Anda di halaman 1dari 27

Studi Komparasi Demokrasi Myanmar dan Indonesia Pasca Perang

Dingin

Oleh:
Nama : Dian Octaviani
NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan segala
karunia dan rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Studi Komparasi
Penerapan Demokrasi Myanmar dan Indonesia Pasca Perang Dingin”. Dengan segala
kemudahan dan kelancaran dari Allah saya dapat menyelesaikan makalah tersebut dengan tepat
waktu. Makalah ini akan membahas mengenai penerapan demokrasi yang ada di Myanmar dan
Indonesia pasca perang dingin serta keterlibatan Amerika Serikat dalam penyebarluasan
demokrasi.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester. Selain
sebagai pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester makalah ini saya buat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada
Bapak Nur Aini selaku dosen Sejarah Asia II, sebab tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa
menambah wawasan dan pengetahuan saya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman –
teman saya yang telah mendukung dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terima kasih
juga saya sampaikan kepada orang – orang yang telah menyediakan jurnal maupun buku dengan
tema yang sesuai dengan topik bahasan saya.
Yogyakarta, 20 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Demokrasi Di Myanmar dan Indonesia
2.2 Faktor Pendorong Penerapan Demokrasi Di Myanmar dan Indonesia
2.3 Praktik Demokratisasi Di Myanmar Dan Indonesia

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amerika Serikat seringkali disebut sebagai bapaknya Demokrasi. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena negara ini pertama kali memperkenalkan istilah ini, kemudian menjalaninya
hingga AS merasa sistem demokrasi ini berhasil diterapkan, maka dimulailah penyebaran
benih-benih Demokrasi di berbagai dunia hingga saat ini. Apabila kita tarik hubungan antara
Demokrasi dan kebebasan, tentunya akan terlihat kaitan yang sangat erat. Asal usul berdirinya
AS tidak terlepas dari keinginan untuk membebaskan diri dari pemerintahan represif Inggris
abad ke-17. Orang-orang yang merasa tertekan ini kemudian melakukan pengembaraan
melalui lautan atlantik. Menurut Cipto, sebagian besar pendatang terdiri dari tukang kayu,
petani, pedagang, ahli mesin, pelaut dan berbagai keahlian lainnya. Namun tidak semua
pendatang tiba dengan selamat di benua baru. Dari pendatang inilah yang menjadi cikal-bakal
bangsa Amerika yang sesungguhnya.1

Di tengah situasi politik represif yang melanda masyarakat Inggris abad ke-17 bersamaan
dengan itu muncul para pemikir yang buah pikirannya kemudian menjadi dasar ideologi
bangsa Amerika. Pemikiran-pemikiran mereka sama sekali tidak disukai oleh pemerintah
kerajaan Inggris. Akan tetapi, secara perlahan-lahan pemikiran tersebut menyeberang ke
benua baru dan kemudian tumbuh berkembang bersama masyarakat baru. Salah satu pemikir
besar Eropa yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik Amerika adalah John Locke
(1623-1704). Pakar filsafat politik Inggris ini dikenal memiliki pemikiran-pemikiran besar dan
dianggap paling berpengaruh terhadap para bapak pendiri Amerika. Dari pemikiran John
Locke ini banyak diperoleh benih-benih demokrasi yang kemudian dikembangkan secara luas
dan mendalam oleh para pemikir Amerika. Menurut Dewey dalam Cipto, Demokrasi memiliki
dasar yang sangat sederhana, yakni adanya kebutuhan bagi setiap individu yang telah dewasa
untuk ikut serta dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama mereka.2
Demokrasi diyakini oleh bangsa Amerika sebagai prinsip dasar pembangunan watak bangsa.

Pada penjelasan di atas telah ditekankan bahwa “Amerika meyakini betul bahwa diktator
mustahil diterima eksistensinya sebagai kenyataan hidup”. Pernyataan ini kemudian akan
ditelaah lebih lanjut dengan fakta-fakta yang terjadi terkait dengan implikasi kebijakan
Amerika Serikat dalam penerapan sistem demokrasi di Myanmar. Seperti yang kita ketahui
bahwa dekade terakhir ini hubungan AS dan Myanmar seringkali diwarnai ketegangan
dikarenakan kebijakan AS yang sangat gigih menginginkan penerapan demokrasi sebenar-
benarnya di Myanmar. Ketegangan tersebut disebabkan sikap AS yang mengeluarkan
kebijakan berupa sanksi ekonomi kepada negara junta militer ini.

1
Bambang Cipto, 2007, Politik dan Pemerintahan Amerika, Yogyakarta: Lingkaran Buku, hlm. 2.
2
Ibid, hlm. 3
Apabila kita tarik lebih jauh hubungan antara AS dan Myanmar pada masa perang
dingin. Maka dapat kita temukan hubungan yang mulai renggang sebab Ne Win yang
merupakan panglima militer beraliran sosialis berhasil melakukan kudeta pada tahun 1958 dan
1962 terhadap pemerintahan sipil Myanmar. Hal ini menyebabkan pada tahun 1963, seluruh
bantuan AS ditolak oleh Myanmar dibawah kekuasaan Ne Win. Sejak berada dalam
kekuasaan Ne Win, Myanmar menolak segala bentuk bantuan dari negara kapitalis. Hal ini
berlangsung hingga terjadinya Pemilu tahun 1990 yang memenangkan National League for
Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi. 3 AS kembali mengambil peran untuk
mendukung aktivitas NLD dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar. Di waktu
bersamaan, Uni Soviet yang merupakan seteru AS dalam perang dingin mengalami
keruntuhan. Sehingga Amerika Serikat selaku pemenang perang menjadikan ideologinya serta
sistem yang dinamakan Demokrasi sebagai sistem universal yang disebarkan ke seluruh dunia.

Runtuhnya pemerintahan Soekarno selanjutnya digantikan oleh Soeharto di tahun 1968.


selama 2 tahun Soeharto menerima tugas dari Soekarno guna menyelesaikan kemelut
pemberontakan Gerakan 30 September / PKI atas dasar S u r a t Perintah 11 Maret 1 9 6 6 .
Keberhasilan tugas Soeharto menimbulkan kepercayaan MPR sebagai simbol tertinggi
perwakilan rakyat untuk mengangkatnya selaku Presiden RI. Pada awalnya pemerintahan
Orde Baru dibawah Presiden Soeharto mengedepankan pluralisme dalam menyelenggarakan
demokrasi. Langgam sistem politik yang bersifat pluralistik sebagai perlawanan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara yang otoriter berdasarkan Demokrasi Terpimpin.

Format baru sistem politik Indonesia menemui bentuknya ketika ditetapkan Demokrasi
Pancasila sebagai landasan pelaksanaan demokrasi. Demokrasi Pancasila bagi pemerintahan
Orde Baru dianggap sebagai langkah pelanggaran integrasi nasional berdasarkan ketetapan
MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN, Demokrasi Pancasila diteguhkan dan Pancasila sebagai
satu satunya asas yang mewarnai sistem politik di Indonesia. Formulasi asas tersebut
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1988 Tentang Ormas dan Orpol.
Bagaimanapun juga kanalisasi kekuatan politik dalam keharusannya untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya azas kurang mencerminkan gagasan pluralisme yang
menghendaki keanekaragaman di dalam penyelenggaraan demokrasi.4 Runtuhnya
pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 membawa pula hapusnya konsep dan pelaksanaan
Demokrasi Pancasila di tanah air.

3
Achmad Zulfikar, Diah Sulung Syafitri dan Muhammad Abdul Aziz Putra Andistan, 2013, “Implikasi
Kebijakan Amerika Serikat Dalam Penerapan Sistem Demokrasi Di Myanmar Pasca Perang Dingin”, hlm.
3.
4
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Gama Media, hlm.
236-237.
Penyelenggaraan demokrasi kini bertumpu pada UUD 1945 setelah mengalami
amandemen secara redaksional tugas, fungsi dan wewenang DPR sebagai perwujudan
aspirasi rakyat masih seperti pengaturan UUD 1945 lama. Perubahan hanya menyangkut
sistematika pengaturan, tidak mengenai substansi materi pengaturannya. Pada dasarnya DPR
mempunyai fungsi legislasi (pengaturan), pengawasan dan budgeting (anggaran).

Ada satu kritik yang menyangkut sistem pemerintahan negara. Sistem Pemerintahan
presidensial yang dipertahankan dalam UUD 1945 setelah amandemen oleh Yusril Ihza
Mahendra dan beberapa tokoh lain.5 Dipandang perlu diubah menjadi sistem pemerintahan
parlementer. Alasannya untuk memberi tempat kepada orang yang mempunyai kharisma dan
pengikut tetapi kurang kapabel untuk mengantisipasi sistem multi partai yang tak mungkin
menghasilkan pemenang mayoritas mutlak. Sementara ada pendapat lain yang tetap
menghendaki sistem pemerintahan presidensial. Menurut pendapat tersebut otoriterisme yang
menggejala selama ini, bukan disebabkan oleh sistem pemerintahan yang dianut tetapi oleh
tidak dielaborasikannya secara ketat prinsip prinsip konstitusionalisme dalam UUD 1945.

Diakui bahwa UUD 1945 memang membangun sistem executive heavy, mengandung
ambigu, terlalu banyak atribusi kewenangan sehingga seringkali penguasa negara
menggunakannya guna mengakumulasikan kekuasaannya secara terus menerus. Tepatlah
kalau dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan “yang sangat penting dalam pemerintahan dan
dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara“. Namun
sayangnya kepercayaan tersebut tidak dikawal dengan sistem yang ketat.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana Perkembangan Demokrasi di Myanmar dan Indonesia Pasca Perang


Dingin?
b. Apa Faktor Pendorong Penerapan Demokrasi Myanmar dan Indonesia?
c. Bagaimana Praktik Demokrasi Myanmar dan Indonesia?

1.3 Tujuan

a. Untuk Mengetahui Perkembangan Demokrasi di Myanmar dan Indonesia


b. Untuk Mengetahui Faktor Pendorong Penerapan Demokrasi Myanmar dan Indonesia
c. Untuk Mengetahui Praktik Demokrasi Di Myanmar dan Indonesia.

5
Moh. Mahfud MD, Op Cit, hlm. 153.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Demokrasi Di Myanmar dan Indonesia


a. Perkembangan Demokrasi Di Myanmar Pasca Perang Dingin
Myanmar adalah sebuah negara yang saat ini masih dikuasai oleh rezim militer
yang otoriter. Sudah 40 tahun kelompok militer menguasai kehidupan politik, sosial,
dan ekonomi rakyat Myanmar. Sejak Jenderal Ne Win sampai Jenderal Than Shwe
rezim militer menjalankan kebijakan yang sama yakni memberangus nilai-nilai
demokrasi dan menggantikannya dengan tatanan yang bersifat sentralistik dan otoriter.
Setiap gerakan demokrasi yang muncul sudah pasti mendapat perlawanan dari rezim
yang berkuasa. Secara sistematis rezim militer mampu melemahkan berbagai gerakan
oposisi yang muncul dari masyarakat sipil.6

Samuel P. Huntington, dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the


Late Twentieth Century (1991) mencatat tahun 1974 hingga 1990-an sebagai
gelombang ketiga demokrasi dunia. Huntington melihat peristiwa kudeta oleh
sekelompok perwira muda dalam gerakan Movimento das Forcas Armadas (MFA) di
Portugal yang berhasil menggulingkan diktator Marcello Caetano sebagai awal periode
gerakan ke arah demokrasi di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai gelombang
ketiga demokratisasi dunia.7

Gerakan menuju demokratisasi di Portugal tahun 1974 tersebut kemudian juga


diikuti oleh serangkaian gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia. Selama 15 tahun
berikutnya, gelombang demokratisasi ini berlingkup global di mana sekitar 30 negara
telah bergeser dari otoriterisme menjadi demokrasi dan sekurangnya 20 negara lain
telah dipengaruhi oleh gelombang demokratisasi ini. Kasus Korea Selatan, Thailand,
Filipina, dan bahkan Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana tumbangnya rezim
otoriter di belahan dunia ketiga.

Rasa optimisme yang cukup kental menyebar pada berbagai kalangan pengamat
politik internasional mengenai cerahnya prospek demokratisasi di dunia. Tumbangnya
Uni Soviet dan para penguasa totaliter di Eropa Timur pada awal tahun 1990-an

6
M. Adian Firnas, 2003, “Prospek Demokrasi Di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2, No. 2,
Januari, hlm. 128.
7
Samuel P. Huntington,1991, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth
Century, Oklahoma: University of Oklahoma Press, hlm. 4.
meyakinkan para pengamat bahwa gelombang demokratisasi yang melanda seluruh
belahan dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat mungkin dibendung.

Sebagai negara yang masih dikuasai rezim militer, bukan berarti tidak ada gerakan
demokrasi di negara ini. Seberapa pun derasnya arus demokrasi melanda negara ini,
pemerintahan militer yang berkuasa semakin keras pula membendung gerakan itu,
contohnya adalah penolakan militer terhadap hasil pemilu tahun 1990 yang
menempatkan Aung San Suu Kyi bersama partainya National League for Democratic
(NLD) sebagai pemenang. Berkuasanya kembali pemerintahan militer pada tahun 1990
ini bukanlah merupakan hal yang baru, karena sesungguhnya ia merupakan kelanjutan
dari pemerintahan militer sebelumnya yang telah berkuasa sejak tahun 1962.8

Demokrasi di Myanmar ditandai dengan semakin eratnya hubungan antara


Myanmar dan Amerika. Apalagi ketika itu Myanmar menghadapi masa-masa yang
sulit, sehingga melihat dari hubungannya dengan Amerika. Maka Myanmar ingin
menerapkan sistem demokrasi, sebagaimana tujuan Amerika dalam perdamaian
demokrasi adalah menerapkan sistem demokrasi sebagai sarana yang membawa
perdamaian bagi negara-negara di seluruh dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sistem yang berlaku di Myanmar merupakan demokrasi yang berkiblat pada demokrasi
Amerika Serikat.

Hal pertama yang membuktikan bahwa Myanmar berkiblat pada demokrasi


Amerika Serikat adalah diizinkannya National League for Democracy (NLD) untuk
ikut berkompetisi dalam pemilu. Pemilu tersebut diselenggarakan pada 1 April 2012,
NLD yang dipimpin oleh Suu Kyi berhasil meraih kemenangan. NLS mampu meraih
43 dari 45 jumlah kursi parlemen terbuka dan 37 kursi di Majelis Rendah Dewan
Perwakilan Rakyat. Bahkan Suu Kyi Sendiri berhasil meraih kursi di DPR dengan
konstituante di wilayah Kawhmu, Yangon. Suu Kyi dan anggota parlemen partainya
dilantik pada 2 Mei 2012.

Penerapan demokrasi Myanmar yang berkiblat pada Amerika dapat dilihat dari
dibebaskannya para tahanan politik. Hal ini didasarkan pada hal yang pernah dilakukan
para militer yang menangkap semua aktivis politik, pada saat penerapan demokrasi
mereka yang ditahan dibebaskan. Kemudian pemerintah Myanmar juga melakukan
pencabutan terhadap sistem sensor terhadap pers. Hampir selama 50 tahun sejak kudeta
militer bulan Agustus 1962, kebebasan pers Myanmar memang dipasung. Media
dilarang keras menerbitkan tulisan yang dinilai mengancam ketertiban, keamanan, dan

8
M.Adian.Fimas, Ibid, hlm. 129.
perdamaian. Bahkan tidak sedikit wartawan yang dipenjara karena tulisannya dinilai
mengganggu ketertiban dan keamanan.9

Namun saat ini pers di Myanmar tidak lagi dibatasi, bahkwan wartawan memiliki
kebebasan dalam menulis dan meliput berita tanpa ada rasa takut akan dikenai sensor
dan sanksi penangkapan oleh pemerintah. Sebelum diterapkannya sistem demokrasi,
Myanmar memiliki catatan hak asasi yang cukup buruk pada masa pemerintahan
militer saat ini situasinya telah berubah. Sebagaimana yang dikatakan oleh penasihat
hukum Presiden Thein Sein, U Sit Aye beberapa waktu lalu bahwa konstitusi dan
pemerintahan baru telah menjamin promosi hak-hak asasi manusia dengan dibentuknya
Komisi Hak Asasi Manusia.

Sistem demokrasi ini tampaknya juga memberikan pengaruh pada kaum buruh.
Pada saat pemerintahan militer para buruh tidak memiliki kebebasan dalam menuntut
kesejahteraan, namun saat ini para buruh diberikan kebebasan dalam mendirikan
serikat pekerja dan kebebasan dalam melakukan unjuk rasa. Sistem demokrasi
Myanmar tampaknya tidak hanya memberikan dampak positif secara internal, tetapi
juga eksternal. Hal ini terbukti pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke 19
di Nusa Dua, Bali tahun 2011 bahwa anggota ASEAN sepakat untuk menyerahkan
Ketua ASEAN 2014 kepada Myanmar. Hal ini diputuskan setelah mereka melihat
perubahan pada Myanmar bahwa Myanmar telah menjadi negara demokrasi dan
menghargai hak-hak asasi manusia.

Terakhir, sistem demokrasi Myanmar mendapatkan apresiasi dari Amerika Serikat.


Hal ini terbukti dari kunjungan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Hillary Clinton ke Myanmar. Kunjungan ini menjadi hal yang penting bagi
Myanmar sebab jika mengingat hubungan kedua negara ini sempat tidak baik sejak
tahun 1955. Meskipun dalam kunjungan tersebut Clinton tidak terlihat untuk mencabut
sanksi ekonomi terhadap Myanmar, namun ia tetap mengakui bahwa telah ada
perubahan yang lebih baik dan demokrasi di Myanmar.10

Hasil serupa ditunjukkan dalam Geneva Papers yang diterbitkan oleh Geneva
Centre for Security Policy (GCSP). Dalam laporan bertajuk Virtuality Perception, and
Reality in Myanmar’s Democratic Reform yang ditulis oleh Victoria Christensen
menyebutkan bahwa indikator transisi demokrasi di Myanmar dapat dilihat dari tiga
hal. Pertama, transparansi politik dan sistem pemerintahan. Indikator ini terdiri atas

9
Kompas, 19 September 2012.
10
Asrudin. “Harmoni dalam Demokrasi Myanmar” [http://indonesian.irib.ir/artikel1/-
/asset_publisher/7xTQ/content/harmoni-dalam-demokrasi-myanmar/pop_up] diakses 10 Juni 2022.
kebebasan pers, pembebasan tahanan politik Aung San Suu Kyi, dan reformasi dalam
sistem pemilu. Kedua, pembebasan tahanan politik. Ketiga, penghentian konflik etnis
dan pelanggaran HAM.11

b. Penerapan Demokrasi Di Indonesia Pasca Perang Dingin


Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan, Indonesia sering mengalami perubahan
berlakunya Undang-Undang Dasar. Mulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD 1950,
kembalinya UUD 1945 dan sampai dengan UUD 1945 setelah diamandemen pada
tahun 2002. Secara konsepsional, masing-masing UUD merumuskan pengertian dan
pengaturan hakekat demokrasi menurut visi penyusun konstitusi yang bersangkutan.12

Pada awal kemerdekaan ketika UUD 1945 menjadi hukum dasar tertulis bagi
segenap bangsa Indonesia, muncul pergeseran gagasan ketatanegaraan yang
mendominasi pemikiran segenap pemimpin bangsa. Semula gagasan tentang peranan
negara dan peranan masyarakat dalam ketatanegaraan lebih dikedepankan. Gagasan itu
disebut gagasan pluralisme. Selanjutnya dengan melihat realita belum mungkin
dibentuknya lembaga-lembaga negara seperti dikehendaki UUD 1945 sebagai aparatur
demokrasi yang pluralistik, muncullah gagasan organisme. Gagasan tersebut
memberikan legitimasi bagi tampilnya lembaga MPR, DPR, DPA untuk sementara
dilaksanakan Presiden dengan bantuan Komite Nasional.13

Sekali lagi mengenai peranan (pemerintahan) negara dalam penyelenggaraan


demokrasi terjadi perubahan yang mendasar ketika Ketetapan MPRS No. VIII / MPRS
/ 1965 menerapkan Demokrasi Terpimpin yang oleh Soekarno dikatakan sebagai
demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan sebagai landasan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.14 Ide tentang
Demokrasi Terpimpin banyak ditentang oleh kelompok oposisi. Mereka menolak
gagasan demokrasi semacam itu karena pengertian terpimpin bertentangan dengan
demokrasi. Syarat mutlak demokrasi adalah kebebasan sedangkan kata terpimpin justru
akan meniadakan atau menghilangkan kebebasan itu sendiri. Demokrasi Terpimpin
menuju kearah praktek diktatorial dalam pelaksanaan demokrasi.15

11
Victoria Christensen, “Virtuality Perception, and Reality in Myanmar’s Democratic Reform”
[http://www.humansecuritygateway.com/documents/GCSP_VirtualityPerceptionandRealityinMyanmarsDe
mocr
aticReform.pdf] diakses 10 Juni 2022.
12
Benny Bambang Irawan, 2007, “Perkembangan Demokrasi Di Negara Indonesia”, Hubungan Dan
Dinamika Masyarakat, Vol. 5, No, 1, Oktober, hlm. 58.
13
Moh. Mahfud MD,2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Jakarta: Rineka, hlm. 45.
14
Moh. Yamin, 1971, Naskah Persiapan UUD 1945, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, hlm. 212- 214.
15
Soempono Djojowadono, 1958, Demokrasi Dalam Pembangunan Di Indonesia, Prasaran Seminar
Demokrasi, Yogyakarta: FISIPOL UGM, hlm. 18.
Runtuhnya pemerintahan Soekarno selanjutnya digantikan oleh Soeharto di tahun
1968. selama 2 tahun Soeharto menerima tugas dari Soekarno guna menyelesaikan
kemelut pemberontakan Gerakan 30 September / PKI atas dasar Surat Perintah 11
Maret 1966 . Keberhasilan tugas Soeharto menimbulkan kepercayaan MPR sebagai
simbol tertinggi perwakilan rakyat untuk mengangkatnya selaku Presiden RI. Pada
awalnya pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto mengedepankan
pluralisme dalam menyelenggarakan demokrasi. Langgam sistem politik yang bersifat
pluralistik sebagai perlawanan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang
otoriter berdasarkan Demokrasi Terpimpin.16

Format baru sistem politik Indonesia menemui bentuknya ketika ditetapkan


Demokrasi Pancasila sebagai landasan pelaksanaan demokrasi. Demokrasi Pancasila
bagi pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai langkah pelanggaran integrasi
nasional. Berdasarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN, Demokrasi
Pancasila diteguhkan dan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang mewarnai sistem
politik di Indonesia. Formulasi asas tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1988 Tentang Ormas dan Orpol. Bagaimanapun juga kanalisasi kekuatan
politik dalam keharusannya untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas
kurang mencerminkan gagasan pluralisme yang menghendaki keanekaragaman isme
di dalam penyelenggaraan demokrasi. Runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun
1998 membawa pula hapusnya konsep dan pelaksanaan Demokrasi Pancasila di tanah
air.

Penyelenggaraan demokrasi kini bertumpu pada UUD 1945 setelah mengalami


amandemen. Secara redaksional tugas, fungsi dan wewenang DPR sebagai perwujudan
aspirasi rakyat masih seperti pengaturan UUD 1945 lama. Perubahan hanya
menyangkut sistematika pengaturan, tidak mengenai substansi materi pengaturannya.
Pada dasarnya DPR mempunyai fungsi legislasi (pengaturan), pengawasan dan
budgeting (anggaran).

Mengenai pelaksanaan demokrasi setelah amandemen UUD 1945 menunjukkan


suatu kemajuan. Terbukti bahwa sebagian besar aspirasi rakyat tentang
penyelenggaraan pemerintahan negara telah terakomodir. Sistem pengawasan, regulasi
dan budgeting dari DPR berjalan lancar tanpa campur tangan ataupun intimidasi dari
kekuasaan atau rezim yang sedang berkuasa.17

16
Benny Bambang, Op.cit, hlm. 61.
17
Ibid, hlm. 62.
Hal itu menandakan adanya semangat penyelenggara pemerintahan negara untuk
tidak keluar dari koridor konstitusi dalam mengartikulasikan demokrasi. Checks and
balances memang perlu dalam penyelenggaraan negara. Terlalu kuatnya posisi DPR
dibanding pemerintah akan menjadikan ketidakberdayaan pemerintah dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. Sebaliknya, terlalu kuatnya pemerintah ketika
berhadapan dengan DPR akan menjadikan lemahnya fungsi regulasi, pengawasan dan
budgeting.

Untuk menciptakan suasana dinamis dalam penyelenggaraan negara tidak hanya


dibutuhkan konstitusi yang memberikan bingkai pengaturan tentang demokrasi tetapi
juga adanya kesadaran dari pihak pemerintah maupun DPR untuk tidak terlalu
berlebihan dalam berkompetisi. Itikad baik kedua belah pihak sangat diperlukan, yang
terpenting adalah tercapainya tujuan membentuk masyarakat adil dan makmur
secepatnya.

2.2 Faktor Pendorong Penerapan Demokrasi Di Myanmar dan Indonesia


a. Faktor Pendorong Penerapan Demokratisasi Di Myanmar
Upaya demokratisasi oleh junta militer di Myanmar tidak terlepas dari pengaruh
internal dan eksternal yang cukup besar. Pengaruh internal dimulai dengan munculnya
krisis ekonomi di Myanmar yang telah menyebabkan masyarakat hidup dalam
keterbelakangan sosial (kemiskinan). Pada dimensi ini, telah terjadi kegagalan
pemerintah dalam mengatasi persoalan kebutuhan mendasar bagi rakyatnya, antara lain
kegagalan dalam mempertahankan tingkat kemakmuran rakyat, yang pada akhirnya
Myanmar masuk kedalam kategori negara terendah se-Asia Tenggara, dan kategori
negara miskin tahun 1997 berdasarkan laporan UNDP. Tuntutan-tuntutan terkait krisis
ekonomi ini tidak hanya muncul dari kelompok masyarakat pro demokrasi, namun juga
dari lembaga keuangan internasional dan negara-negara lain yang melakukan hubungan
perdagangan dengan Myanmar.

Faktor selanjutnya yang menambah beban masalah Myanmar adalah semakin


menguatnya civil society, partai oposisi, sampai dengan kelompok separatis yang menjadi
beban panjang pemerintahan Myanmar. Kelompok masyarakat ini berjuang keras untuk
demokrasi dan kenaikan harga, juga menginginkan adanya perubahan yang berarti di
dalam negeri seperti halnya perubahan kekuasaan dari junta militer ke pemerintahan sipil
yang lebih demokratis. Myanmar terlalu lama dikendalikan oleh pemerintahan junta
militer yang otoriter dan sentralistik, serta cara-cara kekerasan yang dilakukan
pemerintahan menyebabkan semakin menguatnya kelompok oposisi dalam melakukan
aksi pemberontakan, salah satunya adalah partai NLD bentukan Aung San Suu Kyi, tokoh
moral demokrasi di Myanmar, yang paling keras menyuarakan demokrasi dibandingkan
kelompok masyarakat lainnya.
Beban masalah pun semakin bertambah ketika negara-negara donor dan juga
lembaga keuangan internasional melakukan penutupan pinjaman keuangan terhadap
Myanmar. Setiap aksi yang dilakukan junta militer terkait dengan pelanggaran demokrasi
dan hak asasi manusia, telah memunculkan respon dunia internasional untuk bergerak
lebih cepat menekan kekerasan yang dilakukan junta militer. Indikator kemiskinan juga
telah membuat hubungan dengan negara-negara lain pun menjadi terhambat, dan
memunculkan respon dari dunia internasional untuk melakukan tindakan yang lebih keras
terhadap pemerintahan Myanmar, salah satunya dengan pemberhentian pinjaman
keuangan dalam berbagai sektor yang telah disepakati sebelumnya.

Diantara tahun 1980 dan 1988, Myanmar tetap konsisten berada diantara sepuluh
penerima bantuan Tokyo dengan pembayaran bantuan satu tahun yang mencapai $244,1
juta pada tahun 1986 dan $259 juga tahun 1988 (tidak termasuk pembayaran yang
dilakukan kepada lembaga-lembaga seperti ADB). Bantuan Jepang terhadap Myanmar
selama 26 tahun ini menunjukan bahwa Myanmar memiliki sekutu-sekutu yang kuat.
Bahkan, negara-negara seperti Jerman Barat, Uni Soviet dan Selandia Baru ikut serta
dalam menyalurkan bantuan ekonomi terhadap Myanmar. Pada tahun 1970-an Selandia
Baru menyediakan antara $150.000 dan $200.000 bantuan kepada Myanmar setiap
tahunnya. Sebagian besar bantuan ini disalurkan melalui Colombo Plan dan sebagian
besar mendukung sekolah-sekolah pelatihan perdagangan, dimana dukungan ini pula
diperkuat oleh sejumlah lembaga-lembaga multinasional.18

Namun, hal ini bukannya menyatakan bahwa hubungan antara rezim dan masyarakat
internasional berjalan mulus selama periode pemerintahannya. Buktinya, China
memotong bantuannya ke Myanmar pada tahun 1967, dan walaupun ini hanya merupakan
kebijakan sementara, penerapannya pasti sangat berarti karena ini menegaskan bahwa
setiap kekecewaan yang dilakukan junta militer terhadap para pemberontak, tidak akan
ditolerir. Meskipun bantuan dipulihkan tahun 1970, pemerintah China terus mendukung
pemberontakan anti-pemerintah, yang jelas mengisyaratkan bahwa hubungan bersahabat
kedua negara masih jauh dari istilah “baik”. Demikian juga, pemberian bantuan ekonomi
AS tidak menegaskan bahwa hubungan “kuat”, karena sebetulnya AS bereaksi terhadap
kudeta 1962 dengan mengakhiri kerjasama ekonomi langsung.

Reaksi AS juga dibuktikan pada bulan Februari 1965, dimana saat itu Kongres AS
mencurigai kedekatan Myanmar dengan China dan maksudnya menggulingkan
pemerintah Thai, AS mulai melakukan investigasi pemberian bantuannya terhadap

18
Guy Wilson-Roberts, 2005, “Beyond the Rhetoric: New Zealand and Myanmar” in Anthony L. Smith
(Ed.), Southeast Asia and New Zealand; a History of regional and bilateral relations (Institute of Southeast
Asia Studies), hlm.269.
Myanmar.19 Di samping itu juga AS menghentikan program bantuan tahunan sebesar $27
juta pada Juni 1971, yang menegaskan titik balik penting dalam hubungannya dengan
rezim militer. Begitu pun dengan lembaga- lembaga keuangan internasional yang
menunjukan kekecewaan serupa terhadap rezim militer dengan larangan pemberian
pinjaman kepada Myanmar. Bank Dunia juga menyetujui tidak ada pemberian pinjaman
baru ke Myanmar dari tahun 1987 ketika rezim militer masih jelas berkuasa. Demikian
pula, ketika Myanmar dilibatkan dalam Program Kerjasama Ekonomi Bank
Pembangunan Asia, ADB menghentikan pemberian pinjaman dan hibah negara ini tahun
1986.20 Hal tersebut menandakan bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional
tersebut telah menunjukan kekecewaannya terhadap pemerintahan junta militer, yang
terus menerus melakukan pelanggaran demokrasi dan HAM di dalam negeri.

Beberapa lembaga internasional ini telah menganalisis kondisi perekonomian


Myanmar selama bertahun-tahun dan telah disadari bahwa beberapa masalah (krisis
ekonomi) yang terjadi di Myanmar harus segera diselesaikan. Bahkan lembaga tersebut
juga dicegah dari keikutsertaan di dalam program-program Myanmar, karena negara-
negara donor seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak mengizinkannya (terkait
dengan pelanggaran prinsip Hak Asasi Manusia dan Demokrasi). Hal inilah yang menjadi
salah satu masalah yang dihadapi Myanmar, ketika negara-negara donor melakukan
kecaman yang serius terhadap negara yang puluhan tahun dipimpin junta militer tersebut.
Namun meskipun begitu sepertinya junta militer menolak secara konsisten untuk
melakukan setiap langkah perbaikan yang diusulkan oleh ketiga lembaga, seperti
menyarankan junta militer untuk dapat membuka ekonomi mereka untuk investasi,
privatisasi di sektor energi, dam pemotongan subsidi.21

Atas tindakan junta militer tersebut, IMF dan Bank Dunia sejak saat itu menutup
semua pinjaman untuk junta militer, karena mereka telah gagal dalam memenuhi standar
kebijakan IMF untuk investasi. Setiap bantuan ekonomi yang tidak serius difokuskan
pada perbaikan-perbaikan oleh pemerintahan Myanmar ini, sebagian besar akan menjadi
investasi yang disia-siakan. Namun lain halnya apabila perbaikan-perbaikan makro
ekonomi menjadi mungkin terjadi di Myanmar, maka kebijakan moneter harus dapat
dimulai dari Central Bank of Myanmar dan dua bank yang dikuasai militer yang mengatur
tentang transaksi-transaksi mata uang untuk junta militer (SPDC). Nilai tukar yang
disatukan harus dapat ditetapkan, nilai-nilai bunga untuk pinjaman dan uang tabungan
harus ditetapkan ke kondisi pasar yang nyata, dan juga kebijakan-kebijakan yang

19
Robert S. Allen and Paul Scott, 1965, House to Probe Aid to Burma, Sarasota Herald-Tribune.
20
2011, Burma Independence Advocates. Burma Sanctions Regime: The Half-Full Glass and a
Humanitarian Myth, London, hal.7.
21
Priscilla Clapp, 2007, Building Democracy in Burma, United States: Institute of Peace Working Paper,
hlm. 51.
berdasarkan pada praktek-praktek moneter internasional yang diterima harus dapat
diperkenalkan.

NLD dan Aung San Suu Kyi pada khususnya telah memperoleh dukungan moral
yang tinggi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dukungan tersebut
merupakan sebuah upaya dalam memperjuangkan demokrasi di Myanmar, dimana negara
ini cukup lama tidak merasakan keadilan dari pemerintahannya sendiri terhadap segala
aspek kehidupan di Myanmar. Kekuatan kelompok oposisi ini tanpa disadari menjadi
sebuah ancaman serius bagi pemerintahan militer, dan mengantarkannya untuk dapat
mencari cara alternatif dalam membendung aksi demokrasi tersebut. Salah satu upaya
rezim adalah mengadakan pembatasan-pembatasan yang ketat pada aktivitas oposisi dan
juga mengintimidasi semua orang yang diidentifikasi ada hubungannya dengan pihak
oposisi. Dalam hal ini rezim terus menerus mengkhawatirkan keberadaan oposisi ini yang
dapat mengancam keutuhan negara, yang pada akhirnya menyebabkan legitimasi
pemerintahan militer ini semakin merosot.22

Keseluruhan indikator demokratisasi tersebut pada akhirnya mendorong merosotnya


legitimasi junta militer di kancah perpolitikan. Kepercayaan masyarakat dan juga dunia
internasional semakin tidak ada, karena kegagalan junta militer dalam mengelola seluruh
perekonomian di dalam negeri. Sejak kepemimpinan U Nu sampai dengan Ne Win,
kebijakan yang diambil terkait perekonomian mengalami kegagalan, dimana terbukti
pemberontakan dari kalangan masyarakat sosial, kelompok oposisi, sampai dengan
kelompok separatis semakin besar yang menunjukan ketidakberpihakan masyarakat
terhadap pemerintahan. Begitu juga dengan kepemimpinan Than Shwe, gaya
kepemimpinan yang ditunjukan tetaplah sama, yaitu bersifat otoriter dan sentralistik, juga
sistem liberalis yang diterapkan tidak memberikan pengaruh pada pembangunan ekonomi
di dalam negeri. Karakteristik pemerintahan yang seperti inilah yang memunculkan
kebencian dari seluruh masyarakat, yang pada akhirnya menyebabkan krisis junta militer
dan pada akhirnya muncul kekhawatiran tersendiri dari diri junta militer untuk melakukan
demokratisasi.

b. Faktor Pendorong Demokratisasi Di Indonesia.


Upaya Demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia didorong oleh
beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, sosial, budaya, dan intervensi asing. Faktor
ekonomi sangat berpengaruh dengan adanya demokratisasi. Karena adanya peningkatan
pembangunan ekonomi, bisa menyebabkan terjadinya transisi ke demokrasi, walaupun
hanya dalam waktu 10 hingga 20 tahun saja.

22
International Crisis Group (ICG), 2000, Burma/Myanmar: How Strong is The Military Regime ?,
Bangkok/Brussels: I C G Asia Report, hlm. 22.
Jika dilihat dari sisi sosialnya dapat dikatakan bahwa perbedaan sosial yang ada
dapat menjadi penyebab terjadinya demokratisasi. Sedangkan faktor budaya dan
intervensi asing dapat dikatakan bahwa demokrasi dapat terjadi jika suatu kebudayaan
mudah untuk diterima. Sert intervensi asing lebih berkaitan dengan intervensi militer
yang dilakukan negara di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan jelas ketika terjadinya
perang dunia ke 2. Dimana Indonesia terpengaruh hal tersebut, bahkan indonesia juga
terdapat perang dingin dimana demokrasi yang dibawa Amerika menjadi tonggak
demokratisasi di Indonesia.
“Revolusi Demokrasi Global” yang disebut sebagai “Gelombang Demokratisasi
Ketiga” ini mungkin merupakan kecenderungan politik terpenting di dalam dunia
modern, setelah Gelombang Demokratisasi Pertama yang ditandai dengan Revolusi
Perancis dan Amerika Serikat abad ke-19 dan 20 dan berakhir dengan kemunculan
fasisme di Italia tahun 1920-an, serta Gembang Demokratisasi Kedua yang berlangsung
pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan bermunculan negara-negara baru (seperti
Yugoslavia, Jerman Barat-Timur, China), sejumlah negara yang memperoleh
kemerdekaan karena keruntuhan kolonial (seperti Indonesia, India, Algeria). Di
Gelombang Kedua ini, demokratisasi bergantung pada peluang politik dan ekonomi,
tinggalan kolonial, intervensi asing, dan perang kemerdekaan di banyak negara.
Kemudian menyusut ketika beberapa negara (Yunani dan Amerika Latin) kembali pada
rezim otoriter. Dalam buku ini Samuel P. Huntington menganalisis sebab dan hakikat
revolusi demokrasi yang bersifat global tersebut, mengevaluasi prospek kestabilan negara
negara demokrasi baru dan menjelajahi kemungkinan lebih banyak negara menjadi
demokratis.

Demokratisasi dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang diulas Mujani, Liddle


dan Ambardi dalam Kaum Demokrat Kritis (2019) berada dalam kondisi “Demokrat
Kritis”. Pengertian “Demokrat Kritis” ini memiliki konsep yang serupa dengan ungkapan
Pippa Norris tentang “Defisit Demokrasi”, yang menggambarkan suatu kondisi yang
dialami Amerika Serikat serta negara-negara post-industrial lainnya. Ringkasnya,
“Defisit Demokrasi” adalah perpaduan dari fenomena kuatnya keyakinan dan penerimaan
publik terhadap demokrasi beserta nilai-nilainya, namun disusul dengan berbagai berita
buruk yang kemudian hadir dalam praktiknya, serta kegagalan pemerintah dalam
mewujudkan implementasi demokrasi, sebanding dengan keyakinan masyarakat. Untuk
mengamati apakah suatu negara merupakan sistem yang demokratis atau tidak, Affan
Gaffar (2004) merumuskan setidaknya 5 indikator yang dapat ditinjau, yakni: (1)
Akuntabilitas, dimana setiap pemegang jabatan yang dipilih rakyat harus dapat
mempertanggung-jawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuh; (2) Rotasi
kekuasaan, yang dilakukan secara damai dan teratur; (3) Rekruitmen politik yang terbuka,
yakni mereka yang menduduki jabatan publik dipilih melalui kompetisi yang terbuka dan
peluang yang sama; (4) Pemilu, yang dilakukan secara teratur; serta (5) Adanya
pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Hal tersebut senada dengan yang diutarakan
Huntington (1991), bahwa secara minimalis demokrasi dapat didefinisikan sebagai: (1)
Pemilu yang terbuka, bebas, dan adil; (2) Adanya pembagian kekuasaan yang jelas; (3)
Terjaganya stabilitas; dan (4) Adanya tingkat partisipasi yang luas dan otonom. Lebih
lanjut, Diamond (2003) menganjurkan 3 hal yang harus dilakukan oleh kelompok pro
demokrasi dalam rangka konsolidasi demokrasi, yakni: (1) Penguatan Demokrasi, yakni
penguatan struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal, akuntabel,
representatif, dan terjangkau; (2) Pelembagaan Politik, dengan melindungi hak-hak sipil,
pengurangan penyelewengan hukum, sistem peradilan yang memiliki derajat koherensi,
kapasitas, dan otonomi kelembagaan yang tinggi; dan (3) Kinerja Rezim, yakni
bertanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang positif untuk
membangun legitimasi politik yang kuat.

Keadaan-keadaan yang mempunyai andil pada awal terbentuknya rezim demokratis


mungkin pula tidak mempunyai andil bagi konsolidasi dan stabilitas jangka panjangnya.
Pada tingkatan yang paling sederhana, demokratisasi, sebagaimana yang diungkapkan
Huntington, mensyaratkan 3 hal, yakni: (1) Berakhirnya rezim otoriter; (2) Dibangunnya
rezim demokratis; dan (3) Pengkonsolidasian rezim demokratis.23 Masing-masing dari
ketiga perkembangan ini dapat diakibatkan oleh sebab-sebab yang berbeda dan
bertentangan. Beberapa pakar mencari faktor-faktor penyebab transisi demokratis dalam
tahun 1980-an, yang oleh Huntington disebut, pada “hasrat untuk merdeka” yang
mendalam dan dirasakan oleh banyak orang yang ditindas penguasa otoriter. Ada 5
perubahan yang tampaknya oleh Huntington berperan penting dalam membuka jalan bagi
gelombang transisi demokrasi: (1) Semakin mendalamnya masalah-masalah legitimasi
yang dihadapi oleh rezim otoriter, yang tidak mampu mengatasi kekalahan militer dan
kegagalan ekonomi (1973-1974 dan 1978-1979); (2) Pertumbuhan ekonomi global yang
luar biasa (1960 an); (3) Perubahan institusi keagamaan yang membuatnya lebih
cenderung menentang otoriterisme daripada mempertahankan status quo (1963-1965); (4)
Dorongan untuk mempromosikan HAM dan demokrasi oleh aktor-aktor eksternal, seperti
NGO dan Komunitas Eropa; (5) “Efek Bola Salju” atau demonstrasi yang diperkuat oleh
komunikasi Internasional baru, dan demokratisasi negara lain. 24

Pada tahun 1990, sekitar 2/3 jumlah negara di dunia tidak memiliki rezim
demokratis, dan sebagai besar tergolong kedalam 4 kelompok geo-kultural, yakni: (1)
Rezim-rezim Marxis Leninis; (2) Negeri-negeri Afrika Sub-Sahara; (3) Negeri-negeri
Muslim; dan (4) Negeri Negeri Asia Timur (h. 381). Adapun yang menjadi faktor

23
Huntington, S. P. (1995). Gelombang Demokratisasi Ketiga (Judul Asli: The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century (1991) (Alih Bahasa: Asril Marjohan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hlm.
45
24
Op.cit, hlm. 56..
penghalang dan pendorong bagi demokratisasi di negeri-negeri tersebut dibagi kedalam
3 kategori besar, yakni Politik, Budaya dan Ekonomi. Pertama, sebuah penghalang
dibidang politik yang secara potensial signifikan terhadap bertambah banyaknya
demokratisasi adalah tiadanya pengalaman dengan demokrasi pada kebanyakan negeri
yang masih otoriter pada 1990. Selain itu kediktatoran perorangan, rezim militer dan
sistem satu partai pun menjadi penghalang bagi demokratisasi. Terutama di Asia, Afrika,
dan Timur Tengah yang memiliki komitmen lemah di kalangan pemimpin politik
terhadap nilai-nilai demokrasi (h. 381-384). Kedua, tesis budaya ini ada 2 versi yakni
versi restriktif dan non-restriktif. Versi restriktif menyatakan bahwa hanya budaya barat
yang memiliki dasar yang cocok bagi perkembangan lembaga-lembaga demokratis dan
demokrasi, dan sebagai akibatnya sangat tidak cocok bagi masyarakat non-Barat.
Sedangkan versi yang non-restriktif dari argumen penghalang kultural tidaklah
mengatakan bahwa hanya satu budaya yang secara khusus menopang kehidupan
demokrasi, melainkan bahwa satu atau lebih budaya memiliki watak yang tidak serasi
dengan demokrasi.

Dua budaya yang sering-sering disebut ialah Konfusianisme dan Islam.25 Ketiga,
Kemiskinan merupakan suatu penghalang utama, bagi perkembangan ekonomi. Masa
depan demokrasi bergantung pada masa depan perkembangan ekonomi. Rintangan
terhadap perkembangan ekonomi pun juga rintangan bagi perluasan demokrasi.26 Melihat
masa depan, Huntington paling tidak optimis tentang negara-negara Mongolia, Sudan,
Pakistan, Nikaragua, Rumania, Bulgaria, Nigeria, dan El Salvador. Ia pesimis tentang
prospek demokrasi di wilayah dunia yang belum memasuki demokratisasi, terutama
rezim Marxis-Leninis yang dibandingkan Nasionalis, pun juga meragukan janji
demokratis negara negara Islam dan daerah-daerah tertentu di Asia Timur, sebagai poin
khusus menyoroti aplikasi anti demokrasi doktrin agama Konfusius dan Islam. Hampir
senada dengan apa yang diutarakan diatas, demokratisasi berkembang dengan sejumlah
prasyarat penting, George Sorensen dalam Demokrasi dan Demokratisasi (2003)
mengatakan ada 4 prakondisi bagi perkembangan demokrasi. Pertama, modernisasi dan
kesejahteraan akan menjadi iklim kondusif bagi perkembangan demokrasi. Lipset dan
Dahl menyebutkan bahwa semakin sejahtera suatu negara, maka potensi perkembangan
demokrasi akan semakin baik. Kedua, faktor budaya politik yang menyangkut sistem nilai
dan keyakinan, yang menjelaskan konteks makna dan tindakan. Ketiga, struktur sosial
masyarakat, yakni kelas dan kelompok sosial tertentu, perlu diidentifikasi, misalnya
kelompok menengah. Keempat, faktor eksternal, yakni faktor ekonomi-politik ideologi
dan elemen-elemen lain yang merupakan konteks Internasional dari proses yang terjadi
disuatu negara.

25
Op.cit, hlm. 385-400.
26
Ibid, hlm 400-404.
2.3 Praktik Demokratisasi Di Myanmar Dan Indonesia
Tahun 1998 adalah merupakan babak baru dalam dinamika sistem politik di Indonesia,
pada tahun itu dimulailah tradisi demokrasi dalam semua proses politik di negara ini. Setelah
hampir 32 tahun terdominasi dan terhegemoni sistem politik yang sangat militeristik dan
bersifat sentralistik, maka era ’98 melepaskan proses politik Indonesia dari jeratan dan
pasungan intervensi politik negara yang sangat dominatif. Angin perubahan bertiup kencang
menyapu debu-debu praktek otoritarianisme di masa lampau diganti dengan iklim yang segar
bagi berseminya tunas-tunas demokrasi di segala bidang kehidupan.27

Reformasi politik yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun memberikan manfaat
yang besar bagi dinamika sistem politik di Indonesia. Fenomena kebebasan politik ini
diharapkan dapat menjadi sarana bagi terbangunnya suatu tata pemerintahan yang bersih, adil
dan berwibawa. Dengan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia tentunya diharapkan
akan terbentuk suatu negara demokratis yang memiliki kredibilitas tinggi dan terwujudnya
suatu masyarakat sipil yang sejahtera. Banyak keuntungan dan kemanfaatan yang diraih
sebagai dampak terjadinya gelombang perubahan di Indonesia. Keberhasilan dari arus
reformasi ini diantaranya adalah terbentuknya puluhan partai yang digalang oleh aneka
kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi, aspirasi dan tradisi politik yang
bervariasi. Demikian pula terjadi liberalisasi media massa yang sangat luas, media sangat
leluasa dalam mencari dan menyebarkan informasi pada publik. Rakyat tidak dihalang halangi
ketika hendak menyampaikan aspirasinya. Keterbukaan bagi seluruh elemen masyarakat di
dalam melontarkan kritik dan saran kepada penguasa di ruang publik.

Hal positif lain yang dicapai dengan adanya reformasi di segala bidang di Indonesia
adalah partisipasi sipil meningkat, masyarakat politik tumbuh subur, berbagai upaya
pemulihan dan pembangunan ekonomi diselenggarakan, desentralisasi dan otonomi daerah
diterapkan, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan transparan, kampanye perlindungan HAM semakin marak, reformasi sektor
pertahanan dan keamanan menjadi agenda yang diprioritaskan. Tuntutan bagi suatu negara
yang demokratis juga berhasil diwujudkan, yaitu terselenggaranya pemilihan umum yang
dilandasi semangat menegakkan prinsip keadilan dan kejujuran. Musim semi demokratisasi
di Indonesia terlihat juga pada terjadinya desakralisasi lembaga kepresidenan. Pada masa orde
baru yang bercorak absolut, presiden adalah penguasa tunggal dan tidak dapat tersentuh oleh
hukum. Tetapi ketika reformasi bergulir presiden dapat ditumbangkan dari tampuk
kekuasaannya melalui mekanisme konstitusional oleh rakyat. Ini adalah suatu fenomena
kemajuan dalam sistem politik di Indonesia. Hal lain yang dapat menjadi parameter

27
Heru Nugroho, 2011, “Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami
Dinamika Sosial Politik Di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 1, No. 1, hlm. 11.
keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia adalah terselenggaranya tiga kali pemilu yang
relatif lancar yaitu pemilu tahun 1999, 2004, dan 2009.

Bagi sebuah negara demokrasi, pelaksanaan pemilu adalah merupakan momentum dalam
mempertegas arah konsolidasi demokrasi dan penguatan kelembagaan politik. Dengan
terlaksananya pemilu di Indonesia itu, maka transisi demokrasi di Indonesia dapat berjalan
sesuai rencana dan mampu mendorong Indonesia sebagai negara “South East Asia’s only fully
functioning Democracy”. Proses demokratisasi di Indonesia akan menjamin semakin
kokohnya sistem demokrasi sosial yang berlanjut (sustainable constitutional democracy),
dimana hal ini sangat dibutuhkan guna menempatkannya sebagai instrumen efektif yang
bekerja bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kita juga tidak boleh
menutup mata, bahwa sebagai bangsa yang baru saja menjalankan roda demokrasi dalam
praktek penyelenggaraan negara, masih banyak ditemui kelemahan dan kekurangan.
Kelemahan itu diantaranya adalah sektor kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi,
pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan hidup dll, masih jauh dari apa yang diinginkan
masyarakat. Pemaksaan kehendak, kekerasan politik, korupsi dan keculasan yang dilakukan
aparat legislatif, eksekutif dan yudikatif bukannya semakin menyusut namun menunjukkan
eskalasi yang meningkat, munculnya puluhan partai baru pada pemilu 2009 tidak memberikan
rasa optimisme pada masyarakat, namun justru menciptakan rasa pesimis, skeptis bahkan
sikap sinis. Anggapan yang berkembang pada masyarakat, partai politik hanya akan dijadikan
kedok dan kendaraan bagi petualang politik dalam meraih dan mewujudkan hasrat pribadi dan
ambisi yang jauh dari upaya mensejahterakan rakyat. 28

Boleh dikatakan bahwa proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia baru sebatas
meningkatkan kebebasan politik dan penghargaan atas hak asasi manusia, tetapi belum
membawa kepada pembangunan ekonomi yang cepat dan memberdayakan ekonomi rakyat
yang bisa mengentaskan dari jerat kemiskinan. Demokratisasi di Indonesia masih direcoki
dengan tindakan tindakan anarkis dan penyulut kekacauan sosial. Hal ini disebabkan karena
iklim demokratis yang seharusnya mengedepankan tatanan dan ketertiban serta moralitas
dalam berpolitik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah merebaknya fenomena dimana
pemimpin dan masyarakat dapat melakukan apapun sesuai dengan yang mereka inginkan dan
sistem hukum (aturan) dilecehkan serta tidak dihormati. Meskipun proses pemilu tahun 2009
dapat terselenggara, namun ada hal yang cukup signifikan sebagai bagian pembelajaran bagi
pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Pemilu 2009 di Indonesia meskipun secara umum berlangsung kondusif, namun banyak
terjadi kelemahan dan kesemrawutan. Hal ini terjadi karena Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai penyelenggara tidak dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai

28
Ibid, hlm. 12.
dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang kacau, surat suara yang salah alamat, penghitungan
suara yang melebihi tenggat waktu yang ditetapkan (tidak konsisten dan berubah-ubah)
instrumen teknologi informasi (IT) yang dipergunakan KPU untuk penghitungan suara secara
cepat namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, padahal piranti itu dibeli dengan dana
rakyat yang besarnya milyaran rupiah, dugaan adanya kecurangan pemilu berupa praktek
penggelembungan suara pada salah satu parpol dll. Kelemahan-kelemahan ini menunjukkan
kacaunya sistem manajemen dan tidak kompetennya personel KPU yang memprihatinkan.
Carut marut kinerja KPU ini akan dapat mengakibatkan terjadinya cacat moral dan politik
yang sangat mencederai berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia.29

Aung San Suu Kyi anak dari Jenderal Aung San yang dibunuh oleh lawan politiknya
sebelum Myanmar dinyatakan merdeka dari Inggris. Suu Kyi pernah menempuh pendidikan
di sekolah katolik Inggris di Myanmar, tempat ia menghabiskan sebagian masa kecilnya. Ibu
Aung San Suu Kyi, Khin Kyi, memperoleh kehormatan sebagai tokoh politik dalam
pemerintahan saat baru dibentuk. Daw Khin Kyi pernah menjabat sebagai duta besar
Myanmar di India pada 1960. Aung San Suu Kyi tinggal bersama Khin Kyi Ma di India hingga
ia lulus dari Lady Shri Ram College di New Delhi pada 1964.30

Kemunculan Aung San Suu Kyi yang menggemparkan pada akhir tahun 1980-an
menyedot perhatian internasional. Keberaniannya menempatkan diri sebagai oposisi militer
membuat Suu Kyi menjadi simbol perjuangan rakyat Myanmar. Seperti halnya para politisi
perempuan terkenal lainnya seperti Benazir Bhutto, Corazon Aquino dan Sonia Gandhi yang
ayah dan suami- suaminya dibunuh oleh pihak lawan, Suu Kyi mewarisi karisma yang
diturunkan oleh ayahnya, Jenderal Aung San yang kala itu juga dibunuh oleh lawan politiknya.
Sejak kemunculannya pertama kali ketika Suu Kyi pulang ke negaranya, ia telah mendapatkan
tempat tersendiri di hati rakyat Myanmar. Meskipun begitu, kepopuleran Suu Kyi tidak
semata- mata karena membawa nama ayahnya.

Walaupun di dalam struktur organisasi NLD Suu Kyi menjabat sebagai Sekretaris
Jenderal, namun namanya lebih populer daripada Aung Gyi. Kemunculan pertama kali di
Shwe Dagon Pagoda, ditengah-tengah gencarnya gelombang protes rakyat melawan
pemerintah. Kehadirannya pada waktu itu menarik keingintahuan rakyat Myanmar. Rakyat
Myanmar harus bersatu dan menggunakan cara- cara yang damai dalam mencapai tujuan
mereka yaitu terwujudnya negara yang menganut sistem demokrasi.

Mewarisi karisma heroik ayahnya yang merupakan pejuang kemerdekaan, memiliki


intelektual tinggi dan keberanian berada di sisi yang berseberangan dengan rezim militer

29
Ibid, hlm. 13.
30
Bab IV Peran Aung San Suu Kyi Dalam Demokratisasi Myanmar, hlm. 64.
membuatnya dengan cepat menarik simpatik rakyat Myanmar yang menganggap
kemunculannya sebagai sebuah harapan baru. Bentuk dukungan yang secara terang- terangan
dilakukan rakyat Myanmar salah satunya ketika ibu Suu Kyi yaitu Khin Kyi meninggal dunia.
Sebanyak 100.000 rakyat Myanmar melakukan long March menuju pemakaman dengan
membawa bendera dan spanduk NLD serta menyanyikan lagu- lagu bernada anti pemerintah.

Aung San Suu Kyi memiliki pendidikan dan kemampuan dalam hal menulis,
pengalamanku di PBB, Jepang, India, dan negara di bagian pegunungan Himalaya. Suu Kyi
memberikan komentar dan kritik kepada pemerintahan militer dan memberikan saran
alternatif untuk kembali kepada pemikiran ayahnya. Aung San Suu Kyi melangkah dalam
revolusi tahun 1988 dengan berbekal keahlian dan pengalamannya di bidang politik. Aung
San Suu Kyi tidak menyangka dan berharap banyak masyarakat Myanmar akan dengan sangat
cepat menerimanya, pada awal menuntut pembentukan pemerintahan sementara yang adil
untuk mengawasi pemilihan umum yang bebas, masyarakat bebas membentuk partai politik,
memilih pemimpin dan memperjuangkan kekuasaan. Aung San Suu Kyi mengecam perlakuan
junta militer yang mengganggu dan menahannya, ketika melakukan perjalanan ke daerah-
daerah, dan Suu Kyi menggambarkan pemerintah tersebut sebagai Fasis, dan melakukan
pergerakan melawan pemerintah junta militer dengan cara tanpa kekerasan. Pada bulan Juni
1989, Aung San Suu Kyi menuduh Jenderal Ne Win sebagai pemimpin dari semua
penderitaan masyarakat dan merusak segala sesuatu yang telah direncanakan kepada orang-
orang yang berkuasa dan Jenderal Ne win sebagai dalang dari keputusan yang
menyengsarakan masyarakat.31

Tuntutan yang sebenarnya pada tanggal 19 Juli 1989, dalam peringatan hari martir yang
mengenang jasa Aung San dan kabinetnya. Pihak junta militer sudah mengatur upacara
tersebut dengan mengundang Aung San Suu Kyi untuk hadir bersama dengan para pemimpin
negara yang datang untuk memperingati peristiwa tersebut, tapi Aung San Suu Kyi menolak
dan mengatakan bahwa dia ingin menghormati ayahnya dengan caranya sendiri. Dalam
menghadapi serangkaian kejadian kejahatan tersebut, Aung San Suu Kyi membatalkan
kunjungan upacara peringatan tersebut guna mencegah pertumpahan darah, setelah
mengetahui banyak mahasiswa yang menyertainya.32

Pada tanggal 20 Juli 1989, pihak junta militer menyerang para mahasiswa dan Aung San
Suu kyi ketika kampanye. Pihak junta militer kembali melakukan penyerangan terhadap Aung
San Suu Kyi ketika ia melakukan tur ke daerah Depay, Myanmar utara pada 30 Mei 2003.
Iring- iringan tersebut diserang oleh ribuan massa yang dicurigai pendukung SPDC dan Union

31
Ibid, hlm. 65
32
Ibid, hlm. 66
Solidarity and Development Association (USDA). Diperkirakan sebanyak 100 hingga 282
pendukung dan anggota NLD tewas dalam penyerangan tersebut.

Hal yang paling menarik dari perjuangan Aung San Suu Kyi dalam menegakkan
demokrasi di Myanmar adalah keberanian dan kegigihannya dalam melawan rezim militer
dengan menggunakan cara-cara damai yang pada akhirnya membuat rakyat Myanmar berani
berperan serta dalam gerakan pro demokrasi yang dipimpinnya. Secara konsisten Suu Kyi
memperjuangkan demokrasi meskipun rezim militer menempatkannya dalam tahanan rumah
yang membatasi segala bentuk pergerakannya. Dukungan rakyat pun tidak pernah surut. Akan
tetapi, meskipun Suu Kyi membawa nama besar Ayahnya, bukan berarti ia tidak menemui
hambatan dalam proses perjuangan. Oleh karena itu Suu Kyi mengambil pendekatan-
pendekatan dengan cara damai untuk menghilangkan pengaruh doktrin militer dan
menumbuhkan semangat perlawanan dari rakyat.

Pada awal keterlibatannya dalam revolusi Myanmar, beberapa politisi senior termasuk U
Nu menawarkan Suu Kyi bergabung dengan partai mereka, namun Suu Kyi memilih
bergabung dengan Aung Gyi dan Tin Oo membentuk NLD. Faktor penting menggambarkan
Aung San Suu Kyi adalah aktor dari gerakan pro demokrasi yang cukup kuat, pada saat
kebebasannya dari statusnya sebagai tahanan rumah. Pemerintah mengambil langkah
membebaskan Suu Kyi adalah karena pertama, pemerintah mengakui bahwa tanpa adanya
dukungan dari Aung San Suu Kyi, Myanmar tidak mampu meningkatkan masuknya aliran
investasi asing, dana bantuan pembangunan dari negara lain dan perdagangan internasional,
yang mana hal tersebut dapat membantu menopang perekonomian negara Myanmar.33

33
Ibid, hlm. 67.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demokrasi di setiap negara memiliki ciri khasnya masing-masing. Demokrasi yang ada
di Myanmar dan Indonesia tumbuh setelah terjadinya perang dingin antara Amerika-Uni
Soviet. Kedua negara tersebut berlomba-lomba untuk memenangkan pengaruh dari masing-
masing negara. Karena adanya intervensi dari negara barat maka, baik Myanmar dan
Indonesia berpikir untuk menerapkan demokratisasi di masing-masing negara. Penyebab
demokrasi di Indonesia pasca perang dingin dimulai dengan demokrasi terpimpin oleh
soekarno, sedangkan di Myanmar demokrasi diawali dengan dorongan kuat dari partai NLD
untuk menggulingkan pemerintahan militer. Gerakan di Myanmar tidak terlepas dari perang
Aung San Suu Kyi yang menjadi pendiri dari partai NLD. NLD tampaknya sangat tumbuh
pesat di Myanmar ini terbukti dari kemenangannya di konstituante.

Perkembangan demokrasi Myanmar di inisiasi partai NLD yang ingin menggulingkan


rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win sampai dengan Jenderal Than Shwe. ketika
Demokrasi dijalankan di Myanmar, di Myanmar pada saat itu terjadi banyak pergolakan antara
masyarakat sipil dengan militer. Bahkan terjadi pula pemogokan kerja oleh kaum buruh, di
saat rezim militer berkuasa para buruh tidak memiliki kebebasan dalam menentukan hak-
haknya.

Perkembangan demokrasi di Indonesia sendiri pasca perang tinggi terjadi ketika


demokrasi Indonesia beralih dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin yang
dipimpin oleh Soekarno. Faktor terjadinya demokratisasi di Indonesia lebih banyak
disebabkan karena faktor intervensi asing yang menjadikan Indonesia ingin memiliki sebuah
kebebasan dalam sistem pemerintahannya. Dimana mereka memiliki kebebasan dalam
mengatur seluruh pemerintahannya. Sedangkan di Myanmar sendiri faktor yang mendorong
demokratisasi adalah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan adanya keterbelakangan
sosial atau kemiskinan. Selain dari bidang ekonomi, pendorong demokrasi Myanmar karena
banyak bermunculan partai oposisi dan kelompok separatis yang menyebabkan kekacauan
publik. Rakyat berjuang keras untuk demokratisasi, karena Myanmar sudah sangat lama
berada dibawah kekuasaan militer. Demokrasi Myanmar juga diperjuangkan oleh Aung San
Suu Kyi tokoh moral Myanmar yang kemudian mendirikan partai NLD.

Indonesia mengalami reformasi politik selama 10 tahun yang mampu memberikan


banyak manfaat di dalam sistem politik Indonesia. Terbangunnya sistem politik yang baik
dapat dijadikn sebagai sarana untuk terjadinya suatu proses pemerintahan yang bersih, adil
dan berwibawa. Dengan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia diharapkan mampu
membentuk suatu negara yang demokratis yang memiliki kredibilitas tinggi dan mampu
menciptakan masyarakat sipil yang sejahtera. Hal ini juga tidak terlepas pada masa reformasi
dimana banyak bermunculan partai yang didirikan oleh berbagai kelompok masyarakat yang
memiliki berbagai latar belakang ideologi, aspirasi dan tradisi politik. Di dalam demokratisasi
yang terjadi juga menyebabkan munculnya kebebasan dalam media massa. Rakyat bebas
menyampaikan berbagai aspirasinya.
Daftar Pustaka

(2012, September 19). Kompas.

Allen, R. S., & Scott, P. (1965). House to Probe Aid to Burma. Sarasota Herald-Tribune.

Asrudin. (n.d.). Harmoni dalam Demokrasi Myanmar. Indonesian.irib.ir.

http://indonesian.irib.ir/artikel1/-/asset_publisher/7xTQ/content/harmoni-dalam

demokrasi-myanmar/pop_up

Christensen, V. (n.d.). Virtuality Perception and Reality in Myanmar's Democratic Reform.

humansecuritygateway.com.

http://www.humansecuritygateway.com/documents/GCSP_VirtualityPerceptionandRealit

yinMyanmarsDemocr

Cipto, B. (2007). Politik dan Pemerintahan Amerika. Yogyakarta: Lingkaran Buku.

Clapp, P. (2007). Building Democracy in Burma. United States: Institute of Peace Working

Paper.

Djojowadono, S. (1958). Demokrasi Dalam Pembangunan Di Indonesia, Prasaran

Seminar Demokrasi. Yogyakarta: FISIPOL UGM.

Firnas, M. A. (2003). Prospek Demokrasi Di Myanmar. Jurnal Universitas Paramadina,

Vol. 2, No. 2, 120-130.

Hungtington, S. P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth.

Oklahoma: University of Oklahoma Press.

International Crisis Group. (2000). Burma/Myanmar: How Strong is The Military Regime

? Bangkok/Brussels: I C G Asia Report.


Irawan, B. B. (2007, Oktober). Perkembangan Demokrasi Di Negara Indonesia. Hubungan

dan Dinamika Masyarakat, Vol. 5, No. 1, 54-64.

MD, M. M. (1999). Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gama Media.

MD, M. M. (2003). Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta: Rineka.

Moh Yamin. (1971). Naskah Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

No name. (2011). Burma Independence Advocates. London: Burma Sanctions Regime:

The Half-Full Glass and a Humanitarian Myth.

Nugroho, H. (2011). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk

Memahami Dinamika Sosial Politik Di Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 1, No.

1, 11.

P, H. S. (1995). Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Robert, G. W. (2005). Beyond the Rhetoric: New Zealand and Myanmar” in Anthony L.

Smith. Southeast Asia and New Zealand, 250-269.

Zulfikas, A., Syafitri, D. S., & Andistan, M. A. A. P. (2013). Implikasi Kebijakan Amerika

Serikat Dalam Penerapan Sistem Demokrasi Di Myanmar Pasca Perang Dingin. -, 1-10.

Anda mungkin juga menyukai