Anda di halaman 1dari 62

CUBLAK CUBLAK SUWENG DAN GOBAK

SODOR: PENGEMBANGAN KARAKTER


ANAK DALAM PERMAINAN TRADISIONAL
YOGYAKARTA

Oleh:

Indra Fibiona

DINAS KEBUDAYAAN (KUNDHA KABUDAYAN)


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2021
CUBLAK CUBLAK SUWENG DAN GOBAK SODOR: PENGEMBANGAN
KARAKTER ANAK DALAM PERMAINAN TRADISIONAL YOGYAKARTA

“Cublak Cublak Suweng dan Gobak


Sodor: Pengembangan Karakter Anak
dalam Permainan Tradisional Tim Penyusun Program :
Sri Wahyuni Sulistiowati, S.Sn
Yogyakarta” Seri Kajian Warisan
Anis Izdiha, S.Ant.
Budaya Takbenda Aldri Ismu Sanaky, S.Ant.
Ray Hanna Bulkis, S.Si.
Daerah Istimewa Yogyakarta
Dwi Fitri Setiabudi, S.Pd.
Tahun 2021
Irva Bauty, S.S.

Layouter :
Diterbitkan dalam rangka
Anis Izdiha, S.Ant.
Penyusunan Kajian Warisan Budaya
(tambahi dari pihak mas irul)
Takbenda
Daerah Istimewa Yogyakarta
Foto dan Dokumentasi :
Tahun 2021
Dokumentasi Primer Penulis
Dinas Kebudayaan DIY
Diterbitkan oleh
DINAS KEBUDAYAAN
(KUNDHA KABUDAYAN) DIY
ISBN :
Jalan Cendana Nomor 11
Yogyakarta
0274-562628
www.budaya.jogjaprov.go.id

Cetakan I, 2021

Penanggungjawab Program:
Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha
Kabudayan) Daerah Istimewa
Yogyakarta

Koordinator Program
Rully Andriadi, S.S.
Kepala Bidang Pemeliharaan dan
Pengembangan Warisan Budaya
Dinas Kebudayaan DIY

Penulis
Indra Fibiona, S.S., M.PA.
(Tim Kajian WBTb DIY)
KATA PENGANTAR
KEPALA DINAS KEBUDAYAAN (KUNDHA KABUDAYAN)
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SERI BUKU KAJIAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA
TAHUN 2021

Buku Kajian Warisan Budaya Takbenda


memiliki peranan penting pada upaya-upaya
pendokumentasian dan publikasi atas karya-karya
warisan budaya takbenda Daerah Istimewa
Yogyakarta. Warisan budaya takbenda (intangible)
meliputi tradisi atau ekspresi hidup, seperti tradisi
i

lisan, seni pertunjukan, praktek-praktek sosial,


ritual, perayaan-perayaan, pengetahuan dan
praktek mengenai alam dan semesta atau
pengetahuan dan keterampilan untuk
menghasilkan kerajinan tradisional.

Seri Buku Kajian Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2021 terdiri dari
sebelas judul buku yaitu Srimpi Muncar, Beksan Panji Sekar, Babad
Pakualaman, Cublak-Cublak Suweng, Gerit-Gerit Lancung, Sego Abang
Gunungkidul, Jangan Lombok Ijo, Sayur Lodeh dan Jadah Tempe, Upacara Adat
Mbah Jobeh, Saparan Joyokusumo Kulon Progo, dan Upacara Adat Wot Galeh
Sleman Yogyakarta. Unsur takbendawi masing-masing karya budaya diusahakan
dideskripsikan dengan gerak, suara, rupa, rasa, laku, ajaran, nilai, makna dan
fungsi sosial maupun budaya karya tersebut bagi masyarakat pendukungnya.

Pentingnya warisan budaya tak benda bukanlah terletak pada manifestasi


budaya itu sendiri, melainkan kekayaan pengetahuan dan keterampilan yang
ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses regenerasi
pengetahuan merupakan modal penting bagi pembangunan sosial dan ekonomi
yang berkelanjutan. Oleh karenanya Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan)
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tugas dan kewajiban untuk melakukan
inventarisasi dan dokumentasi pada karya budaya Daerah Istimewa Yogyakarta
untuk selanjutnya diteruskan pada upaya Penetapan Warisan Budaya Takbenda
Indonesia.

Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta


selaku penerbit buku ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berpartipasi hingga buku ini dapat diterbitkan. Kepada setiap pembaca,
tegur sapa, kritik dan saran senatiasa ditunggu agar seri-seri buku kajian
Warisan Budaya Takbenda dapat tampil lebih baik pada penerbitan berikutnya.
Selamat membaca.

Yogyakarta, November 2021

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................


KATA PENGANTAR ..........................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ABSTRAK ..............................................................................................
BAB I, PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 4
D. Manfaat Yang Diharapkan ..................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ........................................................... 6
F. Metode Penelitian ...................................................................... 7
G. Metode Riset
H. Sistematika Penulisan
BAB II. PERMAINAN TRADISIONAL CUBLAK-CUBAK SUWENG
A. Asal usul Cublak-Cublak Suweng
B. Cara Bermain Cublak-Cublak Suweng
C. Konteks Keberadaan Cublak-Cublak Suweng
D. Nilai Makna Cublak-Cublak Suweng
E. Perbedaan Pemainan Cublak-Cublak Suweng dengan permainan
sejenis
F. Unsur Pembentukan Karakter dan MANFAAT Bagi Tumbuh
Kembang Anak
G. Persebaran Cublak-Cublak Suweng di DIY
H. Tantangan Pelestarian

BAB III. PERMAINAN GOBAK SODOR

A. Asal usul Gobak Sodor


B. Konteks Keberadaan Gobak Sodor
C. Cara Bermain Gobak Sodor
D. Persebaran Gobak Sodor di DIY

BAB IV. PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
C. Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

3
A. Pendahuluan

Indonesia memiliki beragam jenis permainan tradisional sebagai media


penghiburan dan pembelajaran nilai dengan cara menyenangkan. Permainan
tersebut dimainkan oleh anak-anak sebagai kegiatan rekreasi. Permainan
tradisional memperkaya materi pembelajaran pendidikan jamani dan
kesehatan, serta dapat diadopsi dalam pebelajaran pendidikan tersebut.
Selain itu, pelibatan anak-anak dalam permainan tradisional bermanfaat bagi
tumbuh kembang anak melalui pengenalan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai
kebangsaan. Permainan tradisional juga telah terbukti meningkatkan
kemampuan anak-anak dalam memecahkan masalah, kekuatan verbal dan
nonverbal, keterampilan sosial dan ekspresi emosional (Hong, Zhouxiang,
2020).

Perkembangan permainan tradisional di berbagai wilayah di


Indonesia memiliki sejarah panjang. Salah satu wilayah yang memiliki
beberapa ragam permainan tradisional yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Beberapa naskah Jawa terutama yang berasal dari wilayah Yogyakarta
memberikan menjelaskan bahwa sebagian besar permainan tradisional atau
dolanan anak yang berasal dari dalam keraton lebih bersifat rekreatif. Anak
anak diajak bermain sambil nembang, maupun dolanan sambil menggunakan
gerak tari maupun gerak fisik untuk pengembangan karakter dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam permainan tersebut (Pusat data dan Analisa
Tempo, 2019:32).

Tidak dapat dipungkiri, kekuatan budaya yang dimiliki masyarakat


Yogyakarta dan didukung oleh keberadaan pusat kebudayaan, yaitu Keraton
Yogyakarta dan Pura Pakualaman menyebabkan perkembangan kebudayaan
di Yogyakarta merambah pada hampir semua aspek dalam kehidupan,
termasuk perkembangan karakter anak-anak. Perkembangan karakter anak
kemudian diwujudkan melalui permainan tradisional yang diadaptasi dari
tradisi adiluhung masyarakat (Sandholz, 2016). Permainan tradisional yang
banyak dijumpai di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya mengajak anak-anak

4
untuk mengembangkan daya imajinatif. Selain itu, perkembangan permainan
tradisional juga memanfaatkan ruang public (komunal) yang berada di
Lingkungan keraton Yogyakarta, seperti alun-alun dan ruang public lainnya
(Selin, 2008: 210). Permainan anak tradisional yang berkembang di wilayah
Yogyakarta ada yang menggunakan alat permainan, maupun tanpa alat
permainan. Permainan anak-anak tradisional diciptakan sedemikian rupa
dan bersifat konstruktif. Hal ini ditujukan agar anak dapat membangun
sesuatu dengan mengkoordinasikan antara alat yang satu dengan imajinasi,
serta alat lainnya (Khomaeny dkk, 2020: 243).

Alat alat bantu yang digunakan dalam permainan tradisional sebagian


besar berasal dari alam. Masyarakat hampir di seluruh pelosok Indonesia
banyak memanfaatkan bahan bahan yang berada di lingkungan sekitar,
antara lain biji-bijian, ranting dan benda benda lainnya.bahan biji-bijian yang
banyak digunakan sebagai bahan permainan antara lain biji asam atau
klungsu (Jawa), biji melinjo, biji kemiri, biji Sawo atau Kecik (Jawa), buah
pinang, biji karet, biji buah Kuranji, biji Riladu, biji Donggulu dan biji bengguk
(jenis kacang-kacangan) (Hamzuri, Siregar, 1998:2).

Permainan tradisional sendiri sebenarnya memiliki beragam


didefinisi, salah satunya seperti yang diungkap oleh Bishop dan Curtis
(2001, dalam Iswinarti, 2017: 5). Permainan anak merupakan permainan
yang mengandung nilai-nilai “kebaikan’, “positif’, dan “diinginkan secara
bersama”serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Terdapat beberapa konsensus yang menyatakan bahwa permainan
tradisional merujuk pada beragam aktivitas fisik, seperti halnya bermain
hopscotch (engklek), kelereng, dan sebagainya. Selain itu juga permainan
yang bersifat mind games (permainan pikiran), seperti lelucon, ritus iniasi,
pemberian julukan atau nama, dan sebagainya. Permainan tersebut masuk
dalam kategori tradisional apabila memiliki nilai dan sejarah yang panjang,
serta terdokumentasi (meskipun dalam memori kolektif masyarakat).
Permainan anak tradisional juga didefinisikan sebagai permainan yang
mengandung kebijaksanaan (wisdom), dan memberikan manfaat untuk

5
perkembangan anak. Selain itu juga sebagai kekayaan budaya yang dimiliki
bangsa, sekaligus merefleksikan budaya dan tumbuh kembang anak.
Permainan tradisional juga merupakan permainan yang mengandung nilai-
nilai budaya sekaligus menunjukkan identitas budaya lokal (Iswinarti,
2017:6).

Terdapat perbedaan antara permainan tradisional dengan olah raga.


Perbedaan tersebut yaitu permainan tradisional memiliki aturan yang lebih
fleksibel atau bisa berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
zaman. Pada olahraga, perubahan aturan membutuhkan kesepakatan yang
melibatkan publik secara luas dalam penerapannya. permainan tradisional
dengan olah raga juga memiliki persamaan, salah satunya sebagai media
pendidikan dan perkembangan anak. Permainan tradisional dan olah raga
sebenarnya dapat diajarkan dan dimainkan bersama-sama, melibatkan anak
anak guna memberi intervensi terhadap perkembangan anak. Selain itu,
permainan tradisional berupa keterampilan fisik juga dapat dijadikan
pendidikan alternatif dan perkembangan fisik pada anak-anak dan remaja
awal (Iswinarti, 2017:6).

Permainan anak tradisional dapat berkembang dan secara


berkelanjutan diwariskan dari generasi ke generasi tentunya memiliki
beberapa karakteristik yang dapat diterima oleh kalangan generasi muda.
Karakteristik tersebut antara lain menyenangkan (fun), terpisah (separate),
tidak pasti (uncertain), diatur melalui aturan yang merupakan bagian dari
permainan (governed by rules). Oleh karena itu, permainan tradisional yang
terdapat di Indonesia khususnya di wilayah Yogyakarta mengakomodasi hal
tersebut. Anak-anak pada umumnya lebih menyukai permainan yang
mempunyai peraturan yang sederhana, mudah dimengerti, mudah
dilaksanakan. Itulah yang menyebabkan permainan tradisional anak-anak
dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak (Khomaeny
dkk, 2020: 243).

6
Bermain merupakan sarana untuk menghibur, maka tidak semua hal
yang terdapat didalamnya dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius bagi
para pemain. Memainkan sebuah permainan merupakan bentuk kegiatan
yang dilakukan dengan santai, tidak selalu berorientasi pada makna
permainan, dan tidak harus dilakukan dengan sempurna (tanpa kesalahan).
Masa kanak-kanak merupakan masa di mana manusia tumbuh dan belum
dibebani hal yang serius. Oleh karena itu, pada usia tersebut setiap aktivitas
pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang dilakukan harus mengandung
unsur menyenangkan. Masa kanak-kanak juga merupakan waktu yang tepat
untuk mengembangkan berbagai kompetensi. Oleh karena itu, melalui
permainan anak-anak memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk
mengembangkan bakat yang dimiliki. Permainan anak-anak menjadi salah
satu wahana yang memberikan rangsangan kepada anak-anaknya untuk
menstimulasi berbagai perkembangan kompetensi dalam ranah kognitif,
psikomotor, dan afektif. Indonesia, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki permainan anak-anak dengan lagu yang berisi nasehat, doa, atau
nilai-nilai kehidupan yang bisa digunakan pembelajaran bagi anak-anak
(Astuti, et.al., 2019:365).

Beberapa permainan yang terdapat di Yogyakarta dan masih sering


dimainkan oleh anak anak antara lain Cublak Cublak Suweng, Jamuran, Gobag
Sodor, Benthik, dan permainan lainnya. Permainan tersebut memiliki nilai
penting khususnya untuk perkembangan karakter anak, salah satunya
Cublak-Cublak suweng dan Gobag Sodor. Cublak Cublak Suweng sangat
dikenal masyarakat Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Tengah dan hingga wilayah Jawa Timur. Masyarakat mengenal lagu Cublak
Cublak Suweng yang digunakan untuk mengiringi permainan. Kemajuan
teknologi informasi begitu pesat yang terjadi saat ini banyak mengubah
budaya bermain anak. Hal ini berakibat pada perubahan kehidupan anak-
anak yang lebih banyak mengenal gawai daripada permainan aktif secara
fisik melalui permainan tradisional. Permainan tradisional jika dimainkan

7
dengan perasaan gembira mampu mengembangkan kemampuan motorik
dan mendorong anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Permainan anak-anak, sebagian diciptakan dalam bentuk lagu dolanan


terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan gerakannya. Lagu dolanan tersebut
tercipta untuk mengembangkan nilai-nilai dan sikap luhur pada diri anak-
anak ketika mereka menyanyikan lagu tersebut dan mengingatnya hingga
dewasa. Pencipta lagu dolanan untuk anak –anak biasanya menyematkan
nasihat berupa pesan yang positif melalui lirik lagu. Selain lagu, nilai positif
juga biasanya disematkan dalam gerakan fisik sebuah permainan yang dapat
menjaga kesehatan maupun meningkatkan kemampuan motorik tertentu
pada anak yang memainkannya. Lagu Cublak-Cublak Suweng pada
perkembangannya digunakan untuk mengiringi permainan Cublak-Cublak
Suweng, dimana anak menebak anak mana yang menyembunyikan benda di
tangannya dan merupakan latihan bagi anak untuk merasakan perasaan
orang lain (Astuti, et.al., 2019:365).

Selain Cublak-Cublak Suweng denngan permainan yang diiringi lagu,


Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki permainan tradisional yang
mengandalkan fisik, yaitu Gobag Sodor. Permainan tersebut
menggambarkan kerja keras dan juga kegigihan dalam bekerjasama
(Satiyoko, Prasetyo, 2013: 91). Baik Cublak Suweng maupun Gobag Sodor
memiliki nilai yang dapat digunakan dalam edukasi dan pengembangan
karakter bagi anak anak di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini sangat
menarik apabila makna dan nilai nilai pengembangan karakter dalam kedua
permainan ini dapat dikaji secara holistik. Oleh karena itu, sangat menarik
apabila kedua objek pemajuan kebudayaan tersebut bisa dikaji secara
holistic terutama dalam potensi pemanfaatan nilai yang terdapat di
dalamnya, terutama dalam pemanfaatan guna pengembangan karakter
sebagai dukungan pemajuan kebudayaan.

8
B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan penelitian yaitu bagaimana


pengembangan karakter anak melalui nilai-nilai dalam Permainan Cublak-
Cublak Suweng dan Gobag Sodor yang berasal dari Yogyakarta? Pertanyaan
utama tersebut juga diurai ke dalam beberapa pertanyaan guna membantu
menganalisis lebih mendalam antara lain sebagai berikut.

1. Bagaimana asal usul serta perkembangan permainan tradisional Cublak-


Cublak Suweng dan Gobag Sodor?

2. Apa saja nilai nilai yang terkandung dalam permainan tradisional Cublak-
Cublak Suweng dan Gobag Sodor?

C. Tujuan

Kajian yang dilakukan ini tentu saja memiliki sasaran atau tujuan yang ingin
dicapai. Tujuan penelitian sangat diperlukan karena kajian melihat pilihan
prioritas dan kombinasi tujuan, serta cara untuk mengejarnya. Hal tersebut
yang kemudian memiliki korelasi dengan scientific guidance (pembimbingan
ilmiah) agar dapat tercapai dengan maksimal (Jackson, et.al, 1972: 707).
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Menjelaskan asal usul serta perkembangan permainan tradisional Cublak-


Cublak Suweng dan Gobag Sodor?

2. Menjelaskan pengembangan karakter anak melalui nilai-nilai dalam


Permainan Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor yang berasal dari
Yogyakarta

9
D. Manfaat

Setiap kajian sudah semestinya memiliki manfaat, begitu juga dengan kajian
ini. Manfaat tersebut dibedakan menjadi manfaat praktis maupun Manfaat
akademis (Mancacaritadipura, dkk, 2009:14). Adapun manfaat tersebut
dijelaskan sebagai berikut.

a. Manfaat Praktis

1.Manfaat praktis bagi Pemerintah (stakeholder)

. Secara teratur memperbarui data tentang substansi karya budaya


khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan mendaftarkannya dalam
warisan budaya nasional, sehingga meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk terus melestarikannya.
. memfasilitasi perencanaan dan pembuatan kebijakan untuk menjaga
Warisan Budaya Tak benda khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
. memfasilitasi persiapan laporan berkala pengembangan elemen budaya
Indonesia.
. Sebagai premis dalam membantu merumuskan kebijakan terkait
dengan pelestarian warisan budaya, terutama warisan budaya tak
benda berupa permainan tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya
. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai dan pengetahuan
dalam karya budaya permainan anak-anak Cublak-cublak Suweng dan
Gobag Sodor yang semakin tergeser oleh kemajuan zaman.

2. Manfaat untuk Publik Secara Umum

. Mengetahui keragaman budaya yang ada di Indonesia khususnya di


wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
. Menciptakan kreativitas budaya yang khas berbasis pada permainan
anak anak.
b. Manfaat Akademik

10
. Sumber informasi yang berguna untuk penelitian selanjutnya
. perkembangan ilmu pengetahuan
. Mengembangkan bahan ajar kurikulum muatan lokal untuk SD SMP dan
SMA.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka harus dilakukan dalam sebuah kajian untuk menempatkan


pengkajian yang dilakukan terhadap kajian kajian terdahulu agar substansi
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan originalitasnya. Selain itu,
tinjauan pustaka berfungsi dalam menjelaskan hubungan kajian yang
dilakukan dengan kajian lainnya yang telah dilakukan dengan beberapa
pertimbangan, serta mengidentifikasi cara baru maupun celah temuan baru
berdasarkan penelitian sebelumnya (Fink, 2005). Berdasarkan hal tersebut,
terdapat beberapa Penelitian yang membahas mengenai permainan
tradisional anak Cublak-Cublak Suweng, serta Gobag Sodor, antara lain
artikel yang terdapat dalam majalah Tijdschrift voor Indische taal-, land- en
volkenkunde edisi, tahun 1901. Majalah tersebut diterbitkan oleh Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Anonim, 1901).
Artikel tersebut menjelaskan tentang syair mengenai Cublak-Cublak suweng,
namun tidak terperinci terkait asal-usul syair lagu tersebut. Sair mengenai
Cublak-Cublak suweng juga dijelaskan oleh H. Overbeck dalam buku
Javaansche Meisjesspelen En Kinderliedjes (Permainan Anak Perempuan
dan Lagu Anak-Anak) yang dipublikasi oleh Java Instituut Yogyakarta tahun
1933. Cublak Cublak Suweng memiliki beragam varian syair yang
membedakan antara wilayah Yogyakarta, dengan wilayah lainnya di Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Overbeck, 1933). Kedua artikel tersebut bisa
digunakan sebagai rujukan mengenai perkembangan permainan Cublak-
Cublak Suweng khususnya perbedaan antara wilayah Yogyakarta dengan
wilayah lainnya, sehingga bisa mengetahui disimilaritas atau variasi lagu dan
maknanya yang menjadi ciri khas masing masing wilayah.

11
Artikel Gobag sodor juga ditulis oleh H. Overbeck dalam Majalah
Djawa, tahun 1934, volume 014, edisi 4., berjudul “Gobag Sodor”. H. Overbeck
menjelaskan bahwa permainan tersebut merupakan permainan yang hampir
mirip dengan sebuah permainan bernama "Entai" berarti menginjak
(menginjak garis dari batang pohon), dalam thesis yang ditulis oleh Dr. J. Ph.
Duyvendak berjudul “Het Kakean-Genootschap van Seran". Gobag Sodor
memiliki beberapa variasi formasi pemain serta teknik. Artikel tersebut lebih
banyak membahas mengenai teknik permainan dan tidak banyak membahas
nilai yang terkandung dalam Gobag Sodor terutama pengembangan karakter
bagi anak-anak. (Overbeck, 1934). Oleh karena itu, kajian ini melengkapi apa
yang telah ditulis oleh H. Overbeck terutama dalam nilai-nilai pengembangan
karakter sehingga permainan tersebut memiliki value sebagai objek
pemajuan kebudayaan.

Penelitian lainnya yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Mayke


S. Tedjasaputra, berjudul “Bermain, mainan dan permainan”, dipublikasikan
oleh Grasindo, tahun 2001. Tedjasaputra menjelaskan bahwa bermain sama
seperti berfantasi, di mana dalam permainan seseorang dapat
memproyeksikan harapan-harapan maupun konflik pribadi. Oleh karena itu,
bermain memegang peran penting dalam perkembangan emosi anak. Anak-
anak dapat mengeluarkan semua perasaan negatif, seperti pengalaman yang
tidak menyenangkan/traumatik dan harapan-harapan yang tidak terwujud
dalam realita melalui bermain (Tedjasaputra, 2001:7). Kajian tersebut dapat
bermanfaat untuk menganalisis mengenai nilai-nilai yang membangun
karakter terutama dalam permainan baik Cublak-Cublak Suweng maupun
Gobag Sodor .

F. Kerangka Teori

Kajian ini menjelaskan secara deskriptif aspek terkait sejarah, makna dan
nilai nilai yang terdapat dalam permainan anak tradisional Cublak-cublak
Suweng dan Gobak Sodor, serta perkembangannya sebagai objek pemajuan
kebudayaan saat ini. Kajian ini mengarah pada pelestarian yang dilakukan

12
dan kaitannya dengan makna serta pentingnya permainan tradisional
tersebut bagi pengembangan karakter anak hingga saat ini. Oleh karena itu,
kajian ini menyoroti jenis permainan tradisional. Tedjasaputra menjelaskan
bahwa bermain mempunyai efek katartis, di mana anak dapat mengambil
peran aktif dalam memindahkan perasaan negatif menuju ke objek/orang
pengganti. Pengulangan pengalaman negatif melalui permainan,
menyebabkan anak dapat mengatasi kejadian yang tidak menyenangkan
karena anak dapat membagi pengalaman tersebut ke dalam bagian-bagian
kecil yang dapat dikuasainya. Secara perlahan, aktivitas tersebut dapat
mengasimilasi emosi-emosi negatif berkenaan dengan pengalaman sehingga
timbul perasaan lega (Tedjasaputra, 2001: 7).

Nilai nilai yang terdapat dalam permainan anak anak bisa diserap oleh
pemainnya apabila mereka saling berkomunikasi dengan baik, sehingga
pengembangan karakter positif pada anak bisa terbangun. Oleh karena itu,
membangun komunikasi menjadi hal penting yang juga difasilitasi oleh
permainan tersebut (Allsop, 2012). Permainan Cublak Cublak Suweng dan
juga Gobag Sodor tentu memiliki hal serupa. Selain itu, hal lain yang
diperhatikan adalah transformasi bentuk dan lirik permainan. Setiap
permainan yang bisa diterima oleh anak-anak tentunya akan mengalami
transformasi bentuk dan lirik sesuai dengan wilayah persebaran
(Sulistyaningtyas, Fauziah, 2018). Tentu saja hal tersebut berpengaruh pada
transformasi makna yang terkandung di dalamnya.

Secara umum, permainan tradisional sejatinya dapat dimainkan baik


di taman kanak-kanak maupun di rumah dengan bimbingan orang dewasa.
Anak anak memiliki kecenderungan untuk mengembangkan keterampilan
melalui permainan dan ingin menegaskan diri mereka sendiri apabila
berhasil menang dalam sebuah permainan. Kondisi tersebut membawa efek
psikologis yang besar dan berpengaruh signifikan dalam tumbuh kembang
karakter anak. Anak-anak juga menginginkan permainan yang melibatkan
permainan peran. Sebagian besar permainan tradisional mencakup aktivitas
fisik, membutuhkan kerjasama dan keterlibatan intelektual (menghafal).

13
Permainan yang menarik memberikan anak-anak kegembiraan dan
kepuasan. Selain itu, Anak-anak juga mampu mengembangkan tanggung
jawab dan kewajiban tugas mereka, serta memahami dan menerima aturan
yang ditetapkan atau disepakati dalam permainan (Sulistyaningtyas, Fauziah,
2018). Hal tersebut tentunya terdapat dalam permainan Cublak Cublak
Suweng dan Gobag Sodor, namun tentunya harus dianalisis lebih mendalam
untuk dapat mengungkap nilai-nilai yang ada di dalam permainan tersebut.

G. Metode Riset

Riset dilakukan merupakan riset kualitatif dengan menggunakan beberapa


metode atau tahapan dari menentukan lokus dan fokus, hingga teknik
pengumpulan data.

1 Penentuan Lokasi Penelitian

Adapun locus dalam kajian warisan budaya takbenda terkait permainan


tradisional Cublak Cublak Suweng dan Gobag Sodor dijabarkan sebagai
berikut.

a. Cublak Cublak Suweng

Kajian ini memiliki locus di beberapa wilayah Daerah Istimewa


Yogyakarta, sesuai dengan persebaran, pemanfaatan serta
pelestarian karya budaya tersebut. Berdasarkan penelusuran data,
secara umum karya budaya tersebut ada yang terpusat di wilayah
kota Yogyakarta.

b. Gobag Sodor

Kajian ini juga memiliki locus di beberapa wilayah Daerah Istimewa


Yogyakarta. Namun demikian, karya budaya tersebut masih dapat
dijumpai di wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya .

14
2 Penentuan Informan

Informan memiliki fungsi penting terutama dalam mengumpulkan informasi


yang relevan dengan kajian yang dilakukan. Informasi yang komprehensif
bisa digali apabila informan memahami topic informasi yang sedang digali.
Oleh karena itu, informan harus memenuhi beberapa kriteria yang sesuai
antara lain sebagai berikut.

1. Warga yang tinggal di wilayah Yogyakarta sejak lama dan merupakan


pelestari warisan budaya permainan tradsional Cublak-Cublak Suweng
dan Gobag Sodor.

2. Memiliki pengetahuan luas terkait kasusastraan anak-anak terutama


berkaitan dengan lagu Cublak-cublak Suweng serta transformasi liriknya.

3. Memiliki pengalaman dan gambaran komparasi mengenai warisan budaya


permainan Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor antara di Yogyakarta
dngan wilayah lainnya sehingga bisa dibedakan kriteria indegenous
permainan tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebuah penelitian tentunya memiliki teknik dalam mengumpulkan data.


Adapun beberapa teknik dalam mengumpulkan data antara lain sebagai
berikut.

a. Observasi Partisipatoris

Melalui metode ini peneliti berusaha mengamati dan terlibat secara


langsung untuk mengidentifikasi dan mengetahui bagaimana para
perajin batik ini memaknai pekerjaannya tersebut. Observasi ini lebih
khusus bersifat partisipatoris atau participant observation. Keterlibatan
ini diwujudkan dalam jangka waktu penelitian yang cukup dan tinggal
bersama dengan masyarakat yang diteliti. Dalam metode ini akan
tercakup 3 kriteria dalam sebuah penelitian yakni reliabilitas, validitas

15
dan generalisasi. Dengan begitu diharapkan hasil analisis dan intepretasi
akan data yang didapat bisa semakin diperjelas.

b. Wawancara

Wawancara dalam penelitian diperlukan agar informasi yang diterima


lebih komprehensif dan saling berkaitan (relevan).Wawancara dilakukan
dengan menggunakan metode in depth interview 1 dengan tujuan untuk
menggali sedalam mungkin informasi yang berkaitan secara langsung
maupun tidak langsung terkait permainan tradisional Cublak-Cublak
Suweng dan Gobag Sodor yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saturation point 2 dalam penelitian ini, dipertimbangkan terkait dengan
proses pengumpulan data lapangan. Pengumpulan data akan dihentikan
apabila tidak ada lagi tambahan informasi baru untuk menghindari
redundancy.

Metode wawancara sangat dibutuhkan untuk melengkapi aspek yang


tidak dapat dibaca oleh observasi partisipatoris. Model wawancara yang
dilakukan dengan pendekatan-pendekatan antara lain melakukan
sapaan, terbuka tidak ada tujuan eksplisit, menghindari pengulangan,
mengajukan pertanyaan, menunjukkan ketidak tahuan, bergiliran dalam
berdialog sehingga tidak ada yang mendominasi atau memonopoli
pembicaraan, penyingkatan terhadap bahasa yang disampaikan sehingga
tidak berbelit-belit, ada jeda waktu atau rehat agar pembicara dan lawan
bicara dapat berpikir sejenak terhadap apa yang ingin diutarakan, dan
penutup pembicaraan (Spradley, 1997). Dalam metode ini, peneliti
1Indepth interview (wawancara mendalam) merupakan usaha untuk menggali informasi dan pemahaman
dari individu mengenai topik yang terfokus. Indepth interview bersifat interaktif, seperti halnya percakapan
biasa. Percakapan "normal/umum" dalam wawancara ini terwujud melalui komunikasikan ide. Peneliti
berbicara seperlunya, tetapi terlibat dalam percakapan melalui dukungan verbal dan penggunaan probe,
menanggapi setiap poin dalam wawancara untuk penggalian data, baik dengan pertanyaan lanjutan atau
dengan frase untuk menunjukkan keterlibatan aktif. Responden/informan berbicara pada dua tingkatan,
yaitu dari pengalaman dan persepsinya. Pendalaman dalam wawancara ini sangat berguna untuk
mengakses pengetahuan serta informasi terkait sekelompok warga yang sering terpinggirkan dalam
masyarakat (Hesse-Biber dan Leavy, 2010: 98)

2Saturation point tidak semata dimaknai hanya sebagai tahap di mana tidak ada lagi hal-hal atau informasi
baru yang ditemukan dalam penggalian data, melainkan lebih terikat dengan tujuan dari penelitian. Apabila
saturation point sudah tercapai, seharusnya bisa didukung oleh bukti-bukti. (Ian Jones, Lorraine Brown,
Immy Holloway. 2012. Qualitative Research in Sport and Physical Activity. London: SAGE)

16
melakukan wawancara tidak terstruktur dan juga wawancara terstruktur
disesuaikan dengan kondisi informan di lapangan. Peneliti meminta para
narasumber untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap
peristiwa tertentu dan dapat menggunakan posisi tersebut sebagai dasar
penelitian selanjutnya (Yin, 1987).

c. Studi Dokumen

Metode ini sebagai penunjang penelitian di lapangan, Dokumen yang


dipergunakan untuk melengkapi data penelitian antara lain bukti-bukti
sejarah di lapangan, buku-buku sejarah, dan sebagainya. Metode ini
merupakan cara sederhana, murah, mudah di akses dan tentu saja
memiliki pandangan historis di dalamnya (Noorman &Lincoln,
1994).Dokumen tersebut diperoleh dari perpustakaan, koleksi digital
museum dan penyedia arsip di Belanda, seperti Delpher, Rijkmuseum
dan lainnya.

H. Sistematika Penulisan

Bab I. Pendahuluan

Berisi tentang Latar Belakang, Permasalahan,Tujuan Penelitian,


Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode dan Sistematika
Penulisan

BAB II Permainan Tradisional Cublak Cublak Suweng

Berisi tentang sejarah atau asal usul permainan Cublak Cublak


Suweng di Yogyakarta, Cara bermain, Makna permainan tersebut,
Persebaran di wilayah DI Yogyakarta, dan Tantangan Pelestarian

BAB III Permainan Tradisional Gobag Sodor

Berisi tentang sejarah atau asal usul permainan Gobag Sodor di


Yogyakarta, Cara bermain, Makna permainan tersebut, Persebaran di
wilayah DI Yogyakarta, dan Tantangan Pelestarian

BAB IV. Penutup

Berisi Kesimpulan dan saran

17
BAB II

PERMAINAN TRADISIONAL CUBLAK CUBLAK SUWENG

A. Asal usul Permainan Cublak Cublak Suweng

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pusat kebudayaan yaitu keraton


Kesultanan dan pura Pakualaman. Selain itu, beragam kebudayaan juga
muncul dari lingkungan masyarakat di sekitar Keraton sebagai bentuk
Tradisi kecil. Beragam budaya yang diciptakan baik di dalam dan di luar
tembok Istana disofistifikasi dari dalam keraton, termasuk permainan anak-
anak. Karya budaya tersebut kemudian menyebarluas dan nilai nilai yang
terdapat di dalamnya sebagian menjadi ajaran penting untuk meniti
kehidupan (Anonim, 2000). Salah satu karya budaya yang disofistifikasi dan
terkenal di Yogyakarta yaitu perminan anak-anak bernama Cublak-Sublak
Suweng. Permainan tersebut telah lama dimainkan oleh para elit di
lingkungan keraton mataram Islam.

Lirik dan lagu permainan tersebut sebenarnya telah tercipta sejak


abad XV. Adalah Sunan Giri yang menciptakan Lirik dan lagu Cublak Cublak
Suweng. Kehadiran Sunan Giri di kalangan para Wali membuat dakwah Islam
semakin berkembang pesat di berbagai wilayah Nusantara. Beliau memiliki
beragam kontribusi bagi pembangunan peradaban Islam, salah satunya
menjadi penasehat Kerajaan Demak pada saat penyerangan ke Kerajaan
Majapahit. Beliau juga terkenal sebagai Wali yang sangat dermawan. Beliau
sering bersedekah kepada masyarakat yang tengah dilanda musibah.
Kontribusi lainnya yaitu dalam bidang kesenian (yang berkaitan dengan
dakwah), beliau banyak menciptakan lagu, salah satunya lagu dolanan. Sunan
Giri membuat lagu-lagu yang berisi falsafah dan ajaran Islam yang ditujukan
untuk dakwah terhadap anak-anak. Lagu –lagu tersebut antara lain cublak-
cublak suweng, jamuran dan lagu lainnya (Fitri, 2020: 41).

Sunan Giri tergolong sebagai seorang pendidik yang demokratis.


Beliau mendidik murid-muridnya melalui berbagai macam permainan Islami
serta substansi lagu permainan yang bersifat Islami, seperti: Jetungan, Gula
Ganti, Cublak-cublak Suweng (Salam, 1989: 69). Lagu tersebut kemudian
menyebar ke seluruh pulau Jawa. Permainan dengan iringan lagu tersebut
sangat sederhana pada awal diciptakan oleh Sunan Giri. Seiring
berkembangnya waktu, permainan Cublak-Cublak Suweng yang telah
merambah wilayah Yogyakarta diminati masyarakat dan banyak dimainkan
anak-anak terutama di luar keraton Yogyakarta. Beberapa abdi dalem
Keraton juga mengajarkan permainan tersebut dan dimainkan oleh putri-
putri bangsawan keraton. Permainan Cublak-cublak Suweng kemudian

18
berkembang di dalam keraton hingga akhirnya dikembangkan lirik dan
gerakan permainannya. Di Yogyakarta, cublak-cublak menjadi repertoar lagu
yang berhasil direkam dan dijual secara umum. Salah satu perusahaan yang
merekam lagu gending gamelan yaitu Columbia Graphophone Company Ltd-
Tan Bing Thay. Gending gamelan tersebut dijual hingga ke wilayah Eropa,
sebagai repertoar lagu anak-anak dengan aransemen gending yang yang
bagus untuk diperdengarkan. 3

Label piringan hitam hasil Perekaman lagu gendhing Gamelan "Kjahi Kanjoet
Mesem" tahun 1920an yang berisi lagu Jamuran, Cublak-cublak Suweng dan
lainnya di Yogyakarta oleh Columbia Graphophone Company Ltd- Tan Bing
Thay. Sumber https://otto10.fr/

Lagu dolanan anak pada dasarnya berisi tentang cerita yang


mengandung nilai bagi tatanan kehidupan di masyarakat. Lagu tersebut juga
merupakan bentuk ekspresi budaya sebagai seni dan sastra. Lagu dolanan
anak “cublak cublak suweng” digunakan untuk mengiringi permainan anak
yang juga disebut cublak cublak suweng”. Permainan Cublak cublak suweng
sendiri berdasarkan memori kolektif masyarakat mengalami transformasi
lirik dan juga gerakan permainan, namun tidak dapat secara spesifik
direkonstruksi. lagu Dolanan anak memang diciptakan untuk digunakan
dalam permainan. Lagu “Cublak-cublak Suweng” digunakan untuk
mengiringi permainan tebak-tebakan yang dilakukan oleh anak-anak yang
mengekspresikan perasaan estetis dan kebersamaan (McPherson, dan
Sugeng, et al( ed. ), 2018: 75).

3 Lihat gambar label piringan hitam “Kijahi Kanjoet Mesem” https://otto10.fr/

19
Keraton Mataram Islam sebagai pusat kebudayaan Jawa sebenarnya
telah melakukan sofistifikasi 4 beragam permainan tradisional yang berasal
dari luar tembok Istana dan permainan yang telah diwariskan turun
temurun. Karya budaya seni maupun permainan tradisional jawa secara
historis terkait erat dengan praktik moral dalam kehidupan maupun
spiritualitas. Oleh karena itu, karya seni (termasuk permainan tradisional)
oleh para bangsawan yang ada dalam keraton direkonstruksi menjadi lebih
unggul. Hal ini menyebabkan para bangsawan melakukan sofistifikasi agar
nilai-nilai yang terdapat dalam kesenian tersebut sesuai dengan praktik dan
kehidupan spiritual. Jika ditinjau dari Sofistifikasi yang telah dilakukan
terhadap permainan cublak-cublak suweng terutama di Yogyakarta (era
setelah Mangkubumi), maka permainan ini telah diwariskan lebih dari 10
generasi. 5

Di wilayah Yogyakarta , sejak akhir abad kesembilan belas, kumpulan


gendhing kecil mulai diinventarisasi berdasarkan melodi vokal solo
(tembang dalam bahasa Jawa ngoko (kasar), sekar dalam bahasa Jawa kromo
atau halus). Repertoar lagu tersebut sebagian besar berbentuk ketawang dan
ladrang, yang kerap digunakan dalam mengiringi drama tari di mana
karakter yang berperan menyanyikan semua lirik lagu tersebut dan disebut
sekar gendhing. Sebagian besar repertoar lagu terdiri dari komposisi baru,
salah satunya tembang dolanan. Repertoar tersebut menjadi bagian yang
semakin signifikan dari perbendaharaan gamelan khususnya di Yogyakarta,
tembang tembang tersebut sebagian memberikan penekanan kuat pada
vokal, dan sering dinyanyikan oleh paduan suara secara serempak dengan
struktur formal lancaran atau srepegan (salah satunya Cublak-Cublak
Suweng) (Sutton,1991:31).

Permainan cublak cublak suweng pada perkembangannya memiliki


perbedaan lirik di beberapa tempat. Hal tersebut disebabkan oleh transmisi
(penyebaran) permainan yang dilakukan hanya dari mulut ke mulut, tanpa
ada teks lengkap terkait lirik sehingga masyarakat di wilayah lain
menangkap lirik permainan sesuai dengan apa yang didengar mereka. Hal
tersebut yang menyebabkan distorsi pada kalimat yang terdapat dalam lirik
Cublak Cublak Suweng. Perbedaan lirik lagu cublak cublak suweng
Yogyakarta dengan daerah lainnya sebenarnya telah diinventarisasi oleh
Overbeek pada tahun 1933. Hasil penelitian Overbeek tahun 1933

4Sofistifikasi terhadap karya budaya didefinisikan sebagai ragam dan kerumitan seni dengan nilai yang tinggi
sebagai hasil pemikiran sesuai dengan nilai luhur dan rasa (anonim, 2000). Oleh karena itu, Sofistifikasi
sendiri merupakan proses denaturasi, sebagai ukuran penyempurnaan dengan menunjukkan rasa,
kebijaksanaan, dan kehalusan(Firat, Dholakia,2003: 52).
5
Wawancara GPH Pujaningrat,

20
menjelaskan bahwa lirik tersebut mengalami perbedaan karena distorsi
idiom setiap kata yang terdapat dalam lirik (Overbeek,1934: 109).

B. Cara bermain dan Instrumen permainan Cublak Cublak Suweng

Cublak-Cublak Suweng dimainkan oleh tiga pemain atau lebih. Satu orang
bertugas untuk menebak. Permainan diawali dengan adu pingsut 6. Seorang
yang kalah adu pingsutlah yang bertugas menebak. Ia harus membungkuk
(posisi bersujud), dikelilingi oleh pemain yang lain. Pemain lainnya duduk
(lesehan) sembari meletakkan tangan di atas punggung pemain yang dalam
posisi membungkuk. Mereka kemudian menyanyikan lagu cublak-cublak
suweng. Permainan dilakukan dengan salah seorang pemain
menyembunyikan kerikil (bisa digantikan dengan kertas, biji salak dan bahan
lainnya) dalam genggamannya kemudian diteruskan pada pemain lainnya
seperti tongkat estafet hingga lagu selesai dinyanyikan. Pemain terakhir yang
memegang batu harus menggenggam erat kerikil tersebut, serta berusaha
agar penebak (pemain yang membungkuk) tidak menaruh curiga sehingga
sulit untuk ditebak (Sasi, dkk, 2011: 292).

Formasi duduk melingkar yang dilakukan berjarak sangat dekat,


sehingga pemain yang berlutut dan membungkuk di tengah-tengah biasanya
menyandarkan kepalanya di pangkuan salah satu pemain yang duduk
melingkar. Pemain yang membungkuk tersebut meletakkan tangannya di
depan kepala. Pemain yang duduk melingkar meletakkan tangan mereka
dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas. Posisi tersebut seperti
halnya memangku bayi di mana kedua tangan menahan kepala dan kaki.
Posisi tersebut sering disebut dengan "Bokbokan". Pemain yang duduk
melingkari pemain yang membugkuk ibarat menjadi ibu. Mereka kemudian
meletakkan tangan kirinya di punggung pemain yang bertugas menebak, dan
mengambil suweng (anting-anting) menggunakan tangan kanannya. Mereka
kemudian bernyanyi lagu Cublak –Cublak Suweng secara bersama-sama
mengalihkan perhatian pak Empo (pemain yang membungkuk). Pada saat
menyembunyikan Suweng, pemain melakukan Sir Gosir (gerakan jari-jari).
Sir Gosir dilakukan untuk mengecoh pemain yang membungkuk/ sujud agar
tidak mudah menebak dimana letak suweng yang disembunyikan. Gerakan
Sir Gosir tidak begitu banyak karena hanya digunakan sebagai distraksi pak
Empo dalam menebak. Sang "Ibu" (pemain yang duduk melingkar harus bisa
memprediksi kapan lagu berakhir untuk menyembunyikan Suweng melalui

6 semacam hompimpa kemudian adu jari (gajah, manusia, semut). Gajah kalah dengan semut, semut kalah

dengan manusia, manusia kalah dengan gajah.

21
tangan kanannya. Setelah lagu selesai, semua tangan tertutup, pak Empo
harus berusaha menebak dengan benar siapa “Ibu” yang memiliki suweng.
Pemain lainnya menggoda dengan menidurkannya (menggosok hidung
dengan jari telunjuk). Beberapa teks menjelaskan bahwa sebenarnya lagu
Cublak Cublak Suweng diakhiri dengan "pak empong orong-orong", "pak
empong léra-léré" dan lirik lainnya 7. 8

Apabila pemain yang bertugas menebak mampu menjawab dengan


benar dimana kerikil tersebut disembunyikan, orang yang terakhir
menyembunyikan kerikil tersebut berganti peran sebagai pemain yang
menebak (jaga). Jika salah menebak, maka penebak (pemain yang jaga) harus
tetap dalam posisi semula (membungkuk). Permainan tersebut melatih
intuisi dan indera peraba,bagaimana yang jaga bisa menebak siapa yang
membawa kerikil, misalnya dengan memperhatikan di mana ketukan tangan
berhenti (Sasi, dkk, 2011: 292).

Sebutan lain bagi pemain yang jaga (membungkuk) yaitu Pak Empo
(tokoh yang disebut dalam lirik lagu). Pak Empo berbaring telungkup di
tengah, anak-anak lain duduk melingkar. Buka telapak tangan menghadap ke
atas danletakkan di punggung Pak Empo. Salah satu anak memegang biji/
kerikil dan dipindah dari telapak tangan satu ke telapak tangan lainnya
diiringi lagu Cublak-Cublek Suweng.

“Cublak cublek suweng, suwenge ting gelenter, mambu


ketundung gudel. Pak empo lirak-lirik, sapa mau sing
delekke. Sir sir pong dele gosong, sir sir pong dele gosong”.

Pemain pada saat lirik lagu mencapai kalimat "Sapa mau sing delekke”
(siapa tadi yang menyembunyikan) harus menyerahkan suweng atau kerikil
ke tangan salah satu pemain (yang duduk melingkar) untuk disembunyikan
dalam genggaman. Pada akhir lagu, semua pemain harus sudah
menggenggam kedua tangan masing-masing dan berpura-pura
menyembunyikan kerikil sembari menggerakan tangan agar sulit ditebak.
Pak Empo bangun dan menebak di tangan siapa biji/ kerikil disembunyikan
(Nur, 2019: 32).

7
lirik pada baris ke 4/5/6 (H. Overbeek. 1934.) hlm 109
8 H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta hln 109

22
Foto Permainan Cublak Cublak Suweng yang dimainkan anak-anak Sekolah
Dasar, Dokumentasi Dinas Kebudayaan DIY tahun 1997

Menurut beberapa naskah, permainan Cublak-cublak Suweng di


Yogyakarta pada tahun 1930an mengenal beberapa lirik. Jika pemain yang
menebak tidak dapat menebak dengan benar siapa yang memiliki suweng,
pemain tersebut harus tetap dalam posisinya dan lirik lagu "Cublak - Cublak"
tidak dinyanyikan. Lirik tersebut diganti dengan lagu "Kentung". 9 "Kentung"
adalah bunyi pukulan balok padi. Kentung berfungsi sebagai kata untuk
menunjukkan atau menghitung berapa kali pemain yang membungkuk tidak
bisa menebak dengan benar siapa yang memiliki suweng. Hal tersebut harus
diperhatikan oleh setiap pemain dengan mengubah kata tertentu menjadi
angka di baris pertama lagu. Misalnya pemain yang pernah menjadi Pak

9
Lihat lirik Cublak Cublak Suweng pada bagian T 3, 9a, 13, 16, '7, 27, 29 , (H. Overbeek. 1934:
109.)

23
Empo, salah satu dari mereka tidak menebak dengan benar pertama kali,
mereka menyanyikan entuk sak kentung (punya satu kentung), Kemudian
kedua kali menyanyikan dengan lirik entuk rong kentung (dapat dua
kentung), dll. Ketika salah satu dari sesama pemain mencapai sepuluh
kenioeng, maka mereka berhenti bermain Cublak-Cublak Suweng. Pemain
yang mendapat sepuluh kentung harus menjadi Den Bisu (Overbeek, 1934:
110).

Jika ditinjau dari Instrumen yang digunakan, dimensi ukuran volume


instrumen permainan termasuk lama permainan, cublak cublak suweng
merupakan permainan yang termasuk mudah untuk dimainkan dengan
insrumen sederhana. Instrumen yang paling penting dalam permainan
tersebut yaitu Suweng. Adapun instrumen yang digunakan sebagai Suweng
bervariasai sesuai dengan kemudahan menemukan instrumen dan
fleksibilitas penggunaannya. Suweng biasanya menggunakan bahan berupa
batu, gaco (pecahan genting), granit, ataupun koin (Iswinarti, 2017: 45).
Benda-benda tersebut memiliki ukuran tidak lebih besar dari batu ketapel
agar mudah digenggam dan disembunyikan.

Instrumen lain yang digunakan yaitu Gamelan sebagai pengiring lagu.


Gending Cublak suweng masuk dalam kategori Gendhing Lesan. Selain itu,
lagu tersebut juga termasuk dalam kategori Gendhing Cilik, dimana gamelan
yang dimainkan disesuaikan untuk vokal anak anak, serta tidak
menggunakan instrumen Gamelan yang tergolong sulit (Becker, Feinstein,
1984: 419). Penggunaan gamelan sebagai instrumen pengiring lagu pada
permainan Cublak-Cublak Suweng sebenarnya jarang dijumpai. Permainan
biasanya dilakukan hingga para pemain bosan. Secara umum durasi
permainan berlangsung selama 1 hingga 2 jam.

C. Konteks Keberadaan Permainan, Fungsi sosial budaya ekonomi bagi


masyarakat DIY dulu dan kini

Memainkan sebuah permainan merupakan hal yang penting guna


membangun karakteristik dan perilaku anak-anak. Nilai tersebut berlaku
secara universal terutama dalam tumbuh kembang anak untuk menghadapi
kehidupan sosial di masa yang akan datang. Oleh karena itu, permainan
anak menjadi media pembelajaran karakter secara alami bagi mereka.
Bermain dapat memiliki konteks di mana anak-anak mengalami proses
pembelajaran yang mendalam melalui integrasi nilai-nilai intelektual, fisik,
moral, dan spiritual dan memberikan mereka kesempatan untuk
berkomitmen pada pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan.

24
Interaksi melalui hiburan antaranak atau orang dewasa saat bermain
merangsang perkembangan mereka dalam berbagai bidang. Permainan
memiliki kontribusi penting untuk perkembangan kognitif anak-anak dan
perkembangan psikososial. Bermain permainan menjadi kunci penentu
ekspresi semangat di masa kanak-kanak. Bermain permainan sangat penting
untuk perkembangan dan kualitas hidup anak-anak. Bermain merupakan
proses pembelajaran. Beberapa karakteristik utama dari bermain sebuah
permainan yaitu hiburan dan bersenang-senang. Oleh karena itu, permainan
menjadi media yang sangat penting untuk membuat proses pembelajaran
semakin menarik. Saat bermain permainan anak-anak belajar berbagai
keterampilan sosial seperti berbagi, memahami perspektif dari sudut
pandang lain, dan bergiliran. Permainan juga memberikan konteks kepada
anak-anak untuk belajar tentang budaya yang mereka miliki. Dengan kata
lain, permainan anak anak (seperti halnya cublak-cublak suweng) menjadi
alat yang efektif dan penting untuk pembelajaran budaya bagi anak-anak.
Sebagian besar interaksi satu sama lain memang dipengaruhi oleh konteks
budaya di mana mereka tinggal. Hal ini terkait dengan pemikiran individu,
perasaan, perilaku, dan pembentukan realitas mereka sendiri melalui budaya
yang dimiliki. Budaya memberikan individu informasi tentang identitas yang
mereka miliki dan yang paling bermakna. Selain itu, budaya juga
memberikan masyarakat simbol-simbol yang diperlukan untuk berinteraksi
secara sosial dan mengelola lingkungan mereka. Permainan anak-anak
seperti halnya Cublak-cublak Suweng digunakan orang tua untuk
mengenalkan dan menjelaskan pada anak tentang dunia melalui budaya. Hal
tersebut membuat anak anak tumbuh dewasa dalam lingkungan sosial
dengan memiliki budaya yang sama cenderung memiliki sikap, nilai,
pemikiran, serta perilaku yang kurang lebih mirip, sehingga menguatkan
kohesi sosial (Aypay, 2016). Hal itulah yang menjadi fungsi sosial-budaya
yang terdapat pada permainan Cublak-Cublak Suweng. Permainan anak
seperti Cublak-cublak suweng dan lainnya mampu merangsang pertumbuhan
anak, mengembangkan kualitas hidup anak agar mereka mampu berkembang
lebih baik dalam menghadapi realitas sosial.

Menjelang tahun 1930an, pemanfaatan permainan tradisional seperti


halnya Cublak-cublak suweng bisa dijumpai dalam kurikulum pendidikan,
seperti yang dilakukan Sariswara. Metode Sari Swara di Taman Siswa sendiri
berisi pembelajaran untuk anak anak berupa permainan tradisional.
Pembelajaran juga dilakukan dengan menyanyikan dan mempraktikan
permainan bersama-sama antara guru dan siswa. Permainan anak yang
sering diajarkan dalam Sariswara adalah cublak-cublak suweng, lepetan,
jamuran, ancak-ancak alis, sluku-sluku bathok, gumregah, dan permainan
lainnya. Permainan tersebut pada dasarnya menganut kebebasan

25
berekspresi, gotong royong, dan kegembiraan (Sari, Sayuti, Pardjono, 2019).
Adalah K. H. Dewantara yang menjelaskan bahwa permainan anak Jawa
seperti permainan dakon, cublak-cublak suweng, dan kubuk dapat mendidik
anak tentang berhitung dan pengiraan. Permainan gobak sodor, trebung,
raton, geritan, obrog, panahan, jamuran, dll mendidik anak untuk memiliki
tubuh yang kuat serta sehat, kecekatan, berani, cermat, fokus dan memiliki
penglihatan yang tajam. Permainan anak anak (dolanan) seperti Cublak-
Cublak Suweng merupakan bentuk penyatuan gerak wirama dengan
nyanyian serta cerita diramu untuk tujuan pengembangan ilmu pendidikan
bagi anak-anak. Permainan anak anak juga digunakan untuk melatih
konsentrasi pelajaran, melatih anak untuk bisa berkesenian dan memiliki
unsur pendidikan estetik. Selain itu, permainan tersebut juga mampu
mengembangkan rasa etik dalam jiwa pribadi kanak-kanak untuk
menyokong kebudayaan bangsa. Taman Indria, di bawah Taman Siswa,
menyelenggarakan pembelajaran melalui permainan-permainan tradsional
seperti Cublak Cublak Suweng (permainan berjenis tembang dan dolanan
anak) sebagai bagian dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ki Hajar
Dewantara menjelaskan bahwa permainan kanak-kanak merupakan
permulaan latihan kesenian pada umumnya, khususnya latihan suara, tari
dan sandiwara, dan semua itu sebagai dasar-dasar pendidikan budi pekerti.
Selain itu, permainan kanak-kanak merupakan bentuk pembelajaran
kesenian bagi kanak-kanak yang bersifat sederhana baik bentuk dan isinya,
tetapi dapat memenuhi syarat-syarat etis dan aestetis secara alamiah dan
kultural (Rahayu, Sugito, 2018).

Selain bidang pendidikan, pemanfaatan lain dari permainan Cublak


Cublak Suweng tidak banyak ditemukan. Pemanfaatan terkait komodifikasi
(nilai ekonomis) permainan cublak-cublak suweng yang terlihat salah
satunya hanya penjualan hasil rekaman Label piringan hitam hasil
Perekaman lagu gendhing Gamelan "Kjahi Kanjoet Mesem" tahun 1920an
yang berisi lagu Jamuran, Cublak-cublak Suweng dan lainnya di Yogyakarta
oleh Columbia Graphophone Company Ltd- Tan Bing. 10 Perekaman tersebut
merupakan bentuk penyelamatan repertoar lagu-lagu gendhing yang banyak
digunakan untuk pelatihan gamelan. Repertoar lagu-lagu dari Gendhing
Ageng hingga permainan anak anak pada tahun 1920an hingga 1930an
memang banyak diubah ke dalam bentuk rekaman suara. Salah satu tokoh
pengumpul repertoar gendhing adalah bupati Patih dan Kadipaten, K.R.T.
Wiroguno yang dikenal sebagai praktisi budaya yang bergelut dalam bidang

10
Lihat Label piringan hitam hasil Perekaman lagu gendhing Gamelan "Kjahi Kanjoet Mesem"
tahun 1920an yang berisi lagu Jamuran, Cublak-cublak Suweng dan lainnya di Yogyakarta oleh
Columbia Graphophone Company Ltd- Tan Bing Thay. Sumber https://otto10.fr/

26
seni musik Jawa. Beliau merupakan tokoh yang banyak merekam musik
gamelan dalam notasi musik di Yogyakarta (Soerabaijasch handelsblad, 29
Agustus 1936). Beliau berhasil menginventarisasi beberapa karya gendhing
sehingga koleksi arsip musikologis Hindia Belanda menjadi sangat lengkap.
Perekaman tersebut banyak dibantu oleh cendekiawan Eropa yang
tergabung dalam Java Instituut. Lembaga tersebut memiliki salinan koleksi
notasi kraton yang sangat lengkap dihimpun oleh KRT Wiraguna dan tokoh
lainnya. Koleksinya notasi tersebut berisi sekitar 750 komposisi musik
terdari dari gendhing utama, gendhing pengiring, notasi gendhang dan notasi
lagu pengiring permainan (salah satunya Cublak Cublak Suweng). 11 Notasi
tersebut banyak digunakan untuk pengajaran gamelan. Adapun lagu yang
direkam dan dikomersilkan biasanya untuk dinikmati suaranya sekaligus
sebagai koreksi pembelajaran gamelan pengiring (tempo/ alunan gendhing).

Saat ini, permainan Cublak Cublak suweng juga masih digunakan


sebagai media pembelajaran di laboratorium Sariswara taman siswa.
Permainan tersebut juga telah dikemas dalam bentuk buku interaktif.
Kegiatan pembelajaran muatan lokal terutama permainan anak-anak di
Taman Indria Ibu Pawiayatan masih terus berlangsung walaupun terdapat
pengurangan jam pembelajaran. 12 Pembelajaran instrumen musik Cublak-
Cublak Suweng juga masih digunakan sebagai repertoar, salah satunya bisa
dijumpai di pawiyatan gamelan Gambir Sawit Yogyakarta.

D. Nilai, Makna yang Terdapat dalam Cublak Cublak Suweng

proses bermain permainan membuat anak-anak siap melakukan


pembelajaran apa pun. Selain itu permainan anak anak yang diciptakan oleh
para pendahulu sebagai warisan budaya memiliki makna yang mendalam
terutama bagi kehidupan. Hal tersebut sebagaimana terdapat pada
permainan Cublak cublak suweng. Karya sastra pada umumnya memiliki
pemaknaan yang berkaitan dengan nilai moral. Nilai moral tersebut yang
berorientasi terhadap himbauan dalam bentuk nasehat dan amanat
mengenai nilai-nilai benar tidaknya sikap manusia dalam menjalani hidup
bermasyarakat. Begitu juga dalam lirik lagu dolanan Cublak-cublak suweng
juga mengandung inti ajaran nilai moral yang bisa lebih dicerna manusia
dalam penerapan di kehidupannya. 13 Nilai dan makna yang terdapat pada
permainan tersebut terbagi menjadi dua jenis yaitu nilai dan makna yang

11
Darto Harnoko, Indra Fibiona. 2020. Kagunan sekar padma : kontinuitas dan perkembangan
kesenian tradisional di Yogyakarta awal abad XX. Yogyakarta: BPNB DIY
12 Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5 (1), 2018, 19-
32
13 Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada Khazanah

Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37

27
tersurat serta yang tersirat. Adapun penjelasan terkait makna yang tersurat
yaitu Cublak-Cublak Suweng adalah bentuk Geguritan Jawa yang berisi
tentang analogi terkait kehidupan manusia. Syair tersebut memuat tentang
kisah burung bangau yang bertelur di ladang luas yang sepi. Burung bangau
tersebut melambangkan isbat alam yang tergelar. Jika Telur burung bangau
tersebut diambil, maka dunia akan terjadi ketidakstabilan. Telur tersebut
pada hakikamya merupakan simbol dari hawa yang hanya berada di udara
awang-awang (alam kosong). Hawa dan udara tidak dapat dipegang, tetapi
benda tersebut eksis. Hawa pada hakikatnya diam dan hanya akan bergerak
karena pengaruh dari Hyang Bayu (Dewa Angin). Hawa yang terkena
pengaruh tersebut kemudian bergerak menjadi angin dan membangunkan
nafas manusia (manusia tidak dapat hidup tanpa bernafas). 14

Kata cublak berarti tempat untuk menyimpan atau menyembunyikan


sesuatu, suweng 'giwang' diibaratkan sebgai suwung 'kosong', sedangkan ting
gelenter diartikan seagai berjalan terus, 'tidak berhenti'. Kata Mundhing
berarti 'anak kerbau'. Dengan demikian, hidup manusia di dunia beserta
isinya senantiasa dipengaruhi oleh napas yang selalu keluar dan masuk.
Manusia sebenamya bodoh seperti kerbau, ia tidak dapat melihat itu
walaupun semua ada dan nyata. Nafas merupakanbentuk eksistensi manusia
yang selalu ada di dalam hidup. Empak empong berarti sering keluar dan
masuk. Dengan adanya napas yang bersemayam di dalam manusia, manusia
diaharapkan selalu dalam kesadaran untuk mencapai arti hidup yang
sebenamya. 15

Kata suweng pada lagu cublak cublak suweng sangat ditekankan.


Suweng merupakan bentuk lain Suwung, Sepi, Sejati menjadi representasi
harta yang abadi. Kata Gelenter berarti berserakan yang memiliki makna
bahwa sesungguhnya harta yang kita cari berserakan (tersebar) di seluruh
penjuru bumi. Gudel merupakan istilah yang menunjuk anak kerbau.
Masyarakat Jawa menggunakan kata gudel (anak kerbau) sebagai simbol
orang bodoh. Oleh karena itu, kalimat “mambu ketundhung gudel” (bau
kotoran anak kerbau) memiliki makna bahwa orang bodoh (minim
pendidikan) akan mencari harta yang bersifat duniawi dengan penuh nafsu,
tindakan korupsi, jual beli jabatan hanya untuk mencari kebahagiaan sesaat
(di dunia).

Orang bodoh tersebut ibarat orang sudah tua dan tidak lagi memiliki
gigi dan mengalami kebingungan (Pak empo lera-lere). Meskipun berlimpah

14 Dhanu Priyo Prabowo, V. Risti Ratnawati, Suyami, Titi Mumfangati. 2002 Geguritan Tradisional Dalam
Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional hlmn 150
15 Dhanu Priyo Prabowo, V. Risti Ratnawati, Suyami, Titi Mumfangati. 2002 Geguritan Tradisional Dalam

Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional hlmn 150

28
harta, kekayaan (limpahan harta) tersebut bukan merupakan harta yang
abadi (kebahagiaan abadi). Orang-orang tersebut selalu merasa kebingungan
dan gelisah karena dikuasai oleh keserakahannya sendiri. Sopo ngguyu
Ndhelikake diartikan siapa yang tertawa dialah yang menyembunyikan. Lirik
tersebut memiliki pesan bahwa orang yang bijaksana, akan menemukan
kebahagian yang hakiki. Orang tersebut adalah orang yang penuh senyum
dalam menjalani setiap cerita kehidupan, meskipun dunia dipenuhi
keserakahan dan ketamakan. Sir (hati nurani/suara hati) pong dele kopong
(kedelai yang kosong tanpa isi), yang maknanya hati nurani yang kosong.
Kebahagiaan yang abadi dan hakiki hanya dapat dicapai dengan menghindar
dari kecintaan terhadap kekayaan duniawi. Selain itu, juga memiliki sikap
rendah hati, peduli terhadap sesama dan senantiasa melatih kepekaan hati
nurani (Sir).

Makna lirik yang terkandung pada lirik Cublak-cublak suweng secara


general menunjukkan bahwa sebagai manusia, kita tidak diperkenankan
mencari harta dengan menuruti hawa nafsu, melainkan dengan hati nurani
yang bersih. Hal tersebut akan mengantarkan kita pada kemudahan dalam
menemukan kebahagian, sehingga tidak tersesat di dunia yang fana hingga
lupa akan akhirat. Lagu dolanan Cublak-cublak suweng mengajarkan anak-
anak agar tidak menuruti hawa nafsu. Selain itu juga mengajarkan tentang
harmoni dengan alam, menjaga hubungan baik sesama manusia dan orang
tua. Lirik tersebut menjadi karya sastra yang merefleksikan pengarang untuk
bersikap dalam kehidupan bermasyarakat. 16

Cublak Cublak Suweng memiliki makna tersirat yang terdapat dalam


gerakan ataupun proses permainan. Anak-anak dapat mengembangkan
keterampilan adaptasi seperti berpikir kreatif, memecahkan masalah, dan
berperilaku sosial yang baik, yang penting untuk perkembangan proses
kognitif, afektif, dan interpersonal melalui permainan, salah satunya Cublak
Cublak Suweng. Dansky pernah melakukan studi tentang mengajarkan
permainan kepada anak-anak, menemukan bahwa permainan anak-anak
mampu meningkatkan keterampilan dan imajinasi mengenai permainan
peran. Oleh karena itu, permainan yang dirancang dan dimainkan dengan
baik (khususnya permainan anak tradisional seperti halnya Cublak-Cublak
Suweng) mengajarkan nilai-nilai yang merupakan elemen penting dari
interaksi sosial budaya. Pesan-pesan terhadap nilai-nilai pembelajaran dalam
permainan diaktualisasikan dalam perilaku anak-anak melalui bermain
peran sebagai bagian dari permainan, pesan-pesan ini kemudian berubah

16Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada Khazanah
Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37

29
menjadi perasaan, pikiran, dan perilaku yang mencerminkan interaksi di
masyarakat. 17

Selain makna tersurat, permainan tradisional (seperti halnya Cublak-


cublak Suweng) memiliki makna tersirat. Makna tersebut mendorong anak
anak untuk memiliki karakter yang baik. disiplin, jujur, sportif, saling
menghargai, dan sopan santun. 18 Permainan seperti Cubklak Cublak Suweng
sebenarnya melibatkan aspek kognitif, motorik dan psikomotorik. ketika
mereka bermain, mereka akan membedakan mana yang baik dan mana
buruk. 19 Cublak-cublak Suweng merupakan media efektif untuk
menanamkan nilai-nilai luhur kehidupan dan seni sesuai atmosfir kehidupan
anak-anak yang menyenangkan dan sederhana. Permainan tersebut juga
meningkatkan kepekaan sosial melalui interaksi dan kerjasama antara
sesama pemain, sehingga menepis sikap individulalistis. Cublak-cublak
Suweng juga melatih perkembangan motorik pada anak-anak melalui gerak
dan lagu yang terdapat di dalamnya. 20

Jenis Nilai Konsep Terkait dengan Nilai


Pencapaian Sukses, mampu, ambisius, berpengaruh, cerdas,
harga diri
Kebajikan Penolong, jujur, pemaaf, setia, bertanggung
jawab, persahabatan sejati, kehidupan spiritual,
cinta dewasa, makna dalam hidup
Kesesuaian Sopan santun, menghormati orang tua dan yang
lebih tua, patuh, disiplin diri
Kekuatan Kekuatan sosial, otoritas, kekayaan, menjaga citra
publik, pengakuan sosial
Keamanan Bersih, keamanan nasional, ketertiban sosial,
keamanan keluarga, balas budi, sehat, rasa
memiliki
Arahan Diri Kreativitas, rasa ingin tahu, kebebasan, memilih
tujuan sendiri, mandiri, kehidupan pribadi
Stimulasi Berani, hidup yang bervariasi, hidup yang
menyenangkan
Tradisi Taat, menerima bagian dalam hidup, rendah hati,

17 Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in teaching ten universal values in
Turkey. Eurasian Journal of Educational Research, 62, 283-300, http://dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14
18 Gary G. McPherson, Bambang Sugeng, et. al. 2019. 21st Century Innovation in Music Education

Proceedings of the 1st International Conference of the Music Education Community (INTERCOME 2018),
October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia. CRC Press Hlmn 81
19 Gary G. McPherson, Bambang Sugeng, et. al. 2019. 21st Century Innovation in Music Education

Proceedings of the 1st International Conference of the Music Education Community (INTERCOME 2018),
October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia. CRC Press Hlmn 81
20 Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada Khazanah

Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37

30
moderat, menghormati tradisi
Universalisme Peduli lingkungan, keindahan dunia, kesatuan
dengan alam, berwawasan luas, keadilan sosial,
kebijaksanaan, kesetaraan, Dunia yang damai,
harmoni batin

Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in


teaching ten universal values in Turkey. Eurasian Journal of Educational
Research, 62, 283-300, http://dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14

Berdasarkan universalitas nilai permainan tradisional anak anak yang


dijelaskan oleh Aypay, Cublak-Cublak suweng memiliki nilai pencapaian
antara lain dalam konsep sukses dan cerdas, yaitu keberhasilan dalam
menebak keberadaan suweng/batu. Selain itu juga terdapat konsep harga
diri, dimana pemain harus bisa menebak sebelum menjadi bisu (kalah). Para
pemain memang harus cermat agar bisa menebak dengan benar maupun
menyembunyikan suweng agar sulit tertebak.

Nilai selanjutnya yaitu Kebajikan, terutama konsep jujur, dilihat dari


sportivitas dalam permainan terutama ketika lawan berhasil menebak. Selain
itu pada hitungan permainan yang dilakukan. Pemain yang tidak jujur
tentunya akan merasa malu, sehingga mengajarkan integritas bagi para
pemainnya. Nilai lainnya yaitu Kesesuaian terutama patuh terhadap aturan
yang terdapat dalam permainan cublak cublak suweng. Pemain harus
menaati perturan yang telah disepakati dalam permainan tersebut.

Nilai lainnya yaitu Kekuatan, terutma konsep pengakuan sosial dan


menjaga citra publik. Pemain harus mampu bersikap sportif, selain itu cerdas
untuk menjaga citranya di mata pemain yang lain. Nilai berikutnya yaitu
Keamanan, yaitu rasa memiliki dan ketertiban sosial. Pemain harus saling
mengingatkan berapa kali pak Empo (penebak Suweng) telah berada dalam
posisi tersebut sehingga menggunakan lirik yang sesuai. Selain itu, nilai
arahan diri yaitu Kebebasan, memilih tujuan sendiri, dalam hal ini seperti
yang dilakukan oleh Pak Empo (pemain yang membungkuk), ia memiliki
kebebasan untuk menjawab dan menentukan di mana suweng tersebut
terletak dan tentunya kebebasan yang diambil memiliki konsekuensi
tanggung jawab apabila dia salah menebak.

Permainan Cublak Cublak suweng juga memiliki nilai Stimulasi


Berani, dalam hal ini hidup yang menyenangkan. Permainan tersebut
memang diciptakan untuk kegembiraan (kesenangan) terutama bersama
sama, sehingga menorehkan kenangan yang berkesan untuk saling
mengingat di masa depan. Hal tersebut bisa meningkatkan kohesi sosial.
Selain itu terdapat nilai tradisi, dalam hal ini menerima bagian dalam hidup

31
(Nrimo Ing Pandum). Pemain diajarkan berlapang dada meskipun
mendapatkan kekalahan. Nilai lainnya yaitu Universalisme, dalam hal ini
kesatuan dengan alam, keadilan sosial, kedamaian dan harmoni batin.

E. Perbedaan permainan Cublak cublak suweng dengan permainan


sejenis lainnya

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perbedaan


permainan cublak suweng yogyakarta dengan wilayah lainnya yaitu terletak
pada lirik. Namun demikian, saat ini lirik yang terdapat dalam
permainantersebut pada perkembangannya mengalami kesamaan karena
sulitnya mengingat lirik yang bervariasi. Terdapat permainan lain yang
memiliki beberapa persamaan dengan Cublak cublak Suweng, antara lain
Gerit-Gerit Lancung dan Gotri Nogosari. Persamaan tersebut terletak pada
inti permainan yaitu menebak benda. Permainan tersebut memiliki
perbedaan khususnya pada nilai-nilai yang terkandung terutama dari lirik
lagu. Gerit-Gerit Lancung mengisahkan sindirian seorang istri yang ditinggal
suaminya bermain judi hingga lupa waktu dan menguras harta benda,
sehingga permainan ini lebih cocok untuk dilakukan oleh anak anak yang
menginjak remaja. 21 Permainan lain yang memiliki kemiripan yaitu Gotri
Nogosari. Namun demikian, permainan Gotri Nogosari memiliki makna
kebersamaan kesediaan menerima tanggung jawab dan risiko atas
perbuatannya (jika salah menjawab).

Perubahan lirik menjadi bahasa betawi terutama dijumpai di wilayah


Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Permainan tersebut kemudian berubah
menjadi Cublak Cublak Uang. Adapun liriknya sebagai berikut.

Cublak-Cublak uang,
uangnya manggulèntèng (menggelenteng),
ambu tata ambu titi,
pedati ware-wiri,
tangsi nyonyé tangsi babé,
ketelong bumbung,
bok éré - éré, si Sidin mau kawin,
potong kerbo pèndèk,
potong kerbo tinggi,
gamelan jenggar jenggur,
kirana 'kiratu kebeneran pégang
batu,

21Bhekti Suryani. 2018. Ini Dia Permainan Tradisional Gerit-Gerit Lancung dan Goco yang Harus Dilestarikan
dalam ogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/05/11/513/915548/ini-dia-permainan-tradisional-gerit-gerit-
lancung-dan-goco-yang-harus-dilestarikan

32
salé satu didepan pintu,
taéta, taéta. 22

F. Unsur pembentukan karakter Dan Manfaat bagi Tumbuh Kembang


Anak

Usia 6 tahun merupakan usia tumbuh kembang anak. Mereka banyak belajar
dengan bernyanyi, mencocokkan ritme lagu dan gerakan tangan, mengenal
bahasa lokal (terutama bahasa Jawa), melatih motorik halus, belajar menaati
aturan, belajar untuk bekerja sama dan belajar menyimpan rahasia. 23 Hal ini
banyak ditemukan dalam permainan anak-anak tidak terkecuali Cublak
Cublak Suweng. Permainan anak-anak seperti halnya Cublak-cublak Suweng
melatih perkembangan motorik dengan melibatkan koordinasi anggota
tubuh ketika bermain. Posisi pemain yang harus menelungkupkan badan
dengan menghadap ketanah dan posisi dada menempel paha dapat
menguatkan otot perut dan juga melancarkan peredaran darah.

Permainan Cublak-cublak Suweng juga meningkatkan kemampuan


kognitif yaitu dengan melatih konsentrasi, meningkatkan kemampuan
berfikir dan problem solving, Konsentrasi dan berfikir menjadi perhatian
utama dalam permainan ini agar tidak terkecoh atau bisa menebak siapa
yang membawa batu. Selain itu, permainan tersebut melatih kepekaan indra
peraba, khususnya pihak yang menebak suweng. Batu (suweng) pada saat
diedarkan dari tangan pemain ke pemain yang lain pasti memberikan
tekanan di setiap telapak tangan pemain guna mengelabuhi pemain yang
kalah. Seringkali ketika mengedarkan suweng dengan tekanan tangan lebih
besar biasanya suweng disembunyikan oleh pemain yang menekan tangan
lebih keras.

Ciblak-cublak suweng juga meningkatkan kemampuan anak terutama


terkait perkembangan sosial. Mereka dilatih agar mampu bersosialisasi
dengan teman sebaya sehingga mampu lebih baik dalam berkomunikasi.
Selain itu, permainan tersebut juga membangun kerjasama. Menjalin
komunikasi antar pemain yang bertugas menyembunyikan suweng (batu)
dengan jalan mengelabuhi pemain yang harus menebak keberadaan suweng
agar kesulitan menebak siapa yang membawa suweng.

Menyanyikan lagu cublak-cublak suweng secara bersama-sama


mampu Meningkatkan perkembangan kepribadian, seperti rasa percaya diri,
menumbuhkan sportifitas dan rasa empati kepada sesama. Selain itu,

22 H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta hln 111-114
23 Miftachun Nur. 2019. Permainan Tempo Dulu : era 90'an. Hlmn 33

33
bernyanyi lagu Cublak Cublak Suweng juga bermanfaat untuk menjalin
keakraban anak dan menimbulkan rasa kebersamaan. Di sisi lain, menebak
keberadaan Suweng merupakan sarana untuk belajar mengambil keputusan
secara matang dan tanggung jawab. Permainan seperti halnya Cublak Cublak
Suweng juga memupuk perkembangan emosi, serta memberikan kesempatan
pada pihak yang kalah dengan tidak berbuat kecurangan (mengelabui) agar
bisa menebak siapa yang membawa batu. Permainan tersebut juga melatih
kesabaran dan pengendalian diri, terutama dengan mengontrol emosi dan
pengendalian diri ketika kalah atau tidak berhasil menebak dengan benar. 24

Permainan Cublak cublak suweng merupakan bentuk permainan


peran yang dirancang dengan interaksi konstruktif antarpemain. Seseorang
menjalani simulasi seolah dalam situasi kehidupan yang sulit, dan
berhadapan dengan lawan main yang berada dalam kondisi yang aman. Oleh
karena itu, terdapat tuntutan untuk memecahkan masalah. Kesulitan yang
terdapat dalam permainan membuat pemain merasakan untuk bernalar dan
memecahkan situasi tersebut. Permainan cublak cublak suweng juga
menjadi simulasi tindakan serta tanggung jawab atas apa yang terjadi.
Banyak jenis permainan yang ditujukan untuk pengembangan kepribadian
terutama adaptasi sosial, pembentukan karakter yang sehat dan aktif secara
sosial, serta motivasi untuk bekerja keras dan mandiri (tidak terkecuali
Cublak Cublak Suweng). Hal ini tentu saja menjadi salah satu metode untuk
pencegahan dan sekaligus koreksi perilaku menyimpang. Nilai nilai
humanistik dan sosial-moral yang terdapat pada permainan anak-anak
(seperti halnya Cublak Cublak Suweng), memperkuat fokus pada
pengembangan pribadi, terutama dalam kemampuan mengatur diri sendiri. 25

Catatan Overbeek mengemukakan bahwa permainan tradisional


seperti halnya Cublak Cublak Suweng dan permainan tradisional jawa
lainnya mengembangkan kemampuan fisik anak anak saat bermain dan
belajar mengalahkan musuhnya. Selain itu, permainan Cublak Cublak suweng
juga mendidik gadis Jawa sejak usia dini terkait urusan rumah tangga dan
pendidikan. Permainan tersebut bertujuan untuk pembentukan karakter
yang baik pada masa muda. Akademisi seperti halnya Overbeek pada tahun
1930an menjelaskan bahwa kemanfaatan permainan anak anak seperti
halnya Cublaka Cublak Suweng sangat baik terutama untuk tumbuh kembang
anak, selain itu, nilai-nilai luhur yang terdapat dalam lirik permainan dan
gerakan bisa menjadi refleksi di masa yang akan datang dalam bersikap.

24Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional Prosedur dan Analisis Manfaat Psikologis. Hlmn 62-63
25V Shalaev , F Emelyanov,S Shalaeva. 2020. Social Functions of Games in Modern Society: Educational
Perspectives. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 396 , 2020 hlmn 192-
197

34
Banyak sekali permainan serupa yang bisa dimanfaatkan untuk mengajarkan
norma, beberapa lirik lagu permainan anak di antaranya terdapat dalam
buku “Lagoe botjah-botjah” yang diterbitkan oleh Komisi De Volkslectuur. 26

g. Persebaran di wilayah DI Yogyakarta dan Pelaku Budaya yang


Melestarikan

Cublak-cublak suweng dimainkan hampir di seluruh wilayah Daerah


Istimewa Yogyakarta bahkan hingga wilayah Jawa Tengah dan bahkan Jawa
Timur. Persebaran tersebut kemudian disesuaikan dengan bahasa di wilayah
masing masing. H. Overbeek mencatat bahwa terdapat beberapa varian lirik
sesuai dengan wilayah masing masing. Adapun varian lirik tersebut sebagai
berikut.

I) Cublak - Cublak suweng,


(9 a, b, e, 13 a, b, e, 14) Cubleg - Cubleg
(Cublek - Cublek) Suweng,
(36b) Cublak - Cublak,
(39a) Cublak - Cublak cengklong,
(39b) Cublek - Cublek kentung,
2) Suwengé ting gelèndèr (gelèntèr,
galèntèr, gulèntèr),
(sa, 9b , 10, 12, 13a) Suwengé embok
Gelèndèr (bok Gelèntèr),
(9a) Suwengé ronga ireng,
(ge, 39b) lir kangkung,
(11) Suwengé angga iti,
(13b, 13e) Suwengé Landa ireng,
(14) Suwengé Singalètèr,
(26, 36a) Suwengé si Gulèntèr,
(27) Suwengé sing gelèntèr,
(36b) Suwengira si Gelèntèr,
(39a) cengkongé bok ti - ati,
3) mam bu ketungung gudèl,
(sa) mahmu ketungung gudèl,
(9a) kacentok kayu kesambi,
s)
(9b) kacanièl rik kesambi,
(ge) madu malang madu tekong,
(10) gelèndèr ketungung gudèl,
(11) ora kesasar, ra kesambi,
(12) dak tungung tuma gudèl,
(I3a) mendèr, mendèr, angambung sunguné
gudèl,

26Majalah Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1922, no 42, 08-01-1922, Drukkerij
Volkslectuur, Weltevreden hlmn 149

35
(I3b) kecèntèl kayu kesambi,
(I3e) kacantol ri kesambi,
(14) adja mambu susu gudèl,
(36b) mambu ketungung munging,
(39a) iwak kutuk saduluré génggong,
(39b) katé - katé wana,
pak empong orong - orong,
(2) mambu ketungung gugèl,
(3, Sb, 16, 17, 27, 29) pak empong léraléré.
(Slot van T 3).
(sa) pedota léra -Iéré,
(9a) lanang wédok randedesi,
(9b) ditungung tuma gudèl,
(ge) aja lara -Iara mas inten,
(10) ceniung lembajung,
(rr) kesambiné kèh semuté,
(12) cek - cek bé, sapa duwé,
(I3a) ceg embé, sapa mbagé.
(I3b) sambaté rengga - renggi,
(I3e) tangisé rengga - Ienggi,
(36a) pak empong lira - liru,
(36b) empak empong lira - liru,
(39a) génggong, agimu jaken mulih,
(39b) bayem dora ginawé sana,
pak empong orang - orang,
(Slot van T 2).
(sa) iung - iung kaliniung,
(5 b) sapa keri ngelikaké,
(9a) bok mas Empjung,
(9b) cek gembé sapa bagé.
(ge) wo hé grembijang,
(10) sabèdji bégung,
(I I) ora ota, ora oté,
(12) cek-cek bo, sap a gawa.
Slot van T 12).
(I3a) cek embé sapa mbagé.
(Slot van T I3a).
(13b) sambaté rengga-renggi.
(Slot van T I3b) .
(I3e) tangisé rengga- renggi.
(Slot van T I3e).
(14) alla embeb ator-ator,
(16) sapa ngguyu ndelikaké,
(17, 27, 29) pak empong (Iéra-) léré.
(Slot van T 17, 27, 29)·
(36a) pak empong lira-liru.
(Slot van T 36a).

36
(36b) mlebu-metu ingaranan lira-liru,
(39a) bok mu adang ketan,
(39b) uter - uter sana, brenggala,
6) sir gusir plak,
(sa) asekota katé wana,
(sb) sir pong, gelé gosong,
(9a) anakem djaluk kalung,
(9b) cek gembé .apa gawa.
(Slot van T 9b).
(9c) si grombyang baku I cuter- uter
pjal:,
(10) pitik tolak saba wana,
(II) tak bagé sapa jenengé.
(Slot van TIl).
(14) alla embeb ator-ator. (Slot van T 14).
(16) sir, ku, sir, pong, delé gosong,
(26) sir, sir, plak,
(36b) ing suwoeng kang mengku ana,
(39a) adang ketan go pupuran,
(39b) mari kemantènan,
7) gelé kaplak,
(sa) bajem radja sura,
(5 b) sir pang, gelé gosong,
(9a) adja cekak adja langung,
(9C) cegembé sap a bagé,
(10) hehem 10k. windana,
(16) sir, ku, sir, plak, gelé kaplak.
(Slot van T 16).
(36b) mungguh sadjroning ngaurip.
(Slot van T 36b).
(39a) adang sega gawé maca,
(39b) aduh biyung carang gantung,
8) ora énak. (Slot van T I, 26).
(sa) bayem radja sura,
(Sb) sapa guju ngelikaké.
(Slot van T 5 b).
(9') sadenga lara tanggung,
(9c) cegembé sapa gawa. (Slot van T 9c).
(Ia) sengok -sengok sapa nggawa.
(Slot van T 10).
(39a) adang pul i gawé laki,
(39b) song, song, klé, sira bagé.
(Slot van T 39b).
dan volgt nog:
9) (sa) sanakira ipé katemu kéné,
( 9a) ser telDe mantu,
(39a) adang karag gawé berkat,

37
10) (sa) ris pong djangan lornpong,
( 9a) ser papat madat,
(39a) gèk, begèk sinten sing bekta,
lI) (sa) ris pé djangan t érnpé.
(Slot van 5 a).
( 9a) ser lima gawa,
(39a) gèk, begèk, sinten sing bekta.
(Slot van T 39a).
T 9a geeft verder nog de volgende regels,
misschien als herhaling:
12) Cubleg - Cubleg Suweng,
13) Suwengé bok gelèntèr,
14) gelèntèr tinungung gugèl,
IS) cek gernbé sapa duwé.
En verder, als degeen, die 'm is, al is opgestaan
(en uitgesliept wordt?):
16) t jek gernbé sapa bagé,
17) cek gernba sapa gawa.
Baris-baris, yang dinyanyikan ketika siapa dia sudah bangkit, diulang-
ulang, mungkin sampai dia menyebut nama?
Terjemahan:
I) Nama permainan. (Cublak = penusuk, untuk melubangi sesuatu,
atau untuk menancapkan sesuatu. Suweng = anting kuping,
seperti yang dipakai oleh wanita Jawa),
2) Kancing telinga ada di suatu tempat (tanpa disimpan dengan
benar),
3) Baunya tergeser (dipacu) oleh anak kerbau(?),
4) Ayah (dari?) Empong (nama asli) (adalah?) Jangkrik (lira - liru
dalam teks lain = berpindah tempat berulang kali? Ura - léré =
menyelinap I),
5) Ulangi baris 4,
6) Sir Gosir ( = gerakan jari-jari saat tidur I). Tempel (= penjualan
kaplak, lihat baris berikutnya),
7) lentil kerucut berongga tua,
8) Tidak enak. (Berbeda dari aturan varian
juga muncul di lagu "Kentung", lihat di bawah). 27

Saat ini lebih banyak dimainkan oleh anak anak terutama yang berada
di wilayah pedesaan, serta anak-anak yang diajar dengan kurikulum
Sariswara. Buku Sari Swara diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1930
merupakan karya besar Ki Hadjar Dewantara berupa terciptanya notasi
nyanyian Daerah Jawa. 28 Salah satu tokoh yang aktif dalam Sariswara saat ini
yang masih menggunakan permainan Cublak Cublak Suweng dalam

27 H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta hln 111-114
28
Buku peringatan Tamansiswa 60 tahun, 1922-1982. (1982). Percetakan Tamansiswa

38
kurikulum yaitu Listyo H.K. Sariswara memang menempatkan beberapa
permainan tradisional dan musik tradisional untuk mengembangkan
kepribadian anak. Ki Hajar Dewantara memiliki pemikiran bahwa bahasa
sastra dalam lirik dan cerita menjadi bagian penting dalam transformasi
pengetahuan dan sikap. Lagu/tembang merupakan media agar yang terdidik
perasaannya bukan intelektualnya (Teori Anthroposophie). Namun
demikian, Permainan tradisional dan lagu/lirik/ucapan yang terdapat di
dalamnya menjadi pendidikan baik perasaan dan intelektualitas. Saat ini
Listyo H.K. (lebih dikenal dengan Cak Lis) mengembangkan Laboratorium
Sariswara. Laboratorium tersebut berhasil membuat karya kreatif
pembelajaran kurikulum Sariswara Karya berupa Buku dan Aplikasi
Android. Karya tersebut memuat Tembang Dolanan Anak khas Tamansiswa
(salah satunya Cublak Cublak Suweng) dengan Aplikasi memakai basis
Teknologi Immersif yaitu teknologi Augmented Reality (AR). Teknologi
tersebut dipilih karena mampu berkolaborasi dengan Metode Sariswara
untuk menjawab kemajuan zaman saat ini serta tantangan di masa pandemi.

Buku yang ditulis juga berisi petunjuk teknis tata cara memainkan
tembang dolanan anak khas Tamansiswa. Kolaborasi antara aplikasi
teknologi AR dengan buku tersebut menghasilkan aplikasi yang interaktif
diberi nama : ARTDA versi 1.0 (Augmented Reality Tembang Dolanan
Anak). 29

H. Tantangan Pelestarian dan solusi

Permainan tradisional saat ini banyak ditinggalkan oleh anak anak karena
beberapa hal. Salah satunya yaitu ketergantungan anak terhadap gawai. Hal
tersebut menjadi salah satu hal yang tidak dapat dihindari saat ini. Meski
demikian, beberapa cara yang dilakukan agar anak-anak bisa terus
memainkan permainan tersebut. Salah satunya dengan memasukkan
kurikulum permainan anak anak dalam proses belajar mengajar bagi taman
anak-anak dan sekolah dasar. Permasalahan lainnya yaitu adanya wabah
Covid 19 menyebabkan pembatasan interaksi secara fisik. Anak anak tidak
dapat bermain secara bebas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pengembangan permainan tradisional seperti halnya cublak cublak suweng.
Oleh karena itu, perlu dibutuhkan bentuk permainan virtual agar
masyarakat khususnya generasi muda tetap bisa mengenali ragam
permainan tradisional yang terdapat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Agus Sigit. 2020. ‘Augmented Reality Tembang Dolanan Anak’ Inovasi Pendidikan Karakter
29

Masa Pandemi. Dalam https://www.krjogja.com/

39
Makna dan arti permainan dalam syair ataupun gerak permainan
alangkah baiknya jika bisa ditranformasikan ke dalam bentuk cerita atau
narasi yang mudah dipahami oleh anak anak, sehingga nilai nilai yang ada
dalampermainan trdadisional tersebut bisa terinternalisasi dan menjadikan
pengalaman bagi mereka dalam menghadapi kehidupan kelak di masa yang
akan datang. Salah satu strategi yang perlu dilakukan yaitu pengembangan
ensiklopedi digital permainan tradisional lengkap dengan cara bermain.

Salah satu usaha untuk meningkatkan atensi, kesadaran akan nilai


permainan tradisional pada anak-anak sebenarnya juga dilakukan melalui
festival permainan tradisional/ dolanan anak. Festival dolanan anak tersebut
sering diselenggarakan oleh beberapa organisasi pendidikan salah satunya
Tamansiswa, salah satunya pada acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-87
(2009). 30 Dinas Kebudayaan provinsi DIY dan tiap kabupaten di DIY juga
menyelenggarakan Festival dolanan anak, namun tidak setiap tahun
berkelanjutan. Strategi efektif untuk memotivasi anak anak agar lebih
mencintai permainan anak anak yaitu dengan mengadakan kompetisi
permainan tradisional.

30
2009. Festival Dolanan Anak Kota Yogyakarta ; ’Jamuran’ Tak Kalah dengan ’PS’, dalam
https://www.jogjainfo.net/

40
BAB III

PERMAINAN TRADISIONAL GOBAK SODOR

A. Asal usul

Gobag sodor merupakan permainan ketangkasan yang biasa dimainkan oleh


anak anak remaja mengisi waktu luang. Kata Gobag berarti bergerak dengan
bebas, seperti halnya dalam konteks kata "nggobag” berarti berjalan
memutar. Sodor merupakan sebutan untuk tombak kayu atau besi yang
panjangnya 2 meter. 31 Tombak kayu yang disebut "Sodor" di Yogyakarta
berujung tumpul dan dilengkapi bulu-bulu unggas berwarna indah di bagian
ujung. Senjata tersebut digunakan oleh sejenis pasukan kavaleri untuk
latihan. Ujung tombak tersebut hampir sama dengan yang digunakan oleh
ksatria Eropa pada saat melakukan Mordhau (permainan adu tombak sambil
naik kuda di Eropa termasuk Belanda). Sodor juga berarti garis tengah yang
memanjang. 32 Penjelasan tersebut menguatkan memori kolektif masyarakat
yang menjelaskan bahwa Gobag sodor pertama muncul di sekitar
lingkungan Keraton. Anak laki-laki yang berada di sekitar alun alun
beranggapan bahwa bahwa menjadi prajurit Istana yang gagah merupakan
impian cita-cita mereka. Oleh karena itu timbul rasa penasaran untuk
mencoba berlatih layaknya pasukan yang sedang berlatih. Para pasukan
keraton kemudian melatih mereka kejar tangkap tanpa menggunakan
senjata, untuk menguatkan otot-otot mereka serta melatih strategi. 33

Berdasarkan koleksi manuskrip dan buku-buku Pigeaud terkait cerita


rakyat Jawa dan permainan anak-anak, dijelaskan bahwa "Gobag sodor"
memang berasal dari Kraton Yogjakarta. Gobag Sodor kemudian
didokumentasikan oleh R. Soekardi alias Prawira Winarsa (Guru di Imagiri)
tahun 1912 dalam buku tentang kumpulan permainan Anak Jawa yang
dipublikasikan melalui Mediasi Komisi Volkslectuur No. 25. 34 Gobag Sodor
merupakan permainan yang bersifat maskulin. Keraton Kasultanan
Yogyakarta lebih cenderung memiliki warisan karya budaya yang bersifat
maskulin. Hal ini sebagai pengaruh dari perjanjian Jatisari yang dilakukan
oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I) dengan Susuhunan PB III,
2 hari setelah perjanjian Giyanti dilakukan. Meskipun demikian, warisan

31 H. A. Holtzappel, W. R. Geddes.1953. The Galah Game of Indonesia. A study in diffusion. THE JOURNAL OF
THE POLYNESIAN SOCIETY. Vol 62 issue 2, pp 1-12
32 Anonim. 1910. School en leven weekblad voor opvoeding en onderwijs in school en huisgezin. Wolters,

Groningen. Hlmn 539-540


33
Wawancara GPH Pujaningrat, 4 Juni 2020
34
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004 hlmn

41
budaya feminim juga masih bisa dijumpai tetapi tidak mendominasi. 35 Gobag
Sodor awalnya merupakan permainan yang dimainkan oleh masyarakat
kelas menengah dan menjadi salah satu warisan budaya berupa permainan
tradisional yang berkembang di lingkungan sekitar keraton yang kemudian
juga banyak dimainkan oleh beberapa kerabat dan keturunan Raja.

Gobag Sodor tercipta untuk menggembleng fisik anak anak dan


sekaligus meningkatkan mentalitas agar mereka menjadi kuat, pemberani,
cermat, memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi. Pada perkembangannya
permainan Gobag Sodor juga dimainkan oleh perempuan. Gabungan kata
Gobag Sodor berarti permainan dimana pemain bergerak melewati penjanga,
dengan pemimpin penjaga berada di garis tengah. Memilih tempat Seperti
yang ditunjukkan oleh garis pada bidang tanah yang datar. Anak laki-laki
yang lebih kecil, yang menganggap permainan tersebut agak terlalu rumit. 36

Gobak Sodor sejatinya telah diulas secara ilmiah dalam Majalah


Djawa, yang diterbitkan oleh Java Instituut, tahun 1934, volume 14, edisi 4.
Saat ini gobag sodor telah dimainkan oleh generasi ke 7. Gobag sodor
dimainkan oleh anak anak usia 9 tahun hingga orang orang dewasa usia 20an
tahun. Permainan tersebut pada perkembangannya dimainkan juga oleh
perempuan, namun dengan gerak terbatas. Anak anak dari dalam lingkungan
keraton Yogyakarta dan di luar tembok keraton Yogyakarta banyak
memainkan permainan ini untuk mengisi waktu sore mereka. Keseharian
anak-anak para elit keraton Yogyakarta selain dituntut belajar, mereka juga
sering bermain di sekitar lingkungan Keraton. Herjuno Darpito dan adiknya
(kerabat HB X) tinggal di Keraton Kulon, sering bermain Gobag Sodor. 37
Gobag Sodor juga diajarkan dalam kurikulum Sariswara (sebagai bagian dari
Taman Siswa). 38

35 Wawancara KPH Pujaningrat maret 2020 di Keraton Yogyakarta.


36 Anonim. 1910. School en leven weekblad voor opvoeding en onderwijs in school en huisgezin. Wolters,
Groningen. Hlmn 539-540
37 A. Ariobimo Nusantara. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X meneguhkan tahta untuk rakyat. Jakarta:

Gramedia
38 Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5 (1), 2018, 19-

32

42
Gobag Sodor yang dimainkan oleh wanita. Sumber: repro sketsa gambar H.
Overbeek

B. Konteks keberadaan permainan, fungsi sosial budaya ekonomi bagi


kehidupan masyarakat DIY dulu dan kini

Permainan gobak sodor, trebung, raton, geritan, obrog, panahan,


jamuran, dll mendidik anak untuk memiliki tubuh yang kuat serta sehat,
kecekatan, berani, cermat, fokus dan memiliki penglihatan yang tajam.
Permainan tersebut menjadi bagian dari kurikulum Sariswara yang
diselenggarakan oleh Taman Siswa. 39 Hal yang membedakan permainan
gobak sodor antara wilayah daerah Istimewa Yogyakarta dengan wilayah
lainnya yaitu kata-kata yang diucapkan oleh para pemain terutama untuk
mengecoh pemain yang mendapat giliran untuk berjaga. Di Yogyakarta,
pemain penyerang mengecoh dengan kalimat

Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.


Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku dengan
sodor; Yang menusuk dengan sodor tuli dan bisu

Di wilayah Yogyakarta dan Jawa tengah, terdapat sebutan yang sama untuk
permainan ini. Penjaga yang berdiri di garis tengah juga memiliki sebutan
yang sama yaitu sodor. Para pelari yang berhasil meloloskan diri dari
penjaga selalu meneriakkan Iwak (ikan) yang ditujukan untuk
memberitahukan kelompoknya bahwa pelari tersebut telah lolos dari
penjagaan, sehingga menandakan kemenangan bagi pihaknya. Selain itu,
kode lainnya yaitu teriakan kata Mentas yang berarti "Selesaikan!". Jumlah
pemain bervariasi biasanya antara enam hingga sepuluh pemain. Jika pemain
berjumlah 6 orang, maka formasi pemainnya yaitu tiga pemain sebagai tim
penyerang dan 3 orang sebagai tim yang bertahan. Tim yang menyerang
harus masuk dalam satu kotak di antara dua garis silang dan garis tengah.

39Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5 (1), 2018, 19-
32

43
Terdapat penjaga di setiap baris yang bersiap menangkap atau menyentuh
pemain lawan. Terkadang sulit bagi lawan untuk mengalihkan perhatian
agar dapat melarikan diri. Jika tim penyerang beranggapan bahwa situasinya
dianggap tidak memiliki harapan untuk lolos dari penjagaan, pemain dari tim
penyerang kemudian menyerah, dan tim berganti. Permainan Gobag Sodor
juga menyebar hingga wilayah Periangan dan sekitarnya, seperti yang
dijumpai di wilayah Cirebon, Majalengka, dan wilayah lainnya. Hal ini
tercatata dalam memoar kunjungan Dr. Holtzappel. Mereka menyebut
permainan tersebut dengan sebutan Gobag Galah. Sebagian wilayah juga
masih menyebut dengan Gobag Sodor. Tidak ada perubahan peraturan dalam
permainan tersebut, hanya penggunaan bahasa saja yang berubah
disesuaikan dengan lingkungan budaya di wilayah tersebut . Anak laki-laki
desa-desa di Preanger yang dikunjungi oleh Dr. Holtzappel banyak
memainkan permainan tersebut. 40

C. Cara bermain

Permainan tradisional Gobak dimainkan oleh dua kelompok yaitu kelompok


penyerang dan kelompok bertahan. Setiap kelompok tersebut berisi minimal
3 pemain. Kelompok bertahan (defensif) harus memblokir pemain penyerang
(ofensif), yang akan berlari melintasi baris pertahanan mereka dengan
bergerak ke kiri dan kanan atau maju mundur. Di sisi lain, kelompok
penyerang harus berusaha berlari melintasi garis yang dijaga oleh pemain
bertahan. Jika pemain yang berjaga (bertahan) berhasil menyentuh pemain
penyerang (berlari), maka pemain penyerang tersebut harus keluar dari
permainan. Permainan akan berakhir dan masing masing kelompok akan
bertukar posisi setelah semua atau sebagian besar pemain penyerang
berhasil melewati pemain bertahan. Permainan bisa dibatasi dengan waktu,
dan skor didasarkan pada jumlah total anggota kelompok yang berhasil
melewati batas. 41

Deskripsi permainan gobag sodor pada masa kolonial tidak begitu


jelas atau tidak lengkap. Berdasarkan penuturan, salah satunya oleh
pemerhati permainan anak anak tahun 1930an dari R. Kismana di
Yogyakarta. R. Kismana juga pelaku yang melestarikan permainan tersebut
hingga tahun 1930an. Permainan gobag sodor dimainkan oleh anak laki-laki
maupun perempuan. Jumlah pemain harus genap; minimal 4, maksimal 12
pemain.

40 H. A. Holtzappel and W. R. Geddes. 1953. THE GALAH GAME OF INDONESIA: A Study in Diffusion. The
Journal of the Polynesian Society, Vol. 62, No. 1 (March, 1953), pp. 1-12
41 Fan Hong, Lu Zhouxiang. 2020. The Routledge Handbook of Sport in Asia. London: Routledge

44
Seperti yang telah dijelaskan, garis melintang panjang di tengah-
tengah lapangan disebut "sodor". Semua garis ini ditempati oleh para pemain
dan lawan harus mencoba melewati semua garis tersebut tanpa tertangkap
atau terpegang lawan. Selain itu, mereka juga harus kembali ke posisi semula
dengan melewati penjaga (bolak-balik). Jika semua pemain bolak-balik tanpa
tertangkap, mereka sudah memenangkan 1 poin. Hal ini berlanjut sampai
salah satu diraih, lalu kelompok pemain berganti posisi. 42

Pemain dibedakan ke dalam 2 regu, yaitu penjaga garis dan pelintas.


"Gobag" merupakan nama permainan anak-anak yang terdiri dari kotak
persegi memanjang dengan garis melintang, di mana salah satu pemain
berjaga untuk mencegah penetrasi pihak lawan. istilah dalam permainan
Gobag, yang diserukan oleh salah satu pemain yang menjaga semua lingkaran
oleh tim lawan "Manis", dalam beberapa daerah di Yogyakarta disebut
"masin". Pemain terakhir harus melintas tanpa disentuh, sebagai tanda
bahwa dia telah menang .

Sebuah kotak besar memanjang digambar di atas tanah, dibagi menjadi dua
dengan garis tengah memanjang. Kedua bagian dibagi menjadi kotak dengan
ukuran yang sama dengan jumlah garis melintang sebanyak setengah dari
jumlah pemain. Keika tahun 1930an, ruang publik Yogyakarta memang masih
luas. Oleh karena itu ukuran area kotak besar gobag sodor untuk sepuluh
pemain biasanya memiliki lebar 4 m dan panjang 20 m. Pada setiap
kompartemen memiliki lebar 2 m dan panjang sekitar 6 m. Adapun contoh
konfigurasinya sebagai berikut.

• 6 pemain - 3 garis melintang - 4 kotak


• 8 pemain 4 garis melintang - 6 kotak
• 10 pemain 5 garis melintang - 8 kotak

Berikut adalah contoh konfigurasi 8 pemain dengan 4 garis melintng dan


berisi 6 kotak.

42Ben Anthonio. Indische kinderspelletjes, dalam http://www.indischhistorisch.nl/wp-


content/uploads/2013/05/Anthonio_kinderspelletjes.pdf diakses tanggal 30 juli 2021

45
Delapan pemain tersebut dibagi ke dalam dua kelompok:

1. Kelompok bertahan, dengan pemain a, b, c, d,


2. Kelompok penyerang (pelintas), pemain f, g, h, i.

Ketika para pemain dibagi menjadi dua kelompok (regu), ditentukan


dengan cara "asat agung" untuk menentukan posisi apakah menjadi
penyerang atau pelintas. Untuk menentukan pemain dari pihak lain harus
menebak apakah itu menjadi "asat" atau " agung " dilakukan dengan
melempar pecahan batu, genting atau tembikar di udara. Disebut "asat"
(surut) apabila pecahan tembikar yang jatuh ke tanah dengan sisi yang
kering menghadap ke atas, sedangkan "agung" (banjir) apabila tembikar
jatuh dengan bagian yang mengkilap (basah) menghadap ke atas. Kelompok
yang kalah menjadi penyerang.

Sebelum permainan dimulai pemain harus sepakat apakah


menggunakan cara "jawilan" (disentuh) atau "ceg-cëgan"
(dipegang/ditangkap) . Setelah disepakati, pemain dari kedua pihak
43

kemudian berada dalam posisinya masing masing. Tujuannya adalah agar


pemain kelompok pelintas/ penyerang berlari melewati rangkaian kotak
besar, kemudian kembali lagi, dan pemain kelompok bertahan atau penjaga
mencegah atau memblokir langkahnya. Permainan biasanya dimulai dari
sebelah kanan lapangan (area) ke sebelah kiri kemudian kembali lagi di
babak kedua. Susunan kelompok bertahan/ penjaga antara lain a bergerak di
garis AB dan juga JI, pemain a dianggap sebagai pemimpin kelompok defensif
dan disebut "sodor", garis tengah JI juga disebut "sodor". Pemain b bergerak
di baris CD, dia mempertahankan wilayah di baris kedua. Pemain c bergerak
43
Biasanya anak anak sekarang lebih menyukai cara "jawilan" (disentuh) daripada "ceg-cëgan"
(dipegang/ditangkap), karena menangkap/ memegang lebih sulit bagi kelompok
bertahan/penjaga

46
di baris EF,dan pemain d bergerak di baris GH. Masing masing pemain
defensif tersebut hanya diperbolehkan melangkah di jalurnya sendiri. Tidak
satu pun dari pemain tersebut diperbolehkan untuk meninggalkan garis
(melangkahkan kaki ke luar batas).

Para pemain penyerang / pelintas berdiri satu sama lain dalam


barisan di titik awal (depan garis kotak sebelah kanan) dengan jarak aman
(tidak tersentuh/ terjangkau pemain yang berjaga. Mereka kemudian
mencoba memasuki kotak. Tidak ada aturan baku yang mengatur siapa yang
harus maju lebih dahulu. Mereka harus berhasil melewati garis AB. Biasanya
penyerang lainnya mencoba mengalihkan perhatian dengan menggoda
penjaga garis dan berkata:

Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.


Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku dengan
sodor; Yang menusuk dengan sodor tuli dan bisu

Ungkapan tersebut dilontarkan ketika pemain pelintas berdiri di dekat garis


AB, seolah ingin masuk ke dalam kotak.

47
Sumber: Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004 hlmn

Aturan yang berlaku bagi kelompok penyerang (ofensif) yaitu setelah


mereka memasuki wilayah kotak utama yang ada di dekat sodor, mereka
tidak diperbolehkan kembali. Mereka tetap berada di tengah salah satu
kotak, agar tidak bisa tersentuh pemain lawan. Pemain tersebut harus
menunggu kesempatan yang bagus untuk maju ke kotak selanjutnya.

Rute, dan jalur yang harus ditempuh pemain penyerang tidak


ditentukan. Penyerang dapat memulai kapan saja mereka mau, sehingga
dapat memilih untuk masuk dari kotak sebelah kiri atau kotak sebelah kanan
dari pemain penyerang saat melintasi garis AB. Penyerang tidak
diperkenankan untuk berpindah kotak secara diagonal, dan hanya
diperbolehkan berpindah dari satu kotak ke kotak di sebelahnya. Oleh karena
itu, pemain pelintas atau penyerang yang masuk melalui kotak 1 dapat
berpindah ke kotak 4, dan apabila masuk dari kotak 2, dapat berpindah ke
kotak3. Pemain yang masuk dari kotak 2 tidak diperkenankan melintas ke
kotak 3. Pemain yang melintas dari kotak 1, bisa ke kotak 2, pemain yang
melintas dari kotak 3 bisa melintas ke kotak 4 atau 6, tetapi tidak
diperkenankan ke kotak 5, dll. Larangan melintas secara diagonal disebabkan
pelintas memiliki peluang lebih besar menang, sehingga tidak diperbolehkan.
Langkah pemain penyerang antara satu dan lainnya berbeda dan tergantung
pada probabilitas atau peluang. Pemain boleh melewati 1, 4, 5, tetapi juga
boleh melewati 1, 2, 3, 4, 5, 6. Pemain dinyatakan kalah apabila melewati
batas garis luar area permainan Gobag Sodor (kecuali garis di akhir sebagai
jalur lintasan. Seluruh anggota pemain penyerang/ pelintas dengan pihak
bertahan harus bergerak sesuai aturan main.

Jika seorang pemain penyerang/ pelintas telah berhasil melewati


seluruh area utama (keluar melewati garis GH), dia harus kembali lagi
melintas hingga melewati AB. Rute yang diambil bebas, namun tidak boleh
diagonal (seperti aturan yang telah dijelaskan). Jika pemain pelintas/
penyerang telah melewati garis GH dan akan kembali, biasanya pemain
bertahan/ penjaga yang melihat akan berteriak “Maling, Maling!” (pencuri,
pencuri). Hal tersebut ditujukan untuk memperingatkan sesama pemain
bahwa mereka juga harus memperhatikan pelintas/ penyerang yang kembali
dari bagian belakang.

Seringkali pemain penyerang melakukan strategi menyusup dari dua


sisi, hal ini menyulitkan para pemain bertahan/ penjaga dan membuat
mereka harus menjadi lebih waspada. Jika aturan permainan adalah dengan
dijawil/ disentuh, apabila salah satu pemain penyerang/ pelintas disentuh
oleh salah satu pemain bertahan/ penjaga, makan pemain penjaga berteriak

48
“këjawil”, dan permainan, permainan dihentikan sementara, dan pemain
penyerang harus bertukar posisi menjadi pemain penjaga. jika aturan
permainan menggunakan "cëg-cëgan", salah satu pemain dari pelintas/
penyerang harus ditangkap dan ditahan oleh salah satu pemain dari
kelompok bertahan/ penjaga. Pemain penjaga yang berhasil menangkap
pemain pelintas biasanya berteriak "këcandak" (tertangkap), permainan
berhenti, dan kedua belah pihak berpindah posisi.

Jika salah satu pemain kelompok penyerang berhasil melintasi area


utama gobag Sodor dan kembali dengan selamat (tanpa tersentuh atau
tertangkap) melewati garis AB. Setelah berhasil melewati garis AB pemain
tersebut berteriak: "Butul!" atau " Masin” sebagai tanda bahwa kelompok
pelintas/ penyerang berhasil memenangkan pertandingan. Hal ini
menandakan permainan babak pertama berakhir. Para pemain kemudian
berkumpul di sebelah kanan area Gobag Sodor, dan setiap pemain dari
kelompok penjaga harus menjadi "ilon" dengan menggendong pemain
kelompok penyerang/ pelintas dari garis AB ke garis GH dan kembali ke garis
AB. Setelah itu, permainan dimulai lagi, dengan bertukar peran (penyerang
menjadi penjaga dan sebaliknya).

Para pemain dari masing-masing kelompok dapat bergantian posisi


selama permainan. Pemain yang ingin berganti posisi dengan anggota
kelompoknya yang lain berteriak: "Nas!", kemudian diikuti dengan nama
pemain yang ingin diajak bertukar posisi, kemudian berteriak lagi "Alih
lintang". "Nas" merupakan singkatan dari kata "banas", artinya
memberitahukan kepada seluruh pemain bahwa akan ada pertukaran
pemain dan permainan dihentikan sementara. Setiap pemain tetap pada
tempatnya. Alih lintang berasal dari kata "Alih" yang artinya pindah,
sedangkan "lintang" memang serupa dengan kata lintang yang berarti
bintang. Namun demikian dalam permainan Gobag Sodor, kata lintang
merujuk pemain lain atau liya, alih lintang berarti pindah posisi. Pertukaran
pemain dilakukan karena alasan strategis. Pemerhati permainan tradisional
di Yogyakarta tahun 1930an (R. Kismani)menjelaskan bahwa alih lintang
boleh dilakukan jika pemain merasa kemampuannya tidak seimbang dngan
lawan, antara lain memiliki fisik yang lebih tingi, langkah lari lebih panjang,
dll. Pergantian posisi ini sering dilakukan untuk strategi kepentingan
permainan.

49
Foto repro permainan Gobag Sodor yang dimainkan anak-anak Sekolah
Dasar, Dokumentasi Dinas Kebudayaan DIY tahun 1997

Biasanya terdapat hukuman bagi pemain yang kalah yaitu pemain yang kalah
harus menggendong pihak yang menang di punggungnya. Para pemain harus
memperhitungkan kekuatan yang seimbang ke dalam dua kelompok apabila
menerima hukuman. Misalnya, a kira-kira memiliki ukuran tubuh dan
kekuatannya sama dengan f, maka a akan meminta f dengan berkata: “Kowé
dadi ilonku, ya? "(Kamu jadi pasangan penggendong saya ya?). Mereka juga
mencoba untuk menggendong satu sama lain di punggung mereka. Siapa pun
yang menang, memilih berhak memilih sisi yang dia inginkan.

Persebaran di wilayah DI Yogyakarta dan Pelaku Budaya yang


Melestarikan

Dr. J Ph. Duyvendak juga menjelaskan dalam artikel berjudul "Het Kakean-
Genootschap van Seran" yang dikutip Overbeek, bahwa permainan Gobag
Sodor mirip dengan permainan yang berasal dari Eropa yang disebut "Entai"
yang berarti menginjak “garis tangga”. Permainan tersebut dilakukan dengan
menggambar garis menggunakan kayu di sebidang tanah. 44 Meski demikian,
tidak ada penjelasan spesifik keterkaitan permainan tersebut dengan
keberadaan Gobag Sodor. Hampir sama dengan permainan Cublak Cublak
Suweng, permainan Gobag Sodor tersebar hingga ke seluruh wilayah
Yogyakarta, bahkan hingga ke luar wilayah Yogyakarta. Permainan Gobag
Sodor banyak diminati oleh anak anak di beberapa wilayah dan memiliki
nama lain di beberapa wilayah di Indonesia antara lain Galah Asin, Blak
Sodor, Galasin, Goblak Sodor, Kucing-kucingan, Sodoran, Nakaminak, Kali
Kadang, Main Galah, Adang-adangan, Dang-adangan, Selodoran, Selodor, Asin

44
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004

50
Naga, Basinan, Bahadangan, Baburungan, Galah Asor, Bermain Hadanag,
Calabur, Hadang Sodor 45 Aturan permainan memiliki kesamaan, hanya saja
di wilayah tersebut merupakan bentuk adaptasi dari menyebarnya
permainan tradisional. Masyarakat di wilayah lain menambahkan kata-kata
instruksi dalam permainan disesuaikan dengan bahasa lokal. Gobag Sodor
juga kemudian berkembang menjadi beberapa permainan yang lebih ringan,
seperti Gobag Gendul dan Gobag Bunder. 46

45 Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional: Prosedur dan Analisis Manfaat Psikologis. Hlmn 44
46
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004

51
Ilustrasi permainan Gobag Bunder dan Gobag Gendul. Sumber: . Overbeek.
1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004

Gobag Sodor hanya menggunakan instrumen berupa kayu/ sodor dan


atau genting untuk menggambar garis sodor. Dahulu, penggunaan Sodor
(tombak) ditujukan agar garis terlihat jelas dan tidak mudah terhapus saat
dilewati pemain yang berjaga. Selain itu Instrumen yang digunakan dan
Dimensi ukuran volume instrumen permainan termasuk lama permainan.
Pemain dihimbau menggunakan pakaian yang memudahkan untuk bergerak
agar terhindar dari cedera. Pemain Gobag Sodor wanita pada periode
sebelum tahun 1950an biasanya bermain dengan gerak langkah yang
terbatas karena mereka memakai Jarik (tapih).

Permainan Gobag Sodor banyak dilakukan oleh anak anak Sekolah


dasar di waktu istirahat sekolah. Pemandangan tersebut sering dijumpai
hingga periode tahun 1990an. Saat ini permainan tersebut masih terus
dipertahankan salah satunya dalam kurikulum Sariswara. Salah satu tokoh
yang aktif dalam Sariswara saat ini yang masih menggunakan permainan
Gobag Sodor dalam kurikulum yaitu Listyo H.K., atau lebih dikenal dengan
sebutan Cak Lis.

Makna dan Nilai yang Terdapat dalam Permainan Gobag Sodor

Gobag Sodor merupakan permainan yang hanya mengandalkan gerak, tanpa


adanya lirik lagu sebagai pengiring permainan. Hanya terdapat beberapa
ucapan dalam permainan tersebut. Oleh karena itu, permainan tersebut lebih
banyak memiliki makna yang tersirat daripada makna yang tersurat. Adapun
makna yang tersurat terdapat dalam ungkapan

Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.


Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku dengan
sodor; Yang menusuk dengan sodor tuli dan bisu

52
Ungkapan yang dilontarkan oleh pemain dari grup penyerang/ pelintas
tersebut memiliki makna untuk mengingatkan penjaga bahwa dalam
kehidupan, kta harus peduli terhadap lingkungan, saling menjaga, jangan
sampai lengah.

Jenis Nilai Konsep Terkait dengan Nilai


Pencapaian Sukses, mampu, ambisius, berpengaruh, cerdas,
harga diri
Kebajikan Penolong, jujur, pemaaf, setia, bertanggung
jawab, persahabatan sejati,
Kesesuaian patuh, disiplin diri
Kekuatan Kekuatan sosial, otoritas, kekayaan, menjaga citra
publik, pengakuan sosial
Keamanan Bersih, keamanan nasional, ketertiban sosial,
balas budi, sehat, rasa memiliki
Arahan Diri Kreativitas, kebebasan, memilih tujuan sendiri,
mandiri, kehidupan pribadi
Stimulasi Berani, hidup yang bervariasi, hidup yang
menyenangkan
Tradisi Taat, menerima bagian dalam hidup, rendah hati,
moderat, menghormati tradisi
Universalisme Melindungi lingkungan, keadilan sosial,
kebijaksanaan, kesetaraan, harmoni batin
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in
teaching ten universal values in Turkey. Eurasian Journal of Educational
Research, 62, 283-300, http://dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14

Nilai pencapaian yaitu konsep sukses, mampu dan cerdas, terutama terkait
strategi bermain agar lolos dari penjagaan. Sebaliknya, penjaga juga
menerapkan strategi agar pemain lawan tidak bisa lolos. Strategi tersebut
mengasah kemampuan berfikir taktis anak anak untuk menganalisis atas
permasalahan yang dihadapi dan mencari solusi secara tepat dan akurat.
Nilai yang lain yaitu kebajikan terutama kejujuran, berkaitan dengan
sportivitas dalam bermain gobag sodor. Selain itu persahabatan sejati, dalam
hal ini seluruh anggota kelompok harus bersatu dan saling menolong.
Kesesuaian terutama disiplin diri, menanamkan sikap kewaspadaan serta
terjaga dari kelengahan.

Nilai selanjutnya dalam permainan Gobag Sodor yaitu kekuatan


terutama kekuatan sosial. Dalam hal ini, kohesivitas sosial dan kekompakan
yang dibangun sebagai bagian dari simulasi untuk menghadapi kehidupan
sosial yang sesungguhnya. Selain itu nilai Keamanan dalam hal ini ketertiban
sosial. Para pemain harus mengikuti aturan dan tertib dalam melaksanakan
tugasnya sebagai penyerang maupun penjaga. Nilai selanjutnya yaitu arahan

53
diri khususnya dalam memilih tujuan sendiri. Pemain harus bisa memetakan
kemampuan dan menentukan apakah bisa berhasil atau tidak dalam
mengambil langkah. Pemain juga memetakan apakah lawan yang dihadapi
masih bisa ditandingi dengan kemampuan yang dimilikinya atau tidak. Nilai
Stimulasi, khususnya yaitu berani khususnya dalam menentukan sikap. Nilai
lainnya berupa universalisme, dalam hal ini melindungi lingkungan di
sekitarnya. Gobag Sodor menggunakan peralatan yang sederhana, sehingga
ramah lingkungan.

Manfaat bagi Tumbuh Kembang Anak

Beberapa kurikulum pendidikan merekomendasikan agar lebih banyak


perhatian diberikan pada pendidikan jasmani. Sekolah-sekolah di Yogyakarta
(khususnya sekolah Rakyat), pada tahun 1940-an banyak memasukkan
kurikulum olahraga dan juga permainan dalam kegiatan belajar mengajar.
Permainan yang masuk dalam kurikulum salah satunya yaitu Gobag Sodor.
Alokasi jam pelajaranyang digunakan berkisar antara 1-2 jam, untuk
memainkan permainan tersebut. Beberapa sekolah juga menggiatkan
kompetisi untuk mempopulerkan permainan tradisional tersebut bagi anak-
anak. Kompetisi tersebut melibatkan anak anak dari berbagai sekolah rakyat.
Kompetisi tersebut melibatkan 3 orang wasit untuk mengawasi permainan.
Seperti halnya wasit sepak bola, satu orang bertindak sebagai wasit utama,
dua orang lainnya menunjukkan kesalahan pemain dengan bendera.
Kompetisi yang diadakan berjenjang dari sekolah rakyat tingkat kecamatan
hingga tingkat kabupaten. Permainan Gobag Sodor dan berbagai permainan
tradisional lainnya merupakan sarana untuk menjaga generasi muda agar
selalu tetap fit dan siap/ sigap. 47 Selain itu, permainan tersebut seperti yang
telah dijelaskan juga memupuk rasa kesetiakawanan dan meningkatkan
kohesi sosial.

Salah satu kriteria yang digunakan dalam mengelompokkan


permainan ke dalam kategori analisis adalah apakah setiap permainan
mengarah pada pembelajaran atau kesadaran terkait dengan suatu nilai.
Kriteria lain adalah adanya konsep yang dikembangkan yang menekankan
pada nilai (pemenang dan pihak yang kalah, persaingan yang sehat,
hukuman, hiburan, saling bekerjasama,saling mendukung, dan kohesivitas
sosial). 48 Hal tersebut terdapat dalam permainan Gobag Sodor. Permainan
tersebut bisa membentuk karakter anak yang enerjik dan berfikir taktis dan

47Sport en spel. De Indische courant 20-01-1941


48Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in teaching ten universal values in
Turkey. Eurasian Journal of Educational Research, 62, 283-300, http://dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14

54
strategis. Anak yang bermain Gobag Sodor juga tumbuh menjadi orang yang
peduli dan waspada terhadap lingkungan sekitar.

Tantangan Pelestarian serta Solusi

Hampir sama dengan yang dialami oleh cublak-cublak suweng,


ketergantungan anak terhadap gawai juga manjadi ancaman terhadap
pelestarian permainan tradisional Gobag Sodor. Oleh karena itu, dibutuhkan
sosialisasi yang mampu meningkatkan kesadaran orang tua untuk aktif
mendorong anak agar mau berinteraksi dengan anak lainnya melalui
permainan tradisional. Bermain permainan tradisional dengan
pendampingan orang tua juga sangat baik bagi pertumbuhan kesehatan
mental anak.

Kendala lainnya yang menjadi kendala dalam pelestarian permainan


tradisional Gobag Sodor yaitu kondisi pandemi yang belum kunjung mereda.
Oleh karena itu, perlu adanya penyelenggaraan Festival dolanan anak yang
terpadu secara daring, dilengkapi dengan permainan interaktif yang
meningkatkan minat dan mengedukasi anak anak terhadap permainan
tradisional khususnya Gobag-Sodor.

Permasalahan lainnya yang dihadapi yaitu permainan seperti Gobag


Sodor membutuhkan tanah yang lapang untuk bermain, sementara itu,
ketersediaan ruang terbuka untuk publik terutama di wilayah kota
Yogyakarta sangat terbatas. Gobag Sodor tersebut lambat laun mulai
ditinggalkan karena berkurangnya ruang publik terutama di wilayah Kota
Yogyakarta. Data tahun 2017 menunjukkan bahwa Ruang Terbuka Hijau di
Kota Yogyakarta hanya tersisa sekitar 9,76%. Sementara itu, ruang terbuka
hijau yang bersifat privat 20,61%. 49 Penyediaan ruang terbuka publik ramah
anak juga menjadi salah satu hal krusial yang harus diperhatikan oleh
pemerintah.

49Nisrina Mei Dhaniar. 2017. Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Dengan Pendekatan Berbasis Objek
Di Kota Yogyakarta Tahun 2017. Skripsi, Program Studi Geografi Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta hlmn 15

55
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Permainan Cublak-Cublak Suweng memiliki asal-usul yang panjang,


liriknya merupakan manifestasi pemikiran cendekiawan kala itu, yaitu
Sunan Giri. Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sosial,
permainan tersebut kemudian mendapat sentuhan beberapa elit Mataram
Islam sehingga menjadi tradisi dan permainan yang banyak dimainkan oleh
anak anak hingga saat ini. Persebaran permainan tersebut hampir di seluruh
pulau Jawa, namun permainan Cublak Cublak Suweng yang terdapat di
Yogyakarta memiliki perbedaan terutama dalam hal lirik lagu yang
digunakan. Perbedaan lirik lagu tersebut sesuai dengan putaran permainan.
Pada perkembangannya, perbedaan lirik tersebut tidak lagi digunakan
karena kesulitan bagi anak anak untuk menghafalkan seluruh lirik lagu.

Permainan tradisonal Gobag Sodor merupakan permainan rakyat di


Yogyakarta, yang tercipta karena anak-anak menginginkan latihan fisik
meniru prajurit keraton. Permainan tersebut kemudian dimainkan juga oleh
anak-anak para bangsawan di lingkungan keraton. Gobag Sodor menjadi
permainan yang banyak diminati oleh masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya. Permainan tradisional cublak-cublak Suweng maupun gobak
sodor merupakan jenis permainan yang sederhana, tidak membutuhkan
media permainan yang kompleks. Namun demikian, permainan tersebut
mengajarkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Baik
Cublak Cublak suweng maupun Gobag Sodor mengajarkan nilai nilai yang
positif dan dapat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.

Permainan tradisional anak-anak baik yang menggunakan alat bantu


maupun tidak menggunakan alat bantu memiliki beragam manfaat
khususnya bagi tumbuh kembang anak. permainan anak-anak juga
mengajarkan beragam nilai, antara lain gotong royong, kerjasama, kegigihan,
sportivitas,dan nilai lainnya. Nilai nilai tersebut bermanfaat dalam tumbuh
kembang anak di masa depannya Para pendahulu, memiliki pemikiran
visioner terutama dalam mendidik serta mengembangkan karakter anak-
anak melalui permainan yang bersifat edukatif serta memadukan aspek
motorik psikomotorik dan afektif.

B. Saran

Perlu dukungan dengan menyediakan ruang dan fasilitas terhadap


pengembangan komunitas bermain anak-anak, yang memanfaatkan

56
permainan-permainan tradisional, sekaligus sebagai wadah pengembangan
kognitif psikomotorik serta karakter. Penyediaan ruang publik ramah anak,
terutama di wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya perlu dilakukan, agar
masyarakat khususnya anak –anak bisa belajar sekaligus berinteraksi
khususnya melalui permainan tradisional. Selain itu, perlu adanya pamong/
guru yang membimbing anak anak untukbelajar melalui permainan
tradisonal, salah satunya dengan memfasilitasi Sariswara untuk
mengembangkan tenaga pendidik dan kurikulum. Dengan demikian,
internalisasi nilai dan pengembangkan karakter melalui permainan
tradisional diharapkan bisa

Masuknya permainan tradisonal anak anak seperti Cublak Cublak


Suweng dan Gobag Sodor dalam kurikulum muatan lokal, maupun
pendidikan jasmani dan kesehatan (tentunya dengan sentuhan kearifan
lokal) menjadi prioritas untuk digiatkan kembali. Sudah seharusnya
stakeholder lintas disiplin/ bidang terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta
perlu berintegrasi dengan memasukkan kurikulum permainan tradisional
anak anak dalam kegiatan belajar mengajar, diawali dengan pengenalan
terhadap permainan dan praktik permainan.

Kendala lainnya yang dihadapi yaitu seringkali lirik lagu permainan


anak anak masih banyak yang tersimpan dalam buku beraksara Jawa. Oleh
karena itu, perlu inventarisasi dan kajian mendalam untuk membedah nilai
nilai yang terdapat dalam lirik lagu tersebut, sehingga bisa diaplikasikan oleh
guru/ pendidik sesuai dengan tujuan diciptakannya permainan tradisional
tersebut. Dengan demikian, pembelajaran permainan anak anak bisa sesuai
dengan tujuan diciptakannya permainan tersebut. Selain itu,internalisasi
nilai nilai yang terdapat dalam permainan tersebut bisa maksimal pada
anak- anak, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik
dengan menghargai tradisi dan peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.

57
DAFTAR PUSTAKA

“Kijahi Kanjoet Mesem” https://otto10.fr/

Allsop, Y. 2012. Exploring the Educational Value of Children's Game


Authoring Practises: A Primary School Case Study. Conference
Paper at University College London

Anonim. 2000. Refleksi seni rupa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Anonim. 1901. Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde edisi,


Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen

Anonim. 1910. School en Leven Weekblad Voor Opvoeding En Onderwijs In


School En Huisgezin. Wolters, Groningen.

Anthonio, B. Indische kinderspelletjes, dalam Indische spelletjes –


Indischhistorisch, www.indischhistorisch.nl. Diakses tanggal
29 februari 2021 pukul 21.30

Astuti, K. S. et.al. 2019. 21st Century Innovation in Music Education:


Proceedings of the 1st International Conference of the Music
Education Community (INTERCOME 2018), October 25-26,
2018, Yogyakarta, Indonesia. Routledge

Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in


teaching ten universal values in Turkey. Eurasian Journal of
Educational Research, 62, 283-300, http://dx.doi.org/
10.14689/ejer.2016.62.14

Denzin, Norman K. (Ed) Lincoln, Yvonna S. (Ed). 1994. Handbook of


qualitative research. Sage Publications, Inc.

Fanhas E., Khomaeny, F. dkk. Indonesian Parenting. Edu Publisher.

Fink, A. 2005. Conducting Research Literature Reviews: From the Internet to


Paper. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Sage

Firat, A. F., Dholakia, N. 2003. Consuming people: from political economy to


theaters of consumption. Routledge interpretive marketing
research series. London: Routledge.

Fitri, A. Z. 2020. Integrasi Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi


Keagamaan Islam. Tulungagung : IAIN Tulung Agung Press

58
Hamzuri, Siregar, T. R. 1998. Permainan Tradisional Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Kebudayaan

Hesse-Biber, S. J., & Leavy, P. L. (2010). The practice of qualitative


research (2nd ed.). SAGE Publications.

Holtzappel, H. A., Geddes, W. R..1953. The Galah Game of Indonesia. A study


in diffusion. The Journal Of The Polynesian Society. Vol 62 issue
2, pp 1-12

Hong, F., Zhouxiang, L. 2020. The Routledge Handbook of Sport in Asia.


London: Routledge

Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional Prosedur dan Analisis Manfaat


Psikologis. Hlmn 62-63

Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional: Prosedur dan Analisis Manfaat


Psikologis. UMMPress

Jackson, H. M., et.al. 1972. National Goals Symposium. U.S. Congress. Senate.
Interior and Insular Affairs

Jones, I., Brown, L., Holloway, I. 2012. Qualitative Research in Sport and
Physical Activity. London: SAGE

Khomaeny, E. F. dkk. Indonesian Parenting. Edu Publisher

Majalah Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1922, no


42, 08-01-1922, Drukkerij Volkslectuur, Weltevreden

Mancacaritadipura, G., dkk. 2009. Practical Handbook for Inventory of


Intangible Cultural Heritage of Indonesia. Jakarta
Kemenbudpar dan UNESCO

McPherson, G. G., Sugeng, B., et al( ed)). 2018. 21st Century Innovation in
Music Education Proceedings of the 1st International
Conference of the Music Education Community (INTERCOME
2018), October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia.GRC

Nur, M. 2019. Permainan Tempo Dulu : era 90'an.

Nusantara, A. A. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X meneguhkan tahta


untuk rakyat. Jakarta: Gramedia

Overbeck, H. 1933. Javaansche Meisjesspelen En Kinderliedjes. Yogyakarta:


Java Instituut

59
Overbeck, H. 1934. Gobag Sodor, dalam Majalah Djawa, Java Instituut
Yogyakarta tahun 1934, volume 014, edisi 4

Prabowo, D. P., V. Ratnawati, R., Suyami, Mumfangati, T. 2002 Geguritan


Tradisional Dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.

Pusat data dan Analisa Tempo. 2019. Menelisik Permainan Anak-Anak dari
Zaman Hindia. Jakarta: Tempo Publishing

Rusyad, D. (ed.). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai


Budaya pada Khazanah Folklor Indonesia. Abqarie Books

Salam, S. 1989. Nine Walis in the perspective of history. Kuning Mas

Sandholz, S. 2016. Urban Centres in Asia and Latin America: Heritage and
Identities in Changing Urban Landscapes. London: Springer

Sari, M. K., Sayuti, S. A., Pardjono. 2019. Strengthening the Social Character
based on Traditional Children Game Sari Swara at Taman
Muda Ibu Pawiyata Elementary School Yogyakarta. ICSTI
2019, September 20, Yogyakarta, Indonesia. DOI
10.4108/eai.20-9-2019.2292095

Sasi, G. A. dkk. 2011. Ngeteh di Patehan: Kisah di Beranda Belakang Keraton


Yogyakarta.Yogyakarta: Iboekoe

Satiyoko, Y. A., Prasetyo, A. 2013. Burung-burung kertas: antologi esai dan


cerpen pemenang lomba penulisan esai dan cerpen bagi remaja
tahun 2013. Yogyakarta: Balai Bahasa D.I. Yogyakarta

Selin, H. 2008. Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and


Medicine in Non-Western Cultures. Springer Science &
Business Media

Shalaev, V., Emelyanov, F., Shalaeva, S. 2020. Social Functions of Games in


Modern Society: Educational Perspectives. Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, volume 396 ,
2020

Sigit, A. 2020. ‘Augmented Reality Tembang Dolanan Anak’ Inovasi


Pendidikan Karakter Masa Pandemi. Dalam
https://www.krjogja.com/

Sport en spel. De Indische Courant 20 Januari 1941

60
Spradley.P. James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta:Tiara Wacana

Sulistyaningtyas, R. E., Fauziah, P. Y. 2018. The Implementation of Traditional


Games for Early Childhood Education. Advances in Social
Science, Education and Humanities Research, volume 326.

Suryani B. 2018. Ini Dia Permainan Tradisional Gerit-Gerit Lancung dan Goco
yang Harus Dilestarikan dalam
ogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/05/11/513/915548
/ini-dia-permainan-tradisional-gerit-gerit-lancung-dan-goco-
yang-harus-dilestarikan

Sutton, R. A. 1991. Traditions of Gamelan Music in Java Musical Pluralism and


Regional Identity. Cambridge University Press

Tedjasaputra, M. S.. 2001. Bermain, mainan dan permainan. Grasindo

Yin, R. K. 1987. Case Study Research Design and Method. New York : Sage.
Publication

Maya Kartika Sari, Suminto A. Sayuti, Pardjono. Strengthening the Social


Character based on Traditional Children Game Sari Swara at
Taman Muda Ibu Pawiyata Elementary School Yogyakarta.
ICSTI 2019, September 20, Yogyakarta, Indonesia, DOI
10.4108/eai.20-9-2019.2292095

Nisrina Mei Dhaniar. 2017. Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau


Dengan Pendekatan Berbasis Objek Di Kota Yogyakarta Tahun
2017. Skripsi, Program Studi Geografi Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta

61

Anda mungkin juga menyukai