode Nianfo Lima Sesi (五會念佛法門). Karena terinspirasi oleh kutipan
dalam kitab Maha Sukhavativyuha Sutra : “Saat angin lembut bertiup, muncul lima jenis
suara dengan simfoni yang menakjubkan saling harmoni secara alami,” maka beliau
mengikuti lima nada dengan alur lambat dan cepat secara bertahap untuk melantunkan nama
Buddha Amitabha. Pada sesi pertama, dengan suara datar melantunkan Namo Amituofo
dengan perlahan; Pada sesi kedua, dengan suara datar meninggi juga dilantunkan secara
perlahan; Pada sesi ketiga tidak lambat maupun tidak cepat; Pada sesi keempat, berangsur-
angsur cepat; Pada sesi kelima, melantun cepat dengan hanya menyebut empat suku kata
Amituofo. Fazhao menyebarluaskan teknik Nianfo Lima Sesi dari Gunung Wutai hingga ke
wilayah Taiyuan dan Chang’an, dan memberi pengaruh yang cukup dalam. Inilah yang juga
disebut sebagai Yama-no-nembutsu (Nianfo di gunung) di Jepang, di mana teknik ini dibawa
oleh Ennin (Jikaku Daishi) saat mengunjungi Wihara Zhulin di Gunung Wutai dan
mengajarkannya kembali di Gunung Hiei, Jepang.

Shaokang (少康; ?-805 M), pada tahun pertama dari era Zhenyuan (貞元) masa
pemerintahan Kaisar Tang Dezong (唐德宗), tatkala mengunjungi Wihara Baima (白馬寺) di
kota Luoyang, beliau melihat penampakan cahaya memancar dari kitab suci di ruang
Dharmasala. Setelah diperhatikan, itu adalah kitab Xifang Huadao Wen (西方化導文—
Naskah Bimbingan Sukhavati) karya Master Shandao. Kemudian karena mengunjungi ruang

98
memorial Shandao, Yingtang (影堂) dan menerima pesan spiritual dari Shandao maka beliau
pun menjadi praktisi Sukhavati dengan tekad yang penuh semangat. Setelah mendapatkan
relik Master Shandao, beliau mendirikan pusat kontemplasi tanah murni di Muzhou, Provinsi
Zhejiang (浙江睦州 ), dan mengajarkannya kepada para penduduk. Karena karakteristik
penyebaran ajaran tanah murni Fazhao dan Shaokang sangat mirip dengan gaya pengajaran
Shandao di Chang’an, maka mereka dijuluki sebagai Shandao belakangan. Shaokang menulis
karya berjudul Wangsheng Xifang Jingtu Ruiying Shanzhuan (往生西方淨土瑞應删傳—
Penggalan Kisah Istimewa Kelahiran di Tanah Murni Barat Sukhavati) sebanyak 1 bab. Kitab
ini mengisahkan riwayat mereka yang bertekad terlahir di tanah murni Sukhavati. Ini
merupakan awal dibentuknya kumpulan kisah kelahiran tanah murni masa belakangan yang
populer. Pada masa Dinasti Sui dan Tang, keyakinan pada tanah murni berpusat dan
berkembang populer di Tiongkok utara, kemudian menyebar ke wilayah Tiongkok selatan.
Setelah melewati masa Lima Dinasti, jejak tokoh penggali fondasi kejayaan ajaran tanah
murni di Tiongkok selatan yang tidak boleh dilupakan adalah Master Shaokang.

5. Maraknya Pengkajian Vinaya

Sejak dahulu, Buddhisme sangat menitikberatkan tiga pelatihan dasar, yaitu Sila
(Disiplin moral), Samadhi (Meditasi), dan Prajna (Kebijaksanaan). Anggota Sangha
menjalani peraturan Vinaya sebagai fondasi dari pelatihan Samadhi, dan melalui pelatihan
Samadhi baru dapat mengembangkan Prajna. Oleh karena itu, tiga pelatihan (Sila, Samadhi,
Prajna) adalah proses dari pelatihan jalan Kebuddhaan. Namun di Tiongkok, karena didahului
oleh pengembangan Prajna melalui kajian kitab suci yang telah diterjemahkan ke bahasa Han,
kemudian sehubungan dengan pengembangan Prajna, baru mendapatkan pelatihan Sila dan
Samadhi, maka tiga pelatihan tersebut menjadi saling berdiri sendiri. Sesuai dengan fokus
kajian jenis pelatihannya, maka terbentuklah aliran masing-masing. Atas dasar itulah, maka
di Tiongkok harus menekankan [kembali] pentingnya pengetahuan teoritis dan praktik yang
dilakukan secara bersamaan, serta pemahaman dan pelatihan yang berjalan selaras untuk
mengantisipasi ketimpangan tiga pelatihan tersebut. Akan tetapi, dalam sejarah Buddhisme di
India, karena Vinaya yang ditetapkan oleh Buddha dianggap sebagai otoritas utama, pada
satu sisi terdapat tuntutan untuk memiliki kelengkapan teks, dan saat bersamaan setelah
bersandar padanya kemudian berkembang menjadi sekte-sekte. Sesampai masa Buddhisme

99
sektarian, karena masing-masing sekte memiliki warisan kanon Vinaya yang lengkap maka
sekte tersebut tumbuh dengan cukup kuat, seperti Sarvastivada, Dharmaguptaka, Mahisasaka,
Mahasanghika, dan Kasyapiya. Sedangkan Buddhisme Tiongkok mulai ada aktivitas
komunitas Sangha adalah sekitar awal abad ke-5 M. Sebagai tuntutan kebutuhan komunitas
Sangha, maka mulai ada terjemahan teks kanon Vinaya dari berbagai sekte, seperti
Sarvastivada-vinaya (十誦律—Sepuluh Lantunan Vinaya), Dharmagupta-vinaya (四分律—
Empat Bagian Vinaya), Mahisasaka-vinaya ( 五 分 律 —Lima Bagian Vinaya), dan
Mahasanghika-vinaya ( 僧 祇 律 ). Lantas, dengan mengatakan kitab tersebut didatangkan
sebagai tujuan penyebaran dari sekte-sekte di India, sebenarnya ia lebih sebagai bahan
rujukan bagi Buddhisme Tiongkok saat menghadapi berbagai masalah seputar pendirian
komunitas Sangha dan tata pengelolaannya. Ini juga merupakan awal mula pengkajian
Vinaya di Tiongkok, karena kajian terhadap kanon Vinaya berbagai sekte tersebut sama
sekali tidak dikekang oleh sisi tradisi, sehingga mereka dapat bebas melakukan penyeleksian.

Di masa Enam Dinasti, wilayah Tiongkok utara menggunakan Mahasanghika-vinaya,


sedangkan wilayah selatan menggunakan Sarvastivada-vinaya. Ada juga yang mengacu pada
Dharmagupta-vinaya saat menerima Sila. Kemudian dalam aktivitas sehari-hari di wihara
mengacu pada Sarvastivada-vinaya dan Mahasanghika-vinaya. Di masa Dinasti Wei-Utara,
penerus garis silsilah Facong (法聰) dari Gunung Wutai adalah Daofu (道覆), Huiguang (慧
光), Daoyun (道雲), Zhishou (智首). Dari merekalah kajian Dharmagupta-vinaya menjadi
populer, dan perkembangan Mahasanghika-vinaya pun mengalami hambatan hingga
sekarang. Terlebih lagi, berkat upaya Master-Vinaya Guangtong (光統律師; 468-537 M)
alias Master Huiguang ( 慧 光 ), menjadikan isi kitab Dharmagupta-vinaya lebih mudah
dipahami dibandingkan dengan kitab vinaya lainnya. Oleh sebab itu, hingga masa awal
Dinasti Tang, telah muncul 3 aliran vinaya yang mendominasi pengkajian Dharmagupta-
vinaya, yaitu Nanshan (南山), Xiangbu (相部), dan Dongta (東塔). Kebetulan saat itu adalah
masa di mana pemerintahan Dinasti Tang sedang menata sistem kekuasaan sentralistik yang
memiliki kaitan erat dengan kebijakannya terhadap perkembangan Buddhisme, maka
Dharmagupta-vinaya pun menyebar ke seluruh tubuh Buddhisme Tiongkok, dan
memperkokoh posisi Vinaya.

6. Tiga Aliran Dharmagupta-vinaya

100
Fali (法礪; 569-635 M) dari Wihara Riguang (日光寺) di Distrik Xiangzhou (相州;
Provinsi Henan (河南)) adalah penerus garis silsilah Daoyun (道惲)— di mana Daoyun
adalah murid Master Guangtong (Huiguang). Usia beliau lebih tua 27 tahun dari Master
Daoxuan ( 道 宣 ). Beliau menulis kitab Sifen Lüshu ( 四 分 律 疏 —Komentar atas
Dharmagupta-vinaya) dan Jiemo Shu (羯磨疏—Komentar atas Karmavacana) yang menjadi
doktrin utama komunitasnya, sehingga terbentuk menjadi aliran vinaya yang disebut Mazhab
Xiangbu (相部宗)— nama alirannya mengacu pada nama tempat kediamannya, Distrik
Xiangzhou. Murid beliau di antaranya adalah Manyi (滿意) dan Huaisu (懷素). Manyi
memiliki murid bernama Dingbin (定賓) yang menulis karya komentar Sifen Lüshu Shizong
Yiji (四分律疏飾宗義記—Catatan Makna Utama pada Komentar atas Dharmagupta-vinaya).
Dan cucu muridnya, Tanyi (曇一) menulis karya komentar Sifen Lüshu Fazhengyi Ji (四分律
疏發正意記—Catatan Makna Benar pada Komentar atas Dharmagupta-vinaya). Sedangkan
Huaisu menjadi pendiri mazhab Dongta (東塔).

Daoxuan (道宣; 596-667 M) adalah penduduk asal Dantu, Provinsi Jiangsu (江蘇省
丹徒). Saat awal beliau tinggal di kota Chang’an. Beliau menerima penabhisan penuh dari
cucu murid Guangtong, Zhishou ( 智 首 ), dan mempelajari Vinaya darinya. Setelah
pembelajarannya mencapai level tinggi, beliau berpindah ke Wihara Fengde (豐德寺) di
Gunung Zhongnan Shan (終南山). Ketika Wihara Ximing (西明寺) di kota Chang’an selesai
direnovasi, beliau diangkat sebagai kepala wihara. Dalam upaya membangun kejayaan ajaran
Vinaya, beliau menulis karya Sifen Lü Xingshi Chao (四分律行事鈔—Catatan Penerapan
Dharmagupta-vinaya), Sifen Lü Jiemo Shu (四分律羯磨疏—Komentar atas Karmavacana
Dharmagupta-vinaya), dan Sifen Lü Jieben Shu (四分律戒本疏—Komentar atas Esensi Sila
Dharmagupta-vinaya). Ketiga kitab ini disebut sebagai Tiga Kitab Utama Mazhab Vinaya.
Bila ditambah dengan 2 karya lainnya, yaitu Shiyi Bini Yichao (拾遺毘尼義鈔—Catatan
Tambahan Makna Vinaya) dan Biqiuni Chao (比丘尼鈔—Catatan tentang Biksuni) maka
disebut Lima Kitab Besar Mazhab Vinaya yang merupakan karya pencapaian besar Mazhab
Vinaya, sehingga beliau dihormati sebagai Guru Vinaya Nanshan (Gunung Zhongnan-shan),
sedangkan alirannya disebut Mazhab Nanshan. Pada masa tua, beliau menetap di Wihara
Jingye ( 淨 業 寺 ) di Gunung Zhongnan, dan mendirikan upasampada-simamandala
(panggung penahbisan sila), sekaligus menulis karya Guanzhong Chuangli Jingye Jietan

101
Tujing (關中創立淨業戒壇圖經—Skematik Pembuatan Upasampada Simamandala Wihara
Jingye dari Guanzhong).

Sampai generasi seterusnya, pusat penahbisan Sila bagi orang Tiongkok yang ingin
memasuki kehidupan monastik dan sistem ajaran Dharmagupta-vinaya dari beliau telah
menjadi peraturan standar penahbisan Sila anggota Sangha Tiongkok. Master Daoxuan wafat
pada tahun ke-2 dari era Qianfeng (乾封; 667 M) masa pemerintahan Kaisar Tang Gaozong
(唐高宗) dalam usia 72 tahun. Beliau tidak hanya memberi sumbangsih besar pada ajaran
Vinaya. Dengan wawasan luas yang dimilikinya, beliau juga pernah menjadi bagian dari tim
penerjemah yang membantu Master Xuanzang (玄奘) dalam menerjemahkan teks kitab suci.
Beliau menata kembali katalog kitab suci dan menyusunnya menjadi kitab dengan judul
Datang Neidian Lu (大唐内典錄—Kalatog Kitab Suci Buddha Negara Tang). Kemudian
terhadap Taoisme yang memilki pengaruh kekuasaan karena hubungannya dengan keluarga
istana pada masa awal Dinasti Tang, maka demi menegakkan kebenaran sejati Buddhisme,
Daoxuan menulis kitab Gujin Fodao Lunheng (古今佛道論衡—Pertentangan Buddhisme
dan Taoisme Dahulu Hingga Sekarang) dan Guang Hongming Ji (廣弘明集—Lanjutan
Antologi Penyiaran dan Penerangan Ajaran), sehingga ia disebut memiliki pencapaian besar
sebagai pengumpul catatan sejarah berkenaan dengan upaya melindungi Dharma. Kemudian
dalam upaya menindaklanjuti penyusunan kitab sejarah Buddhisme yang pernah dilakukan
oleh Sengyou (僧佑) dari Dinasti Liang (梁) dan Huijiao (慧皎), beliau pun menyusun kitab
Shijia Fangzhi ( 釋 迦 方 志 —Catatan Lingkup Sakyamuni), Shishi Luepu ( 釋 氏 略 譜 —
Ringkasan Kisah Keluarga Sakya), Sanbao Gantong Lu (三寶感通錄— Catatan Kontak
Spiritual Tiga Permata), Xu Gaoseng Zhuan (續高僧傳—Lanjutan Riwayat Biksu Agung).
Karena telah mempersembahkan literatur yang berkenaan dengan penelitian sejarah
Buddhisme yang sangat berharga seperti katalog kitab suci, sejarah biografi, dan kumpulan
dokumentasi lainnya, maka beliau diapresiasi sebagai tokoh besar sejarawan Buddhisme. Dan
oleh karena itu pula, dalam sejarah Buddhisme Tiongkok, para guru Vinaya sejak dahulu
banyak menghasilkan karya tulis yang berkenaan dengan literatur sejarah seperti biografi
biksu/ni, katalog kitab suci, dan kumpulan dokumentasi. Mengenai gaya hidup Buddhis yang
sederhana dan menitikberatkan semangat keselarasan antara pemahaman teoritis dan praktik,
karena adanya pola pemikiran historistik yang kuat untuk bercermin pada masa lalu demi
masa sekarang yang lebih baik.

102
Daoxuan memiliki banyak murid berbakat yang turut menyebarluaskan mazhab
vinaya Nanshan ke seluruh negeri, di antaranya adalah Zhouxiu ( 周 秀 ), Daci ( 大 慈 ),
Wen’gang (文綱), Rongji (融濟), dan Zhiren (智仁) dari kerajaan Silla (Korea). Sehubungan
dengan aktivitas murid Wen’gang, yaitu Hongjing (弘景) dan Dao’an (道岸) maka Mazhab
Nanshan juga mencapai kejayaannya di wilayah Tiongkok selatan setelah masa pertengahan
Dinasti Tang. Penerima ajaran dari Hongjing adalah Jianzhen (鋻真; 687-763 M). Bahkan
Jianzhen menyebarkan Mazhab Vinaya Nanshan hingga ke Jepang, dan mendirikan
upasampada-simamandala di sana untuk menyebarkan sistem peraturan vinaya.

Pendiri Mazhab Dongta adalah Huaisu (懷素; 624-697 M). Pada dasarnya beliau
adalah murid Fali, pendiri Mazhab Xiangbu. Usia beliau lebih muda 29 tahun dari Daoxuan,
sang pendiri mazhab vinaya Nanshan. Awalnya beliau belajar di bawah bimbingan Master
Xuanzang, namun di kemudian hari beliau berguru kepada Fali untuk mempelajari
Dharmagupta-vinaya. Karena menemukan adanya kekurangan dalam karya komentar Vinaya
dari Fali, maka beliau pun menulis Sifen Lü Kaizong Ji (四分律開宗記—Catatan Pembukaan
Ajaran Dharmagupta-vinaya) untuk mengemukakan pandangannya yang baru. Oleh karena
itu, kitab komentar Fali disebut komentar lama, dan komentar Huaisu disebut komentar baru.
Berhubung beliau menetap di Stupa Timur (東塔—Dongta) di Wihara Chongfu (崇福寺),
kota Chang’an, maka alirannya diberi nama Mazhab Dongta. Mengenai komentar baru beliau,
Dingbin memberi sanggahannya melalui karya Pomizhi Ji ( 破 迷 執 記 —Catatan
Menghancurkan Kemelekatan) untuk melindungi pandangan Fali dari Mazhab Xiangbu.
Dengan demikian, telah terjadi perdebatan ajaran Vinaya antara kelompok komentar lama
dan komentar baru. Siswa dari alian Xiangbu, Fashen (法慎) menerima pandangan komentar
baru dan mempertahankan sudut pandangnya, namun beliau tidak memiliki garis silsilah yang
jelas. Pada tahun ke-13 dari era Dali ( 大曆 ; 778 M), Kaisar Tang Daizong ( 唐 代宗 )
mengumpulkan para ahli Dharmagupta-vinaya dari ketiga aliran tersebut agar mereka dapat
dipersatukan. Dari pertemuan ini menghasilkan kitab Qianding Sifen Lü Shu (僉定四分律疏
— Pengesahan Komentar Dharmagupta-vinaya) sebanyak 10 bab, namun ketiga aliran
tersebut tetap saja tidak menghasilkan pandangan yang sama. Alasan utamanya adalah karena
konteks pemahaman substansi Sila dari ketiga aliran tersebut saling berbeda.

103
Pada tahun ke-2 dari era Xianheng (咸亨; 671 M) masa pemerintahan Kaisar Tang
Gaozong, ketika Yijing (義淨; 635-713 M) berusia 37 tahun, beliau berangkat ke India
melalui jalur laut selatan. Beliau pernah mengenyam pendidikan di Universitas Nalanda
selama 10 tahun. Ketika kembali ke Tiongkok pada tahun pertama dari era Zhengsheng (証聖;
695 M), beliau membawa kembali berbagai teks bahasa Sanskerta, di antaranya adalah kitab
vinaya dari sekte Mulasarvastivada. Saat persinggahannya di lautan selatan, beliau menulis
kitab Datang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan (大唐西域求法高僧傳—Riwayat Biksu Agung
Mencari Dharma ke Negeri Barat Masa Dinasti Tang) dan Nanhai Jigui Neifa Zhuan (南海寄
歸内法傳—Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan). Kitab tersebut ia
kirim terdahulu melalui kapal yang melakukan perjalanan kembali ke Tiongkok. Setelah ia
sendiri pulang ke Tiongkok, beliau menerjemahkan semua teks kitab vinaya baru,
Mulasarvastivada-vinaya. Sebagai perkembangan dari satu garis sekte yang sama dengan
kitab Sarvastivada-vinaya hasil terjemahan Punyatara dan Vimalaksa pada abad ke-5 M,
kitab vinaya terjemahan baru dari Yijing ini merupakan sumber literatur yang sangat berharga.
Akan tetapi, meskipun Yijing telah mengerahkan usaha yang keras dalam hidupnya untuk
menerjemahkan kitab Vinaya baru, tetap saja tidak mampu membawa angin perubahan pada
ajaran Vinaya di lingkup Buddhisme Dinasti Tang. Karena dalam sistem perundangan Dinasti
Tang, dari proses penahbisan samanera yang telah memasuki usia dewasa hingga memasuki
simamandala untuk menerima upasampada, telah mengacu pada formula Dharmagupta-
vinaya yang posisinya sudah tak tergoyahkan dalam lingkup Buddhisme Tiongkok.

104
Bab IX Buddhisme Dinasti Tang (3)

—Mazhab Huayan dan Chan

Mazhab Huayan ( 華嚴宗) sebagai aliran yang saling ‘bersaing’ dengan Mazhab
Tiantai (天台宗), sama-sama merupakan jalan yang digunakan untuk memahami sistem
pemikiran Buddhisme Tiongkok. Kedua aliran ini telah melampaui filsafat Buddhisme India,
sehingga tebentuk menjadi sistem doktrin tersendiri bagi bangsa Tiongkok. Mazhab Tiantai
terletak di Gunung Tiantai (天台山) sebagai lokasi pusat perkembangannya, sedangkan
Mazhab Huayan terletak di Gunung Wutai (五台山). Ajarannya memberi pengaruh yang
dalam kepada para penganutnya karena mereka hidup di dalam linkungan sistem pemikiran
tradisional bangsa Tiongkok. Alhasil, terutama bagi Mazhab Huayan, ia memiliki peran yang
sangat besar atas terbentuknya Neo Konfusianisme (宋學) dan sistem pemikiran Mazhab
Chan (禪宗) .

1. Pendirian Mazhab Huayan

Jika di Tiongkok selatan terdapat Mazhab Tiantai yang bersandar pada kitab
Saddharmapundarika Sutra untuk menghimpun seluruh rangkaian ajaran Buddha, maka di
belahan Tiongkok utara terdapat tokoh pengemban tradisi Buddhisme yang bersandar pada
kitab Avatamsaka Sutra ( 華 嚴 經 —Huayan Jing) untuk menghimpun seluruh rangkaian
ajaran Buddha, yaitu Master Xianshou ( 賢 首 ) alias Fazang ( 法 藏 ) dari Dinasti Tang.
Mengenai kajian Avatamsaka Sutra, hal ini sudah dilakukan sejak sangat awal. Ketika
Buddhabhadra ( 覺 賢 ; 359-429 M) dari Dinasti Jin-Timur ( 東 晉 ) menerjemahkan
Avatamsaka Sutra versi 60 bab, telah ada pengkajian terhadap kitab ini. Ada juga yang
mengambil salah satu bagian dari Sutra ini, Dasabhumika Sutra (十地經), sebagai objek
kajiannya, yaitu dilakukan oleh Mazhab Dilun (地論宗) di Tiongkok utara, sehingga juga
memicu perkembangan doktrin Huayan, dengan banyak bermunculan tokoh-tokoh peneliti
105
yang berbakat, yang mana tokoh utamanya adalah Huiguang (慧光) dari Dinasti Qi-Utara (北
齊). Sehubungan dengan karakteristik rasionalitas mereka yang kuat, maka nuansa doktrinasi
skolastik mereka juga sangat kental hingga akhirnya terlihat kemunculan Mazhab Huayan
(Avatamsaka).

Menurut tradisi umum Buddhisme Tiongkok, terdapat 5 patriark Mazhab Huayan.

Patriark I – Dushun (杜順; 557-640 M). Beliau lahir di kawasan Chang’an, hidup
satu zaman dengan Mahaguru Tiantai ( 天台 大師 ), dan kerap mempraktikkan meditasi.
Karena tidak puas dengan karakter pembelajaran Dharma masa itu, maka melalui pemahaman
transendennya atas Avatamsaka Sutra, beliau menulis karya Wujiao Zhiguan (五教止觀—
Samatha Vipasyana Lima Ajaran) untuk mengungkapkan metode praktik vipasyana beliau
dalam memasuki Dharma-dhatu. Beliau juga menulis kitab Fajie Guanmen (法界觀門—
Metode Vipasyana Dharma-dhatu) dengan menyusun dan merangkum doktrin Avatamsaka
Sutra ke dalam 3 jenis vipasyana. Beliau adalah seorang pengkotbah doktrin baru, juga
seorang tokoh agama yang menjalankan praktik nyata, serta memiliki reputasi moral yang
sangat tinggi, sehingga Kaisar Tang Taizong ( 唐太宗) memiliki keyakinan yang tinggi
padanya.

Patriark II – Zhiyan (智儼 ; 602-668 M). Beliau memasuki kehidupan monastik


melalui Master Dushun, dan mempelajari berbagai kitab Sutra dan karya komentar.
Khususnya saat di bawah bimbingan Zhizheng (智正) dari Wihara Zhixiang (至相寺), beliau
mempelajari Avatamsaka Sutra. Kemudian di bawah perlindungan Kaisar Tang Gaozong (唐
高宗), beliau memfokuskan pengkajian Avatamsaka Sutra dan Mahayana-samgraha Sastra
(攝大乘論), lalu menghasilkan beberapa karya seperti Huayan Jing Souxuan Ji (華嚴經搜玄
記—Catatan Investigasi Makna Luhur Avatamsaka Sutra), Huayan Jing Kongmu Zhang (華
嚴經孔目章—Penjelasan Arti Berbagai Istilah dalam Avatamsaka Sutra), Huayan Wushi Yao
Wenda ( 華 嚴 五 十 要 問 答 —Lima Puluh Tanya Jawab Avatamsaka Sutra). Kitab-kitab
tersebut telah memberikan teori tambahan terhadap metode vipasyana Dushun hingga
terbentuk menjadi karakteristik Mazhab Huayan dan memperkokoh fondasi pendirian aliran
ini.

106
2. Fazang; Chengguan; Zongmi

Patariark III – Fazang ( 法 藏 ; 643-712 M). Beliau lahir di Chang’an. Demi


memahami makna luhur dan dalam yang tersirat dalam Avatamsaka Sutra, beliau dengan
masih status perumah tangga menjadi siswa Zhiyan. Setelah menjadi biksu, Maharani Wu
Zetian (武則天) mengambil Trisarana (Tiga Perlindungan) melalui beliau di Wihara Taiyuan
(太原寺). Padahal saat dicukur rambutnya, beliau telah berusia 28 tahun. Di Wihara Taiyuan,
beliau diminta untuk memberi ceramah tentang Avatamsaka Sutra sehingga mendapatkan
apresiasi dari sang maharani Wu yang kemudian memberinya gelar kehormatan Mahaguru
Xianshou (賢首—Kemuliaan Terunggul). Beliau pernah menjadi peserta penerjemahan kitab
Avatamsaka Sutra (teks baru)yang diselenggarakan oleh Sikshananda. Karena itu beliau
diinstruksikan untuk menerima Wihara Foshouji ( 佛 授 記 寺 ) di Luoyang, dan Aula
Changsheng ( 長 生 殿 ) di dalam lingkup istana sebagai tempat memberi ceramah kitab
terjemahan baru Avatamsaka Sutra. Di bawah perlindungan Maharani Wu Zetian, Mazhab
Huayan berkembang dengan marak. Fazang memberi ceramah Avatamsaka Sutra hingga
lebih dari 30 kali, dan banyak menghasilkan karya tulis, di antaranya Tanxuan Ji (探玄記—
Catatan Pencarian Keluhuran), Wujiao Zhang (五教章—Naskah Lima Ajaran), Qixin Lun
Yiji (起信論義記—Catatan Makna Mahayana Sraddhotpada-sastra), Huayan Jing Zhuanji
(華嚴經傳記—Catatan Kisah Avatamsaka Sutra), dan sebagainya dengan total mencapai
lebih dari 30 judul, dan 60 bab lebih. Ini adalah pencapaian besar Mazhab Huayan yang
bahkan mampu bersaing dengan Mazhab Faxiang (法相宗) yang sangat tersohor pada saat itu,
dengan menegakkan doktrin Ekayana-nya. Fazang wafat pada usia 70 tahun di Wihara
Dajianfu (大薦福寺) di Chang’an, pada tahun pertama dari era Xiantian (先天; 712 M) masa
pemerintahan Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗). Setelah kewafatan beliau, meskipun sempat
terjadi penyimpangan yang memutus jalur doktrin utama Mazhab Huayan, namun muncul
patriark ke-4 - Mahaguru Qingliang (清涼大師) alias Chengguan (澄觀) yang berhasil
memulihkannya kembali ke jalur yang benar.

Chengguan (738-839 M) lahir berselang 27 tahun setelah kewafatan Fazang. Beliau


mempelajari semua ajaran Buddha dari berbagai guru kompeten. Di Wihara Tianzhu (天竺寺)
yang terletak di Qiantang (錢塘; Hangzhou (杭州), Provinsi Zhejiang (浙江), beliau belajar
doktrin Huayan di bawah bimbingan Fashen (法詵). Beliau hidup di masa yang bertepatan

107
dengan era pemulihan Mazhab Tiantai oleh Jingxi Zhanran (荊溪湛然), dan juga masa di
mana Mazhab Chan sedang berangsur-angsur menggapai kejayaan-nya. Karena itu,
pemikiran beliau juga terpengaruhi oleh kondisi saat itu dengan harapan dapat menyelaraskan
ajaran Chan dan aliran filsafat ( 教 —Jiao), serta mengasimilisi ajaran Tiantai. Hal ini
merefleksikan bahwa Buddhisme Tiongkok masa itu telah muncul kecenderungan asimilasi
berbagai aliran.

Patriark V – Zongmi (宗密; 780-841 M), selain mewarisi garis silsilah Chengguan
dan menyiarluaskan doktrin ajaran Huayan, beliau juga mendalami ajaran Chan dengan
menulis pengantar Chanyuan Zhuquan Jidu Xu ( 禪 源 諸 詮 集 都 序 —Kata Pengantar
Kumpulan Berbagai Penjelasan Sumber Chan) yang mengemukakan tentang keselarasan
antara Mazhab Chan dan aliran filsafat (教;Huayan, Tiantai, Faxiang). Atas fenomena ini
beliau telah meletakkan fondasi dasar bagi Buddhisme masa akhir Dinasti Tang hingga
setelah Dinasti Song (宋). Beliau juga menulis kitab Yuanren Lun (原人論—Risalah Asal
Usul Manusia), ini merupakan kitab yang ditulis dari sudut pandang Buddhisme untuk
menjelaskan secara praktis berkenaan dengan pandangan umum Taoisme dan Konfusianisme.
Kitab Yulanpen Jingshu (盂蘭盆經疏—Komentar atas Ulambana Sutra) yang ditulis beliau
adalah untuk merekonsiliasi antara Buddhisme dan konsep persembahyangan leluhur dan
bakti dalam budaya Tionghoa serta penjelasan mengenai perbedaannya dengan Buddhisme.
Di samping itu juga terdapat kitab Xin Huayan Hejing Lun ( 新 華 嚴 合 經 論 —Risalah
Gabungan Sutra Baru Avatamsaka), Yuanjue Jing Dashu (圓覺經大疏—Komentar Panjang
Atas Mahavaipulya-purnabuddha Sutra), Sifen Lü Shu ( 四 分 律 疏 —Komentar Atas
Dharmagupta-vinaya) dengan total 30 judul lebih. Beliau wafat di usia 62 tahun pada tahun
pertama dari era Huichang (841 M) masa pemerintahan Tang Wuzong (唐武宗). Dalam
sekejap setelah kewafatan beliau, datanglah peristiwa bencana Dharma era Huichang. Setelah
itu juga memasuki masa pergolakan antara Dinasti Tang dan Lima Dinasti (五代), maka
Buddhisme pun menjadi sulit berkembang.

3. Klasifikasi Ajaran dalam Huayan

Terhadap seluruh isi rangkaian ajaran Buddha dan bentuk pengajaranNya, Fazang

108
mengklasifikannya dari aspek dangkal hingga dalam secara bertingkat menjadi ‘Lima Ajaran
dan Sepuluh Pandangan (五教十宗)’. Dan ini sebagai klasifikasi tandingan dengan sistem
klasifikasi ‘Lima Periode dan Delapan Ajaran (五時八教)’ dari Mazhab Tiantai. Jadi beliau
telah meletakkan otoritas doktrin Avatamsaka Sutra ke level tertinggi. Berdasarkan praktik
vipasyana dari Dushun, Lima Ajaran yang dimaksud adalah Ajaran Hinayana (小乘教),
Ajaran Awal Mahayana ( 大 乘 始 教 ), Ajaran Akhir Mahayana ( 大 乘 终 教 ), Ajaran
Langsung (頓教 ), dan Ajaran Sempurna (圓 教 ). Kemudian Fazang mengategorisasinya
menjadi bagian dari ekspresi pemaknaan ajaran. Mengenai Sepuluh Pandangan, ia
mengklasifikasikannya berdasarkan aspek prinsipil. Ini merupakan karakteristik pengajaran
Fazang. Jika bicara dari sisi latar belakang sejarah, klasifikasi Lima Ajaran dan Sepuluh
Pandangan merupakan hasil adopsi dari sistem klasifikasi ajaran yang dicetuskan oleh
Huiguang (慧光) dari Mazhab Dilun (地論宗), yaitu Tiga Ajaran dan Empat Pandangan (三
教四宗). Tiga Ajaran tersebut adalah Ajaran Langsung (頓教), Ajaran Bertahap (漸教),
dan Ajaran Sempurna (圓教), sedangkan Empat Pandangan adalah Sebab dan Kondisi (因緣),
Nama Palsu (假名), Fenomena Kebohongan (誑相). Dari adopsi pengklasifikasian inilah
yang kemudian dikembangkan oleh Fazang. Sebagaimana dikatakan oleh Chengguan, “Yang
belakangan lebih dalam daripada yang awal.”

Lima Ajaran :

1. Ajaran Hinayana, yaitu ajaran dalam kitab-kitab seperti Agama Sutra yang
ditujukan kepada golongan hinayana tentang konsep 12 sebab musabab yang saling
bergantungan.

2. Ajaran Awal Mahayana, yaitu ajaran dalam kitab-kitab Prajnaparamita Sutra yang
menjelaskan segala sesuatu tidak memiliki entitas nyata, tetapi ia bersifat sunyata
(kosong), serta kitab-kitab Sandhinirmocana Sutra yang menjelaskan tentang
keberadaan entitas dari semua Dharma dengan berbagai perbedaan fenomenanya yang
tergantung pada hukum sebab musabab yang saling bergantungan.

3. Ajaran Akhir Mahayana, yaitu ajaran dalam kitab-kitab seperti Mahayana


Sraddhopatda-sastra yang menjelaskan bahwa segala sesuatu pada dasarnya memiliki

109
sifat Butha-tathata ( 真 如 ; kedemikianan sejati) yang tidak berubah, namun ia
memiliki fenomena tercemar oleh faktor eksternal.

4. Ajaran Langsung, yaitu ajaran dalam kitab-kitab seperti Vimalakirti Nirdesa Sutra
yang menjelaskan tentang petunjuk langsung yang mengarah pada aspek pencerahan.
Ini identik dengan aspek yang digunakan oleh Mazhab Chan pada masa belakangan.

5. Ajaran Sempurna, yaitu ajaran dalam kitab-kitab seperti Avatamsaka Sutra dan
Saddharmapundarika Sutra yang menjelaskan hanya ada satu jalan tunggal, yaitu
Ekayana. Namun di sini terbagi lagi menjadi Ajaran Umum Ekayana dan Ajaran
Khusus Ekayana. Avatamsaka Sutra yang melampaui semua ajaran dan menjelaskan
Dharma yang tak terbatas merupakan satu-satunya Ajaran Khusus Ekayana dari ajaran
sempurna.

Kemudian Sepuluh Pandangan adalah:

1. Pandangan Keakuan dan Dharma Sama-sama Eksis (我法具有宗):


Khusus mengemukan bahwa objek dan subjek sama-sama merupakan entitas nyata.

2. Pandangan Dharma Eksis, Keakuan Non-eksis (法有我無宗):


Khusus mengemukakan bahwa entitas objek adalah nyata, namun tiada subjek keakuan.

3. Pandangan Dharma Tanpa Masa Lalu dan Masa Mendatang (法無去來宗):


Khusus mengemukakan bahwa sesuatu hanya memiliki entitas nyata masa sekarang, namun
tiada entitas nyata di masa lalu dan masa mendatang.

4. Pandangan Kekinian Berafiliasi Dengan Realita Palsu ( 現 通 假 實 宗 ): Khusus


mengemukakan bahwa dalam Buddhisme meskipun mengekspresikan adanya fenomena dan
batin, namun tiada entitas nyata di luar panca-skandha (lima agregat), ia hanyalah eksistensi
yang bersifat palsu (ilusif).

5. Pandangan Kepalsuan Duniawi dan Kesejatian Adiduniawi ( 俗 妄 真 實 宗 ): Khusus


mengemukakan bahwa hal-hal keduniawian bersifat palsu, hanya kebenaran sejati
(adiduniawi) yang diajarkan Buddha bersifat sejati.

110
6. Pandangan Segala Sesuatu Hanya Nama Belaka (諸法但名宗):
Khusus mengemukakan bahwa eksistensi dari segala sesuatu hanya bersifat nama belaka,
tidak ada entitas nyata.

7. Pandangan Segala Sesuatu Bersifat Kekosongan (一切皆空宗):


Khusus mengemukakan bahwa eksistensi dari segala sesuatu pada dasarnya bersifat
kekosongan (sunyata).

8. Pandangan Kebajikan Sejati Tidak Bersifat Kekosongan (真德不空宗):


Khusus mengemukakan bahwa hakikat eksistensi dari segala sesuatu adalah Butha-tathata
(sifat kedemikianan sejati).

9. Pandangan Memutus Wujud Fenomena dan Persepsi (相想俱絕宗):


Khusus mengemukakan bahwa kebenaran sejati adalah hal yang terkatakan dan tak
terbayangkan, ia melampaui pandangan subjektif dan objektif.

10. Pandangan Kesempurnaan Cemerlang Mengandung Kualitas Kebajikan (圓明具德宗):


Khusus mengemukakan bahwa eksistensi dari segala sesuatu tidak ada yang saling
menghalangi, ia memiliki kesalingterkaitan berlapis-lapis yang tiada habisnya, dan setiap
aspeknya memiliki kualitas kebajikan.

Ini merupakan penjabaran dari Lima Ajaran.

Pandangan Mazhab Huayan tentang alam Dharma-dhatu (法界—segala sesuatu) dibagi


menjadi 4 jenis :

1. Alam fenomena (事法界) : yaitu dunia dengan bentukan fenomena-fenomena yang saling
berbeda.

2. Alam prinsipil (理法界) : yaitu segala sesuatu di alam semesta merupakan entitas prinsipil
dari Butha-tathata (kedemikianan sejati).

111
3. Alam fenomena dan prinsipil yang tidak saling menghalangi (理事無礙法界) : yaitu
hubungan antara dunia bentukan fenomena dan prinsipil adalah satu kesatuan yang tak
terpisahkan.

4. Alam fenomena dan fenomena yang tidak saling menghalangi (事事無礙法界) : yaitu
dunia bentukan fenomena antara satu sama lainnya saling berinteraksi, saling terkait, muncul
saling bergantungan antara satu dan multi jumlah yang tiada habisnya, dan memiliki
hubungan yang tak terbayangkan.

Selanjutnya, yang patut disebut sebagai karakteristik ajaran Huayan adalah konsep
‘alam Dharma-dhatu yang muncul saling bergantungan’. Alam bentukan fenomena
mengandung entitas Dharmata (hakikat Dharma), maka disebut alam Dharma-dhatu.
Kemunculan alam Dharma-dhatu ini, jika diambil salah satu bagiannya, maka ia mencakup
seisi alam semesta ini, begitu pun seisi alam semesta mencakup salah satu bagian kecil ini.
Demikianlah satu bagian kecil alam Dharma-dhatu dan semua bagian alam Dharma-dhatu
saling terkait dan saling interaksi, maka disebut alam Dharma-dhattu yang muncul saling
bergantungan.

4. Mazhab Chan

Chan (禪), adalah singkatan dari kata Chan-na(禪那; Skt. Dhyana) yang berarti
meditasi perenungan dengan ketenangan, yaitu proses melakukan pengamatan batin dengan
kondisi yang bergeming. Ini adalah suatu praktik dari aspek relijius. Karena mengutamakan
meditasi sebagai praktik utama-nya, maka ia disebut Mazhab Chan. Asal usul Chan (meditasi)
sudah ada sejak lama. Pada tahun ke-2 dari era Jianhe (建和; 148 M) masa pemerintahan
Kaisar Han Huandi (漢桓帝) dari Dinasti Han-Belakangan (後漢), karena kedatangan An
Shigao (安世高) dari India Barat ke kota Luoyang, maka terdapat terjemahan kitab tentang
teknik meditasi aliran Hinayana, yaitu Chanxing Faxiang Jing (禪行法想經), Anapanasmrti
Sutra (大安般守意經), Yingchiru Jing (陰持入經). Berhubung kitab-kitab meditasi tersebut
menggunakan terminologi Dharma dari aliran Hinayana, maka ia juga disebut sebagai
pelajaran meditasi dan terminologi [Dharma]. Menurut catatan dalam kitab Gaoseng Zhuan
(高僧傳—Riwayat Biksu Agung), banyak orang melatih diri dengan mengacu pada kitab-

112
kitab meditasi tersebut. Sampai pada masa Dinasti Qin-Belakangan ( 後秦 ), Kumarajiva
menerjemahkan kitab Zuochan Sanmei Jing (坐禪三昧經—Sutra Samadhi Meditasi Duduk);
Pada masa Dinasti Jin-Timur, Buddhabhadra yang berasal dari India Utara menerjemahkan
kitab Dharmatrata-dhyana Sutra di Gunung Lu (廬山). Atas upaya para siswa beliau, telah
disemaikan praktik meditasi Mahayana. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Kaisar Xiao
Wendi (孝文帝; 471-499 M) dari Dinasti Wei-Utara (北魏), guru meditasi, Buddhabhadra
(佛陀禪師), diundang dari India dengan upacara besar. Wihara Shaolin (少林寺) yang
terletak di timur Luoyang dibangun untuk beliau. Di sana beliau mengajar kepada para siswa
hingga mencapai ratusan orang.

Hingga kedatangan Bodhidharma ke Tiongkok, beliau menjadi peletak dasar meditasi


Chan Sesepuh (祖師禪) di Tiongkok.

Bodhidharma (? – 535 M); konon beliau adalah pangeran ke-3 dari raja kasta
brahmana sebuah kerajaan di India Selatan. Ada juga yang mengatakan beliau adalah orang
Persia. Mengenai kisah Bodhidharma, ada berbagai versi kisah yang berbeda dan juga versi
penambahan, tidak dapat ditentukan mana yang benar. Sebelum tahun 478, beliau telah tiba
di Nanyue (南越), bagian dari wilayah Song (宋), kemudian melanjutkan pengelanaannya ke
berbagai negara. Pada saat Buddhisme berkembang pesat di wilayah Dinasti Wei-Utara,
beliau mengarungi sungai ke wilayah utara, lalu masuk ke pegunungan Song (嵩山), dan tiba
di Wihara Shaolin. Karena beliau mempraktikkan meditasi duduk menghadap ke dinding
selama 9 tahun, orang-orang menjulukinya dengan nama “Brahmana yang Menghadap
Dinding ( 面 壁 婆 羅 門 )”. Bodhidharma mengajarkan orang teknik meditasi menghadap
dinding. Beliau mengatakan, pikiran tidak perlu ditenangkan, selama pikiran dapat
menghentikan kontaknya dengan fenomena eksternal, dan kondisi batin tanpa tekanan,
pikiran kokoh bagaikan dinding, maka dapat masuk ke jalur benar. Kitab yang dianggap
sebagai karya Bodhidharma adalah teori tentang Dua Jalan Masuk dan Empat Praktik (二入
四行). Dua Jalan Masuk adalah jalan masuk melalui prinsip (理入) dan jalan masuk melalui
praktik ( 行 入 ). Namun yang diutamakan adalah jalan masuk melalui prinsip, di mana
dijelaskan bahwa karena semua makhluk hidup identik dengan Buddha, dengan pikiran yang
murni mempraktikkan meditasi melalui pengamatan [objektif] yang bagaikan dinding, maka
akan dapat mencapai pencerahan; sedangkan jalan masuk melalui praktik adalah menerapkan

113
praktik yang berpijak pada prinsip hingga merealisasi aspek prinsipil tersebut, karena itu
dijelaskan empat jenis praktik, yaitu praktik menerima akibat buruk ( 報 冤 行 ), praktik
mengikuti kondisi karma ( 隨 緣 行 ), praktik tanpa keinginan ( 無 所 求 行 ), dan praktik
mengikuti jalan Dharma (稱法行).

Patriark ke-2 mazhab Chan yang menjadi pewaris transmisi Dharma dari
Bodhidharma adalah Huike (慧可; 487-593 M). Beliau awalnya adalah seorang penganut
Ruisme (Konfusianisme). Saat di usia 41 tahun, beliau bertemu dengan Bodhidharma dan
berguru padanya sekitar 4 hingga 5 tahun. Setelah menerima ajaran meditasi, Huike
melanjutkan praktiknya selama 5 tahun. Meskipun terdapat kisah Huike memenggal lengan
sendiri di bawah hujan salju yang sangat populer, namun itu bukanlah fakta historis. Akan
tetapi kisah yang didramatisir tentang beliau memperoleh ‘sumsung tulang’ sang guru
mencerminkan semangat pencarian Dharma-nya yang tulus dan sejati. Setelah Bodhidharma
wafat, Huike mengajar kepada para anggota Sangha dan umat awam di sekitar Sungai Kuning,
dan popularitasnya pun cukup tinggi. Saat beliau berada di ibu kota Ye (鄴), bertepatan
dengan peristiwa penumpasan Buddhisme oleh pemerintahan Dinasti Zhou-Utara (北周).
Demi melindungi kitab suci dan rupang Buddha, beliau dengan usia yang menginjak 90 tahun
lebih mengungsi ke Gunung Wan’gong (皖公山) di Distrik Shuzhou (舒州), sekitar wilayah
Sungai Yangzi (揚子江). Menurut kisah biografinya, Huike adalah seorang pelantun kitab
Lankavatara Sutra. Bersama para siswa, mereka mempopulerkan diskusi dan ceramah
Lankavatara Sutra versi 4 bab. Sebab itu, Huike sangat menguasai teori Dua Jalan Masuk
dan Empat Praktik dari Bodhidharma yang mengacu pada Lankavatara Sutra dengan
mengemukakan bahwa segala sesuatu eksis bergantung pada batin; pandangan dualitas
muncul hanya karena manifestasi dari pikiran delusif dalam batin sendiri. Dibandingkan
dengan Bodhidharma, Huike tampil secara lebih aktif.

Huike mewariskan Dharma kepada patriark ke-3, Sengcan (僧璨; ?- 606 M). Ketika
Buddhisme ditumpas pada masa Dinasti Zhou-Utara, beliau mengikuti Huike masuk ke
Gunung Wan’gong di Distrik Shuzhou. Selanjutnya beliau pindah dan menetap selamanya di
Gunung Sikong ( 司 空 山 ). Sama seperti Huike, Sengcan juga menjadi pewaris kitab
Lankavatara Sutra. Namun dalam karyanya yang berjudul Xinxin Ming (信心銘—Inskripsi
Keyakinan Batin) juga tersirat pemikiran doktrin Huayan (Avatamsaka) di dalamnya. Konon,

114
sejak Bodhidharma hingga Sengcan, para praktisi yang datang berlatih tidak sampai
bermalam untuk inap, dan para siswa juga tidak ada yang tinggal bersama.

Pewaris Dharma dari Sengcan adalah patriark ke-4, Daoxin (道信; 580-651 M).
Beliau melayani Sengcan selama belasan tahun, baru kemudian memasuki kehidupan
monastik, dan pernah mengunjungi distrik Jizhou (吉州) dan Jiujiang (九江), lalu menetap
selama 10 tahun di Wihara Dalin ( 大 林 寺 ) di Gunung Lu ( 廬 山 ). Selanjutnya beliau
berpindah lagi ke Gunung Potou (破頭山) di kabupaten Huangmei (黃梅),distrik Qizhou
(蘄州), dan menetap di sana selama 30 tahun. Bersama siswanya yang berjumlah 500 orang,
mereka gigih mempraktikkan Dharma. Hidup secara berkelompok seperti ini telah membawa
perubahan besar pada metode praktik meditasi, atau dengan kata lain, jika hidup dalam
komunitas yang berjumlah 500 orang ini hanya mengandalkan persembahan dari umat awam
tidak akan cukup, apalagi tidak ada bantuan dari pemerintah, maka mau tidak mau harus
menggunakan cara swadaya untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Atas dasar ini, mereka pun
pada satu sisi bercocok tanam dan melakukan pekerjaan serabutan, pada sisi lain tetap
berlatih Dharma dengan gigih, sehingga mereka pun menjelaskan aspek Chan sebagai suatu
semangat dan pengalaman [dalam aktivitas sehari-hari], lalu menjadikan aktivitas ini sebagai
bagian dari metode kontemplasi. Yang patut diperhatikan adalah aspek praktik Chan ini
sudah tidak terbatas pada anggota Sangha, melainkan berkembang secara adaptatif ke dalam
kehidupan sehari-hari bagi khalayak umum. Kemudian, karena pengelolaan aktivitas
kelompok dilakukan secara terpadu, dan semua kegiatan harus dilakukan sesuai tata
prosedural yang berlaku, maka ini pun menjadi awal mula lahirnya tata tertib aktivitas
kehidupan monastik Chan. Mengenai metode Chan dari Daoxin, beliau menitikberatkan
meditasi duduk dengan mengamati gerak batin, dan menjadikan Lima Metode (五門) atau
Lima Upaya Bijak (五方便) sebagai kerangka pemikirannya, di mana salah satu metodenya
yaitu ‘Mempertahankan Kemanunggalan Tanpa Berpaling ( 守 一 不 移 )’ sebagai aspek
kebenaran terpenting dalam Chan.

Sehubungan dengan aktivitas yang dilakukan oleh pewaris transmisi Dharma dari
Daoxin, yaitu patriark ke-5, Hongren (弘忍; 601-674 M), bersama para siswanya, maka tren
aktivitas Chan pun menyebar dari kawasan Sungai Yangzi secara berangsur-angsur menuju
kejayaannya. Hongren memiliki karya tulis berjudul Zuishangcheng Lun ( 最 上 乘 論 —

115
Risalah Kendaraan Tertinggi) sebanyak 1 bab, dan kitab Jizhou Ren Dashi Xiuxin Yaolun (蘄
州忍大師修心要論—Intisari Risalah Kontemplasi Pikiran Mahaguru Ren dari Distrik Jizhou)
yang ditemukan di Gua Dunhuang. Berdasarkan ulasan kitab ini, Hongren mengemukakan
bahwa menjaga pikiran adalah metode utama untuk memasuki jalan kebenaran, juga
merupakan dasar bagi pencapaian Nirvana. Yang beliau jelaskan adalah tentang meditasi
duduk dengan metode pengamatan batin untuk menjaga pikiran sejati. Karakteristik Chan
dari Daoxin dan Hongren pada masa itu disebut metode ajaran Dongshan (東山法門) atau
disebut juga mazhab Dongshan. Hal ini terlihat bahwa tren pendirian aliran dalam Chan
sudah bermunculan.

Siswa Hongren antara lain adalah Shenxiu (神秀; 606?-706 M) dan Huineng (惠能;
638-713 M), yang dari mereka muncul dua aliran besar, yaitu Chan aliran utara dan Chan
aliran selatan. Inilah yang disebut sebagai Chan dengan metode langsung dari selatan dan
Chan dengan metode bertahap dari utara. Ketika Shenxiu belajar di bawah bimbingan
Hongren saat ia berusia 50 tahun, beliau sudah merupakan seorang yang sangat menguasai
ajaran Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, serta sudah melewati pembelajarannya
selama 6 tahun, sehingga ia dihormati sebagai siswa paling senior di antara 700 murid
Hongren. Beliau pun dihormati oleh Maharani Wu Zetian, dan diangkat sebagai guru
kerajaan. Karya tulis beliau, Guanxin Lun (觀心論—Risalah Pengamatan Batin) sebanyak
satu bab, mengemukakan bahwa hanya dengan satu metode pengamatan batin merupakan
aspek terpenting jalan Kebuddhaan. Jadi dapat diketahui bahwa beliau benar-benar telah
mewarisi pemikiran meditasi pengamatan batin dari Daoxin dan Hongren. Kitab Dacheng Wu
Fangbian (大乘五方便—Lima Metode Bijak Mahayana) sebanyak satu bab yang merupakan
pewaris pemikiran Chan aliran utara juga dengan jelas memperlihatkan karakteristik
pencerahan langsung. Jadi walaupun Chan aliran utara umumnya dianggap memuji
pencerahan bertahap, namun ia bukan tanpa memiliki aspek pemikiran lainnya.

Patriark ke-6 mazhab Chan, Master Huineng, sejak kecil beliau sudah kehilangan
ayah. Demi merawat ibunya, beliau menjadi penebang kayu untuk dijual ke kota. Konon,
pada suatu hari saat pergi ke kota, beliau mendengar seseorang melantunkan Sutra Intan (金
剛 經 ) dan seketika itu mengalami ‘pencerahan’ sendiri tanpa guru. Namun beliau
sebelumnya telah pernah bersentuhan dengan kitab Sutra Intan, Vimalakirti Nirdersa Sutra,
Lankavatara Sutra, Amitayur-dhyana Sutra, Saddharmapundarika Sutra, Maha-parinirvana
Sutra, Bodhisatwa-sila Sutra, jadi hal ini disebabkan oleh matangnya momentum pencerahan

116
beliau sejak awal. Mengenai dialog tanya jawab beliau dengan patriark ke-5 yang
menyinggung soal hakikat Kebuddhaan, itu hanyalah sebuah cerita belaka. Berdasarkan kisah
dari tradisi Chan aliran selatan belakangan, Hongren demi mencari pewaris Dharma di antara
700 muridnya maka menginstruksikan setiap orang untuk menunjukkan tingkat pemahaman
pencerahan mereka dalam bentuk sajak, kemudian dari situ menemukan tingkat pencapaian
Huineng lebih tinggi daripada Shenxiu, sehingga mewariskan Dharma dan jubah kepada
Huineng sebagai patriark ke-6 mazhab Chan. Kajian tentang pemikiran Huineng sejak dahulu
berpusat pada kitab Sutra Altar Patriark VI (六祖壇經), namun belakangan ini di Gua
Dunhuang telah ditemukan dokumen dan Sutra Altar bentuk versi lain, sehingga baru
diketahui bahwa isi Sutra Altar telah banyak ditambahkan dan diubah oleh orang di masa
belakangan. Oleh karena itu, untuk memahami pemikiran beliau, ada pendapat yang
mengatakan bahwa literatur yang menjadi acuannya tiada hal lain selain ceramah Dharma
beliau di Wihara Maha-Brahma (大梵寺) serta teori 3 kategori (三科) dan 36 Pasangan
Dharma (三十六對法); ada pula yang mengatakan bahwa dokumen yang ditemukan di Gua
Dunhuang juga tidak sepenuhnya merupakan bahan pemikiran Huineng. Akan tetapi, ajaran
Chan yang dibawa oleh Huineng akhirnya menjadi aliran utama mazhab Chan di Tiongkok
merupakan hal yang sangat patut diperhatikan.

Yang menjadi murid Huineng di antaranya adalah:

Qingyuan Xingsi (青原行思; ?-740). Sehubungan dengan aktivitas pengajaran murid


Qingyuan Xingsi, yaitu Shitou Xiqian (石頭希遷;700-790) dan Nanyue Huairang (南岳懷讓;
677-744 M), maka Chan di Tiongkok mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Shenhui (神會; 668-760 M), menetap di Wihara Heze (荷澤寺) di kota Luoyang,
beliau aktif mengajar metode Chan. Pada saat itu, karena Chan aliran utara sangat kuat,
sehingga bagi Shenhui untuk dapat tampil sebagai tokoh penting akan mengalami sedikit
msasalah. Maka dari itu, demi menghambat perkembangan Chan aliran utara beliau pun
mulai melakukan aksi pertentangan dengan gigih. Beliau mengritik silsilah Chan aliran utara
sebagai metode pendekatan dan metode bertahap, kemudian mengemukakan Chan aliran
selatan baru merupakan pewaris silsilah sejati. Sejak setelah wafatnya Yifu (義福) dan Puji
(普寂), Chan aliran utara berangsur-angsur merosot, dan hanya Chan aliran selatan menjadi
satu-satunya cabang yang berjaya sendirian, sehingga tatkala bicara tentang Chan maka
hanya sebatas pada Chan aliran selatan.

117
5. Peraturan Disiplin Baizhang

Cucu murid Nanyue, yaitu Baizhang Huaihai ( 百 丈 懷 海 ; 720-814 M), setelah


menerima penahbisan penuh, beliau berkunjung ke Lujiang (盧江; Provinsi Anhui). Di sana
beliau menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membaca kitab Tripitaka di Wihara Fucha
(浮槎寺), kemudian juga berguru kepada Mazu Daoyi (馬祖道一; 709-788 M) selama 20
tahun hingga mencapai pencerahan. Selanjutnya beliau berdiam di Gunung Baizhang (百丈
山) selama 19 tahun, dan menetapkan Peraturan Disiplin Baizhang (百丈清規) sebagai tata
tertib khusus bagi kehidupan monastik Chan. Garis-garis besar peraturan ini dapat dilihat
dalam kitab Chanmen Guishi ( 禪 門 規 式 —Bentuk Peraturan Mazhab Chan). Dari sini
tidaklah sulit dipahami bahwa sejak patriark I, Bodhidharma, para anggota Sangha Chan
kebanyakan mengikuti peraturan disiplin menurut wihara dari mazhab Vinaya, kemudian
secara berangsur-angsur baru terdapat wihara khusus bagi anggota Sangha Chan. Wihara
Chan tidak mendirikan bangunan Baktisala (佛殿—aula pujabakti), namun memiliki aula
Dharmasala ( 法 堂 —ruang ceramah Dharma) tempat di mana kepala wihara setiap saat
mengajarkan Dharma kepada para siswa di atas mimbar. Di samping itu, terdapat ruang
kepala wihara (方丈), ruang meditasi (僧堂), dan gudang (庫堂). Ruang meditasi terdapat
ranjang ukuran panjang yang saling terjalin dan penggantung peralatan praktik. Tempat
duduk anggota Sangha ditentukan berdasarkan usia masa varsa. Semua aktivitas sehari-hari
dan praktik meditasi dilakukan dalam ruang meditasi. Untuk menerapkan pola hidup mandiri,
mereka harus kerja bakti. Peraturan Disiplin yang ditetapkan adalah sistem Puqing (普請法
—Menghimpun kelompok untuk bergotong royong), di mana semua anggota Sangha harus
ikut bekerja. Pengelolaan wihara Chan di bawah pengawasan dan koordinasi dari shizhushi
(十主事—Sepuluh Pengawas). Jika ada yang melanggar peraturan disiplin hidup monastik,
maka semua anggota kumpul bersama, ia akan dipukul dengan tongkat, lalu jubah dan
mangkok patra miliknya dibakar, kemudian ia akan diusir lewat pintu samping wihara.
Dengan menerapkan sistem pola hidup wihara Chan yang otonom memungkinkan wihara
dapat hidup secara mandiri, merupakan hal yang patut dicatat dalam sejarah Buddhisme.

118
Bab X Buddhisme Dinasti Tang (4)

— Mazhab Faxiang dan Tantra

1. Mazhab Faxiang

Mazhab Faxiang (法相宗) lahir sebagai aliran yang bersumber pada aliran Yogacara
di India. Saat itu, Yogacara menjadi salah satu dari dua sistem besar pemikiran Buddhisme.
Asanga (310-390 M) menerima ajaran lisan dari Maitreya kemudian menulis kitab
Mahayana-samgraha dan Prakaranaryavaca-sastra untuk menyiarluaskan dan meninggikan
makna luhur vijnaptimatrata (hanya kesadaran semata). Adik beliau, yaitu Vasubandhu (320-
400 M) menulis kitab Vimśatikāvijñaptimātratāsiddhi dan Trimsika-vijnaptimatrata yang
menjadi karya pencapaian besar doktrin vijnaptimatrata. Karya doktrin vijnaptimatrata
Vasubandhu telah diterjemahkan ke bahasa Tiongkok sejak masa Dinasti Utara Selatan yang
dilakukan oleh Bodhiruci dan Ratnamati di Tiongkok utara, dan oleh Paramartha di
Tiongkok selatan, bahkan melahirkan sebuah aliran yang bersandar pada kitab Dasabhumi-
vyakhyana dan Mahayana-samgraha. Ada lagi Prabhakaramitra (565-633 M) yang berasal
dari India Tengah pernah berguru pada Silabhadra (529-645 M) di Universitas Nalanda, pada
tahun pertama dari era Zhen’guan (貞觀) masa pemerintahan Kaisar Tang Taizong (唐太宗)
(627 M), beliau datang ke kota Chang’an untuk menerjemahkan kitab Prajñāpradīpa-
mūlamadhyamaka-vṛtti karya Bhavyaviveka, dan Mahayana-sutralamkara-karika karya
Asanga. Kemudian ada lagi, Xuanzang (玄奘) yang kembali dari pembelajarannya di India,
karena berguru kepada Silabhadra yang mewariskan doktrin vijnaptimatrata dan abhidharma-
kosa karya Asanga dan Vasubandhu, maka beliau menjadi peletak fondasi aliran Faxiang dan
Jushe (俱舍—Kosa).

2. Master-Tripitaka Xuanzang

119
Master-Tripitaka Xuanzang (玄奘三藏; 600-664 M) adalah penduduk asal Chenliu,
Provinsi Henan (陳留,河南) yang memasuki kehidupan monastik saat masih kanak-kanak.
Beliau kerap berkelana ke berbagai daerah, dan pernah mendalami berbagai doktrin Nirvana,
Abhidharma, Mahayana-samgraha, Kosa, dsb. Sehubungan dengan banyak perbedaan
penafsiran doktrin tersebut, maka beliau ingin mendapatkan sumber asli kitab abhidharma
dan vijnaptimatrata sebagai bahan penelitiannya. Karena itu, pada tahun ke-3 dari era
Zhen’guan (629 M) masa pemerintahan Kaisar Tang Taizong, beliau berangkat dari kota
Chang’an menuju ke barat (India). Dengan mempertaruhkan berbagai resiko bahaya, beliau
mengarungi jalur utara Tianshan ( 天 山 北 路 ) di wilayah provinsi Xinjiang, melewati
Turkestan barat dan Afghanistan lalu memasuki wilayah India, dan akhirnya tiba di
Universitas Nalanda. Pada saat itu, Universitas Nalanda adalah pusat Buddhisme Mahayana.
Bukan hanya India saja, bahkan banyak praktisi dari berbagai wilayah di Asia yang datang ke
lokasi ini, karena Silabhadra adalah seorang tokoh besar biksu yang mengepalai universitas
tersebut. Konon, pada saat itu Silabhadra telah berusia 106 tahun. Tatkala Xuanzang berguru
kepada Silabhadra, beliau mempelajari berbagai risalah, antara lain Yogacara,
Prakaranaryavaca-sastra, Abhidharma Mahāvibhāṣā Śāstra, Abhidharma-kosa, beserta
doktrin vijnaptimatrata dari Dharmapala (530-561 M) dengan hasil pencapaian yang luar
biasa. Setelah itu, beliau berziarah ke berbagai situs peninggalan Buddha di berbagai lokasi di
India. Beliau menetap di India selama 17 tahun, hingga pada tahun ke-19 dari era Zhen’guan,
beliau tiba kembali di ibu kota Chang’an. Pada saat itu, selain membawa kembali relik
Buddha, beliau juga membawa sejumlah besar sumber asli kitab Sutra dan risalah Mahayana,
Tripitaka dari berbagai sekte Hinayana, kitab Hetuvidya, dan filsafat aliran tirtika dengan
total mencapai 657 judul, sehingga beliau memperoleh sambutan hangat dari kalangan
pejabat hingga rakyat jelata. Kitab Datang Xiyu Ji (大唐西域記—Catatan Perjalanan Ke
Barat) yang mencatat tentang kisah perjalanan beliau sangatlah terkenal. Hingga pada abad
ke-19, kitab ini dan kitab biografi beliau, Daci’en Si Sanzang Fashi Zhuan (大慈恩寺三藏
法師傳—Biografi Master Tripitaka dari Wihara Daci’en) diterjemahkan ke bahasa Inggris
dan Perancis.

Kaisar Tang Taizong sangat bahagia saat melihat kepulangan Xuanzang. Beliau
mengundang Xuanzang ke Wihara Hongfu (弘福寺) di kota Chang’an, dan menjamunya
dengan mewah. Saat pembangunan Wihara Da Ci’en (大慈恩寺), juga didirikan gedung
khusus penerjemahan Sutra yang dikepalai oleh Xuanzang untuk aktivitas penerjemahan

120
Sutra dari teks Sanskerta yang dibawa pulang dari India. Hingga pada tahun pertama dari era
Linde (麟德; 664 M) masa pemerintahan Tang Gaozong (唐高宗), Xuanzang wafat di
Wihara Yuhuagong (玉華宮寺) pada usia 64 tahun. Selama 20 tahun hingga kewafatannya,
beliau bersama sejumlah muridnya menerjemahkan kita suci dan risalah Buddhis, terutama
adalah Maha Prajnaparamita Sutra sebanyak 600 bab, Yogacarabhumi Sastra (瑜伽師地論),
100 bab; Abhidharma Mahavibhasa Sastra (大毘婆沙論), 200 bab; Abhidharma-kosa (俱舍
論), Vijnaptimatratasiddhi (成唯識論), Mahayana-samgraha Sastra (攝大乘論 ), dan
sebagainya dengan total terjemahan Sutra dan risalah sebanyak 76 judul, 1.347 bab.
Demikianlah beliau memperkenalkan doktrin ajaran Buddhis baru yang dibawanya dari India.
Kegiatan penerjemahan ini merupakan proyek kenegaraan yang diinstruksikan oleh Kaisar
Tang Taizong. Dengan akomodasi yang komplit dan skala yang besar turut mengikutsertakan
biksu ternama dan pejabat dalam aktivitas penerjemahan. Hasil terjemahan kitab suci tersebut
telah memberi kontribusi besar bagi keanekaragaman kebudayaan dunia. Ketika awal
penerjemahan teks Yogacarabhumi-sastra di Wihara Hongfu, Kaisar Tang Taizong turut
menuliskan kata pengantar dengan judul Sanzang Shengjiao Xu (三藏聖教序—Pengantar
Ajaran Suci Tripitaka). Putra mahkota (yang kemudian menjadi Kaisar Tang Gaozong) juga
menuliskan Shusheng Ji (述聖記—Catatan Narasi Suci). Di sini dapat terlihat betapa besar
perhatian Kaisar Tang Taizong dan Gaozong kepada beliau.

Karakteristik penerjemahan Xuanzang dilakukan berdasarkan pengetahuan linguistik


yang benar terhadap sumber teks, lalu dengan tulus ditransliterasi secara beruturan kalimat
per kalimat. Oleh karena itu, untuk membedakannya dari teks terjemahan lama, beliau
meminta hasil terjemahannya disebut terjemahan baru, sedangkan bentuk teks terjemahan
sebelum beliau disebut terjemahan lama. Akan tetapi, hasil terjemahan baru dan lama
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pada saat itu, Xuanzang sebagai sosok sentral dari komunitasnya menjadi sangat
populer di kota Chang’an. Muridnya mencapai ribuan orang, dan yang paling tersohor di
antaranya adalah Kuiji (窺基),Yuance (圓測), Puguang (普光), Fabao (法寶), Shentai (神
泰), Jingmai (靖邁), Huili (慧立), Xuancong (玄悰), Shenfang (神昉), Zongzhe (宗哲), dan
Jiashang (嘉尚). Walaupun semenjak itu tidak ada pewarisan orang berbakat untuk menjadi
peneliti sumber literatur bahasa Sanskerta, tokoh yang mewarisi ajaran vijnaptimatrata dari
Xuanzang dan menjadi patriark pertama mazhab Faxiang adalah Kuiji, di mana beliau juga

121
memiliki banyak pengikut. Hal yang patut diungkit secara khusus adalah Xuanzang sebagai
seorang tokoh besar musafir, kisah perjalanan beliau telah merangsang pandangan orang
Tiongkok sehingga menghasilkan karya novel berjudul Xiyou Ji (西游記—Perjalanan Ke
Barat), dan beliau dianggap sebagai sosok pahlawan rakyat yang digemari.

3. Kuiji

Kuiji (窺基; 632-682 M) adalah penduduk asal kota Chang’an (長安). Beliau menjadi
pengikut Xuanzang, dan turut menerjemahkan teks kitab suci dan risalah Mahayana dan
Hinayana di Wihara Daci’en dan berbagai lokasi lainnya, sekaligus juga menulis banyak
kitab komentar atas Sutra dan risalah tersebut. Beliau bekerjasama dengan Xuanzang yang
mengutamakan doktrin vijnaptimatrata sebagai Dharma perlindungannya, membandingkan
berbagai penjelasan doktrin vijnaptimatrata dari berbagai guru di India, lalu
mengompilasinya hingga menerjemahkan kitab Vijnaptimatratasiddhi (成唯識論) sebanyak
10 bab. Kitab risalah ini bersama-sama dengan Samdhinirmocana Sutra dan Yogacarabhumi
Sastra dipandang sebagai kitab utama mazhab Faxiang. Kemudian Kuiji menulis kitab Cheng
Weishi Lun Shuji (成唯識論述記—Catatan Komentar atas Vijnaptimatratasiddhi) dan Cheng
Weishi Lun Shuyao ( 成 唯 識 論 樞 要 —Esensi Vijnaptimatratasiddhi) untuk menjelaskan
doktrin ini secara detil, dan memberikan ceramah atas karya tersebut di Gunung Wutai dan
berbagai wilayah lainnya. Namun beliau menyebarluaskan pemikiran Xuanzang, terutama di
Wihara Daci’en. Berhubung banyak karya komentar yang beliau tulis, maka ia dijuluki
sebagai ‘Bapak Seratus Jilid Komentar’, di mana karya komentar utamanya adalah Yuqie
Shidi Lun Luezuan (瑜伽師地論略纂—Ringkasan Yogacarabhumi Sastra), Duifa Lunshu (對
法 論 疏 —Komentar atas Abhidharma-samuccaya-vyakhya), Baifa Lunshu ( 百 法 論 疏 —
Komentar atas Satakasastra), Yinming Dashu ( 因 明 大 疏 —Komentar Panjang atas
Hetuvidya), Jin’gang Jinglun Huishi (金剛經論會釋—Penjelasan atas Risalah Vajrachedika
Prajnaparamita Sutra), Fahua Xuanzan (法華玄讚—Pujian luhur atas Saddharmapundarika
Sutra), Mile Shangsheng Jingshu (彌勒上生經疏—Komentar atas Sutra Kelahiran Maitreya
Ke Surga Tusita), Wugoucheng Jingshu (無垢稱經疏—Komentar atas Vimalakirti Nirdesa
Sutra), Dacheng Fayuan Yilin Zhang ( 大 乘 法 苑 義 林 章 —Kumpulan Makna Dharma
Mahayana).

122
4. Doktrin Mazhab Faxiang

Mazhab Faxiang mengacu pada teori hukum sebab musabab yang saling
bergantungan dari kesadaran Alaya (Alaya-vijnana) dengan tujuan menyiarluaskan doktrin
tentang segala sesuatu [sebagai manifestasi] dari hanya-kesadaran-semata (vijnaptimatrata),
dan menampik kemelekatan pada fenomena eksternal di luar batin, agar dapat menembus
pemahaman kebijaksanaan non-diskriminatif (nir-vikalpa-jnana) dari aspek hanya-kesadaran-
semata. Sistem ajaran vijnaptimatrata ini berkembang dengan berpijak pada teori hukum
sebab musabab yang saling bergantungan dari aliran Shelun (攝論—Mahayana-samgraha)
dan Dilun (地論—Dasabhumika-sastra) yang masuk ke Tiongkok pada masa Enam Dinasti
(六朝), ditambah dengan doktrin ajaran yang dibawa oleh Xuanzang dari India. Sistem ajaran
ini berkembang populer dengan berpusat di kota Chang’an pada masa Dinasti Tang. Tidak
lama kemudian, ia meyebar ke Jepang, dan menjadi salah satu aliran dari Enam Mazhab
Periode Nara.

5. Mazhab Jushe (Kosa)

Murid yang membawahi doktrin ajaran Xuanzang terbagi menjadi dua aliran, yaitu
Faxiang dan Jushe (Kosa). Puguang (普光), Fabao (法寶), dan Shentai (神泰) menulis teori
penjelasan atas kitab Abhidharma-kosa hasil terjemahan Xuanzang, dan mengembangkan
teorinya sehingga melahirkan mazhab Jushe (俱舍宗—Mazhab Kosa). Sebelum mazhab
Jushe, meskipun lieteratur-nya telah ada dari terjemahan Paramartha, namun ia tidak cukup
berkembang. Sebaliknya setelah adanya penerjemahan baru Abhidharma-kosa dari Xuanzang,
lalu setelah disebarluaskan oleh Puguang dengan karyanya, Jushe Lunji (俱舍論記—Catatan
Abhidharma-kosa); serta Fabao dan Shentai masing-masing menghasilkan karya Jushe
Lunshu (俱舍論疏—Komentar atas Abhidharma-kosa), maka fenomena pengkajian mazhab
Jushe pun berkembang dengan populer. Pada saat yang sama, ajaran abhidharma dari aliran
Hinayana yang sudah ada sejak dahulu pun terserap ke dalam mazhab Jushe. Mengenai
doktrin ajaran Jushe, ia merupakan perpanjangan tangan dari doktrin ajaran Abhidharma-kosa
sekte Sarvastivada—salah satu dari 20 sekte Hinayana. Abhidharma-kosa mengandung

123
makna ‘harta karun pengamatan Dharma (對法藏)’. Pengamatan Dharma berarti melakukan
pengkajian atas Dharma yang dikhotbahkan oleh Buddha dalam berbagai Sutra, yakni
mengambil sikap analitis terhadap ajaran Buddha dari berbagai sudut pandang. Abhidharma-
kosa adalah sebuah kitab risalah yang mencakup berbagai aspek pemikiran yang berpijak
pada sikap seperti ini, maka ia disebut harta karun pengamatan Dharma. Meskipun terdapat
banyak bentuk ajaran Buddha, namun tujuan utamanya adalah agar makhluk hidup dapat
ditransformasi dari kesesatan menuju pencerahan. Untuk itu, maka harus mengembangkan
kebijaksanaan sejati tanpa kebocoran untuk mengikis belenggu noda batin. Untuk
mengembangkan kebijaksanaan sejati tanpa kebocoran, maka harus merenungkan Empat
Kebenaran Mulia—ajaran fundamental dari Buddha, demi menuju ke jalan pencapaian
Nirvana. Sudut pandang seperti ini seolah-olah mengindikasikan Abhidharma-kosa adalah
ajaran yang difokuskan pada penelitian filsafat Buddhisme, namun sesungguhnya ia sama
sekali merupakan sikap keteguhan seseorang dalam karakteristik relijiusnya yang tidak
melarikan diri dari kenyataan, agar para makhluk dapat mentransformasi kekotoran batin
menjadi pencerahan. Karena itu, perlu menjelaskan aspek sebab akibat antara kesesatan dan
pencerahan. Dari kondisi kesesatan hingga pencerahan, doktrin fundamentalnya adalah
‘Menghancurkan Keakuan’, oleh karena itu bagian ‘Menghancurkan Keakuan’ merupakan
cakupan dari seluruh risalah doktrin ini.

Mazhab Jushe ikut bersama mazhab Faxiang menyebar hingga ke Jepang pada zaman
periode Nara, namun bagi aliran lain di Jepang, doktrin ini bersama dengan doktrin yogacara
dipandang sebagai fondasi ajaran Buddha, sehingga para praktisi dari aliran mana pun dapat
mempelajari Abhidharma-kosa.

6. Tantrayana

Mengenai masuknya ajaran Tantra, sejak periode awal Dinasti Jin-Timur (東晉; 317-
419 M) telah ada penerjemahan kitab Tantra, yaitu Mahabhiseka-mantra Sutra (大灌頂神咒
經) oleh Srimitra dari Kerajaan Kucha. Kemudian pada tahun ke-6 dari era Taiyuan (太元;
381 M) masa pemerintahan Kaisar Xiao Wudi (孝武帝) dari Dinasti Jin-Timur hingga tahun
ke-20 dari era Taiyuan (395 M), selama 15 tahun, Dharmaraksa (曇無蘭) yang berasal Asia
Tengah telah menerjemahkan berbagai kitab Tantra, antara lain: Zhousheqibing Jing (咒時氣

124
病經—Sutra Tentang Mantra Penyakit Epidemi), Zhouchi Jing (咒齒經—Sutra Tentang
Mantra Gigi), Zhoumu Jing (咒目經), Zhouxiao’er Jing (咒小兒經—Sutra Tentang Mantra
Anak), Qingyu Zhou Jing (請雨咒經—Sutra Tentang Mantra Permohonan Hujan), Zhiyu
Zhou Jing (止雨咒經—Sutra Tentang Mantra Penghenti Hujan), Sutra Tentang Mantra Air
(咒水經). Dari nama Sutra-sutra tersebut dapat diketahui merupakan teks mantra tentang
penyembuhan penyakit gigi, mata, dan permohonan hujan, juga telah dihimpun teks mantra
sakti dari para dewa dan makhluk suci sehingga tidak sulit untuk memahami bahwa praktik
ilmu mantra menjadi populer. Praktik mantra yang sejalan dengan mantra dan talisman dalam
Taoisme ini dipahami oleh bangsa Tiongkok sebagai Tantra non-sistematis, sehingga belum
dapat dianggap sebagai ajaran Tantra murni. Namun mantra dharani dan teknik tantra yang
tersebar di masyarakat Tiongkok ini telah membuat aspek kepercayaan pada ajaran Tantra
meresap ke dalam batin sebagian orang, yang juga berarti telah meletakkan fondasi bagi
perkembangan dan penerimaan atas ajaran Tantra murni. Sampai pada masa pemerintahan
Kaisar Tang Xuanzong (唐玄宗), sehubungan dengan kedatangan Tiga Tokoh Besar Era
Kaiyuan (開元三大士), yaitu Subhakarasimha, Vajrabodhi, dan Amoghavajra ke Tiongkok,
maka doktrin ajaran, ritual, dan mandala Tantrayana telah selesai dikembangkan secara
terorganisasi dan sistematisasi. Akan tetapi ia tetap tidak dapat menghapus dominasi nuansa
Taoisme.

7. Tiga Mahaguru Tantrayana Dinasti Tang

Subhakarasimha (善無畏;637-735 M), lahir di Kerajaan Magadha, India, sebagai


anggota keluarga raja. Sehubungan dengan konflik internal kerajaan, beliau memutuskan
untuk memasuki kehidupan monastik, dan berguru kepada Dharmagupta di Universitas
Nalanda untuk mempelajari Tantrayana. Setelah menerima berbagai ajaran mudra, beliau
berangkat ke Asia Tengah. Lalu pada tahun ke-4 dari era Kaiyuan (716 M) masa
pemerintahan Kaisar Tang Xuanzong, beliau tiba di kota Chang’an, dan mendapat sambutan
dari Kaisar Tang Xuanzong. Di istana, beliau mempraktikkan mantra Tantrayana, juga
menerjemahkan kitab Mahavairocana Tantra (大日經) sebanyak 7 bab. Pada saat yang sama,
beliau memberikan komentar lisan atas kitab tersebut yang kemudian disusun oleh murid
beliau, Yixing (一行; 673-727 M) menjadi kitab Dari Jingshu (大日經疏—Komentar atas

125
Mahavairocana Tantra) sebanyak 20 bab. Kedua kitab ini dipandang sebagai kitab suci utama
pegangan mazhab Tantrayana.

Vajrabodhi (金刚智; 671-741 M) adalah penduduk asal India selatan. Sama seperti
Subhakarasimha, beliau pernah belajar di Universitas Nalanda untuk mempelajari Tantrayana.
Setelah 4 tahun kedatangan Subhakarasimha ke Tiongkok, yaitu pada tahun ke-8 dari era
Kaiyuan, Vajrabodhi juga tiba di Tiongkok melalui jalur laut selatan. Beliau mengajar
Tantrayana di kota Luoyang dan Chang’an. Di Wihara Zisheng (資聖寺) di kota Chang’an,
beliau bersama Yixing dan Amoghavajra menerjemahkan berbagai kitab Tantra, di antaranya
adalah Jin’gangding Yuqie Zhong Luechu Niansong Jing (金剛頂瑜伽中略出念誦經),
sekaligus juga mempraktikannya hingga mengalami pencapaian spiritual yang luar biasa.
Karena itu, dari raja hingga pejabat memohon trisarana yang tulus melalui beliau. Tantrayana
yang baru disiarkan oleh Subhakarasimha dan Vajrabodhi, tatkala diwariskan pada
Amoghavajra pun mengalami perkembangan besar.

Amoghavajra (不空; 705-774 M) lahir di India utara. Ada juga yang mengatatakan,
beliau adalah orang Asia Tengah, atau mengatakan orang Srilanka. Pada tahun ke-3 dari era
Kaiyuan (開元), saat berusia 10 tahun, beliau datang ke Prefektur Wuwei (武威), Provinsi
Gansu (甘肅). Pada tahun ke-8 dari era Kaiyuan, ketika Vajrabodhi tiba di kota Luoyang,
Amoghavajra menjadi murid beliau. Setelah Vajrabodhi wafat, demi mendapatkan kitab
Tantra bahasa Sanskerta, Amoghavajra mendapat izin untuk berangkat ke India. Bersama
muridnya, Han’guang (含光) dan Huibian (惠辨), mereka berangkat dari Guangzhou (廣州)
menuju India. Setelah tiba di India, mereka berkunjung ke berbagai daerah untuk meneliti
ajaran Tantra. Hingga pada tahun ke-5 dari era Tianbao (天寶; 476 M) masa pemerintahan
Kaisar Tang Xuanzong, beliau tiba kembali di kota Chang’an dengan membawa kitab suci
bahasa Sanskerta sebanyak 1.200 bab. Kitab hasil terjemahan beliau sungguh sangat banyak
hingga mencapai 111 judul, 143 bab, dan yang paling utama adalah kitab Vajrasekhara Sutra
(金剛頂經). Karena itu, dalam sejarah penerjemahan kitab suci di Tiongkok, kontribusi
beliau dapat disejajarkan dengan Kumarajiva, Paramartha dan Xuanzang, pun dijuluki
sebagai 4 Tokoh Besar Penerjemah. Kontribusi Amoghavajra memiliki cakupan yang luas,
misalnya menerjemahkan kitab suci, memberi ceramah, membangun wihara, membuat
rupang, terlebih lagi dalam kegiatan upacara ritual dan ilmu mantra, beliau memiliki hasil

126
pencapaian luar biasa yang melebihi Subhakarasimha dan Vajrabodhi. Jadi beliau merupakan
seorang guru besar ilmu mantra yang jarang dijumpai dalam sejarah.

Pada saat itu, Buddhisme Tiongkok bisa memperoleh reputasi yang sangat tinggi
terutama disebabkan oleh ajaran mantra dari beliau. Hal ini juga yang menjadi faktor beliau
mendapatkan jabatan di lingkungan istana dan banyak menerima permohonan Trisarana dari
kalangan militer daerah. Khususnya pada masa pemberontakan An Lushan, beliau
mendapatkan pujaan dan kepercayaan dari Panglima Geshu Han (哥舒翰), di mana hal ini
memberi kesempatan kepada Amoghavajra untuk memimpin pusat lingkungan Buddhisme.
Juga karena beliau menetap di Wihara Da Xingshan (大興善寺) di kota Chang’an yang
menjadi lokasi pusat pengambilan kebijakan Buddhisme sejak Dinasti Sui sebagai basisnya.
Pada tahun pertama dari era Shangyuan (上元; 760 M) masa pemerintahan Tang Suzong (唐
肅宗), beliau banyak beraktivitas di wihara tersebut dan mendirikan pusat penyelenggaraan
abhiseka. Pada tahun pertama dari era Yongtai (永泰; 765 M) masa pemerintahan Kaisar
Tang Daizong (唐代宗 ), istana menganugerahi gelar kepada beliau dengan nama Guru
Tripitaka Kebijaksanaan Maha Luas ( 大 廣 智 三 藏 ), dan memberinya jabatan khusus
direktorat Honglu (特進試鴻臚卿). Jadi dapat dibayangkan bagaimana kondisi aktivitas
beliau di pusat pemerintahan. Ini merupakan cara adaptasi yang berasal dari pandangan
kosmologi beliau tentang mandala vajradhatu yang dikonkretkan, di mana beliau mengacu
pada kitab Vajrasekhara Sutra untuk mengembangkan keyakinan pada aspek Kebijaksanaan
dari Bodhisatwa Manjusri dengan Gunung Wutai ( 五 台 山 ) sebagai bodhimanda utama
Tantrayana, sehingga mempererat hubungannya dengan kekuasaan negara. Maka, pada tahun
ke-7 dari era Dali (大曆; 772 M) masa pemerintahan Kaisar Tang Daizong, semua wihara
Tiongkok didirikan Aula Bodhisatwa Manjusri beserta altar-nya, sehingga mewujudkan
pemikiran vajradhatu mandala yang berpusat di Gunung Wutai. Kondisi saat itu yang
menitikberatkan agama Taoisme turut mendorong perkembangan Tantrayana. Alhasil,
Tantrayana di Tiongkok pun tidak terhindar dari adanya konektivitas dengan sifat mistik
Taoisme.

Amoghavajra wafat pada tahun ke-9 dari era Dali masa pemerintahan Tang Daizong,
dalam usia 70 tahun. Selama sekitar 30 tahun, beliau memimpin Buddhisme di Chang’an, dan
menerima permohonan Trisarana dari tiga kaisar, yaitu Tang Xuanzong, Suzong, dan
Daizong. Sebelum wafat, beliau dianugerahi jabatan setingkat 3 menteri senior (開府儀同三

127
司—Kaifu Yitong Sansi) dan gelar bangsawan Su Guogong (肅國公). Setelah wafat, kaisar
meliburkan kegiatan negara selama tiga hari, dan beliau dianugerahi gelar jabatan Sikong (司
空), serta nama anumerta Guru Tripitaka Amoghavajra Kebijaksanaan Luas Maha Pembicara
Benar (大辮正廣智不空三藏). Dapat terlihat bahwa Amoghavajra adalah seorang tokoh
yang sangat penting pada masa Dinasti Tang. Murid Amoghavajra antara lain adalah
Han’guang (含光), yang telah berupaya mengembangkan ajaran Buddha di Gunung Wutai.
Murid berbakat beliau yang lainnya adalah Huiguo (惠果) yang juga merupakan pendiri
aliran Shingon di Jepang. Huiguo merupakan guru dari Kobo-Daishi (弘法大師) alias Kukai
(空海) yang datang dari Jepang untuk belajar kepada beliau. Di bawah bimbingan Huiguo,
Kukai diwarisi dua ritual mudra tantra, yaitu vajradhatu dan garbhadhatu, jadi saat
Tantrayana dibawa masuk ke Jepang, aliran ini pun mengalami perkembangan yang luar
biasa dengan nama aliran Shingon.

8. Doktrin ajaran Tantrayana

Tantrayana menitikberatkan aspek mandala yang merupakan manifestasi dari


Dharmakaya Buddha yang murni, ia merujuk pada level pencapaian diri sendiri. Karena itu,
ia juga mengindikasikan kesucian batin makhluk hidup yang telah dimiliki secara mendasar.
Jagat raya mandala yang bersifat metafisika ini, untuk memahahaminya dari aspek
pengetahuan berdasarkan pengalaman awam, maka mandala tersebut diekspresikan melalui
simbol gambar yang mudah dipahami. Mandala terbagi atas dua divisi, yaitu garbhadhatu dan
vajradhatu. Subhakarasimha dan Yixing mengutamakan pengajaran garbhadhatu, sedangkan
Vajrabodhi dan Amoghavajra mengutamakan vajradhatu. Kedua divisi ini pada dasarnya
tidak berbeda, tapi ia hanya ekspresi dari hubungan tataran permukaan dan dalam Dharma
yang bersifat tunggal. Bagian pusat mandala garbhadhatu adalah Buddha Vairocana. Di
keempat penjuru timur, barat, utara dan selatan terdapat empat Buddha, selain itu di bagian
luarnya lagi terdapat 414 bodhisatwa. Vajradhatu mandala terbagi atas 9 bagian mandala
dengan 9 tatanan yang masing-masing terdapat para makhluk suci yang jika ditotalkan
menjadi 1.461 makhluk. Dari sini dapat dikatakan bahwa Tantrayana [memuja] banyak
makhluk suci, dari para makhluk suci Buddhis hingga dewata dan makhluk suci non-Buddhis
diserap semuanya, termasuk alat ritual untuk sadhana. Mungkin saja ini adalah hasil

128
pengamatan segala sesuatu yang terefleksikan secara sempurna dari tingkatan pencerahan,
yang juga berarti bahwa tiada hal lain yang dilihat selain Buddha Vairocana.

129
Bab XI Buddhisme Masa Lima Dinasti

Terhitung dari sejak panglima daerah militer wilayah Xuanwu ( 宣 武 ) , Zhu


Quanzhong (朱全忠), merebut kekuasaan Dinasti Tang dari tangan Kaisar Tang Aidi (唐哀
帝 ) dengan cara penyerahan kekuasaan sebagai tanda awal berdirinya Dinasti Liang-
Belakangan (後梁; 907 M),sampai pada masa Dinasti Zhou-Belakangan (後周) saat setelah
kematian Kaisar Zhou Shizong (周世宗) yang kemudian digantikan oleh Zhou Gongdi (周恭
帝),lalu menyerahkan kekuasaannya kepada bawahannya, Jenderal Zhao Kuangyin (趙匡
胤), sebagai tanda berdirinya Dinasti Song (宋), yang berlangsung selama 50 tahun lebih, di
mana pemerintahan pusat mengalami lima kali pergantian kekuasaan dari Dinasti Liang-
Belakangan (後梁), Tang-Belakangan (後唐), Jin-Belakangan (後晉), Han-Belakangan (後
漢), hingga Zhou-Belakangan (后周), maka ia disebut masa Lima Dinasti (五代). Sedangkan
wilayah kekuasaan daerah lainnya yang berjaya dan takluk silih berganti adalah meliputi Wu
(吳), Tang-Selatan (南唐), Shu-Awal (前蜀), Shu-Belakangan (後蜀), Han-Selatan (南漢),
Chu (楚), Wuyue (吳越), Min (閩), Nanping (南平), dan Han-Utara (北漢), disebut Sepuluh
Negara (十國).

Setelah pemberontakan yang dilakukan oleh An Lushan (安祿山) yang dilanjutkan


dengan kejatuhan masyarakat borjuis, maka masyarakat dari kelas rakyat jelata pun bangkit.
Dengan perubahan ini, Buddhisme yang berpusat di kota Luoyang dan Chang’an pun
terpencar ke berbagai daerah dan menyambang ke lapisan masyarakat. Terutama setelah masa
bencana Dharma era Huichang (會昌法難) yang dilancarkan oleh Tang Wuzong (唐武宗),
maka kecenderungan ini semakin dominan. Setelah lingkup Buddhisme kajian teoritis
mengalami penindasan, maka kebangkitan selanjutnya adalah mazhab Chan yang
menitikberatkan terapan langsung, dan ia berkembang populer hingga ke berbagai daerah.
Negara-negara dalam masa Lima Dinasti silih berganti hanya dalam beberapa tahun juga
berimbas pada pergolakan di masyarakat Tiongkok utara yang berpusat di Luoyang (洛陽)
dan Kaifeng (開封), sehingga Buddhisme juga tidak menampakkan perkembangan yang

130
cukup besar. Namun beberapa kerajaan dari Sepuluh Negara yang terlepas dari kekuasaan
pemerintah pusat dan memiliki pengaruhnya, dibandingkan dengan pemerintah pusat, mereka
malah memiliki kondisi politik yang stabil dalam jangka waktu yang lebih lama, kondisi
ekonomi dan budaya juga cukup baik, bahkan juga memiliki pemimpin yang senang
menjalankan ajaran Buddha dan turut mengembangkan Buddhisme, khususnya adalah
Buddhisme di negara Wuyue (吳越), Tang-Selatan (南唐), dan Min (閩) dapat mewakili
kondisi masa itu.

1. Buddhisme di Tiongkok Utara

Setiap pergantian dinasti, kebijakan terhadap Buddhisme turut mengalami perubahan


mengikuti sistem kekuasaan dinasti baru. Kondisi ini sepenuhnya juga sama pada masa Lima
Dinasti. Pemerintahan Dinasti Liang-Belakangan menetapkan buku data identitas anggota
Sangha di bawah pengawasan direktorat Ritus ( 祠 部 ), sekaligus memulihkan praktik
persembahan lampu yang pernah dilarang dalam jangka waktu lama saat masa perang. Saat
Dinasti Tang-Belakangan (後唐 ), untuk memudahkan pengawasan juga menggabungkan
wihara-wihara kecil yang tidak terdaftar. Selanjutnya juga pada bulan ke-10 tahun pertama
dari era Tiancheng (天成; 926 M) masa Kaisar Mingzong dari Dinasti Tang-Belakangan (後
唐明宗), saat hari ulang tahun sang kaisar, telah dikeluarkan larangan bagi orang-orang yang
mengikuti kebiasaan lama untuk mengajukan permohonan pemberian gelar dan jubah ungu
kepada biksu. Pada bulan ke-11, dikeluarkan lagi larangan pembangunan wihara dan
penahbisan anggota Sangha tanpa izin. Terlebih lagi pada tahun ke-2, bulan ke-6 dari era
Tiancheng, dikeluarkan instruksi keras untuk meminta pembenahan sikap anggota Sangha.
Hal yang harus diperhatikan di sini adalah fakta kondisi ritual Buddhis yang populer di
masyarakat saat itu. Karena apa yang dilarang oleh pemerintah adalah anggota Sangha yang
melakukan penahbisan sendiri, penyalahgunaan nama Buddhisme untuk mempraktikkan hal
yang menyesatkan, para lekaki dan perempuan kerap berbuat asusila, berkumpul pada malam
hari lalu membubarkan diri pada keesokan paginya, berbagai praktik yang penuh dengan
hawa nafsu yang disebutnya sebagai ritual. Oleh karena itulah, dinasti yang muncul
selanjutnya, yaitu Jin-Belakangan (後晉), pada satu sisi melakukan pembenahan Buddhisme,
pada sisi lain menggunakan paham Konfusianisme secara total sebagai kebijakan politiknya.

131
Sampai pada masa kekuasaan Zhou Shizong (周世宗) dari Dinasti Zhou-Belakangan (後周),
ia pun mengambil tindakan penumpasan habis-habisan terhadap Buddhisme.

2. Kaisar Zhou Shizong Menumpas Buddhisme

Dari larangan yang ditetapkan pada tahun ke-2 dari era Tiancheng sudah dapat terlihat
kebobrokan dalam komunitas Sangha, bahkan mereka tidak tahu introspeksi diri. Demi
pembangunan negara yang baru dan bersih, Kaisar Zhou Shizong yang dikenal cerdas pun
mengikuti langkah kebijakan Kaisar Taizu (太祖) untuk mengurangi jumlah wihara. Pada
tanggal 7 bulan 6 tahun ke-2 dari era Xiande (顯德; 955 M), ia dengan tegas menjalankan
instruksi pembenahan total yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

- Semua wihara tanpa papan nama resmi pemberian negara harus dihancurkan.
- Wihara di kota kabupaten tanpa papan nama resmi pemberian negara, maka yang
dihancurkan adalah wihara yang paling besar dan menyisakan satu unit untuk anggota
Sangha.
- Dilarang membangun wihara dan aranya (wihara hutan). Bagi anggota Sangha yang
melanggar maka diberi hukuman berat dan dipaksa lepas jubah.
- Panglima daerah militer (節度使) dan pejabat pengawas daerah (刺史) juga dilarang
mengajukan permohonan pembangunan wihara baru dan pendirian Simamandala (戒壇).
- Dilarang keras melakukan penahbisan sendiri. Bagi yang ingin memasuki kehidupan
monastik atas niat sendiri harus ada restu dari orang tua beserta kakek dan nenek. Jika
orang tua telah tiada, maka harus mendapat izin dari paman dan kakak yang tinggal
serumah. Kemudian mengikuti ujian kitab suci dengan materi berdasarkan tingkat usia
sebagai berikut: Bagi laki-laki usia 15 tahun ke atas, materi menghafalkan teks kitab suci
sebanyak 100 lembar, dan materi membaca sebanyak 500 lembar. Bagi perempuan usia
13 tahun ke atas, materi menghafalkan teks kitab suci sebanyak 70 lembar, dan materi
membaca sebanyak 300 lembar. Setelah itu baru dinyatakan lulus.
- Harus menerima upasampada di simamandala yang telah diakui oleh negara. Selain
simamandala di dua ibu kota, Prefektur Daming (大名府), Prefektur Jingzhao (京兆府),
dan Prefektur Qingzhou (清州府), sisanya dianggap tidak sah.

132
- Bagi yang memenuhi syarat penahbisan, maka akan diberikan sertifikat penahbisan oleh
direktorat Ritus, setelah itu baru dilakukan penahbisan.
- Bagi laki-laki yang orang tua beserta kakek dan neneknya masih hidup, jika tidak ada
anak cucu lain yang merawat mereka maka tidak diizinkan memasuki kehidupan
monastik.
- Orang yang sedang menjalani hukuman karena melanggar hukum; orang yang melarikan
diri dari orang tua beserta kakek dan nenek; budak; pemerkosa; mata-mata; perampok
yang jadi buronan; dilarang memasuki kehidupan monastik. Jika ada wihara yang
menyembuyikan orang tersebut, maka kepala wihara dan anggota Sangha yang
bertanggung jawab, beserta sesama anggota Sangha yang tinggal di kamar yang
bersebelahan, semuanya ditangkap. Bagi pejabat setempat yang gagal dalam pengawasan
ini juga dianggap bersalah.
- Bagi anggota Sangha yang ingin lepas jubah (kembali ke kehidupan rumah tangga),
dilihat dari kemampuannya akan direkrut menjadi pejabat atau anggota militer. Jenis
praktik lain yang tidak diperbolehkan dalam adat istiadat Tiongkok, seperti
mengorbankan tubuh, membakar lengan, menyulut api di jari yang merusak anggota
tubuh, semua ini dilarang. Sekaligus juga menetapkan peraturan pembuatan buku data
identitas anggota Sangha setiap tahun.

Kaisar Zhou Shizong juga mengacu pada sistem peraturan Buddhisme masa Dinasti
Tang. Namun dari pasal pelarangan di atas juga dapat menyiratkan bagaimana kondisi
Buddhisme yang populer di masyarakat saat itu. Hal yang perlu kita perhatikan di sini adalah
bahwa para penguasa yang menumpas Buddhisme di masa lalu tidak ada satu pun yang tidak
memiliki pandangan keliru tentang agama sebagai faktor penyebabnya. Sedangkan
penindasan Buddhisme yang dilakukan oleh Kaisar Zhou Shizong sama sekali malah muncul
dari cara pandang politik beliau. Akibatnya, sebanyak 30.036 wihara dihancurkan, dan hanya
menyisakan 2.700 wihara. Jumlah anggota Sangha yang terdaftar mencapai 61.000 orang
lebih. Dalam kondisi kekurangan bahan perunggu, telah dikumpulkan patung Buddha dan
alat musik ritual Buddhis dari perunngu untuk dilebur menjadi mata uang Dinasti Zhou.

3. Doktrin Ajaran Buddhisme Masa Lima Dinasti

133
Dari kitab Song Gaoseng Zhuan (宋高僧傳—Riwayat Biksu Agung Dinasti Song)
dapat terlihat bahwa aktivitas anggota Sangha masa Lima Dinasti (五代) dan awal Dinasti
Song (宋) populer dengan praktik meditasi Chan, ritual permohonan kesejahteraan, kontak
batin, relik , shengde, dan berbagai kegiatan spiritual yang mistis dan ritualis. Kegiatan ini
juga banyak ditemukan dalam literatur di Dunhuang (敦煌) yang memiliki kesamaan catatan
periode. Karya tulis Buddhisme yang dapat dianggap mewakili zaman Lima Dinasti hanya
ada beberapa kitab di antaranya adalah : Jinglun Huiyao (經論會要—Intisari Sutra dan
Risalah) 20 bab, karya Guiyu (歸嶼), sudah tidak eksis lagi; Xinji Zangjing Yinyi Suihan Lu
(新集藏經音義隨函錄—Kumpulan Catatan Praktis Penjelasan Ungkapan Tripitaka) 30 bab,
karya Ke Hong (可洪), kitab ini masih eksis; Zutang Ji (祖堂集—Kumpulan Catatan Aula
Sesepuh) 20 bab, karya Biksu Jing (靜) dan Yun (筠), masih eksis; Dazang Jing Yin Shu (大
藏經音疏—Kamus Penjelasan Ungkapan Maha-pitaka) 500 bab, karya Xingtao (行瑫),
hanya tersisa bab ke-307; Shishi Liutie (釋氏六帖—Enam Catatan Klan Sakyamuni) 24 bab,
karya Yichu (義楚), masih eksis. Karena kondisi politik yang tidak stabil, maka doktrin
ajaran Buddhisme masa Lima Dinasti juga tidak dapat diharapkan bisa berkembang.

4. Buddhisme di Negara Wuyue dan Tang-Selatan

Negara Wuyue (吳越; 907-978 M) yang menetapkan ibu kotanya di Hangzhou (杭州)
telah menganut Buddhisme secara turun temurun. Terutama Pangeran Zhongyi (忠懿) -
Qianchu (錢俶) adalah seorang umat Buddha yang sangat tulus. Beliau berguru kepada
Tiantai Deshao ( 天 台 德 韶 ) dan Yongming Yanshou ( 永 明 延 壽 ), bahkan pernah
mengupayakan pengambilan kitab suci Buddha hingga ke Goryeo (Korea). Beliau juga
meneladani Raja Asoka dengan membangun 84.000 stupa kecil dari perunggu untuk
disebarkan ke berbagai daerah pada tahun ketika Kaisar Zhou Shizong menumpas Buddhisme
(955 M). Beliau pernah menjadi pangeran yang meninggalkan kehidupan rumah tangga.
Kegiatan pembangunan wihara dan penahbisan anggota Sangha di negara beliau sungguh
sangat banyak. Sehubungan dengan kestabilan politik yang membawa ketentraman selama 70
tahun, maka ia telah membangun sebuah kerajaan Buddhis yang besar. Karena itu,
dibandingkan dengan negara lain yang mengalami ketidakstabilan politik dan kondisi
Buddhisme Tiongkok utara yang terpukul akibat penindasan, maka wilayah Tiongkok selatan
134
tampak lebih berjaya dengan mazhab Chan dan Sukhavati sebagai aliran utamanya, dan telah
meletakkan fondasi perkembangan Buddhisme Tiongkok periode modern awal.

Selanjutnya, negara Tang-Selatan (南唐; 937-975 M) yang menetapkan ibu kotanya


di Jinling (金陵) juga memiliki kestabilan politik yang berlangsung selama 39 tahun, dan
mengalami tiga kali regenerasi penguasa secara beruntun, yaitu Li Bian (李昪), Li Jin (李璟),
dan Li Yu (李煜). Konon bentuk hukuman penjara saat itu juga diperlunak. Dua kitab sejarah
Nantang Shu (南唐書—Sejarah Tang-Selatan) karya Lu You (陸游) dan Ma Ling (馬令),
terdapat bagian Futu Zhuan (浮屠傳—Biografi Buddha), jadi terlihat betapa berkembangnya
Buddhisme di negeri tersebut. Li Bian memasukkan kitab Xin Huayanjing Lun (新華嚴經論
—Risalah Avatamsaka Sutra Baru) karya Li Tongxuan (李通玄) yang berjumlah 40 bab ke
dalam kanon Tripitaka, dan juga karena beliau belajar di bawah bimbingan Biksu Qingliang
Wenyi (清涼文益), pendiri mazhab Chan aliran Fayan (法眼宗), maka beliau telah memberi
pengaruh yang sangat besar kepada generasi mendatang. Wei Jing (惟淨) yang telah berjasa
pada aktivitas penerjemahan kitab suci pada masa awal Dinasti Song ( 宋 ) merupakan
keponakan Li Bian. Selain itu, terdapat Wang Shenzhi (王審知) atau Pangeran Min (閩王)
dari wilayah Min (閩) yang sangat memuja Biksu Xuefeng Yicun (雪峰義存). Singkatnya,
Buddhisme di berbagai negara di wilayah Tiongkok selatan pada masa Lima Dinasti
berkembang dengan sangat maju.

5. Pembagian Lima Sub-aliran Mazhab Chan

Setelah periode pertengahan Dinasti Tang, berbagai aliran Buddhisme secara


berangsur-angsur mengalami kemunduran, namun hanya mazhab Chan yang berjaya
sendirian. Di bawah Patriark VI - Huineng (惠能) terdapat banyak murid yang berbakat, dan
masing-masing dari mereka menyebarkan inti ajaran Chan ke berbagai daerah. Murid yang
paling unggul di antaranya adalah Nanyue Huairang (南岳懷讓) dan Qingyuan Xingsi (青原
行思). Karena itu, jangka waktu pewarisan garis silsilah mereka juga berlangsung paling
lama. Sehubungan dengan basis penyebaran teknik ajaran Chan yang unik dari murid Nanyue,
yaitu Mazu Daoyi (媽祖道一) di Jiangxi (江西), dan basis penyebaran dari murid Qingyuan,
yaitu Shitou Xiqian (石頭希遷) ada di Hunan (湖南), maka mereka telah membawa Chan

135
aliran selatan ke taraf yang eksplorasif. Murid Mazu, Baizhang Huaihai ( 百 丈 懷 海 )
menetapkan sistem peraturan wihara Chan, yaitu Baizhang Qinggui (百丈清規—Peraturan
Disiplin Baizhang) yang tidak membatasi diri pada sistem Vinaya Mahayana dan Hinayana,
namun dari perspektif yang sama sekali baru untuk menegakkan peraturan wihara, sehingga
telah meletakkan fondasi sistem kemandirian wihara Chan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya pada bab IX. Ini merupakan kondisi yang muncul dari hasil upaya penyesuaian
antara peraturan Vinaya dari India dengan sistem etika masyarakat Tiongkok.

Di antara murid Baizhang, terdapat Guishan Lingyou (溈山靈佑) bersama muridnya,


Yangshan Huiji (仰山慧寂; 814-890 M) mendirikan mazhab Guiyang (溈仰宗). Sedangkan
murid Huangbo Xiyun (黃檗希運), yaitu Linji Yixuan (臨濟義玄) mendirikan mazhab Linji
(臨濟宗).

Selanjutnya di bawah Yaoshan Weiyan (藥山惟儼; 751-834 M) terdapat Dongshan


Liangjie (洞山良价) bersama muridnya, Caoshan Benji (曹山本寂; 840-900 M) mendirikan
mazhab Caodong (曹洞宗). Di bawah garis silsilah Qingyuan Xingsi juga terdapat Yunmen
Wenyan ( 雲 門 文 偃 ) yang mendirikan mazhab Yunmen ( 雲 門 宗 ). Kemudian terdapat
Qingliang Wenyi (清涼文益; 885-958 M) yang mendirikan mazhab Fayan (法眼宗).

Kelima aliran di atas: Guiyang, Linji, Caodong, Yunmen, dan Fayan disebut Lima
Keluarga. Di antara kelima mazhab ini yang paling menonjol pengaruhnya adalah Linji.
Hingga masa Dinasti Song, di bawah mazhab Linji terbagi lagi dua cabang, yaitu Huanglong
(黃龍) dan Yangqi (楊岐), sehingga keseluruhannya disebut Lima Keluarga Tujuh Cabang
(五家七宗). Mereka sama-sama diwariskan dari garis silsilah Patriark VI- Huineng, namun
terbagi menjadi sekian banyak cabang aliran, karena karakteristik yang dibawa oleh setiap
guru Chan tidak sama, maka muncul karakteristik Chan yang berbeda pula. Mengenai
karakteristik Chan dari berbagai cabang aliran, Tianmu Gaofeng (天目高峰; 1238-1295 M)
mengomentari bahwa Linji yang bersifat lugas, Guiyang yang hati-hati, Yunmen yang klasik,
Caodong yang saksama, dan Fayan yang gamblang. Kemudian menurut kitab Zongmen
Shigui Lun (宗門十歸論—Risalah Sepuluh Tujuan Pintu Mazhab) karya Qingliang Wenyi,
tatkala kelima keluarga aliran ini mulai terbentuk secara perlahan-lahan, ia pun turut

136
memunculkan sepuluh sisi negatif. Demi melindungi aliran dan sesepuh, para murid Deshan,
Linji, Guiyang, Caodong, Yunfeng, dan Yunmen saling mengritik dan berselisih tanpa
mencari kebenaran. Akibatnya mereka lupa akan tujuan utama Buddha, lalu menggunakan
metode Chan secara sembarangan, seperti menggunakan teknik pukulan dan bentakan, simbol
lingkaran, dan pelantunan syair untuk mencemooh orang. Namun sebagian orang yang bodoh
malah mempercayainya, dan ikut melantunkan kata-kata mereka dengan menganggapnya
sebagai pemahaman yang menakjubkan.

6. Mazhab Linji dan Guiyang

Linji Yixuan (臨濟義玄; wafat tahun 867 M) adalah penduduk asal Caozhou (曹州),
Nanhua (南華; Provinsi Shandong (山東)). Awalnya beliau berguru kepada Huangbo (黃檗),
dan menjalani praktik dengan tulus selama tiga tahun. Ia pernah menanyakan makna sejati
ajaran Buddha kepada Huangbo, namun sebanyak tiga kali bertanya, sebanyak tiga kali pula
digebuk. Lantas, setelah beberapa tahun kemudian, pencapaian beliau akhirnya memperoleh
pengesahan. Selanjutnya beliau pergi ke Hubei (湖北) menetap di Wihara Linji (臨濟院)
sebelah tenggara kota Zhenzhou ( 鎮 州 ). Beliau menggalakkan penerapan teknik Chan
dengan cara pukulan dan teriakan, dan menyebarluaskan prinsip ‘tiada masalah (無事)’
sebagai karakteristik ajarannya. Filosofi Chan Linji sama dengan Huangbo yang berpijak
pada sudut pandang bahwa tiada dualisme antara makhluk hidup dan Buddha, dan
menitikberatkan aspek tiada pikiran serta ‘tiada masalah’ sebagai tujuan. Cara bimbingannya
kepada siswa adalah menggunakan teknik Empat Bentakan (四喝), Empat Seleksi (四料揀),
Tiga Kalimat (三句), Tiga Kemenakjuban (三玄), Tiga Esensi (三要), Empat Pengamatan
dan Fungsi (四照用), Empat Tuan dan Tamu (四賓主). Kitab Linji Lu (臨濟錄—Catatan
Linji) yang disusun oleh murid beliau, Huiran (慧然), telah menjabarkan dengan baik tentang
keunikan dari metode Chan Sesepuh Tiongkok dengan mengklasifikasikan tindak tanduk dan
ucapan Linji menjadi empat bagian, yaitu ceramah di atas mimbar; memberi bimbingan; uji
kelayakan; dan catatan praktik.

Guishan Lingyou (溈仰靈佑; 771-853 M), selama 42 tahun beliau menetap di Wihara
Tongqing (同慶寺) yang didirikan oleh beliau sendiri di Gunung Dagui (大溈山),Desa

137
Ningxiang, Provinsi Hunan (湖南 寧鄉), dan mengajar muridnya yang berjumlah ribuan
orang. Beliau memiliki karya tulis berjudul Guishan Jingce ( 溈 山 警 策 —Ungkapan
Peringatan dari Guishan). Dalam kitab ini, beliau mengemukakan bahwa di dunia yang
bobrok ini, waktu berlalu dengan cepat, praktisi Buddhis tidak boleh lengah, sepatutnya
sering introspeksi diri dan jeli mendeteksi kebobrokan zaman; jangan salah jalan dan harus
mampu mengenali jati diri sejati. Beliau telah menegakkan karekteristik aliran-nya yang
cermat dan hati-hati. Jalan yang beliau ungkapkan hanya berkenaan dengan ketiadaan pikiran
[yang melekat] belaka. Jika mencapai ketiadaan pikiran, maka telah merealiasi semua
Dharma, masing-masing dapat berdiam dalam tingkatannya, serta mencapai penembusan
sempurna tanpa halangan. Murid Lingyou, yaitu Yangshan Huiji (仰山慧寂) mengikuti
Lingyou selama 15 tahun hingga pencapaiannya memperoleh pengesahan. Selanjutnya,
Yangshan kerap memberi penekanan pada muridnya untuk mengamati batin sendiri dan
menjalani praktik dengan sungguh-sungguh. Beliau suka menggunakan simbol untuk
membimbing orang. Pernah ketika orang memohon nasihatnya, beliau lalu menggambar
sebuah lingkaran di atas kertas untuk mengekspresikan prinsip Chan dari beliau. Berhubung
karakteristik Chan dari Guishan dan Yangshan yang penuh kehati-hatian tidak sesuai dengan
karakter penduduk Tiongkok selatan, maka di antara 5 cabang aliran Chan, garis silsilah
mereka paling awal mengalami kemerosotan.

7. Karakteristik Mazhab Caodong dan Yunmen

Dongshan Liangjie (洞山良价; 807-869 M) adalah pewaris garis silsilah Shitou (石


頭) dan Yaoshan (藥山). Pada saat setelah bencana Dharma era Huichang, periode akhir era
Dazhong (大中; 859 M), beliau tekun memberi bimbingan di Gunung Dongshan (洞山),
Distrik Yunzhou (筠州),Shanxi (山西). Konon di antara muridnya yang berjumlah sekitar
500 hingga 1.000 orang adalah kaum pejabat level menengah ke bawah. Pemikiran Dongshan
dapat dipahami melalui kitab Baojing Sanmei ( 寶 鏡 三 昧 —Samadhi Cermin Permata),
Xuanzhong Ming (玄中銘—Inskripsi yang Menakjubkan), Xinfeng Yin (新豐吟—Senandung
Xinfeng) dan literatur lainnya.Menurut Dongshan, teknik meditasi utama yang diwariskan
Buddha selain untuk memperbaiki satu batin yang pada hakikatnya suci, tiada hal lain lagi.
Beliau juga menggunakan prinsip kitab I-ching (易理), yang terdiri dari lima posisi untuk

138
menjelaskan aspek satu batin ini. Beliau juga menjelaskan intisari Chan yang disesuaikan
dengan pola pemikiran zaman tersebut, karena itu beliau bersikap antipati pada ketenaran dan
keuntungan pribadi, dan mendorong para muridnya untuk menyebarluaskan karakter ajaran
beliau yang seksama. Murid beliau, Caoshan Benji (曹山本寂) menetap di Caoshan, Distrik
Fuzhou (撫州), Provinsi Jiangxi (江西), untuk memberi bimbingan Chan kepada para siswa.
Selanjutnya beliau berpindah ke Gunung Heyu (荷玉山). Di sana, jumlah orang yang datang
memohon petunjuk Dharma mencapai seribu dua ratus hingga tiga ratus orang. Mengenai
prinsip lima posisi dari Caoshan, beliau menjelaskannya secara detail sehingga telah
membesarkan reputasi metode ajaran guru beliau.

Wenyan (文偃; 864-949 M) dari mazhab Yunmen merupakan pewaris Dharma dari
garis silsilah Xuefeng Yicun (雪峰義存; 822-908 M). Saat menetap di Yunmen, Provinsi
Guangdong ( 廣 東 ), beliau mengakomodasi dengan pas antara metode ajaran Muzhou
Daoming (睦州道明) yang berkarakter tegas dengan metode ajaran Xuefeng Yicun yang
berkarakter ketat sehingga melahirkan karakteristik aliran yang unik dari beliau. Teknik
pengajaran beliau bersifat fleksibel dan dinamis, dan menggunakan satu kata yang tak
terduga seperti yi (咦—tanda tanya), lu (露—embun), he (喝—‘he!’) dan sebagainya untuk
menebas konflik batin para praktisi, sebagai ekspresi pencerahan langsung dari karakteristik
Chan. Karena itu disebut gerbang satu kata (一字關). Dari kitab Yunmen Guanglu (雲門廣錄
—Catatan Besar Yunmen) dapat diketahui gagasan Chan yang dikemukakan oleh Wenyan
adalah bahwa ajaran Buddha tidak harus dicari dalam jenjang yang tinggi, melainkan segala
sesuatu yang ada di dunia ini dapat ditemukan corak kedemikianan sejati. Oleh karena itu,
beliau mendorong para muridnya untuk harus dapat mengekspresikan secara konkret
semangat penyatuan antara nilai kesejatian dan fenomena dalam kehidupan sehari-hari.
Penyebaran karakteristik Chan dari beliau dimulai dari wilayah Shaozhou (韶州) di Provinsi
Guangdong hingga ke wilayah aliran Sungai Yangzi (揚子江) di Gunung Lu (廬山) dan
Hubei (湖北).

8. Mazhab Fayan dan Linji

139
Mazhab Fayan ( 法 眼 宗 ) terbentuk atas upaya dari murid Xuefeng Yicun, yaitu
Xuansha Shibei (玄沙師備; 835-908 M) dan Qingliang Wenyi (清涼文益). Ini adalah sebuah
aliran Buddhisme yang populer di wilayah-wilayah penting Zhejiang ( 浙 江 ) seperti
Hangzhou (杭州), Mingzou (明州) dan Taizhou (台州) di masa negara Wuyue (吳越).
Master Wenyi menyukai karakteristik Chan dari Shitou (石頭). Beliau menyanjung kitab Can
Tong Qi (參同契) dan juga menuliskan catatan kaki. Itulah sebabnya gagasan Chan dari
beliau penuh dengan nuansa filsafat. Yang beliau ajarkan adalah peleburan antara Chan dan
Sukhavati, beserta pemikiran filosofi tentang penyelarasan sempurna dari Huayan dan aspek
hanya-batin-semata dalam triloka (3 alam kehidupan) dan segala sesuatu hanya-kesadaran-
semata. Namun justru itu, ia telah kehilangan wajah asli Chan. Dan sebagai akibatnya,
mazhab Fayan yang bernuansa teori filsafat memiliki nasib yang sama seperti mazhab
Guiyang yang bersifat hati-hati di mana ia mengalami kemunduran dalam waktu singkat.

Di bawah garis silsilah Linji Yixuan ( 臨 濟 義 玄 ) dalam mazhab Linji, terdapat


Ciming Chuyuan (慈明楚圓). Murid Chuyuan, yaitu Yangqi Fanghui (楊岐方會; 996-1049
M) mendirikan cabang aliran Yangqi (楊岐派). Beliau menetap di Wihara Putong (普通禪院)
di Gunung Yangqi (楊岐山) dengan mengajarkan karakter alirannya yang datar. Beliau
berkata bahwa Buddha Dharma meliputi segala sesuatu, para Buddha dari tiga masa berada di
hadapan semua orang dan sedang memutar roda Dharma yang agung; semua daun dan
pepohonan mengeluarkan ‘auman singa’ untuk mewejangkan kebijaksanaan agung. Murid
Chuyuan yang lain, yaitu Huanglong Huinan (黃龍慧南; 1002-1069 M) mendirikan cabang
aliran Huanglong (黃龍派). Dengan perilaku diri yang disiplin beliau memberi bimbingan
kepada orang, dan kerap menguji para praktisi dengan menggunakan tiga kata, yaitu tangan
Buddha, kaki keledai, dan kondisi kelahiran, namun kebanyakan orang tidak mampu
memahami maksud beliau. Lingkup wihara Chan menyebut tiga kata itu sebagai tiga gerbang.
Ketika orang menjawab pertanyaan dari kata tersebut dan menanyakan pendapat beliau,
beliau malah memejamkan mata dan duduk terdiam. Ketika ditanyakan sekali lagi, beliau lalu
menjawab, “Orang yang telah melewati gerbang telah membuang lengannya, bagaimana bisa
mengetahui prinsip gerbang. Menanyakan prinsip di gerbang pertanda belum melewati
gerbang.”

140
BAB XII Buddhisme Dinasti Song-Utara

1. Kebijakan Pemulihan Buddhisme

Setelah panglima daerah militer pasukan Guide (歸德軍), Zhao Kuangyin (趙匡胤),
menerima kekuasaan dari Dinasti Zhou-Belakangan (後周) dan menetapkan ibu kotanya di
Jiandu (建都), maka inilah tanda awal berdirinya Dinasti Song (宋) dengan kaisarnya yang
bergelar Song Taizu (宋太祖). Beliau membangun dinastinya pada tahun ke-2 dari era
Xiande (顯德; 955 M) masa Dinasti Zhou-Belakangan setelah era Kaisar Zhou Shizong
menumpas Buddhisme. Untuk menarik dukungan rakyat, maka beliau pun membuat
kebijakan pemulihan Buddhisme.

Pada tahun pertama dari era Jianlong (建隆; 960 M) masa awal pemerintahan Kaisar
Song Taizu, beliau menginstruksikan semua wihara di seluruh negeri untuk menghentikan
kebijakan lama Dinasti Zhou-Belakangan yang menghancurkan wihara-wihara tanpa nama
yang tak terdaftar. Wihara yang rusak dan belum hancur total boleh dipertahankan. Patung
Buddha dan peralatan Buddhis lain yang terbengkalai di wihara yang hancur diinstruksikan
untuk dilestarikan. Akan tetapi, wihara baru dan pelaksanaan penahbisan anggota Sangha
tetap dibatasi seperti kebijakan lama. Ini untuk mengikuti kebijakan penataan yang dilakukan
oleh Kaisar Zhou Shizong, hanya saja kebijakan tersebut ada sedikit perbaikan.

Dari kebijakan Kaisar Song Taizu dapat diketahui bahwa anggota Sangha dan pendeta
Taois masa awal Dinasti Song digolongkan sebagai Duta Sosial (功德使). Mengenai praktisi
dan anak yang ditahbiskan menjadi anggota Sangha ditetapkan harus mengikuti ujian kitab
suci. Bagi yang lulus akan diberi sertifikat penahbisan (度牒) oleh Direktorat Ritus (祠部)
yang berada di bawah Departemen Urusan Negara (尚書省—Shangshu Sheng), hingga resmi
menjadi biksu, biksuni, atau pendeta Taois. Sistem peraturan ini berawal dari buku data
identitas anggota Sangha dan Taois pada masa Dinasti Tang. Hingga masa Dinasti Song,

141
sistem ini juga dikelola oleh Direktorat Ritus dari Departemen Urusan Negara. Jadi,
pengelolaan hak untuk menjadi anggota Sangha dan pendeta Taois semuanya di bawah
kendali pemerintah.

Pada tanggal 16 bulan 2 (hari kelahiran kaisar) awal tahun berdirinya Dinasti Song,
kaisar menetapkan hari tersebut sebagai hari festival Changchun (長春節—festival musim
semi panjang). Di Wihara Xiangguo (相國寺) yang terletak di ibu kota Kaifeng (開封), para
pejabat negara diundang untuk jamuan pesta. Perdana menteri Fanzhi (范質) mengirimkan
ucapan selamat dan merayakan jasa kaisar. Kemudian sebanyak 8.000 praktisi dan anak-anak
diberi penahbisan. Setelah itu, Kaisar Taizu juga kerap mengunjungi Wihara Xiangguo,
menyelenggarakan kegiatan upavasatha dan doa permohonan hujan. Pada hari festival
Changchun di tahun ke-2 dari era Kaibao (開寶; 969 M), Kaisar Taizu menginstruksikan
semua anggota Sangha seluruh negeri untuk mengikuti ujian istana (殿試) dengan materi
tentang makna Sutra, Vinaya, dan Abhidharma sebanyak 10 soal. Bagi yang menjawab benar
semuanya akan diberi hadiah jubah ungu. Beliau menggunakan sistem ujian Sutra sebagai
syarat penahbisan dan sistem ujian istana untuk menata komunitas Buddhisme agar para
anggota Sangha terdorong untuk mengejar kemajuan. Pada tahun ke-4 dari era Kaibao, kaisar
menugaskan kasim istana, Zhang Congxin (張從信) ke Yizhou (益州; Chengdu (成都),
Provinsi Sichuan ( 四 川 )) untuk mengadakan pemahatan Tripitaka. Kemudian juga
memerintahkan Administrator Sangha Lorong Kanan, Biksu Wensheng ( 文 勝 ) untuk
menyusun kitab Dazang Jing Suihan Suoyin ( 大 藏 經 隨 函 索 隱 —Lampiran Pengkajian
Tripitaka) sebanyak 660 bab. Semua ini merupakan kebijakan dari Kaisar Taizu untuk
melindungi Buddhisme. Hingga masa Kaisar Song Gaozong ( 宋 高 宗 ), seiring dengan
ditegakkannya fondasi kekuatan Dinasti Song, kebijakan ini pun telah menampakkan
hasilnya.

2. Aktivitas Penerjemahan Kitab Suci Masa Dinasti Song

Pada tahun pertama dari era Taiping Xingguo (太平興國; 976 M), Kaisar Song
Taizong (宋太宗) menginstruksikan penahbisan anak-anak dari seluruh negeri sebanyak

142
170.000 orang. Tahun berikutnya, Wihara Longxing (龍興寺) di Dongjing (東京—ibu kota
timur atau nama lain dari kota Kaifeng (開封)) diubah namanya menjadi Wihara Taiping
Xingguo, kemudian aula sebelumnya dipisah, lalu dipajangkan lukisan almarhum Kaisar
Taizu yang digunakan sebagai kuil besar untuk memuja beliau. Wihara Longxing di Kaifeng
ini sebelumnya pernah dialihfungsikan menjadi pergudangan pemerintah pada saat
penindasan Buddhisme oleh Kaisar Zhou Shizong, dan kini ia telah direvitalisasi.

Ketika itu, wilayah Shaanxi (陝西) dan Gangsu (甘肅) yang berada di pesisir barat
telah masuk ke dalam peta kekuasaan Dinasti Song, dan jalur perhubungan dengan Asia
Tengah pun telah dibuka. Karena itu, para anggota Sangha dari kerajaan Khotan dan
Gaochang (高昌) pun berdatangan ke negara Song. Kemudian ada lagi Biksu Daoyuan (道圓)
dari Cangzhou (滄州) melakukan perjalanan pulang pergi ke India dengan menghabiskan
waktu selama 18 tahun. Setelah kembali, beliau mempersembahkan relik Buddha kepada
kaisar, beserta Sutra bahasa Sanskerta dari daun lontar. Karena itu, untuk misi pencarian
Dharma ke India, kaisar pun mengutus 157 orang yang diketuai oleh Biksu Xingqin (行勤),
dan masing-masing dari mereka diberi bekal untuk berangkat ke India. Juga dikirimkan surat
kepada kerajaan-kerajaan di Asia Tengah untuk memohon bantuan agar misi pencarian
Dharma dapat berhasil dengan lancar. Pada kesempatan ini, terdapat tiga orang biksu dari
India Barat yang berkunjung ke Tiongkok, yaitu Kezhi (可智), Fajian (法見), dan Zhenli (真
理). Selanjutnya ada lagi kunjungan biksu dari India Barat sebanyak 14 orang, termasuk
Miluo (彌羅). Biksu Dharmadeva (法天) dari India Tengah menerjemahkan kitab Sheng
Wuliang Shou Jing Qifo Zan (聖無量壽經七佛讚), sedangkan bagian penulisan komposisi
dilakukan oleh ahli bahasa Sanskerta, Biksu Fajin (法進), dari prefektur Hezhong (河中府),
dan Wang Guicong (王龜從) melakukan tugas edit. Sehubungan dengan persembahan kitab
dari Wang Guicong kepada pemerintah, sehingga kabar penerjemahan ini sampai pada Kaisar
Song Taizong ( 宋 太 宗 ), maka Dharmadeva pun diundang ke istana untuk menerima
persembahan jubah ungu dari sang kaisar. Selanjutnya, Fajin memberi usulan kepada kaisar
untuk mengundang Dharmadeva melakukan tugas penerjemahan kitab suci, lalu usulan ini
direstui oleh kaisar. Pada masa ini, juga terdapat dua biksu India yang datang ke Tiongkok
untuk melakukan tugas penerjemahan kitab suci, yaitu Biksu Dharmasanti (天息災) dan
Danapala (施護).

143
Maka dari itu, Kaisar Song Taizong mengutus Zheng Shoujun ( 鄭 守 均 ) untuk
membangun gedung penerjemahan kitab suci di sisi barat Wihara Taiping Xingguo yang
terletak di kota Dongjing (Kaifeng). Di bagian tengah gedung merupakan aula penerjemahan
teks kitab suci, bagian timur adalah aula edit, dan bagian barat adalah aula pencocokan
makna. Pada bulan 6 tahun ke-7 dari era Taiping Xingguo, gedung penerjemahan selesai
dibangun. Para biksu asing, yaitu Dharmasanti beserta rekan lainnya diundang untuk menetap
di sini, dan masing-masing dari mereka diinstruksikan untuk menerjemahkan satu kitab suci
dari bahasa Sanskerta. Pada saat itu, para ahli bahasa Sanskerta, seperti Fajin ( 法 進 ),
Changqin (常勤), dan Qingzhi (清治) bertanggung jawab untuk menulis komposisi teks.
Selain itu, terdapat pejabat yang ikut serta dalam aktivitas penerjemahan untuk melakukan
tugas edit dan pengawasan. Saat itu, Dharmasanti menjelaskan tata cara penerjemahan,
sedangkan proyek penerjemahan ini dibiayai oleh negara. Jadi, proyek penerjemahan yang
diselenggarakan oleh negara yang telah terputus selama 200 tahun sejak masa Kaisar Tang
Dezong (唐德宗), kini telah dihidupkan kembali.

Hasil terjemahan kitab suci dari bahasa Sanskerta yang dilakukan di wihara
penerjemahan kitab suci atas proyek negara Song ini di antaranya adalah Arya Bhagavati
Svalpaksara Prajnaparamita Sutra ( 聖 佛 母 經 ) yang diterjemahkan oleh Dharmasanti,
Vasudhara-dharani Sutra ( 吉 祥 持 世 經 ) yang diterjemahkan oleh Dharmadeva, dan
Dhvajagra-keyura Dharani ( 如 來 莊 嚴 經 ) yang diterjemahkan oleh Danapala, masing-
masing 1 bab. Semua kitab tersebut dimasukkan ke dalam kanon Tripitaka, dan diterbitkan
untuk disebarluaskan. Sejak itu, setiap kitab suci yang baru diterjemahkan dari bahasa
Sanskerta ini akan dipersembahkan kepada kaisar pada setiap peringatan hari ulang tahun
beliau, dan kitab tersebut pun dimasukkan ke dalam kanon Tripitaka, dan disebarluaskan.

Aktivitas penerjemahan kitab suci masa Dinasti Song dimulai sejak Kaisar Song
Taizong (宋太宗) dan Kaisar Song Zhenzong (宋真宗), kemudian berlanjut hingga era
Kaisar Song Renzong (宋仁宗). Pada tahun ke-8 dari era Dazhong Xiangfu (大中祥符; 1015
M) masa Kaisar Song Zhenzong, Yang Yi (楊億) menyusun kitab Dazhong Xiangfu Fabao
Lu (大中祥符法寶錄—Catatan Permata Dharma Era Dazhong Xiangfu) sebanyak 21 bab.
Kitab ini merupakan daftar isi kitab suci terjemahan baru. Selanjutnya pada tahun ke-4 dari
era Jingyou (景佑; 1037 M) masa Kaisar Song Renzong, Wei Jing (惟淨) melanjutkannya

144
dengan menyusun kitab Jingyou Xinxiu Fabao Lu (景佑新修法寶錄—Revisi Baru Catatan
Permata Dharma Era Jingyou) sebanyak 21 bab. Di antara masa-masa tersebut juga terdapat
kitab Tianzhu Ziyuan (天竺字源—Sumber Aksara India) dan Xin Yijing Yinyi (新譯經音義
—Makna Fonetik Sutra Terjemahan Baru) sebanyak 17 bab. Kitab Tiansheng Shijiao Zonglu
(天聖釋教縂錄—Daftar Isi Kitab Suci Agama Buddha Era Tiansheng) sebanyak 3 bab yang
disusun pada tahun ke-5 dari era Tiansheng (天聖; 1027 M) masa Kaisar Song Renzong,
merupakan kumpulan daftar isi Tripitaka yang telah mencakup daftar isi Tripitaka Kaiyuan
Lu (開元錄—Daftar Isi Tripitaka era Kaiyuan), Zhenyuan Lu (真元錄—Daftar Isi Tripitaka
era Zhenyuan), dan daftar isi Tripitaka edisi kerajaan yang baru diterjemahkan pada masa
Dinasti Song.

Aktivitas lembaga penerjemahan Sutra di masa Dinasti Song memiliki skala yang
cukup besar. Jumlah tokoh yang membawa literatur Sanskerta dari India atau Asia Tengah ke
Tiongkok sebanyak 80 orang. Jumlah tokoh yang mengunjungi India untuk mencari kitab
suci mencapai 138 orang. Jumlah anggota Sangha yang menguasai bahasa Sanskerta dan
bertugas sebagai pencatat dan editor di pusat penerjemahan mencapai 79 orang. Jumlah kitab
suci yang baru diterjemahkan mencapai lebih dari 600 bab. Biaya aktivitas penerjemahan
ditanggung oleh negara, dan memiliki sistem penyelenggaraan yang komplit. Kebanyakan
sumber kitab bahasa Sanskerta yang digunakan berasal dari divisi Tantra, di mana ia juga
merupakan literatur Buddhisme India yang mendekati periode terakhir. Ada pun yang
menganggap literatur tersebut telah pernah ada sebelumnya yang kemudian diterjemahkan
ulang untuk melengkapi kekurangan, sehingga hampir tidak berpengaruh pada proses
reformasi Buddhisme Tiongkok.

3. Aktivitas Lembaga Percetakan Kitab Suci

Pada masa Buddhisme awal hingga masa sektarian, ajaran Buddha selalu diwariskan
secara lisan oleh para guru kepada murid-murid dari generasi ke generasi berikutnya. Pada
masa itu penggunaan sistem pelafalan juga merupakan misi penting untuk mewariskan
Dharma sejati kepada generasi selanjutnya. Hingga sekitar abad awal masehi, setelah
penggunaan tulisan sebagai alat perekam literatur suci, selain tetap mendorong penggunaan
cara lama, yaitu sistem pelafalan, juga ditekankan manfaat dari penggunaan cara baru, yaitu

145
sistem penulisan kitab suci. Maka itu, aktivitas penulisan kitab suci pun berangsur-angsur
menjadi populer. Ini merupakan produk perubahan dalam sistem relijius Buddhisme yang
dapat dikatakan sama dengan perubahan fenomena dari pembuatan stupa yang telah ada sejak
dahulu ke fenomena pembuatan patung.

Literatur suci Buddhisme yang awal masuk ke Tiongkok merupakan teks Sanskerta
yang ditulis di atas daun lontar yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Tionghoa. Literatur
dari aksara Han ini sejak masa Enam Dinasti dan berlanjut hingga Dinasti Tang selalu
menggunakan bahan kertas dan tinta untuk ditulis dan dijilid menjadi kitab gulungan yang
kemudian dipraktikkan dan disebarluaskan. Pada masa Dinasti Tang, kitab Sutra, Vinaya, dan
Abhidharma yang telah diterjemahkan ke bahasa Tionghoa disusun dan kemudian ditetapkan
sebagai kanon Tripitaka edisi kerajaan dengan jumlah kitab yang sangat banyak hingga
mencapai 5.048 bab. Untuk menulis Tripitaka demikian bukanlah hal yang mudah. Di bawah
perlindungan kaum borjuis dan ningrat masa Dinasti Sui dan Tang, proyek kitab suci yang
dilakukan dengan penuh kesulitan ini bahkan ada yang ditulis dengan tinta emas dan perak di
atas kertas ungu sebagai dekorasinya.

Sehubungan dengan bertambahnya jumlah wihara dan anggota Sangha, maka jumlah
kebutuhan kitab suci juga bertambah. Karena itu, selain dengan metode penyalinan, kitab suci
juga diukir di atas bahan kayu, lalu hasil ukiran tersebut digunakan untuk mencetak kitab suci
bentuk baru dalam jumlah besar. Proses pembentukan ini merupakan masa peralihan antara
metode penyalinan kitab suci menjadi metode percetakan pada masa akhir Dinasti Tang dan
Lima Dinasti. Hai ini diwakili oleh penerbitan Tripitaka [edisi cetak] pada abad ke-10 masa
Dinasti Song.

Pada tahun ke-4 dari era Kaibao (開寳; 971 M) masa pemerintahan Kaisar Song
Taizu (宋太祖), beliau mengutus kasim istana, Zhang Congxin (張從信) ke Yizhou (益州)
(kota Chengdu, Provinsi Sichuan), untuk mengadakan pengukiran Tripitaka, karena wilayah
tersebut merupakan pusat kebudayaan percetakan sejak masa akhir Dinasti Tang hingga
zaman negara Shu-Awal (前蜀) dan Shu-Belakangan (後蜀). Proyek pengukiran skala besar
ini menghabiskan waktu selama 12 tahun hingga selesai pada tahun ke-8 dari era Taiping
Xingguo (太平興國; 983 M) masa Kaisar Song Taizong. Isi teks-nya berupa Sutra, Vinaya,
dan Abhidharma yang mengacu pada Daftar Isi Tripitaka Era Kaiyuan (開元錄 ) yang

146
berjumlah lebih dari 5.000 bab, dan jumlah blok kayu ukiran tersebut mencapai lebih dari
13.000 blok. Jadi dapat terlihat betapa besar proyek ini. Berdasarkan lokasi pengukirannya
maka ia disebut Tripitaka Edisi Shu (蜀版), juga disebut Tripitaka Edisi Ukiran Dinasti Song.
Pada era Taiping Xingguo, tahun ke-8, Tripitaka edisi ukiran ini dipindahkan dari Yizhou (益
州) ke ibukota Kaifeng. Kaisar Taizong lalu mendirikan gedung Lembaga Percetakan Sutra
di bagian sisi barat gedung Lembaga Penerjemahan Sutra di Wihara Taiping Xingguo, dan
mulai mengadakan kegiatan percetakan Sutra untuk dilestarikan. Ketika itu, gedung lembaga
penerjemahan Sutra dan percetakan Sutra digabungkan dengan diberi nama Gedung Lembaga
Pewarisan Dharma (傳法院).

Pada bulan 12 tahun ke-8 dari era Taiping Xingguo, biksu pelajar dari Jepang,
Cyonen (裔然), tiba di ibukota Kaifeng. Ketika bertemu dengan Kaisar Taizong, beliau
menceritakan kondisi kebudayaan daerah Jepang. Pada tahun ke-2 saat beliau hendak
meninggalkan ibukota, kaisar memberikan sebuah hadiah yang sangat berharga untuk beliau,
yaitu Tripitaka hasil cetakan baru dari Lembaga Percetakan Sutra Wihara Taiping Xingguo
sebanyak 481 jilid dengan total 5.048 bab, beserta Sutra yang baru diterjemahkan di masa
Dinasti Song sebanyak 40 bab, dan syair-syair pelimpahan jasa karya kaisar. Benda tersebut
kini tersimpan di Sheryo-ji, di Saga, Kyoto. Selain itu Cyonen juga membawa kembali
sebuah patung Buddha Sakyamuni dari kayu cendana. Sehubungan dengan Tripitaka edisi
cetak dari lembaga percetakan merupakan bagian dari proyek sosial yang dikelola oleh
pejabat internal istana kekaisaran Song, maka wihara besar dan wihara-wihara tua di gunung
ternama tentu mendapatkan jatah pemberian Tripitaka, termasuk juga negara-negara seperti
Jurchen (女真), Xia-Barat (西夏), Jepang, Korea, dan Jiaozhi (交趾), mendapatkan hadiah
Tripitaka tersebut atas dasar hubungan persahabatan negara. Satu set Tripitaka yang
diberikan kepada Jepang merupakan set kitab yang dibawa kembali oleh Biksu Cyonen.

Lembaga Percetakan Sutra Wihara Taiping Xingguo bukan saja mendistribusikan


Sutra yang dicetak dari blok kayu yang diukir di wilayah Shu, pada saat yang sama, atas
dukungan dari pejabat internal istana, ia juga mencetak Sutra edisi lanjutan yang mengacu
pada Daftar Isi Tripitaka Era Zhenyuan (貞元錄) dan Sutra-sutra yang baru diterjemahkan
pada masa Dinasti Song. Namun hingga pada tahun ke-4 dari era Shenzong Xining (神宗熙
寧 ; 1071 M), karena negara mengalami kesulitan keuangan maka aktivitas Lembaga

147
Percetakan Sutra pun dihentikan. Semua blok kayu lalu dipindahkan ke Aula-Chan
Shousheng (壽聖禪院) di Wihara Xiansheng (顯聖寺) di ibukota Kaifeng, dan diserahkan
kepada 3 orang biksu untuk menjaganya. Saat setelah biksu Cyonen membawa kembali
Tripitaka, ada lagi kitab suci yang baru diterjemahkan di Tiongkok. Ketika Biksu Jojin (成尋)
dari Jepang mengunjungi negara Song, beliau mengajukan permintaan kitab suci tersebut, di
mana saat itu beliau mengunjungi Aula Chan Shengshou di Wihara Xiansheng, dan beliau
mencetak Sutra yang mengacu pada daftar isi Sutra edisi cetak untuk dikirim kembali ke
Jepang.

Setelah Tripitaka edisi cetak dari Dinasti Song disebarkan ke negara-negara tetangga
yang memiliki hubungan dengan Buddhisme, maka di Goryeo (Korea) masa pemerintahan
Geonjong (顯宗; 1010-1031 M) turut mencetak Tripitaka edisi ukiran pertama dari Goryeo;
sedangkan di negara Liao (遼囯) yang beretnis Khitan (契丹) pada masa pemerintahan
Kaisar Liao Xingzong (遼興宗;1031-1052 M) juga menerbitkan Tripitaka edisi Khitan.
Meskipun di luar negeri sudah memiliki Tripitaka edisi cetak, namun di Tiongkok sendiri
karena Tripitaka edisi cetak dikuasai oleh negara, maka tidak pernah muncul pengadaan
percetakan Tripitaka dari kalangan rakyat. Mengenai Tripitaka edisi Chongning (崇寧萬壽藏)
dari Aula Chan Dengjue (等覺禪院) di Wihara Dongchan (東禪寺), di Fuzhou (福州),
setelah pemerintah Dinasti Song menghentikan kegiatannya di Lembaga Percetakan Sutra,
maka sutra tersebut berpindah tangan ke warga sipil, lalu pada masa akhir Dinasti Song Utara
( 北 宋 ) ia dicetak untuk diedarkan. Sehubungan dengan peristiwa Kekacauan Periode
Jingkang (靖康之亂), Wihara Shengshou di ibukota Kaifeng mengalami kehancuran akibat
peperangan. Tripitaka edisi ukiran pun dirampas oleh pasukan Dinasti Jin (金), akibatnya
Tripitaka ini juga mengalami nasib yang sama seperti Dinasti Song Utara.

Setelah memasuki masa Dinasti Song Selatan (南宋), di wilayah Sixi (思溪) di
Huzhou ( 湖 州 ) dan Qisha ( 磧 砂 ) di Prefektur Pingjiang ( 平 江 ) juga menerbitkan
Tripitaka.Tripitaka edisi Sixi terbagi atas dua jenis, yaitu yang mengacu pada Daftar Isi
Tripitaka Aula-Chan Yuanjue (圓覺禪院大藏經目錄) dan Daftar Isi Tripitaka Wihara-Chan
Fabao Zifu (法寶資福禪寺大藏經目錄), karena itu ia juga sama seperti Tripitaka edisi
Fuzhou yang terdapat dua edisi. Akan tetapi, karena nama wihara-chan Fabao Zifu dari Anji
(安吉) merupakan perubahan nama dari Aula-Chan Yuanjue dari Huzhou (湖州), maka

148
Tripitaka edisi belakangan hanya merevisi dari edisi ukiran yang lebih awal. Jenis Tripitaka
pertama yang lebih awal disebut Tripitaka edisi Sixi Awal (前思溪藏) dan setelah perubahan
nama wihara, maka Tripitaka kedua yang belakangan disebut Tripitaka edisi Sixi Belakangan
(後思溪藏). Selanjutnya mengenai Tripitaka edisi Qisha (磧砂) dari Wihara-chan Yansheng
(延聖禪院) di Prefektur Pingjiang, dengan mempertimbangkan bahwa aktivitas percetakan
Sutra dari Aula-Chan Yuanjue tidak ideal, maka Tripitaka edisi Sixi diulang penerbitannya.
Namun sebelum selesai, terjadi kejatuhan Dinasti Song-Selatan, sehingga baru selesai pada
masa Dinasti Yuan (元). Tripitaka edisi Sixi Belakangan mengalami bencana peperangan dari
pasukan Yuan, jadi pada saat yang sama dengan kejatuhan Dinasti Song-Selatan, ia pun ikut
musnah dalam api. Akan tetapi, terdapat ukiran Tripitaka Sixi Belakangan yang dilakukan
oleh Wihara Puning (普寧寺) di Nanshan (南山) dari sekte Baiyun (白雲宗).

Sebagai penjelasan tambahan di sini, Tripitaka edisi cetak dari Dinasti Song bersama
dengan edisi cetak ulang yang dilakukan di Korea dan sebagainya, merupakan edisi bentuk
gulungan (rol) yang setiap baris tulisannya terdiri dari 14 aksara. Di Tiongkok selatan, pada
akhir Dinasti Song-Utara, dua jenis Tripitaka edisi Fuzhou, dua jenis Tripitaka edisi Sixi,
beserta Tripitaka edisi Qisha, merupakan edisi bentuk kertas berlipat yang setiap baris
tulisannya terdiri dari 17 aksara. Tripitaka dari Tiongkok selatan yang diterbitkan oleh pihak
swasta dari sejak Dinasti Song-Utara hingga Song-Selatan terus melakukan aktivitas
percetakan Sutra, tidak hanya diedarkan di dalam negeri, bahkan juga menyebar hingga ke
luar negeri. Sehubungan dengan hubungan perdagangan antara Jepang dan Dinasti Song,
maka Tripitaka yang selesai cetak pun dikapalkan ke Jepang. Hingga sekarang, di wihara-
wihara tua di gunung terkenal di Jepang masih menyimpan warisan permata berharga ini.

Meskipun di lingkup Buddhisme Tiongkok terdapat Tripitaka edisi kerajaan, namun


dari metode penyebarannya, pada masa Dinasti Song ia mengalami evolusi dari metode
tulisan tangan menjadi metode percetakan dari blok kayu, sehingga kebudayaan Buddhis
dapat tersebar luas. Bagi Buddhisme zaman modern awal, ini merupakan sebuah kontribusi
yang sangat besar.

4. Pendirian Simamandala dan Peraturan Penerimaan Sila

149
Dinasti Song melanjutkan warisan peraturan disiplin dari Dinasti Tang dan Lima
Dinasti, kemudian juga melakukan penataan kembali secara lebih detail. Mengenai tanda
identitas diri anggota Sangha dan pendeta, setiap tiga tahun sekali didata ulang secara total,
dan setiap satu tahun sekali dilakukan evaluasi. Yang dimaksud dengan pendataan ulang total
adalah pencatatan secara detail data nama anggota Sangha dan remaja calon biksu di setiap
wihara, beserta umur, nama wisudi, tahun penahbisan, dan nama guru penahbis. Sedangkan
pengevaluasian adalah catatan detail tentang kegiatan setiap tahun, serta laporan tentang
jumlah penahbisan anggota Sangha dan remaja calon biksu setiap tahun.

Pada masa Dinasti Song, anak remaja yang memasuki kehidupan monastik di wihara
dicukur rambutnya untuk menjadi seorang sramanera, kemudian setelah menginjak usia
dewasa, dari status sramanera ia akan menjalani tahap penahbisan penuh sebagai seorang
biksu, di mana harus mengikuti sistem peraturan disiplin yang ditetapkan oleh negara yang
pelaksanaannya mengacu pada prosedur dan tata cara Buddhisme maupun Taoisme. Data
Sertifikat Penahbisan yang dikeluarkan oleh direktorat Ritus dari departemen urusan negara
ditentukan dengan mengacu pada data anggota Sangha dari hasil pendataan ulang dan
pendataan evaluasi. Jumlah penahbisan terhadap remaja calon anggota Sangha yang
diperbolehkan oleh pemerintah daerah kabupaten dan distrik ditetapkan berdasarkan
perbandingan jumlah anggota Sangha daerah. Kadang ada pengecualiannya, namun
jumlahnya juga tidak lebih dari satu persen.

Pada masa Dinasti Song, terdapat 3 cara memperoleh izin penahbisan, yaitu ujian
Sutra (試經—Shijing), izin khusus (特恩—Te’en), dan pemberian uang (進納—Jin’na). Pada
umumnya, ketentuan untuk memperoleh izin penahbisan adalah menggunakan sistem ujian
dari sejak masa Kaisar Zhou Shizong dari Dinasti Zhou-Belakangan (后周世宗). Mengenai
izin khusus yang membebaskan diri dari syarat ujian Sutra dan pemberian uang, yaitu
menggunakan uang untuk membeli sertifikat penahbisan merupakan pengecualian yang
sangat sedikit jumlahnya. Dilihat dari instruksi Kaisar Song Taizong (宋太宗) pada tahun ke-
3 dari era Yongxi (雍熙; 986 M), bagi remaja calon anggota Sangha yang dicukur rambutnya
agar dapat terdaftar dalam data resmi harus mampu membaca Sutra sebanyak 300 lembar,
dan setelah menguasai tugas tersebut dengan lancar, maka Departemen Ritus baru
mengeluarkan izin pendaftaran dan diberikan sertifikat penahbisan. Setelah melewati ujian
Sutra di masing-masing daerah, pejabat setempat melapor ke Departemen Ritus untuk
diberikan sertifikat penahbisan. Setelah memperoleh sertifikat baru diperbolehkan untuk

150
dicukur rambutnya menjadi sramanera sebagai seorang anggota yang terdaftar dalam data
resmi.

Mengenai simamandala di masa Dinasti Song, Wakil Administrator Sangha Lorong


Kanan (右 街 僧錄 ), Maha-biksu Guanghua Zhenshao ( 廣化大師真紹 ), setelah melihat
kebangkitan kembali Wihara Taiping Xingguo di ibukota timur (Kaifeng), maka beliau
bertekad mendirikan simamandala di wihara tersebut. Setelah mengumpulkan dana
sumbangan, beliau membangun simamandala dari batu dengan berpedoman pada Skematik
Pembuatan Upasampada Simamandala dari Guanzhong karya guru Vinaya - Biksu Daoxuan.
Pada tahun ke-3 dari era Xiangfu (祥符; 1010 M), Kaisar Song Zhenzong menghadiahkan
plakat nama Simamandala Amerta Fengxian ( 奉 先 甘 露 戒 檀 ) kepada Wihara Taiping
Xingguo, serta menginstruksikan kepada seluruh negeri untuk membangun simamandala.
Oleh karena itu, jumlah simamandala yang dibangun di seluruh negeri mencapai 72 buah.
Dari pusat hingga daerah, semuanya menerapkan sistem upasampada simamandala.

Pelaksanaan penahbisan dan penerimaan Sila anggota Sangha masa Dinasti Song
ditetapkan pada hari ulang tahun kaisar. Sramanera yang telah memiliki sertifikat penahbisan
dari Departemen Ritus, setelah menginjak usia dewasa, ia dengan sukarela akan pergi
mengurus proses penerimaan Sila. Di simamandala, ia memohon penerimaan Sila pada hari
ulang tahun kaisar di daerah pengurusannya masing-masing. Pada jadwal yang telah
ditetapkan, dengan diawasi oleh pejabat di lokasi, ia menerima upasampada (penerimaan Sila
penuh) yang dilakukan oleh 3 guru penahbis dan 7 orang saksi, sehingga berhak menyandang
status sebagai biksu. Pada saat itu, Sertifikat Sila dari Departemen Ritus diberikan kepada
penerima Sila melalui pejabat distrik setempat. Di atas Simamandala juga terdapat tanda
tangan peserta penerima sila (臨檀大德) yang dibubuhi di atas Naskah Enam Perenungan,
yang kemudian diserahkan kepada penerima Sila. Berdasarkan Sertifikat Penahbisan dan
Naskah Enam Perenungan ini, data tentang tahun memasuki kehidupan monastik, penahbisan,
penerimaan Sila, dan nama simamandala dicatat ke dalam data total dan data evaluasi. Di
samping itu, anggota Sangha Dinasti Song juga terdapat status kehormatan, yaitu jubah ungu,
nama gelar kehormatan, dan jabatan Sangha. Dan mereka diberi Sertifikat Sila oleh
pemerintah pusat.

Selain pendirian simamandala untuk kegiatan penerimaan Sila yang ditetapkan oleh
Kaisa Song Zhenzong, pada saat yang sama beliau juga menetapkan kewajiban membawa
Sertifikat Penahbisan, Sertifikat Sila, dan Naskah Enam Perenungan bagi anggota Sangha di

151
seluruh negeri sebagai bukti identitas anggota Sangha. Beliau juga menginstruksikan seluruh
distrik untuk merevisi undang-undang pelanggaran hukum bagi pendeta Taois dan anggota
Sangha, serta meningkatkan pelarangan bagi anggota Sangha palsu yang melakukan
penahbisan tanpa izin, dan juga menetapkan larangan bagi pejabat negara untuk menghina
pendeta dan anggota Sangha secara sengaja.

Pada tahun ke-5 dari era Tianxi (天禧; 1021 M) masa pemerintahan Kaisar Song
Zhenzong, jumlah biksu di seluruh negeri sebanyak 397.615 orang, biksuni sebanyak 61.240
orang. Dibandingkan dengan masa kejayaan Dinasti Tang di mana jumlah biksu sebanyak
75.524 orang dan jumlah biksuni sebanyak 50.576 orang, maka terlihat jelas peningkatan
drastis sekitar tiga setengah kali lipat dari total jumlah anggota Sangha. Sistem pengelolaan
terhadap wihara, anggota Sangha, dan remaja calon anggota Sangha pada masa Dinasti Song
dikendalikan oleh negara. Sistem ini telah dibentuk dari sejak Kaisar Song Zhenzong hingga
Kaisar Song Renzong (宋仁宗). Setelah masa Kaisar Song Shenzong (宋神宗), karena
seretnya kas negara dan kesulitan keuangan negara, sistem peraturan yang telah ada sejak
awal Dinasti Song menjadi sulit dipertahankan, sehingga Sertifikat Penahbisan, jubah ungu
dan gelar kehormatan anggota Sangha mulai diperjualbelikan. Hingga masa Dinasti Song
Selatan (南宋), pendeta dan anggota Sangha lebih jauh lagi dibagi menjadi 9 tingkat, dan
mulai membatalkan kebijakan bebas pajak ( 免 丁 錢 ) bagi anggota Sangha, sehingga
Buddhisme mengalami nasib kemerosoton.

5. Kemajuan Ilmu Sejarah Buddhisme

Setelah era Dinasti Song, Buddhisme Tiongkok dipusatkan di ibukota Hangzhou (杭


州) di negara Wuyue (吴越) pada masa Lima Dinasti. Jadi, otoritas panduan Buddhisme
Tiongkok dipegang oleh lingkup Buddhis Tiongkok selatan. Hal ini mirip dengan ibukota
negara yang terletak di kota Chang’an dan Luoyang sebagai pusat kota politik sejak dahulu
yang kemudian beralih menjadi kota perdagangan yang mandiri di masa kontemporer, maka
kaum Buddhis yang berlindung sebagai umat Buddha secara berangsur-angsur dari golongan
ningrat berkembang hingga ke masyarakat borjuis di daerah beserta kaum pedagang,
mengindikasikan bahwa kebudayaan Buddhisme menuju ke arah yang memasyarakat dan

152
globalisasi.

Aktivitas mazhab Tiantai dan Chan serta berbagai hubungan dan interaksi di antara
mereka dapat terlihat di dua wilayah Zhe (兩浙). Setelah penerbitan kitab Liuzu Tanjing (六
祖檀經—Sutra Altar) yang dilakukan oleh Qisong (契嵩) dari Wihara Lingyin (靈隱寺) di
Hangzhou, beliau pun menghasilkan beberapa karya yang dipersembahkan untuk kerajaan,
yaitu Chuanfa Zhengzong Ji (傳法正宗記—Catatan Otentik Transmisi Dharma), Chanmen
Dingzu Tu (禪門定祖圖—Skema Penetapan Patriark Chan), Chuanfa Zhengzong Lun (傳法
正宗論—Risalah Otentik Transmisi Dharma), ditambah lagi dengan Fujiao Bian (輔教編—
Penyusunan Bantuan Ajaran). Atas persembahan tersebut, beliau dianugerahi gelar Mahaguru
Mingjiao (明教大師), sekaligus diizinkannya kitab mazhab Chan tersebut dimasukkan ke
dalam koleksi Tripitaka. Namun dengan dimasukkannya kitab tersebut ke dalam Tripitaka
dan kegiatan penerbitannya, maka dalam lingkup Buddhisme pun muncul gelombang
perdebatan besar, yaitu antara mazhab Tiantai dan Chan. Hal ini berawal dari perdebatan
antara Siming Zhili (四明知禮) dan Tiantong Zining (天童子凝). Demi mendebatkan kritik
atas‘Tiga Siswa Menerima Inisiasi Dharma dari Bodhidharma’, mereka saling membalas
argumentasi hingga sebanyak 20 sesi. Mengenai teori ‘Transmisi Lentera 28 Patriark
Chan’dari Biksu Qisong, panah kritik pertama yang dilesatkan adalah biksu asal Wuxing (吳
興) dari mazhab Tiantai, yaituZifang (子昉). Beliau menggunakan teori 24 patriark dari
mazhab Tiantai yang dituangkan dalam karya tulis Zushuo (祖說—Perkataan Patriark) untuk
mengritik Qisong. Qisong lalu menanggapinya dalam tulisan Jiewu ( 解 誣 —Klarifikasi
Tuduhan). Zifang lalu menyanggahnya lagi dalam tulisan Zhi’e ( 止 訛 —Menghentikan
Kekeliruan). Akan tetapi, berhubung muncul sikap sektarian yang semakin kuat di antara
mazhab Chan yang paling unggul eksistensinya pada masa akhir Dinasti Tang dan Lima
Dinasti dengan mazhab Tiantai yang mengalami kebangkitan kembali, maka bermunculan
kitab-kitab sejarah yang menjabarkan tentang transmisi lentera Dharma dalam suatu aliran,
yaitu penyusunan atas kronologi yang diterawang dari sejak zaman Buddha hingga sekarang
dalam sejarah umum Buddhisme. Jadi, hal ini pun mendorong bagi kemajuan di bidang ilmu
sejarah Buddhisme.

Dari sisi Chan Sesepuh (祖師禪) yang berpegang pada prinsip ‘Menunjuk langsung
ke batin, dan mencapai pencerahan dengan melihat hakikat sejati’. Mereka telah

153
berseberangan dengan berbagai aliran filsafat pada masa Dinasti Sui dan Tang dengan
mengemukakan prinsip ‘Tidak bergantung pada kata-kata’ dan ‘Transmisi khusus di luar
ajaran lisan’. Sejak masa Dinasti Tang hingga era Lima Dinasti, telah muncul berbagai kitab
aliran Chan, yaitu: Lidai Fabao Ji ( 歷 代 法 寶 記 —Catatan Permata Dharma Berbagai
Generasi), Lengqie Shizi Ji ( 楞 伽 師 資 記 —Catatan Siswa dan Guru Lankavatara),
Chuanfabao Ji (傳法寶記—Catatan Transmisi Permata Dharma), Baolin Zhuan (寳林傳—
Riwayat dari Wihara Baolin),Xu Baolin Zhuan (續寳林傳—Lanjutan Riwayat dari Wihara
Baolin), Zutang Ji (祖堂集—Kumpulan Catatan Aula Sesepuh). Biksu Daoyuan (道原) dari
Dinasti Song menulis kitab Chanzong Chuandeng Lu (禪宗傳燈錄—Catatan Transmisi
Lentera Mazhab Chan) untuk dipersembahkan kepada kaisar, lalu diinstruksikan untuk
mengganti nama kitab tersebut menjadi Jingde Chuandeng Lu ( 景 德 傳 燈 錄 —Catatan
Transmisi Lentera Era Jingde), sekaligus dimasukkan ke koleksi Tripitaka untuk diedarkan.
Pada saat itu, mazhab Chan dari Tiongkok selatan telah masuk ke kota Kaifeng, dan didirikan
Wihara-Chan Shifang Jingyin ( 十 方 淨 因 禪 院 ). Dengan dimasukkannya kitab Catatan
Transmisi Lentera Era Jingde ke dalam koleksi Tripitaka telah menjelaskan bahwa melalui
instruksi kaisar telah memberi otoritas penjelasan atas transmisi lentera. Selanjutnya terdapat
kitab lainnya, yaitu: Tiansheng Guangdeng Lu (天聖廣燈錄—Catatan Lentera Luas Era
Tiansheng) karya Li Zunxu (李遵勖), Jianzhong Jingguo Xudeng Lu (建中靖國續燈錄—
Catatan Lanjutan Lentera Era Jianzhong Jingguo) karya Foguo Weibai ( 佛 國 帷 白 ),
Chanzong Liandeng Lu (禪宗聯燈錄—Catatan Jalinan Lentera Mazhab Chan) karya Hui
Wengwu (晦翁悟), dan Jiatai Pudeng Lu (嘉泰普燈錄—Catatan Lentera Universal Era
Jiatai) karya Zheng Shou (正受). Kitab-kitab tersebut kemudian disebut sebagai ‘lima kitab
transmisi lentera mazhab Chan’. Saat para ‘anak cucu’ penerus mazhab Chan sejak Dinasti
Song-Utara hingga Song-Selatan menyusun catatan transmisi lentera, selalu menyisipkan
nama diri sendiri sebagai pewaris transmisi lentera yang terhitung dari semenjak masa
Buddha, kemudian mengajukannya kepada kaisar untuk dituliskan kata pengantar, lalu
dimasukkan ke dalam koleksi Tripitaka sebagai tanda bukti transmisi khusus di luar ajaran
lisan.

Ada juga kitab sejarah mazhab Chan yang memiliki sudut pandang berbeda dari kitab-
kitab catatan transmisi, yaitu Chanlin Sengbao Zhuan ( 禪林 僧 寳傳 —Riwayat Permata
Sangha Hutan Chan), yang kemudian berkembang menjadi kitab sejarah umum Buddhisme.

154
Pada masa Dinasti Song Utara, terdapat kitab : Wujia Zhuan (五家傳—Riwayat Lima Aliran)
karya Daguan Tanying (達觀曇穎), Chanlin Sengbao Zhuan (禪林僧寳傳) karya Huihong
(慧洪), Bu Chanlin Sengbao Zhuan (補禪林僧寳傳—Penambahan Riwayat Permata Sangha
Hutan Chan) karya Qing Lao (慶老), Sengbao Zhengxu Zhuan (僧寳正續傳—Riwayat
Lanjutan Sejati Permata Sangha) karya Zuxiu (祖琇). Zuxiu dari Longmen (龍門) yang hidup
pada masa Dinasti Song-Selatan, selain menulis riwayat para tokoh biksu, beliau juga
menulis kitab Foyun Tongji (佛運統計—Statistik Garis Nasib Buddhisme) [sudah tidak eksis]
dan Xinglong Fojiao Biannian Tonglun ( 興 隆 佛 教 編 年 通 論 —Risalah Umum Kronik
Kejayaan Buddhisme) berdasarkan perspektif Chan untuk menyusun sejarah umum
Buddhisme dalam bentuk baru. Setelah itu terdapat kitab Shishi Tongji (釋氏通記—Catatan
Umum Klan Sakya) [sudah tidak eksis] karya Jinhua Dexiu (金華德修), dan Lidai Biannian
Shishi Tongjian (歷代編年釋氏通鋻—Pengamatan Umum Klan Sakya dari Kronik Berbagai
Generasi) karya Kuoshan Benjue (括山本覺). Akan tetapi, kegiatan penyusunan sejarah
dalam gaya kronologikal yang dilakukan oleh penganut Chan tidak berakhir pada masa
Dinasti Song saja. Hingga masa Dinasti Yuan (元), muncul lagi berbagai kitab populer
dengan pencapaian besar, yaitu Shishi Zijian (釋氏資鋻—Pengamatan Komprehensif Klan
Sakya) karya Yifeng Xizhong (扆峯熙仲), Fozu Lidai Tongzai (佛祖歷代通載—Catatan
Umum Berbagai Generasi Buddha) karya Huating Nianchang (華亭念常), dan Shishi Jigu
Lue (釋氏稽古略—Ringkasan Peneladanan Klan Sakya) karya Jue’an Baozhou (覺岸寳洲).

Para praktisi mazhab Chan belajar dari gaya petulisan kitab Zizhi Tongjian (資治通鋻
— Cermin Bantuan Komprehensif dalam Pemerintahan) karya Sima Guang ( 司 馬 光 )
sehingga telah mengembangkan sejarah umum Buddhisme dengan bentuk kronologikal (編年
體). Sedangkan di sisi mazhab Tiantai, mereka menyusun sejarah yang berbentuk biografikal
(紀傳體) dengan menggunakan berbagai kategori tulisan, yaitu Biografi Primer (本紀),
Silsilah Keluarga (世家) , Biografi Sekunder (列傳), Catatan (志), dan Daftar/tabel (表),
yang dirujuk dari bahan kitab sejarah resmi Tiongkok, Shiji (史記) karya Sima Qian (司馬遷)
dari Dinasti Han. Di sini terdapat kitab Tiantai Zong Yuanlu (天台宗元錄—Catatan Asali
Mazhab Tiantai) [sudah tidak eksis], karya Wuxing Yuanying (吳興元穎) dari Dinasti Song-
Utara, di mana kitab ini disusun dengan penjabaran sumber asal perkembangan mazhab

155
Tiantai sampai akhir perkemnbangannya, catatan ajaran sejati hingga ajaran tiruan, serta
daftar kitab doktrin yang digunakan-nya. Upasaka Kai’an (鎧菴) alias Wu Keji (吳克己) dari
Dinasti Song-Selatan menarasikan Shimen Zhengtong ( 釋 門 正 統 —Buddhisme Otentik)
dengan menggunakan gaya biografikal dari sejarah resmi yang dibagi menjadi 3 kategori,
yaitu biografi primer, biografi sekunder, dan risalah keseluruhan. Penjelasan ini untuk
menegaskan keotentikan mazhab Tiantai di semua lingkup Buddhisme. Namun karena beliau
wafat sebelum menyelesaikan penulisannya, maka menjadi naskah yang tak menentu.
Selanjutnya Jing’an Jingqian (鏡安景遷) merujuk pada kitab Tiantai Zong Yuanlu karya
Wuxing Yuanying dan Shimen Zhengtong karya Wu Keji, lalu menambahkan biografi baru
sebanyak lebih dari 90 tokoh yang disusun menjadi kitab Tiantai Zong Yuanlu (天台宗源錄
—Catatan Sumber Mazhab Tiantai). Kemudian ada lagi Liangzhu Zongjian (良渚宗監) yang
mengikuti jejak semangat penyusunan sejarah yang dilakukan oleh Upasaka Kai’an untuk
menghasilkan satu kitab Shimen Zhengtong (Buddhisme Otentik) yang dibagi menjadi 5
kategori, yaitu biografi primer (本紀), silsilah (世家), biografi sekunder (列傳), catatan (志),
dan rekam jejak (記載). Di antara para penyusun kitab sejarah mazhab Tiantai, yang paling
besar pencapaiannya adalah Dashi Zhipan (大石志磐) melalui kitab Fozu Tongji (佛祖統紀
—Kronikal Lengkap Buddha dan Patriark) yang disusun sebanyak 54 bab. Zhipan mengacu
pada tradisi Tiantai untuk menuliskan biografi primer, silsilah, dan biografi sekunder yang
diawali dari Buddha Sakyamuni. Untuk kategori catatan [dalam kitab tersebut] terdapat
Jingtu Lijiao Zhi (淨土立教志—Catatan Pendirian Aliran Sukhavati) dan Zhuzong Lijiao Zhi
(諸宗立教志—Catatan Pendirian Berbagai Aliran). Ada pun dalam Fayun Tongsai Zhi (法運
通 塞 志 —Catatan Nasib Kelancaran dan Hambatan Dharma) dituliskan sejarah umum
Buddhisme dalam gaya kronologikal. Sedangkan dalam Lidai Huiyao Zhi (歷代會要志—
Catatan Sejarah Institusional Berbagai Generasi) merupakan bab sejarah yang ditulis dalam
bentuk catatan kronologi Buddhisme. Ini merupakan sebuah karya besar dan maju yang
diselesaikan pada masa Dinasti Song dengan bentuk penyusunan sejarah yang sama sekali
baru.

Dari semenjak persaingan antara mazhab Chan dan Tiantai pada masa Dinasti Song-
Utara, pertentangan persepsi mengenai keotentikan transmisi lentera pun semakin sengit
hingga Dinasti Song-Selatan. Namun, itu pula yang menjadi faktor pemicu bagi kemajuan
ilmu sejarah Buddhisme.

156
Bab XIII Buddhisme Dinasti Song-Selatan

1. Perkembangan Mazhab Chan

Antara mazhab Chan dengan aliran-aliran pengkajian doktrin, pada dasarnya berdiri
di posisi yang saling berseberangan. Mazhab Chan bersandar pada aspek meditasi dengan
tujuan memperoleh pengesahan batin Buddha melalui transmisi khusus di luar ajaran lisan
dan tidak bergantung pada kata-kata. Ini merupakan prinsip ajaran dalam ‘Enam Gerbang
Shaoshi ( 少 室 六 門 )’. Mazhab Chan memisahkan seluruh ajaran Buddha menjadi dua
gerbang, yaitu Meditasi ( 禪 —Chan) dan Doktrin ( 教 —Jiao) untuk menunjukkan nilai
keistimewaan aliran yang dianutnya. Akan tetapi, pandangan tentang keselarasan antara Chan
dan Doktrin yang muncul setelah masa pertengahan Dinasti Tang semakin dominan pada era
Dinasti Song. Setelah terjadi asimilasi antara Chan dan berbagai aliran doktrin, maka
bermunculan praktik yang populer, yaitu Chan aliran Tiantai, Chan aliran Huayan, dan Chan
kombinasi Nianfo (Buddhanusmrti). Namun, meskipun Chan sebagai mazhab yang mewarisi
ajaran agung Buddha secara turun temurun dari guru ke siswa memiliki interaksi dengan
berbagai aliran doktrin, dalam perkembangannya ia tidak membuat perubahan terhadap
ajaran agung Buddha hanya karena pengaruh tren pemikiran di masa itu. Dengan berpijak
pada nilai semangat yang muncul dari menafikan adaptasi zaman seperti ini, ia merupakan
aspek dari Chan.

Tentu ada praktisi Tiantai dan Huayan yang mempraktikkan investigasi Chan, begitu
pula ada praktisi Chan yang mempelajari doktrin Tiantai dan Huayan, namun tidak lantas
membuat prinsip ajaran Chan berubah. Ia hanya menggunakan doktrin tersebut secara
fleksibel dalam praktik Chan. Kendati Chan yang dipraktikkan secara populer itu mengalami
percampuran, serta terjalin hubungan dengan konsep ajaran Konfusianisme dan Taoisme,
pendirian biksu Chan tetap tidak bisa dikendalikan oleh aspek unik tersebut. Bagi biksu
Chan, kelebihan dan kekurangan dari aspek doktrin sama sekali tidak menjadi masalah. Yang
lebih penting bagi mereka adalah berharap dapat memperoleh sebuah metode pencerahan
langsung yang terlampaui dan dapat memasuki ke tingkatan Tathagata. Dengan demikian,

157
demi kesinambungan [transmisi] lentera batin Buddha, maka diterapkanlah berbagai metode
Chan seperti mengeluarkan gerakan pukulan, teriakan He!, menunjukkan jari, dan lain
sebagainya sebagai petunjuk dari transmisi batin ke batin, di mana ini merupakan metode
bijak yang sangat terbatas dalam Chan.

Sehubungan dengan gejolak politik yang timbul pada masa akhir Dinasti Tang dan
Lima Dinasti, ditambah lagi dengan bencana penumpasan terhadap Buddhisme yang terjadi
sebanyak beberapa kali secara radikal, maka kitab Sutra dan literatur dari beberapa aliran
Buddhisme pun musnah terbakar akibat perang, atau ada juga yang hilang sehingga
mengakibatkan kemunduran Buddhisme. Namun dari sisi mazhab Chan yang menitik
beratkan aspek batin Buddha, dengan kebebasannya dalam menyikapi kitab Sutra dan
komentar, maka ia sendiri dapat eksis secara kokoh. Kenyataan bahwa mazhab Chan setelah
peristiwa penumpasan Buddhisme era Huichang bergerak ke arah puncak kejayaan-nya telah
memberi penjelasan dalam informasi ini. Lapi pula, peristiwa penumpasan di lingkungan
Buddhisme bagian utara yang berpusat di kota Chang’an tentu mendapatkan efek yang sangat
besar. Namun Buddhisme di wilayah selatan yang berkembang dan populer di kalangan
rakyat atau masyarakat luas yang berpusat di negara Wuyue, dan lingkup Buddhisme wilayah
lembah dan pegunungan, maka tingkat kerugian yang diakibatkannya sangatlah kecil. Hal ini
mengindikasikan bahwa kejayaan mazhab Chan juga disebabkan oleh faktor geografis.
Apalagi, berdasarkan ketentuan peraturan disiplin Baizhang Qinggui untuk tidak mendekati
kaum ningrat dan borjuis; tidak menikmati lahan pertanian yang merupakan basis ekonomi
wihara; mengandalkan pola hidup swadaya untuk mempertahankan komunitas mazhab Chan.
Melalui sistem Puqing ( 普 請 —Menghimpun kelompok untuk bergotong royong) dan
penerapan sistem kerja buruh sebagai usaha dalam pengalaman kehidupan sehari-hari untuk
memahami secara intrinsik ajaran agung dari Buddha.

2. Catatan Esai dan Gong’an

Basis utama Buddhisme masa akhir Dinasti Tang hampir dimonopoli oleh mazhab
Chan. Hingga Dinasti Song, meskipun terdapat mazhab Tiantai, Huayan, dan Lü (Vinaya)
yang bangkit kembali, tetap saja tidak dapat menandingi kejayaan mazhab Chan. Mazhab
Chan terbagi menjadi 5 aliran, di mana masing-masing menyebarkan karakteristik ajarannya.
Untuk menerima dan membimbing para siswa, maka diskusi dan tanya jawab yang dilakukan

158
menghasilkan suatu [kisah] gong’an (公案—Jp.Koan) atau disebut Yülu (語錄—catatan esai)
dan catatan tersebut diwariskan hingga sekarang. Dalam mazhab Chan sama sekali tidak ada
pencerahan agung, yang ada adalah harus menggunakan cara pengamatan berkesadaran
penuh, umumnya metode yang digunakan adalah gong’an sebagai pemicu bagi munculnya
momen keteguhan pada aspek Buddha. Pada dasarnya gong’an adalah berkas resmi
pemerintah yang merujuk pada catatan kasus yang tidak memiliki preseden. Dalam Chan,
tujuannya sebagai pedoman praktis untuk membimbing para siswa menuju pencerahan.
Namun tujuan tersebut telah melenceng dari aspek dasar pencerahan langsung Chan. Jumlah
gong’an mencapai 1.700 kisah. Dalam tanya jawab yang diajukan untuk membimbing siswa,
[gong’an] sama sekali tertuju khusus pada individu masing-masing. Namun setelah kisah
gong’an muncul dari seorang sesepuh besar, gong’an tersebut masih tetap dipakai kendati
sang sesepuh telah wafat. Kecenderungan ini telah membentuk gong’an menjadi statis.
Misalnya dalam Yunmen Guanglu (雲門廣錄—Catatan Teks Panjang Yunmen) sudah dapat
ditemukan kabar seperti ini. Kecenderungan ini juga pernah dibahas dalam Yunmen Shigui
Lun (宗門十規論—Risalah Sepuluh Tata Tertib Mazhab) karya Fayan Wenyi (法眼文益)
dari mazhab Fayan yang hidup satu zaman dengan Biksu Wenyan. Siswa yang membaca
kisah gong’an yang sifatnya statis sebagai metode bimbingan telah melahirkan tren
mengamati-ungkapan (dialog). Bentuk dialog (literatur klasik) dari para sesepuh terdahulu
yang diungkapkan dengan menggunakan sajak pujian dimulai dari karya Fenyang Shanzhao
(汾陽善昭; 947-1024 M), karena tren dalam mengamati-ungkapan pada masa itu mengalami
kesulitan. Fenyang lalu menata catatan dialog dari sesepuh masa lalu yang berjumlah ratusan,
dan hal ini semakin merefleksikan gong’an yang statis. Hingga pada masa Huanglong Huinan
( 黃 龍 慧 南 ) dan Yangqi Fanghui ( 楊 岐 方 會 ), muncul tren pembuatan sajak untuk
mengangkat literatur klasik. Maka kisah gong’an pun ditata ulang dan disusun menjadi
berbagai bentuk buku. Pada masa Fenyang, jumlah aliran mazhab Chan mencapai 15 cabang.
Sampai pada masa Wuzu Fayan (五祖法演; ?-1104 M)—murid Baiyun Shouduan (白雲守端)
dari aliran Yangqi (楊岐), karakteristik 5 aliran telah terbentuk. Penggunanan gong’an pun
berangsur-angsur semakin banyak, dan masing-masing aliran juga memperlihatkan
karakternya sendiri dalam cara mengangkat aspek gong’an, yaitu memilih satu kisah gong’an
dari sesepuh masa lalu yang bersifat unik untuk dijadikan sebagai objek investigasi Chan.
Misalnya, Wuzu sering menggunakan literatur klasik ‘Zhaozhou Gouzi (趙州狗子—Anjing
Zhaozhou)’. Selain itu, Xuedou Chongxian ( 雪 竇重顯 ; 980-1052 M) yang satu zaman

159
dengan Huanglong dan Yangqi memilih 100 ungkapan sesepuh masa lalu untuk disusun
menjadi sajak pujian, Songgu Baize (頌古百則—Seratus Sajak Pujian Klasik). Murid Wuzu,
yaitu Yuanwu Keqin (圓悟克勤; 1063-1135 M) memberi penjelasan dan pujian atas kitab
Songgu Baize hingga disusunnya menjadi kitab Biyan Lu (碧巖錄—Catatan Karang Biru).
Hingga masa belakangan ini, kitab tersebut masih sangat dihargai sebagai pedoman praktik
Dharma di wihara Chan.

3. Chan Mengamati-Ungkapan dan Chan Sorotan-dalam-Hening

Sampai pada masa Dahui Zonggao (大慧宗杲;1089-1163 M), murid dari Yuanwu
Keqin, konon karena para siswa Chan melekat pada spekulasi atas ungkapan-ungkapan dalam
kitab Biyan Lu, mereka terperosot ke dalam konflik pemahaman. Maka atas persoalan ini
Dahui pun membakar kitab tersebut. Dapat diketahui bahwa kecenderungan mengandalkan
literatur klasik oleh praktisi Chan pada saat itu masih cukup dominan. Lalu, bagi Yuanwu
sendiri meskipun menggunakan sekian banyak kisah gong’an dalam literatur klasik, ia malah
menentang penggunaan gong’an secara tidak beraturan. Beliau mengemukakan praktik
investigasi Chan cukup hanya menggunakan satu gong’an yang dengan demikian dapat
menentukan nilai esensi dari semua gong’an. Ini yang semestinya diperhatikan. Mengenai
sikap Yuanwu dalam menggunakan gong’an, maka muncul dua pentolan mazhab Chan pada
masa Dinasti Song-Selatan, yaitu Dahui Zonggao dari mazhab Linji yang mencetuskan
praktik Kanhua-Chan (看話禪—Chan-Mengamati-Ungkapan), dan Hongzhi (宏智; 1091-
1157 M) dari mazhab Caodong yang mencetuskan praktik Mozhao-Chan (默照禪—Chan-
Sorotan-dalam-Hening). Sumber penting dari kedua pemikiran tersebut adalah berasal dari
pandangan Yuanwu. Sebab, Yuanwu menentang mereka yang menggunakan kata-kata
sesepuh masa lalu untuk dijadikan subjek percakapan, pemahaman [tekstual], dan penjelasan.
Dari aspek ini beliau menolak gong’an, dengan demikian muncul praktik Mozhao-Chan yang
selaras dengan pemikiran ini. Pada saat yang sama, ia menjadikan ungkapan sesepuh masa
lalu sebagai gong’an yang aktual di masa sekarang dan diresapinya. Dari sudut pandang ini
beliau menerima gong’an, dengan demikian muncul praktik Kanhua-Chan yang selaras
dengan pemikiran ini. Namun mengatakan bahwa pemikiran Chan dari Dahui dan Hongzhi
sebagai dua aliran yang saling berseberangan, itu juga hanya pemahaman yang tampak di
permukaan. Sesungguhnya di antara mereka tidak ada sikap bersikeras apa pun yang

160
dikehendaki. Oleh sebab itu, saat Hongzhi menjelang ajalnya di Gunung Tiantong (天童山),
beliau menitipkan pesan wasiatnya kepada Dahui dari Gunung Yuwang (育王山). Jadi dapat
diketahui mereka merupakan sahabat karib dalam praktik Dharma. Tatkala Dahui mengritik
kesesatan praktik Mozhao-Chan dan para gurunya, tujuan beliau untuk memperingatkan para
praktisi Chan mazhab Caodong agar tidak terperosot ke dalam penyakit [Chan], namun beliau
tidak menyangkal aspek Mozhao-Chan yang dikemukakan oleh Hongzhi. Dilihat dari sudut
pandang yang berbeda antara mazhab Linji dan Caodong, alih-alih mengatakan apa yang
disangkal oleh Dahui, lebih baik mengatakan beliau adalah seorang pelindung Chan yang
benar. Prinsip yang dipegang oleh Dahui, yaitu “Satu tuntas semua pun tuntas, Satu
tercerahkan semua pun tercerahkan”, sebenarnya maksud beliau bukan mengajar kepada para
siswa untuk melihat berbagai gong’an yang tersistematis, melainkan untuk mengambil satu
dari sekian banyak gong’an untuk dijadikan objek investigasi secara fundamental. Dari awal
hingga akhir, beliau hanya mengungkit [gong’an] tentang kata ‘tiada’ dari Biksu Zhaozhou
(趙州), dan mengatakan, “Cukup hanya mengamati kata ‘tiada’ ini.” Jika mampu menembus
pemahaman kata tiada ini, maka akan mampu menembus pemahaman semua kisah gong’an
lainnya.

Mozhao-Chan (Chan Sorotan-dalam-Hening) yang dijelaskan oleh Hongzhi juga


bukanlah diam hening yang seperti kematian. Seperti dari kutipan beliau, “Hanya dalam
ungkapan tertinggi disebut hening; Hanya dalam penyesuaian yang menyeluruh disebut
sorotan”, di mana instruksi sejati dari Buddha harus dimunculkan secara total dalam
keheningan. Di dalam keheningan tersebut tersimpan aspek tak terbatas. Mengenai praktik
Kanhua-Chan (Chan Mengamati-Ungkapan) yang dikritisi oleh Hongzhi, yang beliau
maksudkan adalah tertuju pada ‘Chan yang menunggu pencerahan’ dan ‘Chan anak tangga’.
Karena itu, beliau sendiri juga bukan orang yang sama sekali tidak menggunakan gong’an
dari sesepuh masa lalu. Pada kenyataannya, Seratus Sajak Pujian Klasik dan Nian’gu Baize
(拈古百則—Seratus Petikan Sajak) karya beliau dengan sangat terang menjelaskan bahwa
beliau adalah orang yang menggunakan gong’an. Dahui dan Hongzhi berdua adalah tokoh
yang berpijak pada pengalaman praktik Chan, jadi benar-benar tidak ada perlunya untuk
membicarakan tentang bagaimana perbedaan karakteristik Chan di antara mereka.

4. Neo Konfusianisme dan Buddhisme

161
Meskipun sistem penyelenggaraan ujian negara digunakan dengan tujuan merekrut
orang berbakat untuk menjadi pegawai pemerintah telah dimulai sejak masa Dinasti Sui dan
Tang, kendati demikian sejak masa Enam Dinasti, kekuasaan kaum borjuis telah menyumbat
satu jalur ini. Masyarakat masa Dinasti Sui dan Tang telah dikuasai oleh kaum borjuis ini.
Kebudayaan masa tersebut juga tidak bisa tidak merupakan kebudayaan-nya kaum borjuis.
Pada masa pertengahan Dinasti Tang, muncul wilayah-wilayah fanzhen ( 藩 鎮 —kota
pangkalan militer), sedangkan pada akhir Dinasti Tang hingga Lima Dinasti, karena
kesemena-menaan penguasa daerah militer (節度使) sehingga memancing gejolak sosial,
lahan-lahan pertanian menjadi terbengkalai, dan kemerosoton kaum ningrat dan borjuis.
Dinasti Song sebagai kelanjutan dari era ini pun dengan upaya keras menekan penguasa
militer, dan membangun negara secara beradab, di mana sebagai hasilnya telah menciptakan
sistem pemerintahan baru yang berjaya serta memperluas batas wewenang kaisar. Hal ini
dilakukan melalui sistem ujian negara untuk merekrut cendikiawan dari seluruh negeri yang
mendalami kitab-kitab Konfusianisme. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah, dan
diberi jabatan penting untuk membantu kaisar dalam menjalankan pemerintahan. Oleh karena
itu, dari sejak masa Dinasti Song dapat terlihat kejayaan ajaran Konfusianisme. Akan tetapi,
seiring dengan kejayaan Neo Konfusianisme, mereka pun merujuk pada 3 buah naskah yaitu
Yuanren (原人—Originalitas Manusia), Yuandao (原道—Originalitas Jalan), dan Yuanxing
(原性—Originalitas Hakikat) karya sastrawan masa Dinasti Tang, Han Tuizhi (韓退之)
sebagai motif dasar yang berpijak pada sudut pandang Konfusianisme untuk menjalani
gerakan pengucilan terhadap Buddhisme dan Taoisme. Misalnya, mengapa para sarjana
seperti Zhang Hengqu (張橫渠), Cheng Mingdao (程明道), Cheng Yichuan (程伊川), dan
Zhuxi ( 朱 熹 ) bergabung ke dalam barisan anti-Buddhis juga karena pengaruh dari
Originalitas Jalan. Lantas, di balik Konfusianisme sedang memiliki ruang kesempatan
melakukan aktivitasnya, bangsa dari wilayah utara Tiongkok, yaitu Khitan, Jurchen, dan
Mongol telah menginvasi batas wilayah utara Dinasti Song. Sebagai negara yang memberi
tekanan kepada kaum militer dan menjunjung tinggi sistem pemerintahan yang beradab,
maka Dinasti Song pun tidak boleh tidak harus kerap bertahan hidup dengan cara
dipermalukan dalam hubungan luar negerinya. Kendati mendapat tekanan berat dari suku
wilayah utara, di antara para kaum Konfusianisme yang diliputi kesadaran atas krisis yang
terjadi, mereka tetap saling menggaungkan pemikiran Han Tuizhi, dan dengan sikap
sauvinisme yang mendorong bagi munculnya pemikiran pro Konfusianis dan anti Buddhis.

162
Ouyang Xiu (歐陽修; 1007-1072 M), adalah politikus besar Dinasti Song-Utara yang
juga merupakan seorang sastrawan. Setelah beliau membaca literatur karya Han Tuizhi,
muncul rasa persetujuannya yang dalam atas pemikiran tersebut, maka beliau pun menulis
kitab Ben Lun (本論—Risalah Fundamental) sebanyak 3 bab untuk menyerang Buddhisme
demi menjunjung ajaran Konfusianisme. Dalam kitab sejarah Xin Tang Shu (新唐書—Kitab
Baru Dinasti Tang) dan Xin Wudai Shi (新五代史—Sejarah Baru Lima Dinasti) yang disusun
beliau, hal apa pun yang berkaitan dengan Buddhisme akan dihapus semua oleh beliau. Jadi
beliau benar-benar adalah seorang komentator yang anti-Buddhis.

Mahaguru Mingjiao (明教大師) alias Qisong (契嵩; 1006-1072 M) tatkala melihat


para pelajar Konfusianisme memuji literatur klasik dan menjunjung tinggi risalah anti-
Buddhis karya Han Tuizhi yang bahkan menjadi tren pada saat itu, maka beliau pun menulis
kitab Yuan Jiao ( 原 教 —Originalitas Ajaran) dan Xiao Lun ( 孝 論 —Risalah Berbakti)
sebanyak belasan bab untuk menjelaskan tentang keselarasan antara Konfusianisme dan
Buddhisme. Kemudian, setelah melihat kitab Risalah Fundamental karya Ouyang Xiu, maka
beliau menulis lagi kitab Fujiao Bian ( 輔 教 編 —Kompilasi Asistensi Ajaran) untuk
menjelaskan titik kesamaan Konfusianisme dan Buddhisme. Setelah Ouyang Xiu membaca
kitab tersebut, beliau merasa sangat menyesal atas kesalahannya di masa lalu. Sehingga di
masa tuanya, beliau menjadi umat Buddhis, dan menjuluki nama dirinya sebagai Upasaka
Liuyi (六一居士—Upasaka Enam Satu). Beliau melantunkan kitab Avatamsaka Sutra hingga
akhir hidupnya.

Kaum Neo Konfusianisme melalui pengkajian kitab klasik Tiongkok menjadikan nilai
semangat Konfusianisme sebagai idealisme politik negara bangsa Han. Berbagai penyusunan
kitab sejarah seperti Sejarah Baru Lima Dinasti karya Ouyang Xiu dan Zizhi Tongjian (資治
通鋻— Cermin Bantuan Komprehensif dalam Pemerintahan) karya Sima Guang (司馬光)
telah mengekspresikan nilai semangat di era Dinasti Song ini. Seiring dengan pengkajian dan
kemajuan ilmu sejarah, maka legitimasi kekaisaran dan status para pejabatnya memiliki
konsep yang jelas melalui narasi historis. Karena itu, setelah terjadi invasi pasukan Jin (金)
dan Peristiwa Jingkang (靖康之變) mengakibatkan keruntuhan Dinasti Song-Utara yang
kemudian memindahkan ibukotanya ke Lin’an (臨安) di wilayah Tiongkok selatan dengan
menjadi Dinasti Song-Selatan, pada saat itu tetap saja muncul pemikiran untuk bangkit
kembali, di mana ini membuktikan sikap nasionalisme warga Dinasti Song Selatan yang

163
masih sangat kuat. Dalam kitab Dayi Mingfen Lun (大義名分論—Risalah Tugas Besar
dalam Nama dan Status) karya Zhuzi (朱子), beliau mengemukakan tentang keabsolutan dari
kekuasaan raja. Bahkan saat berhadapan dengan masalah aktualisasi, para Neo Konfusianis
mengekspresikan pengkajian kitab-kitab Konfusianisme ke dalam penerapan langsung. Ini
merupakan sudut pandang sauvinisme dari Neo Konfusianisme yang menjadi salah satu
alasan dari sikap mereka menolak Buddhisme. Namun, karakteristik Buddhisme pada masa
itu telah mengalami Sinolisasi, dan telah menjadi agamanya bangsa Tiongkok, bahkan
aktivitasnya yang bersifat sosial telah menyentuh ke kalangan masyarakat dengan cukup luas.
Dengan demikian, para kaum Konfusianis yang pada awalnya mengemukakan sikap antipati,
kemudian berubah haluan. Melalui bacaan literatur dan menjalin hubungan persahabatanlah
mereka mengenal Buddhisme, bahkkan menjadi penganut Buddhis dengan status sebagai
upasaka (umat awam Buddhis). Tokoh Konfusianis, yaitu Zhou Lianxi (周濂溪) pernah
belajar Buddhisme kepada Biksu Foyin (佛印) dari Wihara Guizong (歸宗寺) dan Biksu
Changcong (常聰) dari Wihara Donglin (東林寺); Zhang Hengqu (張橫渠) juga menerima
nasihat tentang Buddhisme melalui Biksu Changcong, lalu bersama Cheng Mingdao (程明道)
mereka mendiskusikan teori tentang prinsip hakikat;Cheng Mingdao dan Cheng Yichuan
(程伊川) dua bersaudara ada kalanya mempraktikkan investigasi Chan, dan ada kalanya
melakukan kajian kitab Avatamsaka Sutra dan Lankavatara Sutra kendati tidak banyak
terpengaruh oleh pemikirannya. Tokoh Neo-Konfusianisme yang dianggap memiliki
pencapaian besar adalah Zhu Xi (朱熹), di mana hubungan beliau dengan Buddhisme juga
ada asal usulnya. Beliau mempelajari sendiri ajaran Dahui Zonggao ( 大 慧 宗 杲 ), suka
membaca kitab Dahui Yulu (大慧語錄—Catatan Esai Dahui). Beliau menyukai pemikiran
Guishan Lingyou (潙山靈佑) yang hidup pada zaman Dinasti Tang.

Untuk menanggapi teori Ouyang Xiu yang antipati pada Buddhisme, Zhang
Shangying (張商英) dari masa Dinasti Song-Utara menulis kitab Hufa Lun (護法論—Risalah
Melindungi Dharma) yang mengemukakan bahwa ajaran Konfusianisme, Buddhisme dan
Taoisme memiliki tujuan yang sama, dan sama sekali tidak kontradiktif. Perdana Menteri Li
Gang (李綱) dari masa Dinasti Song-Utara hingga awal Dinasti Song-Selatan menulis kitab
Sanjiao Lun (Risalah Tri-Dharma) untuk menjabarkan pandangan tentang keselarasan tiga
agama. Kaisar Xiaozong (孝宗皇帝) dari Dinasti Song-Selatan awalnya belajar Dharma
kepada Dahui Zonggao. Setelah turun tahta, beliau menyanggah kitab Yuan Dao karya Han

164
Tuizhi dari Dinati Tang dengan menulis kitab Yuandao Lun (原道論—Risalah Originalitas
Jalan) yang isinya menganjurkan rekonsiliasi antara Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme.

Intinya, para Konfusianis era Dinasti Song yang memuliakan Konfusianisme dan
antipati terhadap Buddhisme, di mana sikap antipati tersebut didasari oleh rasa sentimen
dengan menganggap Buddhisme sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Akibatnya, ketika
telah memahami isi dan hakikat di antara ajaran-ajaran tersebut, maka dengan sikap
mengambil apa yang menjadi kelebihannya untuk melengkapi apa yang menjadi kekurangan
mereka sehingga menghasilkan teori rekonsiliasi di antara ketiga ajaran tersebut. Kitab
Sanjiao Pingxin Lun (三教平心論—Risalah Penentraman Batin Tri-Dharma) yang ditulis
oleh Liu Mi ( 劉 謐 ) pada masa Dinasti Yuan ( 元 ) juga mengikuti petunjuk ini untuk
menjabarkan hubungan ketiga ajaran tersebut pada masa Dinasti Yuan.

Di masa lalu yaitu Buddhisme masa Dinasti Sui dan Tang, aktivitas pembina ajaran
kepada masyarakat hanya sebatas anggota Sangha. Hingga masa Dinasti Song, sejumlah
umat awam yang memiliki pendidikan pun mulai menaruh antusiasme pada keyakinannya
terhadap Buddhisme. Di tengah-tengah anggota Sangha, melalui karya tulis, mereka telah
berupaya keras menjadikan teori ajaran Buddha bersifat universal dan dapat menjangkau
semua kalangan. Sehubungan dengan munculnya para tokoh besar umat awam, seperti Yang
Yi (楊億) pada masa pemerintahan Kaisar Song Zhenzong (宋真宗) dari Dinasti Song-Utara;
Sushi (蘇軾) pada masa pemerintahan Kaisar Song Renzong (宋仁宗) dan Song Yingzong
(宋英宗); Yang Jie (楊傑),Wang Anshi (王安石), Wen Yanbo (文彥博),dan Sima Guang
(司馬光) pada masa pemerintahan Kaisar Song Shenzong (宋神宗); telah menghasilkan satu
pemandangan yang luar biasa bagi Buddhisme Dinasti Song. Justru karena kejayaan
Buddhisme kalangan umat awam, ia bukan saja telah menghantarkan Buddhisme ke
lingkungan masyarakat umum, tapi juga telah memberi pengaruh yang sangat besar bagi
generasi selanjutnya.

5. Ajaran Tanah Murni dan Komunitas Nianfo

Ajaran Tanah Murni (Sukhavati) masa Dinasti Song bukanlah aliran yang aktivitasnya
berdiri sendiri. Para praktisi ajaran Sukhavati yang terkenal pada masa tersebut merupakan

165
biksu terkenal dari mazhab Chan, aliran-aliran doktrin (Tiantai dan Huayan), serta mazhab
Vinaya. Di antaranya yang aktivitasnya paling energik adalah para biksu dari mazhab Tiantai.
Mazhab Tiantai masa pertengahan Dinasti Tang menggunakan anotasi 3 kitab utamanya
sebagai pusat pengajaran mereka. Sedangkan mazhab Tiantai masa Dinasti Song melakukan
kajian terhadap 5 kitab kecilnya sebagai titik sentral. Awalnya pengkajian terhadap kitab
Guanjing Shu (觀經疏—Komentar atas Amitayur-dhyana Sutra) karya Mahaguru Tiantai (天
台大師) menjadikan ritual praktik yang mengacu pada kitab komentar ini sebagai kegiatan
utamanya. Oleh karena itu, mazhab Tiantai era Dinasti Song memberi perhatian yang sangat
besar pada ajaran Sukhavati.

Mengenai kitab ajaran Sukhavati karya Ciyun Zhunshi (慈雲遵式; 960-1032 M), di
antaranya adalah Wangsheng Jingtu Chanyuan Yi ( 往 生 淨 土 懺 願 儀 —Ritual Tekad
Pertobatan demi Terlahir di Sukhavati); Wangsheng Jingtu Jueyi Xingyuan Ermen (往生淨土
決疑行願二門—Dua Metode Praktik Tekad untuk Menghapus Keraguan atas Kelahiran di
Sukhavati); dan Wangsheng Xifang Luezhuan (往生西方略傳—Biografi Singkat Kelahiran
di Sukhavati Penjuru Barat) [sudah tidak eksis].

Siming Zhili (四明知禮; 960-1028 M) menulis kitab Miaozong Chao (妙宗鈔—Ulasan


Tujuan Luhur) yang merupakan ulasan terhadap kitab Guanjing Shu (Komentar atas
Amitayur-dhyana Sutra) karya Mahaguru Tiantai.

Gushan Zhiyuan (孤山智圓; 972-1022 M) menulis kitab Amituojing Shu (阿彌陀經疏—


Komentar atas Amitabha Sutra), Xizi Chao ( 西 資 鈔 —Ulasan atas Bekal Kelahiran di
Sukhavati), dan Guanjing Shu Kanzheng Ji (觀經疏刊正記—Catatan Publikasi Komentar
atas Amitayur-dhyana Sutra).

Ajaran Sukhavati dari mazhab Tiantai masa Dinasti Song sama sekali belum muncul
perbedaan kelompok, yakni Shanjia (山家派—Kelompok Markas Gunung) dan Shanwai (山
外派—Kelompok Luar Gunung). Para praktisi yang berada di bawah satu garis kelompok
dengan Zhunshi, Zhili, dan Zhiyuan semuanya juga merupakan tokoh yang menerapkan
ajaran Sukhavati dan memiliki keyakinan pada Buddha Amitabha di penjuru barat
(Sukhavati). Di antaranya terdapat tokoh Jiang Zeying (江擇瑛) yang menulis kitab Jingtu

166
Xiuzheng Yi (淨土修證義—Makna Pencapaian Tanah Murni Sukhavati). Kemudian ada
Zongxiao (宗曉; 1151-1214 M), beliau menghimpun berbagai literatur ajaran Sukhavati
hingga menghasilkan kitab Lebang Wenlei (樂邦文類—Genre Sastra Sukhavati) dan Lebang
Yigao (樂邦遺稿—Naskah Tambahan Genre Sastra Sukhavati). Dalam kitab tersebut beliau
memaparkan kisah tentang para anggota Sangha dan umat awam yang terlahir di tanah murni
Sukhavati, sekaligus mencetuskan penetapan 6 patriark sebagai pewaris silsilah Komunitas
Teratai (蓮社—Lianse; komunitas ini sebagai cikal bakal mazhab Sukhavati), yaitu diawali
dari kisah riwayat patriark I Komunitas Teratai, Master Huiyuan (慧遠), lalu dilanjuti dengan
riwayat 5 maha-guru lainnya sebagai penerus patriark Komunitas Teratai, yaitu Shandao (善
導), Fazhao (法照), Shaokang (少康), Xingchang (省常), dan Zongze (宗賾).

Mengenai penyusunan kitab tentang kisah tokoh yang terlahir di Sukhavati, itu
berawal dari kitab Jingtu Ruiying Shanzhuan ( 淨 土 瑞 應 刪 傳 —Seleksi Kisah Interaksi
Istimewa Tanah Murni Sukhavati) karya Shaokang (少康) pada masa Dinasti Tang. Hingga
masa Dinasti Song, seiring dengan berjayanya ajaran Sukhavati, selalu ada publikasi atas
kitab lanjutan kisah tokoh yang terlahir di Sukhavati. Pertama-tama, Feishan Jiezhu (飛山戒
珠) dari Dinasti Song-Utara menulis kitab Jingtu Wangsheng Zhuan (淨土往生傳—Kisah
Kelahiran di Tanah Murni). Kemudian kitab lanjutannya ditulis oleh Shilang Wanggu (侍郎
王 古 ) dengan judul Xinxiu Wangsheng Zhuan ( 新 修 往 生 傳 —Kompilasi Baru Kisah
Kelahiran di Tanah Murni). Pada masa pemerintahan Kaisar Song Lizong (宋理宗) dari
Dinasti Song-Selatan era Duanping (端平) tahun ke-3 (1236 M), Siming Haiyin (四明海印)
merevisi kitab Wangsheng Jingtu Baozhu Ji (往生淨土寳珠集—Kumpulan Mustika Mutiara
Kelahiran di Tanah Murni) hingga menghasilkan kitab Jingtu Wangsheng Ji (淨土往生集—
Kumpulan Kisah Kelahiran di Tanah Murni) sebanyak 12 bab. Setelah Dashi Zhipan (大石志
磐) mengadopsi data-data dari kitab tersebut, maka dalam kitab Fozu Tongji (佛祖統紀—
Kronikal Lengkap Buddha dan Patriark) yang ditulis beliau sebanyak 54 bab, beliau
mencanangkan ‘Catatan Pendirian Ajaran Sukhavati (淨土立教志)’. Dalam kitab ini, dengan
menerima pengaruh dari pandangan Zongxiao yang menetapkan garis silsilah 6 patriark
Komunitas Teratai, maka beliau mengemukakan 7 patriark Komunitas Teratai. Penetapan
urutan kisah 7 patriark tersebut adalah: Patriark I - Huiyuan (慧遠) dari Gunung Lu (盧山);
Patriark II – Shandao (善導) dari Chang’an (長安); Patriark III – Chengyuan (承遠) dari

167
Nanyue (南岳); Patriark IV – Fazhao (法照) dari Chang’an (長安); Patriark V – Shaokang
(少康) dari Xinding (新定); Patriark VI – Yanshou (延壽) dari Yongming (永明); Patriark
VII – Xingchang (省常) dari Zhaoqing (昭慶). Kisah kelahiran 7 patriark ditempatkan di
bagian awal, selanjutnya adalah kisah kelahiran 18 tokoh bijak Komunitas Teratai, kisah 123
tokoh dari semua kalangan seperti biksu agung, biksuni, dan beragam jenis status, pejabat
tinggi, warga sipil, wanita, hingga penjahat, bahkan hewan darat, ikan, laut, dan sebagainya
yang mencapai 3 bab. Jadi ini juga adalah suatu pencapaian besar dalam penyusunan kitab
tentang kisah kelahiran di Sukhavati pada masa Dinasti Song.

Bicara tentang tokoh dari mazhab Lü (Vinaya) yang menyiarluaskan ajaran Sukhavati,
maka tidak bisa tidak menunjuk Master-Vinaya Dazhi (大智) alias Yuanzhao (元照; 1048-
1116 M) dari Wihara Lingzhi ( 靈 芝 寺 ) dan para siswa beliau sebagai tokoh yang
mewakilinya. Ketika Yuanzhao sedang terbaring sakit, beliau membaca kitab Jingtu Shiyi
Lun (淨土十疑論—Risalah Sepuluh Keraguan atas Tanah Murni Sukhavati) dari mazhab
Tiantai, dan setelah itu beliau pun menaruh keyakinan yang dalam terhadap Sukhavati, serta
menjadikan moto “Menyebarluaskan disiplin Vinaya semasa hidup, menuju ke Sukhavati saat
kematian” sebagai tekad besar seumur hidupnya. Beliau menulis kitab Guan Wuliangshou
Jing Yishu (觀無量壽經義疏—Komentar atas Makna Amitayur-dhyana Sutra) dan Amituo
Jing Yishu (阿彌陀經義疏—Komentar atas Makna Amitabha Sutra). Dua siswa beliau, yaitu
Biksu Yongqin (用欽) dan Jiedu (戒度) masing-masing menuliskan kitab Bailian Ji (白蓮記
—Catatan Teratai Putih) untuk memuji ulasan guru mereka dalam kitab Komentar atas
Makna Amitayur-dhyana Sutra. Berhubung ajaran Sukhavati dari kelompok aliran Yuanzhao
bersumber dari ajaran Sukhavati mazhab Tiantai, maka dalam kitab Komentar atas Makna
Amitayur-dhyana Sutra beliau mengajarkan 2 jenis praktik nianfo (perenungan pada objek
Buddha), yaitu nianfo melalui pengamatan prinsipil (理觀念佛) dan nianfo dalam tataran
fenomena (事相念佛). Namun beliau juga menerima pengaruh pandangan dari Shandao
tentang dua jenis kontemplasi, yaitu kontemplasi khusus dan acak (專雜二修). Karena itu,
dalam kitab Komentar atas Makna Amitabha Sutra, beliau menganjurkan praktik nianfo
dengan cara melafal nama Buddha dalam sesi khusus. Menurut beliau, cara praktik nianfo
terbagi atas aspek fenomena, prinsipil, pengamatan, dan pelafalan, di mana cara ini sebagai
bentuk penyesuaian atas tingkat kemampuan makhluk, tidak boleh dilekati secara berat
sebelah. Karena itu, Yuanzhao sendiri merupakan seorang praktisi yang mengombinasikan

168
sekaligus menyiarluaskan ajaran Vinaya dan Sukhavati, yang mana sebagai bentuk sikapnya
dalam menyelaraskan berbagai aliran. Sehubungan dengan kedatangan Biksu Shunjo (俊芿)
dari Jepang ke Tiongkok, maka ajaran Sukhavati masa Dinasti Song khususnya tentang
beberapa tokoh penganut ajaran Sukhavati di atas pun dibawa kembali ke Wihara Sennyu-ji
(泉涌寺) di Kyoto, Jepang. Hal ini memberi kontribusi yang sangat besar terhadap kejayaan
Buddhisme khususnya ajaran Sukhavati di zaman Kamakura.

Berpijak dari perspektif penganut mazhab Chan yang meniupkan suara keyakinan
pada Sukhavati, maka tokoh pertama yang patut diangkat adalah Yongming Yanshou (永明
延壽) dari negara Wuyue (吳越) pada masa Lima Dinasti. Beliau menulis sebuah kitab
berjudul Wanshan Tonggui Ji (萬善同歸集—Antologi Sepuluh Ribu Kebajikan Menuju
Tujuan Yang Sama), di mana beliau menyerap pemikiran dari kitab Jingtu Cibei Ji (淨土慈
悲 集 —Antologi Welas Asih Sukhavati) karya Biksu Cimin Sanzang ( 慈 愍 三 藏 ), lalu
mengemukakan teori keselarasan antara praktik nianfo dan Chan sebagai asimilasi dari ajaran
Chan dan Sukhavati. Semenjak itu, para praktisi Chan masa Dinasti Song, yakni Zongze (宗
賾), Zongben (宗本), Faxiu (法秀), dan Yihuai (義懷) juga terpengaruh oleh pemikiran
Yongming dalam kitab Wanshan Tonggui Ji, sehingga mereka menjadi praktisi yang
merekonsiliasi mazhab Chan dengan Sukhavati. Karena itu, seiring dengan kejayaan mazhab
Chan selama masa Dinasti Song, cukup banyak juga mereka yang menyelaraskan Chan dan
Sukhavati lalu menjadi praktisi Chan yang mempraktikkan nianfo.

Keyakinan pada ajaran Sukhavati di Jepang pada masa Kamakura (1192-1333 M)


berasal dari sekte Tendai (aliran Tiantai Jepang), kemudian berdiri sendiri menjadi sekte
Jodo-shu dan Jodo-Shinshu. Munculnya dua sekte ini disebabkan oleh adanya perbedaan
penafsiran dan pemilahan terhadap mana ajaran yang diterima dan ditolak. Padahal di
Tiongkok masa Dinasti Song, keyakinan pada ajaran Sukhavati malah populer di antara para
guru dari ketiga aliran, yaitu Chan, Doktrin (Jiao), dan Vinaya, serta menjadi ritual bersama
dari aliran-aliran tersebut. Dan juga atas dasar hubungannya dengan keyakinan pada
Sukhavati itulah maka perbedaan aliran-aliran itu diselaraskan.

Melalui kajian terhadap kitab Komentar atas Amitayur-dhyana Sutra karya Mahaguru
Tiantai, maka keyakinan pada ajaran Sukhavati dan pemikirannya pada masa Dinasti Song

169
telah membentuk gerakan pemulihan praktik Komunitas Teratai Putih ( 白 蓮 社 ) di dua
wilayah Zhe (浙). Anggota Sangha hingga umat awam bahkan kalangan masyarakat umum di
berbagai daerah mendirikan komunitas nianfo sebagai aktivitas masyarakat mereka. Tren
seperti ini meskipun telah pernah dijalani oleh Zhiying (智瑛), Shenhao (神皓), Shentai (神
泰), dan Zhixuan (知玄) di wilayah Tiongkok selatan pada masa Dinasti Tang, namun
perkembangannya masih tidak sesemarak masa Dinasti Song. Misalnya, Xingchang dari
Wihara Zhaoqing (昭慶寺) di Hangzhou (杭州), mendirikan Komunitas Praktik Suci (淨行
社); Ciyun Zunshi mendirikan ‘Perkumpulan Praktik Sukhavati (淨業會) di Wihara Baoyun
(寳雲寺) di Siming (四明); Siming Zhili (四明知禮) juga menyelenggarakan kegiatan nianfo,
persembahan dana, dan praktik Sila yang dilakukan setiap tahun pada bulan dua saat purnama
di Wihara Yanqing (延慶院) untuk menjalin jodoh karma dengan para anggota Sangha dan
umat awam yang kerap mencapai puluhan ribu orang. Komunitas Nianfo Yanqing memiliki
ketua perkumpulan sebanyak 210 orang, dan masing-masing dari mereka merekrut lagi 18
orang sahabat komunitas. Setelah para siswa yang direkrut memperoleh buku nilai, maka
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan mereka melafalkan nama Buddha. Setiap hari
mereka mencatat jumlah nama Buddha yang dilafalkan di atas buku nilai. Setelah tiba tanggal
15 di bulan dua setiap tahunnya, saat dalam persiapan kegiatan kebaktian, buku nilai yang
dibawa beserta naskah ‘48 harta suci diserahkan’ ke Wihara Yanqing. Apabila ada sahabat
komunitas yang meninggal dunia, maka ketua perkumpulan akan melaporkan identitasnya ke
Wihara Yanqing, lalu sebanyak 999 orang anggota lainnya masing-masing melafalkan nama
Buddha sebanyak seribu kali. Hingga hari pelaksanaan upacara, semua anggota sahabat
komunitas sekali lagi melafalkan nama Buddha bersama-sama demi kelahiran almarhum ke
tanah murni Sukhavati. Karena sisa jumlah pelafalan yang ditinggalkan almarhum, maka
digunakan cara tercepat untuk dipupuk kembali melalui perkumpulan anggota. Inilah
komunitas ‘karma suci’ yang bertekad terlahir di tanah murni Sukhavati melalui praktik
melafal nama Buddha yang dilakukan seumur hidup mereka yang mana para anggotanya
kerap berkumpul sebanyak sepuluh ribu orang.

Tidak lama kemudian, Wihara Yanqing di Siming pun meningkat statusnya menjadi
pusat pelatihan bagi semua kalangan dari segala penjuru. Jieran (介然) dari masa akhir
Dinasti Song-Utara mendirikan Gedung Sukhavati di lingkup dalam Xiyu (西隅) sebagai
pusat pelatihan ajaran Sukhavati, tempat di mana para praktisi nianfo berkumpul untuk

170
melatih diri secara jangka panjang. Di bagian dalam ruang permata, terdapat rupang Buddha
Amitabha setinggi 5 meter yang didampingi oleh Bodhisatwa Avalokitesvara dan
Mahasthamaprapta, di sekelilingnya terdapat kolam teratai. Di hadapan kolam teratai terdapat
16 ruang yang masing-masingnya terdapat rupang tiga figur suci (Buddha Amitabha,
Bodhisatwa Avalokitesvara dan Mahasthamaprapta) sebagai tempat praktik pertobatan dan
meditasi visualisasi, di mana ini disebut sebagai ruang praktik 16 visualisasi. Dari masa
Dinasti Song-Utara hingga Song-Selatan, di dua wilayah Zhe, ruang praktik 16 visualisasi di
wihara mazhab Tiantai merupakan pusat pelatihan penerapan ajaran Sukhavati. Ketika Biksu
Shunjo dari Jepang pulang kembali ke negara asalnya setelah belajar Dharma di negara Song,
model ruang praktik 16 visualisasi ini juga dibangun beliau di bagian dalam Wihara Sennyu-
ji di Kyoto.

Selain itu, Biksu Lingzhao (靈照) dari Wihara Chaoguo (超果教院), di Huating (華
亭 ) setiap tahun menyelenggarakan retret 7 hari perkumpulan Sukhavati dengan jumlah
anggota Sangha dan umat awam mencapai 30.000 orang. Biksu Daoshen (道深) di Hunan (湖
南) setiap bulan tanggal 23 menyelenggarakan praktik Sukhavati yang ditetapkan sebagai
kegiatan rutin. Setiap acara perkumpulan ini dihadiri oleh anggota Sangha dan umat awam
mencapai sepuluh ribu orang lebih.

Ada lagi, Pingji (凴檝) alias Upasaka Budong (不動) yang pada usia senja beliau
beralih ke praktik Sukhavati. Beliau menyusun tata ritual pertobatan ajaran Sukhavati dengan
judul Xifang Liwen Mituo Chan’yi (西方禮文彌陀懺—Naskah Penghormatan Sukhavati
Ritual Pertobatan Amitabha). Di kampung halamannya beliau mendirikan perkumpulan
praktik nianfo, sekaligus memasang altar berwujud 9 jenjang kelahiran di tanah murni
Sukhavati yang terbuat dari kayu cendana. Beliau juga mengacu pada 48 tekad Buddha
Amitabha untuk mencetak Tripitaka, dan 4 kitab Sutra utama yang masing-masing berjumlah
48 buah untuk dibagikan ke berbagai wihara tua di berbagai wilayah pegunungan.

Upasaka Youqi (有齊) alias Gui Dingguo (晷定國) kerap mempraktikkan nianfo
(melafal nama Buddha), membaca Sutra-sutra Sukhavati, mendirikan perkumpulan Xigui (西
歸社—Perkumpulan Menuju ke Tanah Murni Barat Sukkhavati), dan menasihati orang untuk
mempraktikkan nianfo. Pada tahun pertama dari era Jiatai ( 嘉 泰 ; 1201 M) masa

171
pemerintahan Kaisar Song Ningzong (宋寧宗), di Wihara Huiguang (慧光寺) yang terletak
di Xiaojiang (小江) beliau mendirikan gedung Sukhavati. Di tengah kolam gedung tersebut
diletakkan stupa batu sebagai tempat penyimpanan abu penduduk lokal. Untuk menjalin
jodoh karma dengan semua orang, beliau mencetak tabel nianfo yang dibagikan ke orang-
orang untuk menasihati mereka mempraktikkan nianfo. Setiap bulan tanggal 2 dan 8, para
anggota Sangha dan umat awam berkumpul di gedung Sukhavati untuk melantunkan Sutra
dan nianfo sebagai rutinitas mereka.

Dari contoh-contoh di atas kita menjadi tahu bahwa sejak masa Dinasti Song-Utara
hingga Song-Selatan muncul tren pendirian komunitas nianfo di lingkup Buddhisme
Tiongkok. Pada saat itu sehubungan dengan keyakinan tulus dari para cendikiawan perumah
tangga dalam memberi bantuan baik dalam bentuk karya tulis atau pun persembahan dana
untuk kegiatan komunitas. Alhasil, keyakinan pada ajaran Sukhavati pun menyebar ke
masyarakat dari berbagai golongan. Akan tetapi, ketika para pemimpin komunitas nianfo ini
tidak ‘mendapatkan orang’, mereka akan melenceng dari jalur normalnya hingga
menimbulkan masalah sosial yang berbahaya. Biksu [Kong]-Qingjue ([孔]清覺) dari Wihara
Baoyun (寶雲寺) di Luoyang yang mendirikan Sekte Baiyun (白雲宗—Sekte Awan Putih)
dan Biksu [Mao]-Ziyuan ([茅]子元) dari Wihara Yanxiang (延祥院) di Manchuria (滿洲)
yang mendirikan Aliran Teratai Putih (白蓮宗) adalah contoh terbaik. Awalnya yang pada
dasarnya merupakan komunitas Buddhis yang secara ketat melarang konsumsi daging dan
minuman keras, namun mereka kemudian melanggarnya dan mengadakan ritual agama
secara tertutup. Akibatnya ia mendapat tekanan dan penindasan dari pemerintah. Akan tetapi,
organisasi semacam ini malah sangat aktif di masyarakat masa setelah Dinasti Song, yaitu
Dinasti Yuan (元).

172
Bab XIV Buddhisme Dinasti Liao dan Jin

1. Lingkup Istana Dinasti Liao dan Buddhisme

Pada masa Dinasti Utara Selatan, bangsa Khitan (契丹)—sebagai pendiri Dinasti Liao
(遼) merupakan suku nomaden yang menetap di wilayah selatan Huangshui (潢水) dan
Huanglong (黃龍) bagian utara. Pada saat Dinasti Wei (元魏), mereka mulai menyebut diri
sebagai bangsa Khitan yang terbagi menjadi 8 kelompok suku. Hingga masa Dinasti Tang,
Yuelü Abaoji (耶律阿保機) menguasai 8 kelompok suku dan mempersatukannya. Pada
tahun 916 M, beliau menjuluki diri sebagai Tianhuang Wang (天皇王—Raja Kaisar Langit),
ibukotanya terletak di Linhuang ( 臨黃) bagian timur Mongol. Inilah kekaisaran bangsa
Khitan dan berdirinya Dinasti Liao. Sejak itu, kekaisarannya bertahan sekitar 200 tahun.
Abaoji memiliki gelar Kaisar Liao Taizu (遼太祖).

Wilayah kekuasaan Liao meliputi Manchuria, Mongol, Hebei, dan sebagian Shanxi
(16 distrik Yanyun (燕雲)). Di dalam wilayah kekuasaannya, persentasi jumlah orang Bohai
(渤海) dan bangsa Han (漢) sangat besar. Dari awal berdirinya negara ini sudah terdapat
keyakinan pada Buddhisme. Di masa Dinasti Liao, Buddhisme dijunjung sebagai agama
negara. Pada tahun 912 M, di ibukota Linhuang dibangun Wihara Tianxiong (天雄寺).
Kaisar dari generasi ke-2, yaitu Taizong (太宗) membangun lagi Wihara An’guo (安國寺).
Kaisar Taizong adalah pemuja Avalokitesvara. Beliau pernah menyelenggarakan puja bakti
dan persembahan makanan kepada Sangha untuk mendoakan kesembuhan ibu suri. Karena
Buddhisme menjadi agama yang dianut oleh lingkup istana, ia pun berkembang dengan pesat.
Pada masa pemerintahan Kaisar Shengzong (聖宗) yang dianggap sebagai era di mana negara
mencapai puncak kekuataannya, kemudian melewati masa Kaisar Liao Xingzong (遼興宗)
hingga Liao Daozong (遼道宗) juga menjadi masa kejayaan Buddhisme Dinasti Liao. Akan
tetapi, bentuk keyakinan pada Buddhisme dari Dinasti Liao bukanlah didasari oleh keyakinan

173
yang murni secara relijius. Karena saat bangsa Han mengalami tekanan dari suku bangsa lain,
dan saat bangsa lain menguasai sebagian atau seluruh wilayah yang didiami oleh bangsa Han
di bawah kondisi politik penaklukan dinasti secara khusus, maka kedudukan Buddhisme tentu
menjadi berbeda dengan saat berada di bawah kekuasaan bangsa Han sebelumnya.

Kepercayaan yang dianut oleh bangsa Khitan awalnya adalah Samanisme, yaitu suatu
kepercayaan yang saling dikombinasikan dengan sistem adat suku. Tatkala di dalam
pendirian negaranya demi menegakkan kekuasaan autokrasi mereka di Tiongkok, maka harus
ditemukan sebuah agama yang dapat menghancurkan sekat perbedaan suku untuk membawa
mereka ke suatu semangat keyakinan yang bersifat universal dan melampaui batas
kebangsaan. Satu-satunya bentuk keyakinan yang selaras dengan aspek ini adalah Buddhisme.
Pada sisi lain, salah satu tugas yang mendesak pada awal pendirian negaranya adalah
membangun ekonomi dan budaya di wilayah lokal bangsa Khitan. Untuk itu diterapkan
perpindahan penduduk bangsa Han, di mana banyak daerah yang didiami bangsa Han
dimigrasikan ke wilayah Khitan. Mereka telah dibangunkan wihara di Khitan dan anggota
Sangha dari bangsa Han diundang untuk menempatinya dengan tujuan menentramkan hati
bangsa Han. Ini dimanfaatkan untuk mencari dukungan rakyat. Lagi pula, berbagai suku
bangsa yang berada di dalam wilayah kekuasaannya, terutama demi merekonsiliasi konflik
antara bangsa Han dan Khitan, maka digunakanlah keyakinan Buddhisme yang melampaui
batas suku bangsa sehingga mendatangkan kebaikan bagi Dinasti Liao. Karena ‘Buddhisme
bukan agama yang dimonopoli oleh Tiongkok saja’, sehingga bangsa Han dan bangsa Khitan
dapat bersatu melalui interaksi mereka dengan nilai-nilai praktis Buddhisme. Oleh karena itu,
bentuk pemujaan terhadap Buddhisme oleh Dinasti Liao, kalau dipikirkan, sedikit banyak
mengandung motif demi menjaga stabilitas politik dinastinya.

Kaisar Liao Shengzong (遼聖宗) sendiri memiliki pemahaman yang cukup dalam
tentang Buddhisme. Karena itu, dengan dilatar belakangi oleh kekuatan negaranya beliau
menerapkan kebijakan politik yang berlandaskan Buddhisme. Pertama-tama, demi
mengenang dan memberi persembahan kepada para prajurit dua negara yang tewas saat
perang dengan Dinasti Song, maka beliau membangun wihara dan stupa di berbagai daerah,
mengadakan puja bakti selama satu bulan, serta memberi persembahan makanan kepada
anggota Sangha sebanyak sepuluh ribu orang lebih. Sehubungan dengan tren aksi yang
dicetuskan oleh kaisar, maka komunitas Buddhisme pun mendapat kesempatan untuk

174
berkembang, sehingga jumlah anggota Sangha bertambah dengan pesat, dan muncul tokoh-
tokoh biksu agung.

Akibatnya, tidak sedikit juga jumlah biksu palsu yang melakukan penahbisan ilegal.
Sehingga pada era Tonghe ( 統 和 ; 983-1012 M) , diturunkan lagi instruksi pelarangan
penahbisan ilegal.

Kaisar Liao Xingzong (遼興宗) juga adalah seorang penganut Buddhisme. Pada
tahun ke-7 dari era Chongxi (重熙; 1038 M), beliau menerima peraturan Sila. Pada bulan
pertama tahun berikutnya, beliau mengundang anggota Sangha ke istana untuk
mendiskusikan ajaran Buddha. Setelah mendengar ceramah atas kitab Bao’en Jing (報恩經—
Sutra Balas Budi) ada suatu kesadaran transendental yang beliau rasakan. Beliau kerap
membangun wihara, dan melakukan kegiatan persembahan makanan kepada anggota Sangha.
Pada tahun ke-23 dari era Chongxi, demi mengenang selesainya pembuatan patung Buddha
dari perak di Wihara Kaitai (開泰寺), beliau memberi grasi kepada para narapidana. Hal
yang harus kita perhatikan adalah bahwa sikap Kaisar Xingzong sebagai pemuja Buddhisme
adalah dengan mengangkat Biksu Seng Huijian (僧惠監) sebagai pejabat Jianjiao Taiwei (檢
校太尉), yaitu memberi perlakuan istimewa kepada anggota Sangha dengan mengangkat
mereka sebagai pejabat tinggi negara. Anggota Sangha yang merangkap jabatan tinggi seperti
San’gong (三公) dan San’shi (三師) mencapai lebih dari 20 orang. Oleh karena itu, tidak
sedikit juga orang yang memasuki kehidupan monastik demi mengejar kehormatan dan
derajat tinggi.

Di antara para kaisar Dinasti Liao, Liao Daozong (遼道宗) boleh disebut sebagai
kaisar yang paling dalam pemahamannya terhadap Buddhisme, dan juga seorang penguasa
yang paling gigih dalam melindungi Buddhisme. Sehubungan dengan pengetahuannya
terhadap ajaran Buddha, khususnya ajaran tentang Avatamsaka Sutra, maka beliau memiliki
hasil karya tulis berupa kitab Dafang Guangfo Huayan Jing Suipin Zan (大方廣佛華嚴經隨
品讚—Pujian Bagian Varga dari Avatamsaka Sutra). Karya lain dari beliau adalah Fa Puti
Xin Jieben (發菩提心戒本—Asas Sila Membangkitkan Bodhicitta). Beliau juga memahami
bahasa Sanskerta. Dari dua ungkapan beliau, yaitu “Setahun persembahan kepada Sangha
sebanyak tiga ratus enam puluh ribu, sehari megadakan pencukuran rambut [menjadi

175
anggota Sangha] sebanyak tiga ribu,” juga dapat terlihat rasa antusiasme Kaisar Daozong
terhadap Buddhisme. Beliau bukan saja memberi persembahan makanan dan penahbisan
anggota Sangha, sekaligus juga banyak membangun wihara dan stupa. Banyak peninggalan
stupa Buddha masa Dinasti Liao yang masih eksis sekarang di wilayah Manchuria, Mongol
dan Huabei (華北) merupakan hasil karya di era tersebut. Stupa Buddha masa Dinasti Liao
kebanyakan berbentuk heksagonal dengan tinggi 13 tingkat yang disusun dari batu bata.
Setiap sisi dan tingkat stupa terdapat ukiran Buddha, bodhisatwa, dan dewa-dewa. Meskipun
ukiran tersebut merupakan bagian dari ciri budaya Tiongkok, namun dari stupa Buddha yang
masih tersisa sekarang juga dapat terlihat ciri khas Khitan. Pada satu sisi Kaisar Daozong
mendirikan simamandala, pada sisi lain beliau masih mengikuti ketetapan para pendahulunya
dengan memberi jabatan tinggi kepada anggota Sangha sebagai bentuk perlakukan istimewa.

Sebagai agama yang dipuja oleh kaisar dan mendapat perlindungan dari kerajaan,
dalam Buddhisme Dinasti Liao menghasilkan dua karya besar, yaitu pelaksanaan pemahatan
Sutra batu di Gunung Fang (房山石經) dan pengukiran Tripitaka edisi Khitan (契丹大藏經
—Tripitaka Khitan).

2. Tambahan Pemahatan Sutra Batu Gunung Fang

Pemahatan Sutra Batu Gunung Fang pada awalnya dikerjakan oleh Biksu Jingwan (靜
琬) dari masa Dinasti Sui, lalu pernah terhenti antara masa akhir Dinasti Tang dan Lima
Dinasti. Sampai masa Dinasti Liao pengerjaannya dilanjutkan kembali. Di bawah dukungan 3
kaisar yang telah disebutkan di atas maka proyek besar ini dioperasikan. Hingga tahun ke-3
dari era Qingning (清寧; 1057 M) masa Kaisar Daozong, telah dipahatkan 4 Sutra besar,
yaitu Maha Parinirvana Sutra, Avatamsaka Sutra, Prajnaparamita Sutra, dan Maha
Ratnakuta Sutra. Akan tetapi, di samping proyek yang pada dasarnya didanai oleh pihak
istana, melalui Mahaguru Tongli (通利) dan muridnya, Shanding (善定), juga mendapat
dukungan dari rakyat untuk melanjutkan pemahatan. Oleh karena itu hingga masa Dinasti Jin
(金) pengerjaan proyek ini masih terus berlangsung.

176
3. Tripitaka Khitan

Kira-kira upaya yang dikerahkan dalam pengerjaan proyek penerbitan Tripitaka


Khitan sebanding dengan proyek tambahan pemahatan Sutra Batu Gunung Fang. Proyek ini
lebih telat sedikit dari Tripitaka edisi Song (宋藏). Demi menantang Tripitaka Song, maka
biksu dari bangsa Han ditugaskan sebagai pengawas proyek, di mana perencanaannya dibuat
berbeda secara total dengan Tripitaka Song. Proyek kerjanya diperlakukan sebagai proyek
negara. Sebagian besar pengerjaannya selesai pada masa Kaisar Liao Xingzong. Pada tahun
ke-5 dari era Qingning (1059 M) masa Kaisar Liao Daozong, seluruh Tripitaka selesai diukir
dengan total 579 jilid, 5.048 bab. Setelah itu ada perolehan kitab berharga dan rahasia yang
kemudian diukirkan lagi. Akan tetapi, walau dengan menyebutnya sebagai Tripitaka Khitan,
sesungguhnya ia sama sekali tidak menggunakan aksara Khitan. Demi menaikkan pamor
kekuatan negara Liao dan standar kebudayaannya, maka Tripitaka Khitan ini pernah beberapa
kali dihadiahkan kepada kerajaan Goryeo (Korea). Penerbitan Tripitaka Goryeo juga
mendapat pengaruh dari edisi Khitan ini. Dari kitab Chongxiu Boqiefan Jing Ji (重修薄伽梵
經記—Revisi Catatan Kitab Suci Bhagava), kita menjadi tahu bahwa Wihara Dahuayan (大
華嚴寺) yang terletak di Shanxi, Datong (山西,大同), pernah menyimpan Tripitaka Khitan
dari Dinasti Liao. Sekarang hanya terdapat edisi Tripitaka yang dibuat pada masa Dinasti
Liao, sedangkan Tripitaka Khitan sendiri telah hilang sejak lama. Dalam literatur Buddhis
bentuk cetakan hasil temuan di Turpan (wilayah Xinjiang) yang kini tersimpan di
perpustakaan Universitas Ryukoku di Kyoto, konon terdapat beberapa lembar potongan
Tripitaka Khitan yang tidak utuh.

4. Doktrin Ajaran Buddha Masa Dinasti Liao

Tren pengkajian doktrin ajaran Buddha sangat populer di masa Dinasti Liao, begitu
juga terdapat banyak biksu yang berpendidikan. Karya tulis masa Dinasti Liao juga tidak
sedikit jumlahnya. Bicara secara umum, doktrin Buddhisme pada saat itu berpusat pada
Avatamsaka. Hingga masa Kaisar Daozong, Tantrayana berkembang dengan subur, dan
ajaran Vinaya juga dijunjung tinggi. Akan tetapi, jika ingin mengatakan aliran murni mana
yang mereka anut, itu juga tidak bisa ditentukan, karena ada kecenderungan yang mengarah
ke proses sinkretisasi dan penyatuan. Lagi pula, faktor pendorong atas populernya Tantrayana

177
juga disebabkan oleh keselarasannya dengan kepercayaan Samanisme yang telah lama dianut
oleh bangsa Khitan.

Agar kitab suci Buddha dapat dilantunkan dengan benar maka terdapat kitab Xu Yiqie
Jingyin Yi (續一切經音義—Lanjutan Makna Fonetik Semua Sutra) karya Biksu Xilin (希麟),
yaitu kitab yang digunakan untuk mengkaji makna fonetik dari suatu kata; dan kamus
Longkan Shoujian (龍龕手鑑—Cermin Tangan Altar Naga) karya Biksu Xingjun (行均).
Atas perintah Kaisar Daozong, Biksu Jueyuan (覺苑) menulis kitab Yanmi Chao (演密鈔)
dan Ke Wen (科文), yaitu catatan keterangan atas kitab Dari Jing Yishi (大日經義釋—
Penjelasan Makna Sutra Mahavairocana) karya Biksu Yixing (一行) dari Dinasti Tang; Biksu
Daoyin (道殷) menulis kitab Xianmi Yuantong Chengfo Xin Yaoji (顯密圓通成佛心要集—
Kumpulan Esensi Batin Pencapaian Kebuddhaan melalui Penembusan Sempurna Ajaran
Eksoterik dan Esoterik). Kedua tokoh ini sama-sama menguasai doktrin Avatamsaka Sutra,
sekaligus mengasimilasikan sistem Tantrayana dari Biksu Subhakarasimha dan Yixing (一行)
dengan sistem Tantrayana dari Biksu Amoghavajra, yang mana hal ini memiliki arti sangat
penting bagi sejarah Tantrayana. Ketika Biksu Daozong (道宗) membaca Tripitaka, beliau
sangat menitikberatkan kitab Shi Moheyan Lun ( 釋 摩 訶 衍 論 —Risalah atas Penjelasan
Mahayana) karena itu beliau meminta Biksu Zhifu (志福) menulis komentarnya dengan judul
Shi Moheyan Lun Tongxuan Chao (釋摩訶衍論通玄鈔). Biksu Shouzhen (守臻) dan Fawu
(法悟) masing-masing juga menulis kitab komentar atas Shi Moheyan Lun. Feizhuo (非濁),
peserta proyek penyusunan Tripitaka, adalah tokoh yang memahami dengan baik tentang
ajaran Vinaya dan batinnya bertopang pada ajaran Sukhavati. Selain menulis karya Suiyuan
Wangsheng Ji ( 隨 願 往 生 集 —Antologi Tekad Terlahir di Sukhavati), beliau juga
menghasilkan karya kitab Sanbao Ganying Yaolue Lu (三寳感應要略錄—Catatan Singkat
Esensi Mukjizat Triratna).

5. Dua Akun Pajak

Hal yang harus diperhatikan mengenai sisi perekonomian wihara masa Dinasti Liao
adalah sistem dua subjek pajak (二税戶). Merupakan hal yang lumrah pada masa Dinasti
Liao di mana keluarga raja, kaum borjuis, pejabat berjasa, dan wihara diberikan rekening

178
rakyat. Separuh dari pajak rekening rakyat ini dibayarkan ke kas pemerintah, dan separuhnya
lagi dibayarkan ke kelompok borjuis mereka masing-masing atau ke wihara. Dari kewajiban
membayar pajak tersebut, maka disebut dua subjek pajak. Wihara dapat dibangun dengan
megah disebabkan oleh adanya sistem dua subjek pajak sebagai penopang ekonominya.

6. Meluasnya Keyakinan pada Buddhisme

Keyakinan pada Buddhisme telah memberi pengaruh yang sangat besar bagi
kehidupan spiritual bangsa Khitan. Pada satu sisi, pengorbanan hewan untuk upacara
persembahan kepada dewa telah berkurang secara signifikan. Pada saat bersamaan juga di
Gunung Muye (木葉山) sebagai wilayah asal asul bangsa Khitan yang memiliki keyakinan
mendalam pada Avalokiteswara Berjubah Putih, di mana kepercayaan tradisional rakyat dan
keyakinan pada Avalokitesvara mengalami asimilasi sehingga memperluas kepercayaan pada
Avalokitesvara.

Di kalangan masyarakat, keyakinan yang berpusat pada figur Buddha Amitabha,


Bodhisatwa Avalokitesvara dan Manjusri telah membentuk berbagai perkumpulan (邑會;
yihui). Ciri khas perkumpulan yihui masa Dinasti Liao misalnya adalah perkumpulan yihui
1.000 peserta di Wihara Yunju (雲居寺) di Gunung Fang (房山),yaitu perkumpulan yang
dibatasi sebanyak 1.000 anggota. Mengenai biaya pembangunan wihara dan stupa yang
membutuhkan dana besar, maka perkumpulan yihui megemban tugas dan misi yang sangat
besar. Dalam perayaan hari Waisak yang diselenggarakan setiap tahun oleh wihara-wihara di
berbagai daerah, banyak orang berkumpul di wihara, dan para wanita Khitan merias wajah
mereka dengan bedak warna kuning yang disebut pakaian Buddha. Di berbagai kelas
masyarakat tiada satu pun yang tidak dihiasi hal yang bernuansa Buddhis. Namun yang harus
diperhatikan dan dipahami adalah bahwa esensi Buddhisme Dinasti Liao terbentuk oleh
anggota Sangha dari bangsa Han yang dikendalikan rezim Dinasti Liao. Di masa Dinasti Liao,
yang mewakili tokoh biksu agung semuanya berasal dari bangsa Han. Tripitaka Khitan yang
dianggap sebagai proyek negara juga menggunakan aksara Han. Intinya, Buddhisme Dinasti
Liao secara hakiki selain sebagai Buddhisme Tiongkok, tidak ada kebudayaan baru yang
lainnya lagi.

179
7. Lingkup Istana Kekaisaran Jin dan Buddhisme

Dinasti Jin (金) merupakan kekaisaran yang didirikan oleh bangsa Jurchen (女真;女
直) di Manchuria sejak dahulu. Pada awal abad ke-12 Masehi, Aguda dari klan Wanyan,
bangsa Jurchen, mendirikan negaranya dekat wilayah Harbin di saat kondisi Dinasti Liao
sedang lemah, setelah itu negaranya bertahan selama 10 generasi dengan jangka waktu 120
tahun hingga berakhir dengan keruntuhannya. Di antara masa tersebut, Jin menaklukkan
Dinasti Liao dan menguasai wilayahnya, serta menginvasi Song-Utara dengan menguasai
daratan utara Huaishui (淮水). Awalnya Dinasti Jin mendirikan ibu kota di Prefektur Huining
(會寧府), wilayah Shangjing (上京) dekat Harbin. Kemudian ibu kotanya dipindahkan ke
Yanjin—燕京 (Beijing—北京), dan pada periode akhir dipindahkan lagi ke Bianjing—汴京
(Kaifeng— 開 封 ). Atas keterkaitan ini, Buddhisme Dinasti Jin merupakan warisan dari
Buddhisme Dinasti Liao dan Song-Utara yang kemudian dikembangkan lagi.

Pihak istana Dinasti Jin juga menerapkan kebijakan untuk melindungi Buddhisme.
Karena itu, kejayaan Buddhisme masa Dinasti Jin juga tidak kalah dengan masa Dinasti Liao.
Pada awal berdirinya negara Jin, di era Kaisar Taizu (太祖; naik tahta tahun 1115-1123 M)
dan Taizong (太宗; naik tahta tahun 1123-1135 M) banyak dilakukan pembangunan dan
renovasi wihara di wilayah Hebei (河北) dan Shanxi (山西) untuk ditempati oleh biksu dari
bangsa Han. Taizong sendiri menjadi pemeluk Buddhisme. Setiap tahun beliau mengadakan
persembahan makanan kepada anggota Sangha sebanyak lebih dari sepuluh ribu orang, serta
mendatangkan patung megah dari kayu cendana ke ibu kota Yanjing untuk penyelenggaraan
puja bakti pelimpahan jasa dan patidana Shuilu Dahui (水陸大會). Jadi dapat terlihat betapa
besar sikap pujaannya terhadap ajaran Buddha.

Pada era Pangeran Hailing ( 海 陵 王 ; berkuasa tahun 1149-1161 M), Buddhisme


mengalami penindasan. Setelah Kaisar Jin Shizong (金世宗; naik tahta tahun 1161-1189 M)
menduduki tahta, beliau kembali membuat kebijakan perlakuan istimewa pada Buddhisme
dengan mencabut peraturan larangan kegiatan agama yang dibuat pada masa kekuasaan
Pangeran Hailing. Beliau membangun wihara di berbagai daerah, bahkan sering membangun
wihara-wihara terkenal. Misalnya pada tahun ke-2 dari era Dading (大定; 1162 M) beliau
membangun Wihara Da-Qingshou (大慶壽寺) di kota Yanjing dengan menunjuk Biksu

180
Xuanming (玄冥禪師) sebagai kepala wihara, dan memberikan dana sebanyak 20.000 min
(緡), ladang seluas 20 qing (頃). Pada tahun ke-8 dari era yang sama, dibangun lagi Wihara
Qing’an (清安寺) di ibu kota timur Liaoyang (遼陽). Sebanyak 500 biksu ditahbis di sana.
Pada tahun ke-24, dibangun Wihara Qiyin (栖隱寺) dengan jumlah biksu yang ditahbis
sebanyak 10.000 orang. Pada tahun yang sama, dibangun lagi Wihara Haotian (昊天寺), dan
diberikan ladang seluas lebih dari 100 qing; setiap tahun ditahbiskan 10 orang biksuni.

Jika diperhatikan lagi dari ibu kandung Kaisar Jin Shizong yang mencukur rambutnya
untuk menjadi biksuni di Wihara Qing’an di kota Liaoyang, maka terlihat bahwa hubungan
antara istana Dinasti Jin dan Buddhisme sungguh bukan hubungan biasa. Kaisar Jin
Zhangzong (金章宗; berkuasa tahun 1189-1208 M) terlebih lagi memberi perlindungan
kepada Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Beliau sendiri menjadi pemeluk
Buddhisme, dan pernah mengundang Master-Chan Wansong Xingxiu (萬松行秀) untuk
memberi ceramah yang membuatnya terharu. Pada tahun beliau naik tahta, beliau mengawali
pembangunan Wihara Qingshou (慶壽寺), selanjutnya kerap membangun berbagai wihara
lainnya dan menyelenggarakan berbagai kegiatan Buddhis. Pada tahun ke-4 dari era
Cheng’an (承安; 1199 M), beliau membangun Wihara Daming (大明寺), stupa setinggi 9
tingkat, serta menyokong penahbisan anggota Sangha sebanyak 30.000 orang.

8。Penjualan Sertifikat Penahbisan

Meskipun masa Dinasti Jin juga pernah terjadi penindasan Buddhisme, namun bicara
secara garis besar, sikap Dinasti Jin terhadap Buddhisme didasari dengan motif baik, bahkan
memberi junjungan dan perlindungan yang lebih. Akan tetapi, juga merupakan fakta bahwa
ada kalanya komunitas Sangha diperalat oleh orang-orang melalui cara kekuasaan.

Mengenai komunitas Sangha yang diperalat, hal yang paling jelas berasal dari sisi
keuangan negara. Karena pada saat kondisi keuangan negara mengalami defisit, maka
pemerintah memperjualbelikan papan nama wihara, sertifikat penahbisan, nama gelar biksu,
dan sebagainya kepada komunitas Budhisme. Kegiatan ini dimulai pada masa akhir
kekuasaan Pangeran Hailing. Semenjak itu, asalkan keuangan negara mengalami defisit maka

181
cara ini digunakan untuk menutupinya. Hingga akhir Dinasti Jin saat di mana tentara Mongol
mulai menginvasi, aksi penjualan sertifikat penahbisan dan perangkat lain semakin menjadi-
jadi, bahkan sertifikat penahbisan mengemban misi sebagai fungsi uang. Lantaran, setelah
sejumlah besar sertifikat penahbisan diperjualbelikan, maka muncul pula anggota Sangha
palsu yang bertindak menyimpang. Ini bukan saja mengakibatkan kemerosotoan lingkungan
Buddhisme, bahkan mungkin juga membuat orang dapat menghindari kewajiban militer yang
berimbas pada melemahnya kekuatan militer, sehingga memberi pengaruh yang sangat besar
terhadap negara.

9. Pengendalian terhadap Komunitas Sangha

Pada masa awal Dinasti Jin yang sedang bergolak, banya terdapat anggota Sangha
palsu yang ditahbis secara ilegal. Pada tahun ke-8 dari era Tianhui (天會; 1130 M) masa
pemerintahan Kaisar Jin Taizong (金太宗), dikeluarkan peraturan larangan penahbisan tanpa
izin. Hingga masa Kaisar Jin Zhangzong, diajukan lagi berbagai strategi untuk
mengendalikan komunitas Buddhis, yaitu larangan penahbisan tanpa izin pada tahun pertama
dari era Mingzhang (明章; 1190 M). Pada tahun yang sama, ditetapkan peraturan 3 tahun
sekali untuk evaluasi sistem penahbisan, larangan membangun wihara, dan anggota Sangha
tidak diperkenankan untuk keluar masuk gedung pejabat tinggi dan pangeran, melainkan ada
pengangkatan jabatan Sangha yang terbagi atas berbagai tingkat sebagai tugas pengawasan
terhadap lingkup agama, yaitu guru negara (國師) di ibu kota, jabatan Senglu (僧祿) di
prefektur, jabatan Dugang (都綱) di distrik, dan jabatan Weinuo(維那) di kabupaten. Akan
tetapi, kendati terdapat kebijakan terhadap Buddhisme yang sedemikian lengkap, sehubungan
dengan adanya aksi jual beli sertifikat penahbisan, maka kebijakan itu tidak memperoleh
hasil sebagaimana yang diprediksi.

10. Karakteristik Buddhisme Dinasti Jin

Dari sisi pengkajian kitab suci Buddha masa Dinasti Jin, penekanannya ada pada
doktrin Avatamsaka. Dari sisi terapan, yang diutamakan adalah praktik Chan. Jumlah wihara

182
mazhab Chan di kota Yanjing sangat banyak, terutama dengan adanya Biksu Wansong
Xingxiu ( 萬 松 行 秀 ; 1166-1246 M) maka reputasi mazhab Chan pun semakin populer
perkembangannya. Xingxiu adalah pewaris Dharma generasi ke-23 dari garis silsilah
Qingyuan (青原) dari aliran Caodong (曹洞). Beliau pada satu sisi berpijak pada doktrin
Avatamsaka, menyerap pandangan seratus aliran pemikiran dari para sarjana Konfusianisme,
dan tetap menjadikan Buddhisme sebagai asas kunci untuk mempertahankan pandangan
keserasian antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme yang dituangkannya dalam kitab
Chongrong Lu (從容錄—Catatan Keantengan). Murid beliau adalah Conglun (從倫), Fuyu
(福裕), Li Chunfu (李純甫), dan Yelü Chucai (耶律楚材).

Li Chunfu alias Pingshan ( 屏山) awalnya mempelajari Konfusianisme kemudian


menjadi pemeluk Buddhisme, khususnya cukup mumpuni dalam pengkajian doktrin
Avatamsaka. Begitu juga beliau bertumpu pada Buddhisme untuk menyelaraskan pandangan
tiga agama. Dalam kitab Mingdao Jishuo (鳴道集說) yang ditulis oleh beliau dengan jelas
mengekspresikan pemikiran ini. Ini juga sebuah kitab yang menyanggah pemikiran anti
Buddhis dari para Neo-Konfusianis, merupakan karya yang menyiarkan filosofi Buddhisme
dan bimbingan spiritual kepada orang.

11. Aliran Quanzhen

Pandangan tentang penyelarasan tiga agama bukan hanya ada di lingkup Buddhisme.
Pada saat yang sama juga muncul di lingkup Taoisme, di mana aliran yang mewakilinya
adalah Quangzhen (全真教). Aliran Quanzhen berdiri pada tahun ke-7 dari era Dading (大定;
1167 M) masa kekuasaan Kaisar Jin Shizong. Sehubungan dengan penyebaran ajaran yang
diprakarsai oleh Wang Zhe (王嚞) di wilayah Shandong (山東) sehingga muncul Taoisme
baru yang mana aliran ini dengan cepat menyebarkan akitivitas pengajarannya. Wangzhe
menasihati para muridnya untuk menerapkan ajaran berdasarkan kitab Daode Jing (道德經—
Kitab Jalan Tao dan Moralitas) milik Taoisme, Xiao Jing ( 孝 經 —Kitab Bakti) milik
Konfusianisme, dan Prajnaparamita Hrdaya Sutra (心經—Sutra Hati) milik Buddhisme.
Dari cara beliau mendorong orang untuk praktik meditasi, juga terlihat ada nuansa mazhab
Chan yang kental. Dalam kitab Chongyang Lijiao Shiwu Lun (重陽立教十五論—Lima Belas

183
Risalah Pendirian Aliran dari Chongyang) yang ditulis oleh beliau dapat ditemukan bentuk
pemikiran seperti itu.

12. Tripitaka Ukiran dari Dinasti Jin

Hal yang patut diangkat tentang pengadaan proyek besar Buddhisme yang dilakukan
dari kalangan rakyat pada saat itu adalah pengukiran “Tripitaka Edisi Dinasti Jin”. Ini adalah
mustika Dharma dari hasil tekad seorang biksuni bermarga Cui (崔) yang memiliki nama
tahbis, Fazhen (法珍), melalui usahanya dalam penggalangan dana terutama dari masyarakat
wilayah selatan Shanxi (山西). Beliau pernah mempersembahkan ukiran baru “Tripitaka
Edisi Cetak” kepada pihak kerajaan pada tahun ke-18 dari era Dading (1178 M) masa
kekuasaan Kaisar Jin Shizong. Meskipun Tripitaka ini mengacu pada Tripitaka edisi Dinasti
Song- Utara sebagai cetak birunya, di dalamnya juga mengandung kitab suci Buddha bernilai
tinggi yang ditemukan dalam ‘Tripitaka Song’ dan berbagai edisi lainnya. Namun proyek
agung kebudayaan Buddhis ini tidak pernah diketahui oleh sejarawan sampai ia ditemukan
pada tahun 1934 di Wihara Guangsheng (廣勝寺) di Kabupaten Zhao, Provinsi Shangxi (山
西省趙縣). Karena itu pada tahun 1935, di dalam Tripitaka Edisi Dinasti Jin yang terdapat
literatur sejarah yang hilang sejak lama berupa Sutra, naskah komentar dan lain sebagainya,
dicetak dan diterbitkan kembali dengan judul Songzang Yizhen (宋藏遺珍—Sisa Peninggalan
Tripitaka Song yang Berharga) sebanyak 120 jilid.

Ada lagi, saat sedang terjadinya konfrontasi antara Dinasti Liao dan Jin, di bagian
barat daya Tiongkok terdapat suku Tangut (黨項) dari sub-etnis Tibet mendirikan Dinasti Xi
Xia (西夏—Xia Barat). Sejak waktu yang sangat awal Buddhisme telah berkembang dengan
populer di wilayah tersebut. Begitu juga tren pembangunan wihara dan stupa berkembang
dengan semarak. Akan tetapi, demi memupuk kebudayaan negara Xia Barat sendiri maka
diciptakanlah aksara Tangut yang ditiru dari aksara Han, sehingga banyak juga kitab suci
Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tangut. Tidak sedikit terdapat sisa
peninggalannya, di antaranya yang paling terkenal yaitu Liuti Zunsheng Tuoluoni Jing (六體
尊勝陀羅尼經—Enam Aksara Usnisa Vijaya Dharani Sutra) yang muncul di dalam lorong
dinding gapura Gerbang Juyong (居庸關).

184
BAB XV Buddhisme Dinasti Yuan

1. Lingkup Istana Dinasti Yuan dan Buddhisme

Bangsa Mongol sebagai pendiri Dinasti Yuan (元) merupakan bangsa nomaden di
wilayah Mongolia Luar melalui penaklukannya terhadap Dinasti Liao dan Jin, yang mana
pada akhir abad ke-12 M muncul seorang pahlawan yang tiada tandingannya bernama
Temujin ( 鐵 木 真 ) yang mempersatukan berbagai kelompok suku di Mongolia. Beliau
membangun kekuatannya yang mencakup Mongolia Dalam dan Luar. Hingga pada tahun
1206 M beliau diangkat menjadi Khan Agung dengan gelar Jenghis Khan. Dialah Kaisar
Yuan Taizu (元太祖).

Pada awalnya Yuan Taizu menaklukkan Xia Barat, lalu mengkonfrontasi Dinasti Jin.
Tidak lama kemudian beliau mengerahkan pasukannya ke penjuru barat, menggerakkan
invasinya ke wilayah barat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Invasi penaklukkan barat
ini berlanjut hingga masa Kaisar Yuan Taizong ( 元 太 宗 ; Ogadai Khan). Dengan
menginvasi daratan Eropa, keperkasaan tentara Mongol pun mendunia. Mengenai Xia Barat
dan Jin tidak perlu disebutkan lagi, mereka pun takluk di bawah tentara Mongol. Bahkan
Korea pun berada di bawah kekuasaannya.

Hingga masa Kaisar Yuan Shizu (元世祖; Kubilai Khan; naik tahta tahun 1260 M),
dengan menaklukkan Dinasti Song-Selatan ( 南 宋 ) maka beliau berhasil mempersatukan
seluruh Tiongkok. Ini juga merupakan tanda lahirnya imperium besar Dinasti Yuan yang
belum pernah terjadi sebelumnya. Dinasti Yuan terhitung dari sejak Jenghis Khan menduduki
tahta hingga keruntuhannya (1367 M), secara total berlangsung selama 162 tahun. Jika
dihitung dari sejak Yuan Shizu menduduki tahta dengan mengganti nama negaranya menjadi
Yuan, maka totalnya berlangsung selama 11 generasi, 109 tahun. Namun beberapa wilayah
kekhanan di barat masih tetap berkuasa secara independen. Wilayah yang dikendalikan secara
langsung di bawah Dinasti Yuan hanyalah Mongolia Dalam dan Luar, Manchuria, dan
wilayah Asia Timur yang merupakan bagian internal Tiongkok sebagai pusatnya.

185
Dinasti Yuan memperlakukan agama yang berada di wilayah kekuasaannya dengan
sikap seimbang dan lapang dada. Setidaknya, selama dalam batasan yang tidak menentang
kekuasaan Mongol, maka setiap agama diberi kebebasan dalam kegiatan misionaris.
Kebijakan yang melindungi agama ini didasari oleh tujuan mengantisipasi bangsa yang
berada di bawah kendalinya, khususnya dengan alasan untuk mengantisipasi kekacauan sosial
yang ditimbulkan oleh bangsa Han agar sistem pemerintahan Dinasti Yuan dapat berjalan
dengan stabil.

Dilihat dari hubungan antara lingkup istana kekaisaran Mongol dengan Buddhisme,
maka di antara pembantu Yuan Taizu (Jenghis Khan) terdapat murid Xingxiu (行秀) bernama
Yelü Chucai ( 耶 律 楚 材 ). Tampaknya Jenghis Khan pada saat itu sudah tahu tentang
Buddhisme. Namun pendapat umum menganggap bahwa hubungan antara penguasa Mongol
dengan Buddhisme berawal dari Kaisar Yuan Taizong (Ogadai Khan). Tokoh pertama
sebagai perintis hubungan tersebut adalah Biksu Haiyun Yinjian (海雲印簡; 1202-1257 M).
Yinjian adalah biksu dari mazhab Linji. Tatkala Jenghis Khan menginvasi Dinasti Jin untuk
pertama kalinya, Yinjian telah bertemu dengan Ogadai. Karena itu, beliau sangat dihormati di
lingkup istana Yuan. Pada era Dingzong (定宗;Guyuk Khan) tahun ke-2 (1247 M), beliau
ditugasi untuk menjadi pengawas anggota Sangha di wilayah Tiongkok Utara (華北). Tugas
ini terus diemban beliau hingga masa Kaisar Yuan Xianzong (元憲宗; Mongke Khan).
Sebelum Kubilai Khan menduduki tahta, Yinjian pernah berkunjung ke kediaman beliau, dan
mereka mendiskusikan berbagai pertanyaan menyangkut Buddhisme, bahkan Yinjian
mengajarkan aturan disiplin Sila Bodhisatwa kepada Kubilai Khan. Kemudian saat Yinjian
sedang jatuh sakit, Kubilai Khan menghadiahkannya tongkat emas dan jubah emas.
Penghormatan yang diberikan lingkup istana kepada Yinjian bisa dikatakan sangat tulus.
Yinjian juga cukup aktif di ranah politik, di mana beliau memiliki kontribusi yang sangat
besar terhadap upaya bangsa Mongol dalam membangun wilayah bangsa Han. Selain sangat
memuja Yinjian, Kubilai Khan juga memiliki seorang pembantu dekat bernama Liu
Bingzhong (劉秉忠) yang menjadi penasihat Kubilai Khan atas rekomendasi Yinjian, beliau
juga adalah seorang biksu Chan dengan nama Zicong (子聰). Ada lagi seorang bernama
Zhiwen ( 至 溫 ) yang juga sangat dihormati oleh Kubilai Khan , di mana beliau diberi
wewenang untuk mengontrol bidang keagamaan. Hingga era Mongke Khan, para anggota
Sangha umumnya memperoleh hak istimewa yaitu dibebaskan dari semua bentuk kewajiban
militer. Demikianlah hubungan lingkup istana Dinasti Yuan dengan Buddhisme yang

186
sedemikian eratnya, apalagi setelah adanya aktivitas Lamaisme, maka tren pemujaan terhadap
Buddhisme di lingkungan istana pun naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

2. Lamaisme dan Drogön Chögyal Phagpa

Lamaisme adalah sebuah aliran Buddhisme yang berasal dari Tibet, di mana ia
muncul dari gabungan dengan kepercayaan yang mengakar di Tibet, agama Bon. Karena itu
ia adalah aliran Tantrayana yang memiliki karakteristik unik. Biksu aliran Lamaisme pertama
yang masuk ke Mongolia bernama Namo (那摩). Pada era kekuasaan Mongke Khan, beliau
memegang kendali atas Buddhisme di internal kekaisaran Mongolia, sekaligus berpartisipasi
dalam urusan kenegaraan. Akan tetapi, tokoh Lamaisme yang paling tersohor di masa Dinasti
Yuan adalah Drogön Chögyal Phagpa (八思巴; 1239-1280 M). Beliau adalah biksu dari
aliran Sakyapa yang memperoleh kepercayaan besar dari Kubilai Khan, serta diangkat
sebagai guru negara. Beliau mengepalai bidang administratif atas wilayah Tibet dan eks
wilayah kekuasaan Xia Barat, sekaligus menjadi pemimpin tertinggi Buddhisme di seluruh
kekaisaran Mongolia. Pada saat yang sama, Kubilai Khan menitahkan beliau untuk
merancang aksara baru bagi bangsa Mongol dengan mengacu pada aksara Tibet sebagai
kerangka, dan disebut aksara Phagspa. Informasi mengenai penggunaan aksara ini diketahui
dari teks Dharani yang terukir di lorong gapura Gerbang Juyong pada akhir Dinasti Yuan, era
Kaisar Shundi (順帝;Ukhaghatu Khan). Pada tahun pertama dari era Zhongtong (中統;
1260 M) masa Kaisar Yuan Shizu, beliau diangkat menjadi guru kaisar. Dengan semakin
mendapat kepercayaan dari kaisar, beliau dianugerahi gelar Dabao Fawang (大寳法王—Raja
Dharma Mustika Agung). Di masa belakangan, beliau kembali ke Tibet. Dan ketika kabar
wafat beliau terdengar sampai ke ibu kota, Kubilai Khan menjadi sangat berduka, lalu
menganugerahi lagi kepada beliau dengan anumerta “Guru Kaisar Yuan Agung Putra
Buddha Negeri Barat Mustika Agung Pengabul Harapan Pelindung Negara Kebijaksanaan
Sejati Pencerahan Universal Kebajikan Tertinggi Maha Suci Pembantu Urusan Negara
Penyampai Pesan Di Atas Semua Rakyat Di Bawah Langit dan Kaisar (皇天之下萬人之上
宣 文 輔 治 大 聖 至 德 普 覺 真 智 佑 國 如 意 大 寳 法 王 西 天 佛 子 大 元 帝 師 ). Di ibu kota
dibangunkan stupa untuk beliau, lalu di berbagai daerah juga dibangunkan wihara guru kaisar.
Dengan kemunculan tokoh Phagpa berimplikasi pada hubungan yang erat dan tak terpisah
antara Lamaisme dengan lingkup istana Dinasti Yuan. Sejak itu, status Lama dihormati

187
sebagai guru kaisar oleh kerajaan, dan hampir menjadi ketentuan umum bahwa kaisar juga
menerima disiplin Sila dari guru kaisar. Kendati ada biksu terkenal dari bangsa Han seperti
Yinjian di sisi Kubilai Khan, namun biksu Lama yang dipuja beliau tidak dapat disamakan
seperti agama masyarakat bangsa Han. Ini memperlihatkan sifat unik dari kekuasaan politik
Mongol. Tentu juga terdapat motif untuk memanfaatkan keyakinan agama ini dalam
mengendalikan Tibet. Hanya nuansa keagamaanlah yang niscaya merupakan salah satu faktor
penyebabnya. Agama yang telah mengakar bagi bangsa Mongol adalah Shamanisme, jadi
terhadap Lamaisme yang praktik ritualnya penuh dengan semarak dan doanya yang mistis, ini
sungguh mendatangkan daya tarik yang sangat besar bagi orang Mongol yang berkarakter
sederhanaa dan polos.

3. Peresapan Buddhisme

Pemujaan Buddhisme masa Dinasti Yuan mulai sejak Kubilai Khan dengan cepat
menjadi populer. Pada tahun ke-7 dari era Zhiyuan (至元; 1270 M) masa Kubilai Khan,
dibangun Wihara Huguo-Renwang ( 護 國 仁 王 寺 ) , kemudian tahun ke-9 era Zhiyuan
berturut-turut dibangun Wihara Dashengshou-Wan’an (大聖壽萬安寺), Wihara Longxing-
Huayan (龍興華嚴寺), dan Wihara Chaoyuan (朝元寺). Pada saat yang sama juga banyak
diadakan puja bakti di wihara-wihara terkenal. Tahun ke-22 dari era Zhiyuan, sebanyak
40.000 biksu dari berbagai daerah berkumpul di Wihara Pu’en (普恩寺) di ibu kota barat
untuk mengikuti kegiatan upavasatha selama 7 hari. Pada tahun ke-27 dari era Zhiyuan,
dititahkan kepada para biksu dari Tibet untuk mengadakan puja bakti yang mencapai 72 sesi.
Pada tahun pertama dari era Yuanzhen (元真; 1295 M) masa Kaisar Yuan Chengzong (元成
宗; Temur Oljeytu Khan), dalam peringatan hari wafat kaisar terdahulu, diselenggarakan
acara persembahan makanan kepada anggota Sangha sebanyak 70.000 orang di Wihara
Dashengshou-Wan’an. Pada tahun pertama kekuasaan Yesün Temür Khan, atas nama
kerajaan diselenggarakan puja bakti yang jumlahnya mencapai lebih dari 500 sesi. Dari sini
dapat diketahui bahwa tren pemujaan Buddha di masa Dinasti Yuan seakan-akan telah
melampaui fenomena umum. Tentu tidak perlu dijelaskan lagi bahwa pemujaan Buddha ini
dilatarbelakangi dengan doa permohonan agar kaisar diberi usia panjang dan kemajuan
negara, dan demi memperoleh manfaat yang bersifat duniawi dan realistis ini maka juga
diberikan grasi kepada narapidana. Akan tetapi, di masa belakangan malah muncul anggapan

188
bahwa kaisar merupakan Buddha. Ingin menyatukan Buddhisme dengan rezim penguasa di
wilayah negara yang berlatar belakang bangsa Han tidaklah mudah. Padahal sejak masa
Enam Dinasti sudah terlihat negara yang dikuasai oleh kaum dari wilayah utara dengan
kekuasaan absolutnya dapat mempersatukan kaisar yang bersifat duniawi dengan aspek
Buddhisme yang melampaui keduniawiaan tanpa kontradiktif.

4. Kontrol Dinasti Yuan Terhadap Buddhisme

Pada tahun ke-6 dari era Zhiyuan (1269 M) masa Kubilai Khan, didirikan Zhongzhi
Yuan (縂制院—Biro Regulasi Umum) yang berfungsi menangani urusan Buddhisme dan
Tibet. Belakangan badan ini digantikan lagi dengan nama Xuanzheng Yuan (宣政院—
Dewan Penyampaian Urusan Politik). Badan ini berada di bawah tanggung jawab langsung
guru kaisar, jadi sebagai sekretariat negara yang menjadi bagian inti dari badan administrasi
umum yang sama sekali bersifat independen. Karena itu, instruksi yang dikeluarkan oleh guru
kaisar memiliki wewenang yang sama dengan titah kaisar. Kepala Dewan Penyampaian
Urusan Politik disebut Yuanshi (院使), dan memiliki dua orang anggota yang dijabat oleh
biksu yang mana harus diangkat oleh guru kaisar. Di bawahnya memiliki jabatan Tongzhi (同
知), Fushi (副使), dan Can’yi (參議) yang masing-masing memiliki lagi dua anggota yang
dijabat baik oleh anggota Sangha maupun perumah tangga. Kemudian seiring dengan
perlakuan istana kepada Lamaisme yang semakin istimewa, maka badan ini pun tumbuh
semakin besar. Hingga tahun ke-2 dari era Tianli (天歷; 1329 M) masa Kaisar Wenzong (文
宗;Jayaatu Khan), jumlah Yuanshi telah bertambah hingga 10 orang.

Pada masa Kubilai Khan, di wilayah Tiongkok selatan yang merupakan bekas tanah
wilayah Dinasti Song-Selatan didirikan Dewan Presidium Buddhisme Tiongkok Selatan (江
南釋教總統所) di kota Hangzhou (杭州) yang berfungsi untuk mengelola komunitas Sangha
wilayah tersebut. Awalnya kepala badan ini dijabat oleh seorang Lama yang disebut
Zongtong (縂統—Presiden). Hingga tahun ke-3 dari era Dade (大德; 1299 M) masa Kaisar
Chengzong (Temur Oljeytu Khan), badan ini digabungkan dengan Departemen Penyampaian
Urusan Politik yang telah ada sebelumnya. Pada masa Jayaatu Khan, dijalankan reformasi
sistem pemersatu Buddhisme, lalu di bawah Departemen Penyampaian Urusan Politik yang
189
berada di pusat didirikan 16 lembaga pengelolaan agama (廣教縂管府) yang tersebar di
berbagai daerah di seluruh negeri, di mana komunitas Buddhisme dimasukkan sebagai bagian
dari objek pengelolaan organisasi tersebut. Namun tidak lama kemudian dipulihkan kembali
ke sistem lama Departemen Penyampaian Urusan Politik.

Di masing-masing kabupaten dan distrik terdapat pejabat Sangha. Tidak perlu


dijelaskan lagi, jabatan ini diadakan untuk menangani dan mengawasi urusan Buddhisme.

Lembaga negara lain yang berhubungan dengan Buddhisme yang sama penting
kedudukannya dengan Dewan Penyampaian Urusan Politik adalah Gongde Shisi (功德使司
—Departemen Duta Sosial), di mana lembaga ini didirikan untuk mengelola kegiatan sosial
dari aktivitas Buddhisme yang dilakukan oleh kaisar dan negara. Sejak didirikan pada era
Zhiyuan tahun ke-17, meskipun sempat terhenti sementara, namun secara garis besar hingga
masa Kaisar Wenzong masih terus dilanjutkan untuk mendorong pelaksanan kegiatan
Buddhis. Kepala Departemen Duta Sosial disebut Gongde Shi (Duta Sosial). Anggotanya
berjumlah 10 orang, namun ada kalanya hanya terdapat 6 orang. Ada lagi satu lembaga yang
didirikan untuk kegiatan Buddhis pada tahun ke-21 dari era Zhiyuan yaitu Yanqing Si (延慶
司). Lembaga ini eksis terus hingga akhir Dinasti Yuan. Fungsinya hanya untuk aktivitas
Buddhis bagi kalangan istana, jadi ada sisi yang saling bertumpang tindih dengan fungsi
Departemen Duta Sosial yang terkadang keduanya menjadi satu kesatuan. Ditilik dari
pendirian lembaga-lembaga ini maka dapat diketahui bagaimana populernya tren pemujaan
Buddha pada masa Dinasti Yuan.

5. Perselisihan Taoisme dan Buddhisme

Dinasti Yuan pada satu sisi tentu telah menaikkan pamor Buddhisme, namun pada sisi
lain Taoisme juga memiliki kesempatan untuk berkembang dengan marak. Taoisme di masa
Dinasti Yuan terdapat aliran Quanzhen (全真教) yang berkembang populer di Tiongkok
utara, sedangkan yang populer di Tiongkok selatan adalah aliran Zhengyi (正一教). Tokoh
pertama yang membuat aliran Quanzhen berkembang di masa Dinasti Yuan adalah Master
Changchun (長春真人) alias Qiu Chuji (丘處機). Beliau adalah murid dari Wangzhe (王嚞;
alias Wang Chongyang) yang kemudian diangkat menjadi ketua aliran generasi ke-5.

190
Sehubungan dengan pertemuannya dengan Jenghis Khan yang saat itu sedang melakukan
invasi ke barat, beliau mendapat kepercayaan dari Jenghis Khan dan dianugerahi gelar Guru
Besar Dewata (神仙大宗師), sekaligus diangkat menjadi pemimpin tertinggi Taoisme. Murid
beliau, Song Defang (宋德方) mengembangkan ajaran Taoisme secara besar-besaran dengan
menerbitkan kanon kitab suci Taoisme, sekaligus memprakarsai pemahatan gua batu di
Gunung Naga (龍山) sebagai satu-satunya gua batu dalam sejarah Taoisme. Karena itu,
dengan semakin besarnya kekuatan pengaruh dari aliran Quanzhen maka telah memberi
tekanan kepada Buddhisme di wilayah Tiongkok utara yang mengakibatkan munculnya
peristiwa perselisihan antara Buddhisme dan Taosime. Pada masa Kaisar Xianzong (憲宗),
umat Taois menduduki 482 wihara Buddhis dan merusak patung Buddha. Karena mereka
menyebarkan kitab Laozi Huahu Jing (老子化胡經—Kitab Penjelmaan Laozi Di Negeri
Barbar) dan 81 Sketsa Jelmaan Laozi (老子八十一化圖), maka terdapat kasus Fuyu (福裕)
dari Wihara Shaolin melaporkan penyimpangan umat Taois kepada kaisar. Dan akibatnya
terjadi perdebatan dengan pendeta Taois, Li Zhichang ( 李 志 常 ), yang berakhir pada
kekalahannya. Sejak itu, kedua umat ini kerap terjadi perselisihan. Setelah peristiwa
perdebatan pada tahun ke-17 dari era Zhiyuan (1280 M) dan Kubilai Khan mengumumkan
kekalahan Taoisme, maka pada tahun ke-18 dari era Zhiyuan, selain kitab Daode Jing (道德
經 ) seluruh kitab suci Taoisme termasuk 81 Sketsa Jelmaan Laozi dianggap palsu dan
diperintahkan untuk dibakar semua. Banyak pendeta Taois yang kembali ke kehidupan rumah
tangga atau ada yang menjadi biksu. Hal ini memberi pukulan berat kepada Taoisme. Namun
dari beberapa kaisar Dinasti Yuan setelah Kubilai Khan, mereka memberi perlakuan yang
sederajat antara Taoisme dengan Buddhisme, juga diberi perlindungan sehingga kekuatan
Taoisme berangsur-angsur pulih kembali, dan Taoisme yang menjadi populer di Tiongkok
utara saat itu adalah aliran Quanzhen.

Aliran Zhengyi adalah aliran Taoisme yang berpusat di Gunung Longhu (龍虎山),
Provinsi Jiangxi (江西). Aliran ini mengaku sebagai pewaris sejati Taoisme dari masa
Dinasti Han. Zhang Zongyan (張宗演) adalah pewaris silsilah ‘guru langit’ generasi ke-36
yang diangkat oleh Kubilai Khan sebagai pemimpin spiritual Taoisme wilayah Tiongkok
selatan. Sejak itu, para guru langit aliran Zhengyi memegang kendali atas lingkup Taoisme di
Tiongkok selatan dengan bertopang pada kekuasaan Dinasti Yuan. Bukan hanya di Tiongkok
selatan, murid Zhang Zongyan, yaitu Zhang Liusun (張留孫) juga menjadi pengurus hal-hal

191
yang berkaitan dengan Taoisme di Perpustakaan Jixian (集賢院) di ibukota. Liusun dan
murid-muridnya juga dihormati oleh lingkup istana Dinasti Yuan. Karena itu, aliran Zhengyi
juga memiliki basis di Yanjing (燕京). Aliran Zhengyi mendapat penghormatan dari lingkup
istana Dinasti Yuan disebabkan oleh karakteristik ajarannya yang mengutamakan doa usia
panjang sehingga sangat menarik perhatian orang Mongol.

6. Berbagai Aliran Buddhisme Dinasti Yuan

Meskipun Lamaisme berjaya di masa Dinasti Yuan, namun Buddhisme yang sudah
eksis sebelumnya juga tetap populer di kalangan masyarakat bangsa Han. Di antaranya yang
paling berjaya adalah mazhab Chan. Sebab dengan adanya tokoh mazhab Chan, seperti
Yinjian (印簡), Zichong (子聰; alias Liu Bingzhong (劉秉忠)), Zhiwen (至溫) yang berada
di sisi kaisar Dinasti Yuan untuk membantu beliau dalam urusan politik, pada saat yang sama
juga telah berupaya dalam memajukan Buddhisme. Tokoh mazhab Caodong, Xingxiu (行秀)
yang beraktivitas di masa akhir Dinasti Jin dan awal Dinasti Yuan memiliki murid utama,
yaitu Yelu Chucai (耶律楚材). Jadi sangat banyak tokoh Buddhisme yang memiliki reputasi
tinggi di masa Dinasti Yuan.

Di samping beberapa tokoh di atas, masih terdapat Huating Nianchang (華停念常)


yang bergelut di bidang sejarah Buddhisme dengan karya tulisnya, Fozu Lidai Tongzai (佛祖
歷 代 通 載 —Catatan Umum Berbagai Generasi Buddha); Jue’an Baozhou ( 覺 岸 寳 州 )
menulis kitab Shishi Jigu Lue ( 釋 氏 稽 古 略 — Ringkasan Peneladanan Klan Sakya).
Sedangkan di sela-sela era Zhiyuan (1264-1294 M) saat terjadi perselisihan antara
Buddhisme dan Taoisme, Xiangmai (祥邁) menulis kitab Bianwei Lu (辯偽錄—Catatan
Sanggahan Kepalsuan) yang merupakan risalah untuk mengungkap kepalsuan-kepalsuan
yang terdapat dalam Taoisme. Kemudian ada Dehui (德輝) yang menyusun ulang kitab
Baizhang Qinggui (百丈清規—Peraturan Disiplin Baizhang). Ini adalah kitab yang sangat
penting bagi mazhab Chan, dan masih beredar hingga sekarang.

Meskipun popularitas mazhab lain tidak setinggi mazhab Chan, namun dalam mazhab
Tiantai (天台) juga terdapat tokoh Yugang Mengrun (玉崗蒙潤) yang menulis kitab Sijiao Yi
Jizhu (四教儀集注—Kumpulan Penjelasan Empat Bentuk Ajaran); Wencai (文才) dari

192
mazhab Huayan (華嚴) menulis kitab Huideng Ji (惠燈集—Antologi Lentera Kearifan);
Dalam mazhab Faxiang (法相) terdapat Yingbian (英辨) dan Zhide (志德); Mazhab Lü (律
—Vinaya) terdapat Fawen (法聞). Mazhab Sukhavati populer di kalangan masyarakat umum,
serta komunitas praktik nianfo (melafal nama Buddha) tumbuh dengan subur. Karena itu,
terdapat Biksu Mingben (明本) dari mazhab Chan yang menulis kitab Huai Jingtu Shi (懷淨
土詩—Sajak Kerinduan Pada Sukhavati), Weize (維則) menulis karya Jingtu Huowen (淨土
或問—Pertanyaan Mengenai Sukhavati). Sehubungan dengan banyaknya anggota Sangha
yang bersandar pada ajaran Sukhavati, maka Biksu Putu (普度) dari mazhab Tiantai menulis
karya Lianzong Baojian (蓮宗寳鑑) dan berupaya mengembangkan ajaran Sukhavati. Pada
intinya, proses asimilasi dari berbagai aliran sangat jelas terlihat pada Buddhisme masa
Dinasti Yuan. Hal ini dapat ditelisik dari tren mereka dalam mengombinasikan praktik ajaran
dari berbagai mazhab.

Di samping itu, ada lagi sekte Bailian Jiao (白蓮教—Sekte Teratai Putih) dan Baiyun
Zong (白雲宗—Aliran Awan Putih) yang merupakan ‘produk’ masa setelah Dinasti Song,
memiliki pengaruh yang sangat kuat di wilayah Tiongkok selatan. Karena sekte Teratai Putih
berkaitan dengan ajaran sesat, maka ia beberapa kali dilarang oleh pemerintah. Begitu juga
dengan penganut aliran Awan Putih yang karena melakukan penyimpangan, dan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh sang ketua aliran, Shen Mingren (沈明仁) sehingga aliran ini
juga dilarang. Namun pada era Kubilai Khan, lantaran atas upaya yang dilakukan oleh para
penganut Awan Putih di Tiongkok selatan sehingga terdapat proyek pengukiran Tripitaka
edisi Sixi (思溪). Oleh sebab itu, hingga tahun ke-27 dari era Zhiyuan (1290 M), Tripitaka
yang diselesaikan dengan sebutan “Tripitaka [edisi] Wihara Da Puning, Gunung Selatan,
Aliran Awan Putih, Kabupaten Yuhang, Hangzhou (杭州余杭縣白雲宗南山大普寧寺大藏
经)”, merupakan peristiwa besar yang patut menjadi perhatian.

7. Penggelembungan Komunitas

Menurut catatan Dewan Penyampaian Urusan Politik, pada tahun ke-28 dari era
Zhiyuan (1291 M) masa Kubilai Khan, jumlah wihara adalah sebanyak 42.138, dan jumlah
anggota Sangha sebanyak 213.148 orang. Lantaran karena tingginya pemujaan Buddha di

193
masa Dinasti Yuan, maka jumlah tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun, sehingga pada
masa pertengahan Dinasti Yuan, jumlah anggota Sangha bahkan mencapai satu juta orang.
Angka satu juta mungkin terkesan berlebihan, namun atas dasar hal ini juga menjadi indikasi
akan kondisi penggelembungan komunitas. Terutama pada wihara yang berpengaruh karena
kedekatan hubungannya dengan lingkup istana sehingga dapat menikmati jatah ladang
pertanian dalam jumlah besar. Ladang pertanian tersebut selain didapatkan dari sumbangan
istana, ada juga yang dibeli dari rakyat atas upaya pihak wihara sendiri. Ada pula yang
mendapatkannya dengan menggunakan cara yang tidak benar melalui jalur kekuasaan.
Dengan demikian, untuk penggarapan ladang tersebut maka dibutuhkan banyak budak dan
petani.

Ladang yang dimiliki oleh wihara tidak sama dengan yang dimiliki rakyat secara
umum. Mereka tidak dipungut pajak oleh negara, karena itu, juga mendatangkan masalah
yang sangat besar bagi keuangan negara. Untuk mengantisipasi masalah ini, dan meskipun
kerap muncul instruksi untuk membenahinya, namun karena kedekatan wihara dengan para
pejabat tinggi, maka instruksi ini pun tidak menghasilkan efek yang cukup kuat.

Perlakuan istimewa lingkup istana Dinasti Yuan kepada Lamaisme telah mencapai
tahap di luar jalur normal. Misalnya ada instruksi seperti, “Bagi setiap warga yang bertengkar
dengan biksu asal barat (Lama), tangannya akan dipotong. Bagi yang memarahi mereka,
lidahnya akan dipotong”. Ini merupakan ‘karya besar’ dari Kaisar Yuan Wuzong (元武宗;
Guluk Khan), jadi sungguh terlihat betapa besar kefanatikan dan perlindungannya terhadap
para Lama. Para Lama yang terbiasa dimanja ini menjadi sangat semena-mena. Mereka
sering merampas sawah milik rakyat dan mengambil paksa anak gadis dan istri orang. Pada
masa akhir Kubilai Khan, Yanglian Zhenqie (楊連真伽) yang diangkat sebagai Presiden
Buddhis Tiongkok Selatan merampok kuburan kaisar Dinasti Song-Selatan, membunuh pria
dan merampas wanita. Harta dari hasil perampokan beliau terdiri dari emas sebanyak 1.700
tahil, perak sebanyak 6.800 tahil, ikat pinggang dari batu giok sebanyak 9 buah, benda-benda
dari batu giok sebanyak 121 buah, permata campuran sebanyak 152 buah, mutiara besar
sebanyak 50 tahil, uang kertas sebanyak 116.200 ding (錠), sawah seluas 23.000 mu (畝).
Selain itu, terdapat 23.000 kepala keluarga lolos dari kewajiban pajak lantaran mendapat
perlindungan dari mereka. Terjadinya kondisi buruk seperti ini juga disebabkan oleh
persekongkolan mereka dengan keluarga istana dan pejabat tinggi. Di mata orang Han, rezim

194
Dinasti Yuan-lah yang telah membuat para Lama bersikap sewenang-wenang seperti itu, jadi
wajar saja jika mereka menjadi sangat antipati.

Di kalangan masyarakat bangsa Han di Tiongkok selatan, selain terdapat sekte Teratai
Putih dan Awan Putih yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat juga bentuk keyakinan
Buddhis yang sederhana yaitu aliran Toutuo (頭陀宗). Karena dianggap sesat, maka ia
menjadi aliran yang dilarang. Namun mereka tidak mudah dibasmi, sehingga muncul lagi
dalam bentuk perkumpulan rahasia. Banyak orang Han yang karena menderita akibat
penindasan orang Mongol, maka mereka bergabung ke perkumpulan rahasia semacam ini.
Setelah perkumpulan rahasia membentuk menjadi kelompok mafia, ia mendatangkan tidak
sedikit masalah keamanan di daerah. Di antara kelompok yang paling kuat pengaruhnya
adalah penganut sekte Teratai Putih. Di penghujung Dinasti Yuan, yaitu masa Kaisar Yuan
Shundi ( 元 順 帝 ; Ukhaghatu Khan), Han Shantong ( 韓 山 童 ) dari sekte Teratai Putih
menghasut rakyat di wilayah Henan (河南) dan Jianghuai (江淮) dengan mengumandangkan
slogan anti Yuan, lantaran hal ini mendapat sambutan dari berbagai daerah maka lahir
berbagai kelompok anti Mongol. Tidak lama setelah itu, Zhu Yuanzhang (朱元璋) dari sekte
Teratai Putih berhasil mewujudkan misi besar membasmi Mongol dan mengembalikan
kejayaan bangsa Han.

195
BAB XVI Buddhisme Dinasti Ming

1. Esensi Buddhisme Dinasti Ming

Pada era Wanli (萬曆; 1573-1619 M), seorang cendikiawan bernama Xie Zhaozhe (謝
肇淛) alias Zai Hang (在杭) menulis kitab berjudul Wu Za Zu (五雜組—Lima Kelompok
Keragaman) bab 8 yang memuat sebuah komentar tentang kondisi Buddhisme pada masa itu :

“Sekarang ini Buddhisme hampir menyebar ke seantero negeri. Wihara lebih banyak dari
pada sekolah. Pelantunan mantra dan Sutra lebih lantang daripada senandung lagu. Dari
keluarga istana dan pejabat tinggi hingga ke ibu-ibu dan gadis-gadis. Setiap membicarakan
tentang Chan dan bersujud pada Buddha, tiada satu pun yang tidak bersuka cita. Lantas,
kelompok mereka secara garis besar terbagi menjadi dua kategori, yaitu mereka yang
vitalitasnya sudah menurun, banyak memikirkan tentang hidup mati, akibat perbuatan buruk
yang telah pernah dilakukan dalam kehidupan ini disadari sebagai hal yang tak dapat
dihindari lagi, maka mereka bersandar pada ajaran [Buddha] tentang penderitaan dan
kekosongan dengan pengharapan adanya tempat [naungan] pada kelahiran kembali di masa
mendatang. Ini merupakan satu [alasan] kebingungan mereka. [Selanjutnya] bagi kelompok
[dengan pemikiran] yang lebih tinggi, mereka pada dasarnya didasari rasa penasaran,
[namun] merasa cukup dengan melakukan pengkajian terhadap kitab ajaran orang suci
tanpa mempraktikkan [ajaran mereka] secara nyata, lantaran sudah menganggap rasa
kepenatan [atas kehidupan] sebagai hal yang biasa, sedangkan ajaran tentang kehampaan
dan nirvana, dan tatkala mendengar teori tentang menyadari batin dan melihat hakikat sejati,
mereka merasa bingung di antara memahami dan tidak memahaminya, sehingga tidak
mampu mengaktualisasikannya, menganggap itu sebagai hal aneh yang tidak pernah ada
dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai rahasia yang tak diekspos sejak dahulu kala.
Namun sekali terlibat di dalamnya, mereka tidak mampu berhenti lagi, sedangkan terhadap
isi ajaran yang tidak mampu mereka pahami maka mereka hanya dapat membungkamnya.
Terhadap teori ajaran yang pada dasarnya sederhana malah mereka jelaskan dengan sangat
dalam, ajaran yang tingkat rendah malah mereka jelaskan dengan setinggi-tingginya, ajaran

196
yang dekat malah diberi perumpamaan yang jauh, ajaran yang pada dasarnya eksis malah
dikaji dengan aspek yang non-eksis. Ibarat sebuah jalan yang luas di tengah bukannya
dilalui, malah mencari jalan semak berliku-liku yang berjarak ratusan li di luar sana.
Mereka merasa istimewa bahwa menemukan sang jalan dengan cara melihat bintang melalui
sudut pandang miring. Ini merupakan satu kebingungan lainnya lagi. Jenis kebingungan
yang pertama terdapat tujuh hingga delapan orang di antara sepuluh orang. Kebingungan
kedua terdapat sekitar dua atau tiga orang dalam seratus orang. Bahkan tujuan sejati
Buddhisme pun belum ditemukan mereka, apalagi berani mengkaji keistimewaannya.
Sedangkan mengenai para umat awam yang berwawasan rendah, takut akan kematian, dan
dengan pemikiran delusifnya meminta-minta berkah, lebih tidak perlu dijelaskan lagi.”

Era Wanli merupakan periode akhir Dinasti Ming. Ditilik dari analisis yang dilakukan
pada masa tersebut sudah dapat diketahui tentang karakteristik Buddhisme masa Dinasti
Ming. Xie Zhaozhe—yang jabatannya sampai tingkat asisten kementerian pekerjaan umum—
yang berwawasan luas dan mampu menghasilkan karya tulis merupakan salah satu dari
cendikiawan yang tidak banyak ditemukan. Beliau juga merupakan seorang pakar politik.
Mengenai tulisannya tentang kondisi Buddhisme masa Dinasti Ming, sementara tidak perlu
dibahas tentang bagaimana kondisi komunitas Buddhis, namun demikianlah beliau memberi
kesimpulan mengenai kondisi masyarakat masa tersebut secara umum.

2. Kontrol Buddhisme oleh Kaisar Ming Taizu

Pada akhir Dinasti Ming, karena terjadi bencana alam yang mengakibatkan wabah
kelaparan, maka dalam kehidupan sosial yang tidak tentram ini muncul sepasang bandit ayah
dan anak, Han Shantong (韓山童) dan Han Lin’er (韓林兒) dari aliran Maitreya yang
meluaskan aksi pemberontakan mereka dengan mendirikan kerajaan bernama Song (宋). Zhu
Yuanzhang (朱元璋) yang juga adalah jebolan ‘penjahat’ organisasi agama merupakan anak
buah dari Guo Zixing ( 郭子興 ). Beliau awalnya adalah seorang samanera dari Wihara
Huangjue ( 皇 覺 寺 ) yang kemudian kembali ke kehidupan rumah tangga, lalu menjadi
prajurit dan naik pangkat menjadi komandan. Setelah menaklukan para penguasa daerah,
beliau pun mengangkat diri sebagai kaisar, mendirikan ibukota di Jinling (金陵), dan nama
negaranya adalah Ming (明). Awal era-nya diganti dengan nama Hongwu (洪武; 1368 M),

197
sedangkan gelar beliau adalah Kaisar Ming Taizu (明太祖). Karena beliau sebagai pendiri
kekaisaran dari bangsa Han yang sebelumnya pernah menderita di bawah tekanan dan kontrol
bangsa lain, serta pernah merasakan hidup sebagai biksu di wihara, maka visi politiknya yang
otoriter sudah pasti bersifat konservatif. Untuk menangani organisasi Buddhis yang rawan
berubah menjadi cikal-bakal pemberontak, beliau juga dengan piawai menjalankan kebijakan
proteksi.

Pada tahun pertama dari era Hongwu, dengan meniru sistem Xuanzheng Yuan (宣政
院—Dewan Penyampaian Urusan Politik) dari Dinasti Yuan maka didirikan Shanshi Yuan
(善世院—Lembaga Kehidupan Bajik) di Wihara Tianjie (天界寺) di ibukota Jinling sebagai
instansi induk yang mengontrol Buddhisme, sekaligus menetapkan sistem jabatan Sangha
yang terdiri dari Pemimpin (統領— Tongling), Wakil Pemimpin (副統領— Fu Tongling),
Zanling (贊領—Asisten Pemimpin), dan Jihua (紀化). Pada saat itu, yang menjadi pemimpin
generasi pertama adalah Huiyun (慧雲; 1304-1371 M), tingkat jabatannya adalah level 2
junior (從二品). Beliau dianugerahi gelar Maha Guru Penyiar Jalan Arya Kehidupan Bajik
Pengikut Ajaran Yang Memberi Manfaat Bagi Negara ( 演 梵 善 世 利 國 從 教 大 師 ).
Berdasarkan nama gelar tersebut dapat dipahami arah kebijakan Kaisar Taizu terhadap
Buddhisme yang bukan saja bertujuan demi manfaat kemajuan negara sebagai syarat bagi
eksistensi Buddhisme secara resmi, ini juga menjelaskan bahwa ia tidak keluar dari prinsip
penegakan negara menurut tradisi Tiongkok yang menganut sistem Konfusianisme.

Pada tahun ke-15 dari era Hongwu, Shanshi Yuan berganti nama menjadi Senglu Si
( 僧 祿 司 ), dan ditetapkan berbagai nama jabatan Sangha melalui lembaga pengendali
Buddhisme dari kekuasaan sentralistik yang tersistematis, yaitu Shanshi (善世—Kehidupan
Bajik), Chanjiao (闡教—Menyiarkan Ajaran), Jiangjing (講經—Ceramah), dan Jueyi (覺義
—Makna Pencerahan). Sedangkan wilayah prefektur didirikan lembaga Senggang Si (僧綱司)
atau kerap disebut Dugang (都綱), wilayah distrik didirikan lembaga Sengzheng Si (僧正司)
atau kerap disebut Sengzheng (僧正), wilayah kabupaten didirikan Senghui Si (僧會司) atau
kerap disebut Senghui (僧會). Lagi, melalui peraturan yang ditetapkan pada tahun ke-6 dari
era Hongwu, barang siapa yang tidak mampu menjaga disiplin Sila dan tidak memahami isi
Sutra, maka tidak diizinkan untuk menerima Sertifikat Penahbisan; bagi wanita yang belum
berusia 40 tahun ke atas (belakangan diubah lagi menjadi 50 tahun) tidak diizinkan untuk
memasuki kehidupan monastik. Akan tetapi, bagi Kaisar Taizu sendiri yang sebagai penganut
198
Buddhisme sejak awal, beliau tidak pernah berubah sikap atas pemujaannya terhadap Buddha.
Oleh karena itu, beliau kerap menyelenggarakan upacara besar persembahan makanan di
Gunung Jiang (蔣山), serta menempatkan tokoh besar Buddhis, yaitu Bhiksu Zongle (宗泐)
dan Wuyin (吳印) dalam posisi penting.

3. Daoyan—Perdana Menteri Jubah Hitam

Pada tahun ke-15 dari era Hongwu (1382 M), untuk menyelenggarakan upacara
perkabungan atas wafatnya Ratu Ma (馬皇后)—yang memiliki jasa besar dalam membantu
Kaisar Taizu, para pangeran mengundang biksu senior untuk membacakan Sutra, di
antaranya biksu yang diundang oleh Pangeran Yan (燕王) alias Zhu Di (朱棣)—kemudian
hari menjadi Kaisar Ming Chengzu (明成祖) dengan nama era Yongle (永樂)—adalah Biksu
Daoyan (道衍; 1335-1418 M). Beliau adalah praktisi doktrin Tiantai dan Chan, belakangan
menyandarkan tujuannya pada Sukhavati. Dalam sejarah Dinasti Ming terdapat peristiwa
besar Pemberontakan Jingnan di mana Pangeran Yan menduduki tahta setelah mengusir
Kaisar Huidi (惠帝). Sesungguhnya dalang dibalik peristiwa ini adalah Daoyan, karena itu
beliau dianggap memiliki jasa terbesar sehingga diberi jabatan penting. Beliau dianugerahi
nama awam Yao Guangxiao (姚廣孝) dan pangkatnya dinaikkan hingga ke level Taizi
Shaoshi ( 太 子 少 師 ; orang terdekat dengan kaisar/putra mahkota). Kendati demikian,
sepanjang hidup beliau tetap mengenakan jubah biksu, tidak memelihara rambut, menjalani
kehidupan layaknya biksu. Selain menulis kitab Daoyu Lu (道餘錄—Catatan Tambahan
Tentang Jalan Kebenaran), yaitu risalah Buddhisme yang mengritisi Neo-Konfusianisme,
beliau juga menghasilkan berbagai karya di antaranya adalah kitab Zhu Shangshanren Yong
(諸上善人詠—Senandung Orang-Orang Berbudi Luhur), Taoxuzi Shiji (逃虛子詩集—
Antologi Sajak Taoxuzi), dan Du An Wai Ji (獨庵外集—Antologi Du An ). Beliau juga
adalah partisipan dalam penyusunan kitab Yongle Dadian (永樂大典—Ensiklopedia Yongle)
dan Taizu Shilu ( 太 祖 實 錄 —Catatan Sejarah Kaisar Ming Taizu). Karena itu, beliau
merupakan seorang biksu senior yang terkemuka di lingkup Buddhisme masa awal Dinasti
Ming. Konon mungkin juga atas pengaruh dari Biksu Daoyan di mana Kaisar Ming Chengzu
(明成祖) menginstruksikan penyusunan kitab Shenseng Zhuan (神僧傳—Biografi Biksu
Sakti) sebanyak 9 bab, kitab Zhufo Shizun Rulai Pusa Zunzhe Mingcheng Gequ (諸佛世尊如

199
來菩薩尊者名稱歌曲—Lagu Tentang Nama Para Buddha Bodhisatwa dan Arya) sebanyak
51 bab, Zhufo Shizun Rulai Pusa Zunzhe Shenseng Mingjing (諸佛世尊如來菩薩尊者神僧
名經—Kitab tentang Nama Para Buddha, Bodhisatwa, Arya dan Bhiksu Sakti) 40 bab.Selain
itu juga diedarkan kitab Renxiao Huanghou Quanshan Shu ( 仁 孝 皇 后 勸 善 書 —Kitab
Nasihat Kebajikan Ratu Renxiao), Daming Renxiao Huanghou Menggan Foshuo Diyi Xiyou
Da Gongde Jing (大明仁孝皇后夢感佛說第一稀有大功德經—Ratu Renxiao Bermimpi
Tentang Buddha Mengkhotbahkan Sutra Pahala Besar Terlangka), di mana kitab-kitab
tersebut sebagai strategi untuk menarik hati rakyat setelah peristiwa Pemberontakan Jingnan,
sekaligus juga merefleksikan fakta kondisi keyakinan Buddhisme dari lingkup istana masa
Dinasti Ming.

4. Fakta Kondisi Buddhisme Dinasti Ming dan Penjualan Sertifikat

Berdasarkan pendataan yang dilakukan pada tahun ke-5 dari era Hongwu (1372 M)
masa Kaisar Ming Taizu, jumlah penerbitan Sertifikat Penahbisan kepada anggota Sangha
yang mencakup pendeta Taois adalah sebanyak 57.200. Tahun berikutnya, jumlah orang yang
ditahbiskan menjadi anggota Sangha mencapai 9.632 orang. Pada tahun ke-16 dari era
Yongle (1418 M) masa Kaisar Ming Chengzu, jumlah kuota penahbisan anggota Sangha di
seluruh negeri dibatasi menjadi 36.000 orang, namun jumlah biksuni tetap mengalami
peningkatan. Hingga tahun ke-22 dari era Chenghua (成化; 1486 M) masa Kaisar Ming
Xianzong ( 明 憲 宗 ), faktanya Sertifikat Penahbisan yang dikeluarkan dalam setahun
mencapai 320.000 orang. Kendati sejak masa Kaisar Ming Taizu telah beberapa kali
membatasi penahbisan anggota Sangha dan menerapkan sistem ujian Sutra sepenuhnya, dan
keberadaan anggota Sangha yang mencapai ratusan ribu orang tersebut walau mencerminkan
besarnya komunitas Sangha tetapi ia tidak dapat menutupi kondisi rendahnya kualitas
anggota Sangha.

Pada awal berdirinya Dinasti Ming, untuk mengantisipasi munculnya biksu gadungan,
maka dibuatkan buku Zhou Zhi Ce (周知冊), yaitu buku data identitas anggota Sangha. Bagi
orang yang memenuhi syarat, maka diberikan Sertifikat Penahbisan secara cuma-cuma.
Namun di kemudian hari, demi memberi bantuan bencana kelaparan, pemerintah pun menjual

200
10.000 lembar Sertifikat Penahbisan tanpa nama. Dengan memberikan beras sebanyak 10
pikul maka dapat ditukarkan dengan satu sertifikat, karena itulah muncul penyelewengan di
mana sertifikat dijadikan barang yang diperjualbelikan. Setelah era Jiajing (嘉靖), pemberian
Sertifikat Penahbisan telah berubah sistem menjadi sertifikat wajib bayar. Jika tidak
membayar, maka tidak akan dapat menjadi anggota Sangha. Di samping itu, banyak orang
yang setelah menjadi anggota Sangha melalui sistem pembelian sertifikat, maka ia dapat
menyembunyikan diri dari berbagai tugas dan kewajiban, terbebas dari wajib militer, menjadi
warga negara yang menyepi di hutan gunung, menjauhi diri dari pengejaran aparat hukum.
Dengan demikian, menurunnya kualitas komunitas Buddhisme juga menjadi konsekuensi
yang niscaya. Sedangkan mengenai para umat pada umumnya, kebanyakan hanya berfokus
untuk mengejar keuntungan dalam kehidupan realistis, pun menghabiskan dana besar yang
tidak sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan upavasatha seperti puja bakti pelimpahan jasa dan patidana Shuilu yang memberi
dampak kerugian secara ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat. Kondisi Buddhisme
seperti ini sama dengan apa yang dilihat oleh Xie Zhaozhe.

5. Kartu Pencatat Perbuatan Baik dan Buruk dari Taoisme

Taoisme yang berkembang populer di Tiongkok utara adalah Aliran Quanzhen, di


mana ia mengemukakan tentang aspek Kedewataan dan Kebuddhaan sebagai satu sumber
yang sama. Sedangkan aliran Zhengyi dari wilayah selatan, karena dianut oleh keluarga
kerajaan sehingga berkembang luas. Sebagian besar doktrin ajaran dari mereka misalnya
dalam kitab Kaiwu Lun (開悟論—Risalah Pencerahan) berasal dari Buddhisme. Konsep
Taoisme dan Buddhisme yang dicampur aduk menjadi satu berkembang populer di kelas
rakyat jelata secara luas, di antaranya adalah konsep pencatat perbuatan baik dan buruk (功過
格) yang dibuat oleh Yuan Liaofan (袁了凡), yaitu hasil perbuatan diri sendiri dicatat setiap
hari, di mana jika perbuatan-nya baik maka diberi tanda, sedangkan jika perbuatan-nya buruk
maka tanda tersebut dikurangi. Tujuannya sebagai alat introspeksi diri dan sebagai catatan
dorongan semangat bagi diri sendiri yang kemudian diterbitkan menjadi buku untuk
diedarkan ke masyarakat. Pada sisi lain, praktik ini telah melupakan karakteristik spiritual
relijius dengan mengutamakan aspek kehidupan sehari-hari yang mendekati nilai-nilai tata
krama Konfusianisme. Biksu Yunqi Zhuhong (雲栖袾宏) menulis kitab Zizhi Lu (自知錄—

201
Catatan Diri yang Mengetahui) dengan mengacu pada kartu pencatat perbuatan baik dan
buruk, di mana ini merupakan pengaruh dari konsep tersebut.

6. Zhenji Daoren

Karakteristik lain dari Buddhisme masa Dinasti Ming adalah pembaurannya dengan
tradisi masyarakat dengan adanya penyelenggaraan upacara perkabungan dan pemakaman, di
mana ini menjadi profesi khusus bagi anggota Sangha untuk memenuhi permintaan
masyarakat yang disebut sebagai bhiksu ritual (瑜伽僧/教僧) atau Huoju (火居) [untuk
pendeta Taois]. Lagi pula, karena masalah kesulitan keuangan negara, maka hak istimewa
berupa pembebasan pajak atas tanah wihara pun dicabut, dan pajak bahan pangan hasil
penjualan dan sumbangan dari ladang pertanian wihara yang dikelola oleh wihara diatur oleh
petugas dari umat perumah tangga yang disebut Zhenji Daoren (砧基道人), di mana anggota
Sangha tidak berhubungan dengan mereka. Peraturan ini ditetapkan pada tahun ke-19 dari era
Hongwu (1386 M) masa Kaisar Ming Taizu. Dengan demikian, antara wihara dengan pejabat
dan umat kaya raya tidak dibutuhkan lagi hubungan langsung. Tentu hal ini juga telah
mencegah meluasnya kekuasaan wihara.

7. Surat Pengajuan Pembenahan Buddhisme

Meskipun telah beberapa kali diinstruksikan untuk membatasi orang memasuki


kehidupan monastik, bagaimana pun juga total jumlah mereka telah melampaui 500.000
orang, sehingga hal ini juga menjadi persoalan besar bagi pengeluaran negara. Kemudian,
sebagaimana hal-nya kasus bandit dari aliran sesat Teratai Putih yang muncul pada akhir
Dinasti Yuan, begitu juga pada tahun ke-19 dari era Hongwu terdapat kasus Peng Yulin (彭
玉林), dan kasus Zhao Jinglong (趙景隆) yang terjadi di Henan (河南) pada tahun ke-7 dari
era Zhengde (正德; 1512 M) masa Kaisar Ming Wuzong (明武宗), di mana hal ini kerap
terjadi hingga mendatangkan tidak sedikit pergolakan di masyarakat. Karena itulah di tingkat
pejabat negara kerap mengajukan surat permohonan kepada kaisar untuk membenahi
komunitas agama dan melarang pembangunan wihara baru. Dan yang patut diperhatikan di

202
sini adalah kebijakan untuk menyingkirkan anggota Sangha dan pendeta Taois yang diajukan
oleh Zuo Ding (左鼎), Ma Wensheng (馬文升), dan Wang Lun (王倫). Pada bulan 2 tahun
ke-5 dari era Jingtai (景泰; 1454 M) masa Kaisar Ming Yingzong (明英宗), Lin Cong (林聰)
dan kawan-kawan mengajukan surat berisi tentang 8 hal yang merugikan pemerintah,
meminta agar anggota Sangha dan pendeta Taois disingkirkan, dan melarang upacara ritual
(齋醮). Pada bulan 5 tahun yang sama, Zong Tong (鍾同) dan kawan-kawan mengajukan
larangan kepada anggota Sangha dan pendeta Taois untuk mencelakai rakyat; pada bulan 12
tahun yang sama, seorang penjaga pangkalan pemberhentian aparat di Yunnan ( 雲 南 )
mengajukan surat pengajuan. Alasannya karena Buddhisme berkembang populer di wilayah
tersebut, dan terlalu banyak rakyat yang terpengaruh hingga menjadi anggota Sangha, maka
beliau pun mengajukan permohonan agar mereka dikembalikan ke kehidupan awam untuk
menjadi petani. Sehubungan dengan usul pembenahan yang terus bermunculan, maka tidak
sulit untuk menduga bahwa kondisi komunitas Buddhisme pada masa tersebut telah menjadi
sebuah masalah penting bagi administrasi negara.

8. Lamaisme Masa Dinasti Ming

Walaupun perkembangan Lamaisme dari Tibet pada masa Dinasti Ming tidak
sepopuler dibandingkan dengan Lamaisme yang berkembang pesat di masa Dinasti Yuan,
namun kebijakan untuk mengangkat anggota Sangha dari Tibet sebagai guru kerajaan dan
raja Dharma tetap tidak berubah, dan tidak sedikit juga dari mereka yang terus berdatangan
ke daratan Tiongkok. Pada masa pertengahan Dinasti Ming, di wilayah Tibet muncul sekte
reformis yang dibawakan oleh Tsongkhapa yang mengenakan jubah dan topi kuning, di mana
mereka disebut sekte kuning (Gelugpa). Mereka menjalani peraturan Vinaya secara ketat, dan
kekuatan pengaruh mereka juga menyebar hingga ke daratan Tiongkok. Hal ini memberi
tekanan kepada sekte sebelumnya yang boleh memiliki istri, di mana mereka mengenakan
jubah dan topi merah (Kadampa).

9. Sinkretisasi Berbagai Aliran

203
Meskipun Buddhisme masa Dinasti Ming banyak menimbulkan masalah sosial seperti
yang telah disebutkan di atas, namun dari anggota Sangha-nya juga tidak sedikit muncul
tokoh yang terkemuka. Tokoh pertama dari masa awal Dinasti Ming yang terpandang adalah
Daoyan (道衍), lalu ada Quanshi Zongli (全室宗泐; 1318-1381 M), Fazhou Daozhai (法舟
道齋; 1487-1560 M), Yuzhi Faju (玉芝法聚; ?-1563 M), Yun’gu Fahui (雲谷法會; ?-1567
M), dan Xiangxian Zhenqing (象先真清; 1532-1588 M). Ada lagi Miyun Yuanwu (密雲圓
悟 ) yang membangkitkan kembali ajaran di Gunung Tiantong ( 天 童 山 ), dan Tianyin
Yuanxiu (天隱圓修; ?-1635 M) yang mendirikan wihara besar di Panshan (磐山), khususnya
banyak tokoh terkemuka yang berasal dari aliran Linji (臨濟). Tentu saja Buddhisme pada
masa tersebut tidak ada sikap pandangan sektarian secara dominan. Setelah masa Dinasti
Song, wihara-wihara terbagi atas 3 kategori, yaitu wihara Chan, Jiao (sekte Tiantai, Huayan,
dll.), dan Lü (Vinaya). Sedangkan pada masa Dinasti Ming, wihara terbagi menjadi kategori
sebagai berikut

- Wihara Chan (禪寺): Yaitu wihara dari mazhab Chan, sebagai tempat praktik meditasi.

- Wihara Ceramah ( 講寺 ): Yaitu wihara dari berbagai aliran seperti Tiantai, Huayan,
Faxiang/Weishi, sebagai tempat ceramah kitab Sutra.

- Wihara Ritual (教寺): Yaitu wihara yang mengalami perubahan dari wihara aliran Vinaya
sehingga menjadi ciri khas dari wihara masa Dinasti Ming, di mana ia berfungsi sebagai
wihara yang menyelenggarakan upacara ritual, seperti jenis wihara ajaran Yoga (瑜伽教
寺), dll.

Karena pembagian kategori seperti ini, maka pada tahun ke-15 dari era Hongwu
(1382 M) masa Kaisar Ming Taizu, anggota Sangha ditetapkan untuk mengenakan jubah
yang berbeda: Biksu dari mazhab Chan mengenakan jubah warna coklat tua dan kasaya giok
bergaris merah. Biksu penceramah [dari mazhab Tiantai, Huayan, Faxiang] mengenakan
jubah warna giok dan kasaya merah muda bergaris merah. Biksu ritual mengenakan jubah
warna putih dan kasaya merah muda bergaris hitam. Berdasarkan penjelasan dalam kitab
Zhuchuang Suibi (竹窗隨筆—Mengikuti Goresan Mopit di Jendela Bambu) karya Master
Zhuhong (袾宏),wihara Chan, Ceramah, dan Vinaya adalah tempat tinggal praktisi dari tiga
mazhab. Ketika beliau memasuki kehidupan monastik, apa yang disaksikan beliau adalah
bahwa praktisi Chan mengenakan jubah warna coklat, praktisi penceramah mengenakan

204
jubah warna biru, dan praktisi Vinaya mengenakan jubah warna hitam. Hingga ketika beliau
menulis naskah ini, jubah praktisi dari ketiga aliran semuanya berubah menjadi warna hitam,
sedangkan wihara Chan dan Vinaya berubah menjadi wihara ceramah.

Dapat terlihat bahwa fenomena sinkretisasi berbagai aliran yang dari perbedaan warna
jubahnya telah berjalan menuju ke arah persatuan. Lagi pula, menurut kitab Zhuchuang
Suibi—karya yang mewakili mazhab Chan dan Sukhavati masa Dinasti Ming, praktik nianfo
(melafal nama Buddha) bukan saja tidak menghalangi praktik investigasi Chan, malah
memiliki manfaat dalam investigasi Chan. Sinkretisasi dari berbagai aliran yang berpusat
pada keselarasan antara mazhab Chan dan Sukhavati telah menciptakan karakteristik unik
Buddhisme masa Dinasti Ming. Kabar tentang kecenderungan ini dapat diketahui melalui
persamaan pandangan dari empat mahaguru yang hidup pada satu zaman yang hampir
bersamaan saat menyebarkan ajaran Buddha, yaitu Master Zhuhong (袾宏), Zhenke (真可),
Deqing (德清), dan Zhixu (智旭).

10. Empat Maha Guru

Yunqi Zhuhong (雲栖袾宏; 1535-1615 M), adalah penduduk asal Renhe, Provinsi
Zhejiang (浙江 仁和). Beliau menerima ajaran Huayan dari Biksu Bianrong (辨融) dan
sebagai pewaris silsilah Chan dari Biksu Xiaoyan (笑岩). Dalam kehidupan sehari-harinya,
beliau berpegang pada moto “Hidup mati adalah perkara besar” sebagai ungkapan peringatan
bagi dirinya seumur hidup, menyandarkan batinnya pada Sukhavati, menjalani peraturan Sila,
dan mempraktikkan nianfo. Pada tahun ke-5 dari era Longqing (隆慶; 1571 M) masa Kaisar
Ming Muzong (明穆宗), beliau menuju ke Wihara Yunqi (雲栖寺) di kota Hangzhou (杭州),
lalu mengerahkan usahanya untuk mempraktikkan Buddhanusmrti Samadhi, dan
mengabdikan sepanjang hidupnya untuk mengajar. Konon jumlah muridnya mencapai seribu
orang. Beliau menyerap prinsip bahwa Chan dan Sukhavati memiliki tujuan yang sama, dan
menjelaskannya berdasarkan doktrin Avatamsaka Sutra, serta mengemukakan aspek
sinkretisasi dari berbagai aliran sebagai konsep baru Buddhisme, dan lebih menekankan 3
aspek yaitu keyakinan, tekad, dan praktik sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam
kontemplasi jalan menuju Tanah Murni. Karya tulis beliau pertama yang berhubungan

205
dengan pembenahan kondisi Sangha masa itu adalah Zimen Chongxing Lu (淄門崇行錄—
Catatan Praktik Junjungan Anggota Sangha). Kemudian banyak juga karya kitab beliau yang
berhubungan dengan prinsip ajaran, praktik kehidupan sehari-hari, dan ritual upacara, antara
lain, Amituojing Shu (阿彌陀經疏—Komentar atas Amitabha Sutra), Wangsheng Ji (往生集
—Antologi Kelahiran di Sukhavati), Fanwang Jing Jieshu Fayin ( 梵 網 經 戒 疏 發 隱 —
Pengembangan Makna Intrinsik atas Komentar Brahmajala Sutra), Zhuchuang Suibi (竹窗隨
筆 —Mengikuti Goresan Mopit di Jendela Bambu), Chan’guan Chejing ( 禪 關 策 進 —
Dorongan Semangat Menuju Gerbang Chan), Zizhi Lu ( 自 知 錄 —Catatan Diri yang
Mengetahui), Shuilu Yigui (水陸儀軌—Ritual Patidana Kepada Makhluk di Air dan Darat),
dan Yunqi Gongzhu Guiyue (雲栖共住規約—Tata Tertib Tinggal Bersama Wihara Yunqi).

Seluruh karya beliau dikompilasi ke dalam satu set kitab berjudul Yunqi Fahui (雲栖
法匯—Kumpulan Dharma Yunqi) sebanyak 32 jilid. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
Zizhi Lu adalah kitab yang menyerap konsep pencatatan perbuatan baik dan buruk, di mana ia
sebagai alat introspeksi diri dalam kehidupan sehari-hari yang terapkan oleh umat Taoisme
dan Konfusianisme yang digabungkan dengan konsep hukum karma tiga masa kehidupan
dari Buddhisme sehingga menjadi sebuah bentuk sinkretisasi dari tiga ajaran. Mengenai
masuknya agama Kristen ke Tiongkok pada masa tersebut, ia diperlakukan dengan sikap
antipati. Sehubungan dengan perlakuan baik dari Kaisar Ming Shenzong (明神宗) sehingga
Matteo Ricci dapat mendirikan gereja di kota Beijing, namun hal ini menimbulkan
kontroversial besar, sehingga dianggap sebagai ajaran sesat.

Zibo Zhenke (紫柏真可; 1543-1603 M) adalah warga asal Wujiang, Provinsi Jiangsu
(江蘇 吳江). Beliau mewarisi pemikiran dari Biksu Bianrong (辨融) dari mazhab Huayan,
jadi merupakan rekan seperguruan dengan Zhuhong. Dengan mengacu pada naskah Amituofo
Zan (阿彌陀佛讚—Pujian Pada Buddha Amitabha) dan Wuliang Shoufo Zan (無量壽佛讚—
Pujian pada Buddha Amitayus), beliau menganjurkan orang untuk mempraktikkan nianfo.
Berawal dari kasus pajak pertambangan yang dikuasai oleh kasim istana hingga
menimbulkan permasalahan politik yang cukup serius yang turut menimpa beliau pada
pertengahan era Wanli (萬曆), bahkan beliau terseret oleh petaka ‘Kasus Buku Siluman’
tentang pengangkatan putra mahkota yang berimbas pada kematian beliau di dalam sel
tahanan. Untuk dapat mengedarkan kitab suci Buddha secara luas dan memajukan Dharma,

206
maka beliau berupaya menerbitkan Tripitaka dalam bentuk buku jilid yang mudah dibaca.
Bersama Biksu Hanshan Deqing (憨山德清), Mizang Daokai (密藏道開), dan kawan-kawan,
pengerjaan proyek besar pengukiran Tripitaka ini berawal dari Gunung Wutai, kemudian
berpindah lagi ke Wihara Jizhao (寂照庵) di Jingshan (徑山), Provinsi Zhejiang. Kendati
Zhenke telah wafat, Tripitaka edisi Jiaxing (嘉興藏) atau disebut edisi Wanli (萬曆版) atau
juga disebut Tripitaka Akhir Dinasti Ming merupakan proyek permata Dharma yang
diprakarsai oleh beliau. Karya tulis beliau terhimpun dalam kitab yang dikompilasi oleh
Deqing berjudul Zibo Zunzhe Quanji (紫柏尊者全集—Antologi Arya Zibo) dengan jumlah
30 bab. Selain itu terdapat antologi beliau yang lainnya sebanyak 4 bab yang disusun oleh
tokoh Konfusianisme, Qian Qianyi (錢謙益).

Hanshan Deqing (憨山德清; 1546-1623 M) juga merupakan murid dari Bianrong,


Xiaoyan (笑岩), dan Yun’gu (雲谷). Beliau kemudian membangun cetiya di Gunung Lu (廬
山) dan memfokuskan diri pada praktik niannfo. Karya beliau antara lain Fahua Jing Tongyi
(法華經通義—Makna Umum Saddharmapundarika Sutra) sebanyak 7 bab, Yuanjue Jing
Zhijie (圓覺經直解—Penjelasan Langsung Purnabuddhasutra-prassanartha Sutra) sebanyak 2
bab, Zhaolun Luezhu (肇論略注—Penjelasan Ringkas Risalah Sengzhao) sebanyak 6 bab,
Hanshan Dashi Mengyou Ji (憨山大師夢游集—Antologi Kelana Mimpi Mahaguru Hanshan)
sebanyak 55 bab, Hanshan Yulu (憨山語錄—Catatan Esai Hanshan) sebanyak 20 bab. Kitab-
kitab tersebut merupakan karya yang menyelaraskan berbagai aliran dengan mengacu pada
sudut pandang mazhab Chan, Huayan dan praktik nianfo. Kemudian ada lagi karya beliau
tentang kitab-kitab Taoisme dan Konfusianisme yang dijelaskan berdasarkan prinsip
Buddhisme, yaitu Zhongyong Zhijie ( 中 庸 直 解 —Penjelasan Langsung atas Kitab
Zhongyong), Laozi Jie (老子解—Penjelasan tentang Laozi) dan Zhuangzi Neipian Zhu (莊子
内篇注—Penjelasan Bagian Bab Internal Zhuangzi), di mana kitab tersebut merupakan karya
yang mengemukakan tentang keselarasan di antara tiga ajaran.

Ouyi Zhixu (藕益智旭; 1599-1655 M) adalah penduduk asal Mudu, Provinsi Jiangsu
(江蘇 木凟). Kelahiran beliau terpaut kira-kira 5 tahun lebih belakangan dibandingkan
dengan ketiga maha guru lainnya. Beliau menganut pada mazhab Tiantai, dan dengan
mengacu pada pandangan Biksu Siming Zhili (四明知禮) beliau menulis risalah berjudul

207
Jiaoguan Gangzong (教觀綱宗—Garis-garis Besar Doktrin dan Praktik Pandangan Terang)
dan Dacheng Zhiguan Shiyao (大乘止觀釋要—Penjelasan Ringkas Samatha Vipasyana
Mahayana). Selain itu terdapat karya lain dari beliau yang mencapai 40 judul, di antaranya
adalah Amituo Jing Yaojie (阿彌陀經要解—Penjelasan Ringkas tentang Amitabha Sutra),
Lengqie Jing Yishu (楞伽經義疏—Komentar atas Makna Lankavatara Sutra), Zhancha Jing
Yishu (占察經義疏—Komentar atas Makna Sutra Pemeriksaan Akibat Karma Baik dan
Buruk), Fanwang Jing Hezhu (梵網經合注 —Notasi Gabungan atas Brahmajala Sutra),
Yuezang Zhijin (閲藏知津—Membaca Tripitaka Memahami Jalan). Beliau mengemukakan
pandangan bahwa Chan adalah aspek dari batin Buddha, doktrin (Tiantai, Huayan, dll.)
adalah aspek dari ucapan Buddha, dan Vinaya adalah aspek dari praktik Buddha. Dengan
memenuhi ketiga aspek tersebut baru merupakan prinsip ajaran Buddha secara keseluruhan.
Di sini mengemukakan bahwa Chan, Doktrin, dan Vinaya merupakan tiga pelatihan yang
berasal dari satu sumber dan bermuara pada satu praktik yaitu nianfo dengan cara melafal
nama Buddha agar dapat mencapai Buddhanusmrti Samadhi.

Beliau berpijak pada mazhab Tiantai dan bertumpu pada Sukhavati, sekaligus sebagai
praktisi Buddhisme baru yang menganjurkan penyelarasan antara Chan, Doktrin, dan Vinaya.
Beliau merupakan tokoh yang mewakili aspek persatuan Buddhisme masa Dinasti Ming.
Karya lain dari beliau yang berkaitan dengan ajaran Konfusianisme yaitu kitab Sishu Ouyi Jie
(四書藕益解—Penjelasan atas Empat Kitab dari Ouyi) dan Zhouyi Chanjie (周易禪解—
Penjelasan Kitab I-Ching Berdasarkan Chan). Mengenai sikap beliau terhadap agama Kristen,
beliau sama seperti Zhuhong yang secara aktif menentangnya dengan menulis kitab Tianxue
Chuzheng (天學初征—Awal Pengumpulan Ajaran Kristen) dan Tianxue Zaizheng (天學再
征—Lanjutan Pengumpulan Ajaran Kristen). Beliau juga merupakan seorang pemikir besar
yang terakhir dalam sejarah Buddhisme Tiongkok.

11. Sinkretisasi Tiga Ajaran dan Buddhisme Umat Awam

Selain gerakan sinkretisasi ajaran Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme yang


dilakukan oleh empat maha guru Buddhisme Dinasti Ming, terdapat juga biksu Chan seperti
Yuzhi Faju (玉芝法聚) dan Zhanran Yuancheng (湛然圓澄) yang banyak menjalin interaksi

208
dengan praktisi Konfusianisme khususnya dari aliran Yangmingisme (陽明學派). Dari sisi
praktisi Konfusianisme juga ada banyak pendukung pandangan sinkretisasi Konfusianisme
dengan Buddhisme, di antaranya adalah Chen Baisha (陳白沙), Wang Yangming (王陽明),
dan Wang Longxi (王龍溪). Ada pun dengan munculnya tokoh Yuan Hongdao (袁宏道),
penulis kitab Xifang Helun (西方合論—Risalah Gabungan tentang Sukhavati) sebanyak 10
bab, dan Zhou Kefu (周克服), penulis kitab Jingtu Chenzhong (淨土晨鈡—Genta Fajar di
Tanah Murni) sebanyak 10 bab, khususnya sebagai pencetus gerakan Buddhisme Umat
Awam yang populer di masa Dinasti Qing (清). Pada masa tersebut, karena adanya kaum
Konfusianis yang menentang Buddhisme dengan munculnya literatur ekstrim anti Buddhis,
yaitu kitab Juye Lu (居業錄—Catatan Karir) karya Hu Jingzhai (胡敬齋), Yiduan Bianzheng
(異端辨正—Pembelaan Ekstremis) karya Zhan Ling (詹陵), Kunzhi Ji (困知記—Catatan
Hambatan Pengetahuan) karya Luo Zheng’an (羅整庵), dan Yexingzhu (夜行燭—Lilin
Perjalanan Malam) karya Cao Duan (曹端), maka muncul juga gerakan melindungi ajaran
Buddha antara lain, Fofa Jintang Bian (佛法金湯編—Susunan Kuah Emas Buddha Dharma)
karya Xintai (心 泰) dan Fofa Jintang Lu ( 佛 法金湯錄 —Catatan Kuah Emas Buddha
Dharma) karya Tulong (屠隆).

Di bagian pengantar kitab Shijian Jigulue Xuji (釋鑑稽古略續集—Antologi Lanjutan


Pengkajian Buddhisme) yang ditulis oleh Huan Lun ( 幻 輪 ) pada tahun ke-11 dari era
Chongzhen ( 崇 禎 ; 1638 M) masa Kaisar Zhuanglie ( 莊 烈 帝 ), akhir Dinasti Ming,
mengatakan, “Biksu yang tidak mempelajari ajaran luar adalah malas, bodoh dan tidak
berwawasan luas; Konfusianis yang tidak mempelajari kitab Buddha adalah orang tak
berkualitas dan berpikiran picik.” Jadi dapat diketahui bahwa orang yang tidak mampu
menguasai ajaran Buddha dan Konfusianisme secara bersamaan maka ia tidak akan
diperhatikan. Hal ini mencerminkan orientasi Buddhisme dari sejak Biksu Zhanning (贊寧)
dari Dinasti Song, di mana ini juga merupakan hal yang paling menarik dalam kajian sejarah
Buddhisme Tiongkok zaman modern awal.

12. Penerbitan Tripitaka

209
Bagaimanapun juga, era Dinasti Ming selama 300 tahun memiliki kondisi politik yang
stabil dengan kebudayaannya yang maju, dan teknologi percetakan yang sangat berkembang.
Di lingkungan Buddhisme, hal yang patut diperhatikan adalah juga adanya penerbitan
Tripitaka sebanyak 4 edisi, yaitu:

1. Edisi Tripitaka Selatan (南藏版):

Pada tahun ke-5 dari era Hongwu (1372 M) masa Kaisar Ming Taizu, Wihara
Jiangshan (蔣山寺) di Nanjing (南京) menerbitkan Tripitaka edisi kerajaan dengan
jumlah 6.331 bab dari 636 jilid (Daftar isinya tercantum di bagian“Jinling Fancha Zhi
(金陵梵刹志—Catatan Wihara di Kota Jinling (Nanjing))” bab 49). Jumlah cetakan
balok kayu-nya mencapai 57.160 buah. Tripitaka Selatan yang dicetak menggunakan
bahan balok kayu ini terus dikerjakan dari masa akhir Dinasti Ming hingga awal
Dinasti Qing, dan memberi manfaat yang sangat besar terhadap penyebaran Tripitaka

2. Edisi Tripitaka Utara (北藏):

Ini merupakan Tripitaka yang diukir atas tekad Kaisar Ming Chengzu ( 明成祖 )
sebagai tanda pelimpahan jasa kepada kedua orang tuanya (Kaisar Ming Taizu dan
Ratu Ma). Pengukirannya baru selesai pada tahun ke-5 dari era Zhengtong (正統;
1440 M) masa Kaisar Ming Yingzong (明英宗) dengan jumlah total mencapai 6.361
bab dari 636 jilid.

3. Edisi Wulin (武林) :

Edisi ini diketahui dari naskah Kezang Yuanqi ( 刻 藏 緣 起 —Latar Belakang


Pengukiran Tripitaka). Dipublikasikan di Wulin (Hangzhou) dalam bentuk jilid buku.

4. Edisi Wanli (萬曆) :

Ini merupakan Tripitaka yang dipublikasikan dari pihak swasta, yaitu oleh Biksu
Zhenke (真可) dan kawan-kawan, dengan jumlah total 7.334 bab dari 1.618 judul.
Edisi utamanya diselesaikan di sela-sela era Wanli (萬曆; 1573-1619 M), sedangkan
edisi lanjutannya baru selesai pada tahun ke-15 dari era Kaisar Kangxi (康熙) masa

210
Dinasti Qing (1676 M). Untuk kemudahan dalam membaca, maka edisi ini
menggunakan bentuk buku yang dijilid dengan mengemban tanggung jawab dalam
penyebaran Tripitakan secara luas. Tripitaka ini juga diberi nama tunggal ‘Edisi Ming
(明本)’. Kemudian Tripitaka edisi Obaku (黃檗) dengan nama Issaikyo (一切經—
Semua Kitab Suci) yang dipublikasikan oleh Tetsugen (鉄眼) merupakan versi yang
disalin dari Edisi Ming ini.

13. Literatur Buddhisme Masa Dinasti Ming

Sehubungan dengan kemajuan teknologi percetakan, maka selain literatur sejarah


Buddhisme seperti Daming Gaoseng Zhuan (大明高僧傳—Riwayat Biksu Agung Dinasti
Ming) sebanyak 8 bab, karya Ruxing (如惺), dan Shijian Jigulue Xuji (釋鑑稽古略續集—
Antologi Lanjutan Pengkajian Buddhisme), 2 bab, karya Huan Lun (幻輪), pada saat itu juga
muncul kitab-kitab yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Dinasti Ming yaitu dengan
terus diterbitkannya buku-buku berbentuk gambar ilustrasi seperti Xianfo Qizong (仙佛奇踪
—Jejak Ajaib Dewa dan Buddha), Shishi Yuanliu (釋氏源流—Asal Usul Buddhisme), dan
Fojiao Yuanliu Gaoseng Zhuanzong (佛教源流高僧傳宗—Asal Usul Buddhisme Bagian
Riwayat Bhiksu Agung), sehingga melahirkan bentuk Buddhisme masyarakat jelata.
Kemudian ada lagi kitab Shenseng Zhuan (神僧傳—Riwayat Biksu Sakti) karya Cheng Zu
(成祖) dan kitab pengenalan ringkas tentang Buddhisme yang ditulis oleh Chen Shiyuan (陳
士元) dengan judul Xiangjiao Pibian (象教皮編), beserta Buddhisme sinkretis dan non-
sektarian yang dikemukakan oleh empat maha guru akhir Dinasti Ming. Meskipun
Buddhisme yang bersifat asimilasi ini tidak mencapai kondisi yang sempurna, namun ini
tidak ada salahnya jika bicara dari arah perkembangan zaman.

211
BAB XVII Buddhisme Dinasti Qing

Pada tahun ke-44 dari era Wanli (1616 M) masa Kaisar Shenzong (神宗) dari Dinasti
Ming, di kawasan Manchuria telah berdiri kerajaan yang dipimpin oleh seorang Khan yang
mempersatukan berbagai kelompok suku dari bangsa Nurchen. Tokoh yang menetapkan
nama era-nya menjadi Tianming (天命) ini adalah Nurhaci. Tiga puluh tahun setelah itu,
mereka juga menaklukkan Dinasti Ming dan mempersatukan seluruh Tiongkok, di mana
ketika Kaisar Shunzhi (順治) memasuki gerbang pertahanan Tiongkok, baru menetapkan ibu
kota di Beijing, yang berarti pada tahun pertama dari era pemerintahan Kaisar Shunzhi (1644
M), Dinasti Qing (清) telah menguasai wilayah Tiongkok, dan bangsa Han berada di bawah
kendalinya. Sejarah dinasti ini terus berlangsung selama hampir 300 tahun.

1. Buddhisme Di Bawah Kontrol Dinasti Qing

Sebagai dinasti dari bangsa asing dengan tingkat kebudayaannya yang rendah, dan
bermaksud ingin mengendalikan bangsa Han yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi, maka
diterapkan berbagai kebijakan baik yang bersifat lunak maupun keras. Dengan
mengecualikan Lamaisme yang menjadi agama yang dianut sendiri oleh Dinasti Qing,
kontrolnya terhadap agama lain diterapkan dengan kebijakan yang cukup ketat. Untuk
mengendalikan dan memberi tekanan kepada bangsa Han yang bersikap anti Manchuria, dan
demi berbalik memanfaatkan nilai kebudayaan dan tradisi filsafat Tiongkok yang tinggi,
maka tentu ada sisi pertimbangan yang menguntungkan bagi dirinya. Terutama dengan
berpusat pada ajaran Zhuzi (朱子) yang menitikberatkan prinsip bakti dan loyal dari sistem
feodalisme dan otoritarianisme dari nilai etika ajaran Konfusius, kondisi ini malah
dimanfaatkan oleh Dinasti Qing sebagai senjata yang ampuh untuk ‘membimbing’ rakyat.
Tradisi ajaran etika Konfusianisme pada dasarnya tidak saling selaras dengan agama luar
yang dianggap dari suku barbar. Oleh karena itu, terhadap agama yang menjadi sandaran

212
rakyat jelata, sudah dapat diduga bahwa Buddhisme sebagai agama yang lebih populer
dibandingkan dengan Taoisme dan Konfusianisme mendapat tekanan yang keras.

Sikap keyakinan para kaisar Dinasti Qing—mencakup masa kekuasaan di


Manchuria—terhadap Buddhisme (Lamaisme), pada faktanya berpijak pada kebijakan untuk
mengendalikan penduduk asli. Sebagai contoh khususnya istana kediaman putra mahkota dari
Kaisar Yongzheng (雍正) yang dihiasi menjadi wihara Buddhisme, yaitu Istana Yonghe (雍
和宮) yang terkenal sebagai wihara berciri Lamaisme di kota Beijing. Kaisar Yongzheng
menjuluki dirinya dengan nama Upasaka Yuanming ( 圓 明 居 士 ). Beliau menyerap
pandangan Buddha dan dewa sebagai satu kesatuan yang sama, dan menganjurkan ritual
secara bersamaan di antara tiga agama (Tridharma). Mengenai ajaran Chan, beliau berpegang
pada teori keselarasan antara ajaran Chan, Doktrin, dan Sukhavati. Hasil pencapaian beliau
dalam Buddhisme dapat diketahui dari kitab Yuxuan Yulu (御選語錄—Catatan Esai Pilihan
Kaisar) yang disusun oleh beliau. Dalam kitab ini beliau juga mengedepankan tokoh Taoisme,
Ziyang Zhenren ( 紫陽真人), dengan menganggap dia sebagai praktisi yang mengalami
pengalaman pencapaian Chan. Di sini dengan jelas mengindikasikan bahwa Kaisar
Yongzheng sebagai orang yang berpegang pada pandangan keselarasan antara Buddhisme
dan Taoisme. Meskipun batin beliau condong ke Buddhisme, namun masih belum benar-
benar menjadi orang yang ‘larut’ sepenuhnya dalam Buddhisme. Misalnya dalam Jianmo
Bianyi Lu (揀魔辨異錄—Catatan Memilah dan Membedakan Kesesatan Mara) yang beliau
tulis untuk menyanggah perbedaan pandangan antara Tanji Hongren ( 潭吉弘忍)—murid
dari Miyun Yuanwu (密雲圓悟)—dengan muridnya, Hanyue Fazang (漢月法藏), beliau
mengatakan, “Dalam memerintah negara ini, saya mengutamakan sikap jalan tengah dengan
menerapkan pelatihan diri, penataan rumah tangga, pengelolaan negara, dan mengupayakan
perdamaian dunia, saya menempatkan diri sebagai orang yang berada di luar arena, bukan
sebagai penceramah di atas mimbar.” Beliau dengan jelas mengekspresikan dirinya bukan
seorang penganut Buddhis yang ekstrim. Hal ini juga merupakan pandangan yang memang
sepatutnya ada pada seorang pemimpin negara.

Pada masa Kaisar Shunzhi (順治), lembaga negara yang mengontrol Buddhisme dan
Taoisme mengacu pada sistem agama masa Dinasti Ming dengan menetapkan jabatan Sangha
dan jabatan Taoisme. Di sisi Buddhisme, ditetapkan berbagai lembaga dari tingkat pusat
hingga daerah, yaitu Senglu Si (僧祿司), Senggang Si (僧綱司), Sengzheng Si (僧正司), dan

213
Senghui Si (僧會司). Pejabat Sangha tertinggi adalah pemimpin dari lembaga Senglu Si yang
hanya setingkat eselon 6 senior. Sedangkan pemimpin lembaga Senghui Si di berbagai daerah
kabupaten hanya setingkat eselon 6 junior, di mana ini merupakan posisi terendah dalam
level pejabat pemerintahan. Jadi dari sisi administrasi pemerintah tidak pernah
mempertimbangkan sama sekali nilai pentingnya lembaga pengontrolan anggota Sangha.
Sehubungan dengan terbelenggunya komunitas Buddhis dalam posisi jabatan Sangha yang
sedemikian rendahnya, dan negara membatasi secara ketat terhadap pembangunan wihara
baru, penahbisan anggota Sangha dan gerak-gerik anggota Sangha, maka Buddhisme yang
berada di bawah kontrol sistem demikian telah kehilangan kemandiriannya dalam aktivitas
keagamaan. Oleh karena itu, pertumbuhan wihara dan anggota Sangha juga tidak mampu
berkontribusi bagi pembangunan negara. Ini merupakan tolak ukur dari sudut pandang tradisi
kenegaraan menurut Konfusianisme dalam melihat konsekuensi pasti yang dialami
Buddhisme. Misalnya pada tahun ke-2 dari era Kaisar Shunzhi (1645 M), anggota Sangha
dan pendeta Taois dilarang berbaur dan tinggal bersama dengan perumah tangga, juga
dilarang meminta sumbangan di pusat keramaian. Pada tahun ke-16 dari era pemerintahan
Kaisar Kangxi ( 康 熙 ; 1677 M), wihara yang terletak di pusat kota dilarang untuk
mengadakan ceramah agama kepada khalayak umum. Dengan demikian, hal ini tentu saja
telah membenahi kebobrokan kaum pria dan wanita yang suka kumpul bersama, namun pada
saat yang sama juga telah memisahkan wihara dengan warga masyarakat. Dari kondisi sistem
pendidikan warga masyarakat seperti ini juga dapat terlihat bagaimana cara penangangan
yang dilakukan dalam situasi khusus di mana bangsa Han dikendalikan oleh bangsa asing.

2. Sistem Pendidikan Warga Masyarakat Dinasti Qing

Dalam tahapan proses menjalankan fungsi kontrol terhadap bangsa Han yang
memiliki kebudayaan tinggi oleh pemerintahan Dinasti Qing, sebagai upaya untuk
mempertahankan kekuasaaannya melalui kebijakan penting, maka hal yang patut menjadi
perhatiannya adalah menerapkan sistem pendidikan kepada golongan warga yang tidak
pernah mendapat pengekangan. Apa yang dikhawatirkan oleh rezim penguasa saat datang ke
Tiongkok adalah ekspresi ketidakpuasan rakyat terhadap situasi politik hingga muncul
pemberontakan yang mengatasnamakan agama. Untuk meredakan ketidakpuasan rakyat
terhadap kondisi politik dan mengentaskan pemberontakan yang mengatasnamakan agama,

214
maka pemerintah Dinasti Qing menerapkan sistem pendidikan bagi warganya dengan
mengumandangkan kepada masyarakat kelas bawah untuk menyebarluaskan ajaran moralitas
feodal Konfusianisme demi mencapai tujuan otoritas politik yang berani dipenetrasikannya.
Kebijakan ini secara konkret misalnya pada tahun ke-9 dari era pemerintahan Kaisar Kangxi
(1670 M) diumumkan teks ‘Maklumat Suci (聖諭)’ sebanyak 16 poin. Kemudian pada tahun
ke-2 dari era pemerintahan Kaisar Yongzheng (1724 M), isi maklumat tersebut diperluas lagi
dengan nama ‘Ajaran Luas Maklumat Suci (聖諭廣訓)’ untuk diedarkan ke seluruh negeri.
Dari semenjak itu hingga tahun terakhir masa Kaisar Guangxu (光緒; 1908 M), setiap tanggal
1 dan 15 penanggalan imlek di berbagai daerah masing-masing diadakan dua kali kegiatan
pembacaan dan penjelasan ‘Ajaran Luas Maklumat Suci’, bahkan menjadi sebuah tren di
kalangan masyarakat. Pada pasal ke-7 dari maklumat tersebut disebutkan, “Hentikan sikap
ekstrim untuk menjunjungi ajaran yang benar,” di mana bagian bawahnya terdapat kritik
terhadap Buddhisme sebagai berikut, “Misalnya [mereka] berbicara asal-asalan dengan
berkata bahwa seorang anak yang menjadi anggota Sangha maka sembilan kerabat keluarga
akan terlahir di alam surga, juga mengatakan tentang berbagai topik khayalan seperti alam
neraka, kelahiran kembali, dan hukum karma untuk membuat orang kebingungan;
Menyelenggarakan upacara Longhua, Ulambana, pertolongan kepada fakir miskin,
sedangkan pria dan wanita berkumpul bersama tanpa membedakan siang dan malam,
memberi ceramah demi mencari keuntungan, bahkan mendirikan partai dan kelompok yang
bertolak belakang dengan status dan maksud sebenarnya, mereka membohongi dan
membingunkan semua orang.”

Kendati Kaisar Yongzheng dan bangsa Manchu menganut Lamaisme, namun ia


menerapkan kebijakan yang berbeda terhadap agama yang dianut bangsa Han. Sebagai rezim
penguasa dari bangsa asing, ia memanfaatkan otoritas ajaran Konfusianisme untuk
meluruskan adat masyarakat dengan menerapkan pendidikan bagi warga. Anggota Sangha
dihambat untuk memberi bimbingan kepada warga, sehingga komunitas wihara menjadi
terpisah dari masyarakat. Selanjutnya juga dibuat peraturan hukum yang melarang kaum
wanita untuk mengunjungi dan beribadah di wihara. Bagi yang melanggarnya maka petugas
wihara yang akan diberi sanksi.

Dasar apa yang membawa fenomena ini ke sini? Setelah masa Dinasti Tang, sistem
kepercayaan masyarakat Tiongkok terbentuk menjadi sinkretisasi tiga agama—Buddhisme,
Taoisme dan Konfusianisme, yang mana ajaran tersebut dimasyarakatkan dalam bentuk

215
ajaran umum setelah dimodifikasi dari Buddhisme dan Taoisme. Di masa Dinasti Ming,
naskah-naskah yang dipublikasikan, biasanya disebut ‘kitab kebajikan (善書)’, sesampai
masa Dinasti Qing karena pemerintah dengan sengaja memisahkan agama dengan masyarakat,
justru muncul lebih banyak naskah yang disebut Baojuan (寳卷—gulungan kitab mustika
(berupa nyanyian dan percakapan yang dibawakan oleh seniman) yang suka dibaca oleh
masyarakat. Kemungkinan ini berasal dari hasil transformasi literatur Bianwen (變文—teks
transformasi) yang ditemukan di Dunhuang. Faktor penyebab terpenting munculnya sikap
antipati bangsa Han terhadap kekuasaan bangsa asing adalah ajaran Luoisme atau
Wuweiisme (羅教/無爲教). Selain itu adalah pemberontakan dari perkumpulan rahasia yang
mengatasnamakan agama pada masa awal tahun Kaisar Jiaqing (嘉慶; 1796 M), terutama
adalah bandit sekte Teratai Putih yang dipimpin oleh Liu Zhixie ( 劉 之 協 ) dan
pemberontakan yang dilakukan oleh ‘bandit berambut panjang’ dari Kerajaan Taiping (太平
天國). Meskipun agama-agama dari kalangan rakyat ini telah dilarang oleh negara, namun
mereka tetap melakukan pemberontakan di berbagai daerah. Ini merupakan efek perlawanan
yang timbul akibat dari kebijakan pemerintah Dinasti Qing memisahkan agama mainstream
dengan masyarakat yang berimplikasi pada munculnya perkumpulan rahasia seperti ini.

Pemerintah sengaja memandang rendah Buddhisme yang dianut bangsa Han, bahkan
menerapkan kebijakan seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga muncul tren penistaan
terhadap Buddhisme. Ditambah lagi dengan menurunnya kualitas anggota Sangha itu sendiri,
maka rasa hormat masyarakat terhadap Buddhisme pun menjadi sirna. Seperti pepatah yang
muncul pada saat itu, misalnya “Tidak menemukan cara, jadilah bhiksu” (Tidak mampu
mencari nafkah, maka dianjurkan menjadi biksu saja), “Bhiksu melihat uang, Sutra pun
diperjualkan”(Biiksu menjual kitab suci demi uang). “Dari sepuluh biksuni, sembilan di
antaranya adalah pelacur, sisa satunya adalah sakit jiwa” (Dari sepuluh orang biksuni, tidak
ada satu pun yang menjalani kehidupan suci); “Di depan pintu neraka kebanyakan adalah
biksu dan pendeta Taois”. Kita percaya bahwa hal seperti ini belum tentu merupakan
gambaran yang sebenarnya, namun kondisi Buddhisme masa Dinasti Qing dapat dilihat
dengan pertimbangan latar belakang pepatah di kalangan masyarakat pada saat itu. Masa
tersebut sudah tidak ditemukan lagi kondisi seperti masa lalu di mana anggota Sangha
dipandang sebagai bangsa asing. Anggota Sangha secara keseluruhan telah diatur ke dalam
hukum sekuler.

216
3. Fakta Kondisi Komunitas Buddhis

Kendati Buddhisme masa Dinasti Qing memiliki kondisi demikian, namun pada era
Kangxi (1662-1722 M), Buddhisme dan Taoisme masih memiliki jumlah wihara dan kuil
besar sebanyak 6.073 unit beserta wihara dan kuil kecil sebanyak 6.049 unit yang dibangun
negara; sedangkan wihara besar yang dibangun swasta sebanyak 8.458 unit dan wihara kecil
sebanyak 58.682 unit. Jumlah total anggota Sangha adalah 120.000 orang. Ini merupakan
komunitas yang sangat besar, namun sayangnya di bagian internalnya banyak anggota
Sangha yang tidak memiliki kebijaksanaan. Sudah tidak banyak yang terbiasa dengan
pelantunan Sutra dan praktik ritual seperti Pertobatan Lianghuang, Pertobatan Shuilu,
Pertobatan Avalokitesvara, Pertobatan Ksitigarbha, dan sebagainya. Sedangkan mengenai
tokoh agama yang gigih dalam praktik nyata dalam kehidupan spiritual dan pembelajaran
Dharma, itu sungguh sangat langka. Terutama pada masa Kaisar Yongzheng, di mana setelah
sistem ujian Sutra dan sertifikat penahbisan dihapuskan, maka wihara-wihara di berbagai
daerah pun dengan seenaknya mendirikan panggung penahbisan simamandala. Semakin
banyak siswa yang malas dan suka berleha-leha memanfaatkan status kebiksuan-nya untuk
berbuat sewenang-wenang di lingkungan Sangha. Penghapusan sistem ujian Sutra dan
sertifikat penahbisan yang telah melahirkan kondisi seperti ini merupakan fakta yang tidak
dapat dipungkiri.

4. Berbagai Aliran Buddhisme Masa Dinasti Qing

Mengikuti kecenderungan Buddhisme masa Dinasti Ming, aliran Buddhisme yang


paling populer di masa Dinasti Qing juga adalah mazhab Chan, khususnya aliran Linji. Tiga
tokoh sub-aliran Linji, yaitu Tiantong Yuanwu (天童圓悟), Qingshan Yuanxiu (磬山圓修),
dan Dongxi Xingchong (東溪性沖) adalah tokoh yang paling dihormati oleh kaisar-kaisar
dari beberapa generasi. Di bawah bimbingan ketiga guru sub-aliran ini banyak bermunculan
tokoh-tokoh biksu terkenal yang turut mengemban misi memberi bimbingan bagi Buddhisme
Dinasti Qing. Wihara terkenal di Tiongkok selatan yang menjadi aktivitas kelompok dari
ketiga sub-aliran ternama ini antara lain Wihara Jinshan (金山寺) di Zhenjiang (鎮江),
Wihara Gaomin (高旻寺) di Yangzhou (揚州), Wihara Tianning (天寧寺) di Changzhou (常

217
州), Wihara Chanyuan (禪源寺) di Gunung Tianmu barat (西天目山), Wihara Lingyin (靈隱
寺) di Hangzhou (杭州), Wihara Hongfa (弘法寺) di Gunung Tiantong (天童山), Ningbo (寧
波 ). Tokoh biksu yang cukup terwakili adalah Tiantong Daomin ( 天 童 道 忞 ), Hanpu
Xingcong (憨璞性聰) dan Yulin Tongxiu (玉林通琇).

Tiantong Daomin (1596-1674 M), beliau belajar di bawah bimbingan Yuanwu (圓悟)
selama 14 tahun. Beliau adalah siswa paling unggul di antara 12 rekan seperguruannya.
Beliau pernah diundang oleh Kaisar Shunzhi ke istana dan mendiskusikan Dharma di Aula
Wanshou. Detil kejadian ini dapat dilihat dalam kitab Sanshi Zoudui Lu (三世奏對錄—
Catatan Tanya Jawab Raja dan Hamba Tentang Tiga Masa Kehidupan) dan Hongjue Min
Chanshi Beiyou Ji (弘覺忞禪師北游集—Antologi Perjalanan Guru Chan Hongjue Min Ke
Utara). Kitab Hongjue ini di kemudian hari dimusnahkan oleh Kaisar Yongzheng karena
memandangnya sebagai kitab yang melenceng dan tidak punya rasa hormat.

Hanpu Xingcong (1610-1666 M), beliau satu perguruan dengan Daomin, bahkan juga
berguru kepada Huangyin Tongrong (黃隱通容) yang konon memiliki puluhan ribu siswa.
Beliau menetap di Wihara Haihui (海會寺) di Beijing, dan menjadi terkenal karena pernah
membimbing Kaisar Shunzhi dalam praktik investigasi Chan. Beliau menyebarkan metode
Chan beliau hingga ke wilayah utara.

Yulin Tongxiu (1614-1675 M), beliau merupakan siswa Qingshan Yuanxiu. Kaisar
Shunzhi pernah berguru kepada beliau dan memberinya gelar ‘Guru-Kerajaan Pencerahan
Agung yang Piawai Memberi Pertolongan dengan Cinta Kasih ( 大 覺 善 濟 能 仁 國 師 )’.
Setelah 60 tahun kewafatannya, catatan esai beliau dimasukkan ke dalam bab 11 dari kitab
Catatan Esai Pilihan Kaisar yang disusun oleh Kaisar Yongzheng. Dari sini dapat diketahui
betapa besar penghormatan yang beliau terima dari lingkungan istana. Selama 40 tahun
beliau menjalani kegiatan ceramah, dan setelah itu beliau wafat di Wihara Ciyun (慈雲寺) di
Huai’an (淮安).

Kendati pada awal berdirinya pemerintah Dinasti Qing memberi hormat kepada
anggota Sangha bangsa Han, namun demi menunjukkan kekuasaan kaisar Manchu, di
lingkungan mazhab Chan tidak dapat terhindar dari harus menerima ‘pukulan’ menyakitkan.
Misalnya sehubungan dengan perbedaan pandangan yang terjadi antara Sanfeng Fazang (三
峰法藏; 1573-1635 M) dengan murid beliau, Tiantong Yuanwu, mengenai masalah hakikat

218
pencerahan, maka Fazang menulis kitab Wuzong Yuan (五宗原—Sumber Lima Aliran),
sedangkan Tiantong Yuanwu menyanggahnya melalui karya beliau yang berjudul Piwangjiu
Lueshuo (闢妄救略說—Penjelasan Singkat atas Pengentasan Penyelamatan Delusif). Murid
Fazang, yaitu Tanji Hongren ( 潭 吉 弘 忍 ) juga menulis kitab Wuzong Jiu ( 五 宗 救 —
Penyelamatan Lima Aliran) untuk membela guru beliau, sehingga ini menjadi satu peristiwa
besar di lingkungan Buddhisme antara masa akhir Dinasti Ming dan awal Dinasti Qing. Di
kemudian hari, Kaisar Yongzheng menyerang pandangan Hongren dengan menggunakan
alasan beliau sebagai pewaris garis silsilah sesat, bahkan memerintah pejabat bawahannya
untuk memusnahkan sejumlah karya tulis dari kelompok Fazang dan Hongren. Karena
mereka berdua mengritisi kondisi kebobrokan mazhab Chan pada saat itu yang menjalin
hubungan dengan kaum cerdik cendikia, dengan praktik vassa dan meditasi Chan-nya. Lagi,
juga dikarenakan mereka membahas tentang metode ajaran Sukhavati yang digaungkan oleh
Yunqi Zhuhong untuk mengasimilasi mazhab Chan dengan Sukhavati, dan mengemukakan
bahwa seseorang harus menerapkan praktik nyata dan menjauhi teori yang tak berisi. Pada
saat yang sama, dari sudut pandang kaisar Manchu yang menunjukkan bahwa ia merasa
memiliki wewenang yang kuat sebagai pemberi petunjuk pandangan Buddhisme bangsa Han.
Dengan menggunakan kekuasaan raja untuk menekan aliran Chan, maka berimplikasi pada
menciutnya popularitas Chan yang murni. Di sinilah yang menjadi penyebab munculnya
Buddhisme Tiongkok masa kini yang mengombinasikan praktik Chan dan Sukhavati dengan
mengutamakan metode praktik nianfo.

Mazhab Caodong (曹洞) tidak sepopuler mazhab Linji. Hanya beberapa wihara yang
sedikit mewarisi nama bagi aliran ini, yaitu Wihara Gushan (鼓山寺) di Fuzhou (福州),
Wihara Guiyuan (歸元寺) di Hanyang (漢陽), dan Wihara Dinghui (定慧寺) di Zhenjiang
(鎮江). Tokoh biksu terkenal yang diketahui dari aliran ini adalah Daopei Weilin (道霈為霖;
1615-1702 M). Beliau belajar doktrin mazhab Tiantai dan Huayan. Karya tulis beliau antara
lain adalah Huayan Shulun Yaoyu (華嚴疏論要語—Esensi Risalah Komentar Avatamsaka
Sutra), Renwang Bore Jing Heshu (仁王般 若 經合疏 —Komentar Gabungan atas Sutra
Kebijaksanaan Sempurna Raja Budiman), Huanshan Lu (還山錄—Catatan Kembali Ke
Gunung), dan Chanxiang Lu (餐香錄—Catatan Aroma Hidangan). Terutama kitab Caodong
Zongzhi Xuzong (曹洞宗旨緒宗—Sisa Warisan Tujuan Mazhab Caodong) yang ditulis pada
era Jiajing (嘉靖; 1522-1566) di masa Dinasti Ming terdapat bagian yang melenceng dari

219
makna klasik Caodong, namun ia dikompilasi kembali oleh Yuanxian (元賢) dari Gushan (鼓
山) menjadi kitab Dongshang Guzhe (洞上古轍—Jejak Kuno Caodong). Oleh karena itu,
Daopei menyusunnya kembali menjadi kitab karakteristik dan kerangka ajaran mazhab
Caodong yang cukup praktis untuk dibaca.

Tokoh terkenal yang mewakili mazhab Huayan masa Dinasti Qing adalah Baiting
Xufa (柏停續法;1641-1728 M). Karya tulis beliau yang pertama adalah Xianshou Wujiao Yi
Kezu ( 賢 首 五 教 儀 科 註 —Penjelasan Teknis Lima Sistem Ajaran Mahaguru Xianshou)
sebanyak 48 bab. Selain itu ada lagi kitab Huayan Zong Fozu Zhuan (華嚴宗佛祖傳—
Biografi Buddha dan Sesepuh dari Mazhab Huayan), dan lain sebagainya yang total
mencapai 600 bab. Sebenarnya Tiongkok di masa belakangan ini tidak seperti Jepang yang
memiliki organisasi sekte secara dominan. Begitu juga dengan mazhab Huayan yang tidak
berfokus pada kejayaan alirannya, namun tidak sedikit orang yang menggunakannya sebagai
subjek pembelajaran. Upasaka Yang Renshan (楊仁山) yang hidup pada masa akhir Dinasti
Qing adalah contoh tokoh yang mengemukakan: “Bersandar pada doktrin ajaran Xianshou
(Huayan), berpraktik mengikuti Buddha Amitabha (Sukhavati)”.

Mazhab Sukhavati dalam sejarah masa Dinasti Qing secara keseluruhan dapat
diketahui melalui pepatah umum yang paling dijunjung oleh kalangan masyarakat, yakni “Di
setiap rumah ada Kwan Im, Di mana-mana ada Buddha Amitabha”. Keyakinan pada
Bodhisatwa Guan Yin (Avalokitesvara) adalah praktik yang beriringan dengan keyakinan
pada Buddha Amitabha. Mengenai popularitas mazhab Sukhavati tentu tidak perlu dijelaskan
lagi. Berbagai aliran setelah masa Dinasti Song dan Yuan, seperti mazhab Chan, Lü, Tiantai
dan Huayan, tidak ada satu pun yang tidak mengombinasikan metode nianfo (melafal nama
Buddha) dalam praktik mereka. Oleh karena itu, merupakan hal yang sudah diketahui umum
bahwa mazhab Sukhavati baik di lingkungan monastik maupun umat awam menduduki posisi
tertinggi. Pada awal Dinasti Qing, Xing’an Shixian (省庵實賢; 1686-1734 M) yang berasal
dari Changshu (常熟) adalah biksu yang awalnya mempelajari mazhab Lü dan Tiantai,
belakangan menyandarkan keyakinannya pada Sukhavati. Beliau membagi waktu sebanyak
20 bagian dalam satu hari, di mana 10 bagian waktunya digunakan untuk praktik nianfo, 9
bagian waktu untuk meditasi visualisasi, dan 1 bagian waktu untuk ritual pertobatan. Dari
karya tulis beliau, Jingye Tang Guiyue (淨業堂歸约) menunjukkan bahwa beliau adalah
seorang praktisi nianfo yang gigih di sepanjang hidupnya, karena itu beliau hanya hidup

220
sampai usia 49 tahun, dan dinobatkan sebagai Patriark ke-9 dari mazhab Sukhavati. Chewu
Jixing (徹悟際醒) juga adalah praktisi khusus Sukhavati yang lantaran mengatakan, “Tokoh
besar mazhab Chan seperti Yongming Yanshou bahkan bersandar pada Sukhavati, apalagi
dengan orang yang hidup di masa akhir Dharma, mereka terlebih lagi harus lebih meneruskan
dan meneladaninya.” Kecenderungan yang menitikberatkan pada praktik nianfo ini
disebabkan oleh Kaisar Yongzheng turut menyerap pandangan Biksu Yunqi Zhuhong, jadi
dapat diketahui bahwa tidak lama setelah teori ajaran ini dipahami dan didukung dari
kalangan atas, maka tren ini pun tersebar ke seluruh negeri. Buddhisme kalangan umat awam
sebagai salah satu karakteristik Buddhisme masa Dinasti Qing juga sangat terpengaruh oleh
hal ini. Selain itu, meskipun mazhab Lü dan Tiantai juga berkembang populer, namun mereka
mendapat tekanan dari popularitasnya ajaran sinkretisasi Chan dan Sukhavati.

5. Buddhisme Umat Awam

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di bawah kebijakan pemerintah yang


memaksakan penerapan sistem pendidikan bagi warganya dengan bertopang pada otoritas
ajaran Konfusianisme, mengakibatkan komunitas Sangha yang bersifat ortodoks tidak
mampu mengejar perkembangan sosial. Sedangkan rendahnya kualitas internal komunitas
Sangha memperlihatkan kondisi yang kolaps secara menyeluruh. Namun ada satu keunikan
besar dalam Buddhisme Tiongkok masa belakangan ini, yaitu Buddhisme yang dipahami dan
diserap oleh kaum cerdik cendikia sehingga memunculkan bentuk Buddhisme Umat Awam
yang populer. Di antara bentuk Buddhisme dari praktisi Buddhis yang khusus menyepi dan
menjauhkan diri dari kehidupan sosial, dan masyarakat kelas bawah yang menjadi penganut
kepercayaan tingkat rendah yang identik dengan sistem kepercayaan tradisional, maka
terdapat kaum terpelajar yang mengenyam pendidikan Konfusianisme dengan status sebagai
umat awam Buddhis, dan tak diragukan lagi bahwa merekalah yang menjadi pelestari
Buddhisme masa belakangan ini. Pada masa awal Dinasti Qing, tokoh yang mewakili umat
awam Buddhis di antaranya adalah penganut dari mazhab Chan, Song Shilong (宋世隆) dan
Bi Qijiang (畢奇江), kemudian tokoh dari mazhab Sukhavati, yaitu Zhou Anshi (周安士)
alias Mengyan (夢顔), Peng Jiqing (彭際清) alias Shaoshen (紹升), di mana mereka semua
adalah tokoh agama yang unggul dalam moralitas dan pengetahuan. Meski merupakan
sesepuh pada zamannya, namun masih belum cukup mengangkat kondisi Buddhisme.
221
Terutama adalah Peng Jiqing (彭際清; 1740-1796 M), karena kekaguman beliau pada jejak
langkah Gao Zhongxian (高忠憲) dan Liu Yimin (劉遺民) yang melatih diri di Wihara
Donglin (東林寺) di Gunung Lu (廬山), maka beliau pun memberi namanya sendiri dengan
julukan ‘Erlin Ju Zhuren (二林居主人—Tuan Dua Upasaka dari Donglin). Beliau adalah
seorang praktisi nianfo yang tulus. Melalui karya-karya tulis beliau, yaitu Jushi Zhuan (居士
傳—Biografi Umat Awam), Shan Nuren Zhuan (善女人傳—Biografi Wanita Bajik), Jingtu
Shengxian Lu (淨土聖賢錄—Catatan Biografi Tokoh Suci Sukhavati), Yixingju Ji (一行居集
—Antologi Yixingju), Huayan Nianfo Sanmei Lun (華嚴念佛三昧論—Risalah Samadhi
Nianfo Avatamsaka), maka dapat mengetahui esensi Buddhisme Umat Awam yang
sesungguhnya dari beliau. Beliau pernah mendalami doktrin Avatamsaka dari Li Tongxuan
(李通玄), ajaran Chan dari Yongming Yanshou (永明延壽), lalu memasuki ajaran Sukhavati
dari Yunqi Zhuhong (雲栖袾宏) dan Hanshan Deqing (憨山德清) dengan menghasilkan
karya kitab Jingtu Sanjing Xinlun (淨土三經新論—Risalah Baru Tiga Kitab Sutra Sukhavati)
yang menuntun untuk bersandar pada praktik melafal nama Buddha. Dari sini dapat terlihat
esensi dari Buddhisme Umat Awam. Di samping itu, masih banyak lagi umat awam seperti
Zheng Xuechuan (鄭學川), Gong Zizhen (龔自珍), Wei Yuan (魏源), Tan Sitong (譚嗣同),
di mana kebanyakan dari mereka merupakan tokoh cerdik cendikia dari Tiongkok selatan,
dan tampaknya tidak sedikit tokoh yang berasal dari aliran Gongyangxue ( 公羊學派—
Sebuah aliran Konfusianisme yang mengkaji kitab Gongyang Zhuan). Mungkin saja para
cendikiawan bangsa Han menentang pemerintah Manchu didasari oleh tuntutan mereka agar
ada suatu instrospeksi diri dalam pemikiran Konfusianisme.

6. Kerajaan Taiping dan Keruntuhan Buddhisme Di Akhir Dinasti Qing

Kerajaan Taiping (太平天國) didirikan oleh Hong Xiuquan (洪秀全). Ada yang
mengatakan beliau adalah pelopor revolusi nasional Tiongkok. Beliau juga disebut sebagai
“sang pemberontak berambut panjang”. Sebagai penganut agama Kristen, beliau menerapkan
kebijakan penghancuran total terhadap patung-patung di wihara dan kuil. Oleh karena itu,
beliau melakukan penumpasan secara desktruktif terhadap berbagai wilayah penting yang
memiliki situs Buddhisme yang indah, yaitu Hangzhou (杭州), Suzhou (蘇州), Nanjing (南

222
京), serta wilayah Guangdong (廣東), Guangxi (廣西), Hunan (湖南), Hubei (湖北), Jiangsu
(江蘇), Zhejiang (浙江), Fujian (福建), Yunnan (雲南), dan Guizhou (貴州). Setiap wihara
di wilayah yang dilewati oleh pasukannya akan dihancurkan dan dibakar. Patung dan kitab
suci Buddha juga dimusnahkan tanpa sisa. Buddhisme Tiongkok yang sudah kehilangan
esensi spiritual, ditambah lagi dengan peristiwa ini, maka kondisi eksternal Buddhisme pun
mencapai kehancurannya secara total. Setelah pasukan Xiang yang dipimpin oleh Zeng
Guofan (曾國藩) berhasil menumpas pemberontakan Taiping, maka di Nanjing pun dibangun
Wihara Bilu (毗盧寺) untuk ‘menenangkan’ arwah para pejuang yang telah berkorban dalam
peristiwa ini, sekaligus memulihkan Wihara Jinshan ( 金 山 寺 ) di Zhenjiang ( 鎮 江 ).
Sehubungan dengan upaya yang dilakukan oleh para umat dan anggota Sangha, maka banyak
wihara yang berhasil dibangun kembali. Namun sayangnya, dengan berfokus pada pemulihan
wihara, malah mengabaikan aspek spiritual dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.

7. Yang Renshan

Yang Renshan (楊仁山; 1837-1911 M) yang hidup pada pada akhir Dinasti Qing
bertepatan dengan masa-masa kemunduran Buddhisme. Nama lain beliau adalah Wenhui (文
會 ), merupakan penduduk asal Shidai, Provinsi Anhui ( 安徽 石埭 ). Masa muda beliau
tumbuh dalam aktivitas belajar. Saat peristiwa pemberontakan Taiping, beliau pernah
mengikuti berbagai kegiatan dan pelatihan tentara relawan. Tatkala berusia 28 tahun, saat
beliau mengurusi perkabungan sang ayah, hingga beliau jatuh sakit di kampung halamannya.
Secara kebetulan beliau memperoleh kitab Mahayana Sraddhotpada Sastra (Risalah
Kebangkitan Keyakinan Pada Mahayana), dan setelah membacanya, muncul suatu
pemahaman pencerahan inspiratif. Selanjutnya setelah beliau membaca kitab Vajracchedika
Prajnaparamita Sutra (Sutra Intan) dan Shurangama Sutra, beliau pun menjadi penganut
Buddhisme. Setelah melewati tahapan pembelajaran tentang prinsip hanya-kesadaran-semata
(Vijnaptimatrata) dalam Mahayana Sraddhotpada Sastra, Saddharmapundarika Sutra,dan
Avatamsaka Sutra, beliau pada akhirya menyandarkan diri pada metode ajaran Sukhavati.
Ketika berada di London dalam rangka dinas kerja, beliau berkenalan dengan [cendikiawan
Buddhis], Profesor Nanjo Bunyu dari Jepang. Dalam kesempatan ini beliau berencana
membawa kembali naskah-naskah Buddhis yang sudah hilang di Tiongkok namun masih
eksis di Jepang untuk dicetak ulang dan diedarkan. Alhasil, pada tahun ke-23 dari era Kaisar

223
Guangxu (1897 M), didirikan pusat percetakan Sutra di Jinling. Di bawah kerja keras beliau
telah menerbitkan lebih dari 2.000 bab skriptur Buddhis, di mana hasil ini telah menambal
kembali kitab-kitab Buddhis Tiongkok yang pernah dimusnahkan sebelumnya oleh kaum
pemberontak Taiping. Hal ini memberi banyak manfaat bagi kesempatan untuk
menghidupkan kembali Buddhisme Tiongkok. Dari penerbitan kitab-kitab tersebut juga dapat
diketahui kondisi lingkungan Buddhisme yang sesungguhnya pada masa akhir Dinasti Qing.
Semua kumpulan karya tulis beliau dikompilasi dalam kitab berjudul Yang Renshan Jushi
Yizhu (楊仁山居士遺著—Peninggalan Karya Tulis Upasaka Yang Renshan) dengan total 10
jilid.

8. Penerbitan Tripitaka

Bagi pemerintah Dinasti Qing, dalam rangka penerapan kebijakan menggunakan


sistem budaya bangsa Han, pada era Kaisar Kangxi telah diadakan pengukiran naskah
Tripitaka untuk melanjutkan Tripitaka edisi Wanli dari Dinasti Ming, yaitu melengkapi
kekurangan pengukiran pada Triptaka edisi Xuzang Jing (續藏經) atau Wan Xuzang Jing (卍
續藏經— Jp. Zozuzokyo). Selanjutnya di antara era Kaisar Yongzheng dan Qianglong (乾
隆), diadakan pengukiran Tripitaka dari bahasa Han edisi kerajaan. Pada bulan 2 tahun ke-13
dari era Kaisar Qianlong (1748 M), kaisar menuliskan kata pengantarnya dengan judul
“Pengantar Penerbitan Ulang Tripitaka yang Ditetapkan Kaisar”. Keseluruhan Tripitaka
baru selesai pada bulan ke-12 di tahun yang sama dengan jumlah total 7.838 bab. Berhubung
satu bagian permukaan sisi penjilidan kitab ini terdapat simbol naga yang ditetapkan oleh
kaisar, maka ia disebut Long Zang (龍藏—Tripitaka Naga). Di Perpustakaan Ryukoku di
Kyoto ada menyimpan satu set lengkap Tripitaka Naga yang merupakan pemberian Ibusuri
Cixi (慈禧太后) kepada wihara Nishi Hongan-ji (西本願寺). Bagian daftar isinya telah
diduplikasi dengann stensil. Selain itu, ada Tripitaka Tibet edisi Yongle yang diterbitkan atas
perintah Kaisar Ming Chengzu (明成祖) dan diterbitkan ulang pada masa Kaisar Ming
Shenzong dengan nama Tripitaka Tibet edisi Wanli, kemudian Kaisar Kangxi menggunakan
edisi Wanli untuk diterbitkan kembali lagi. Selanjutnya, Kaisar Qianlong memasukkan
naskah tambahan untuk melengkapi kekurangannya. Namun kitab ini hanya terdiri dari divisi
Kangyur (Sutra dan Vinaya). Jadi hingga era Kaisar Yongzheng baru dimasukkan divisi

224
Tengyur (Sastra/Komentar), dan sampai di sini Tripitaka Tibet baru menjadi komplit. Di
samping itu, atas perencanaan Kaisar Qianlong, Tripitaka edisi bahasa Han diterjemahkan ke
bahasa Manchu, dan diselesaikan pada tahun ke-55 dari era Qianlong. Semua ini adalah
produk kebijakan budaya dari pemerintah Dinasti Qing sebagai salah satu proses dari
kebijakan kekuasaan mereka.

Di kalangan masyarakat terdapat Tripitaka jilid kompresi dari Jepang yang dicetak
ulang di Shanghai dengan nama Pinjiazang (頻伽藏). Ini juga merupakan Tripitaka Tiongkok
pertama yang dicetak dengan menggunakan huruf berbahan dasar logam. Bagi lingkungan
Buddhisme, penerbitan Tripitaka Pinjiazang memiliki makna sangat penting yang melebihi
Tripitaka edisi kerajaan.

225
BAB XVIII Buddhisme Era Republik Tiongkok

Setelah melewati peristiwa Perang Candu dan Pemberontakan Taiping, sikap


nasionalisme bermunculan di berbagai daerah di Tiongkok. Sehubungan dengan sistem
kapitalisme luar negeri yang terus menginvasi perekonomian dan daratan wilayah Tiongkok,
beserta sistem pemerintahan yang bobrok selama beberapa generasi sebagai penyebabnya,
maka hal ini membuat fondasi politik Dinasti Qing yang hampir berusia 300 tahun menjadi
goyah. Terlebih lagi setelah peristiwa Perang Sino-Jepang Pertama (甲午戰爭) dan Kudeta
1898 (戊戌政變), maka dalam waktu singkat pun mulai terlihat kesempatan mereformasi
sistem pemerintahan. Lagi, karena kekuasaan otoriter dari Ibusuri Cixi dan kebangkitan
bangsa Han, maka berakhir sudah kekuasaan dari kekaisaran Manchu. Hal ini berawal dari
munculnya pemberontakan yang terjadi pada tahun ke-3 dari era Xuantong (宣統; 1911 M)
masa Kaisar Puyi (溥儀) yang disebut Revolusi Xinhai (辛亥革命), sehingga berdirilah
Republik Tiongkok yang didominasi oleh bangsa Han.

1. Pembangunan Sekolah dari Aset Tempat Ibadah

Sehubungan dengan menurunnya kualitas Sangha, dan kondisi Buddhisme yang


kehilangan daya hidup baru yang bukan bersifat sosial, tentu juga tiada siapa pun yang
mampu mengarahkan Buddhisme ke jalur perkembangan baru. Lantas bagi sebagian
cendikiawan yang sedang berfokus pada pendirian sistem pendidikan baru demi
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, maka tergerak pikiran mereka untuk
memanfaatkan lokasi yang telah berubah fungsi menjadi tempat kunjungan wisata atau kuil
dan wihara yang telah menjadi tempat ‘berleha-leha’ anggota Sangha. Pada tahun ke-14 dari
era Kaisar Guangxu (光緒; 1898 M),Gubernur Jenderal wilayah Huguang (湖廣), Zhang
Zhidong (張之洞), mengemukakan sistem pendidikan lokal sebagai prinsip fundamental dan
pendidikan barat sebagai aplikasi praktis. Untuk dapat segera menerapkan sistem pendidikan
baru demi menyelamatkan keterpurukan di saat itu, maka beliau mengajukan usulan kepada

226
kaisar dalam buku hasil karya beliau, Quanxue Pian (勸學篇—Bagian Nasihat Pembelajaran)
sebanyak 2 bab, untuk memanfaatkan aset tanah dan bangunan wihara dan kuil. Hingga masa
akhir Dinasti Qing dan awal Republik Tiongkok, tren pelaksanaan pembangunan pendidikan
sekolah yang memanfaatkan aset tempat ibadah pun menggemparkan seluruh lingkungan
Buddhis Tiongkok. Pada saat bersamaan, kaum borjuis dan mafia daerah mencuri
kesempatan dalam situasi keterpurukan ini dengan terang-terangan mencaplok aset tempat
ibadah. Meskipun terdapat Reformasi Seratus Hari (百日維新) yang dipimpin langsung oleh
Kaisar Guangxu, namun karena mendapat tekanan dari kelompok konservatif dan Ibusuri
Cixi, sehingga pembangunan sekolah yang menggunakan aset tempat ibadah pada
selanjutnya masih tetap dilaksanakan. Pada awal tahun Republik Tiongkok, dalam kehidupan
masyarakat baru yang mengalami perubahan drastis karena berbagai revolusi di bidang
politik, ideologi dan sastra, bukan hanya ingin mengalihfungsikan wihara dan asetnya,
bahkan secara terbuka muncul suatu anggapan bahwa wihara dan anggota Sangha adalah
sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi di lingkungan masyarakat baru ini.

2. Pemberantasan Kepercayaan Takhayul dan Gerakan Anti Agama

Meskipun pada periode awal revolusi pernah ada tokoh Kang Youwei (康有爲) yang
memprakarsai gerakan menjadikan Konfusianisme sebagai ajaran negara, namun para tokoh
pemuda pemimpin revolusi semenjak itu kebanyakan memberantas semua bentuk budaya
lama sebagai langkah untuk mendorong modernisasi Tiongkok. Chen Duxiu ( 陳 獨 秀 ),
pendiri majalah Pemuda Baru (新青年) menolak ajaran Konfusianisme. Beliau sendiri juga
menolak Konfusianisme sebagai ajaran negara. Pada tanggal 4 Mei tahun ke-8 dari era
Republik (1919 M), langkah awal gerakan penolakan imperialisme dicetuskan di kota Beijing.
Peristiwa yang disebut sebagai Gerakan 4 Mei ini mengritik habis-habisan terhadap tiga
agama—Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme, dan berbagai bentuk kepercayaan
takhayul di masyarakat, beserta bentuk budaya klasik lainnya hingga ke titik klimaks. Tren
yang pada awalnya bertujuan sebagai gerakan pemberantasan kepercayaan takhayul pun
berubah menjadi gerakan anti agama. Dan seiring dengan hal ini, maka yang terjadi adalah
aksi pengrusakan langsung terhadap wihara dan kuil.

227
Setelah wafatnya Sun Yat-Sen (1925 M), Partai Kuomintang (Partai Nasionalis
Tiongkok) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek berhasil mempersatukan seluruh Tiongkok
(1928 M), lalu mengaplikasikan gerakan pencerahan baru di berbagai lapisan masyarakat. Di
bawah tuntunan ideologi Tiga Prinsip Rakyat (三民主義) diumumkan peraturan hukum yang
melarang rakyat menjadikan berbagai kepercayaan takhayul seperti praktik ramalan, astrologi,
dan perdukunan sebagai profesi, bahkan kegiatan keagamaan yang umum di kalangan
masyarakat, di wihara dan kuil pun dipandang sebagai kepercayaan takhayul yang ikut
diberantas. Oleh karena itu, kerap terdengar penghancuran patung-patung Buddhis, wihara-
wihara, dan kuil pelindung kota di berbagai daerah. Pada tahun 1930, pemerintah
mengeluarkan undang-undang pengawasan terhadap wihara dan kuil dengan menetapkan
bahwa rumah ibadah berdasarkan kapasitas aset yang dimiliki harus menyelenggarakan
pendidikan tingkat dasar, pengadaan perpustakaan, panti derma, pabrik untuk kaum miskin,
koperasi, dan sebagainya. Pembangunan sekolah dari aset tempat ibadah pada saat itu telah
terbentuk secara perlahan-lahan menjadi fakta yang bersifat terbuka. Guru besar Universitas
Pusat Nasional (國立中央大學), Tai Shuangqiu (邰爽秋) dalam acara Kongres Pendidikan
Nasional mengajukan proposal penyitaan aset wihara untuk digunakan sebagai dana
pendidikan juga mendapatkan persetujuan.

3. Pendidikan Monastik dan Pendirian Organisasi Buddhis

Sejak akhir Dinasti Qing, sehubungan dengan serangan tajam terhadap Buddhisme
baik dari sisi pemikiran maupun ekonomi, apakah tidak ada sedikitpun reaksi dari lingkup
Buddhisme? Tidak. Setelah Buddhisme Tiongkok terbangun dari tidurnya yang panjang,
untuk menghadapi perubahan ekstrim dari masyarakat, maka juga muncul tokoh biksu
Buddhis yang merencanakan reformasi.

Pada tahun 1912, Biksu Jing’an (敬安; 1851-1912 M) dari Wihara Tiangtong (天童寺)
di Zhejiang (浙江) mengumpulkan para anggota Sangha dari wilayah Jiangsu (江蘇) dan
Zhejiang yang memiliki cita-cita yang sama dengan beliau untuk mencetuskan gerakan
Buddhisme Baru dengan mendirikan Asosiasi Buddhis Tiongkok ( 中 國 佛 教 總 會 ) di
Shanghai, dan mengajukan permohonan kepada pemerintahan sementara untuk melindungi
aset wihara. Jing’an membawa draf resolusi yang dibuat oleh asosiasinya ke Beijing, namun

228
pada saat-saat penting dalam proses perundingan dengan pihak penentang, beliau meninggal
dalam situasi emosional. Pada masa kontemplsai diri, beliau pernah menyulutkan api ke jari
tangannya sebagai bentuk persembahan kepada Buddha, sehingga beliau memiliki nama
julukan Praktisi Asketis Berjari Delapan (八指頭陀). Pada tahun berikutnya, yaitu pada
bulan Mei 1913, Biiksu Daojie (道階) dan kawan-kawan dari Wihara Fayuan (法源寺) di
Beijing mendirikan Perkumpulan Buddhis Sentral ( 中 央 佛 教 公 會 ) dengan tujuan
mempersatukan seluruh wihara di Tiongkok. Sayangnya, karena Yuan Shikai ( 袁 世 凱 )
mengangkat diri sebagai kaisar, hingga tidak lama kemudian situasi politik kembali lagi
menjadi kacau, maka tujuan yang diharapkan pun tidak tercapai.

Dalam perencanaan gerakan persatuan wihara di seluruh negeri secara besar-besaran


seperti ini, bagi Buddhisme Tiongkok dapat dikatakan sebagai suatu langkah terobosan,
karena tidak sama seperti Jepang yang memiliki organisasi keagamaan, Buddhisme Tiongkok
punya tuntutan yang menjauhi kehidupan masyarakat. Tujuan perencanaan ini adalah sebagai
alat untuk mempertahankan diri dari perubahan gaya berpikir masyarakat yang sangat cepat
sejak akhir Dinasti Qing. Sehubungan dengan tidak bersatunya komunitas Buddhis, maka
dalam mewujudkan persatuan akbar ini, secara garis besar hingga tahun 1924, Federasi
Buddhis Tiongkok (中國佛教聯合會) yang didirikan pertama kali oleh Master Taixu (太虛)
dan kawan-kawan baru mulai menampakkan iklim baru. Pada bulan Juli di tahun tersebut,
Master Taixu menyelenggarakan forum Federasi Buddhis Dunia (世界佛教聯合會) yang
bertempat di Gunung Lu (廬山). Dari pihak Jepang juga mengirim utusan untuk menghadiri
pertemuan tersebut, yaitu Saeki Teiin dan Kimura Taiken. Untuk melakukan perlawanan
terhadap aksi pembangunan sekolah dari aset tempat ibadah dan pemberantasan kepercayaan
takhayul yang muncul di berbagai daerah sebagaimana yang disebut dengan gerakan
reformasi sosial, maka di setiap kabupaten dan provinsi didirikan cabang organisasi
Buddhisme untuk mengantisipasinya bersama. Pada tahun 1929, Asosiasi Buddhis Republik
Tiongkok (中國佛教會) menyelenggarakan kongres untuk pertama kalinya di kota Shanghai.
Tokoh-tokoh penting yang ditetapkan sebagai anggota asosiasi tersebut adalah Master
Yuanying (圓瑛), Taixu (太虛), Taibei (太悲), Dixian (諦閑), Yin’guang (印光), dan Wang
Yiting (王一亭). Lantas, kelompok Taixu dan kawan-kawannya yang reformis dan progresif
malah mendapat pertentangan dari kelompok Yuanying yang bersikap ortodoks. Tidak lama
kemudian, Taixu mengundurkan dari asosiasi tersebut, dan mendirikan Asosiasi Studi
Buddhis Tiongkok ( 中 國 佛 教 學 會 ) di Nanjing dengan mengedepankan reformasi dan

229
persatuan umat Buddha. Selanjutnya, untuk mendapatkan orang yang berbakat dalam
menjalani organisasi persatuan umat Buddha, dengan tujuan melakukan pembaharuan
terhadap sistem pendidikan anggota Sangha, dan sebagai introspeksi diri atas sikap anggota
Sangha yang tidak memiliki aturan yang jelas di masa lalu, maka didirikanlah Institut
Monastik Hangzhou (杭州僧學院), Institut Agama Buddha Minnan (閩南佛學院), dan
Institut Agama Buddha Mashan (馬山佛學院). Sedangkan Institut Agama Buddha Wuchang
(武昌佛學院) yang didirikan oleh Taixu menjadi model teladan bagi beberapa institusi
pendidikan monastik baru tersebut.

Sehubungan dengan berhasilnya misi besar pemerintahan republik dalam


mempersatukan seluruh Tiongkok, banyak aspek yang telah dicapainya. Setelah satu singa ini
bangkit dari tidurnya, ia pun menjadi negara terluas di Asia. Jepang, pada sisi lainnya,
menjadi salah satu dari 5 kekuatan di dunia. Demi meningkatkan kekuatan negaranya, ia
menginvasi Manchuria, dan mendirikan kekuasaan baru yang mengakibatkan hubungan
antara Jepang dan Tiongkok memasuki krisis perang. Dalam situasi yang menegangkan ini,
pada tahun 1936, di bawah pengarahan dari Partai Nasionalis Tiongkok pusat, Asosiasi
Buddhis Republik Tiongkok juga diberi izin menjalani kegiatan partai sehingga mengubah
fungsi organisasinya. Dalam masyarakat zaman dahulu sama sekali tidak memperkenankan
Buddhisme melibatkan diri di area politik. Pada saat itu, dua sisi yang saling berlawanan ini
menimbulkan polemik yang sangat besar. Terhadap masalah apakah anggota Sangha
memiliki hak pilih dalam politik dan pelatihan militer, bagi umat Buddha yang terbiasa
dengan hidup di hutan gunung dan memfokuskan diri pada kontemplasi meditasi dan nianfo,
itu merupakan hal tak pernah terimpikan sebelumnya. Sebagai salah satu bagian dari warga
republik Tiongkok, posisi anggota Sangha di dalam masyarakat malah dituntut untuk
berintrospeksi diri dengan sungguh-sungguh. Hal ini memberi efek rangsangan yang sangat
besar bagi proses modernisasi Buddhisme Tiongkok.

4. Master Taixu Sebagai Mentor Buddhis Tiongkok Modern

Setelah peristiwa Pemberontakan Taiping yang membuat Buddhisme Tiongkok


terpuruk, dalam menyambut tokoh di era baru, terdapat tokoh pemimpin seperti Jing’an,
Yuanying, Daojie, Yin’guang, dan terutama adalah Taixu sebagai pemimpin besar bagi
kebangkitan Buddhisme. Beliau berkelana ke mana-mana yang hampir meliputi seluruh

230
negeri untuk mengupayakan reformasi pendidikan monastik, sekaligus memperbaharui wajah
komunitas Buddhis Tiongkok di lingkup masyarakat baru.

Taixu (1889 – 1947 M) adalah penduduk asal Kabupaten Congde (崇德), Provinsi
Zhejiang (浙江). Beliau memasuki kehidupan monastik di Gunung Putuo (普陀山) di Ningbo
(寧波). Beliau pada awalnya karena mendapat pengaruh pemikiran baru dari Kang Youwei
(康有爲), Tan Sitong (譚嗣同), Sun Yat-Sen (孫逸仙—Sun Yixian), dan Zhang Binglin (章
炳麟), maka menyimpan cita-cita untuk mereformasi Buddhisme. Pada tahun 1915, untuk
pertama kalinya beliau menulis Zhengli Sengqie Zhidu Lun 整理僧 伽制度論 —Risalah
Penataan Sistem Peraturan Sangha) dengan harapan agar Buddhisme Tiongkok yang berada
dalam kondisi yang lengah dan sedang menghadapi situasi yang kritis dan sekarat dalam
jangka waktu lama dapat berubah dan mengembangkan fungsi besarnya untuk
menyelamatkan dunia. Sangha adalah simbol keteladanan bagi makhluk dewa dan manusia,
namun tuntutan perubahannya malah tertinggal di belakang perkembangan zaman. Untuk
menjadi landasan perubahan Sangha, maka harus memperbaiki sistem pendidikan monastik
yang sesuai dengan perkembangan zaman baru.

Dengan mengacu pada kerangka pemikiran yang dibangun oleh Taixu, beliau
mendirikan Pusat Studi Buddhisme Dunia (世界佛學苑) yang berpusat di Wihara Foguo (佛
國寺; belakangan menjadi Wihara Pilu (毗盧寺)) di Nanjing (南京), dan menempatkan
perpustakaannnya di Institut Agama Buddha Wuchang (武昌佛學院); kemudian mendirikan
Pusat Studi Buddhis Han dan Tibet (漢藏教理院) di Wihara Jinyun (縉雲寺) di Chongqing
(重慶); Pusat Ajaran Sukhavati (淨土苑) di Wihara Donglin (東林寺) di Gunung Lu (盧山);
Pusat Meditasi Chan (禪觀林) di Wihara Xuedou (雪竇寺) di Fenghua (奉化). Beliau
sungguh berupaya keras untuk mewujudkan pekerjaan besar ini, karena itu perpustakaan yang
beliau bangun di Institut Agama Buddha Wuchang terdapat koleksi berbagai versi Tripitaka
sebagai langkah awal pekerjaan tersebut, dan menyimpan sangat banyak skriptur Buddhis
sehingga menjadi satu-satunya perpustakaan Buddhis terlengkap di Tiongkok. Institut Agama
Buddha Wuchang yang didirikan oleh Taixu pada tahun 1922 ini merupakan hasil
pengumpulan dana dari para umat awam di tiga wilayah kabupaten di Wuchang. Murid-
murid Taixu, seperti Yingfan (英方), Tanxuan (談玄), Fazun (法尊), Fafang (法舫), Daxing
(大醒), Mochan (墨禪), Zhifeng (芝峰), Jichen (寄塵), dan Weifang (葦舫) juga merupakan

231
alumnus Institut Agama Buddha Wuchang. Sebagian dari tokoh berbakat ini hingga sekarang
masih menetap di Tiongkok.

Tatkala Buddhisme Tiongkok di bawah pimpinan Taixu sedang menuju ke arah


kebangkitan secara perlahan-lahan, dengan sangat tidak beruntung malah terjadi peristiwa
perang Tiongkok melawan invasi Jepang. Hasil jerih payah bertahun-tahun yang dilakukan
oleh Taixu pun hancur begitu saja oleh dentuman meriam. Taixu dan para anggota Sangha
penting lainnya bersama-sama mengungsi ke Chongqing dan berbagai wilayah lainnya.
Dengan demikian misi suci untuk memulihkan Buddhisme pun mengalami hambatan di
tengah perjalanannya. Setelah 8 tahun perang melawan pendudukan Jepang yang berakhir
dengan kemenangan Tiongkok, Taixu lalu kembali ke Nanjing, dan berkunjung ke Shanghai
dan Ningbo. Namun jatuh sakit dan mendengar kabar bahwa tentara Komunis bergerak ke
arah selatan, maka pada bulan Maret 1947 beliau wafat di Wihara Yufo (玉佛寺) di Shanghai.
Karya tulis beliau telah dihimpun sebanyak 64 jilid yang dikompilasi dengan judul Taixu
Dashi Quanshu (太虛大師全書—Kitab Mahaguru Taixu) dan telah dipublikasikan. Majalah
Haichao Yin ( 海 潮 音 ) yang menjadi pusat aktivitas Taixu dapat merefleksikan masa
kegemilangan beliau, namun selama hidupnya yang belum sempat menyaksikan kejayaan
Buddhisme Tiongkok merupakan hal yang cukup menyakitkan.

5. Penerbitan Majalah Buddhis

Majalah bulanan Haichao Yin yang diterbitkan oleh Institut Agama Buddha Wuchang,
sebagaimana yang digiatkan oleh Taixu, menjadi majalah Buddhis yang representatif dalam
lingkungan Buddhisme Tiongkok, di mana pertama kali diterbitkan pada bulan Januari 1920.
Di kemudian hari karena dalam situasi perang, maka lokasi peredarannya kerap berpindah
tempat. Namun kedudukannya tetap bertahan sebagai majalah Buddhis yang terkemuka,
bahkan telah diterbitkan buku Haichao Yin Wenku (海潮音文庫—Kumpulan Artikel Majalah
Haichao Yin) yang layak untuk dibaca. Dari sejak awal, yaitu tahun 1912 telah ada
penerbitan majalah Buddhist Miscellany (佛學叢報), dan setelah itu juga beredar berbagai
majalah Buddhis lainnya. Sedangkan majalah Haichao Yin mengemban misi besar dalam
gerakan kebangkitan Buddhisme Tiongkok. Selain itu, sebagai tambahan untuk diperhatikan
adalah adanya majalah Weimiao Sheng (微妙聲—Suara Menakjubkan) dari Beijing, Fojiao

232
Banyue Kan (佛教半月刊—Majalah Dwimingguan Buddhisme) dan Shijie Fojiao Jushi Lin
Kan (世界佛教居士林刊—Majalah Taman Upasaka Buddhisme Dunia) dari Shanghai,
Jingtu Zong Yuekan (淨土宗月刊—Majalah Bulanan Mazhab Sukhavati) dari Wuchang,
Xiandai Sengqie (現代僧伽—Sangha Masa Kini) dari Xiamen, Renhai Deng (人海燈—
Lentera Samudera Manusia) dari Chaozhou (Tiociu), dan ada lagi Neixue (内學—Buddhisme)
dari Pusat Studi Buddhisme Tiongkok (支那内學院) di Nanjing. Di samping itu, pada tahun
1932, di Shanghai beredar sejenis media cetak yang dinamakan Fojiao Ribao (佛教日報—
Harian Buddhisme). Ini merupakan sejenis koran yang diterbitkan setiap hari.

Perederan kitab-kitab Buddhis dari pusat percetakan Sutra di Jinling milik Yang
Renshan (楊仁山) dan pusat percetakan Sutra di Yangzhou juga terus berkembang dengan
semarak. Aktivitas penerbitan Toko Buku Buddhis Shanghai dalam peredaran buku-buku ke
masyarakat juga memberi kontribusi yang sangat besar. Ada lagi, sebelumnya telah
diperkenalkan tentang penemuan Tripitaka edisi Qisha ( 磧砂 藏 ) dan Tripitaka Ukiran
Dinasti Jin (金刻大藏經), pada masa ini juga dicetak untuk diedarkan oleh para cendikiawan
dari Shanghai, yaitu Upasaka Wang Yiting (王一亭), Ye Gongchuo (葉恭綽) dan kawan-
kawan. Kitab ini tidak hanya diedarkan di Tiongkok, tetapi juga diedarkan ke Jepang dan
negara lainnya, sehingga mempersembahkan data informasi baru bagi lingkungan akademis.

6. Kondisi Buddhisme Tiongkok Masa Kini

Pada tahun 1932, Master Yuanying (圓瑛) yang menjabat sebagai anggota komite
tetap Asosiasi Buddhis Tiongkok mengajukan laporan gabungan tentang kondisi Buddhisme
Tiongkok, ritual Buddhis, dan kebiasaan anggota Sangha kepada pemerintahan nasionalis.
Dari laporan tersebut memperlihatkan bahwa dari sisi aliran Buddhisme Tiongkok terdapat 8
aliran, yaitu mazhab Lü (律—Vinaya), Chan (禪), Xian’shou (賢首; atau Huayan), Tiantai
(天台), Ci’en (慈恩; atau Faxiang), Doushuai (兜率—Tusita), dan Yujia (瑜伽—Yogacara).
Sekarang ini aliran yang berkembang populer adalah mazhab Chan yang mempraktikkan
meditasi dan investigasi Chan, mazhab ceramah yang menjelaskan aspek ajaran Buddha
(Xian’shou, Tiantai, Ci’en dan Dou’shuai), mazhab Lü yang menjalani peraturan Vinaya
dengan ketat, mazhab Sukhavati (Jingtu) yang mempraktikkan nianfo, dan mazhab Tantra

233
yang menyelaraskan Tiga Aspek Tantra (Triniguhyani). Tentu saja kelima aliran ini tidak
terdapat perbedaan yang kontras secara sektarian. Jelas karena mereka mengacu pada
peraturan disiplin Baizang dalam rutinitas sehari-hari dan menjadikan Buddhisme yang
menintegrasikan praktik Chan dan Sukhavati sebagai jalan utamanya. Hal lain yang juga
perlu diperhatikan adalah bahwa Tantrayana di masa Republik Tiongkok berkembang
populer di kalangan cendikiawan. Kepercayaan yang dianut oleh rakyat pada umumnya telah
beralih dari keyakinan yang murni pada Buddhisme menjadi sinkretisme antara
Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme yang diekspresikan dalam upacara ritual Shuilu dan
berbagai upacara yang mengutamakan praktik pertobatan, yaitu bentuk kepercayaan yang
biasa disebut ‘ada permohonan niscaya akan terkabulkan” dengan harapan memperoleh
sesuatu yang membawa manfaat dalam kehidupan ini. Baik keyakinan pada Buddha
Amitabha, Avalokitesvara, maupun Maitreya, dari awal telah memiliki perbedaan yang
kontras dengan karakteristik Buddhisme India. Sungguh banyak contoh bentuk pemahaman
yang tidak mengacu pada perspektif Buddhisme India. Wihara dan masyarakat telah
dipersatukan melalui berbagai hari perayaan, seperti hari kelahiran Bodhisatwa Maitreya
yang jatuh pada tanggal 1 bulan 1 penanggalan Imlek, hari kelahiran Buddha Dipankara pada
tanggal 6 bulan 1, hari kelahiran Avalokitesvara pada tanggal 19 bulan 2, hari kelahiran
Buddha Amitabha pada tanggal 17 bulan 11. Dan ini merupakan bentuk Buddhisme
Tiongkok yang hanya dipahami dan diterima oleh bangsa Tiongkok. Masih belum terdapat
tokoh yang dapat diperkenalkan secara khusus dari kalangan anggota Sangha yang memiliki
pencapaian yang unggul dari sisi doktrin ajaran. Meskipun ada sebagian umat perumah
tangga di kalangan cendikiawan yang mencari pemahaman Buddhisme yang benar, dan pada
saat yang sama juga terdapat orang yang menjalani hidup sesuai dengan Dharma dan Vinaya,
namun karena kehilangan momentum yang tepat, maka tidak ada kontribusi yang berarti.
Kendati demikian, kalangan masyarakat di Taiwan dan Hongkong, serta masyarakat
Tiongkok perantauan di berbagai wilayah seperti Malaysia, Singapura, dan sebagainya, masih
menganut Buddhisme Tiongkok dengan cukup populer. Terutama di Taiwan terdapat
percetakan Tripitaka edisi Taisho dan Zokuzokyo milik Jepang, serta juga ada penyusunan
Tripitaka Tionghoa ( 中 華 大 藏 經 ). Tatkala Buddhisme Tiongkok sedang mengalami
kemunduran di daratan Tiongkok, kini wilayah Taiwan yang menjadi satu-satunya jalan
hidup juga sangat energik dalam tugas menyebarluaskan ajaran Buddha.

234
Kronologi Sejarah Buddhisme Tiongkok

566-486 SM :
Tahun-tahun kehidupan Buddha Sakyamuni di India (Menurut perhitungan
‘Pemberian Tanda Titik Oleh Para Suciwan’)

466-386 SM :
Tahun-tahun kehidupan Buddha Sakyamuni di India (Menurut pandangan Ui Hakuju)

274-235 SM :
Masa Kaisar Asoka dari Dinasti Maurya mengutus Duta Dharma ke berbagai negara
untuk menyebarkan Buddhisme.

139-126 SM :
Kaisar Han Wudi (漢武帝) mengutus Zhang Qian (張騫) ke wilayah barat (Asia
Tengah), sehingga membuka jalur perhubungan antara barat dan timur (Tiongkok).

2 SM :
(Tahun pertama dari era Yuanshou (元壽) masa Dinasti Han-Awal)
Yi Cun (伊存), seorang utusan raja dari Kerajaan Yuezhi, mengajarkan kitab Futu
Jing (浮屠經—Sutra Buddha) secara lisan kepada seorang terpelajar bernama Jing
Lu (景盧).

65 M :
(Tahun ke-8 dari era Yongping (永平) masa Dinasti Han-Belakangan)
Di saat ini, Chu Wangying (楚王英) menjadi penganut Buddhisme.

67 M :
(Tahun ke-10 dari era Yongping (永平) masa Dinasti Han-Belakangan)

235
Berkat pencarian Dharma oleh Kaisar Han Mingdi (漢明帝), Buddhisme masuk ke
Tiongkok.

140-170 M :
Kebangkitan Raja Kanishka dari Dinasti Kushan di India dan Asia Tengah membawa
kejayaan pada Buddhisme, sehingga banyak bhiksu dari Asia Tengah berkunjung ke
Tiongkok, dan Buddhisme pun berangsur-angsur menjadi populer.

147 M :
(Tahun pertama dari era Jianhe (建和) masa Dinasti Han-Belakangan)
An Shigao (安世高) dari Kerajaan Anxi (Persia) tiba di kota Luoyang.

150 M :
(Tahun pertama dari era Heping (和平) masa Dinasti Han-Belakangan)
Bhiksu Lokakṣema dari Kerajaan Yuezhi tiba di Luoyang.

150-250 M :
Nagarjuna lahir di India. Beliau mencanangkan pengajaran tentang doktrin realitas
sejati.

170-270 M :
Aryadeva lahir di India.

247 M :
(Tahun ke-10 dari era Chiniao (赤鳥) masa Dinasti Wu (吳))
Kang Senghui (康僧會;?-280 M) asal Kangju (Asia Tengah) tiba di Jianye melalui
jalur laut.

250 M :
(Tahun ke-2 era Jiaping (嘉平) masa Dinasti Wei (魏))
Dharmakala asal India Tengah tiba di Luoyang.

260 M :

236
(Tahun ke-5 era Ganlu (甘露) masa Dinasti Wei)
Zhu Shixing (朱士行) berangkat ke Khotan, Asia Tengah, untuk mengambil kitab
suci Buddha.

265 M :
(Tahun pertama dari era Taishi (泰始) masa Dinasti Jin (晉))
Dharmaraksa (?-308 M) tiba di Chang’an, dan menerjemahkan Sutra-sutra Mahayana.

310 M :
(Tahun ke-4 dari era Yongjia (永嘉) masa Dinasti Jin)
Buddhacinga (232-348 M) asal Asia Tengah tiba di Luoyang.

310-390 M :
Asanga lahir di India. Beliau mencanangkan pengajaran tentang doktrin hukum sebab
musabab yang saling bergantungan.

320-400 M :
Vasubandhu lahir di India.

323-325 M :
(Sekitar era Taining (太寧) masa Dinasti Jin-Timur)
Negara Jin-Timur mengizinkan warga etnis Han memasuki kehidupan monastik.

335 M :
(Tahun pertama dari era Jianwu (建武) masa Dinasti Zhao-Belakangan)
Shi Hu ( 石虎 ) mengizinkan warga etnis Han di negara Zhao-Belakangan untuk
memasuki kehidupan monastik.

340 M :
(Tahun ke-6 dari era Xiankang (咸康) masa Dinasti Jin-Timur)
Negara Jin-Iimur muncul persoalan tentang apakah bhiksu harus memberi hormat
kepada raja.

237
351 M :
(Tahun pertama dari era Huangshi (皇始) masa Dinasti Qin-Awal)
Bhiksu Senglang (僧朗), murid Buddhacinga, pergi ke Gunung Tai (泰山).

366 M :
(Tahun ke-2 dari era Jianyuan (建元) masa Dinasti Qin-Awal)
Bhiksu Lezun (樂僔) membuka gua batu di Gunung Mingsha (鳴沙山), Dunhuang
(敦煌).

385 M :
(Tahun ke-21 dari era Jianyuan masa Dinasti Qin-Awal)
Bhiksu Dao’an (道安) wafat di Chang’an dalam usia 72 tahun.

398 M :
(Tahun pertama dari era Tianxing (天興) masa Dinasti Wei-Utara)
Wilayah Daijun (代郡) di negara Wei-Utara dibangun pagoda Buddha bertingkat 5.

401-413 M :
(Tahun ke-3 hingga ke-15 dari era Hongshi (弘始) masa Dinasti Qin-Belakangan)
Kumarajiva tiba di kota Chang’an untuk menerjemahkan Sutra-sutra Mahayana dan
kitab komentar. Beliau membawa doktrin tentang realitas sejati.

402 M :
(Tahun pertama dari era Yuanxing (元興) masa Dinasti Jin-Timur)
Huiyuan (慧遠) mendirikann komunitas Teratai Putih untuk mempraktikkan nianfo
(melafal nama Buddha).

408-429 M :
(Tahun ke-10 dari era Hongshi masa Dinasti Qin-Belakangan hingga tahun ke-9 dari
era Yuanjia (元嘉) masa Dinasti Song)

238
Buddhabhadra asal India Utara menetap di Chang’an dan Jianye untuk
menerjemahkan kitab-kitab Sutra Mahayana, di antaranya adalah Parinirvana Sutra
(泥洹經).

414 M :
(Tahun ke-10 dari era Yixi (義熙) masa Dinasti Jin-Timur)
Faxian (法顯) melakukan perjalan ke India selama 15 tahun, kemudian menulis kitab
Liyou Tianzhu Jizhuan (歷游天竺記傳—Catatan Kisah Perjalanan Ke India).

435-468 M :
(Tahun ke-12 dari era Yuanjia hingga tahun ke-4 dari era Qinshi (秦始) masa Dinasti
Song)
Gunabhadra asal India Tengah tiba di Luoyang melalui jalur laut. Beliau
menerjemahkan berbagai kitab, di antaranya adalah Śrīmālādevī-siṃha-nāda-sūtra.

444-446 M :
(Tahun ke-5 s/d 7 dari era Taiping Zhenjun (太平真君) masa Dinasti Wei-Utara)
Kaisar Tai Wudi ( 太 武 帝 ) dari Dinasti Wei-Utara membasmi Buddhisme. Ini
merupakan bencana Dharma pertama dari 4 peristiwa bencana Dharma‘Tiga Kaisar
Berinisial Wu dan Satu Kaisar Berinisial Zong’.

454 M :
(Tahun pertama dari era Xingguang (興光) masa Dinasti Wei-Utara)
Seiring dengan pemulihan Buddhisme di masa Dinasti Wei Utara, ketua Sangha,
Bhiksu Tan’yao ( 曇 曜 )mengadakan proyek pemahatan 5 gua batu Buddhis di
Yun’gang (云岡)

467 M :
(Tahun pertama dari era Huangxing (皇興) masa Dinasti Wei-Utara)
Di Wihara Yongning (永寧寺) yang terletak di kota Pingcheng, dibangun pagoda
Buddha 7 tingkat.

239
476 M :
(Tahun pertama dari era Yongming (永明) masa Dinasti Wei-Utara)
Di kota Liangzhou sebanyak 300 keluarga militer dijadikan sebagai anggota Lembaga
Sangha (僧紙戶).

493 M :
(Tahun ke-7 dari era Dahe (大和) masa Dinasti Wei-Utara)
Ditetapkan peraturan Sangha sebanyak 47 pasal, dan pemindahan ibukota ke Luoyang.
Tidak lama kemudian diadakan proyek pemahatan gua batu Longmen (龍門石窟).

504-549 M :
(Tahun ke-3 dari era Tianjian (天監) ke depan, masa Dinasti Liang)
Kaisar Liang Wudi (梁武帝) mulai menjalani misi besar pengabdian pada Buddhisme.

508 M :
(Tahun pertama dari era Yongping (永平) masa Dinasti Wei-Utara)
Bodhiruci asal India Utara tiba di Luoyang, dan menerjemahkan berbagai kitab di
antaranya adalah risalah Tanah murni Sukhavati dan Daśabhūmikasūtra-śāstra karya
Vasubandhu dan Asanga.

516 M :
(Tahun pertama dari era Xiping (熙平) masa Dinasti Wei-Utara)
Wihara Yongning (永寧寺) di kota Luoyang dibangun stupa 9 tingkat.

517 M :
(Tahun ke-16 dari era Tianjian masa Dinasti Liang)
Guru Vinaya, Bhiksu Sengyou, menyelesaikan kitab Chu Sanzang Jiji (出三藏記集
— Kumpulan Teks Tripitaka).

518 M :
(Tahun pertama dari era Shengui (神龜) masa Dinasti Wei-Utara)
Semua distrik di negara Wei-Utara dibangun stupa Buddha 5 tingkat.

240
519 M :
(Tahun ke-18 dari era Tianjian masa Dinasti Liang)
Huijiao (慧皎) menyelesaikan kitab Gaoseng Zhuan (高僧傳—Riwayat Bhiksu
Agung)

521 M :
(Tahun ke-2 dari era Zhengguang (正光) masa Dinasti Wei-Utara)
Fayun (法雲) dan Huisheng (惠生) membawa pulang kitab suci Buddha ke Luoyang.

530-561 M :
Dharmapala lahir di India

538 M :
(Tahun ke-4 dari era Datong (大同) masa Dinasti Liang)
Kaisar Liang Wudi membangun Wihara Tongtai (同泰寺), dan menyelenggarakan
upacara Ulambana. Pada tahun ini, Jepang pertama kali menerima kitab suci dan
patung Buddha dari Kerajaan Baekje (Korea).

548-569 M :
(Tahun ke-2 dari era Taiqing (太清) masa Dinasti Liang hingga tahun pertama dari
era Dajian (大建) masa Dinasti Chen)
Paramartha asal India Barat tiba di Jiankang melalui jalur laut, dan menerjemahkan
kitab-kitab karya Asanga dan Vasubandhu, seperti Mahāyāna-saṃgraha-bhāṣya (攝
大乘論釋).

552 M :
(Tahun ke-2 dari era Tianbao (天寶) masa Dinasti Qi-Utara)
Memasuki 1.500 tahun Buddha Parinirvana dan tahun pertama masa Akhir Dharma.

556-589 M :
(Setelah tahun ke-7 dari era Tianbao masa Dinasti Qi-Utara)

241
Narendra-yasas tiba di kota Ye ( 鄴 ) , dan menerjemahkan kitab-kitab Sutra, di
antaranya adalah Candragarbha-sūtra (大集月藏經).

574-577 M :
(Tahun ke-3 s/d 6 dari era Jiande (建德) masa Dinasti Zhou-Utara)
Kaisar Zhou Wudi (周武帝) dari Dinasti Zhou-Utara membasmi Buddhisme yang
meliputi wilayah Tiongkok Utara. Ini merupakan bencana Dharma kedua dari 4
peristiwa bencana Dharma ‘Tiga Kaisar Berinisial Wu dan Satu Kaisar Berinisial
Zong’.

581 M :
(Tahun pertama dari era Kaihuang (開皇) masa Dinasti Sui)
Kaisar Sui Wendi (隋文帝) mendirikan Dinasti Sui. Beliau membangun Wihara Da
Xingshan (大興善) di Chang’an, dan sebanyak 45 distrik di seluruh negeri masing-
masing dibangun wihara sebagai upayanya dalam membangkitkan kembali
Buddhisme.

589 M :
(Tahun ke-9 dari era Kaihuang masa Dinasti Sui)
Xinxing (信行), pendiri Sekte Sanjie (三階教) menetap di Wihara Zhenji (真寂寺) di
Chang’an; Lingyu (靈裕; ?-605 M) membuka gua batu Baoshan (寳山) untuk
mengukir teks Sutra di atas batu.

592 M :
(Tahun ke-12 dari era Kaihuang masa Dinasti Sui)
Kaisar membentuk kelompok bhiksu terpelajar menjadi 2 jensi, yaitu Kelompok 5 dan
Kelompok 25; Huiyuan (慧遠) dari Wihara Jingying (淨影寺) wafat pada usia 70
tahun.

594 M :
(Tahun ke-14 dari era Kaihuang masa Dinasti Sui)

242
Fajing (法經) dan kawan-kawan menyelesaikan kitab Zhongjing Mulu (眾經目錄—
Daftar Isi Tripitaka).

597 M :
(Tahun ke-17 dari era Kaihuang masa Dinasti Sui)
Fei Changfang (費長房) menyelesaikan kitab Lidai Sanbao Ji (歷代三寶記— Kronik
Triratna Berbagai Generasi); Bhiksu Zhiyi (智顗) wafat di Gunung Tiantai (天台山).

600 M :
(Tahun ke-20 dari era Kaihuang masa Dinasti Sui)
Jizang (吉藏) menerima instruksi dari Pangeran Jin- Yang Guang (晉王-楊廣) untuk
menetap di Wihara Huiri (慧日寺) di Yangzhou.

601-604 M :
(Tahun pertama s/d 4 dari era Renshou (仁壽) masa Dinasti Sui)
Kaisar Sui Wendi membangun stupa relik Buddha di 113 distrik.

605 M :
(Tahun pertama dari era Daye (大業) masa Dinasti Sui)
Jingwan (靜琬; ?-639 M) mengawali pengukiran Tripitaka dari batu di Gunung Fang
(房山).

609 M :
(Tahun ke-5 dari era Daye masa Dinasti Sui)
Daochuo (道綽) menetap di Wihara Xuanzhong (玄中寺) di Bingzhou (并州).

618 M :
(Tahun pertama dari era Wude (武德) masa Dinasti Tang)
Kaisar Tang Gaozu menyelenggarakan bakti sosial (Panca-varsikamaha) di Aula Taiji
(太極殿) dan praktik pelatihan diri selama 7 hari.

623 M :

243
(Tahun ke-6 dari era Wude masa Dinasti Tang)
Pendiri mazhab Sanlun (三論), Jiaxiang Jizang (嘉祥吉藏) wafat dalam usia 75
tahun.

626 M :
(Tahun ke-9 dari era Wude masa Dinasti Tang)
Karena perselisihan antara Buddhisme dan Taoisme, keduanya sama-sama dieliminasi
oleh pemerintah.

628 M :
(Tahun ke-2 dari era Zhenguan (貞觀) masa Dinasti Tang)
Kaisar Tang Taizong (唐太宗) menyelenggarakan kebaktian selama 7 hari di wihara-
wihara di ibukota untuk para korban perang.

635 M :
(Tahun ke-9 dari era Zhenguan masa Dinasti Tang)
Fali (法礪) dari mazhab Vinaya cabang Xiangbu (相部) wafat pada usia 67 tahun.

645 M :
(Tahun ke-19 dari era Zhenguan masa Dinasti Tang)
Bhiksu Xuanzang ( 玄 奘 ; 600-664 M) kembali dari India setelah 17 tahun, dan
menulis kitab Datang Xiyu Ji (大唐西域記—Catatan Perjalanan ke Barat); Patriark
mazhab Sukhavati, Daochuo (道綽), wafat pada usia 84 tahun.

667 M :
(Tahun ke-2 dari era Qianfeng (乾封) masa Dinasti Tang)
Bhiksu Daoxuan (道宣) dari mazhab Vinaya Nanshan (南山) wafat pada usia 72
tahun.

671-695 M :
(Tahun ke-2 dari era Xianfeng (咸亨) hingga tahun ke-12 dari era Sisheng (嗣聖)
masa Dinasti Tang)

244
Yijing/I-Ching (義淨; 635-713) berangkat ke India melalui jalur laut selatan. Setelah
perjalanan selama 25 tahun, beliau membawa kembali kitab Sanskerta ke kota
Luoyang.

675 M :
(Tahun ke-2 dari era Shangyuan (上元) masa Dinasti Tang)
Patriark ke-5 mazhab Chan, Hongren (弘忍) wafat.

681 M :
(Tahun ke-2 dari era Yonglong (永隆) masa Dinasti Tang)
Shandao (善導) dari mazhab Sukhavati wafat pada usia 69 tahun.

682 M :
(Tahun pertama dari era Yongchun (永淳) masa Dinasti Tang)
Kuiji (窺基) dari Wihara Da Ci’en (大慈恩寺) wafat pada usia 51 tahun.

690 M :
(Tahun pertama dari era Tianshou (天授) masa Dinasti Tang)
Terjadi Revolusi Wuzhou (武周—Dinasti Zhou dari keluarga marga Wu). Semua
distrik dan dua ibukota dibangun Wihara Dayun (大雲寺).

693 M :
(Tahun ke-2 dari era Changshou (長壽) masa Dinasti Tang)
Bodhiruci asal India berkunjung ke Tiongkok, dan menerjemahkan berbagai kitab
suci Mahayana di Wihara Fo Shouji (佛授記寺) di ibukota kerajaan, di antaranya
adalah kitab Baoyu Jing (寳雨經—Sutra Permata Hujan) dan Maha Ratnakuta Sutra.

695 M :
(Tahun pertama dari era Tiance Wansui (天冊萬歲) masa Dinasti Tang)
Mingquan (明佺) menyelesaikan kitab Dazhou Kanding Zhongjing Mulu (大周刊定
眾經目錄—Daftar Isi Tripitaka Edisi Dinasti Zhou).

245
697 M :
(Tahun pertama dari era Shengli (聖歷) masa Dinasti Tang)
Wafatnya Huaisu (懷素), sesepuh mazhab Dongta (東塔) dari aliran Vinaya.

699 M :
(Tahun ke-2 dari era Shengli masa Dinasti Tang)
Siksananda menerjemahkan kitab Avatamsaka Sutra 80 bab di Wihara Da Biankong
(大遍空寺) di Luoyang.

702-719 M :
(Tahun ke-2 dari era Chang’an (長安) hingga tahun ke-7 dari era Kaiyuan (開元)
masa Dinasti Tang)
Huiri (慧日; 680-748) mengarungi perjalanan ke India melalui jalur laut. Beliau
pulang kembali ke kota Chang’an setelah 18 tahun kemudian dan dianugerahi gelar
Tripitaka Master Cimin (慈愍—Cinta Kasih dan Simpatik).

705 M :
(Tahun pertama dari era Shenlong (神龍) masa Dinasti Tang)
Semua distrik di seluruh negeri dibangun Wihara Zhongxing (中興寺), kemudian
berganti nama menjadi Wihara Longxing (龍興寺)

706 M :
(Tahun ke-2 dari era Shenlong masa Dinasti Tang)
Shenxiu (神秀), sesepuh Chan dari aliran utara wafat dalam usia lebih dari 100 tahun.

712 M :
(Tahun pertama dari era Xiantian (先天) masa Dinasti Tang)
Sesepuh mazhab Huayan, Fazang (法藏) wafat di Wihara Da Jianfu (大薦福寺)
dalam usia 70 tahun.

716 M :

246
(Tahun ke-4 dari era Kaiyuan (開元) masa Dinasti Tang)
Subhakarasimha (637-735 M) dari Universitas Nalanda, India, datang ke kota
Chang’an.

717 M :
(Tahun ke-5 dari era Kaiyuan masa Dinasti Tang)
Bhiksu Genbo dari Jepang setelah berkunjung ke Tiongkok, beliau mebawa pulang
sejumlah besar kitab Sutra dan Sastra.

720 M :
(Tahun ke-8 dari era Kaiyuan masa Dinasti Tang)
Vajrabodhi (671-741 M) dari Universitas Nalanda, India, tiba di kota Chang’an.

730 M :
(Tahun ke-18 dari era Kaiyuan masa Dinasti Tang)
Zhisheng (智升 ) menyusun kitab Kaiyuan Shijiao Lu (開元釋教 錄 —Daftar Isi
Tripitaka Era Kaiyuan).

738 M :
(Tahun ke-16 dari era Kaiyuan masa Dinasti Tang)
Semua distrik di seluruh negeri diinstruksikan untuk membangun Wihara Kaiyuan (開
元寺) dan Kuil Kaiyuan (開元) masing-masing satu unit di luar wihara dan kuil
Longxing.

739 M :
(Tahun ke-27 dari era Kaiyuan masa Dinasti Tang)
Semua anggota Sangha di Wihara dan Kuil Longxing di seluruh negeri diinstruksikan
untuk menyelenggarakan upacara pada saat peringatan hari haul kaisar; Pada perayaan
3 Hari Utama—hari Shangyuan (上元), Zhongyuan (中元), Xiayuan (下元), dan hari
ulang tahun Kaisar Tang Xuanzong—hari Qianqiu (千秋節—Hari Usia Panjang),di
seluruh Wihara dan Kuil Kaiyuan diselenggarakan upacara doa.

747 M :

247
(Tahun ke-6 dari era Tianbao (天寶) masa Dinasti Tang)
Direktorat Ritus dari Departemen Urusan Negara mengeluarkan Sertifikat Penahbisan
(度牒) sebagai dokumen resmi anggota Sangha.

760 M :
(Tahun pertama dari era Shangyuan (上元) masa Dinasti Tang)
Bhiksu Heze Shenhui (荷澤神會) wafat.

774 M :
(Tahun ke-9 dari era Dali (大歷) masa Dinasti Tang)
Amoghavajra, sesepuh dari mazhab Tantra, wafat dalam usia 70 tahun.

782 M :
(Tahun ke-3 dari era Jianzhong (建中) masa Dinasti Tang)
Jingxi Zhanran (荆溪湛然), sesepuh mazhab Tiantai, wafat dalam usia72 tahun.

798 M :
(Tahun ke-14 dari era Zhenyuan (貞元) masa Dinasti Tang)
Bhiksu Prajna menerjemahkan 40 Bab Gandhavyuha ~ Avatamsaka Sutra.

799 M :
(Tahun ke-15 dari era Zhenyuan masa Dinasti Tang)
Yuanzhao (圓照) menyelesaikan kitab Zhenyuan Xinding Shijiao Mulu (貞元新定釋
教目錄—Daftar Isi Tripitaka Edisi Baru Era Zhenyuan).

814 M :
(Tahun ke-9 dari era Yuanhe (元和) masa Dinasti Tang)
Sesepuh Chan, Baizhang Huaihai (百丈懷海), wafat dalam usia 95 tahun.

819 M :
(Tahun ke-14 dari era Yuanhe masa Dinasti Tang)

248
Relik Buddha dari Wihara Famen (法門寺) di Fengxiang (鳳翔) dibawa ke istana
untuk dipuja; Han Tuizhi (韓退之) menyampaikan kritiknya kepada kaisar dalam
surat‘Telaah Relik Buddha (論佛骨表)’.

821 M :
(Tahun pertama dari era Changqing (長慶) masa Dinasti Tang)
Sesepuh mazhab Sukhavati, Fazhao (法照), wafat.

839 M :
(Tahun ke-4 dari era Kaicheng (開成) masa Dinasti Tang)
Sesepuh mazhab Huayan, Qingliang Chengguan (清涼澄觀) wafat dalam usia 102
tahun.

841 M :
(Tahun pertama dari era Huichang (會昌) masa Dinasti Tang)
Sesepuh mazhab Huayan, Zongmi (宗密) wafat dalam usia 62 tahun.

842-845 M :
(Tahun ke-2 hingga 5 dari era Huichang masa Dinasti Tang)
Kaisar Tang Wuzong (唐武宗) membasmi Buddhisme. Ini merupakan bencana
Dharma ketiga dari 4 peristiwa bencana Dharma‘Tiga Kaisar Berinisial Wu dan Satu
Kaisar Berinisial Zong’.

955 M :
(Tahun ke-2 dari era Xiande (顯德) masa Dinasti Zhou-Belakangan)
Kaisar Zhou Shizong ( 周 世 宗 ) menginstruksikan pembasmian Buddhisme, dan
bermaksud menertibkan komunitas Buddhis. Ini merupakan bencana Dharma keempat
dari 4 peristiwa bencana Dharma‘Tiga Kaisar Berinisial Wu dan Satu Kaisar
Berinisial Zong’.

960 M :
(Tahun pertama dari era Jianlong (建隆) masa Dinasti Song)

249
Kaisar Song Taizu (宋太祖) menduduki tahta. Beliau menghentikan aksi pembasmian
Buddhisme, bahkan memulihkannya kembali dalam kejayaan.

966 M :
(Tahun ke-4 dari era Qiande (乾德) masa Dinasti Song)
Bhiksu Xingqin (行勤) dan kawan-kawan ditugaskan untuk belajar Dharma ke India.

971-983 M :
(Tahun ke-4 dari era Kaibao (開寳) hingga tahun ke-8 dari era Taiping Xingguo (太
平興國) masa Dinasti Song)
Kaisar Song Taizu memberi titah kepada Zhang Congxin (張從信) untuk mengukir
Tripitaka di Chengdu, Sichuan (成都四川).

982 M :
(Tahun ke-7 dari era Taiping Xingguo masa Dinasti Song)
Wihara Taiping Xingguo (太平興國寺) di Kaifeng memulihkan kembali proyek
penerjemahan kitab suci Buddha dengan mendirikan Lembaga Penerjemahan Sutra.
Kemudian lembagai ini diubah dengan nama Lembaga Penyebaran Dharma. Selain itu
juga dibangun tempat percetakan Sutra sebagai alat pengedaran kitab suci Buddha.

991 M :
(Tahun ke-10 dari era Chengzong (成宗) masa Dinasti Goryeo (Korea))
Kerajaan Goryeo menerbitkan Tripitaka Koreana yang dikerjakan selama 20 tahun
dengan merujuk pada Tripitaka Edisi Dinasti Song.

997 M :
(Tahun ke-15 dari era Tonghe (統和) masa Dinasti Liao)
Bhiksu Xingjun (行均) dari Dinasti Liao menyelesaikan kamus bahasa Tionghoa,
Longkan Shoujian (龍龕手鑑—Cermin Genggam Kuil Naga).

1010 M :
(Tahun ke-3 dari era Dazhong Xiangfu (大中祥符) masa Dinasti Song)

250
Wihara Taiping Xingguo mendirikan mimbar Simamandala Amerta Fengxian (奉先
甘露戒檀); Sebanyak 72 buah simamandala dibangun di seluruh Tiongkok untuk
menerapkan sistem penerimaan Peraturan Sila secara ketat bagi anggota Sangha.

1015 M :
(Tahun ke-8 dari era Dazhong Xiangfu masa Dinasti Song)
Yang Yi (楊億) dan Wei Jing (惟淨) menyusun katolog kitab suci Buddha, Dazhong
Xiangfu Fabao Lu ( 大 中 祥 符 法 寶 錄 —Catatan Permata Dharma Era Dazhong
Xiangfu).

1021 M :
(Tahun ke-5 dari era Tianxi (天禧) masa Dinasti Song)
Jumlah bhiksu di seluruh Tiongkok mencapai 397.615 orang, dan bhiksuni mencapai
61.240 orang.

1022 M :
(Tahun pertama dari era Qianxing (乾興) masa Dinasti Song)
Sesepuh mazhab Tiantai dari kelompok Shanwai (山外派—Gunung Luar), Gushan
Zhiyuan (孤山智圓), wafat dalam usia 46 tahun.

1028 M :
(Tahun ke-6 dari era Tiansheng (天聖) masa Dinasti Song)
Sesepuh mazhab Tiantai dari kelompok Shanjia (山家派—Markas Gunung), Siming
Zhili (四明知禮), wafat dalam usia 69 tahun.

1032 M :
(Tahun pertama dari era Mingdao (明道) masa Dinasti Song)
Sesepuh mazhab Tiantai dari kelompok Shanjia, Ciyun Zhunshi (慈雲遵式) wafat
dalam usia 70 tahun.

1037 M :
(Tahun ke-4 dari era Jingyou (景佑) masa Dinasti Song)

251
Wei Jing (惟淨) dkk menyelesaikan katalog kitab suci Buddha, Jingyou Xinxiu Fabao
Mulu (景佑新修法法寶目錄—Daftar Isi Permata Dharma Revisi Baru Era Jingyou).

1057 M :
(Tahun ke-3 dari era Qingning (清寧) masa Dinasti Liao)
Empat divisi kitab suci Buddha ukiran batu selesai dikerjakan di Gunung Fang (房山).

1059 M :
(Tahun ke-5 dari era Qingning masa Dinasti Liao)
Tripitaka Edisi Khitan dari Dinasti Liao dicetak dan diedarkan.

1061 M :
(Tahun ke-6 dari era Jingyou masa Dinasti Song)
Sesepuh mazhab Vinaya Nanshan dari kelompok Huizheng (會正派), Yunkan (允堪)
wafat dalam usia 57 tahun.

1064 M :
(Tahun pertama dari era Zhiping (治平) masa Dinasti Song)
Jiezhu (戒珠) menyelesaikan kitab Wangsheng Zhuan (往生傳—Kisah Kelahiran di
Sukhavati).

1080 M :
(Sekitar tahun ke-3 dari era Yuanfeng (元豊) masa Dinasti Song)
Chongzhen (沖真) dan kawan-kawannya dari Wihara Dongchan (東禪院) di Fuzhou
(福州) mencetak dan mengedarkan Tripitaka.

1112 M :
(Sekitar tahun ke-2 dari era Zhenghe (政和) masa Dinasti Song)
Benwu ( 本 悟 ) dan rekan-rekanya dari Wihara Kaiyuan ( 開 元 寺 ) di Fuzhou
mengadakan proyek penerbitan Tripitaka lainnya.

1116 M :

252
(Tahun ke-6 dari era Zhenghe masa Dinasti Song)
Sesepuh mazhab Vinaya dari kelompok Zichi (資持派), Lingzhi Yuanzhao (靈芝元
照) wafat dalam usia 69 tahun.

1119 M :
(Tahun pertama dari era Xuanhe (宣和) masa Dinasti Song)
Sehubungan dengan Kaisar Song Huizong ( 宋 徽 宗 ) memeluk Taoisme, beliau
mengubah cara penyebutan nama Buddha, bodhisatwa,bhiksu dan bhiksuni.

1132 M :
(Tahun ke-2 dari era Shaoxing (紹興), masa Dinasti Song)
Melalui penggalangan dana oleh Wang Yongcong ( 王 永 從 ) dan kawan-kawan,
Wihara-Chan Yuanjue (圓覺禪院) di Sixi (思溪), Huzhou (湖州 ) mengadakan
percetakan Tripitaka.

1143 M :
(Tahun ke-13 dari era Shaoxing masa Dinasti Song)
Fayun ( 法 運 ) menyelesaikan kitab Fanyi Mingyi Ji ( 翻 譯 名 義 集 —Kumpulan
Penerjemahan Makna dan Istilah).

1162 M :
(Tahun ke-2 dari era Dading (大定) masa Dinasti Jin (金))
Kota Yanjing (燕京) dari Dinasti Jin diberi titah untuk membangun Wihara Da
Qingshou (大慶壽寺).

1189 M :
(Tahun ke-26 dari era Dading masa Dinasti Jin)
Saat selesai pengukiran Tripitaka Edisi Ukiran Dinasti Jin.

1231 M :
(Tahun ke-4 dari era Shaoding (紹定) masa Dinasti Song)

253
Wihara-chan Yansheng (延聖禪院) di Qisha (磧砂), Prefektur Pingjiang (平江)
diadakan percetakan dan pengedaran Tripitaka.

1260 M :
(Tahun pertama dari era Zhongtong (中統) masa Dinasti Yuan (元))
Kaisar Yuan Shizu (元世祖; Kubilai Khan) mengangkat Drogön Chögyal Phagpa
sebagai guru kerajaan.

1269 M :
(Tahun ke-5 dari era Xianchun (咸淳) masa Dinasti Song)
Dashi Zhipan (大石志磐) menyelesaikan kitab Fozu Tongji (佛祖統紀— Kronikal
Lengkap Buddha dan Patriark).

1270 M :
(Tahun ke-7 dari era Zhiyuan (至元) masa Dinasti Yuan (元))
Pemerintahan Dinasti Yuan membangun Wihara Huguo Renwang (護國仁王寺) dan
memberi perlindungan pada Lamaisme.

1279 M :
(Tahun ke-16 dari era Zhiyuan masa Dinasti Yuan)
Wihara Da Puning (大普寧寺) dari Sekte Baiyun (白雲宗) di Hangzhou menerbitkan
Tripitaka.

1280 M :
(Tahun ke-17 dari era Zhiyuan masa Dinasti Yuan)
Dibentuknya Gongde Shisi (功德使司—Departemen Duta Sosial).

1291 M :
(Tahun ke-18 dari era Zhiyuan masa Dinasti Yuan)
Menurut catatan Dewan Penyampaian Urusan Politik, pada tahun ini, jumlah wihara
mencapai 42.318, dan jumlah anggota Sangha sebanyak 213.148 orang.

254
1306 M :
(Tahun ke-10 dari era Dade (大德) masa Dinasti Yuan)
Qing Jixiang (慶吉祥) dan kawan-kawan menyusun kitab Zhiyuan Fabao Kantong
Zonglu 至元法寶勘同縂錄 (Catatan Komparasi Kitab Suci Buddha Era Zhiyuan).

1331 M :
(Tahun ke-2 dari era Zhishun (至順) masa Dinasti Yuan)
Pemerintahan Dinasti Yuan membentuk lembaga pengelolaan agama (廣教縂管府)
sebanyak 16 unit di seluruh Tiongkok.

1335 M :
(Tahun pertama dari era Zhiyuan (至元) masa Kaisar Yuan Shundi dari Dinasti Yuan)
Dehui ( 德 輝 ) menyusun ulang kitab peraturan disiplin tradisi Chan, Baizhang
Qinggui (百丈清規).

1341 M :
(Tahun pertama dari era Zhizheng (至正) masa Dinasti Yuan)
Nianchang ( 念 常 ) menyelesaikan kitab Fozu Lidai Tongzai ( 佛 祖 歷 代 通 載 —
Catatan Umum Berbagai Generasi Buddha).

1354 M :
(Tahun ke-14 dari era Zhizhen masa Dinasti Yuan)
Jue’an (覺岸) menyelesaikan kitab Shishi Jigu Lue (釋氏稽古略— Ringkasan
Peneladanan Klan Sakya).

1368 M :
(Tahun pertama dari era Hongwu (洪武) masa Dinasti Ming (明))
Pemerintahan Dinasti Ming mendirikan lembaga Shanshi Yuan (善世院—Lembaga
Kehidupan Bajik) di Wihara Tianjie (天界寺) di ibukota Jinling sebagai organisasi
induk yang mengontrol Buddhisme di seluruh Tiongkok.

1372 M :

255
(Tahun ke-5 dari era Hongwu masa Dinasti Ming)
Pemerintah Dinasti Ming mengeluarkan Zhou Zhi Ce (周知冊), yaitu buku data
identitas anggota Sangha bagi seluruh wihara di Tiongkok; Tripitaka Selatan (南藏)
dari Dinasti Ming juga dicetak dan diedarkan tahun ini.

1382 M :
(Era Hongwu tahun ke-15, masa Dinasti Ming)
Shanshi Yuan berganti nama menjadi Senglu Si (僧祿司), dan ditetapkan berbagai
nama jabatan Sangha dari pusat hingga daerah; Buddhisme di seluruh Tiongkok
terbagai atas 3 kategori, yaitu Wihara Chan, Wihara Ceramah, dan Wihara Ritual;
Dan ketiga kategori itu ditetapkan warna jubah yang berbeda.

1386 M :
(Tahun ke-19 dari era Hongwu masa Dinasti Ming)
Seluruh wihara di Tiongkok dikelola petugas administrasi, Zhenji Daoren (砧基道人).

1418 M :
(Tahun ke-16 dari era Yongle (永樂), masa Dinasti Ming)
Yao Guangxiao (姚廣孝) alias Daoyan (道衍) wafat.

1440 M :
(Tahun ke-5 dari era Zhengtong (正統), masa Dinasti Ming)
Tripitaka Edisi Utara (北藏) Dinasti Ming selesai dicetak.

1567 M :
(Tahun pertama dari era Longqing (隆慶), masa Dinasti Ming)
Yun’gu Fahui (雲谷法會) wafat.

1589 M :
(Tahun ke-17 dari era Wanli (萬曆) masa Dinasti Ming)
Tripitaka edisi Jiaxing (嘉興藏) dari Wihara Lengyan (楞嚴寺) mulai dicetak dalam
bentuk jilid buku per halaman.

256
1602 M :
(Tahun ke-30 dari era Wanli masa Dinasti Ming)
Tulong (屠隆) menyelesaikan kitab Fofa Jintang Lu (佛法金湯錄—Catatan Kuah
Emas Buddha Dharma)

1603 M :
(Tahun ke-31 dari era Wanli masa Dinasti Ming)
Zibo Zhenke (紫柏真可) wafat dalam usia 61 tahun.

1615 M :
(Tahun ke-43 dari era Wanli masa Dinasti Ming)
Yunqi Zhuhong (雲栖袾宏) wafat dalam usia 81 tahun.

1617 M :
(Tahun ke-45 dari era Wanli masa Dinasti Ming)
Ruxing (如惺) menyelesaikan kitab Daming Gaoseng Zhuan (大明高僧傳—Riwayat
Bhiksu Agung Dinasti Ming).

1638 M :
(Tahun ke-11 dari era Chongzhen (崇禎) masa Dinasti Ming)
Huan Lun (幻輪) menyelesaikan kitab Shijian Jigulue Xuji (釋鑑稽古略續集—
Antologi Lanjutan Pengkajian Buddhisme).

1655 M :
(Tahun ke-9 dari era Yongli (永歷) masa Dinasti Ming)
Ouyi Zhixu (蕅益智旭) wafat dalam usia 57 tahun.

1735 M :
(Tahun ke-13 dari era Yongzheng (雍正) masa Dinasti Qing (清))
Tripitaka Naga (龍藏) dari Dinasti Qing mulai disusun dan dicetak, dan selesai dalam
jangka waktu 4 tahun.

257
1759 M :
(Tahun ke-24 dari era Qianlong (乾隆) masa Dinasti Qing)
Kitab komparasi terhadap seluruh mantra Tripitaka, Dazang Quanzhou (大藏全咒),
dalam 4 bahasa, yaitu Manchu, Mongol, Han, dan Turfan, berhasil diselesaikan.

1773 M :
(Tahun ke-38 dari era Qianlong masa Dinasti Qing)
Tripitaka dalam bahasa Manchu mulai diterjemahkan dan selesai dalam jangka waktu
18 tahun.

1796 M :
(Tahun pertama dari era Jiaqing (嘉慶) masa Dinasti Qing)
Upasaka Peng Shaosheng (彭紹升) wafat dalam usia 57 tahun. Pada tahun ini terjadi
peristiwa pemberontakan Sekte Teratai Putih.

1841 M :
(Tahun ke-21 dari era Daoguang (道光) masa Dinasti Qing)
Upasaka Gong Dingyan (龔定菴) wafat.

1850 M :
(Tahun ke-30 dari era Daoguang masa Dinasti Qing)
Muncul pemberontakan Taiping yang dipimpin oleh Hong Xiuquan (洪秀全).

1911 M :
(Tahun ke-3 dari era Xuantong (宣統) masa Dinasti Qing)
Upasaka Yang Renshan (楊仁 山 ) wafat dalam usia 75 tahun. Tahun ini terjadi
Revolusi Xinhai (辛亥革命).

1912 M :
(Tahun 00 dari era Republik Tiongkok,)
Dinasti Qing runtuh, dan lahirnya Republik Tiongkok; Jing’an (敬安) yang

258
berjulukan Praktisi Asketis Berjari Delapan (八指頭陀) wafat di Beiping (北平).

1913 M :
(Tahun 02 dari era Republik Tiongkok,)
Dibentuknya Perkumpulan Buddhis Sentral (中央佛教公會) di kota Beijing.

1920 M :
(Tahun 09 dari era Republik Tiongkok,)
Pusat Studi Buddhisme Tiongkok ( 支 那 内 學 院 ) didirikan di Nanjing; Majalah
Buddhis, Hai Chao Yin (海潮音) juga mulai terbit pada tahun ini.

1922 M :
(Tahun 11 dari era Republik Tiongkok,)
Taixu (太虛) mendirikan Institut Agama Buddha Wuchang (武昌佛學院).

1924 M :
(Tahun 13 dari era Republik Tiongkok,)
Taixu dan kawan-kawan mendirikan Federasi Buddhis Tiongkok (中國佛教聯合會).
Dan pada tahun ini diselenggarakan forum pertemuan Federasi Buddhis Dunia (世界
佛教聯合會) yang bertempat di Gunung Lu (廬山).

1928 M :
(Tahun 17 dari era Republik Tiongkok,)
Partai Kuomintang mengakhiri ekspedisi utara; Tahun ini pemerintah mengeluarkan
18 pasal ketentuan registrasi wihara di seluruh Tiongkok.

1929 M :
(Tahun 18 dari era Republik Tiongkok,)
Asosiasi Buddhis Tiongkok ( 中 國 佛 教 會 ) mengadakan kongres untuk pertama
kalinya di kota Shanghai.

1930 M :

259
(Tahun 19 dari era Republik Tiongkok,)
Diumumkannya ketentuan pengawasan terhadap wihara.

1934 M :
(Tahun 23 dari era Rebulik Tiongkok,)
Harian Buddhisme (佛教日報) terbit di kota Shanghai

1935 M :
(Tahun 24 dari era Republik Tiongkok,)
Kitab Songzang Yizhen (宋藏遺珍—Sisa Peninggalan Tripitaka Song yang Berharga)
dipublikasikan; Zhu Jinmen ( 朱 錦 門 ) dan kawan-kawan memugar Gua Seribu
Buddha di Dunhuang.

1936 M :
(Tahun 25 dari era Republik Tiongkok,)
Asosiasi Buddhis Tiongkok direstrukturisasi atas petunjuk Partai Kuomintang.

1940 M :
(Tahun 29 dari era Republik Tiongkok,)
Master Yin’guang (印光) wafat dalam usia 79 tahun.

1943 M :
(Tahun 32 dari era Republik Tiongkok,)
Diumumkannya mekanisme penyelenggaraan kegiatan sosial yang dilakukan oleh
wihara; Ouyang Jian (歐陽漸) wafat.

1946 M :
(Tahun 35 dari era Republik Tiongkok,)
Master Taixu wafat di Wihara Yufo (玉佛寺) di Shanghai dalam usia 58 tahun.

260
Daftar Referensi:

Bab II : Buddhisme Dinasti Han-Belakangan

1. 佛 教 東 漸 け 關 す る 後 漢 紀 と 後 漢 書 と の 比 較 ( 支 那 佛 教 史 の 研 究 ) .
Yamanouchi Singyo,Tahun 10 - Taisho.
2. 佛教東漸け關する宋以後學界の定說(支那佛教史の研究). Yamanouchi
Singyo,Tahun 10 - Taisho
3. 漢明求法の紀年け就て(佛教史論) . Bunzaburo Matsumoto,Tahun 4 -
Showa.
4. 支那佛教初傳け關する諸研究(支那佛教史學2-4). Kasuga Reichi,Tahun 13
- Showa.
5. 漢代佛教の外典資料について(日華佛教研究會年教3). Kasuga Reichi,
Tahun 13 - Showa.
6. 佛教傳來け關する魏略の本文について(東西交涉史の研究──西域篇).
Fujita Toyohachi著,Tahun 18 - Showa.
7. 佛教東漸初期の教界とその東流の一大動機(重鬆先生古稀記念九州大學東
洋史論叢). Shigematsu Shunsho ,Tahun 32 - Showa.
8. 中國けおける佛教容受の一面(東方學19). Suzuki Keizo,Tahun 34 –
Showa.
9. 漢魏六朝時代け于ける圖讖と佛教(塚木博士頌壽記念佛教史學論集).
Yasui Kozan,Tahun 36 - Showa.
10. 東漢宗教史.Sung Peiwei,台灣商務印書館,1964.

Bab III : Buddhisme Dinasti Wei dan Jin

1. 道生の頓悟說成立の事情(東方學報東京7). Itano Chohachi,Tahun 11 -


Showa.
2. 釋經史考(支那佛教史學1-1). Ocho Enichi,Tahun 12 - Showa.
3. 魏 略 の 佛 傳 け 關 す る 二 三 の 問 題 と 老 子 化 胡 說 の 由 來 ( 史 淵 18 ) .
Shigematsu Shunsho, Tahun 13 - Showa.

261
4. 支那淨土教の展開(支那佛教史研究 ── 北魏篇). Tsukamoto Zenryu,
Tahun 17 - Showa.
5. 慧 遠 僧 肇 の 神 明 觀 を 論 じ て 道 生 の 新 說 け 及 ぶ ( 東 洋 學 報 30-4). Itano
Chohachi,Tahun 19 - Showa.
6. 竺道生撰法華經疏の研究(大谷大學研究年報5). Ocho Enichi,Tahun 27 -
Showa.
7. 慧遠(龍谷大學論集343). Takamine Ryoshu,Tahun 27 - Showa.
8. 支遁と其の周圍(佛教史學5-2). Fukunaga Mitsuji,Tahun 31 - Showa.
9. 西域出土の六朝初期の寫經(佛教史學6-2). Ogawa Kanichi ,Tahun 32 -
Showa.
10. 鳩摩羅什の翻譯(大谷學報37-4). Ocho Enichi,Tahun 33 - Showa.
11. 慧遠教團と國家權力(東方學報19). Murakami Yoshimi,Tahun 34 - Showa.
12. 姚興の崇佛と羅什の譯經事業(集刊東洋學6). Moroto Tatsuo,Tahun 36 -
Showa.
13. 鳩摩羅什論──その佛教の江南擴大を中心として(1)(結城教授頌壽記念佛
教思想史論集). Tsukamoto Zenryu,Tahun 39 - Showa.
14. 鳩摩羅什論──その佛教の江南擴大を中心として(2)(干瀉博士古稀記念論
文集). Tsukamoto Zenryu, Tahun 39 - Showa.
15. 梁高僧傳所見「道恆」考(佐賀大學人文紀要1964-1). Utsuo Shoshin,Tahun
40 - Showa.
16. 慧遠大師年譜(史學年報2-3). Chen Tong.
17. Liebenthal,Walter;"The Book of Chao ( 肇 論 ) . " A Translation from the
Original Chinese With Introduction, Notes and Appendices. Monumenta
Serica,Journal of Oriental Studies of the Catholic University of Peking;
Monograph XIII; The Catholic University of Peking, 1948.
18. Liebenthal,Walter;Shih Hui-Yuen ( 釋 慧 遠 ) "Buddhism as Set Forth in his
Writing." JAOS 70 No.4 1950.
19. Liebenthal, Walter; "The Immortality of the Soul in Chinese
Thought."Monumenta Nipponica VIII. 1952.
20. 後漢より宋齊け至る譯經總錄. Tokiwa Daijo,東方文化學院東京研究所,
Tahun 13 - Showa.

262
21. 法顯傳. Adachi Kiroku,法藏館,Tahun 15 - Showa.
22. 經錄研究(前篇). Hayashiya, Tomojiro,岩波書店,Tahun 16 - Showa.
23. 異譯經類の研究. Hayashiya, Tomojiro,東洋文庫,Tahun 20 - Showa.
24. 佛教經典成立史論. Mochizuki Shinko,法藏館,Tahun 21 - Showa.
25. 肇論研究. Tsukamoto Zenryu,法藏館,Tahun 30 - Showa.
26. 釋道安研究. Ui Hakuju,岩波書店,Tahun 31 - Showa.
27. 佛教經典史. Ui Hakuju,東成出版社,Tahun 32 - Showa.
28. 慧遠研究──遺文篇. Kimura Eiichi,創文社,Tahun 35 - Showa.
29. 慧遠研究──研究篇. Kimura Eiichi,創文社,Tahun 37 - Showa.
30. 中國佛教通史──第一卷. Tsukamoto Zenryu,鈴本學術財團,Tahun 43 -
Showa.
31. 漢魏兩晉南北朝佛教史(Jilid 1 dan 2). Tang Yongtong,台灣商務印書館,
1938.

Bab IV : Buddhisme Masa Dinasti Utara Selatan

1. 支那け于ける佛寺造の起源(東洋學報11-1>. Otani Shoshin,Tahun 10 - Taisho.


2. 漢人出家の公許(支那佛教史之研究). Yamanouchi Singyo,Tahun 10 - Taisho.
3. 支那佛教史け于ける佛圖澄の地位(支那佛教史之研究). Yamanouchi Singyo,
Tahun 10 - Taisho.
4. 支那の僧制について(龍谷大學論叢304). Ogasawara Sensyu,Tahun 7 - Showa.
5. 支那宋齊時代の道佛論爭(宗教研究103). Ota Teizo,Tahun 8 - Showa.
6. 老子化胡經の諸相(支那佛教史學1-3). Fukui Kojun,Tahun 12 - Showa.
7. 支那中世佛教の發展(支那中世佛教の展開). Yamazaki Hiroshi,Tahun 17 -
Showa.
8. 魏晉佛教の展開(支那佛教史研究──北魏篇). Tsukamoto Zenryu,Tahun 17 -
Showa.
9. 北魏太武帝の廢佛棄釋(idem). Tsukamoto Zenryu, Tahun 17 - Showa.
10. 北魏の僧只戶佛圖戶(idem). Tsukamoto Zenryu, Tahun 17 - Showa.
11. 神滅不滅の論爭について(東洋學報29-1,2;30-1). Tsuda Sokichi,Tahun 20 -
Showa.

263
12. 北周の廢佛について(東方學報16,18). Tsukamoto Zenryu,Tahun 23 dan 25 -
Showa.
13. 北周の宗教廢棄政策の崩壞(佛教史學1). Tsukamoto Zenryu,Tahun 24 -
Showa.
14. 梁代佛徒の一性格──白衣僧正論爭を通して(史觀49). Suzuki Keizo,Tahun
32 - Showa.
15. 南朝士大夫の佛教信受について──南齊蕭子良とその周圍(佐賀龍谷學會紀要
5). Utsuo Shoshin,Tahun 32 - Showa.
16. 六朝隋唐時代の報應信仰(史林21,22).Yamazaki Hiroshi,Tahun 32 - Showa.
17. 水陸會小考(東方宗教12). Makita Tairyo,Tahun 32 - Showa.
18. 陶淵明と佛教について(宗教文化12). Miyazawa Masayori,Tahun 32 - Showa.
19. 六朝隋唐時代け于ける江南佛教の展開-共同研究(立正史學21,22). Suzuki,
Okawa, & Kasama,Tahun 33 – Showa.
20. 水經注の壽春導公寺について──劉裕(宋武帝)と長安鳩摩羅什系の佛教(福
井博士頌壽記念東洋思想論集). Tsukamoto Zenryu,Tahun 35 - Showa.
21. 魏略と佛教(東方學報京都31). Tsukamoto Zenryu,Tahun 36 - Showa.
22. 六 朝 時 代 の 女 子 の 佛 教 受 容 に つ い て ( 塚 本 博 士 頌 壽 記 念 佛 教 史 學 論
集).Miyagawa Hisayuki,Tahun 36 - Showa.
23. 梁國師慧をぬぐつて(和田博士古稀記念東洋史論叢). Utsuo Shoshin,Tahun
36 - Showa.
24. 水陸會の起源とその內容(宗教文化15). Miyazawa Masayori,Tahun 36 -
Showa.
25. 皇帝即菩薩と皇帝即如來について(佛教史學10-1). Suzuki Keizo,Tahun 37 –
Showa.
26. 高歡高澄の奉佛事情と儒教道教への態度(大谷學報42-2). Suwa Gijun,
Tahun 37 - Showa.
27. 寶山寺靈裕について(東方學報京都36,創刊三十五週年紀念論集). Makita
Tairyo,Tahun 39 - Showa.
28. 北周廢佛と禪(宗學研究6). Kamata Shigeo,Tahun 39 - Showa.
29. 南朝「元嘉治世」の佛教興隆について(東洋史研究22-4). Tsukamoto Zenryu,
Tahun 39 - Showa.

264
30. 北齊文宣帝とその佛教信仰──北齊佛教の一考察(1)(大谷學報45-2). Suwa
Gijun,Tahun 41 - Showa.
31. 高王觀世音經の成立──北朝佛教の一斷面(佛教史學12-3). Makita Tairyo,
Tahun 41 - Showa.
32. 吳郡張氏と佛教(龍谷史壇56.57合刊號). Utsuo Shoshin,Tahun 41 - Showa.
33. 建德六年の破佛について(日本佛教學會年報32). Nomura Yosho,Tahun 41 -
Showa.
34. 梁の武帝──その信仰と家庭(佛教大學學報16). Makita Tairyo,Tahun 42 -
Showa.
35. 六朝古逸觀世音應驗記本文、解題、校注(聖德太子研究3). Tsukamoto &
Makita,Tahun 42 - Showa.
36. 涅槃宗の研究. Fuse Kogaku,叢文閣,Tahun 17 - Showa.
37. 支那佛教史研究──北魏篇. Tsukamoto Zenryu,弘文堂,Tahun 17 - Showa.
38. 支那中世佛教の展開. Yamazaki Hiroshi,清水書店,Tahun 17 - Showa.
39. 原始般若經の研究. Kajiyoshi Koun,山喜房佛書林,Tahun 19 - Showa.
40. 六朝宗教史. Miyagawa Hisayuki,弘文堂,Tahun 23 - Showa.
41. 道教の研究. Yoshiyoka Yoshitoyo,法藏館,Tahun 27 - Showa.
42. 道教の基礎的研究. Fukui Kojun,理想社,Tahun 27 - Showa.
43. 梁の武帝(サ──う叢書6). Mori Mikisaburo,平樂寺書店,Tahun 31 - Showa.
44. 山西古跡志. Mizuno Seiichi & Hibino Takeo,中村印刷出版部,Tahun 31 -
Showa.
45. シナ佛教の研究. Tsuda Sokichi,岩波書店,Tahun 32 - Showa.
46. 魏書釋志の研究. Tsukamoto Zenryu,佛教文化研究所出版部,Tahun 36 - Showa.
47. 六朝史研究──宗教篇. Miyagawa Hisayuki,平樂寺書店,Tahun 39 - Showa.
48. Wright,Arthur F. ;"Fo-t'u-teng(佛圖澄): A Biography." ; HJAS. XI,3-4;Dec. 1948.
49. Maspero, H. ; Le Taoisme. Paris, 1950.
50. Wassilieff, W. ; Die Religion des Ostens, Konfucianismus, Buddhismus undTaoismus.

Bab V : Perkembangan Seni Buddhisme

1. 支那美術史雕塑篇. Omura Seigai,佛書刊行會,Tahun 4 - Taisho.

265
2. 響堂山石窟. Mizuno Seiichi & Nagahiro Toshio,東方文化研究所,Tahun 12 -
Showa.
3. 大同石佛藝術論. Nagahiro Toshio,高桐書院,Tahun 12 – Showa.
4. 敦煌畫の研究. Matsumoto Eiichi,東方文化學院東京研究所,Tahun 12 –
Showa.
5. 佛教の美術と歷史. Ono Genmyo,大藏出版株式會社,Tahun 12- Showa.
6. 雲岡石窟と其の時代. Mizuno Seiichi,富山房,Tahun 14- Showa.
7. 支那の佛塔. Jiro Murata,富山房,Tahun 15- Showa.
8. 龍門石窟の研究. Mizuno Seiichi & Nagahiro Toshio,座右寶刊行會,Tahun
16- Showa.
9. 大同石佛寺. Mokutaro Kinoshita,座右寶刊行會,Tahun 17 – Showa.
10. 雲岡石佛群. Nagahiro Toshio,東方文化研究所,Tahun 19 – Showa.
11. 雲岡(32卷). Mizuno Seiichi & Nagahiro Toshio,京都大學人文科學研究所,
Tahun 26 – Showa.
12. 大石佛(アテネ新書). Tsukamoto Zenryu ,弘文堂,Tahun 26 – Showa.
13. トソコウ(敦煌). Nagahiro Toshio,平凡社,Tahun 32 – Showa.
14. 麥積山石窟. Yonosuke Natori ,岩波書店,Tahun 32 – Showa.
15. 雲岡と龍門──中國の石窟美術.中央公論美術出版,Tahun 39 – Showa.
16. 增訂中國佛教雕刻史研究 . Matsubara Saburo,吉川弘文館,Tahun 41 –
Showa.
17. Lindsay, J. H. ; The Makara in Early Chinese Buddhist Sculpture. JRAS . 1951,
34.
18. Gray, B. & Watson, William; "A Great Sui Dynasty Amitabha (With
theinscription)."The British Museum Quarterly, XVI, 3; Oct. 1951.
19. Mallmann,Marie Therese de; "Notes sur les bronzes du Yunnan ( 雲 南 )
représentant Avalokitesvara." HJAS. XVI, 3-4; Dec. 1951.

Bab VI : Buddhisme Dinasti Sui

1. 支那內道場考(龍谷史壇18). Takao Giken,Tahun 11 – Showa.


2. 支那け于ける末法思想の興起(東方學報東京6). Yuki Reimon,Tahun 11 –
Showa.

266
3. 三階教資料雜記(支那佛教史學1-2). Tsukamoto Zenryu,Tahun 12 – Showa.
4. 三階教某禪師行狀始末について(史學論叢7). Otani Shoshin,Tahun 14 –
Showa.
5. 支那佛教け于ける國家意識(東方學報東京11-3). Ocho Enichi,Tahun 15 –
Showa.
6. 隋朝の佛教復興(佛教史學1-1). Yamazaki Hiroshi,Tahun 24 – Showa.
7. 隋の江南征服と佛教(佛教文化研究3). Tsukamoto Zenryu,Tahun 28 –
Showa.
8. 末法思想と隋唐諸家の態度(中國佛教史論). Takao Giken,Tahun 27 –
Showa.
9. 隋の煬帝と天台大師智顗(東洋史論集). Yamazaki Hiroshi,Tahun 28 –
Showa.
10. 隋唐時代け于ける中國的佛教成立の事情について(日本佛教學會年報19).
Yuki Reimon,Tahun 29 – Showa.
11. 隋·西京禪定道場釋曇遷の研究──中國佛教形成の一課題として(福井博士
頌壽記念東洋思想論集). Yuki Reimon,Tahun 35 – Showa.
12. 中國けおける末法思想の展開について(山崎先生退官記念東洋史學論集).
Nogami Shunjo,Tahun 42 – Showa.
13. 三階教の研究. Yabuki Keiki ,岩波書店,Tahun 2 – Showa.
14. 天台教學史. Shimaji Daito ,明治書院,Tahun 4 – Showa.
15. 支那天台教學史. Uesugi Bunshu ,破塵閣,Tahun 10 – Showa.
16. 天台實相論の研究. Ishizu Teruji ,弘文堂,Tahun 22 – Showa.
17. 天台性具思想論. Ando Toshio ,法藏館,Tahun 28 – Showa.
18. 天台緣起論展開史. Sasaki Kentoku ,永田文昌堂,Tahun 28 – Showa.
19. 天台思想史. Ando Toshio ,法藏館,Tahun 34 – Showa.
20. 法華經の思想と文化. Sakamoto Yukio ,平樂寺書店,Tahun 40 – Showa.
21. 天台學──根本思想とその展開. Ando Toshio ,平樂寺書店,Tahun 43 –
Showa.

Bab VII : Buddhisme Dinasti Tang (1)

267
1. 慧超傳箋釋(大日本佛教全書遊方傳叢書所收). Fujita Toyohachi,Tahun 4
– Taisho.
2. 唐都長安佛寺の狀況(龍谷史壇6). Ogasawara Senshu,Tahun 5 – Showa.
3. 支那佛教寺院の金融事業(大谷學報14-1). Michibata Ryoshu,Tahun 8 –
Showa.
4. 唐中期以後の長安功德使(東方學報京都4). Tsukamoto Zenryu,Tahun 9 –
Showa.
5. 支那け于ける佛教の民眾教化(日本佛教學協會年報12). Michibata Ryoshu,
Tahun 12 – Showa.
6. 梁戶考(支那佛教史學2-1,3,4). Naba Toshisada,Tahun 12 – Showa.
7. 宿坊としての唐代寺院(支那佛教史學2-1). Tahun 13 – Showa.
8. 會昌の廢佛について(支那佛教史學6-1). Kamekawa Kyoshin,Tahun 17 –
Showa.
9. 俗講と變文(佛教史學1-2,3,4). Naba Toshisada,Tahun 25 – Showa.
10. 簡易宿泊所としての唐代寺院の對俗開放(龍谷史壇33). Naba Toshisada,
Tahun 26 – Showa.
11. 中國佛教と中世の國家意識 (中國佛教史論). Takao Giken,Tahun 27 –
Showa.
12. 敦煌本阿毘曇經卷二十六の跋について──則天武後時代の偽濫佛教け關す
る一資料の紹介(大谷學報33-2). Nogami Shunjo,Tahun 28 – Showa.
13. 韓愈の排佛論をぬぐろ一考察(大阪大學南北分校研究集錄2). Shimizu
Kiyoshi,Tahun 29 – Showa.
14. 唐代宗教刑法け關する管見(東方宗教4.5合集號). Akizuki Kanei,Tahun
29 – Showa.
15. 吐蕃佛教の史料について(東洋史研究13-5). Sato Hisahi,Tahun 29 – Showa.
16. 中國倫理と唐代佛教(佛教史學3-3). Ogasawara Senshu,Tahun 29 – Showa.
17. 唐代の大悲觀音(佛教藝術20,21,22). Kobayashi Taichiro,Tahun 29 & 30 –
Showa.
18. 中晚唐五代の佛教寺院の俗講の座けおける變文の演出法けつきて(甲南大
學文學論集2). Naba Toshisada,Tahun 30 – Showa.

268
19. 大唐蘇常侍寫真定本──唐代一宦官の佛教信仰(福井博士頌壽記念東洋思
想論集). Makita Tairyo,Tahun 35 – Showa.
20. 中國佛教の經濟思想──(福井博士頌壽記念東洋思想論集). Michibata
Ryoshu,Tahun 35 – Showa.
21. 唐長安大安國寺利涉について(東方學報京都31). Makita Tairyo,Tahun 36
– Showa.
22. 敦煌の寺戶について(史林44-5). Chikusa Masaaki,Tahun 36 – Showa.
23. 中唐の佛教の變動と國家權力(東洋文化研究所紀要25). Kamata Shigeo,
Tahun 36 – Showa.
24. 唐代前半期の僧道所隸について(東方宗教19). Shigenoi Shizuka,Tahun
37 – Showa.
25. 曇曠と敦煌の佛教學(東方學報京都35). Ueyama Daishun,Tahun 39 –
Showa.
26. 唐末佛教の一出──知玄とその周邊(結城教授頌壽記念佛教思想史論集).
Nogami Shunjo,Tahun 39 – Showa.
27. 白居易の文學と佛教──僧徒との交涉を中心として(大谷大學研究年報
16). Hirano Kensho,Tahun 39 – Showa.
28. 蘇軾と佛教(東方學報京都36). Chikusa Masaaki,Tahun 39 – Showa.
29. 王 維 と 佛 教 ── 唐 代 士 大 夫 崇 佛 へ の 一 瞥 ( 東 洋 史 研 究 24-1). Fujiyoshi
Masumi,Tahun 40 – Showa.
30. 吐魯蕃佛教史研究(佛教文化研究所紀要5). Ogasawara Senshu,Tahun 41
– Showa.
31. 柳宗元けおける佛教容受の一出(大谷學報47-1). Kawachi Shoen,Tahun 42
– Showa.
32. 晚唐河西地區的三位都僧統──論吳僧統·洪辯·吳辯·吳和尚非一人(冊府9-
12) Su Yinghui ,1963.
33. 解說西域記. Hori Kentoku,前川文榮閣,Tahun 1 – Taisho.
34. 唐代寺院の經濟史的研究. Michibata Ryoshu,佛教法制經濟研究所,Tahun
9 – Showa.
35. 唐代の佛教儀禮. Otani Koushou,有光社,Tahun 11 – Showa.
36. 大唐西域記の研究(上下). Adachi Kiroku,法藏館,Tahun 18 – Showa.

269
37. 唐代佛教史の研究. Michibata Ryoshu,法藏館,Tahun 32 – Showa.
38. 大谷大學所藏敦煌古寫經. Nogami Shunjo,大谷大學東洋學研究室,Tahun
40 – Showa.
39. 隋唐佛教史の研究. Yamazaki Hiroshi,法藏館,Tahun 42 – Showa.

Bab VIII : Buddhisme Dinasti Tang (2)

1. 道宣の支那戒律史上け于ける地位(支那佛教史學3-2). Kansho Entetsu 著,


Tahun 14 – Showa.
2. 善導教學研究號──大原教授還歷記念特集(真宗學17,18). Ohara Shojitsu,
Tahun 32 – Showa.
3. 唐西明寺道宣律師考(福井博士頌壽記念東洋思想論集). Yamazaki Hiroshi,
Tahun 35 – Showa.
4. 曇鸞傳の一出について──道宣の記載け關する私見(福井博士頌壽記念東
洋思想論集). Nogami Shunjo,Tahun 35 – Showa.
5. 唐代西州けおける淨土教(龍谷史壇50). Ogasawara Senshu,Tahun 37 –
Showa.
6. 中國佛教史上け于ける監真和上(南都佛教15). Tsukamoto Zenryu,Tahun
39 – Showa.
7. 唐中期の淨土教. Tsukamoto Zenryu,東方文化研究所,Tahun 08 – Showa.
8. 大唐西域求法高僧傳. Adachi Kiroku,法藏館,Tahun 08 – Showa.
9. 中國の淨土教と玄中寺. Michibata Ryoshu,永田文昌堂,Tahun 25 – Showa.
10. 續高僧傳私考──淨土三祖傳. Nogami Shunjo,真宗大谷派安居事務所,
Tahun 34 – Showa.
11. 鑒真大和上傳之研究. Ando Kosei,平凡社,Tahun 35- Showa.

Bab IX : Buddhisme Dinasti Tang (3)

1. 惠果和尚について(東洋學報17). Murakami Chogi,Tahun 03 – Showa.


2. 禪宗の初祖としての達摩の禪法(日華佛教研究會年報1). D.T Suzuki,
Tahun 11 – Showa.
3. 楞伽宗考(譯文)(日華佛教研究會年報1). Hu Shi,Tahun 11 – Showa.

270
4. 支那唯識學上け于ける楞伽師(支那佛教史學1-1). Yuki Reimon,Tahun 12
– Showa.
5. 支那華嚴宗傳統論,續華嚴宗傳統論(支那佛教の研究). Tokiwa Daijo,
Tahun 15 s/d 19 – Showa.
6. 最近の支那禪宗史研究(佛教研究5,6). Furuta Shokin,Tahun 16 – Showa.
7. 支那華嚴宗傳統と李通玄の立場(日華佛教研究會年報6). Kamekawa
Kyoshin,Tahun 18 – Showa.
8. 唯識宗の支那三祖(日華佛教研究會年報6). Fukihara Shoshin,Tahun 18 –
Showa.
9. 一行禪師の研究(密教研究87). Osabe Kazuo,Tahun 19 – Showa.
10. 唐代禪宗高僧の士庶教化(羽田博士頌壽記念東洋史論叢). Osabe Kazuo,
Tahun 25 – Showa.
11. 中國け于ける密教の容受について(佛教文化研究2). Tsukamoto Shunko,
Tahun 27 – Showa.
12. 燈史の系譜(日本佛教學會年報19). Yokoi Seizan,Tahun 29 – Showa.
13. 荷澤神會禪師考(東洋史學論集2). Yamazaki Hiroshi,Tahun 29 – Showa.
14. 中國禪宗史け于ける五家の地位と性格(駒澤大學研究紀要14). Masunaga
Reiho,Tahun 31 – Showa.
15. 牛頭禪の歷史と達摩禪(宗教文化 14). Sekiguchi Shindai,Tahun 34 –
Showa.
16. 禪宗と天台宗との交涉(大正大學研究紀要44). Sekiguchi Shindai,Tahun
34 – Showa.
17. 禪宗初期の修道論──神會の頓悟禪を中心として(禪學研究50). Kimura
Shizuo,Tahun 35 – Showa.
18. 唐 荊 州 玉 泉 寺 大 通 禪 師 神 秀 考 ( 結 城 教 授 頌 壽 記 念 佛 教 思 想 論 集 ) .
Yamazaki Hiroshi,Tahun 39 – Showa.
19. 圭峰宗密考(龍谷史壇56,57). Yamazaki Hiroshi,Tahun 41 – Showa.
20. 唐代溈仰宗考(山崎先生退官記念東洋史學論集). Abe Choichi,Tahun 42-
Showa.
21. 神會和尚遺集. Hu Shi ,東亞圖書館,1930.

271
22. Gernet, Jacques; Biographie du Maitre Chen-houei du Ho-tso(神會和尚668-
760), Contribution a`l'histoire de l'école du Dhyana. JA.CCXXXIX,I1951.
23. Gernet, Jacques; Les entretiens du Maitre Ling-yeou(靈佑771-853)duKoueichan
(溈山). BEFEO, TomeXL V, Fasc.1 1951.
24. Chapin, Helen B. ; Three Early Portraits of Bodhidharma. ACASA. 1. (1945-
1946).
25. Lanciotti, Lionello; New Historic Contributions to the Person of Bodhidharma.
Artibus Asiae XII, 1/2, (1949).
26. 密教發達志. Omura Seigai,佛書刊行會,Tahun 07 – Taisho.
27. 秘密佛教史. Toganoo Shoun,高野山大學出版部,Tahun 03 – Showa.
28. 心意識上よりみたる唯識思想史. Yuki Reimon,東方文化學院東京研究所,
Tahun 10 – Showa.
29. 禪宗史研究1,2,3. Ui Hakuju,岩波書店,Tahun 14 s/d 18 – Showa.
30. 達摩の研究. Bunzaburo Matsumoto,第一書房,Tahun 17 – Showa.
31. 禪宗思想史. Masunaga Reiho,日本評論社,Tahun 19 – Showa.
32. 臨濟及臨濟錄の研究. Rikukawa Taiun,喜久屋書店,Tahun 24 – Showa.
33. 達摩大師の研究──達摩大師の思想と達摩禪の形成. Sekiguchi Shindai,彰
國社,Tahun 32 – Showa.
34. 由或禪宗史の研究──南宗禪成立以後の政治社會史的考察. Abe Choichi,駒
澤大學歷史研究室,Tahun 35 – Showa.
35. 一行禪師の研究. Osabe Kazuo,神戶商科大學經濟研究所,Tahun 38 –
Showa.
36. 禪思想體系. Ito Eiji,鳳舍,Tahun 38 – Showa.
37. 禪宗思想史. Sekiguchi Shindai,山喜房佛書林,Tahun 39 – Showa.
38. 初期禪宗史書の研究. Yanagida Seizan,法藏館,Tahun 42 – Showa.
39. 達摩の研究. Sekiguchi Shindai,岩波書店,Tahun 42 – Showa.

Bab X : Buddhisme Dinasti Tang (4)

1. 唐代の後期密教──唐代密教の中國性格(佛教史學10-2). Osabe Kazuo,


Tahun 37 – Showa.

272
2. 唐中期け于ける密教興隆の社會基盤(神戶山手女子短期大學紀要 7).
Takeshima Atsuo,Tahun 38 – Showa.
3. 中國密教史研究①(人文論集2-1). Osabe Kazuo,Tahun 40 – Showa.
4. 漢譯佛典流傳上の一問題──金剛般若經の冥司偈について(龍谷史壇56,57).
Makita Tairyo,Tahun 41 – Showa.
5. 日支佛教交涉史研究. Tsukamoto Zenryu,弘文堂,Tahun 19 – Showa.
6. 入唐求法巡禮行記の研究. Ono Katsutoshi,鈴木學術財團,Tahun 39 s/d 42 =
Showa.

Bab XI : Buddhisme Masa Lima Dinasti

1. 後周世宗の佛教政策(東洋史研究11-3). Makita Tairyo,Tahun 26 – Showa.


2. 吳越の佛教──特け天台德詔とその嗣永明延壽について(大谷大學研究年
報7). Hatanaka Joen,Tahun 29 – Showa.
3. 唐、五代けおける福建佛教の展開(佛教史學7-1). Chikusa Masaaki,Tahun
33 – Showa.
4. 唐末五代の河北地方け于ける禪宗興起の歷史的社會的事情について(日本
佛教學會年報25). Yanagida Seizan,Tahun 35 – Showa.
5. 吳越佛教の一考察(北陸史學9). Sugitani Yoshiaki (杉谷惠昭),Tahun 35 –
Showa.
6. 唐五代の童行制度(東洋史研究21-1). Fujiyoshi Masumi,Tahun 37 – Showa.

Bab XII : Buddhisme Dinasti Song-Utara

1. 大藏經雕印考(哲學雜誌313-324). Tokiwa Daijo,Tahun 02 – Taisho.


2. 宋の財政難と佛教(桑原博士還歷記念東洋史論叢). Tsukamoto Zenryu,
Tahun 05 – Showa.
3. 宋代の功德墳寺(龍谷史壇21). Ogawa Kanichi,Tahun 13 – Showa.
4. 趙宋の譯經事業(佛教史雜考). Bunzaburo Matsumoto,Tahun 19 – Showa.
5. 宋代の佛教諸制度(中國佛教史論). Takao Giken,Tahun 27 – Showa.
6. 君主獨裁社會け于ける佛教教團の立場(佛教文化研究3). Makita Tairyo,
Tahun 28 – Showa.

273
7. 清涼寺釋迦像封藏の東大寺然の手印立誓書(佛教文化研究4). Tsukamoto
Zenryu,Tahun 29 – Showa.
8. 中國け于ける民俗佛教成立の一過程──泗州大聖僧伽和尚について(京大
人文創立二十五週年紀念論文集). Makita Tairyo,Tahun 29 – Showa.
9. 宋初の佛像と然(佛教文化研究4). Tsukamoto Shunko,Tahun 29 – Showa.
10. 參天台五台山記について(駒澤史學5). Mori Katsumi,Tahun 31 – Showa.
11. 入宋僧然の事跡(上下)(日本歷史133,134). Kimiya Yukihiko,Tahun 34 –
Showa.
12. 宋代佛日契嵩について(上下)(駒澤史學8,9). Abe Choichi,Tahun 34 s/d
36 – Showa.
13. 宋代福州の佛教(塚本博士頌壽記念佛教史學論集). Sogabe Shizuo,Tahun
36 – Showa.
14. 宋の張商英について(東方學報22). Ando Tomonobu,Tahun 36 – Showa.
15. 三教優劣傳について(佛教文化研究11). Makita Tairyo,Tahun 37 – Showa.
16. 宋代佛教と人頭稅(山崎先生退官記念東洋史學論集). Michibata Ryoshu,
Tahun 42 – Showa.
17. 北宋叢林の經濟生活(駒澤大學佛教學部研究紀要25). Sato Tatsugen,
Tahun 42 – Showa.
18. 北宋時代の公度制と祠部牒(龍谷史壇58). Ogawa Kanichi,Tahun 42 –
Showa.
19. 北宋の受戒制と六念·戒牒(龍谷大學論集386). Ogawa Kanichi,Tahun 43
– Showa.
20. 中國近世佛教史研究. Makita Tairyo,平樂寺書店,Tahun 32 – Showa.
21. 日支佛教史論考. Iwai Hirosato,東洋文庫,Tahun 32 – Showa.

Bab XIII : Buddhisme Dinasti Song-Selatan

1. 宋以後の佛教宗派(支那佛教史の研究). Yamanouchi Singyo,Tahun 10 –


Taisho.
2. 宋儒と佛教(龍大論叢288). Honda Shigeyuki,Tahun 04 – Showa.
3. 宋元時代の白雲宗門(史淵2). Shigematsu Shunsho,Tahun 10 – Showa.

274
4. 南宋子元の白蓮宗とその餘黨の邪說(淨土學 14). Mochizuki Shinko,
Tahun 14 – Showa.
5. 宋代の淨土教結社(宗學研究18). Kasuga Reichi,Tahun 16 – Showa.
6. 宋代佛教結社の研究(史學雜誌52-1,2,3). Suzuki Chusei,Tahun 16 – Showa.
7. 中國近世の佛教結社の問題( 龍谷大學論集336). Ogasawara Senshu,
Tahun 24 – Showa.
8. 往生傳の研究(中國淨土教學の研究). Ogasawara Senshu,Tahun 26 –
Showa.
9. 宋代淨土教の研究(中國佛教史論). Takao Giken,Tahun 27 – Showa.
10. 宋學の源流けおける禪的環境(禪學研究45). Kusumoto Bunyu,Tahun 29
– Showa.
11. 近世シナ大眾の女身觀音信仰(山口博士還歷記念論文集) . Tsukamoto
Zenryu,Tahun 30 – Showa.
12. 趙州禪と雲門禪(日本佛教學會年報22). Oi Saidan,Tahun 32 – Showa.
13. 宋代けおける念佛禪の潮流(龍谷史壇44). Ogisu Jundo,Tahun 33 – Showa.
14. 道元禪師と宋朝禪(日本佛教學會年報26). Kagamishima Genryu,Tahun 36
– Showa.
15. 近世中國けおける觀音信仰(塚本博士頌壽記念佛教史學論集) . Saeki
Tomi,Tahun 36 – Showa.
16. 宋代の黃龍派の發展──黃龍慧南について(駒澤史學10). Abe Choichi,
Tahun 37 – Showa.
17. 荊溪湛然の事跡け就いて(大崎學報117). Hibi Nobumasa,Tahun 38 –
Showa.
18. 宋代の居士王日休と淨土教(結城令聞Yuki Reimon教授頌壽記念佛教思想
史論集). Ogasawara Senshu,Tahun 39 – Showa.
19. 宋元時代の淨土教(歷史教育14-8). Ogasawara Senshu,Tahun 41 – Showa.
20. 趙宋天台と淨土教(龍谷史壇56,57). Nakayama Shoko,Tahun 41 – Showa.
21. 十一世紀以降の中國佛教教線の概況(大谷大學研究年報 19). Shigenoi
Shizuka,Tahun 42 – Showa.
22. 中國近世淨土教けおける特異性(山崎先生退官記念東洋史學論集) .
Ogasawara Senshu,Tahun 42 – Showa.

275
23. 中國近世淨土教史の研究. Ogasawara Senshu,百華苑,Tahun 38 – Showa.
24. 南宋初河北新道教考. Chen Huan,輔仁大學,1941.
25. 禪宗叢林制度與中國社會. Nan Huai-Chin,1964.

Bab XIV : Buddhisme Dinasti Liao dan Jin

1. 契丹佛教の社會史的考察(大谷學報 18-1). Tamuro Jitsuzo ,Tahun 12 –


Showa.
2. 遼代佛教け關する研究の發展(遼金の佛教). Nogami Shunjo,Tahun 18 –
Showa.
3. 金代の佛教け關する研究について(遼金の佛教). Nogami Shunjo,Tahun
28 – Showa.
4. 金代遼陽の渤海人と佛教(塚本博士頌壽記念佛教史學論集) . Toyoma
Gunji,Tahun 36 – Showa.
5. 契丹佛教發展考(大陸雜誌18-4,5,6). Han Daocheng,1959.
6. 契丹佛教文化史考. Kamio Kazuharu,滿洲文化協會,Tahun 12 – Showa.
7. 遼金時代の建築と其の佛像. Takeshima Takuchi,龍文書局,Tahun 19 –
Showa.
8. 遼金の佛教. Nogami Shunjo,平樂寺書店,Tahun 28 – Showa.

Bab XV : Buddhisme Dinasti Yuan

1. 初期の白蓮教會について(市村博士古稀記念東洋史論叢) . Shigematsu
Shunsho, Tahun 10 – Showa.
2. 元時代の僧侶と社會(服部先生古稀記念祝賀論文集) . Aritaka Iwao,
Tahun 12 – Showa.
3. 元の功德使司について(支那佛教史學6-2). Nogami Shunjo,Tahun 17 –
Showa.
4. 元代道佛二教の確執(大谷大學研究年報2). Nogami Shunjo,Tahun 18 –
Showa.
5. 學僧宗喀巴(東方學報京都17). Nagao Gajin,Tahun 24 – Showa.
6. 元の上都の佛教(佛教史學1-2). Nogami Shunjo,Tahun 25 – Showa.

276
7. 元の宣政院について(羽田博士頌壽記念東洋史論叢). Nogami Shunjo,
Tahun 25 – Showa.
8. 元代の寺院財產と其の性格粗描(史學研究2). Yokoyama Suguru,Tahun
25 – Showa.
9. 元代普度の白蓮宗復興運動(佛教史學1-4). Ogasawara Senshu,Tahun 25 –
Showa.
10. 元代白雲宗教團の活躍(佛教史學3-1). Ogawa Kanichi,Tahun 27 – Showa.
11. 元代白蓮宗の消長(龍大論集344). Ogasawara Senshu,Tahun 27 – Showa.
12. 蒙古大藏經の成立過程(附:東洋文庫蒙古文甘珠爾略目錄──佛教史學6-
1). Kanaoka Shuyu,Tahun 32 – Showa.
13. 元代白雲宗門の活躍狀態(東西學術研究所論叢23). Ogawa Kanichi,
Tahun 33 – Showa.
14. 元代佛教の免囚運(大谷學報38-4). Nogami Shunjo,Tahun 34 – Showa.
15. 桑哥と楊璉真伽──元代史の一面(大谷大學研究年報11) Nogami Shunjo,
Tahun 34 – Showa.
16. 元代佛教け關する一問題──喇嘛教と漢人佛教(塚本博士頌壽記念佛教史
論集). Nogami Shunjo,Tahun 36 – Showa.
17. 元の帝師け關する研究──系統と年次を中心として(大谷大學研究年報
17). Inaba Shoju,Tahun 40 – Showa.
18. 元代喇嘛教と民眾(歷史教育14-8). Nogami Shunjo,Tahun 41 – Showa.
19. 元 の 世 祖 と 道 教 ── 特 け 正 一 教 を 中 心 とし て ( 大 谷 學 報 46-3) . Shiga
Takayoshi,Tahun 41 – Showa.
20. 元代叢林の經濟生活──敕修百丈清規を中心として(印度學佛教學研究16-
1). Sato Tatsugen,Tahun 42 – Showa.
21. 白蓮教社の變容をめぐつて(山崎先生退官記念東洋史學論集). Noguchi
Tetsuro,Tahun 42 – Showa.
22. 元朝「宣政院」考──その二面的性格を中心として(大谷學報46-4).
Fujishima Tateki,Tahun 42 – Showa.
23. 白蓮教的源流及其和摩尼教關係(歷史教學問題1959-5). Fang Qingying,
1959.

277
24. 蒙古の喇嘛教. Hashimoto Koho,佛教公論社,Tahun 17 – Showa.
25. 蒙古喇嘛廟記. Nagao Gajin,高桐書院,Tahun 22 – Showa.
26. 蒙古學問寺. Nagao Gajin,全國書房,Tahun 22 – Showa.
27. モソゴルのラマ教.外務省アジア局中國課譯及出版,Tahun 38 – Showa.

Bab XVI : Buddhisme Dinasti Ming

1. 明代け于ける宗教融合と功過格(史潮6-3). Shimizu Yasutsugu,Tahun


11 – Showa.
2. 明初の寺院(支那佛教史學2-4). Tatsuike Kiyoshi,Tahun 13 – Showa.
3. 明代の瑜伽教僧(東方學報東京 11-1). Tatsuike Kiyoshi ,Tahun 15 –
Showa.
4. 明代け于ける賣牒(東方學報東京11-2). Tatsuike Kiyoshi,Tahun 15 –
Showa.
5. 明末佛教と基督教との相互批判(大谷學報 29-2,3,4). Ocho Enichi ,
Tahun 24 s/d 25 – Showa.
6. 明初の僧道衙門(大谷學報27-1), Nogami Shunjo,Tahun 25 – Showa.
7. 明代け于ける三教思想(東洋史研究12-1). Mano Senryu,Tahun 27 –
Showa.
8. 雲棲袾宏と明清佛教(中國佛教史論). Takao Giken,Tahun 27 – Showa.
9. 袁了凡の思想と善書(中國の社會と宗教). Sakai Tadao,Tahun 29 –
Showa.
10. 明末の天台學匠幽溪傳燈の教學(大谷學報34-3). Ando Toshio,Tahun
29 – Showa.
11. 中國明代の僧官について(大谷學報36-3). Mano Senryu,Tahun 31 –
Showa.
12. 明清淨土教の指向(石浜先生古稀記念東洋學論叢). Ogasawara Senshu,
Tahun 33 – Showa.
13. 明 朝 と 太 和 山 に つ い て ( 大 谷 學 報 38-3). Mano Senryu , Tahun 33 –
Showa.
14. 道衍傳小稿──姚廣孝の生涯(東洋史研究18-2). Makita Tairyo,Tahun
34 – Showa.

278
15. 居士としての錢牧齋──錢牧齋と佛教(福井博士頌壽記念東洋思想論
集). Yoshikawa Kojiro,Tahun 35 – Showa.
16. 明の武宗の「活佛」迎請について(塚本博士頌壽記念佛教史學論集).
Sato Hisahi,Tahun 36 – Showa.
17. 明末の紅封教と挺擊の案(塚本博士頌壽記念佛教史學論集). Sakai
Tadao,Tahun 36 – Showa.
18. 妙峰福登の事跡について(塚本博士頌壽記念佛教史學論集). Hibino
Takeo,Tahun 36 – Showa.
19. 中 國 け お け る 居 士 佛 教 と 倫 理 ( 日 本 佛 教 學 會 年 報 27 ) . Ogawa
Kanichi,Tahun 37 – Showa.
20. 明の太祖と天師道──特け張正常を中心として(東方宗教22). Shiga
Takayoshi,Tahun 38 – Showa.
21. 「 眾 喜 寶 卷 」 所 見 の 明 清 教 門 史 料 ( 天 理 大 學 學 報 45 ) . Sawada
Mizuho,Tahun 39 – Showa.
22. 禪僧玉芝法聚と陽明學派(九州中國學會報10). Araki Kengo,Tahun 39
– Showa.
23. 開心法要と無為教(結城教授頌壽記念佛教思想史論集). Sakai Tadao,
Tahun 39 – Showa.
24. 明の建文帝の後日譚(龍谷史壇56,57).野上俊靜Nogami Shunjo,Tahun
41 – Showa.
25. 策彥入明記の研究. Makita Tairyo,法藏館,Tahun 30 & 34 – Showa.
26. 明季滇黔佛教. Chen Huan,輔仁大學,1940.

Bab XVII : Buddhisme Dinasti Qing

1. 清朝帝室と佛教(支那佛教史之研究). Yamanouchi Singyo,Tahun 10 –


Taisho.
2. 清代と佛教殊け臨濟宗(大谷學報16-3). Fujii Sosen,Tahun 10 – Showa.
3. 清代佛教之概略(和譯)(日華佛教研究會年報6).談玄.誠慧譯,Tahun 18
– Showa.
4. 龔定菴の佛教學(龍谷史壇31). Ogawa Kanichi,Tahun 24 – Showa.

279
5. 居士佛教,近世的發展(龍大論叢338). Ogawa Kanichi,Tahun 25 – Showa.
6. 明清政治の佛教去勢(佛教文化研究2). Tsukamoto Zenryu,Tahun 27 –
Showa.
7. 居士佛教けおける彭際清の地位(佛教文化研究2). Makita Tairyo,Tahun
27 – Showa.
8. 雍正帝の儒佛道三教一體觀(東洋史研究18-3). Tsukamoto Shunko,Tahun
34 – Showa.
9. 康熙帝とラマ教──カルカ部の歸屬をめぐつて(塚本博士頌壽記念佛教史
學論集). Tamuro Jitsuzo,Tahun 36 – Showa.
10. 乾隆帝の教團肅正政策と雍正帝(佛教文化研究11). Tsukamoto Shunko,
Tahun 37 – Showa.
11. Groot, J. J. M. de; The Religious System of China, Its Ancient Forms,Evolution,
History and Present Aspect, Manners, Customs and SocialInstitutions Connected
therewith. 6 Vols. Leiden 1892.
12. Groot, J. J. M. de; Sectarianism and Religious Persecution in China: A pagein the
History of Religious. 2 Vols. Leiden 1901.

Bab XVIII : Buddhisme Era Republik Tiongkok

1. 清末以後け于ける廟產興學と佛教教團(東亞研究64). Makita Tairyo,


Tahun 17 – Showa.
2. 中華民國の佛教(佛教大學編,東洋學論叢). Tsukamoto Zenryu,Tahun 27
– Showa.
3. 現 代中國の密教信仰(智山學報 1 ). Yoshiyoka Yoshitoyo ,Tahun 29 –
Showa.
4. 現代中國の密教政策(塚本博士頌壽記念佛教史學論集). Otake Fumio,
Tahun 36 – Showa.
5. 近世中國佛教けおける戒の變容(日本佛教學會年報32). Ogawa Kanichi,
Tahun 41 – Showa.
6. 中華佛教印象記. D.T Suzuki,森江書店,Tahun 09 – Showa.
7. 影塵回憶錄. Tanxu,香港華南佛學院,1954.
8. 太虛大師全書六四冊年譜二冊.同編纂委員會,1956.

280
9. Blofield, John; The Jewel in the Lotus. An Outline of Present Day &Jackson.
1949.
10. Chan, Wing-tsiti; Religious Trends in Modern China. New York ColumbiaUniv.
Press, 1953.
11. Chou Hsiang Kuang(周祥光); Tai Hsu(太虛)Indin, 1957.
12. Yang I-fan; Buddhism in China. Hongkong, 1956.
13. Welch; The Practice of Chinese Buddhism 1900-1950. Harvard UniversityPress,
1967.

Daftar Referensi Lain:

1. 支那佛教史の既刊書概觀(支那佛教史學1-1). Michibata Ryoshu,Tahun 12 –


Showa.
2. 支那佛教社會經濟史の研究について(支那佛教史學1-2). Michibata Ryoshu,
Tahun 12 – Showa.
3. 支那禪宗史研究の展望(支那佛教史學3-1). Takao Giken,Tahun 14 – Showa.
4. 支那淨土教研究の回顧(支那佛教史集3-3,4;4-1,2). Michibata, Ogasawara &
Kasuga,Tahun 14 & 15 – Showa.
5. 支那天台研究の回顧(支那佛教史學4-4). Shizutani Masao ,Tahun 16 –
Showa.
6. 華嚴教學研究の回顧(支那佛教史學5-1). Kono Unshu ,Tahun 16 – Showa.
7. 戰後佛教史學の回顧と展望(佛教史學特集號).佛教史學會編,Tahun 31 –
Showa.
8. 戰後日本けおける中國佛教.道教史集の動向──塚本·福井兩博士頌壽記念論
集二著を通して(史潮78,79). Abe Choichi,Tahun 37 – Showa.
9. 佛教史論. Bunzaburo Matsumoto ,弘文堂,Tahun 04 – Showa.
10. 支那け于ける佛教と儒教道教. Tokiwa Daijo ,東洋文庫,Tahun 06 – Showa.
11. 支那儒佛道三教史論. Kubota Ryoon ,東方書院,Tahun 06 – Showa.
12. 支那佛教精史. Sakaino Koyo ,同書刊行會,Tahun 10 – Showa.
13. 支那佛教史. Ui Hakuju ,岩波書店,Tahun 11 – Showa.
14. 支那文化史跡十二卷(支那佛教史跡改版). Tokiwa Daijo & Sekino Tadashi,
法藏館,Tahun 12 – Showa.

281
15. 支那佛教史跡踏查記. Tokiwa Daijo ,龍吟社,Tahun 13 – Showa.
16. 支那佛教の研究1,2,3. Tokiwa Daijo ,春秋社,Tahun 15 s/d 17 – Showa.
17. 東亞佛教史. Kanayama Shoko ,理想社,Tahun 17 – Showa.
18. 支那佛教史(支那歷史地理大系). Tsukamoto Zenryu ,白揚社,Tahun 17 –
Showa.
19. 中國佛教史綱要. Ogasawara Senshu ,平樂寺書店,Tahun 24 – Showa.
20. 中國淨土教學の研究. Ogasawara Senshu ,平樂寺書店,Tahun 26 – Showa.
21. 中國佛教史論. Takao Giken ,平樂寺書店,Tahun 27 – Showa.
22. 改訂新版中國佛教史. Michibata Ryoshu ,法藏館,Tahun 40 – Showa.
23. 中國佛教史(3 Jilid ). Jiang Weiqiao ,台灣商務印書館,1929.
24. 中國佛教史籍概論. Chen Huan ,1955.
25. 中國佛教史論集(3 Jilid). Zhang Jia, dkk.,中華文化出版事業委員會,
1955.
26. 釋氏疑年錄. Chen Huan ,1964.

Keterangan penerjemah:
Tahun 1 s/d 14 dari periode Taisho Jepang sama dengan tahun 1 s/d 14 dari era Republik
Tiongkok (1912 – 1925); Tahun 1 s/d 46 dari periode Showa Jepang sama dengan tahun 1926
– 1971 Masehi.

282

Anda mungkin juga menyukai