Anda di halaman 1dari 33

Identitas Budaya Islam Dalam Upacara Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani,

Ngemplak, Kabupaten Sleman

Nama : Dian Octaviani


NIM : 20/463158/SA/20725
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
Prodi : Sejarah

PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
KATA PENGANTAR

Ucapan syukur tidak henti – hentinya saya ucapkan kehadirat Allah sebab dengan segala karunia
dan rahmat – Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Transformasi Identitas
Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Ngemplak, Kabupaten Sleman.
Dengan segala kemudahan dan kelancaran dari Allah saya dapat menyelesaikan makalah tersebut
dengan tepat waktu. Makalah ini akan membahas mengenai Sejarah dari adanya saparan Wonolelo
yang bertujuan untuk memperingati hari jadi atau cikal bakal desa Widodomartani. Identitas
budaya ini bertumpu pada budaya islam dan tokohnya yang bernama Ki Ageng Wonolelo.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester. Selain
sebagai pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester makalah ini saya buat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan bagi masyarakat umum. Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Nur Aini selaku dosen Sejarah Sosial, sebab tanpa tugas dari beliau saya tidak bisa menambah
wawasan dan pengetahuan saya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman – teman saya
yang telah mendukung dalam proses penulisan makalah ini serta ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada orang – orang yang telah menyediakan jurnal maupun buku dengan tema yang
sesuai dengan topik bahasan saya.
Yogyakarta, 1 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 7

1.3 Tujuan 8

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman
9

2.2 Gambaran Umum Saparan Wonolelo Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten
Sleman 12

2.3 Tahapan-tahapan Dalam Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak,


Kabupaten Sleman 15

2.4 Identitas Budaya Dalam Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak,
Kabupaten Sleman 19

2.5 Perubahan Sosial dan Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo Desa Widodomartani,
Kecamatan Ngemplak 26

BAB III KESIMPULAN 27

Daftar Pustaka 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk budaya. Budaya manusia itu terwujud karena
perkembangan lingkungan serta norma-norma hidupnya. Norma hidup ini terwujud dalam
bentuk pikiran, alam, budi, karya, tata susila, dan seni. Kebudayaan terdiri atas gagasan,
simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya tindakan manusia. Sehingga tidaklah
berlebihan jika ada ungkapan begitu eratnya kebudayaan dengan manusia.
Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan- ungkapan yang simbolis.
Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain seperti halnya hewan.
Budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme, yaitu paham yang mengikuti pola-
pola yang mendasarkan diri atas simbol-simbol. Simbolisme telah mewarnai tindakan
manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan maupun religinya.1
Kelakuan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan mempunyai banyak bentuk
diantaranya dengan menceritakan kembali mitos yang merupakan pernyataan atas sesuatu
kebenaran yang lebih tinggi dan penting akan realitas asli yang masih dimengerti sebagai pola
dan pondasi dalam suatu masyarakat. Mitos bersifat sakral dan senantiasa memiliki
kepentingan yang khusus dalam masyarakat.2
Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai macam upacara adat yaitu: beraneka perayaan
kurban, selamatan, sapaan, ruwahan, suran dan lain-lain.3 Upacara adat merupakan sistem
aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat yang berlaku dalam masyarakat yang
berhubungan dengan bermacam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang
bersangkutan.4
Keanekaragaman suku bangsa dengan budaya di seluruh Indonesia merupakan kekayaan
bangsa yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya kebudayaan yang didukung oleh
masyarakat. Setiap suku bangsa mempunyai budaya yang khas yang membedakan jati diri

1
Budiono Herusatoto, 2001, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, hal.
17.
2
Ibid, Budiono, hal. 22.
3
Marsono, 1999, Ensiklopedia Budaya Jawa, Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa, hal. 4
4
Ibid, Marsono, hal. 7.
mereka dari suku lain. Pembedaan ini akan tampak nyata dalam gagasan-gagasan dan hasil
karya yang akhirnya dituangkan melalui interaksi individu, kelompok dan alam sekitarnya.
Keanekaragaman suku dan budaya di Indonesia inilah yang mendorong penulis untuk meneliti
sebuah komunitas suku Jawa yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu masyarakat
Dusun Pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman, yang berkaitan dengan tradisî
Upacara Saparan dan perubahan sosial budaya.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang hidup, berkembang dalam sebuah kehidupan
manusia atau masyarakat.5 Definisi kebudayaan dapat dikategorikan dalam beberapa hal
yakni: kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks yang meliputi hukum,
seni, moral dan adat istiadat. Pada dasarnya sejarah kebudayaan lebih menekankan pada
dilema budaya yang memandang bahwa kebudayaan merupakan warisan tradisi bagi manusia.
Oleh karena itu, membahas tradisi tidak lepas dari konteks kebudayaan.6
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan
masyarakat, karena setiap manusia dalam masyarakat selalu melakukan kebiasaan baik atau
buruk bagi dirinya. Kebiasaan yang baik akan diakui dan dilakukan oleh orang lain, yang
kemudian dijadikan sebagai dasar bagi hubungan antara orang-orang tertentu, sehingga
tindakan itu menimbulkan norma-norma yang disebut adat istiadat. Sebuah budaya diakui
keberadaannya karena fenomena, budaya itu berkembang dan muncul dari tradisi masyarakat
itu sendiri yang dilakukan manusia dengan masyarakat.7
Desa Widodomartani merupakan salah satu desa di belahan utara Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Desa ini memiliki aset penting bagi dunia kepariwisataan Yogyakarta
khususnya Kabupaten Sleman. Jenis wisata yang dikembangkan adalah wisata budaya.
Budaya yang dimaksud di sini adalah penyelenggaraan Upacara Saparan Wonolelo yang
bertempat di Padukuhan Pondok Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman yang telah
menjadi sebuah tradisi sejak beberapa puluh tahun lalu. Penyelenggaraan Upacara Adat ini
menarik minat banyak pengunjung terutama masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

5
Gatot Murniatmo, 1994, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya,
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 51.
6
Depdikbud, 1991, Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III, Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan, hal. 162.
7
Tashadi, 1982, Upacara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Inventarisasi
dan Dokumen Daerah, hal. 2.
Upacara adalah perbuatan atau perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa
penting. Sedangkan Upacara adat merupakan upacara yang berhubungan dengan adat
masyarakat tertentu. Penyelenggaraan upacara adat Jawa masih dapat dilihat dalam
masyarakat Yogyakarta terutama yang tinggal di daerah Pedesaan. Upacara tersebut berupa
upacara kelahiran anak manusia, khitanan, perkawinan, syukuran, kematian, dan sebagainya.
Tradisi adalah adat kebiasaan yang berlangsung secara turun-temurun dan masih dilakukan
dalam masyarakat di setiap tempat maupun suku yang berbeda-beda. Namun demikian
pelaksanaan sebuah tradisi mengalami beberapa perubahan sebagai akibat dari perkembangan
pola pikir masyarakat.8 Demikian halnya dalam Upacara Saparan Wonolelo yang telah
berlangsung sejak tahun 1968,
Tradisi tahunan masyarakat Widodomartani ini dari tahun ke tahun mengalami berbagai
perubahan seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat pelakunya. Namun demikian
inti dari Upacara ini tetap sama yakni kirab dan pengarakan pusaka-pusaka Ki Ageng
Wonolelo. Upacara ini memiliki fungsi sebagai sarana untuk menghormati dan mengenang
arwah leluhur yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Padukuhan Pondok Wonolelo. Di
samping itu Upacara Saparan Wonolelo ini juga bertujuan untuk mengumpulkan anak
keturunan Ki Ageng Wonolelo yang tersebar di Yogyakarta dan sekitarnya.9
Penyelenggaraan upacara adat Saparan Wonolelo memadukan antara budaya Jawa
dengan Islam. Hal ini terjadi karena masyarakat pelakunya adalah masyarakat Jawa yang
menganut agama Islam yang dalam kehidupan kesehariannya tidak terlepas dari budaya Jawa
itu sendiri, Upacara adat diadakan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
terhadap kekuatan gaib yang ada di alam semesta ini. Upacara adat merupakan wujud dari
kelakuan religi. Bagi masyarakat Jawa, upacara merupakan salah satu sarana untuk
mengadakan hubungan dengan masyarakat, roh leluhur, dan dengan Tuhan. Di samping itu
upacara adat juga merupakan proses konsolidasi hubungan antara manusia dengan alam
sekitarnya.10

8
Harmanto Bratasiswara, 2000, Buwana Adat Istiadat Cara Jawa, Jakarta: Yayasan Surya
Sumirat, hlm. 13.
9
Tashadi, Upacara Tradisional, hal. 84
10
Budiono Herusatoto, Simbolisme, hal. 27
Upacara adat merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Upacara adat timbul karena adanya dorongan manusia untuk melakukan
perbuatan yang bertujuan untuk mencari hubungan dengan dunia gaib. Dalam hal ini manusia
dihinggapi oleh suatu emosi keagamaan dan ini merupakan perbuatan keramat, termasuk
semua unsur-unsur yang ada di dalamnya saat upacara berlangsung.
Upacara adat yang dimaksud di sini adalah aktivitas manusia atau rangkaian tindakan
manusia yang berpola, yang dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat setempat. Biasanya
yang menjadi pusat perhatian upacara adat adalah tokoh leluhur yang dianggap sebagai cikal
bakal yang telah mati. Tokoh ini menurut kepercayaan anggota masyarakat setempat adalah
orang yang telah menurunkan anggota masyarakat tersebut.11
Bentuk pemujaan terhadap leluhur ini menandakan bahwa leluhur yang telah meninggal
khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian manusia perlu menenangkan atau mengembangkan kesejahteraan
leluhur yang telah meninggal,12 Usaha manusia untuk mendekatkan dirinya dengan kekuatan
alam semesta dan juga roh atau arwah leluhur yang telah mati itu dilakukan melalui upacara
dan selamatan yang merupakan kelengkapan upacara.13 Upacara ini merupakan wujud
simbolis hubungan manusia dengan roh atau arwah.
Pada saat sekarang pemujaan terhadap arwah nenek moyang berubah menjadi
menghormati arwah yang meninggal dunia. Pada zaman dahulu arwah nenek moyang dimintai
berkah dan perlindungannya. Namun setelah mengenal agama dan ajaran tentang akhirat,
anggapan orang Jawa beralih menjadi mendoakan keselamatan roh nenek moyang di akhirat
dengan membuat berbagai upacara.14
Di kalangan orang Jawa, sedikit sekali yang meragukan keberadaan roh. Banyak orang
yang memperdebatkan masalah rok. Pusat perdebatan kebanyakan mereka bukan mengenai
apakah roh itu ada atau tidak ada, tetapi bagaimana cara-cara terbaik untuk berhubungan
dengan roh. Kalangan santri menganggap yang terbaik adalah membiarkan roh itu, lalu
memusatkan perhatiannya untuk berserah diri secara total pada Allah SWT. Sedangkan dari

11
Suwaji Bastomi, 1992, Seni dan Budaya Jawa, Semarang: IKIP Semarang, hal. 14.
12
Yoseph Yapi Taum, 2001, Jurnal Lembaga Penelitian Universitas Sanata Darma, Jakarta: Universitas
Sanata Darma, hal. 12
13
Op.cit, Budiono, hal. 37.
14
Koentjaraningrat, 1976, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, hal 314.
kalangan kejawen, yang terkait dengan animisme"15 selalu mengunjungi makam-makam
nenek moyang. Mereka memberikan sesaji dan semedi dengan berbagai macam roh nenek
moyang. Bagi kalangan kejawen, hubungan dengan roh-roh itu mempunyai fungsi untuk
meningkatkan tingkat spiritual.16
Upacara adat akan berisi nilai-nilai, gagasan-gagasan, moral, suasana kebatinan kejawen,
dan perilaku manusia. Pandangan religiusitas sering pula telah mengendap dalam adat dan
tradisi suatu masyarakat. Tidak jarang dalam upacara-upacara tradisional telah menyatu pada
ritus keagamaan dengan upacara, sehingga sulit keduanya untuk dibedakan, Masyarakat Jawa,
khususnya masyarakat yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta mengenai bentuk-bentuk
upacara tradisional. Seperti halnya upacara tradisional yang ada di Padukuhan Pondok
Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman, dikenal adanya upacara adat yang dilaksanakan
satu kali dalam setiap tahun, yaitu pada bulan Sapar. Upacara itu dikenal dengan nama
Upacara Saparan Wonolelo. Dinamakan demikian karena mengambil pusat perhitungan dari
seorang tokoh yang telah menyebarkan ajaran agama Islam di Desa Widodomartani dan
sekitarnya.
Dalam rangka untuk mengenang jasa-jasa Ki Ageng Wonolelo dalam suatu rapat trah Ki
Ageng Wonolelo pada tahun 1968 diputuskan untuk mengadakan Upacara Saparan Ki Ageng
Wonolelo. Mulai saat itu pada setiap bulan Sapar selalu diadakan Upacara Adat Saparan
Wonolelo.
Upacara Adat Saparan Wonolelo dalam pelaksanaannya adalah
pengarakan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo yaitu gondil, bandhil, kitab suci Al-Qur'an,
kopyah, cupu, dan teken. Pengarakan pusaka ini dilakukan dari Masjid Ki Ageng Wonolelo
menuju makam Ki Ageng. Pelaksanaan Upacara Adat Saparan Wonolelo ini dari tahun ke
tahun senantiasa dilaksanakan oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo dan didukung sepenuhnya
oleh masyarakat serta pemerintah daerah setempat dengan penuh antusias dan khidmat.17
Dalam upacara digunakan simbol-simbol, sebagai warisan budaya yang tetap dipelihara
dan sampai saat ini masih diakui kegunaannya. Fenomena budaya yang masih dianggap
sakral, dapat digambarkan dengan melihat sebuah upacara adat. Sebuah upacara yang masih

15
Animisme adalah suatu sistem yang mempercayai setiap benda-benda yang dianggap memunyai kekuatan
gaib dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Contohnya seperti guring, sungai, batu
16
Edy Sedyawati, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Jakarta: Manggala Bhakti, hal. 46.
17
Tashadi, Upacara Tradisional, hal. 81.
dianggap bernilai, mempunyai makna sebagai bentuk kegiatan yang harus dilestarikan dalam
masyarakat.18
Seperti halnya di daerah Istimewa Yogyakarta masyarakatnya masih melakukan upacara
tradisional atau upacara adat termasuk tradisi Saparan yang berada di Padukuhan Pondok
Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Upacara tersebut
dilakukan setiap setahun sekali, sehingga upacara adat merupakan kegiatan budaya yang pada
umumnya telah dikenal masyarakat Yogyakarta dan para wisatawan. Penyelenggaraan
upacara adat dan aktivitas ritual ini mempunyai arti bagi warga masyarakat yang
bersangkutan, selain sebagai penghormatan terhadap roh leluhur dan rasa syukur terhadap
Tuhan juga sebagai sarana, sosialisasi dan pengokohan nilai budaya yang sudah ada dan
berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pemujaan dan penghormatan kepada leluhur
bermula dari perasaan takut, segan dan hormat pada terhadap leluhurnya. Perasaan ini timbul
karena masyarakat mempercayai adanya sesuatu yang luar biasa yang berada di luar
kekuasaan dan kemampuan manusia yang tidak nampak oleh mata. Upacara tradisional dapat
dianggap sebagai bentuk pranata sosial yang tidak tertulis, namun wajib dikenal dan diketahui
oleh setiap warga masyarakat pendukungnya, untuk mengatur sikap dan tingkah laku mereka
agar tidak melanggar dari adat kebiasaan dari kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat tradisional itu terdapat pola tindakan atau tingkah laku clan pola cara
berpikir warganya yang dikaitkan dengan adanya kepercayaan dan keyakinan terhadap
kekuatan gaib yang terdapat pada alam semesta. Kekuatan alam semesta ini dianggap ada di
atas segalanya. Dalam masyarakat tradisional ini kekuatan manusia akan "lemah" bila
dihadapkan dengan kekuatan alam semesta (Kosmos). Itulah sebabnya terhadap kekuatan
alam semesta ini manusia, beserta semua unsur-unsurnya bersikap hormat clan berusaha untuk
mendekatinya agar tidak terjadi malapetaka. Usaha manusia untuk mendekatkan dirinya
dengan kekuatan alam semesta clan juga roh atau arwah leluhur yang telah "Sumare" itu,
dilakukan melalui "upacara" dan "selamatan" yang merupakan kelengkapan upacara. Dengan
demikian upacara ini merupakan wujud simbolis · hubungan manusia dengan roh atau arwah

18
Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, 2000, Upacara Adat: Potensi Daya tarik Wisata Kabupaten
Sleman.
atau kosmologinya. Dalam hal ini Nancy D Kunn19 menunjukkan bahwa upacara itu
merupakan interaksi sosial yang dilakukan melalui simbol-simbol sebagai sarana untuk
menelusuri asal usul kehidupan manusia. Demikianlah upacara yang dalam pelaksanaannya
selalu dilengkapi dengan segala macam sarana sebagai simbol atau lambang yang memberikan
informasi kepada para pelakunya tentang hubungannya dengan "Yang Esa" atau "Yang telah
tiada" .
Biasanya dalam masyarakat Jawa, sarana ini berwujud pusaka-pusaka dan sajian-sajian
yang ditempatkan dalam pertemuan yang disebut selamatan atau kenduri. Wujud dari sajian-
sajian yang dipersembahkan menurut jenis maksud clan tujuan upacara yang diselenggarakan
itu. Bagi masyarakat Jawa khususnya masyarakat Jawa yang tinggal dan hidup di Daerah
istimewa Yogyakarta juga mengenal beberapa bentuk upacara tradisional. Di salah satu bagian
daerah di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta tepatnya di pedukuhan Pondok Wonolelo,
Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, juga dikenal upacara tradisional atau
upacara adat yang setiap tahun dilakukan penduduk setempat. Upacara ini oleh penduduk
setempat clan sekitarnya dikenal sebagai "Upacara Saparan Wonolelo" yang dalam
pelaksanaannya upacara ini diawali dengan pengarakan pusaka Ki Ageng Wonolelo tokoh
leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal pembuka Pondok Wonolelo clan yang menurunkan
penduduk asli Pondok Wonolelo. Letak Desa Widodomartani Ngemplak ini pada sekitar 19
km ke arah timur laut kota Yogyakarta dengan wilayah Daerah Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah dan Asal-usul Upacara Saparan Wonelelo di Desa Widadamartani,


Kecamatan Ngemplak?
2. Bagaimana Gambaran Umum Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani, Kecamatan
Ngemplak?
3. Bagaimana Rangkaian atau Tahapan Dalam Upacara Saparan Wonolelo di Desa
Widodomartani, Kecamatan Ngemplak?

19
Nancy D Kunn, Symbolism In a Ritual Context: Aspect of Symbolism Action, Handbook of Social and
Cultural Anthropology, (edt. John J. Honigmann), Rand McNally College Publishing Company, Chicago,
hal. 580.
4. Apa Identitas Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani,
Kecamatan Ngemplak?
5. Apa Perubahan Sosial dan Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo Desa
Widodomartani, Kecamatan Ngemplak

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Sejarah dan Asal-usul Upacara Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani.


2. Mengetahui Gambaran Umum Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani, Kecamatan
Ngemplak.
3. Mengetahui Rangkaian Acara Dalam Upacara Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani.
4. Mengetahui Identitas Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani.
5. Mengetahui Perubahan Sosial dan Budaya Dalam Upacara Saparan Wonolelo Desa
Widodomartani, Kecamatan Ngemplak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Asal Usul Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak,
Sleman

Upacara adat yang diselenggarakan oleh warga padukuhan Pondok Wonolelo


Widodomartani, Ngemplak, Sleman adalah "upacara Saparan Wonolelo". Dinamakan
demikian karena upacara ini mengambil pusat perhitungan yaitu seorang tokoh Leluhur desa
Pondok Wonolelo yang bernama "Ki Ageng Wonolelo", yang sekarang makamnya berada di
desa Pondok Wonolelo.20
Siapakah sebenarnya Ki Ageng Wonolelo itu klan mengapa dijadikan sebagai pusat
perhitungan yang menurunkan orang-orang di Pondok Wonolelo, sehingga dijadikan pula
pusat perhitungan upacara Saparan Wonolelo? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat kita ikuti
dongeng yang dituturkan oleh salah seorang diantara mereka yang menurut pengakuannya
adalah tennasuk keturunan Ki Ageng Wonolelo. Menurut dongeng yang dituturkan adalah
sebagai berikut:
"Ki Ageng Wonolelo sebenarnya masih keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja
Majapahit yang terakhir. Prabu Brawijaya V berputra 111 orang yaitu 60 orang laki-
laki dan 51 orang perempuan. Salah satu di antara ke 60 putra itu adalah Pangeran
Bracak Ngilo.21
Pada waktu kerajaan Majapahit mulai terdesak oleh kerajaan Demak (Kerajaan Islam
pertama di Jawa Tengah) Prabu Brawijaya V memerintahkan kepada putra-putrinya agar pergi
meninggalkan kerajaan untuk bertapa. Titah ini dilaksanakan oleh putra-putrinya raja
Brawijaya yang berjumlah 111 orang itu.
Diantaranya Pangeran Bracak Ngilo yang disertai oleh Syekh Maulana Maghribi pergi
berkelana menuju ke arah barat. Dalam kelananya itu sampailah beliau di salah satu
pedukuhan, yaitu padukuhan Karanglo yang konon dalam dongeng itu dituturkan termasuk

20
Tashadi, Gatut Murniatmo, dkk, 1992, Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan Wonolelo
Yogyakarta, Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Hal. 58.
21
Ibid, Tashadi, hal. 59.
wilayah Yogyakarta. Di sini di pedukuhan Karanglo Pangeran Bracak Ngilo tinggal agak
lama. Bahkan beliau mengganti namanya menjadi Ki Ageng Karanglo
Pada saat itu pula keadaan gunung Merapi selalu mengeluarkan lahar. Hal ini terlihat oleh
Ki Ageng Karanglo dan dirasakan sangat mengkhawatirkan penduduk yang tinggal di
sekitarnya. Melihat keadaan inilah makam Ki Ageng Karanglo atau Pangeran Bracak Ngilo
bergetar jiwanya untuk menolong menyelamatkan penduduk dari ancaman lahar Merapi. Oleh
sebab itu maka Ki Ageng Karanglo pergi meninggalkan pedukuhan Karanglo menuju ke Utara
untuk menolong penduduk yang tinggal di lereng Merapi. Untuk itu Ki Ageng Karanglo
berusaha mencegah agar lahar yang keluar dari mulut Merapi itu tidak mengalir ke Selatan.
Agar penduduk benar-benar terhindar dari ancaman lahar Merapi itu maka Ki ageng
Karanglo tinggal di padukuhan Turgo. Ternyata atas kebesarannya usaha Ki Ageng Karanglo
untuk menyelamatkan penduduk dari ancaman lahar Merapi itu berhasil. Oleh karenanya sejak
saat itu Ki Ageng Karanglo disebut dengan nama Ki Ageng Turgo atau Syekh Jumadil kubro.22
Dalam kelananya kemudian Pangeran Bracak Ngilo atau Ki Ageng Ka rang lo atau Ki Ageng
Turgo atau Syekh Jumadil Kubro berputra empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan.
Dua orang putera yang selalu tampil dalam dongeng adalah Syech Kaki dan Syech Jimat.
Syech Kaki kemudian berputar Ki Jumadigena; sedang Syech Jimat berputera Ki Berbak
dan Ki Gunturgeni. Ki Jumadigeno itulah putera Syech Kaki yang kemudian tinggal dan
menetap di pedukuhan Pondok Wonolelo yang kemudian sampai sekarang dikenal sebagai Ki
Ageng Wonolelo. Ada sebuah dongeng mengapa nama itu kemudian disebut Pondok
Wonolelo. Menurut dongeng itu nama "Wonolelo" diberikan karena pada waktu Ki
Jumadigeno masih tinggal di Turgo, apabila beliau melihat ke arah tenggara tampak adanya
"wono" (hutan) yang "ngelela" Kelas, terang).23 Karena itu Ki Jumadigeno kemudian datang
ke hutan itu untuk membukanya (babad). Setelah hutan itu dibuka (dibabad) oleh Ki
Jumadigeno dijadikan sebagai tempat tinggalnya dan diberi nama 'Wonolelo" (hutan yang
terang). Nama Ki Jumadigeno pun diganti menjadi Ki Ageng Wonolelo24. Di tempat yang baru

22
Isnaini Ernawati, 2017, Nilai-nilai pendidikan Dalam Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo Di Desa
Widodomartani Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman Tahun 2015, Skripsi, Salatiga: Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga, hal 7.
23
Dewi Rohmani, 2011, Perubahan Sosial Budaya Pada Upacara Adat Saparan Ki Ageng Wonolelo di
Pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta, UNY, hal. 25.
24
Op.cit, Dewi Rohmani, hal. 34.
ini Ki Ageng Wonolelo mulai menjalankan tugasnya untuk menyebarkan ajaran agama
Islam.25 Murid Nya makin lama makin banyak. Untuk menampung murid-muridnya
didirikanlah Pondok sehingga sampai sekarang tempat ini dikenal sebagai "Pondok
Wonolelo".
Demikianlah dongeng yang menuturkan asal usul Ki Ageng Wonolelo yang dianggap dan
diakui sebagai leluhur atau cikal bakal mereka, penduduk pedukuhan Pondok Wonolelo, Desa
Wedomartani, Ngemplak, Sleman. Untuk menghormati jasa dan kebesaran Ki Ageng
Wonolelo, maka oleh penduduk Pondok Wonolelo, pada setiap bulan Jawa, Sapar diadakan
upacara yang sampai sekarang dikenal sebagai "Upacara Saparan Wonolelo".
Dalam dongeng itu dituturkan pula bahwa Ki Ageng Wonolelo mempunyai · hubungan
kekerabatan dengan Ki Ageng Gribig atau Wasibagena Alit yang dimakamkan di Jatinom
Klaten. Ki Ageng Gribig atau Wasibagena Alit ini adalah putra Bandara Putih atau Ki Ageng
Giri III dan putri Lembah (Nyai Ageng Giri III). Bandara Putih ini adalah putra Jaka Dolog
dan Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit. ~dang putri
Lembah atau Nyai Ageng Giri III adalah putri Sunan Giri II dan Sunan Giri. II ini adalah putra
Wasibagena atau Sunan Giri I yang semula bernama Pangeran Guntur. Pangeran Guntur ini
adalah salah seorang diantara ke III putra Prabu Brawijaya V.26 Dengan demikian antara
Wasibagena Alit dengan Ki Ageng Wonolelo adalah satu keturunan yakni sama-sama
keturunan Prabu Brawijaya V raja kerajaan Majapahit terakhir.
Di samping keduanya mempunyai hubungan kerabat juga bersaudara dalam satu
perguruan, karena mereka bersama berguru pada Syekh Jumadil Kobra yang dalam urutan
silsilah adalah kakak Ki Jumadigeno atau Ki Ageng Wonolelo sendiri. Setelah selesai berguru
kedua bersaudara itu, diperintahkan oleh guru mereka untuk menyebarkan ilmu pengetahuan
yang telah mereka peroleh. Oleh sebab itulah mereka kemudian pergi mengembara sampai
pedukuhan Wonogiri dekat Pakem yang seterusnya menuju ke Pakem. Dari Pakem
melanjutkan pengembaraan mereka ke tempat yang kemudian disebut Wonolelo. Di tempat
yang baru ini Ki Jumadigeno lalu membabat hutan dengan benda pusakanya yang ampuh dan
sakti. Sebelum pekerjaan ini selesai mereka berdua pergi bertapa ke Wonogiri (Surakarta).
Setelah selesai bertapa Ki Jumadigeno kembali dan menetap di Pondok Wonolelo, sedang

25
Hasan Langgulung, 1980, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Manaf, hal. 45.
26
Ibid, Dewi Rohmani, hal. 35.
Wasibagena Alit lalu bertapa di bawah pohon jati yang masih muda (= Jatinom) yang terletak
di wilayah Klaten. Sehingga oleh karenanya tempat itu sampai sekarang dinamai Jatinom. Di
daerah ini Ki Wasibagno Alit lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Gribig. Sampai
meninggalnya beliau tinggal di Jatinom. Pada waktu meninggal , dimakamkan di Jatinom.
Selama hayatnya kedua tokoh ini menyebarkan ilmu yang dimiliki di tempat masing-
masing . Ki Wasibagno Alit atau Ki Ageng Gribig di Jatinom Klaten dan Ki Jumadigeno atau
Ki Ageng Wonolelo di Pondok Wonolelo. Pada zaman mereka hidup adalah zaman kerajaan
Mataram diperintah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Oleh Sultan Agung keduanya diutus
untuk menaklukkan kerajaan Palembang yang tidak mau mengakui kedaulatan Mataram.
Ternyata kedua bersaudara satu keturunan dan satu perguruan ini dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Palembang dapat ditaklukkan. Demikianlah dongeng yang
menunjukkan hubungan kekerabatan Ki Ageng Wonolelo dengan Ki Ageng Gribig di
Jatinom. Untuk memperingati jasa-jasa kedua tokoh ini, pada setiap bulan Sapar
diselenggarakan peringatan upacara . Dalam penyelenggaraan ini lebih dulu pelaksanaannya
upacara di Pondok Wonolelo, dan baru sesudah itu (satu minggu kemudian) upacara di
Jatinom yang disebut upacara Joko wiyu.27 Hal ini disebabkan Ki Ageng Wonolelo dianggap
kedudukannya lebih tua daripada Ki Ageng Gribig.

2.2 Gambaran Umum Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak,


Sleman
Penelitian ini adalah untuk mengetahui sejarah perayaan upacara saparan Wonolelo.
Segala sesuatu yang diperlukan dalam perayaan upacara tersebut dipersiapkan oleh
masyarakat setempat. Hal ini perlu diteliti karena untuk menunjukkan partisipasi masyarakat
maupun faktor penyebabnya dalam perayaan upacara tradisi Saparan yang ada di desa
tersebut.28 Penelitian ini terfokus pada upacara tradisi Saparan yang ada di Desa Pondok
Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta.
Upacara ini oleh penduduk setempat dan sekitarnya dikenal sebagai “Upacara Saparan
Wonolelo” yang dalam pelaksanaannya upacara ini adalah pengarakan pusaka Ki Ageng

27
Johanes, Mardimin, 1994, Jangan Tangisi Tradisi, Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia
Modern, Yogyakarta: Kanisius, hal. 55.
28
Koentjaraningrat, 1976, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Djambatan, hal. 30.
Wonolelo tokoh leluhur yang dianggap sebagai cikal bakal pembuka Pondok Wonolelo29 dan
yang menurunkan penduduk asli Pondok Wonolelo. Letak desa Widodomartani Ngemplak ini
pada sekitar 19 km ke arah timur laut kota Yogyakarta dengan wilayah daerah Klaten, Provinsi
Jawa Tengah.30 Penyelenggaraan upacara itu penting artinya bagi pembinaan sosial budaya
warga masyarakat yang bersangkutan antara lain karena salah satu fungsinya adalah sebagai
pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku. Sedangkan saparan
berasal dari kata Sapar atau Syafar yang mendapat akhiran –an. Saparan menurut adat jawa
merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan pada bulan Sapar yang bertujuan untuk simbol
memohon keselamatan. Jadi upacara adat saparan merupakan upacara yang berhubungan
dengan adat suatu masyarakat yang dilaksanakan pada bulan Sapar berupa kegiatan manusia
dalam hidup bermasyarakat yang didorong oleh hasrat untuk memperoleh ketentraman batin
atau mencari keselamatan dengan memenuhi tata cara yang ditradisikan di dalam masyarakat.
Upacara tradisi Saparan untuk tahun 2012 terlihat agak unik karena dalam 1 tahun
dilaksanakan 2 kali. Selama 45 tahun, baru kali ini upacara saparan dilaksanakan dua kali
karena mengikuti kalender jawa. Upacara ini dilaksanakan untuk memperingati,
menghormati, mendoakan, dan mengenang, sebagai darma bakti anak cucu kepada pepunden
yang mendirikan dusun Pondok Wonolelo yaitu Ki Ageng Wonolelo dan sebagai perwujudan
rasa syukur warga masyarakat atas karunia Tuhan YME yang telah melimpahkan rezeki,
kesehatan, keselamatan dan ketentraman.31 Upacara adat saparan dan kirab pusaka diawali
dengan pengajian akbar dan dilanjutkan pengajian-pengajian rutin di pendopo makam Ki
Ageng Wonolelo selama saparan. Ini adalah salah satu perwujudan anak cucu Ki Ageng
Wonolelo untuk meneruskan perjuangan beliau karena beliau seprang tokoh penyebar agama
islam pada masa itu.
Pada puncak acara, dilakukan kirab pusaka dan penyebaran apem. Semua pusaka
peninggalan Ki Ageng dikeluarkan oleh para pemegangnya, pusaka tersebut yaitu kitab suci
Al-Quran, Bandil, Baju Ontrokusumo, Kopyah, Potongan Kayu Mustoko Masjid, dan
Tongkat/ Teken.32 Pusaka-pusaka itu dikeluarkan untuk dikirab dari rumah peninggalan Ki

29
Ripto Sunandarisman, 2006, menelusuri Riwayat Serta Asal-usul Ki Ageng Wonolelo, Yogyakarta:
Proyek Inventarisasi Dan Dokumen Daerah, hal. 10.
30
Op.cit, Dewi Rohmani, hal. 38.
31
Rustini, 2003, Tradisi Upacara Saparan Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman, Skripsi, hal. 39.
32
Ibid, Dewi Rohmani, hal. 39.
Ageng menuju makam Ki Ageng Wonolelo. Rute kirab pusaka tersebut dimulai dari pendopo
Kelurahan Widodomartani, disana diadakan upacara pembukaan kirab, setelah itu barisan
kirab menuju rumah peninggalan Ki Ageng Wonolelo untuk mengambil pusaka- pusaka
tersebut, baru setelah itu dilanjutkan menuju makam Ki Ageng Wonolelo. Sesampainya di
makam dilaksanakan bacaan doa-doa dan tabur bunga di makam Ki Ageng. Acara tabur bunga
selesai, pusaka-pusaka dibawa kembali ke rumah peninggalan Ki Ageng lalu dilanjutkan
penyebaran apem.33
Kue apem memiliki makna tersendiri bagi warga sekitar. Menurut cerita salah seorang
anggota trah serta warga sekitar, pada saat dahulu Ki Ageng melakukan ziarah ke tanah suci
(umroh), sepulangnya dari tanah suci beliau membawa oleh-oleh berupa “kue gimbal” yaitu
roti yang terbuat dari tepung beras, maka oleh Ki Ageng tersebut diberi nama Apem. Apem
berasal dari kata “Afuwun” yang berarti ampunan, dengan maksud para anak cucu, santri dan
tetangga sekitar diminta untuk memperbanyak meminta ampunan kepada Allah SWT dan juga
diperintahkan untuk berbuat kebaikan dan memperbanyak sedekah. Maka dari itulah kue
apem merupakan satu-satunya kue yang digunakan pada saat memperingati hari Sapar, karena
mengingat wejangan dari Ki Ageng Wonolelo.34
Sebagai pendukung pelaksanaan upacara saparan dan kirab pusaka disajikan berbagai
hiburan dan pentas seni seperti wayang kulit, ketoprak, karawitan, tari-tari, mocopat, jathilan,
dangdut, dan parade band.35 Acara tersebut semata-mata untuk memberikan hiburan terhadap
masyarakat juga untuk melestarikan, menjaga dan nguri-uri seni budaya peninggalan nenek
moyang kita yang adi luhung, karena nilai-nilai budaya dan seni daerah lokal atau budaya
tradisi merupakan salah satu benteng tangguh untuk menghadapi serbuan budaya global yang
berpotensi melenyapkan identitas bangsa.

2.3 Tahapan-tahapan Dalam Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan


Ngemplak, Kabupaten Sleman

Dalam Upacara Saparan Wonolelo terdapat rangkaian penyelenggaraan Upacara.


Upacara Saparan Wonolelo ini diatur melalui tahap-tahap tertentu, yakni tahapan sebagai

33
Wawancara salah satu warga desa Widodomartani.
34
Hasil Wawancara dengan Bapak Tugiman Siswosubroto.
35
Siti Hajar, 1999, Tradisi Saparan di Desa Ambarketawang kecamatan Gamping Kabupaten Sleman,
Skripsi, hal. 23.
pertanda bahwa Upacara Saparan Wonolelo itu dimulai sampai dengan berakhirnya. Adapun
tahapan upacara itu adalah sebagai berikut:
1. Tahap yang menandai dimulainya upacara, yaitu "tahlilan".

Tahlilan ini diikuti oleh beberapa orang laki-laki yang berpakaian kejawen (kain, baju
surjan/peranakan, dan blangkon) yang mewakili atau sebagai utusan dan kelompok-
kelompok yang ada di Pedukuhan Pondok Wonolelo. Pada tahapan ini pada setiap malam
dilaksanakan tahlilan di pendopo makam, untuk mendoakan mendiang Ki Ageng
Wonolelo.

2. Tahap penyerahan pusaka Ki Ageng Wonolelo di makam.


Tahap penyerahan pusaka ini diawali dengan kirab joli-joli, maupun gunungan apem
dari kelurahan Widodomartani menuju rumah tiban, setelah itu mengambil pusaka milik
Ki Ageng Wonolelo di rumah peninggalan Ki Ageng Wonolelo(rumah tiban). Setelah
pusaka dimasukkan ke dalam joli-joli yang ada, kemudian pusaka diarak menuju makam
Ki Ageng untuk diberikan kepada juru makam Ki Ageng Wonolelo.36
3. Tahap pembacaan riwayat singkat Ki Ageng Wonolelo.
Pembacaan riwayat Ki Ageng Wonolelo dibacakan oleh salah seorang
keturunan yang ditunjuk oleh trah Ki Ageng Wonolelo. Pembacaan riwayat Ki Ageng
Wonolelo ini dimaksudkan agar keturunan trah Ki Ageng Wonolelo serta masyarakat
mengetahui maupun mengingat perjuangan Ki Ageng Wonolelo dalam menyebarkan
agama islam ataupun membangun Desa Pondok. Hal ini dimaksudkan agar senantiasa
generasi penerus melestarikan tradisi yang ada ini.
4. Tahap tabur bunga (nyekar) di makam Ki Ageng Wonolelo dan Nyi Ageng
Wonolelo. Acara tabur bunga ini dilakukan oleh seluruh keturunan Ki Ageng
Wonolelo yang kemudian diikuti oleh para peziarah lainnya. Acara tabur bunga ini
merupakan sebuah apresiasi dari masyarakat bahwa mereka masih menghargai dan
menghormati keberadaan Ki Ageng Wonolelo, meskipun raganya sudah tiada di dunia
ini.
6. Tahap membawa kembali pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ke tempat semula.

36
Niels Mulder, 1977, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa,
hal. 28.
Pusaka yang tadinya diarak dari rumah tiban menuju makam Ki Ageng Wonolelo,
setelah acara nyekar selesai, pusaka-pusaka tersebut dikembalikan ketempat semula, yakni
di dalam rumah tiban, kemudian pusaka tersebut disimpan kembali oleh para trah
keturunan Ki Ageng Wonolelo, untuk digunakan pada acara kirab di tahun selanjutnya.
7. Tahap pembagian apem yang dilakukan oleh trah Ki Ageng Wonolelo kepada para
peziarah
Tahap penyebaran apem adalah tahap yang paling ditunggu oleh masyarakat, karena
dipercaya apem tersebut memberikan berkah bagi kehidupan mereka, sehingga
masyarakat berebut saat apem tersebut disebarkan oleh panitia penyelenggara saparan.
Apem ini dituturkan oleh masyarakat dapat mendatangkan ketentraman lahir batin,
kebahagiaan, keselamatan, kesuburan pada tanaman dan mendekatkan dengan jodoh.
Masyarakat sangat antusias untuk bisa merebutkan apem yang ada.
8. Tahap wungon (tidak tidur).
Wugon atau tidak tidur ini diadakan sampai sampai saat subuh tiba, baikoleh trah Ki
Ageng Wonolelo maupun para peziarah lainnya. Wagon ini menandakan bahwa
rangkaian upacara tradisi saparan sudah selesai. Sejarah perkembangan sistem
kepercayaan orang Jawa telah dimulai sejak zaman prasejarah, yaitu waktu nenek moyang
suku bangsa Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu
mempunyai kekuatan, roh, dalam bentuk pemakaman leluhur.37 Dengan kata lain, di
samping kekuatan yang jauh lebih hebat yang ada di luar tubuh manusia. Kekuatan itu
mampu membuat kehidupan manusia dan sekelilingnya berubah menjadi baik atau buruk.
Dengan anggapan yang demikian itu, mereka membayangkan bahwa di samping segala
roh yang ada tentu ada roh yang paling berkuasa dan lebih kuat.
Demikian halnya dengan kebudayaan Jawa yang hakikatnya merupakan keseluruhan
pola-pola aktivitas tingkah laku atau pola-pola tindakan suku bangsa Jawa dalam
menghadapi alam di sekeliling lingkungannya, yaitu pola-pola yang isinya berupa
pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam
kehidupan masyarakat Jawa.

37
Any Rosiyati, 1995, Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini,
Yogyakarta: Depdikbud, hal. 48.
Mereka juga mempercayai bahwa roh-roh yang sudah meninggal dianggap masih di
daerah sekelilingnya, misalnya pemakaman keramat. Roh yang bersifat baik mereka
minta berkah agar melindungi keluarga, dan yang bersifat jahat mereka minta berkah dan
agar jangan mengganggu kehidupannya. Roh-roh yang dapat dibangunkan dan
didatangkan oleh seseorang shaman/dukun yaitu pada saat mengucapkan mantra-mantra,
nyanyian, pujian. Kegiatan keagamaan orang Jawa yang menganut agama Jawa juga
mengenal sistem upacara. Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satu
bentuk upacara keagamaan yang dilakukan. Adat untuk mengunjungi makam keluarga
dan makam nenek moyang (nyekar) adalah suatu tindakan yang penting dalam agama
Jawa.38 Dan segala bentuk upacara atau selamatan yang dilakukan selalu menggunakan
berbagai jenis sesaji (sesajen, sajen).
Sesajen yang digunakan pada tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo yaitu seperti
tumpeng Robyong sebagai simbol kesuburan, ingkung ayam, pisang ayu atau pisang raja,
kembang telon, buah-buahan, daun kluwih lima lembar dan tumpeng lima golong tujuh.
Lebih lanjut Bapak Boiman (59 tahun) mengenai kembang telon, daun kluwih lima
lembar, menyatakan bahwa; “Kalau kembang telon itu terdiri dari mawar, melati sama
kanthil mbak, kalau daun kluwih itu, kenapa lima lembar, maknanya itu agar masyarakat
memiliki lima kelebihan, yaitu kelebihan rejeki, ketentraman, kebahagiaan, ilmu dan juga
saudara. It mbak maknanya, semua sesaji itu memiliki makna yang baik mbak untuk
kehidupan dalam masyarakat, jadi sesaji itu jangan sampai ada yang ketinggal”.39
Sesajen yang digunakan pada tradisi saparan mempunyai makna-makna yang baik, hal
ini bertujuan agar rezekinya lancar, hidup yang tentram, bahagia, mempunyai ilmu dan
juga saudara. Lebih lanjut maksudnya lima itu jumlah pasaran, dan 7 hari di dalam
kehidupan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sesajen yang digunakan pada
tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo yaitu:

1) Tumpeng robyong, sebagai simbol untuk menghilangkan keruwetan dari segala


macam gangguan dan sebagai lambang kesuburan.
2) Ingkung ayam, bermakna kita harus menyerah dan pasrah kepada Tuhan YME
agar mensucikan segala kesalahan semua warga masyarakat.
3) Pisang ayu, memiliki makna bahwa yang ada dimuka bumi ini adalah ciptaan
Tuhan yang harus dilestarikan
38
Ismail SM, dkk, 2001, Paradigma Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 56
39
Hasil Wawancara dengan Pak Boiman
4) Kembang telon (mawar, kanthil, melati), sebagai simbol bahwa akan ada
tawar/kebal yang diucapkan lewat mulut (lathi) dengan kata-kata yang kotor
yang akhirnya bisa “tut wuri/kemantil kantil”
5) Buah-buahan, sebagai lambang kebahagiaan dan kesuburan yang akan diterima
semua warga masyarakat.
6) Daun kluwih 5 lembar, sebagai simbol agar semua pelaku upacara adat dan warga
mendapatkan 5 kelebihan dalam hidup, yakni: rejeki, ilmu, ketentraman,
kebahagiaan dan persaudaraan.
7) Tumpeng lima golong tujuh, memiliki makna bahwa hari itu ada tujuh dan
pasaran ada lima.
Makna dari semua sesaji tersebut adalah merupakan perlambangan seorang manusia agar
berdoa kepada Tuhan YME, meminta keselamatan, kesehataan, ketentraman, kebahagiaan
dan murah rejeki, juga memiliki makna akan kembali ke asalnya (meninggal).40
Persiapan lain yang diperlukan pada saat kirab adalah pusaka Ki Ageng, trah Ki Ageng
bertugas mengumpulkan Pusakanya Ki Ageng yang mau di kirab, diutarakan bapak Boiman,
Pusaka Ki Ageng yaitu ada Al-Quran, bandil, baju ontrokusumo, kopyah, potongan kayu
mustoko masjid, sama teken, semua itu masih tersimpan, kecuali bandil yang sudah hilang
sejak dulu, dan kita semua juga tidak tau keberadaan bandil itu dimana. Pusaka itu berada di
tempat generasi Ki Ageng, dan itu berada di lain-lain daerah, seperti Kalasan, Cangkringan,
Pondok dan Pakem.41
Menurut keterangan salah seorang anggota trah, Ki Ageng Wonolelo mempunyai pusaka-
pusaka yang ditinggal kepada keturunannya, yang meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:

1) Baju Ontrokusurno, yang berfungsi untuk kekebalan tubuh, melindungi dari gangguan
binatang buas, senjata tajam, gangguan jin, dll.
2) Bandhil, yang berupa tali yang konon menurut riwayatnya digunakan Ki Ageng Wonolelo
pada waktu babad alas (membuka hutan) yang sekarang disebut Pondok Wonolelo. Menurut
keterangan sementara anggota trah Ki Ageng Wonolelo, pusaka Bandhil ini nurco (hilang),
katanya menjadi mustaka masjid Jatinom. Hilangnya bandhil ini bersamaan dengan
lenyapnya masjid Ki Ageng Wonolelo.
3) Kitab Suci AI-Qur'an, kitab suci ini ditulis tangan dan yang melakukan adalah Ki Ageng
Wonolelo sendiri.
4) Sempalan mustaka masjid yang dulu didirikan Ki Ageng Wonolelo. Menurut penduduk
setempat sempalan mustaka masjid ini disebut "cupu".
5) Kopyah, yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu mendapat tugas dari Sultan
Agung di Mataram untuk menaklukkan kerajaan Palembang. Dengan kopiah ini Ki Ageng
Wonolelo dapat dengan mudah menaklukkan kerajaan Palembang. Konon riwayat yang
dituturkan prajurit kerajaan Palembang lari pontang-panting pada waktu Ki Ageng Wonolelo
memiringkan kopiah di kepalanya.
6) Teken (tongkat), yang digunakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu menyebarkan agama
Islam di Pondok Wonolelo. Menurut riwayat khasiat teken ini kalau ditancapkan di tanah
dapat mengeluarkan air. Hal ini pernah dilakukan Ki Ageng Wonolelo pada waktu menolong

40
Bani Sudardi, 2015, “Ritual dan Nilai Islami Dalam Folklor Jawa”, Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 13(2),
hal. 306.
41
Ibid, Bani Sudardi, hal. 307.
penduduk di salah satu daerah yang kekurangan air. Namun menurut keterangan pusaka
teken ini sekarang sudah tidak ada lagi, tidak ada orang yang tahu di mana tempatnya.

Panitia atau warga yang terlibat bertugas membersihkan lokasi yang akan digunakan,
seperti lokasi pasar malam, membersihkan lapangan, menyiapkan tempat parkir, karcis-
karcisnya, dan penerangannya. Persiapan perayaan saparan dilakukan satu bulan sebelum
perayaan dan dibantu oleh warga sekitar yang berperan sebagai panitia, keluarga trah Ki
Ageng Wonolelo, masyarakat Pondok, Pemerintah daerah, sehingga setiap perayaan berjalan
dengan lancar.
Penyelenggaraan upacara itu penting artinya bagi pembinaan sosial budaya warga
masyarakat yang bersangkutan antara lain karena salah satu fungsinya adalah sebagai
pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku. Hal tersebut kemudian
secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk upacara yang dilakukan dengan
cara khidmat oleh warga masyarakat yang mendukungnya dan yang dirasakan sebagai bagian
yang integral dan akrab serta komunikatif dalam kehidupan kulturnya. Sehingga dapat
membangkitkan rasa aman bagi setiap warganya di tengah lingkungan kehidupan
masyarakatnya, dan tidak kehilangan arah serta pegangan dalam menentukan sikap dan
tingkah lakunya sehari-hari. Demikian pula rasa solidaritas antara sesama warga masyarakat
dengan penyelenggaraan upacara dapat menjadi lebih kuat.

2.4 Identitas Budaya Dalam Saparan Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan


Ngemplak, Kabupaten Sleman

Tradisi saparan adalah sebuah ritual untuk menolak balak, suatu tradisi yang sudah menjadi
kebiasaan rutin di masyarakat. Khususnya di masyarakat jawa, suatu tradisi dianggap sangat
penting karena menurut mereka itu warisan dari nenek moyang. Selagi tradisi tersebut tidak
menyimpang dari syariat Islam khususnya bagi masyarakat pemeluk agama Islam, maka tidak
masalah tradisi tersebut dijalankan.
Tradisi tersebut juga mengandung adanya pendidikan Islam. Pelaksanaan tradisi tersebut
ada yang rutin setiap tahun sekali. Tradisi ini dilakukan di bulan Safar (bulan Jawa), yang
menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya tetap makmur dan sejahtera serta
untuk mengirim do‟a dan dzikir bersama masyarakat. Tradisi saparan ini hampir mirip dengan
tradisi nyadran yang biasa terjadi di bulan Suro (muharram). Tradisi saparan ini hampir
dilakukan oleh setiap warga desa.42
Setiap tradisi tidak terlepas dari sebuah sejarah dan tentunya memiliki tujuan dan nilai-
nilai pendidikan baik secara sosial maupun agama. Begitu pula nilai-nilai pendidikan Islam
yang terdapat di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo yang terdapat di desa
Widodomartani. Dari hasil penelitian yang ada dan dikaitkan dengan teori, penulis
menemukan banyak hal positif berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi ini,
antara lain: nilai pendidikan sejarah, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya, nilai
pendidikan birrul walidain, nilai religius atau pendidikan rasa syukur terhadap Allah SWT,
dan nilai pendidikan kemanusiaan. Di antara nilai-nilai pendidikan tersebut dapat penulis
paparkan sebagai berikut:

42
Op.cit, Isnaini Ernawati, hal. 17
a. Nilai Pendidikan Sejarah

Di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo pastinya mengandung nilai sejarah yang
tinggi, yaitu berupa perjuangan Islam oleh seorang wali Allah bernama Ki Ageng
Wonolelo di tanah Jawa khususnya di daerah Widodomartani kecamatan Ngemplak dan
sekitarnya. Nilai-nilai sejarah ini dapat kita lihat dari kisah perjuangan beliau dalam
berdakwah menyebarkan agama Islam, sebagai contoh yaitu peninggalan pusaka-pusaka
yang sampai sekarang diyakini sebagai milik Ki Ageng Wonolelo. Dengan melihat
peninggalan petilasan-petilasan yang ada di sekitar desa Widodomartani kecamatan
Ngemplak salah satu bukti warisan budaya.
Pewarisan budaya berlangsung sepanjang masa, selama masyarakat pendukung
budaya yang bersangkutan tidak punah. Prosesnya berjalan dari generasi yang satu ke
generasi berikutnya secara berkesinambungan. Lingkungan sosial yang pertama yang
dikenal individu sejak lahir adalah Keluarga. Ayah, ibu dan anggota keluarga lainnya
merupakan lingkungan sosial yang secara langsung berhubungan dengan individu.
Sosialisasi yang dialami individu secara intensif berlangsung dalam keluarga. Pengenalan
nilai, norma, dan kebiasaan untuk pertama kali diterima dari keluarga. Pengaruh
sosialisasi yang berasal dari keluarga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukkan dan
perkembangan kepribadian individu. Kebiasaan-kebiasaan yang positif dan negatif yang
berlangsung lama dan terbuka dalam lingkungan keluarga dapat tertanam secara kuat
pada kepribadian seseorang.

b. Nilai Pendidikan Sosial

Kebudayaan Jawa rasa sosial merupakan pedoman dalam hidup untuk berinteraksi satu
sama lain yang harus dijaga dan dipergunakan sebaik mungkin agar tidak terjadi
pergeseran pemahaman di dalam masyarakat. Kata “sosial” berarti hal-hal yang
berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial
merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial.43
Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang
ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat
antar individu.44 Nilai pendidikan sosial yang ada dapat dilihat dari cerminan kehidupan
masyarakat yang diinterpretasikan akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya
kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu
lainnya.
Nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain
dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka
menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial.
Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri
adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.45 Sejalan
dengan hal tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk
merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan

43
Hassan Shadily, 1983, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, hal. 50.
44
Ibid, Hassan Shadily, hal. 51.
45
Ibid, Hasan Shadily, hal. 52.
penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang
berlaku. Nilai pendidikan sosial juga merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima
secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan
apa yang penting, seperti contoh masyarakat melakukan rapat panitia pelaksanaan tradisi
saparan Ki Ageng Wonolelo, kerja bakti pembagian tugas panitia dan sebagainya.

c. Nilai Pendidikan Budaya


Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo
merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat
atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau
suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu
masyarakat dan kebudayaannya46. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak
dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan
nilai budaya lain dalam waktu singkat. Mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam
kehidupan manusia. Makna itu akan diterapkan serta ditumbuh-kembangkan secara
individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat
hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan
mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari
kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda
sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus
mereka anggap amat bernilai dalam hidup, seperti contoh penyebaran apem secara
serentak kepada pengunjung. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

d. Nilai Pendidikan Religius atau Tentang Rasa Syukur Kepada Allah SWT
Di Dalam ritual tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo manusia akan diajarkan bagaimana
mengungkapkan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diberikan Allah SWT. Religi
merupakan suatu kesadaran yang terbentuk secara mendalam dalam lubuk hati manusia
sebagai ciptaan-Nya. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah
melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam
integrasinya hubungan ke dalam ke Esaan Tuhan. Nilai-nilai religius bertujuan untuk
mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada
Tuhan, seperti contohnya manusia dengan melakukan shalat lima waktu serta bersedekah
ataupun melakukan zakat atas rizqi yang telah di dapat.47
Kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan
kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi
manusia itu sendiri. Dapat dipahami bahwa nilai religius yang merupakan nilai
kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan
manusia.

e. Nilai Pendidikan Tentang Birrul Walidain

46
Op.cit, Suwaji Bastomi, hal. 11.
47
Faishol, Abdullah, dkk, 2014, Islam dan Budaya Jawa, Kartasura: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN
Surakarta, hal. 46.
Di Dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo seseorang diajarkan tentang rasa hormat
yang tinggi terhadap kedua orang tua. Sebelum acara dimulai masyarakat dan tokoh
agama melakukan ziarah kubur atau nyekar dengan membaca sholawat, Al-qur‟an, dzikir,
dan tahlil. Dengan tujuan untuk mendoakan para sesepuh, para guru, ulama, dan kepada
orang tua yang telah meninggal.
Dalam surat Maryam terdapat dua ayat yang menggunakan istilah “birrul walidain”
secara langsung, yaitu terdapat pada ayat 14 dan 32. Kedua ayat tersebut berbunyi.48
Yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut menurut Al Maraghi adalah banyak
kebaktian dan kebaikannya kepada kedua orang disamping jauh dari berlaku durhaka
kepada keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Termasuk
mendurhakai kedua orang tua adalah tidak melaksanakan atau mengabaikan apa yang
dikehendaki keduanya. Tapi sebaliknya jika anak berbuat baik dan menaati keduanya
maka anak tersebut termasuk kepada anak yang berbakti. Dengan demikian jika keduanya
atau salah seorang darinya memerintahkan anaknya dengan suatu perkara, maka wajib
bagi anak mentaatinya. Seperti contoh, semasa hidup orang tua memberi nasihat kepada
anaknya dan anak tidak boleh mengabaikan bahkan membantahnya, karena ini adalah
bentuk wujud kasih sayang dan perhatian sebagai orang tua. Disaat orang tua telah
meninggal maka seorang anak wajib mendoakan agar dosa-dosanya diampuni dan
mendapat kebaikan dihadapan Allah SWT.

f. Nilai Pendidikan Tentang Kemanusiaan


Ritual tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi
antar masyarakat sehingga terbentuk kerukunan dan rasa kemanusiaan yang kuat atau rasa
uhkuwah. Seperti contoh pada saat acara berlangsung masyarakat dapat membaur tanpa
melihat sudut pandang agama ataupun suku, mereka dapat menciptakan suasana yang
damai seperti gotong royong dalam kelancaran acara tradisi saparan tersebut.
Kemanusiaan adalah nilai-nilai yang baik yang terbit dari hati seorang manusia dan
terjelma dalam percakapan dan perbuatan seharian. Nilai-nilai ini mampu membentuk
manusia menjadi insan yang mulia, beriman dan berakhlak serta sentiasa bahagia dalam
kehidupan di dunia dan akhirat.
Apabila nilai-nilai kemanusiaan sudah hilang dari hati dan jiwa manusia maka akan
timbullah perasaan negatif yang tidak baik seperti perbuatan kejam, zalim dan penuh rasa
dendam sehingga sanggup melakukan kekejaman dan penderaan. Keseimbangan
pendidikan hati, jiwa dan rohani mestilah dilakukan dari peringkat sekolah bagi
menyempurnakan akhlak.
Nilai-nilai kemanusiaan juga dipandu dengan kesatuan yang menjadi keperluan
persaudaraan, saling menolong, bantu-membantu dan sayang menyayangi antara satu
sama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, manusia terutamanya umat
Islam perlu kembali kepada asas-asas ini bagi mendidik hati dan jiwa dengan nilai-nilai
kemanusiaan yaitu mengutamakan kasih sayang dan nilai persaudaraan yang akrab dalam
kehidupan bermasyarakat. Nilai kemanusiaan ini juga harus menjadi budaya dan
kesopanan dalam masyarakat bagi membentuk manusia senantiasa beradab dan
mengamalkan nilai-nilai Islam selaras dengan nilai kemanusiaan yang mutlak.
Maksud dan tujuan diadakan upacara ini memiliki harapan terutama dikalangan muda
terutama keturunan Ki Ageng Wonolelo agar dapat mewarisi nilai-nilai ajaran Ki Ageng
48
Sholib Tohir, H. Muhammad, 2011, Muhsaf Al-Qur‟an, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal. 306-307.
Wonolelo yang besar dan luhur untuk menyebar agama Islam di Pondok Wonolelo dan
sekitarnya. Dalam upacara saparan Ki Ageng Wonolelo ini terdapat nilai-nilai yang luhur
yaitu nilai luhur keteladanan dan nilai luhur kebersamaan.
Nilai luhur keteladanan, dalam pelaksanaan upacara adat saparan ini memberikan
gambaran dan wawasan mengenai perjuangan dari leluhur yang telah menurunkan
mereka, terutama keturunan Ki Ageng Wonolelo. Disamping itu juga mengenal Ki Ageng
Wonolelo sebagai penyebar agama Islam. Nilai keteladanan disini yaitu nilai-nilai yang
dimiliki Ki Ageng Wonolelo yang patut kita teladani. Karena Ki Ageng Wonolelo selalu
berbuat baik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan mempunyai budi pekerti yang luhur.
Nilai luhur kebersamaan dan kekerabatan, yaitu bahwa dalam pelaksanaan upacara
adat dilakukan secara bersama-sama oleh trah Ki Ageng Wonolelo dan masyarakat
Pondok Wonolelo. Trah Ki Ageng Wonolelo berkoordinasi dengan penduduk Pondok
Wonolelo, kemudian membentuk suatu kepanitiaan sehingga mereka dapat bekerja sama
dalam melaksanakan upacara adat saparan Wonolelo sehingga pelaksanaan upacara dapat
berjalan dengan lancar. Itu terbukti pada awal upacara yang merupakan tahap persiapan
upacara masyarakat secara bersama-sama bergotong royong melaksanakan kerja bakti
membersihkan dan memperbaiki jalan-jalan dusun dan membuat pagar-pagar untuk
tempat parkiran maupun membuat panggung-panggung untuk hiburan di area pasar
malam.
Kebersamaan juga nampak ketika sedang mempersiapkan perlengkapan sesaji.
Mereka membuat sesaji secara bersama-sama, kemudian dalam mengaturnya banyak
melibatkan warga masyarakat yang secara khusus mendapat tugas untuk
mempersiapkannya. Dalam pembuatan gunungan apem masyarakat Pondok Wonolelo
dan trah Ki Ageng Wonolelo secara bersama-sama setiap keluarga secara sukarela
mengirimkan apem kepada panitia saparan untuk selanjutnya oleh panitia saparan dibuat
gunungan apem. Sebelum dibuat gunungan apem-apem tersebut dibungkus satu persatu
agar nanti saat disebarkan jatuh ke tanah tidak kotor.49
Pelaksanaan upacara saparan Ki Ageng Wonolelo melibatkan orang banyak, maka
untuk mensukseskan pelaksanaan ini masyarakat Pondok Wonolelo membagi tugas
masing-masing agar pelaksanaan upacara saparan Ki Ageng Wonolelo dapat berjalan
dengan baik dan lancar. Nilai kekerabatan pun tampak jelas, karena mereka dapat bekerja
sama dengan baik antara warga masyarakat Pondok Wonolelo dan anggota trah Ki Ageng
Wonolelo. Upacara ini juga sebagai ajang untuk mengumpulkan anak cucu keturunan Ki
Ageng Wonolelo. Dapat diketahui dari semua simbol nilai-nilai pendidikan yang
terkandung di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dibuat berdasarkan atas warisan
pelajaran kehidupan beliau semasa memperjuangkan dan berdakwah menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa. Menyadari bahwa Ki Ageng Wonolelo sendiri adalah makhluk
ciptaan Allah SWT yang sepatutnya menyembah dan mengamalkan ilmu kebaikan serta
mengajarkannya kepada anak cucunya terutama masyarakat Widodomartani untuk selalu
berbuat kebaikan satu sama lain dan menjalankan kewajiban shalat lima waktu, berpuasa,
mencari rizki yang halal, bersedekah, menolong sesama manusia tanpa memandang ras
dan suku, dan menjalin silaturahmi.
Ki Ageng Wonolelo juga mengajarkan tentang slametan dan nyekar. Slametan, jika
masa lalu merupakan bentuk persembahan kepada makhluk halus berupa jin atau roh
leluhur, akan tetapi Ki Ageng Wonolelo berusaha mengubah tradisi tersebut dengan
49
T.O. Ihromi, 1996, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 60.
memasukkan unsur agama Islam menjadi slametan berupa sedekah mendoakan para
leluhur agar diberi pengampunan semasa hidup dan kebaikan disisi Allah SWT sebagai
penciptanya. Slametan juga ditujukan sebagai bentuk do‟a orang yang masih hidup
dengan tujuan meminta keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, kekuatan (iman), dan
keberkahan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Begitu juga halnya dengan nyekar bentuk persebahan doa-doa yang tidak berisikan
lafal Al-Qur‟an meminta kepada orang atau leluhur yang telah meninggal untuk
kepentingan duniawi yang mereka anggap dapat mengabulkan semua keingginannya
dengan menabur bunga dan membakar kemenyan dan ini adalah perkara musrik dengan
menyekutukan perbuatan setan terhadap Sang Pencipta Allah SWT. Dalam Islam ada
tuntunan ziarah kubur, yang disyari‟atkan agar kaum muslimin mengingat bahwa dirinya
juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu,
sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun
ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar.
Secara khusus makna simbolis dari tradisi saparan ini berupa ciri khas dari saparan Ki
Ageng Wonolelo ini adalah gunungan apem dan kirab pusaka peninggalan Ki Ageng
Wonolelo. Awal mula perayaan saparan Ki Ageng Wonolelo tidak diakhiri dengan
pembagian atau perebutan kue apem tapi dengan pembagian Sego Gurih (nasi uduk) yang
ditempatkan dalam cekethong (wadah yang dibuat dari daun pisang). Karena sego gurih
dirasa banyak terbuang percuma, karena tumpah saat diperebutkan sehingga dianggap
mubazir, maka diganti dengan kue apem.50 Pergantian sego gurih menjadi kue apem
dilakukan oleh trah Ki Ageng Wonolelo setelah melalui beberapa kali pertemuan untuk
mencari jenis makanan yang tepat. Alternatif yang disepakati adalah kue apem dengan
makna bahwa nama apem dihubungkan dengan bahasa Arab Afu‟un yang artinya
ampunan. Selain itu karena bentuknya bulat menyerupai payung, maka apem juga
dianggap sebagai lambang payung yang artinya pengayoman atau perlindungan. Oleh
karena itu lambang apem atau simbol dari permohonan ampun dan perlindungan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Puncak acara Saparan Ki Ageng Wonolelo yaitu kirab pusaka dan penyebaran apem.
Warga berbondong-bondong menyaksikan acara itu untuk memperebutkan apem. Karena
warga percaya apabila mendapatkan apem akan mendapatkan berkah tersendiri. Apem
disini mempunyai arti ampunan. Apem dipercayai warga dapat sebagai tolak bala
berbagai macam tanaman dari hama tanaman, dan memberikan keselamatan bagi yang
memakannya. Semua itu tergantung kepada keyakinan masing-masing orang,
kepercayaan bahwa gunungan apem adalah perlambang meminta maaf atas kesalahannya
dan dosanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam upacara ini juga ada sesaji yang
menggambarkan manunggaling kawulo lan gusti yang menciptakan manusia, alam, dan
seisinya. Sesaji itu berupa tumpeng yang memberikan pesan hendaknya manusia selalu
ingat kepada Allah yang memberikan hidup dan jasad seisinya untuk hidup manusia itu
sendiri.

Dengan diadakannya tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo diharapkan mempunyai


aspek positif bagi masyarakat.51 Pertama, upacara tradisional ini sangat erat kaitannya
dengan kebudayaan suatu daerah atau suatu suku bangsa. Selain itu upacara tradisional

50
Muhammad Sholikhin, 2010, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi, hal. 71.
51
Op.cit, Muhammad Solikhin, hal. 75.
juga merupakan sumber informasi kebudayaan yang tidak tertulis tetapi mempunyai arti
yang sangat penting baik bagi anggota masyarakat pendukungnya terutama yang muda
maupun bagi orang lain yang berminat memahaminya. Dalam hal ini upacara tradisional
menjadi jembatan penghubung antara tradisi budaya masyarakat terdahulu dengan
masyarakat sekarang dan akan datang, karena upacara tradisional diwariskan kepada anak
cucu meskipun selalu ada perubahan dan penyesuaian sejalan dengan perjalanan waktu.
Kedua, tradisi saparan tersebut dapat dijadikan media dakwah secara kultural kepada
masyarakat Jawa dalam menerima dan memahami Islam sebagai agamanya.
Ketiga, masyarakat Jawa sangat menghormati leluhurnya, orang yang sangat berjasa
pada dirinya, oleh sebab itu jasa Ki Ageng Wonolelo setiap tahunnya diadakan tradisi
saparan dengan mengarak pusaka dan peninggalan-peninggalan Beliau serta sedekah
apem dan membacakan doa keselamatan. Dapat diketahui secara singkat dari segi kualitas
kultural diatas, bahwa keberadaan hubungan sosial salah satu latar belakang terjadinya
interaksi solidaritas saling menghormati dan menghargai antar sesama makhluk ciptaan
Allah SWT.
Kehidupan beragama mempunyai pengaruh terhadap aspek kebudayaan yang lain.
Hubungan agama dan organisasi sosial politik adalah bagian yang cukup penting dalam
kebudayaan manusia, manusia adalah makhluk sosial. Sistem kekerabatan adalah bentuk
awal dari organisasi manusia sebelum berkembang menjadi organisasi sosial, politik dan
internasional. Kekerabatan dan pertalian darah berkembang menjadi suku dan suku
bangsa. Suku bangsa didasarkan pada persamaan kebudayaan. Islam datang untuk
mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan
seimbang.
Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah
dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan
agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan
membawa mudharat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang
beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban Islam. Namun secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh berkembangnya peradaban
Islam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor pertama (internal) berasal dari
dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri. Motivasi internal yang begitu kuat dalam
kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai pendidikan
Islam atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Faktor kedua (eksternal) pada hakikatnya merupakan implikasi dari faktor pertama.
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah
Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai
telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam perkembangan
dakwah Islam di Indonesia, para da'i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya,
sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa dan Ki Ageng Wonolelo. Karena
kehebatan para wali Allah SWT itu dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya
setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai pendidikan Islam telah masuk
dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Pendidikan merupakan dasar dari pembentukan karakter budaya yang saling
mempengaruhi. Keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang kuat ditentukan oleh
nilai-nilai yang mendasarinya. Jadi, dapat dipahami bahwa tradisi saparan Ki Ageng
Wonolelo mempunyai hubungan dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Dengan menelaah
melalui pendidikan Ki Ageng Wonolelo seseorang dapat menciptakan sikap toleran antar
sesama, meskipun dalam upacara tradisi tersebut masyarakat membaur dan berdesak-
desakan untuk mengikuti prosesi kirab pusaka dan penyebaran apem.52

2.5 Transformasi Identitas Budaya Saparan Wonolelo di Desa Widodomartani, Kecamatan


Ngemplak

Di dalam penelitian berjudul “Perubahan Sosial Budaya Pada Upacara Adat Saparan Ki
Ageng Wonolelo di Pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada tradisi
upacara adat saparan Ki Ageng Wonolelo dari perspektif sosial dan budaya di Pondok
Wonolelo, untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada tradisi
upacara adat Saparan Ki Ageng Wonolelo, dan untuk mengetahui dampak akan perubahan
yang terjadi pada tradisi upacara adat Saparan Ki Ageng Wonolelo.

Di dalam penelitian ini ditunjukkan adanya perubahan dalam prosesi adat Saparan Ki
Ageng Wonolelo sejak tahun 1948 sejak dinas pariwisata dan kebudayaan terdapat peran serta
dalam prosesi upacara Saparan Ki Ageng Wonolelo. Sejak saat itu terdapat gabungan atau
pemasukan unsur-unsur modern dalam proses ini, perubahan yang terjadi pada Upacara Adat
tersebut ditinjau dari perspektif sosial dan budayanya.53

Karenanya masuknya unsur-unsur modern maka banyak terjadi perubahan yang ada di
dalam tradisi upacara tersebut. Adanya unsur baru yang ditambahkan di dalam rangkaian
upacara Saparan, memiliki banyak dampak. Di satu sisi masyarakat desa mulai mengenal
adanya modernisasi. Namun di sisi lain upacara tradisi yang dilakukan nilai kesakralan dan
tujuan dari diadakannya upacara tersebut sedikit berkurang.54 Meskipun begitu perlu disadari
bahwa perayaan upacara adat di tengah-tengah zaman serba canggih dan maraknya
globalisasi. Upacara adat diadakan sesuai dengan zamannya, tanpa mengurangi nilai
budayanya.

52
Op.cit, Isnaini, hal. 75.
53
Woro Sukesthi, Partisipasi Masyarakat Dalam Perayaan upacara Tradisi Saparan ki Ageng Wonolelo
di Desa pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta,
hal. 22.
54
Ibid, Woro, hal. 23.
BAB III
KESIMPULAN

Upacara Saparan Wonolelo ini, masyarakat pedukuhan Pondok Wonolelo bermaksud


kembali ke leluhur mereka, terutama keturunan Ki Ageng Wonolelo. Disamping itu, mereka juga
mengenang jasa Ki Ageng Wonolelo sebagai penyebar agama Islam, khususnya di Pondok
Wonolelo. Upacara ini berfungsi juga sebagai momentum berkumpulnya keturunan Ki Ageng
Wonolelo dalam trah Ki Ageng Wonolelo. Masyarakat juga memohon berkat dari Yang Maha
Agung agar masyarakat Pondok Wonolelo dan keturunan Ki Ageng Wonolelo dijauhkan dari
segala macam gangguan balak yang sekiranya mendatangkan petaka bagi masyarakat. Tradisi
saparan ini juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam bagi penerus generasi muda agar tetap
terjaga kelestarianya.
Tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dilaksanakan setiap tahunya yaitu pada hari Kamis
Pahing malam Jumat Pon di bulan Sapar (kalender Jawa), dengan berbagai persiapan satu hari
sebelum hari pelaksanaan tradisi saparan tokoh masyarakat serta ulama melakukan ziarah kubur
atau yang biasa disebut dengan nyekar dengan dipimpin ulama membaca yasin, tahlil, dan do‟a di
makam Ki Ageng Wonolelo dengan bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT untuk
keselamatan, kesejahteraan, dijauhkan dari bala, kesehatan, dan do‟a bagi babat alas serta
penyebar agama Islam Ki Ageng Wonolelo khususnya dan masyarakat desa Widodomartani
kecamatan Ngemplak pada umumnya.
Pusat penyelenggaraan upacara dilakukan di dua tempat, yaitu di rumah kepala desa
Widodomartani Pondok Wonolelo, dan tempat yang kedua yaitu di kompleks makam Ki Ageng
Wonolelo. Di lokasi pertama, yaitu di tempat tinggal Kepala Desa Widadamartani sebagai tempat
penyimpanan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondil, Kemudian dipersiapkan
pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondil, Kopyah, AL-Quran, dan Cupu (potongan
mustaka masjid). Masing-masing pusaka ini dimasukkan ke dalam Joli-joli yang telah disiapkan.
Joli-joli yang berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ini masing-masing dipikul oleh empat
orang laki-laki yang kesemuanya mengenakan pakaian peranakan. Selesai prosesi kirab pusaka
dilanjutkan dengan penyebaran apem sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas karunia Allah
SWT yang berupa rizqi, kesehatan, keselamatan dan ketenteraman. Apem yang disebarkan sebagai
simbolisme sodaqoh untuk diperebutkan oleh pengunjung yang dianggap dapat mendatangkan
keberkahan hidup.
Nilai Pendidikan Sejarah Islam (SKI) di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo pastinya
mengandung nilai sejarah yang tinggi, yaitu berupa perjuangan Islam oleh seorang wali Allah
bernama Ki Ageng Wonolelo di tanah Jawa khususnya di daerah Widodomartani kecamatan
Ngemplak dan sekitarnya. Nilai-nilai sejarah ini dapat kita lihat dari kisah perjuangan beliau dalam
berdakwah menyebarkan agama Islam.
Nilai Pendidikan Sosial “ta'awanu ala birri wattaqwa” kebudayaan Jawa rasa sosial
merupakan pedoman dalam hidup untuk berinteraksi satu sama lain yang harus dijaga dan
dipergunakan sebaik mungkin agar tidak terjadi pergeseran pemahaman di dalam masyarakat.
Nilai Pendidikan Budaya yang terdapat di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo
merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku
bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain
sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan
kebudayaannya.
Nilai Pendidikan Birrul Walidain didalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo seseorang
diajarkan tentang rasa hormat yang tinggi terhadap kedua orang tua. Maka untuk itulah kita
diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka, dan bersyukur kepada Allah yang menciptakan
kita melalui perantara keduanya dan bersyukur pula kepada kedua orang tua yang senantiasa
melimpahkan kasih sayangnya kepada kita sebagai seorang anak.
Nilai Religius atau Nilai Pendidikan Rasa Syukur terhadap Allah SWT di dalam tradisi
saparan Ki Ageng Wonolelo manusia akan diajarkan bagaimana mengungkapkan rasa syukur atas
kenikmatan yang telah diberikan Allah SWT. Agama merupakan suatu kesadaran yang terbentuk
secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai ciptaan-Nya. Nilai Pendidikan Kemanusiaan
di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi antar
masyarakat sehingga terbentuk kerukunan dan rasa kemanusiaan yang kuat atau rasa ukhuwah.
Daftar Pustaka

Bastomi, S. (2001). Seni dan Budaya Jawa. Semarang: IKIP Semarang.


Bratasiswara, H. (Buwana Adat Istiadat Cara Jawa). 2000. Jakarta: Yayasan Surya Sumirat.
Depdikbud. (1991). Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara III. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan.
Ernawati, I. (2017). Nilai-nilai pendidikan Dalam Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo Di Desa
Widodomartani Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman Tahun 2015. Salatiga: Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agaa Islam Negeri Salatiga.
Faishol, & dkk, A. (2014). Islam dan Budaya Jawa. Kartasura: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN
Surakarta.
Hajar, S. (1999). Tradisi Saparan di Desa Ambarketawang Kecamatan Gamping Kabupaten
Sleman. Skripsi.
Herusatoto, B. (2001). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Ihromi, T. O. (1996). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Johanes, & Mardimin. (1994). Jangan Tangisi Tradisi, Transformasi Budaya Menuju Masyarakat
Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. (1976). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: DJambatan.
Kunn, N. D. (n.d.). Symbolism In a Ritual Context: Aspect of Symbolism Action. Chicago: Rand
Mcnally College Publishing Company.
Langgulung, H. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Manaf.
Marsono. (1999). Ensiklopedia Budaya Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.
Mulder, N. (1977). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Lembaga Studi
Jawa.
Murniatmo, G. (1994). Dampak Pengembangan Pariwasata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya.
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rohmani, D. (2011). Perubahan Sosial Budaya Pada Upacara Adat Saparan Ki Ageng Wonolelo
di Pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Yogyakarta: UNY.
Rosiyati, A. (1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini.
Yogyakarta: Depdikbud.
Rustini. (2003). Tradisi Upacara Saparan Wonolelo WidodoMArtani Ngemplak Sleman. Skripsi.
Sedyawati, E. (1983). Sejarah Kebudayaan Jawa. Jakarta: Manggala Bhakti.
Shadily, H. (1983). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Sholikhin, M. (2010). Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Sleman, D. P. (2000). Upacara Adat: Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Sleman.
SM, I. (2001). Paradigma Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudardi, B. (2015). Ritual dan Nilai Islami Dalam Folklor Jawa. Jurnal kebudayaan Jawa, 306-
315.
Sukesthi, W. (n.d.). Partisipasi Masyarakat Dalam perayaan Upacara Tradisi Saparan Ki Ageng
Wonolelo Di Desa Pondok Wonolelo Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sunandarisman, R. (2006). Menelusuri Riwayat Serta Asal-Usul Ki Ageng Wonolelo. Yogyakarta:
Proyek Inventarisasi Dan Dokumen Daerah.
Tashadi. (1982). Upacara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek
Inventaris dan Dokumen Daerah.
Tashadi, Murniatmo, G., & dkk. (1992). Upacara Tradisional Saparan Daerah Gamping dan
Wonolelo Yogyakar. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Taum, Y. Y. (2001). Jurnal Lembaga Penelitian Universitas Sanata Darma. Jakarta: Universitas
Sanata Darma.
Tohir, S. (2011). Mushaf Al-Quran. Semarang: PT.Karya Toha Putra.

Anda mungkin juga menyukai