Anda di halaman 1dari 202

Yanu Endar Prasetyo

Gantangan :

Potret
Pertukaran
Sosial
di Pedesaan

Kata Pengantar:
Hokky Situngkir (Presiden Bandung Fe Institute)
Arya Hadi Dharmawan (Sosiolog Pedesaan IPB)
Nandang Kusnandar (Budayawan Subang)
ii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Gantangan :
Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
© Yanu Endar Prasetyo 2017

Editor : Tita Irama, Ade Hasanudin


Sampul & Tata Letak : Indah Marty
Foto : Budiana Yusuf
Penerbit : Tigamaha – Subang
ISBN : 978-602-61131-0-8

Subang, Tiga Maha, 2017 xxiv + 174 hlm, 14 X 21 cm


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan iii

Untuk warga Subang.


iv Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“KODE-KODE” DALAM
DINAMIKA SOSIAL
GANTANGAN

D
ulu semasa kecil, di pelosok Tapanuli,
Hokky Situngkir
Sumatera Utara, hati sungguh
President Bandung senang menantikan ibu yang pulang
Fe Institute (BFI), dari kondangan. Bukan karena apa-apa,
Founder Sobat tapi karena menantikan lezatnya lampet1,
Budaya, Penulis
makanan tradisional Batak dari olahan
Buku “Fisika Batik”
beras dan gula merah dalam kemasan daun
dan “Kode-Kode
Nusantara” pisang, yang selalu ada di dalam tandok2 ibu
sepulang dari kondangan. Di kampung, ibu-
ibu membawa tandok, tempat membawa
beras tradisional Batak dari anyaman daun
pandan, yang diisi dengan beras untuk
diserahkan sebagai buah tangan bagi yang
mengadakan hajatan kondangan. Setelah
beras dikumpulkan oleh petugas yang
ditunjuk oleh pelaksana hajatan, tandok
dikembalikan dan di dalamnya biasanya
diisi dengan lampet sebagai snack acara

1
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia: http://budaya-indonesia.org/Lampet/
2
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia: http://budaya-indonesia.org/Tandok/
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan v

kondangan. Sekali acara hajatan, ratusan kilogram beras biasanya


terkumpul, dan hati anak-anak kampung yang menantikan ibunda
mereka di rumah merasa gembira mengunyah lampet.

Kegembiraan acara kondangan telah menberikan semacam


raupan rezeki, karena nilai beras (dan juga uang) yang dikumpulkan
tak jarang sangat besar, lebih besar dari dana yang telah dikeluarkan
untuk mengadakan hajatan. Namun lebih lanjut, kegembiraan
acara kondangan juga terbawa hingga ke rumah mereka yang
hadir dalam acara hajatan tersebut. Hal ini merupakan salah
satu mekanisme ruang sosial masyarakat kampung di Tanah
Batak, yang juga terjadi di berbagai kawasan lain di Nusantara,
termasuk di Subang, Jawa Barat, yang diinvestigasi oleh buku ini,
“gantangan”.

Gantangan merupakan pola serupa yang menjadi bagian dari


tradisi masyarakat Sunda, khususnya masyarakat di kawasan
Subang, Jawa Barat. Partisipasi kegembiraan yang tercermin
dalam hajatan pernikahan, sunatan, lahiran, dan sebagainya,
termanifestasi dengan saling memberi sumbangan (nyumbang) .
Hal yang menarik adalah bahwa zoom in terhadap dinamika sosial
masyarakat Subang dalam satu atau dua dekade belakangan ini,
menunjukkan bahwa refleksi budaya yang sangat sosial, telah tak
vi Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

lagi semata-mata berdimensi sosial, tapi juga berdimensi ekonomi.


Besarnya nilai nyumbang dan pola resiprokal hajatan di kalangan
masyarakat desa telah menjadi potret terbenturnya dimensi sosial
dan dimensi ekonomis dari gantangan.

Pembedaan antara apa yang menjadi dimensi sosial dan


dimensi ekonomi merupakan pola berfikir modernisme. Hajatan
rupanya telah (juga) menjadi medan the clash of civilization, dimana
tradisi saling berbagi yang sangat kultural, terkupas menjadi
dimensi sosial dan dimensi ekonomi, yang lalu mempengaruhi
motif dari individu sosial dalam ber-hajat, hingga kemudian
menimbulkan polemik baru dalam memandang tradisi nyumbang
dalam hajatan masyarakat kita.

“Gantangan” telah ber-evolusi. Evolusi ini berjalan sangat


pelan, gradual, hingga luput dari perhatian, tenggelam dalam hiruk-
pikuk hajatan, tuntutan budaya, hingga kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Setelah sekian dasawarsa, rupanya kejelian mata
seorang sosiolog membikin evolusi ini tak luput dari perhatian,
bahkan menjadi fokus penelitian yang kemudian melaporkannya
dalam buku ini, Yanu Endar Prasetyo. Dalam kacamata
sosiologisnya, terjabarkan dengan sangat detail bagaimana tradisi
nyumbang yang tadinya bersifat ikhlas-sukarela sekonyong-
konyong menjadi bersifat pamrih-simpanan. Gantangan yang
tadinya terlihat kolektif-idealistik, di bawah mikroskop sosiologis
telah menjadi bercorak individualis-materialistik.

Pemeriksaan deskriptif dan observasi dengan paradigma


sosiologi modern, tentu tak terelakkan menyentuh batin moral
warisan abad pencerahan, yang “menyayangkan” evolusi
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan vii

dari gantangan tersebut. Adalah kenyataan sosial bahwa


tradisi nyumbang yang tadinya bernuansa budaya, kemudian
menunjukkan wajah motif ekonominya yang tak ramah dari
kacamata sosial. Gantangan terlihat sebagai bentuk “deposit
kapital”, investasi, ditambah dengan ekspresi-ekspresi “pamer”
status sosial dan ekonomi di kalangan masyarakat. Dimensi
sosial dan dimensi ekonomi seperti saling berpacu satu sama
lain, berkecamuk dalam acara hajatan yang ditunggangi pula oleh
eksploitasi keramaian sebagai “pasar kaget”, namun sekaligus
menjadi “panggung baru” bagi kesenian tradisional Sunda di era
modern. Seni tradisional Sunda yang sarat filosofis mendapat
panggung di dunia modern sebagai subyek entertainment, mengisi
kekosongan hiruk-pikuk modern yang lebih fokus pada eksploitasi
performance, namun agak kurang bertenaga dalam melakukan
eksplorasi kreativitas di atas landasan filosofis.

Namun semua kemirisan tersebut sebenarnya menyisakan


banyak pekerjaan rumah bagi kita yang jeli dalam memberikan
apresiasi pada evolusi yang dipotret dalam manuskrip ini. Potret
evolusi dari gantangan dijabarkan dengan kedetailan yang
menggoda pikiran untuk menelisik lebih jauh kompleksitas sosial
yang terdapat dalam dinamika gantangan, pola keterlaksanaan
hajatan, dan tradisi nyumbang yang menyertainya. Deskripsi yang
rapi atas siapa yang menjadi “aktor” dan “faktor” sosial hingga
pola struktural relasi sosial di dalam proses gantangan telah
menambah hutang intelektual para pengkaji lintas ilmu. Hutang
untuk terus mencari celah-celah kosong dan terbebas dari cara
berpikir konvensional yang terkungkung modernisme. Pemaparan
yang sangat terstruktur dari buku ini telah menuntut untuk lebih
viii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

jauh lagi menjawab tantangan teoretis atas bagaimana dan


mengapa evolusi gantangan menjadi sedemikian rupa.

Eksplorasi teoretis tersebutlah yang nantinya akan mengisi


mosaik ke-nusantara-an di tengah keinsyafan ilmu-ilmu sosial
modern. Dari sana, penelitian sosial ditantang untuk menjawab
berbagai pertanyaan terkait “struktur tersembunyi” (the underlying
structure) dari relasi aktor dan kausalitas faktor-faktor sosial yang
ternarasi dalam buku ini. Ada semacam “kode-kode” yang terbersit
di balik dinamika sosial gantangan. Sebagai bagian dari sinekdoke
kehidupan di Kepulauan Indonesia ini, hal tersebut tentulah juga
merupakan bagian dari “kode-kode nusantara”.

Mendalami proses gantangan dalam buku ini bisa jadi juga


memberi pula tantangan yang juga bersifat praksis yang tak
melulu teoretis. Jika sejarah praktik sistem keuangan modern di
tanah air telah menggambarkan perjuangan demi keadilan dengan
berbagai kebijakan yang mengurangi dampak negatif “sistem ijon”
di tengah kehidupan agraris di negeri kita, bukan tak mungkin
eksplorasi yang berhati-hati dari buku ini dapat pula memberikan
pencerahan dunia keuangan/perbankan modern dalam melihat
perilaku “bandar” dalam evolusi proses gantangan, sebagaimana
dipotret oleh buku ini. Terdapat peluang lahirnya produk keuangan
baru yang mengawinkan sistem “sekuritas keuangan keluarga”
pada tradisi nyumbang, dengan kalkulus analisis risiko sistem
keuangan modern.

Namun membaca manuskrip ini menunjukkan pula bahwa


narasi dan uraian buku ini tak hanya menjanjikan pemikiran
mendalam yang berat, namun juga bisa terkesan ringan sebagai
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan ix

bentuk edutainment. Gantangan khas masyarakat Subang dengan


segala transformasi serta evolusinya dinarasikan sebagai
bentuk perjalanan, semacam tour guide pariwisata, yang dapat
memberikan nuansa realm kehidupan Sunda di era modern.
Bagaimanapun potret gantangan merupakan drama sosial yang
hidup, sarat nilai dan kesejarahan pergumulan kolektif masyarakat
Sunda di kawasan Subang, jawa Barat, di era modern sekarang ini.

Bandung, 16 Agustus 2017

Hokky Situngkir
x Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

MEMUDARNYA SISTEM
PERTUKARAN TRADISI

D
Arya Hadi alam sistem ekonomi modern yang
Dharmawan meniscayakan alam pertukaran
Sosiolog melalui kelembagaan pasar yang
Pedesaan IPB sangat lanjut saat ini, hampir musykil
membahas perspektif sosiologis pola
pertukaran tradisi bernama “gantangan”
pada masyarakat pedesaan Jawa. Hal
itu tak lain, karena tidak banyak lagi
pola pertukaran tradisi yang “embedded”
dengan sistem sosio-budaya dan institusi
lokal yang masih tersisa di masyarakat
lokal, sebagai akibat penetrasi nilai-nilai
modernitas yang sepenuhnya rasional ke
pelosok pedesaan. Peradaban modern
yang berintikan pengenalan pada sistem
ekonomi pasar, penggunaan sarana dan
prasarana bantu kehidupan masyarakat
yang berbasiskan pada sistem tekno-sains
modern dari Barat, serta terus menguatnya
“otonomi individu” dari ikatan kolektivitas
berintikan prinsip-prinsip liberalisme
individual telah mendorong perubahan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xi

sosial di pedesaan semakin cepat dan massif. Skala perubahan


sosial yang multi aras, akhirnya sampai pada pelumpuhan sistem
pertukaran tradisi yang di masa lalu memiliki fungsi kuat sebagai
social security system seperti gantangan dan sejenisnya seperti
sambatan ataupun berbagai bentuk aktivitas resiprokal-tradisi
lainnya.

Pertukaran ekonomi yang dijalankan melalui sistem pasar,


pada dasarnya lebih anonim (tidak mengenal siapa penjual
dan pembeli) dan lebih organis (tidak mekanistik). Ikatan sosial
yang terlibat di dalam pertukaran pasar pun sangat “dingin” dari
berbagai kepentingan sosial. Sifat pertukaran pasar sangat efisien
dan efektif, tidak melekat pada banyak simbol-simbol/atribut
sosial yang biasanya menjadi kepentingan masyarakat desa
tradisi. Dalam sistem pertukaran pasar, hanya harga (market price)
yang mengendalikan ke arah mana tindakan ekonomi individu-
individu akan mengarah serta memutuskan untuk bertukar atau
tidak. Sebaliknya, sistem pertukaran sosial ala gantangan memiliki
makna yang lebih dalam daripada sekedar transaksi barang dan
jasa layaknya di pasar (market-place) modern.

Dalam gantangan melekat simbol-simbol solidaritas sosial,


kesadaran kolektif, tanggung jawab sosial, kepercayaan dan
xii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

keutuhan sebuah kolektivitas sosial. Pendek kata, gantangan


adalah wujud nyata dari kapital sosial di pedesaan yang
fungsional sebagaimana tulisan dalam buku ini, bahwa gantangan
penting untuk menjaga terselenggaranya tradisi hajatan. Sebuah
kegiatan sosial yang biasanya menghadapi persoalan kelangkaan
pasokan tenaga kerja dan sumberdaya di pedesaan, dimana
kemudian gantangan memainkan peran berintikan semangat
gotong - royong dan etika guyub (gemeinschaft) dalam mengisi
kekurangan tersebut. Pertanyaannya mampukah gantangan
bertahan menjaga konstitusi sosial masyarakat tradisi di dalam
gelombang modernitas yang begitu kuat dimana konformitas
sosial masayarakat semakin memudar?

Mengikuti teori Granovetter, pertukaran sosial di pedesaan


mengalami proses yang seemikian rupa sehingga kepentingan
sosial terlepas atau disembedded dari kontek sosial masyarakatnya.
Proses memudarnya keterlekatan berlangsung sangat lanjut
dimana tindakan ekonomi individu termasuk didalamnya
transaksi-transaksi ekonomi, tidak lagi mempertimbangkan
soal-soal identitas budaya tradisi dan institusi sosial lagi.
Semangat-semangat atau simbol-simbol solidaritas sosial,
jaringan sosial, kerukunan kolektif dan sebagainya ditinggalkan
dengan memudarnya kelembagaan pertukaran seperti gantangan.
Pertukaran menjadi sangat rasional dan terlepas dari nilai-nilai
sosial tradisi (value rationality free) menuju rasionalitas yang sangat
instrumental dalam konsepsi Weberian. Gantangan yang meluntur
itu menjadi semacam artefak perubahan sosial akibat masuknya
peradaban modern yang merasuk ke pedesaan. Perubahan sosial
yang meniscayakan perubahan baik sisi idealitas maupun struktur-
struktur sosial masyarakat.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xiii

Sebagai kapital sosial yang berfungsi penting dalam


pertukaran di pedesaan, gantangan tentu saja sangat diharpkan
masih nerperan dalam kehidupan sosial pedesaan. Bagaimana
caranya merevitalisasi gantangan agar tidak terkesan sebagai
upaya preservasi terhadap kelembagaan sosial romantis
pedesaan? Lebih parah lagi, sebagaimana tulisan dalam buku ini
kelak akan membuktikan bahwa hajatan dan gantangan mengalami
proses komersialisasi dan komodifikasi yang berubah wujudnya
menjadi sebuah aktivitas pencarian keuntungan (rent seeking).
Gejala ini sangat bisa diduga akibat penetrasi ekonomi uang yang
begitu dalam terhadap masyarakat pedesaan.

Buku yang ditulis oleh Yanu Endar Prasetyo ini sangat timely
untuk melihat sedalam apakah perubahan sosial berlangsung
di pedesaan terutama bila menggunakan topik pertukaran
sosial (social exchange) sebagai pendekatan. Buku ini selain
memperlihatkan anatomi dari gantangan sebagai wujud
pertukaran sosial baik dari aspek aktor, karakter, relasi-sosial yang
terkait maupun setting sosial desa (lokasi) yang memberikan
variasi dari gantangan dipraktekkan oleh masyarakat desa. Penulis
sangat detail dalam melakukan penjelasan tentang gantangan
di pedesaan Subang dimana riset dilakukan oleh penulis untuk
melihat gantangan.

Satu hal perlu dijawab lebih lanjut oleh buku ini adalah,
bagaimana nasib kelembagaan-kelembagaan sosial pedesaan
di Jawa khususnya pantai utara Jawa seperti daerah Subang
ke depan? Apakah kelembagaan-kelembagaan tradisi akan
mengalami pelumpuhan dan digantikan oleh kelembagaan
xiv Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

modern? Benarkah pasar modern akan mampu menggantikan


gantangan ke depan? Ataukah gantangan akan mengalami
modifikasi agar tetap berfungsi baik seperti semula? Apapun, buku
ini sangat baik untuk dibaca bagi peminat ilmu sosiologi pedesaan
terutama peminat kajian struktur sosial dan perubahan sosial di
pedesaan.

Arya Hadi Dharmawan

Bogor 01 Juni 2017


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xv

INVENTARISASI NILAI-NILAI BUDAYA,


PETAKAN JATIDIRI
BUDAYA MASYARATNYA

B
Nandang erangkat dari sebuah
Kusnandar, S.Sn pe­mi­­kiran bahwa, ada
“Cacandran para leluhur, ciri sesuatu yang lepas dari
bumi dayeuh panca tengah tatanan hidup berbasis kultural
Lemah duhurna, lemah yang selama ini menjadi pondasi
lengkobna, lemah langkah urang Sunda, sehingga
padatarannana menyebabkan kita menjalani
Nagara mukti wibawa, kehidupan dengan cara “leungeun
parlambangna congkrang sacabak-cabakna, inggis ka linduan
kujang papasangan
gedag kaanginan lantaran panon
Yasana para dewata, teu satempo-tempona, ceuli sadenge-
sulaya ti nyatana
dengena” karena alpa terhadap
(Isyarat para leluhur, ciri dimensi etik, yang berpangkal pada
kehidupan panca tengah,
akal budi sebagaimana diwariskan
bumi berdinding tebing,
para leluhur. Lepasnya titian
beralir sungai dan parit,
pemahaman generasi kekinian
luas hamparan datarannya.
Pesona negeri penuh terhadap kekayaan intelektualitas
wibawa, berlambang para leluhur dalam menata
sepasang kujang kehidupan personal maupun
bersilangan karya cipta para kelompok berdasarkan kekuatan
dewata bukan tipuan dari kulturalnya, sungguh menjadikan
kenyataan)
generasi muda saat ini seakan
kehilangan jatidiri budayanya.
xvi Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Layaknya mendapatkan anugerah hujan di musim


kemarau panjang, kehadiran buku bertajuk gantangan ini hadir
membawa angin segar, menghadirkan perspektif sosial budaya
sebagai bahan tindak lanjut kajian dan referensi bagi generasi
penyinambung kebudayaan, mengkaji dan menanamkan kembali
pondasi tatanan nilai berbasis identitas budayanya. Begitupun,
berharap kehadiran buku ini juga menebarkan stimulus motivasi
bagi para peneliti, pengamat, pegiat dan praktisi budaya di daerah
untuk bersama mewujudkan mimpi berkepanjangan tentang
manifestasi pemetaan dan formulasi jatidiri budaya yang kadung
didengungkan, sementara rumusan pola pikir, pola sikap dan pola
tindak budaya itu sendiri belum terumuskan.

Manifestasi kegiatan produk budaya berbasis orientasi


pengintegrasian masyarakat yang diformulasikan oleh para leluhur
kepada para pendukung kebudayaannya, seperti halnya pada
gambaran aktifitas produk budaya yang terdapat pada paparan
buku ini, merupakan hasil dari proses panjang mengeksplorasi
pola pikir, pola sikap dan pola tindak dalam budaya. Kegiatan
mentradisi ini dihasilkan dari sekelompok orang yang melakukan
mekanisme kegiatan budaya dari mulai munculnya gagasan,
tindakan dan selanjutnya menghasilkan karya budaya. Dampak
dari rentang panjang kegiatan produk budaya ini akhirnya
melahirkan nilai-nilai, identitas dan karakterisasi budaya. Adanya
sikap gotong royong, menempatkan hak dan kewajiban, toleransi,
memperkuat pengintegrasian masyarakat dan sederet nilai-nilai
budaya lainnya, merupakan bagian dari sumber kajian untuk
merealisasikan pemetaan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya
tersebut diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap referensi
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xvii

penentuan jatidiri budaya masyarakatnya, dengan merinci dan


merumuskan pola pikir, pola sikap dan pola tindak masyarakat
pendukung kebudayaannya.

Optimalisasi mewujudkan semangat menginventarisasi


dan mengkaji nilai-nilai abstrak dalam aktifitas budaya, yang
kemudian dimanifestasikan dalam kajian tertulis, seyogyanya
mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Betapa tidak, tindakan
nyata tersebutlah yang justru mengisi ruang-ruang kosong
pemahaman akan perspektif budaya, yang selama ini banyak
orang merasa takjub dan “selesai” dengan melontarkan kata-
kata seperti adiluhung, jatidiri, tradisi, dan kata-kata budaya yang
“sakral” lainnya, tanpa berupaya untuk lebih dalam memahaminya.
Seringkali kita mengatakan ke-adi-luhung-an nilai-nilai budaya
yang notabene berakar dari masa lalu, tanpa mampu menunjukan
secara rinci, mana yang dimaksud dengan nilai-nilai adi luhung
tersebut. Seringkali orang mempertontonkan pidato-pidato heroik
berkaitan dengan jatidiri budaya daerahnya, tanpa mampu juga
menguraikan, seperti apa sejatinya jatidiri budaya itu. Bahkan
seringkali pula orang menempatkan nilai-nilai tradisi sebagai
sesuatu yang sangat “sakral” dan “agung”, yang harus dilestarikan
sepanjang masa, tanpa mengkaji kesesuaiannya dengan
perkembangan jaman.

Dari perspektif budaya, kehadiran buku ini merupakan


referensi berbobot dalam konteks penginventarisasian nilai-
nilai, identitas dan karakterisasi budaya daerah. Hal ini menjadi
sangat penting, manakala orientasi untuk mewujudkan rumusan
jatidiri budaya, akan sangat terbantu dengan inventarisasi
xviii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

nilai-nilai budaya yang berkembang pada lingkup pendukung


kebudayaannya. Hal tersebut juga akan sangat bermanfaat bagi
perumusan dan perincian pola pikir, pola sikap dan pola tindak
masyarakat sebagai unsur-unsur pendukung utama lahirnya
jatidiri budaya.

Langkah berkesinambungan peneliti/penulis buku ini


setelah melakukan penelitian, dan kemudian mewujudkan hasil
penelitiannya dalam bentuk buku sebagai media publikasi,
merupakan langkah bijak dan strategis. Hal ini sangat erat korelasi
langkahnya dengan tuntunan pedoman pelestarian budaya,
mengacu pada undang-undang Pedoman Pelestarian Budaya No.
42/40 Tahun 2009 yang merupakan peraturan bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada
saat itu. Dimana aspek-aspek pelestarian kebudayaan meliputi;
kesenian, kepurbakalaan, kesejarahan, permuseuman, kebahasaan,
kesusastraan, tradisi, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kepustakaan, kenaskahan dan perfilman. Adapun kegiatan-
kegiatan pelestarian budaya menurut perundang-undangan
tersebut dilakukan dengan cara; inventarisasi, pendokumentasian,
penyelamatan, penggalian, penelitian, pengayaan, pendidikan,
pelatihan, penyajian, penyebarluasan, revitalisasi, rekonstruksi
dan penyaringan.

Selain adanya kepentingan kontekstual berkaitan dengan


hadirnya buku ini dengan para pihak terkait pengkaji kajian sosial
budaya dan para pemangku kebijakan, hal lain juga dirasakan
oleh masyarakat pendukung kebudayaan setempat, dimana
sebelumnya tradisi lisan mendominasi pemaparan kegiatan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xix

produk budaya ini, tapi kini tradisi tulisan telah membantu peran
mereka dalam mensosialiasikan fenomena identitas budayanya.

Inventarisasi budaya adalah kegiatan pencatatan


keseluruhan unsur kebudayaan yang ada di suatu wilayah, baik
yang dimiliki oleh masyarakat maupun yang sudah tercatat sebagai
milik negara, bersifat fisik maupun non fisik. langkah inventarisasi
nilai-nilai budaya sebagai sumber pemetaan pola pikir, pola sikap
dan pola tindak dalam perwujudan jatidiri budaya, seyogyanya
diimbangi juga dengan langkah lainnya seperti langkah redefinisi
nilai-nilai tradisi dan langkah revitalisasi. Nilai-nilai tradisi adalah
landasan berpijak untuk menentukan nilai-nilai masa depan,
selayaknya juga kita tak boleh terpaku pada orientasi masa lalu
disaat kita dituntut untuk mempersiapkan diri menyongsong masa
depan. Kita mengenal sebuah nilai yang secara teks berbunyi, ka
hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala sajeungkal. Sebuah pesan
yang bermakna “tataplah masa depan dengan pandangan jauh,
dan tengoklah masa lalu dengan pandangan yang dekat saja”.
Karena pada dasarnya kebudayan bersifat dinamis dan adaftif,
artinya kebudayaan akan berubah seriring dengan tuntutan-
tuntutan yang dihadapinya. Akan tetapi kebudayaan juga berpola
mantap, artinya perubahan kebudayaan biasanya memerlukan
waktu beberapa generasi.

Akhirnya, optimalisasi manfaat kehadiran buku ini akan


lebih terasa, manakala terbangun sikap sinergitas antara semua
pihak terkait untuk menindaklanjuti secara berkesinambungan
aplikasi langkah-langkah strategis selanjutnya.
xx Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Subang nu Urang, Urang nu Subang, Silih Asah, Silih Asih


Silih Asuh, Silih Jaga, Silih Bela, Nalikeun Rasa, Someah hade ka
semah, Pindah cai pindah tampian sangkan JATI ULAH KASILIH KU
JUNTI

(Subang milik Kita, Kita milik Subang, Saling memperkuat, saling


mengasihi, Saling mengasuh, Saling menjaga, Saling membela,
Mengikatkan rasa, Ramah tamah kepada tamu, Setiap tempat
memiliki tatanan nilainya masing-masing supaya SEJATINYA
IDENTITAS KITA TIDAK TERGANTIKAN DENGAN IDENTITAS
YANG LAIN)

… Cag….
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xxi

PENGANTAR DAN UCAPAN


TERIMA KASIH

Gantangan merupakan sebentuk pertukaran sosial yang


terbangun dari kebiasaan atau tradisi “nyumbang” atau “silih
genten” di pedesaan Subang, Jawa Barat. Bukan hanya di pedesaan
Subang, tetapi tradisi serupa juga masih eksis di wilayah pedesaan
mulai dari Karawang di sebelah barat hingga Indramayu di sebelah
timur. Dari usaha mendalami pola pertukaran sosial Gantangan
ini kita dapat melihat bagaimana resiprositas umum di dalam
masyarakat berubah menjadi resiprositas sebanding, pertukaran
sosial hingga munculnya komersialisasi sosial. Pertukaran sosial
Gantangan yang berkembang dalam arena pesta hajatan ini adalah
fenomena yang merefleksikan perubahan nilai solidaritas dan pola
hubungan sosial di dalam masyarakat pedesaan yang semakin
kontraktual dan individualistik. Buku di tangan pembaca ini
merupakan saripati dari hasil studi tentang bagaimana perubahan
pola pertukaran sosial Gantangan ini di tiga desa yang memiliki
perbedaan karakteristik sosio-demografis, yaitu di Subang Utara,
Subang Tengah dan Subang Selatan.
xxii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS,
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS (IPB) dan Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng.
Sc (LIPI) yang telah berkenan membimbing penulis sepanjang
proses penelitian. Terima kasih secara khusus kepada mas Hokky
Situngkir dan kawan-kawan dari Bandung Fe Institut dan Sobat
Budaya Indonesia yang telah banyak mendukung dengan berbagai
masukan dan gagasannya. Tentu saja, kajian kompleksitas
terkait tradisi sosial di pedesaan ini perlu terus dikaji dengan
berbagai pendekatan. Selain itu, penulis memberikan apresiasi
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kementrian Negara
Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah memberikan
beasiswa penuh kepada penulis, juga kepada PPTTG LIPI Subang
sebagai tempat pengabdian penulis selama ini. Penelitian ini
tidak akan selesai tanpa bantuan dari Tita Irama Susilawati
dan Didi S. Sopyan yang telah mencurahkan waktunya dalam
pengumpulan data dan juga dukungan dari seluruh aparat desa,
tokoh masyarakat dan warga di lokasi penelitian. Semoga catatan
ringkas ini bermanfaat.

Yanu Endar Prasetyo


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xxiii

DAFTAR ISI

XXI Kata Pengantar

XXIII Daftar Isi

1 Sekilas Masyarakat Sunda

11 Wajah Sosial Masyarakat Pedesaan Subang

17 Pesta Hajatan di Pedesaan

25 Seremonial Hajatan

37 Bentuk dan Pola Pertukaran Sosial


di Pedesaan Subang

67 Fungsi Sosial Gantangan

79 Fungsi Ekonomi Gantangan

85 Komersialisasi Ekonomi dan Sosial


di Pedesaan Jawa

103 Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas


ke Pertukaran Sosial

123 Dinamika Aktor dalam Pertukaran


Sosial Gantangan

161 Epilog

166 Penutup

168 Glosari

170 Daftar Pustaka

173 Tentang Penulis


xxiv Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
01

SEKILAS
MASYARAKAT
SUNDA

Masyarakat asli nusantara


memiliki kepercayaan dan
keyakinan (sistem nilai) yang
khas dan dapat ditelusuri secara
arkeologis maupun hermeneutis-
historis.
2 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

J
akob Sumardjo adalah salah satu ilmuwan yang
mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan
asli masyarakat Nusantara tersebut dan melahirkan
tulisan tentang sejarah ringkas kerohanian Indonesia. Di dalam
salah satu bab penelitiannya, Jakob Sumardjo (2007:3-84)
mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli Indonesia
dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu
(hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran.
Berbagai tipe masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir
primordial yang khas dan menjadi akar kebudayaan masyarakat
tersebut. Dalam konteks penelitian tentang pertukaran sosial
Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa Barat) ini, akan
sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial
masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih
memahami akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya
melanggengkan kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan
sosialnya saat ini.

Dalam sistem kepercayaan asli masyarakat Nusantara ini,


sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk pemahaman ruang
yang disebut dengan (1) pembagian dua (dualisme-antagonistik)
(2) pembagian tiga atau kesatuan tiga dan (3) kesatuan lima atau
sembilan. Pembagian dua merupakan pemahaman ruang yang
berkembang dalam masyarakat pemburu-peramu, peladang, dan
maritim (Sumardjo, 2007:18). Prinsip pembagian dua ini tidak
hanya digunakan untuk memaknai ruang dan waktu, melainkan
juga untuk memaknai sistem kekerabatan, sistem pekerjaan,
alam binatang, alam tumbuhan dan lain sebagainya. Pembagian
dua itu selanjutnya diklasifikasikan dalam dua oposisi dasar “laki-
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 3

laki” (luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan
“perempuan” (dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan,
bulan). Wujud lain filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di
dalam pola kain tenun dan sarung tradisionalnya yang bermotif
“kotak-kotak”, dimana garis vertikal menggambarkan pasangan-
pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal menggambarkan
harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut. Selain
ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi
dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-
Grantang, Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon.

Selanjutnya, pembagian tiga atau kesatuan tiga banyak


dijumpai di masyarakat perladangan. Pembagian tiga ini lebih
menekankan independensi ruang dan egaliterianisme yang masih
dapat disaksikan dalam masyarakat Baduy (Kanekes, Banten)
melalui kesatuan tiga kampung sucinya (Cikeusik, Cibeo, dan
Cikertawana) (Adimihardja, 2008:127), atau di Minangkabau
dengan pembagian tiga luhaknya (Tanah Datar, Agam, dan Lima
Puluh Kota), prinisp triangtu (Sunda), tigo sejarangan (Minang) dan
dalian na tolu (Batak). (Sumardjo, 2007:21). Dalam kesatuan tiga
ini dikenal hubungan “dalam” (kebebasan) dan “luar” (persamaan).
Orang dalam adalah orang sekampung yang mandiri dan orang luar
adalah orang dari kampung lain yang memiliki kemandirian yang
sama. Biasanya mereka menganut prinsip perkawinan eksogami
(lain darah). Kesatuan tiga juga nampak menonjol dalam tenunan
kain ulos Batak maupun Baduy yang selalu ada bidang “dalam”
(bagian terluas bidang hias) dan bidang “luar” (sisi kiri dan kanan
bidang utama).
4 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Pembagian ruang masyarakat Indonesia purba yang terakhir


adalah prinsip pembagian lima atau sembilan yang banyak
berkembang dalam masyarakat sawah. Sebagai masyarakat
yang memproduksi makanan, maka mereka tinggal menetap dan
hidup bersama-sama dalam satu ruang. Konsentrasi manusia
pada satu wilayah ini membutuhkan pengaturan-pengaturan
kolektif (membuka lahan, mengolah lahan, irigasi dan pengairan,
pengerjaan lahan, dan lain-lain) yang memungkinkan lahirnya
“pusat” pengaturan (papat keblat, kalimo pancer-jawa). Kesatuan
lima ini berorientasi pada lokalitas, dimana manusia itu terikat
dengan tanah dimana ia berada (Sumardjo, 2007:23). Masyarakat
sawah adalah masyarakat kerja, sehingga ia tidak mengenal
“ruang/orang dalam” atau “ruang/orang luar”. Semua akan diakui
menjadi orang dalam sepanjang menunjukkan fungsinya di dalam
masyarakat dan setia kepada pusat. Etika moral tertingginya
adalah solidaritas kerja. Ekspresi keterbukaan ini juga dominan
dalam batik Jawa, misalnya, yang memiliki pola terbuka dan tanpa
pembatas.

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis

Masyarakat berburu-
Meramu/Nelayan- Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah
Laut
Setengah produktif
Konsumtif (food Produktif (food
dan konsumtif
gathering people) producing people)
(peramu)
Keasatuan dua Kesatuan tiga Kesatuan lima
Unsur waktu dan Unsur waktu dan Unsur waktu dan
kerohanian Dinamistik kerohanian Animistik kerohanian Animistik
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 5

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis

Masyarakat berburu-
Meramu/Nelayan- Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah
Laut
Mentalitas ganda,
konsumtif-produktif,
dependen-
independen,
kolektivisme
Berjiwa merdeka,
berdasarkan pertalian
konsumtif,
darah sangat kuat,
egaliter, mobilitas Komunal (dependen-
kedudukan keluarga
tinggi, humoristik kolektif), solidaritas
inti amat penting,
(menyadari yang kuat, produktif
solidaritas hanya
kelemahan diri), dan lokalitas yang
terbatas pada
“manja”, etos kerja kuat (tanah pertanian
lingkungan keluarga
dan profesionalitas adalah segalanya),
inti, kategori “orang
rendah karena terdidik konvensional, sulit
dalam” dan “orang
dalam kemurahan menerima perubahan,
luar” ditonjolkan,
alam yang terberi, semua yang dari
mudah “iri hati”
kuat koletivitasnya, “luar” diintegrasikan
dengan kesuksesan
fanatik pada dengan pihak “dalam”
orang lain (sebab
lingkungan “orang
dalam masyarakat
dalam”nya sendiri
peladang yang serba
terbatas, kelebihan
satu orang berarti
merampas milik
bersama)
Raja dianggap
Raja tetap sebagai Raja tetap sebagai
memiliki kekuasaan
manusia, dewa adalah manusia, dewa adalah
adikodrati (paham
sesembahannya sesembahannya
dewaraja)
Kurang agresif Kurang agresif Agresif

Sumber : Sumardjo, 2007:22-26


6 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Masyarakat Sunda (Jawa Barat) sebenarnya masuk dalam


kategori masyarakat peladang. Namun demikian, sejak jaman
Hindu-Budha, masyarakat Sunda juga sudah mengenal dunia
persawahan dan kelautan. Peradaban Sunda pada masa itu
lebih mirip dengan peradaban melayu (Sriwijaya) yang juga
dekat dengan perladangan dan kelautan. Dengan ciri kesatuan
tiga yang dimiliki masyarakat peladang dan perbukitan ini, maka
kita menjadi mengerti mengapa di Sunda tidak muncul kerajaan
besar yang menguasai seluruh Sunda. Kerajaan-kerajaan di Sunda
(Taruma, Padjajaran, Galuh, Saunggalah) merupakan kerajaan
Hindu-Budha yang relatif mandiri satu sama lain dan tidak agresif
(Sumardjo, 2007:36). Sekalipun pusat-pusat kerajaan Sunda ini
berada di peradaban Sawah, namun sebagain besar kampung-
kampung Sunda berada di perbukitan dan diberikan otonomi
penuh dari kerajaan (elit). Akibatnya, peradaban Hindu-Budha
cenderung hanya menjadi milik para elit, sementara rakyat jelata
memegang keyakinannya sendiri-sendiri sampai pada akhirnya
Islam masuk ke pelosok-pelosok kampung ini. Maka tidak heran,
meskipun peradaban Hindu-Budha pernah bercokol hingga 1100
tahun di tatar Sunda, tetapi sisa-sisa cara berpikir dan kepercayaan
Hinduisme justru tidak terlalu dominan pada masyarakatnya
sebagaimana di Jawa Tengah dan Timur. Sunda justru identik
dengan Islam.

Pada masa peradaban Hindu, wilayah Kabupaten Subang (dulu


merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta) menjadi
bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran.
Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten
Subang diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 7

maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa


pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati)
membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah
terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber
lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’
Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling
Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara
Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten
adalah wilayah kerajaan Sunda3.

Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti


halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan.
Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris,
dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah
yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis
untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC,
wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan
jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang
Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa
dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung
kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771,
saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di
Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat
seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun.

3
Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Subang (2011:14-17)
8 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816)


konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada
swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan
oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan
perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands).
Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan
sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan
yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900
ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan
di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik
yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada
di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur)
yang berkedudukan di Subang.

Berbagai pengalaman sejarah diatas menunjukkan


bahwasanya masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik
sebagai masyarakat peladang-sawah telah bersentuhan dengan
berbagai kebudayaan luar, seperti Hindu-Budha, Islam, Eropa
(Belanda) dan kebudayaan dari Jawa. Modernisasi di segala
bidang yang hadir belakangan juga menambah warna akulturasi
kebudayaan Sunda-Subang itu sendiri. Meskipun demikian, akar
kebudayaan asli masyarakatnya (egaliter-independen) tidak
lantas hilang sama sekali, tetapi juga sudah tidak ada yang utuh
sama sekali. Semua gejala akulturasi tersebut masih dapat kita
amati dalam simbol-simbol yang hadir di perayaan pesta hajatan
masyarakat pedesaan Subang hari ini. Misalnya peninggalan
Hindu yang masih tersisa seperti hadirnya sesajen, pawang hujan,
wayang kulit, lalu upacara dan doa-doa yang dilakukan merupakan
sinkretisme antara ritualisme Hindu-Budha tetapi dengan isi
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 9

Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan dari


kolonialisme dimana menunggangi replika singa merupakan
simbol pengusiran kepada penjajah (Inggris dan Belanda), hingga
hiburan-hiburan kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan
jaipong tampil mewakili modernitas yang diadopsi.
10 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
02
WAJAH
SOSIAL
MASYARAKAT
PEDESAAN
SUBANG
Masyarakat pedesaan di
Kabupaten Subang, Jawa Barat,
secara sosio-historis maupun
ekologis adalah suatu bentuk
masyarakat yang sangat lekat
dengan kehidupan agraris.
12 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

B
erbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai
dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan
darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi
matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun.
Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan
pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak
lepas dari siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-
aktivitas yang sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat
berpengaruh kepada aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena
kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat
terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun
menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang khas dimiliki
petani.

Wujud ketergantungan kepada kebaikan alam itu, misalnya,


terwujud dalam bentuk-bentuk pola perilaku4 yang lebih kongkrit
seperti dalam upacara-upacara adat atau norma-norma kehidupan
bermasyarakat. Misalnya upacara sebelum menanam padi,
upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi,
pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya. Sistem sosial
masyarakat agraris semacam ini dilakukan dalam semangat
kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih dikenal
dalam konsep Gotong Royong5. Upacara-upacara ataupun
seremonial di dunia pertanian itu tidak dapat dilakukan sendiri-

4
Menurut Koentjaraningrat (1982:5-6), kebudayaan manusia itu terbangun dan terwujud
ke dalam tiga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
dsbnya) (2) wujud perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan (3) wujud fisik
(artefak, benda-benda hasil karya manusia)
5
Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang
berbunyi “Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program
pembangunan pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 13

sendiri, tetapi harus disokong sebagian besar komunitas karena


memiliki rasa ketergantungan dan nilai-nilai penghormatan
terhadap alam yang relatif sama.

Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong


itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial dan sistem
sosial sehari-hari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus
kehidupan senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai dari
kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian seseorang.
Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga
harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentuk-
bentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti jaipong,
sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu
meriah dan melibatkan banyak orang, baik di atas panggung
maupun dibawah (penonton dan pengiring). Kolektivitas paling
utama dahulu tercermin di dalam dunia pertanian, dimana sejak
pengolahan lahan, pemeliharaan hingga pemanenan dilakukan
dengan gotong royong (sebelum mengenal sistem upah), baik
dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat.
Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku
kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri
dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok
lain

Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka


dan dunia pertanian mengalami komersialisasi ekonomi
akibat keberhasilan revolusi hijau, kolektivitas masyarakat
pedesaan Subang ini juga mengalami kemunduran. Sistem upah
(monetisasi) yang dibawa masuk oleh sistem ekonomi pasar telah
14 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas masyarakat ini


menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan norma-
norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan,
teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga
ke pelosok-pelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis
yang dahulu melekat (redistribusi pangan melalui lumbung padi
dan resiprositas dalam tolong-menolong, silih genten) kini telah
mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh komersialisasi
atau ekonomi pasar/kapitalis tersebut.

Namun, kolektivitas sosial dan sistem ekonomi pra-kapitalis


khas pedesaan tradisional itu tidak sepenuhnya hilang atau
sepenuhnya bertahan, melainkan terjadi perpaduan antara nilai-
nilai lama (tradisional-kolektif) dan nilai-nilai baru (modern-
individualistik) yang menghasilkan sebuah sistem sosial baru
yang unik. Contohnya, kolektivitas yang merupakan modal sosial
masyarakat tradisional kemudian harus berkompromi (comformity)
dengan kepentingan-kepentingan individu yang berorientasi pada
kemakmuran pribadi (homo economicus). Akibatnya, kita akan
melihat bagaimana muncul transaksi-transaksi ekonomi di dalam
sebuah hubungan yang seharusnya bersifat sosial. Dengan kata
lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial ini
ekuivalen (sama) dengan tindakan ekonomi. Salah satu bentuk
sistem sosial baru ini tercermin dalam gotong royong dan tolong
menolong itu sendiri, yakni ketika resiprositas umum (generalized
reciprocity) bergeser menjadi resiprositas yang sebanding
(balanced reciprocity) dan bahkan menjadi sistem pertukaran
sosial dan ekonomi yang baru.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 15

Sistem pertukaran sosial dan ekonomi baru inilah yang


akan didalami dalam penelitian ini. Salah satu topik yang dapat
diangkat dan diharapkan mampu memberikan gambaran secara
komprehensif bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan
modern ini dapat berjalan adalah dengan mencari bentuk aktivitas
yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Banyak peneliti
sosial dan ekonom di masa lalu yang menera persoalan ini dari
kegiatan di dunia pertanian. Akan tetapi, dengan perubahan
struktur masyarakat dan diferensiasi pekerjaan yang semakin
luas, nampaknya menggali hanya dari aktivitas di dunia pertanian
belum menggambarkan kondisi seluruh lapisan masyarakat
(karena semakin banyak orang desa yang meninggalkan dunia
pertanian).

Oleh karena itu, peneliti mencoba mengangkat fenomena


atau bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga
ditemukan pesta hajatan sebagai medan penelitian. Sebab, hampir
seluruh anggota masyarakat di pedesaan (apapun latar belakang
pekerjaannya) masih memegang teguh tradisi mengadakan
perayaan pada momen atau siklus hidup tertentu. Dari fenomena
pesta hajatan inilah kita akan menemukan bagaimana sosok
homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini muncul
bersamaan dalam pertukaran sosial gantangan yang mereka
bangun dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan
Subang.
16 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
03

PESTA
HAJATAN DI
PEDESAAN
Pesta hajatan6 di pedesaan adalah
sebuah kesibukan massal yang
unik dan khas. Di dalamnya
terdapat perpaduan antara
aktivitas sosial, religius, ekonomi,
kesenian dan bahkan politik.
18 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

P
esta hajatan itu sendiri memiliki berbagai sebutan,
istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bukan hanya
antar daerah, bahkan antar dusun dan desa yang berdekatan
pun bisa sangat berbeda. Ibarat peribahasa “lain ladang, lain
belalang. Lain tempat, lain pula tradisinya”. Oleh karena itu, dilihat
dari perspektif sosiologis, pesta hajatan ini bukan hanya sekedar
“upacara seremonial” yang ajeg dan rutin saja, melainkan juga
merupakan sebuah sistem tindakan dan perilaku yang kompleks.
Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan banyak
orang (massal) sehingga memungkinkan lahirnya banyak motif
serta hubungan sosial, melainkan juga berbagai elemen dan faktor
pembentuk sistem itu sendiri yang beragam, mulai dari struktur
sosial masyarakat, kondisi agro-ekologis, religi dan alam pemikiran
yang berkembang serta keterbukaan masyarakat terhadap
pengaruh dari luar, seperti teknologi dan sistem ekonomi pasar.

Kompleksitas sebuah pesta hajatan di pedesaan ini paling


tidak dapat ditandai dalam pola pertukaran sosial yang terbentuk,
misalnya dalam gotong royong dan kebiasaan nyumbang antar
warga. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, solidaritas dalam
bentuk gotong royong dan nyumbang/nyambungan ini terindikasi
mengalami evolusi atau perubahan, dari semula yang bersifat
altruis (murni tolong menolong) menjadi cenderung selfish dan

6
Hajatan = berasal dari kata “hajat” yang berarti “keinginan atau harapan”. Maknanya
adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut
dapat diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak
yang biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan
disesuaikan dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar
keinginan tersebut terkabul sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dan secara simbolik
menjadi penanda status sosial seseorang/keluarga
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 19

materialis. Sebagai Indikator adalah munculnya standarisasi,


monetisasi dan bahkan komersialisasi hajatan itu sendiri.
Lahirnya sistem pencatatan sumbangan menandai berakhirnya
sumbangan sukarela menjadi suatu kewajiban (hutang-piutang).
Kewajiban sosial inilah yang seringkali bersifat in-elastis terhadap
kondisi ekonomi rumah tangga dan pada akhirnya menimbulkan
gesekan horizontal maupun vertikal. Meskipun, jika dilihat dari sisi
lain, kewajiban resiprokal tersebut dapat pula bermakna sebagai
investasi, tabungan atau arisan sosial yang dimiliki oleh rumah
tangga pedesaan dan berfungsi sebagai pengikat satu sama lain
(modal sosial dan jaminan sosial informal).

Dengan pemahaman bahwa tradisi sosial seperti pesta


hajatan di pedesaan ini sebagai suatu sistem tindakan dan perilaku
yang kompleks, penelitian ini mencoba untuk melihat lebih dalam
dan mengangkat ke permukaan berbagai kompleksitas yang
dimaksud. Mulai dari aktor-aktor yang terlibat, simbol-simbol
dan barang-barang yang dipertukarkan, jejaring yang terbentuk,
norma-norma yang terbangun, nilai-nilai kolektif dan subjektif yang
diakui, pola-pola pengelompokan secara sosiologis, frekuensi
dan ukuran ekonomis, serta faktor-faktor signifikan lainnya yang
menyebabkan tradisi sosial di pedesaan ini dapat tetap adaptif.
Sebagai arena untuk membedah itu semua, penelitian ini akan
mengangkat fenomena tradisi pesta hajatan dan pertukaran
sosial Gantangan di pedesaan Subang yang diindikasikan telah
mengalami komodifikasi dan komersialisasi secara sosial dan
ekonomi, yakni menjadikan hajatan adalah ajang untuk mencari
untung (usaha).
20 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 2. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan

Aktor-Aktor Keterangan Pola Relasi


Pemilik hajat atau penarik
Bapak Hajat Pengundang
simpanan Gantangan
Misalnya anak yang dikhitan,
Pengantin perawan yang dinikahkan,
komoditas hajat
hajat cucu yang dilahirkan dan lain
sebagainya
Panitia atau penyelenggara
hajatan, ditunjuk oleh keluarga
bapak hajat terdiri dari :
Tukang nyangu (masak) Disewa/dikontrak
Juru tulis gantangan Resiprokal
Kebayan
Tukang cuci piring Disewa/dikrontrak
Jatah desa (karang
Tukang parkir
taruna)
Pembawa dan penimbang beras Disewa
Penerima tamu Keluarga
wakil Bapak hajat dalam
Panitia mengundang, mencatat, dan Dibayar &
Gantangan menagih simpanan atau hutang Diongkosi
Gantangan
Orang-orang yang menerima
Tamu undangan, baik Gantangan
Resiprokal
Undangan maupun Kondangan/surat
undangan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 21

Tabel 2. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan

Aktor-Aktor Keterangan Pola Relasi


penyedia kebutuhan hajatan,
seperti beras, daging, sayuran,
dan sembako lainnya yang
bersedia meminjamkan
bahan-bahan tersebut kepada
bapak Hajat sesuai dengan
Bandar kesepakatan dan biasanya Dibayar selesai
hajatan dibayar setelah hajatan selesai. hajat
Bandar Beras (pembeli beras
hasil Gantangan, dengan selisih
harga Rp. 500-Rp.1000/kg
lebih murah dari harga pasar.
Biasanya ia juga berperan
sebagai bandar Hajatan)
Tenda, kursi, panggung,
Perlengkapan soundsystem, dekorasi, baju
Disewa
hajatan pengantin dan tata rias, piring
dan gelas, dan lain sebagainya
Sinden, gamelan, kelompok
kesenian jaipong, sisingaan,
tardug, tarling, organ tunggal,
Tatanggapan Disewa/dikontrak
qosidahan, ceramah, kuda
renggong, degung, wayang
golek, wayang kulit, layar tancap
Dukun atau “orang pinter” untuk
pemilihan “hari baik”, pawang
Pawang hajat hujan, orang yang menyusun Dibayar
dan menjaga peperen (tempat
sesajen)
22 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 2. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan

Aktor-Aktor Keterangan Pola Relasi


Percetakan undangan
Video shooting
Individu atau Tukang listrik/genset
Perusahaan
Penyedia mobil pick up (sarana
Jasa
transportasi massal untuk
menghadiri hajatan yang jauh
jaraknya)
Biasanya saudara atau keluarga
bapak hajat yang ingin ikut
memeriahkan acara hiburan
atau para tamu undangan yang
ingin menikmati hiburan dengan
sambil berjoged dan menyawer
Penikmat
kepada penyanyi/penari diatas
hiburan Resiprokal
panggung. Biasanya ada
(penyawer)
pembawa acara yang bertugas
mengundang orang untuk
nyawer, karena dari saweran
inilah tambahan pendapatan
bagi kelompok hiburan ini
diperoleh.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 23

Tabel 2. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan

Aktor-Aktor Keterangan Pola Relasi


Minuman keras disediakan
untuk anak-anak muda atau
kaum pria yang bertugas
menggotong singa atau mereka
yang ingin meramaikan acara
hiburan dengan berjoged.
Minuman keras ini berfungsi
untuk menghilangkan rasa
Penyedia malu untuk berjoged dan
Hanya meramaikan
minuman konon menambah stamina
acara
keras dan percaya diri, meskipun
seringkali minuman keras ini
jugalah yang memicu keributan-
keributan kecil dalam pesta
hajatan. Biasanya dilakukan
sembunyi-sembunyi (di
belakang panggung) tetapi juga
seringkali terbuka dan dianggap
wajar.
Naib atau penghulu dan juru
khitan, yaitu orang-orang
tertentu yang memiliki keahlian
dan atau dipercaya oleh bapak Dibayar dan
Lebe
hajat untuk melakukan tugas- diongkosi
tugas ritualnya. Penghulu
biasanya petugas resmi dari
KUA.
Penjual mainan anak-anak,
penjual makanan dan minuman
Pedagang yang biasa memadati area Hanya meramaikan
Kaki Lima hajatan. Semakin besar pesta acara
hajatan maka akan semakin
ramai para PKL yang datang.
Aparat Aparat desa, satgas/hansip, Dibayar lewat biaya
Keamanan kepolisian, tentara perijinan
24 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
04

SEREMONIAL
HAJATAN

Untuk membuktikan bahwa


sebuah pergelaran pesta hajatan
di pedesaan ini merupakan
sebuah kompleksitas sosial dan
“kesibukan massal” adalah dengan
mangamati sejak seseorang atau
suatu keluarga merencanakan
hajatan, melaksanakan, hingga
memanfaatkan hasil hajatannya.
26 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

B
etapa sebuah pesta hajatan – sekecil dan sesederhana
apapun – tetap melibatkan dan mempengaruhi
banyak orang. Bahkan, secara langsung maupun tidak
langsung, lingkungan alam (musim) dan lingkungan sosial saling
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh adanya hajatan ini. Berikut
beberapa detail tahapan yang dijalankan oleh seseorang atau
keluarga yang akan mengadakan hajatan :

Persiapan Hajatan

Ketika seseorang atau rumah tangga terbesit niat untuk


hajatan, biasanya mereka akan melakukan beberapa tindakan,
antara lain :

a. Berunding dengan keluarga. Berunding dengan orang tua


atau keluarga besar biasanya dilakukan untuk memberi kabar
sekaligus meminta persetujuan dan menagih “komitmen”
keluarga untuk turut membantu secara material maupun
tenaga.

b. Mencari “hari baik”. Jika sudah mendapat persetujuan, mereka


akan mendatangi “orang pintar” seperti kokolot7, dukun atau
kyai untuk meminta hari baik (tanggal pelaksanaan hajatan).
Termasuk juga ke tukang nyarang hujan (menangkal hujan/
pawang hujan). Tarif pawang hujan Rp. 200.000,- biasanya
H-10.

7
Kokolot = orang yang dituakan, sesepuh
8
Panjer = modal awal yang dipinjam bapak hajat dari orang tertentu (Bandar), biasanya
orang kaya. Bandar itu kemudian akan meminjami sejumlah uang tertentu dengan
jaminan beras hasil hajatannya tidak akan dijual kepada orang lain, melainkan hanya
kepada Bandar yang meminjami modal tersebut. Harga jual beras hajat itu pun
disepakati bersama ketika transaksi peminjaman panjer ini berlangsung.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 27

c. Mengumpulkan modal. Jika hari baik atau tanggal sudah


diperoleh, maka bapak hajat akan mengumpulkan modal,
baik dari dompet sendiri, keluarga, maupun meminta “panjer8”
dari Bandar. Biasanya, Bandar akan melihat status ekonomi
bapak hajat, jika dianggap mampu mengembalikan, maka ia
bisa memberi modal hingga Rp. 5.000.000,-, jika dianggap
kurang mampu/tidak meyakinkan, biasanya maksimal hanya
diberi panjer Rp. 3.500.000,-

d. Membentuk panitia. Bapak hajat akan membentuk pemangku


hajat/panitia hajat dengan cara mengumpulkan keluarga dan
beberapa tetangga dekat untuk melakukan musyawarah dan
pembagian tugas. Misalkan siapa yang menjadi juru tulis.
Panitia hajat ini paling sedikit 15 orang.

e. Menyewa perlengkapan. Bapak hajat dibantu panitia yang


telah dipercaya akan mempersiapkan berbagai perlengkapan
hajat, seperti sewa tenda, sewa panggung, sewa kursi, sewa
sound system, sewa hiburan, dan sewa berbagai kebutuhan
lain yang disesuaikan dengan modal dan kemampuan yang
dimiliki. Akan tetapi, sekalipun tidak memiliki modal cukup,
semua perlengkapan tersebut biasanya juga melayani
pinjaman dengan sistem “dibayar setelah hajat”.
28 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 3. Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Subang Utara

Jumlah
No Hiburan Tarif Murah* Tarif Mahal* Asal Grup
Orang
1 Wayang Rp. 5.000.000,- Rp. 7.000.000,- Indramayu
Kulit
Meskipun di daerah Sunda, namun wayang kulit disini tetap
berbahasa Jawa. Mengingat warga Pantura banyak keturunan
Pantura Jawa (Indramayu, Cirebon, Tegal, dll)

2 Sandiwara Rp. 9.000.000,- Rp. 12.000.000,- Indramayu

3 Organ Rp. 3.500.000,- Rp. 14.000.000,- Lokal = 5 Lokal


Tunggal orang dan Luar
Blanakan
Luar Kota =
30 orang

4 Karedok Rp. 1.500.000,- 2 orang Lokal


(Karaoke penyanyi
Dodok/
Tanpa
Panggung)

5 Odog- Rp. 5.500.000,- Rp. 9.000.000,- 8 Singa – 20 Lokal


Odong Singa
(Pengantin
Setiap saudara atau tetangga yang anaknya ingin ikut membayar
Singa)
Rp. 300.000/gotongan kepada bapak hajat. Pertunjukan
berlangsung selama 4 jam, dengan berkeliling di jalan raya, missal
500 m ke barat dan 500 meter ke timur, plus atraksi.

6 Qosidahan 10 sak semen Lokal

Para penyanyi dan penabuh rebana tidak dibayar dan semen


tersebut akan disumbangkan/digunakan untuk pembangunan
masjid di dusun atau desa setempat.

7 Film (Layar Rp. 2.500.000,- Sukamandi,


Tancap) Cilamaya

Saat ini boleh dibilang sudah punah.

8 Tarling Rp. 6.000.000,- 40-50 orang Indramayu

9 Jaipong Rp. 3.500.000,- Rp. 5.000.000,- Lokal dan luar


kota

*catatan: tarif/harga berlaku pada tahun 2012.


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 29

f. Mengurus Perijinan. Jika berencana mengadakan hiburan


besar seperti diatas, Bapak hajat akan mengajukan perijinan
“rame-rame” kepada aparat dan instansi terkait sejak 2
minggu sebelum hari H. Proses ini biasanya dibantu dan
dilakukan oleh Satgas Desa. Berikut ini adalah alur perijinan
rame-rame yang biasa dilakukan di Kabupaten Subang :

Gambar 6. Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame”


di Kab. Subang

Bapak Hajat
Kepala Desa

Satgas Desa Kepala Dusun

Ketua RT

Polsek Koramil

Biaya perijinan diatas menurut Peraturan Desa seharusnya


adalah Rp. 500.000,-/hajatan. Pada kenyataannya,
kebanyakan membayar kurang dari itu. Menurut penuturan
Satgas9, rata-rata pembagian biaya Perijinan adalah sebagai
berikut :

• Satgas dan anak buah : 3 orang @Rp. 20.000,-

• Ketua RT : Rp. 30.000,-

• Kepala Dusun : Rp. 30.000,-

• Kepala Desa : Rp. 30.000,-

• Polsek : Rp. 85.000,- 9


Hasil wawancara tanggal
25/04/2012
• Koramil : Rp. 80.000,-
30 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

g. Memilih hiburan. Jenis hiburan yang akan diundang akan


sangat dipertimbangkan oleh Bapak Hajat. Sebab, hiburan
ini tidak hanya berfungsi untuk memeriahkan acara saja,
melainkan juga sebagai “magnet” untuk mengundang
lebih banyak orang datang. Semakin banyak orang datang,
harapannya semakin besar pula hasil telitian yang diperoleh.
Selain itu, mewah tidaknya hiburan juga aka dibaca
masyarakat sebagai perlambang status sosial ekonomi
seseorang di tengah masyarakat. Jika sudah dipaggil “pak
haji” maka semacam ada tuntutan bahwa kepantasan
seorang haji (orang kaya) adalah menyelenggarakan hiburan
yang mewah dan meriah. Jika sebaliknya yang terjadi maka
akan dianggap turun status sosialnya oleh masyarakat
sekitar.

h. Mencetak undangan. Biasanya, undangan telitian untuk satu


kampung hanya menggunakan sabun colek, permen atau
vetcin (MSG). Namun demikian, banyak juga bapak hajat yang
mencetak undangan resmi untuk kenalan-kenalan mereka
di luar kampung atau untuk orang-orang yang dianggap
penting. Order pencetakan biasanya ditangani oleh tetangga
atau kenalan bapak hajat yang sudah dikenal sebagai tukang
cetak undangan.

i. Membagi undangan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh wakil


bapak hajat dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah
sambil membagikan undangan sejak H-7. Bentuk-bentuk
undangan ini mengalami perubahan dengan mengikuti
perkembangan ekonomi (harga-harga barang). Dahulu, pada
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 31

tahun 1970-1987an, undangan telitian awalnya adalah Rokok


(misal, Gudang Garam Filter Rp.500//batang artinya penerima
undangan harus membayar telitian minimal Rp. 5.000, Djinggo
Rp. 250/atang artinya penerima undangan harus membayar
telitian minimal Rp. 2.500. Pada tahun-tahun 1990-an sampai
krisis moneter, harga rokok terus naik. Akhirnya, undangan
menggunakan rokok hilang setelah krisis moneter (1998)
akibat dari kenaikan harga rokok. Sejak saat itu undangan
berganti menjadi vetcin (penyedap rasa), permen atau sabun
colek. Misalnya, vetcin 1 sashet = ½ gantang beras.

j. Melekan semalam suntuk. H-1, biasanya akan ada acara


melekan (bergadang semalam suntuk). Bersaman dengan
acara melekan itu biasanya bapak hajat juga menyiapkan
sesajen untuk mesin lampu penerangan/diesel, dengan
harapan agar malam itu dan besok ketika hari H tidak ada
masalah dengan lampu penerangan (tidak ada halangan).

Pelaksanaan Hajatan

a. Menyiapkan sesajen. Sesajen tidak hanya dibuat sebelum


hari H, tetapi juga ketika hari H. Sesajen untuk kelancaran
seluruh acara tersebut diletakkan diatas Goah/Padaringan
(tempat menyimpan beras). Isi sesajen antara lain : rujak
kelapa, kopi hitam/pait, kopi manis, cauk, rokok upet/tambang,
rokok srutu/cerutu, daun hanjuang, bubur merah/beureum,
bubur putih/bodas, sisir, cermin, kembang 7 rupa, parupuyan,
kemenyan, beras, uang koin, menyak kolonyet/putri duyung,
boeh/kain kafan, nyiru/tampah, telur ayam mentah, minuman
orson/limun, dan kendi.
32 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

b. Jamuan makan/Prasmanan. Ketika pelaksanaan hajatan,


salah satu panitia hajatan yang paling sibuk adalah “Peperen
piring”, yaitu panitia yang bertugas mengambil piring-piring
yang telah selesai digunakan oleh tamu hidangan. Konsep
jamuan makan yang diterapkan biasanya di pedesaan adalah
prasmanan, sehingga para pengambil piring ini harus sigap
agar tamu yang datang belakang tidak kehabisan piring untuk
makan. Selain peperen piring, yang juga terlihat sibuk adalah
tukang angkut/jemput karung beras. Mereka adalah panitia
yang bertugas membawakan karung beras dari sepeda motor
tamu undangan untuk ditimbang dan dicatat di meja telitian.

c. Mencatat Gantangan/Telitian. Mereka yang harus selalu


siap sedia dalam hajatan di Subang adalah Juru tulis, yaitu
panitia pencatat telitian. Juru tulis laki-laki bersiap-siap di
meja penerima amplop dan juru tulis perempuan bersiap-siap
di meja beras. Tugas mereka adalah membuka mencatat
nama tamu penyimpan, jumlah simpanannya, dan asal desa/
dusunnya ke dalam buku catatan telitian.

d. Menyiapkan pulangan. Memberikan berkat ke dalam karung


beras yang baru saja dibawa oleh para penyimpan/tamu
undangan.

e. Mengelola parkir. Biasanya dilakukan oleh karang taruna.


Selain parkir, bersama dengan satgas mereka mengatur
pedagang kaki lima di sepanjang jalan masuk lokasi hajatan.

f. Dokumentasi menggunakan audio visual (Video shooting)


yang disewa dari usaha video shooting yang ada disekitar
desa maupun dari kota.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 33

g. Sesajen untuk penerangan. Sesajen ini dimaksudkan agar


tidak mengalami gangguan penerangan/listri sepanjang
acara dilangsungkan. Biasanya berupa ayam hurip yang
diikat ke diesel dan bekakak (ayam panggang).

h. Beberes Hutang tahap I. Artinya, begitu hajatan selesai


(sekitar jam 21.00 s.d. 24.00) maka tuan rumah akan segera
membayar hutang-hutang yang harus segera dilunasi,
seperti membayar grup hiburan, membayar tukang masak,
atau membayar bandar yang memberikan modal. Sehingga
dengan cekatan bapak hajat dibantu juru tulis dan keluarga
akan langsung menghitung hasil narik telitian malam itu juga.

i. Menjaga keamanan. Seperti, mengatur hiburan agar berjalan


tertib dan meredam keributan yang disebabkan oleh tamu
yang mabuk minuman keras. Untuk masalah keamanan ini
biasanya diserahkan kepada hansip atau satgas desa.

Pasca Hajatan

a. Menghitung dan menjual beras hajat. Beras hajat bisanya


dijual kepada bandar (tempat meminjam panjer sebelumnya)
atau kepada yang mau membeli dengan harga yang telah
disepakati sebelumnya. Biasanya bapak hajat tidak menjual
semua tetapi menyisihkan 1-5 karung untuk cadangan telitian
berikutnya.

b. Beberes Hutang tahap II. Artinya, hutang-hutang yang tidak


terlalu mendesak juga akan segera dilunasi oleh bapak hajat
dengan menggunakan uang dan hasil penjualan beras hajat.
34 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

c. Memanfaatkan hasil/sesa. Setelah seluruh hutang dan modal


pinjaman dilunasi, sisanya akan digunakan untuk keperluan
bapak hajat, semisal modal usaha, membeli motor, gadai
empang, dan sebagainya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 35
36 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
05

Bentuk
dan Pola
Pertukaran
Sosial
Gantangan
di Pedesaan
Subang
38 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

1. Gantangan di Subang Utara

a. Telitian

Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di


wilayah Subang Utara (Desa Jayamukti, Kecamatan
Blanakan) ternyata menerapkan beberapa sistem
pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa
yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran
beras dan uang yang dilakukan antar warga dusun/
desa yang dilakukan sebelum atau ketika pesta hajatan
berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti
pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah
nama lain dari Gantangan. Menurut tokoh masyarakat,
asal istilah telitian ini berasal dari kata “gentenan”
atau “silih genten” yang berarti “saling bergantian”.
Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa
campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan
bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari
aspek sejarah, masyarakat Pantura Subang ini memang
dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti
Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian
secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda
dengan masyarakat Subang pedalaman (tengah dan
selatan) yang lebih lebih kental corak Sunda-nya.

Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa


setiap rumah tangga masing-masing diperbolehkan
menyimpan minimum ½ Gantang (5 liter beras) dan uang
Rp. 10.000,- untuk perempuan (istri) dan uang minimum
Rp. 15.000,- untuk laki-laki (suami) yang kemudian akan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 39

dicatat oleh Bapak Hajat melalui bantuan juru tulis


telitian. Biasanya, sebelum menyelenggarakan pesta
hajatan, Bapak hajat10 akan membentuk panitia kecil
yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat untuk
membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia
kecil ini ada yang ditugaskan untuk menjadi penerima
tamu, tukang masak, pencuci piring, perlengkapan
hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah
petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi
dua, yaitu pencatat telitian perempuan (meja beras) dan
pencatat telitian laki-laki (meja amplop/uang).

Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa


saja nama-nama penyimpan beras dan uang (serta
sembako lainnya) di dalam buku catatan telitian yang
sudah disediakan di masing-masing meja. Kedua meja
tersebut adalah tempat yang pertama kali akan dituju
oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang
terlibat dalam sistem telitian ini.

Gambar 16. Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian


di Subang Utara (Kanan)

10
Bapak hajat atau Shohibul hajat adalah orang/keluarga yang menyelenggarakan pesta
hajatan (tuan rumah).
40 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda


dengan tradisi nyumbang atau kondangan di tempat lain
adalah bahwa beras dan uang serta bahan kebutuhan
pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai sumbangan
sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang
oleh masyarakat Subang Utara. Hutang piutang
tersebut nampak dalam istilah lokal yang digunakan
ketika menyumbang telitian, yaitu istilah “nyimpen”
dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan (kerabat,
tetangga, dan kenalan) itu menitipkan beras atau uang
kepada bapak hajat, sedangkan Mayar berarti kelak
ketika tamu undangan tersebut menyelenggarakan
hajat maka bapak hajat harus membayarnya kembali
sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam
buku catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan
telitian (buku beas dan buku artos) tersebut adalah
pedoman dan panduan baku dalam pertukaran telitian
ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya
dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang
rumah tangga.

Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun


ke tahun semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat
tidak lagi berpatok kepada pernikahan atau khitanan
untuk menarik simpanan telitian, melainkan lebih kepada
kebutuhan yang mendesak, seperti membangun rumah,
merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal
untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian
semakin sering digelar, sehingga muncul keluhan dari
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 41

warga lainnya perihal “kerepotan” dan “beratnya” beban


hajatan telitian ini.

Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab


disisi lain pendapatan mereka dari bertani atau yang
lainnya tidak bertambah secara signifikan. Bahkan,
bagi golongan buruh tani justru semakin terancam
eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai
maraknya mekanisasi pertanian khususnya penggunaan
mesin pemisah jerami dan gabah (Combine) yang
menghilangkan gabah-gabah sisa panen yang biasanya
dikeprik (dipungut) oleh keluarga buruh tani ini. Hasil
ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang
bisa mendapat sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik,
maka keluarga itu bisa mengumpulkan 40 kg per hari.
Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk cadangan telitian
sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin oleh
para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang
pada akhirnya membuat malas dan berat ketika harus
membayar hutang telitian di masa lalu.

Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya


Pada Tradisi Telitian

Sudut Pandang Buruh Tani Sudut Pandang Pemilik Sawah

Banyak kebiasaan gadai dan


Ketimpangan pemilikan berhutang membuat warga
lahan sawah. Sebagian kecil dengan mudah menjual/
warga memiliki sebagian menggadai sawahnya. Hal ini
besar besar lahan sawah menguntungkan bagi mereka yang
dan sebagian besar warga memiliki modal untuk lembat laun
menjadi buruh taninya. memiliki dan menguasai sawah di
desa tersebut.
42 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya


Pada Tradisi Telitian

Sudut Pandang Buruh Tani Sudut Pandang Pemilik Sawah

Selama ini, ketika sudah Banyak buruh tani yang tidak


tidak punya lahan, jujur sehingga menyebabkan
mengandalkan hidup dari hasil panen tidak optimal. Timbul
menjadi buruh tani dengan pemikiran untuk menggunakan
mengerjakan berbagai mesin agar lebih efisien dan
kegiatan pertanian seperti hasilnya panennya lebih banyak.
mengolah lahan, nandur, Biaya sewa mesin Combine dan
nyabit, nggebot11, dan tenaganya untuk setiap 500 bata
ngeprik12. (1 are) adalah Rp. 500.000,-
Begitu mekanisasi
diterapkan, otomatis pemilik Ketika mesin pemisah gabah
sawah tidak membutuhkan dan jerami digunakan, hasil
banyak tenaga kerja produksi meningkat pesat
sehingga buruh tani dan waktu pemanenan cukup
(terutama perempuan) 1 hari. Padahal sebelumnya
kehilangan sisa-sisa panen dengan menggunakan buruh
yang biasanya diandalkan membutuhkan waktu 2 hari dan
untuk cadangan telitian dan hasil produksi tidak maksimal
pangan keluarga. Pemilik (banyak sisa yang jatuh/tidak
sawah dianggap tidak terkumpul).
manusiawi dan egois.
Sumber : Hasil Wawancara Mendalam

Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani


demonstrasi ke desa dan ke sawah untuk melakukan
protes dan menolak kehadiran mesin comben tersebut.

11
Nggebot / ngegebuk : teknik panen manual, menggunakan salome/alat tradisional untuk
menggebot. Dalam sistem ini, bagi hasil antara buruh tani dan pemilik adalah 1:5. Upah
buruh gebot Rp. 30.000/bedug (5 jam). Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan waktu 2
hari (nyabit dulu, ngengebot) untuk memanen, jika memakai mesin Combine hanya 1 hari
saja sudah beres.
12
Ngeprik / ngajaplin : Memungut sisa-sisa hasil panen
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 43

Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil


sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk
turun tangan menghadapi warga. Konon, warga hampir
melakukan perusakan dan pembakaran terhadap mesin
Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah. Tahun-tahun
ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari
ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap
tingkat partisipasi masyarakat dalam tradisi telitian,
yang notabene merupakan pertukaran beras dan uang
yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan
miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan
menengah ke atas lainnya yang mengikuti golongan,
justru semakin eksis dan mapan dengan sistem
golongannya (telitian khusus) tersebut.

Gambar 17. frekuensi hajatan “rame-rame” di desa


Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat.

Frekuensi Hajatan Rame-Rame Ds. Jayamukti


25

20

15
Frekuensi

10

0
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
44 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup


yang harus dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya
sosial” dan “kewajiban sosial” yang harus dibayarkan,
seperti telitian dalam pesta hajatan yang justru semakin
lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya
satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame”
(dengan hiburan) di desa Jayamukti dapat dilihat dari
buku catatan satgas desa (tahun 2005-2012) pada
gambar 11 diatas.

Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas,


kita juga dapat melihat seberapa besar hasil telitian
suatu rumah tangga dengan melihat buku catatan
telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga
memiliki buku catatan telitian tersebut, namun
terkadang kita akan menemui buku catatan telitian
yang sudah kusut, penuh coretan, dan beberapa bagian
yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan oleh
usia buku yang memang sudah lama (hajatan lebih
dari 10 tahun yang lalu) dan disimpan di tempat yang
lembab atau sembarangan. Walaupun demikian, buku
catatan telitian ini akan tetap dijaga dan disimpan oleh
pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutang-
hutangnya lunas.

Selain beras dan uang, telitian di Subang utara


ini umumnya juga menerima pertukaran timbal balik
dalam berbagai bentuk barang atau kebutuhan lainnya,
seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak Goreng, Gula
Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu (Kue Basah), Gula
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 45

Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang


disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan
dan juga kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang
bapak hajat juga bisa menolak jika dianggap barang
yang disimpan kurang diperlukan atau terlalu banyak.
Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima
apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih.
Sebab, menjadi bapak hajat sama yang dititipi simpanan
tersebut sama artinya sebagai “orang yang dipercaya”
oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima kepercayaan
itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya
kelak.

b. Golongan

Sistem pertukaran sosial yang kedua adalah


golongan, yaitu bentuk telitian yang lebih khusus dan
eksklusif. Letak perbedaannya dengan model telitian
pertama adalah pada cara pengelolaan, jumlah anggota
dan jumlah simpanan yang lebih terstandarisasi.
Golongan di Subang Utara ini dikelola oleh seorang ketua
panitia golongan yang biasanya adalah inisiator dan
pencetus sistem golongan ini. Dalam pembentukannya,
ketua panitia golongan mengumpulkan orang-orang atau
rumah tangga yang dinilai akan tertarik dan sanggup
berkomitmen dalam golongan ini. Dalam musyawarah
tersebut, ketua panitia golongan menawarkan aturan
main yang akan dijalankan, misalnya berapa jumlah
minimum untuk beras, uang, gula pasir, daging sapi,
46 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

daging ayam dan barang-barang lainnya yang akan


dipertukarkan dalam golongan? Mereka yang tertarik
kemudian mendaftar menjadi anggota golongan
dan menjalankan aturan main yang telah disepakati
bersama-sama. Boleh dikatakan, secara administratif
Golongan ini memiliki kemiripan dengan arisan, hanya
saja pola dan sistem pertukarannya menggunakan
telitian.

Dari hasil penelitian, Golongan di Desa Jayamukti,


Kec. Blanakan misalnya, diketuai oleh Haji Sholeh13
yang dibantu oleh seorang petugas lapangan.
Kelompok Golongan H. Sholeh didirikan 3 tahun lalu
(2009) dan sampai saat ini memiliki jumlah anggota
45 orang. Ide mengadakan golongan ini diperoleh H.
Sholeh dari sistem serupa yang sukses diterapkan di
Karawang, tempat keluarga istrinya berasal. H. Sholeh
dan keluarga sudah sejak tahun 1998 mengikuti sistem
golongan ini di Desa Bayur, Karawang. Pada tahun 2000,
H. Sholeh melaksanakan hajatan dan menganggap
sistem golongan yang ada di Karawang ini bermanfaat
dan menguntungkan bagi ekonomi rumah tangga.

Di sisi lain, sebagai warga Dusun Tegaltangkil,


Desa Jayamukti, ia malah melihat berbagai bentuk
kecurangan dalam telitian di kampungnya. Semisal
banyak yang tidak jujur dan melebihkan jumlah

13
Bukan nama sebenarnya
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 47

timbangan simpanannya (8 liter mengaku 10 liter).


Kecurangan semacam itu dapat terjadi pada saat-
saat jam tamu undangan yang membludak, yaitu
pada pukul 18.00 s.d. 19.30 WIB, dimana panitia
dan tuan rumah sudah kewalahan mencatat dan
tidak sempat menimbang satu persatu simpanan
warga. Kegelisahannya yang lain adalah terkait waktu
pelaksanaan hajatan yang tidak teratur, kadang sering
kadang jarang. Pada waktu sering, banyak warga tidak
mampu membayar hutang-hutangnya karena panen
sedang buruk atau pendapatan sedang menurun.

Dengan berbekal pengalaman di Karawang itulah,


kemudian H. Sholeh memberanikan diri untuk membentuk
golongan di dusun tegaltangkil, desa Jayamukti, yakni
agar warga yang ingin menyelenggarakan hajatan tidak
“keduman blesake doang” (mendapat ruginya saja) dan
“orang hajat biar nggak potol” (tidak bangkrut). Beberapa
aturan main dalam kelompok Golongan ini antara lain :

Jumlah simpanan minimum untuk :

• Beras = 50 kg,

• Gula pasir = 5 kg,

• Daging sapi = 1-3 kg,

• Daging ayam potong = 3 kg.

• Uang = Rp. 50.000/orang

• Dengan mengelola golongan ini, panitia


mendapatkan Rp. 300.000/hajatan.
48 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Melihat aturan main yang disepakati diatas, tentu


saja mereka yang dapat ikut serta dalam Golongan H.
Sholeh ini adalah rumah tangga menengah ke atas.
Hampir tidak mungkin rumah tangga miskin dapat
menjadi anggota (karena akan kurang dipercaya
kemampuannya) atau melibatkan diri (karena merasa
dirinya tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut).
Kehadiran golongan sebagai bentuk telitian yang lebih
eksklusif ini sekaligus menjadi penanda pelapisan
sosial dalam hajatan. Mereka yang menjadi anggota
Golongan H. Sholeh, ketika hajatan akan menerima
beras beras minimum 2,250 Ton dari hasil simpanan
45 anggotanya (belum ditambah uang dan sembako
lainnya serta telitian biasa dari warga non-anggota
golongan). Sementara beras atau uang yang diterima
oleh warga biasa yang bukan anggota golongan akan
sangat ditentukan oleh jumlah tamu undangan yang
datang. Ketimpangan dan kesenjangan sosial itu pada
akhirnya akan nampak jelas dengan membandingkan
proses dan hasil pesta hajatan antara satu orang
dengan orang lainnya di desa tersebut.

Gambar 19. Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 49

Menurut warga yang menjadi anggota


golongan H. Sholeh, sistem golongan ini dinilai
sangat menguntungkan. Sebab, selain hasilnya lebih
signifikan, lebih pasti dan lebih terjamin jumlahnya,
golongan ini juga lebih menghemat biaya bapak hajat.
Penghematannya terletak pada konsumsi yang harus
dikeluarkan. Sebab, dalam sistem golongan ini, pihak
yang mengumpulkan beras, uang, dan sembako lainnya
adalah ketua golongan (H. Sholeh). Baik dengan cara
diambil atau diantar oleh anggota. Setelah semua
tertagih dan terkumpul, lalu ketua panitia dengan
dibantu beberapa orang mengantarkannya ke bapak
hajat (anggota yang hajatan). Dengan demikian, bapak
hajat hanya memberikan makan/jamuan kepada ketua
golongan dan yang membantunya saja. Ia tidak harus
menyiapkan makanan untuk 45 anggota seluruhnya,
karena sebagian besar mereka sudah diwakili
kehadirannya oleh ketua golongan.

Sampai dengan wawancara dilakukan (April 2012),


Golongan H. Sholeh ini telah sebanyak 12 kali anggota
yang melaksanakan hajatan dan menarik telitian dari
seluruh anggota golongan lainnya. Sepanjang 12 kali
hajatan tersebut, belum ada kasus kecurangan yang
terjadi. Dengan kata lain setiap anggota berkomitmen
dengan pembayaran yang harus dilakukan. Strategi
yang dilakukan oleh H. Sholeh dalam meringankan
beban anggota adalah dengan melakukan pembatasan
50 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

jumlah hajatan setiap musimnya14, yaitu maksimal 2


kali hajatan/musim. Dengan pengaturan semacam ini,
maka anggota golongan dapat menyiapkan cadangan
untuk tiap musimnya dan tidak terbebani oleh frekuensi
hajatan yang seringkali tidak pasti. Pembatasan jumlah
hajatan inilah yang tidak diberlakukan dalam tradisi
telitian yang pertama (umum), sehingga meskipun
jumlahnya hanya sekitar 5 liter dan uang Rp. 15.000,-
s.d. Rp. 20.000,-, tetap saja bagi kebanyakan masyarakat
yang kurang mampu (mayoritas buruh tani), telitian bisa
jadi memberatkan tatkala jumlah panggung15 dalam
satu musimnya terlalu sering.

2. Gantangan di Subang Tengah

a. Talitihan

Gantangan di Subang Tengah (Desa


Pasirmuncang, Kec. Cikaum) baru berkembang dan
meluas sekitar tahun 1999. Tahun–tahun sebelumnya
sudah ada sistem pencatatan tetapi tidak semuanya.
Masih ada warga yang menyumbang murni (memberikan
beras < 5 liter) dengan tanpa kewajiban untuk
mengembalikannya dalam jumlah yang sama. Baru

14
Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim
panen padi di desa tersebut.
15
Masyarakat lokal menyebut hajatan dengan panggung, sebagai asosiasi terhadap
hiburan yang diselenggarakan.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 51

sejak krisis moneter melanda Indonesia, sumbangan


murni tersebut mulai hilang dan digantikan dengan
sistem pencatatan (minimal sumbangan/simpanan 5
liter) dengan kewajiban untuk mengembalikan dalam
jumlah yang sama.

Sistem pencatatan simpanan dan pembayaran


gantangan tersebut diadopsi oleh warga Pasirmuncang
dari desa-desa tetangga, seperti desa Belendung,
Waladin, dan Pasirbungur (Kec. Purwadadi). Adopsi
sistem pencatatan ini berlangsung melalui hubungan-
hubungan sosial yang terbangun antara warga desa
dengan penduduk atau keluarga di desa sekitarnya itu.
Ketika warga desa Pasirmuncang mendapat undangan
hajatan dari desa lain, mereka melihat dan berpikir
bahwasanya hajatan seperti pernikahan dan khitanan
ternyata bisa dijadikan lahan usaha, atau minimal tidak
perlu rugi. Akhirnya, sistem pencatatan dan hutang
piutang gantangan ini pun mereka terapkan sampai
sekarang.

Desa Pasirmuncang ini, sebagaimana desa


Jayamukti di Blanakan (Subang Utara), juga termasuk
dalam kategori desa tertinggal atau miskin. Penyebab
utama kemiskinan di desa ini disebabkan karena
sebagain besar wilayah dan lahan yang mereka tempati
merupakan lahan perkebunan tebu yang dikelola oleh PT.
Pabrik Gula Rajawali II. Sebelum kehadiran pabrik gula
dan hamparan tebu pada tahun 1982 (kontrak selama
52 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

20 tahun, saat ini kontrak sudah diperpanjang sampai


dengan tahun 2022), wilayah tersebut merupakan
perkebunan karet yang luas. Alhasil, mayoritas
penduduk di desa Pasirmuncang ini berprofesi sebagai
buruh tani di perkebunan tebu tersebut. Mereka tidak
mampu berkembang karena memang potensi alamnya
terbatas dan dibatasi oleh kehadiran perkebunan tebu
tersebut.

Meskipun demikian, kemiskinan tidak lantas


menyurutkan minat mereka terhadap Gantangan.
Bagi mereka, saling menyimpan dan membayar beras
atau uang ketika warga memiliki hajat adalah cukup
meringankan beban bagi tuan rumah. Besar simpanan
gantangan di desa Pasirmuncang ini minimum adalah
5 liter beras (1/2 gantang) dan uang Rp. 10.000,- untuk
perempuan, sedangkan laki-laki memberikan amplop
(kondangan) minimum Rp. 15.000 s.d. Rp. 25.000,-.
Meskipun hasilnya kecil – jika dibandingkan desa-
desa lain yang berbasis tanaman padi – tetapi cukup
lumayan untuk menutupi kebutuhan saat itu. Minimal
mereka tidak rugi ketika melangsungkan hajatan.

Gambar 20. Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan


pola Telitian Subang Utara

r+m r+m

r+m
B C
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 53

Selain sistem gantangan yang sudah umum,


tiga hari sebelum hari H hajatan, biasanya saudara dan
tetangga dekat (ibu-ibu) akan datang kepada bapak
hajat untuk menyimpan berbagai bumbu dapur, sayur-
mayur dan kebutuhan dapur lainnya. Simpanan ini
disebut dengan Talitihan. Berbagai bahan makanan dan
bumbu dapur seperti garam, minuman dalam kemasan,
gula, penyedap rasa, minyak goreng, opak dan lain
sebagainya itu juga akan dicatat oleh bapak hajat di
dalam buku gantangan (dengan halaman dan kolom
tersendiri). Pada saat nanti si penyimpan melakukan
hajatan, maka bapak hajat berkewajiban membayar
kembali simpanan tersebut dalam bentuk yang sama.
Demikian pula dengan mereka yang membantu
memasak (nyangu) di dapur, hampir tidak ada lagi yang
sukarela, semuanya mengharapkan diupah, baik dengan
uang maupun beras.

b. Rombol

Jika di Desa Jayamukti, Blanakan, terdapat


golongan, maka di desa Pasirmuncang, Cikaum terdapat
rombol. Mirip dengan golongan, rombol ini dikelola oleh
seorang ketua rombol (panitia), dengan jumlah anggota
dan sumbangan tertentu yang telah disepakati bersama
(disatandarkan). Sebagai contoh, di Dusun Awilarangan,
desa Pasirmuncang, rombol ini dikelola dan diketuai
oleh Ibu Dian*16. Menurut penuturan Ibu Dian, kelompok

16
Bukan nama sebenarnya
54 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

rombol ini ia dirikan tahun 2005 bersama kelompok


ibu-ibu yang sering bertemu dalam arisan, pengajian
maupun kegiatan dusun lainnya. Awal berdiri, anggota
rombol ini berjumlah 21 orang ibu-ibu dengan jumlah
simpanan minimal beras 5 liter (1/2 gantang) dan uang
Rp. 20.000,-. Simpanan ini sedikit lebih besar daripada
simpanan gantangan (tahun tersebut rata-rata Rp.
10.000,-).

Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya


rombol ini adalah kebutuhan ekonomi yang semakin
banyak. Jika hanya mengandalkan gantangan sebagai
dana tambahan/cadangan keluarga, para ibu-ibu itu
merasa tidak cukup. Diperlukan sistem yang sama tetapi
lebih fleksibel dalam penarikannya. Misalnya, tidak perlu
harus menunggu hajatan pernikahan atau khitanan,
melainkan ketika mereka butuh untuk membangun
rumah, merehab rumah, atau membangun WC, mereka
bisa menarik simpanan rombol tersebut. Meskipun,
sebagian besar rombol ini pada akhirnya tetap ditarik
ketika ada anggotanya yang hajat, untuk menghindari
panitia bekerja dua kali (sekalian menyebar undangan
hajatan, sekaligus menarik rombolan).

Perbedaan sistem rombol dengan gantangan


biasa adalah jejaringnya. Sistem rombol yang
dijalankan Ibu Dian ini contohnya, ia tidak hanya
mengelola rombolan di satu dusunnya, melainkan juga
menghubungkan kelompok di dusunnya itu dengan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 55

dusun lainnya, yaitu dusun Waladin (Kec. Purwadadi)


yang berjarak sekitar 4 km dari dusunnya. Hubungan
pertukaran dua kelompok rombol ini terjadi karena
ketua rombolnya saling bersaudara. Dengan demikian,
anggota rombol di masing-masing dusun saling
menyimpan dan membayar dengan difasilitasi oleh
ketua rombol masing-masing.

Gambar 21. Pola Rombol dalam Pertukaran Sosial Gantangan

Tidak saling kenal tapi saling bertukar

Bapak Panitia Panitia Bapak


Hajat Rombol Rombol Hajat

Dusun/Desa X Dusun/Desa Y

Tugas seorang panitia seperti Ibu Dian ini sangat


sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab,
seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika
ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya.
Tugas dan kewenangan panitia rombol, antara lain :

1. Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota


(bagi-bagi sabun)

2. Menarik dan mencatat simpanan setiap anggota

3. Menagih kepada anggota yang tidak datang/


belum membayar
56 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

4. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia


biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang
ditagih memiliki uang

5. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat


kepada anggota lainnya.

6. Mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat,


biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000
– Rp. 1.000.000, Ibu Dian mendapat Rp. 30.000,
jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000,
Ibu Dian biasanya hanya mendapat Rp. 15.000.
di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada
yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-
Rp.40.000.

Menurut Ibu Dian, menjadi panitia rombol atau


hajatan itu “sudah capek, dapetnya sedikit”. Tetapi ia
anggap hal itu sebagai kewajiban sosial yang harus
dijalankan, karena ia telah terlanjur dipercaya oleh
anggota lainnya. Di mata ketua Rombol seperti Ibu Dian,
ke depan ia berharap gantangan/undangan umum itu
berhenti saja (rugi, banyak modal keluar, untung sedikit),
sedangkan Rombol kalau bisa diperbanyak jumlah
anggotanya biar hasil dan manfaat yang diperoleh
juga lebih banyak. Nyatanya, dari anggota awal yang
berjumlah 21 orang, kini (2012) anggota rombol sudah
bertambah menjadi 39 orang di dusun Awilarangan dan
sekitar 60 orang di dusun Waladin (sebagai jaringan
pertukaran).
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 57

Warga yang menjadi anggota kelompok rombol,


selain mendapatkan simpanan rombol juga mendapat
simpanan dari gantangan biasa warga lainnya. Bedanya,
hasil dari rombol ini meskipun terlihat kecil, tetapi
relatif utuh dan tidak menghabiskan modal yang besar.
Misalnya, bapak hajat hanya memberikan jamuan makan
kepada panitia rombol yang datang menyerahkan hasil
rombolan dari anggota di kelompoknya. Sementara itu,
para penyimpan dari kelompok rombol lain tidak wajib
untuk datang di hajatan, hanya cukup menyerahkan/
menitipkan simpanan beras dan uangnya kepada
ketua panitia rombol. Meskipun demikian, beberapa
tuan rumah/bapak hajat seringkali menitipkan pula
nyambungan/pulangan (berkat/bingkisan) kepada ketua
rombol untuk diberikan kepada anggota yang telah ikut
menyimpan.

3. Gantangan di Subang Selatan

a. Gintingan

Salah satu pengaruh dari luar tonggoh yang saat ini


eksis di tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan,
yang tidak lain adalah sebutan untuk tradisi Gantangan.
Gintingan ini diakui warga Cimenteng sebagai pengaruh
dari luar sebab dulunya tidak pernah ada. Dahulu,
gotong royong masyarakat dalam saling membantu
satu-sama lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Misalnya
jika ada salah satu warga yang sedang membangun
58 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

rumah, maka warga desa lainnya akan berduyun-duyun


dan bergantian membantu mendirikan rumah tersebut.
Tradisi ini mereka sebut sebagai liliuran. Bahkan sampai
hari ini beberapa dusun masih melakukan hal yang
sama, meskipun tidak sebanyak dan seramai dahulu.
Tetapi hari ini, dirasakan oleh masyarakat (diwakili
partisipan wawancara kelompok terfokus) bahwa setiap
orang semakin perhitungan dalam segala hal, termasuk
dalam tradisi nyumbang (Gintingan) ini.

Gintingan di desa Cimenteng (dan mungkin


Subang Selatan pada umumnya) sudah serupa
dengan Gantangan di Subang Utara dan Tengah,
yaitu menggunakan sistem pencatatan terbuka dan
menjadikan sumbangan sebagai hutang-piutang
(kewajiban). Warga desa Cimenteng menyebut Gintingan
sebagai pertukaran beras dan uang antar warga
satu kampung dan luar kampung yang dibayarkan
ketika dilangsungkan pesta hajatan. Di luar gintingan
tersebut, mereka juga melakukan pertukaran beras dan
uang serta iuran lain-lain antar warga satu kampung
yang disebut sebagai persatuan atau satuan. Adanya
bermacam-macam kegiatan kolektif semacam itu
selain menunjukkan kentalnya kehidupan komunal, juga
menunjukkan bahwasanya setiap rumah tangga sangat
menggantungkan kehidupannya kepada rumah tangga
lainnya (interdependensi).

Secara historis, menurut penuturan beberapa


informan, sampai dengan tahun 1960-an, belum ada
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 59

sistem pencatatan sumbangan hajatan itu. “masing-


masing ge emut, dicatet di hate” (setiap orang ingat
dan dicatat didalam hati). Barangkali karena jumlah
penduduk yang masih belum sebanyak sekarang
dan hubungan yang masih sangat dekat. Pada
tahun 1964, mulai banyak orang yang lupa, “seeur nu
hilap”, sehingga masing-masing rumah tangga mulai
mencatat sumbangan yang diterimanya, agar ketika
mengembalikan tidak lupa. Akan tetapi pencatatan
ini dilakukan diam-diam, tidak secara kolektif, catatan
pribadi. Akhirnya pada tahun 1985-an, mulai muncul
penggunaan sabun colek dan rokok sebagai undangan
hajatan. Konon ini pengaruh dari utara, “pengaruh ti
kaler”, yaitu saudara-saudara atau kenalan mereka yang
tinggal di desa-desa utara (Kec. Pagaden) mengundang
mereka dengan cara seperti itu. Dinilai praktis, pada
akhirnya cara tersebut mulai ditiru dan meluas
penggunannya.

Ingatan warga merujuk pada Ceu Rohimah, sebagai


orang yang pertama kali mengajak dan mengenalkan
hajatan gintingan secara utuh pada saat hajatannya
di tahun 1995. Mulai dari situ, kemudian pola pesta
hajatan dan tradisi nyumbang di Cimenteng ini serupa
dengan desa di utara, yaitu ada juru tulis Gintingan,
ada batas minimal gintingan, dan kewajiban-kewajiban
dalam pengembalian gintingan. Hingga hari ini, minimal
gintingan untuk beras adalah 5 liter (1/2 gantang) dan
maksimal 50 kg (1/2 Kw). Pembatasan jumlah gintingan
60 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

inilah yang unik dan membedakan daerah tonggoh


dengan di utara. Nampaknya, mereka tahu benar
terhadap kemampuan mereka, baik secara ekonomi
atau ekologi, bahwa hasil panen padi mereka tidaklah
sebagus dan sebanyak di dataran rendah (banyak
hama). Sehingga mereka merasa perlu membatasi
gintingan agar tetap pada batas kemampuan mereka
untuk membayar.

Untung rugi dalam pesta hajatan, nampaknya


juga bukan hal yang tabu menjadi bahan perbincangan
masyarakat. Menurut warga, “hajatan teh kumaha
perbuatan. Saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, saha nu
kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos”
(untung/ruginya hajatan itu tergantung pada perbuatan
seseorang, barang siapa rajin datang dan menyimpan
ke orang lain maka akan banyak menuai hasil gintingan,
sebaliknya yang malas menyimpan yang mungkin tidak
akan terbayar modalnya/rugi, tidak akan mendapat
kelebihan uang). Perbedaan lain di daerah tonggoh
ini adalah frekuensi hajatan setiap musim yang tidak
terlalu memberatkan/sering. Rata-rata hanya 6-7 kali
panggung dalam setiap musimnya (6 bulan). Biasanya
hajatan ramai di bulan Raya Agung, di Musim kemarau,
dan di Bulan haji.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 61

Gambar 22. Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan


pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)

r+m r+m

r+m
B C
r = beras, m = uang

Keterlibatan dalam pertukaran gintingan ini


adalah sukarela, tidak ada paksaan. Banyak juga warga
yang tidak mengikuti sistem ini, artinya dia hanya
menyumbang seikhlasnya dan tidak dicatat dalam
buku gintingan (tidak wajib dikembalikan). Toleransi
terhadap mereka yang belum bisa membayar hutang
(mengembalikan gintingan) juga masih cukup besar,
yaitu ditunggu sampai mampu membayar. Bahkan
mereka yang pindah domisili pun tidak menjadi
masalah berarti, sepanjang di domisilinya yang baru
masih terjangkau dan bersedia datang jika diundang.
Contohnya adalah Bu Nane, seorang Bidan yang
pernah bertugas di Cimenteng. Suatu ketika ia pindah
dinas ke Indramayu, warga pun tetap mengantarkan
undangannya ke ibu Nane, sebaliknya, Bidan tersebut
juga tetap berkomitmen dengan membayar hutang/
simpanan warga ketika ia hajatan dahulu
62 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 12. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan

TIPE A TIPE B TIPE C


CIRI-CIRI
(Nyambungan) (Gintingan) (Golongan)
Norma resiprositas

Mengikat v v v

Memaksa v v

Sanksi tegas v

Volume pertukaran pasti v

Waktu pengembalian
v
terjadwal

Jaringan

Antar keluarga dan


v v v
Tetangga dekat

Satu desa v v v

Luar desa v v

Ikatan antar aktor yang


v
kuat

Kepercayaan (trust)

Ditagih v v

Dicatat Sendiri v v

Dicatat Juru Tulis (pani-


v v
tia hajat)

Dicatat oleh Ketua


v
kelompok
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 63

Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3)


Desa Lokasi Penelitian (2012)

Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan


Karakteris- Masyarakat pesisir, petani/ Masyarakat sekitar Masyarakat sekitar
tik Komu- petambak, buruh tani, perkebunan karet dan tebu, hutan, petani,
nitas nelayan, jasa dan perda- buruh tebas, petani dan peladang, dan
gangan buruh pabrik peternak.

Terbuka, miskin = tidak Terbuka, miskin = Terisolir, miskin =


memiliki lahan sumberdaya minim minim akses

Istilah Telitian Talitihan atau Gantangan Gintingan


Modal
Sosial

Sejarah Pengaruh/meniru dari Pengaruh/meniru dari Pengaruh/meniru


Mulainya Karawang dan Indramayu Subang Utara dari Subang Tengah
Gantangan dan Utara

Penyebaran Melalui perkawinan, Melalui perkawinan, Melalui jaringan


perpindahan penduduk dan perpindahan penduduk dan pertemanan,
jaringan pertemanan jaringan pertemanan perpindahan
penduduk dan
perkawinan

Pola Pola A. Pemberian beras < Pola A. Pemberian beras < Pola A. Pemberian
resiprositas 5 liter, tidak dicatat, tidak 5 liter, tidak dicatat, tidak beras < 5 liter, tidak
dan wajib dikembalikan, mulai wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib
pertukaran menghilang. menghilang. dikembalikan, mulai
menghilang.

Pola B. Menyimpan beras Pola B. Menyimpan beras Pola B. Menyimpan


5-10 liter, uang > Rp. 5-10 liter, uang > Rp. 10.000, beras minimum 5
15.000, dan sembako dan sembako lainnya, liter dan maksimum
lainnya, dicatat, wajib dicatat, wajib dikembalikan, 50 kg, uang >
dikembalikan, masih masih eksis tapi mulai Rp. 10.000, dan
eksis tapi mulai menurun menurun karena frekuensi sembako lainnya,
karena ketidakjujuran hajatan yang tidak diatur (19 dicatat, wajib
dan frekuensi hajatan kali setahun) dan kesulitan dikembalikan,
yang tidak diatur (21 kali ekonomi masih eksis dengan
setahun hajatan rame-rame frekuensi hajatan
ditambah hajatan tanpa relatif rendah (7-8
hiburan yang tidak tercatat) kali setahun)

Pola C. Menyimpan beras Pola C. Menyimpan beras


dalam sebuah kelompok dalam sebuah kelompok
mirip arisan sebanyak mirip arisan sebanyak @10
@50 kg, uang Rp. 50.000, liter, uang Rp. 20.000, dan
daging sapi, daging ayam, sembako lainnya yang
dan sembako lainnya dikelola oleh Ketua Rombol,
yang dikelola oleh Ketua dicatat, wajib dibayarkan,
Golongan, dicatat, wajib jumlah anggota 40 orang/
dibayarkan, jumlah anggota kelompok, waktu pengem-
45 orang, waktu pengem- balian/hajatan tidak/belum
balian/hajatan dibatasi 4 dibatasi/diatur.
kali setahun
64 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3)


Desa Lokasi Penelitian (2012)

Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan


Bandar Memiliki power sentral Memiliki pengaruh kuat Belum terlalu memi-
Hajatan dalam pertukaran dalam pertukaran liki pengaruh/power

Waktu Musim panen, pernikahan, Musim panen, Pernikahan, Musim panen,


hajatan khitanan, kelahiran, naik khitanan, kelahiran, naik Pernikahan,
haji, membangun/merehab haji, membangun/merehab khitanan, kelahiran
rumah, dan kebutuhan rumah, dan kebutuhan
mendesak lainnya mendesak lainnya

Kesan ·   Perempuan : (1) Bayar (2) ·   Perempuan: (1) Hutang (2) ·   P: (1) Simpanan
terhadap Makan (3) Beras Uang (3) Beras (2) Usaha (3)
gantangan ·   Laki-laki : (1) Bayar (2) ·   Laki-laki : (1) Hutang (2) Hutang
Utang (3) Pusing Pusing (3) Bayar ·   L : (1) Hutang
(2) Simpanan (3)
Pusing
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 65
66 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
06

FUNGSI
SOSIAL
GANTANGAN
Sudah menjadi suatu hukum sosial
bahwasanya suatu tradisi atau
adat-istiadat akan ditinggalkan jika
ia tidak lagi memiliki fungsi bagi
anggota masyarakatnya.
68 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

B
anyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan
bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan
tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita
rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya.
Berbagai tradisi yang hilang tersebut selain disebabkan oleh
datangnya pengetahuan yang baru (modern), juga karena ia telah
kehilangan fungsi sosial dan ekonominya.

Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-


lahan semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di
pedesaan Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga
dasawarsa terakhir (1980an-2010-an) justru semakin menguat
dan meluas ke berbagai wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini
secara substansi masih eksis disebabkan oleh beberapa alasan,
Pertama, ciri kolektivitas masyarakat pedesaan di Subang ini
belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong menolong dan
“selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam komunitasnya
menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar anggota
masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat
dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan
ini masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial
lainnya, yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini
masih disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya
(resepsi), maka gantangan ini masih mendapatkan medan atau
arena untuk mempraktekkannya.

Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis


ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh
pertanian padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan,
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 69

produktivitas padi/beras menjadi faktor utama keberlanjutan


tradisi ini. Sepanjang lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan
tidak terjadi penurunan produksi yang drastis (kerawanan pangan),
ditambah daya beli masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka
pertukaran gantangan ini masih akan terus eksis. Keempat, untuk
menjalankan pertukaran gantangan ini dibutuhkan satu modal
yang semakin hari sebenarnya semakin mahal, yaitu rasa saling
percaya (trust). Dalam perkembangannya pertukaran gantangan
ini telah diwarnai oleh berbagai tindakan dan perilaku tidak jujur
dari anggota maupun panitianya. Di beberapa desa, akibat dari
ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah orang yang terlibat
dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah tangga yang
masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain, mereka
menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan
jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain (lebih
perhitungan). Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari
seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan
oleh calon penyimpan.
70 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Gambar 14. perkembangan jumlah kelompok kesenian di


Kab. Subang (2005-2009)
Perkembangan Jumlah Kelompok Kesenian
Untuk Hajatan di Kab. Subang (2005-2009)

250

200
Jumlah Kelompok

150

100

50

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun


2005 2006 2007 2008 2009
Wayang Golek 27 27 20 16 20

Wayang Kulit 8 8 4 4 3

Organ Tunggal 91 91 139 108 232

Qosidah 74 74 27 11 35

Sisingaan 109 109 115 116 144

Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010

Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah


satu wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan
kata lain, raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata
pencaharian atau sumber penghidupan bagi para seniman
atau grup-grup kesenian di daerah. Bayangkan jika masyarakat
pedesaan tidak lagi “meniscayakan” adanya hiburan kesenian
ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin banyak kelompok-
kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan lahan usahanya
(gulung tikar).
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 71

Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman,


pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan (khitanan,
perkawinan, kelahiran, dll) ini sekarang juga menjadi pasar bagi
para pedagang beras, daging, dan sembako lainnya. Mereka
memanfaatkan momen pesta hajatan ini untuk meraih untung
dengan cara menawarkan modal hajat (panjer), baik secara
langsung maupun melalui para perantara. Selain modal yang
kembali, para pedagang (atau lebih dikenal sebagai bandar hajatan)
ini juga mengikat beras hasil hajatan (beas hajat) untuk dibeli
dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagang/bandar
ini semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan
hajatan, sekalipun tidak memiliki cukup modal.

Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan


dan pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara
individual tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan
ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga.
Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran
gantangan ini antara lain :

a. Hayang kapuji (ingin dipuji)

Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri


tamu undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang
besar pada akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat
pada posisi sosial yang terhormat ditengah komunitas
masyarakat desa. Kondisi seperti diatas akan mengundang
decak kagum dan selanjutnya akan menjadi buah bibir di
tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy, hajatan tiasa
menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu kemudian
72 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut


dan semakin dipercaya oleh masyarakatnya. Di sisi lain,
menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan
gengsi bagi keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset
(misalnya hajatan orang/keluarga kaya) dari perkiraan
bahwa yang terjadi hajatannya tiis (dingin, sepi) dan hasil
gantangannya sedikit (rugi), maka harga diri orang/keluarga
tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut pengaruh
dan posisi sosialnya juga ikut merosot.

b. Hayang Kasohor (ingin terkenal)

Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu


hajatan menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya
status dan posisi sosial seseorang/keluarga, maka ada
juga yang mencoba menaikkan status keluarganya dengan
mengadakan pesta semeriah mungkin dengan modal besar
(diluar kemampuan sebenarnya). Spekulasi semacam
ini (mengadakan hiburan mewah, misalnya) dilakukan
dengan harapan agar menarik perhatian warga masyarakat
lainnya sehingga dapat menjadi buah bibir bahwa keluarga
A itu mampu dan kaya/sukses. Namun, seringkali warga
masyarakat juga mempertimbangkan aspek lainnya, seperti
apakah orang itu punya posisi tertentu dalam pemerintahan/
pejabat, apakah punya pengaruh/disegani, pendatang
atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil
keputusan untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatan/
gantangan tersebut. Ada juga beberapa kasus dimana pesta
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 73

yang sangat meriah, tetapi hasil gantangannya sangat kecil


(rugi), sehingga lahir istilah “budak Bogor” (Biar Tekor yang
penting Kesohor) sebagai sindiran.

c. Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial)

Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan


mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif
pribadi dan tanpa adanya paksaan dari orang lain (keluarga
atau panitia). Namun ketika ditanya lebih lanjut, seringkali
mereka mengungkapkan bahwa gantangan itu sudah
menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi maksud tanpa
paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan” daripada
inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang
tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa
“tidak enak” jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri
tidak ikut. Perasaan ingin “sama dengan yang lain (orang
dekat)” menjadi motivasi untuk bergabung. Sejauh peneliti
mendalami, memang untuk terlibat atau tidak ini tidaklah
mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa tokoh
masyarakat (kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang)
pun tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan
warganya.

d. Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan)

Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi


vertikal (mengikuti pemimpin/orang besar) masih belum
74 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

sepenuhnya hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta


hajatan dengan hiburan dan gantangan ini menjadi ajang
bagi bapak hajat maupun tamu undangan untuk sama-
sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat kekayaannya,
kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya. Misalnya,
melalui saweran17 orang bisa menunjukkan “identitas
sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan
status orang tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok
kesenian maupun dimata tamu undangan lainnya. Biasanya,
tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat yang kebetulan datang
menjadi tamu undangan, akan dengan sengaja dipanggil oleh
MC dan diundang untuk menyawer. Tamu pejabat itu pun
sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang untuk
disawerkan. Seperti sudah menjadi tuntutan. Selain pejabat/
tokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut
menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat
meriah di mata tamu undangan.

e. Loba babaturan (banyak teman)

Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas


pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya
bersifat terbuka, artinya orang luar desa pun boleh ikut
“menyimpan”. Semakin banyak orang menyimpan kepada

17
Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari
jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan
dengan cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap
penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 75

orang lain, maka semakin banyak pula hasil yang akan dia
peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya
bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini
adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya,
sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta
hajatannya pun kemungkinan juga bisa semakin banyak.
Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan,
seseorang juga perlu memperbesar volume (jumlah uang
dan beras) yang disimpannya kepada orang lain agar hasil
gantangannya bisa besar.

f. Silih bantu (resiprositas)

Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak


membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”.
Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang.
Oleh karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam
gantangan ini juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat
mereka juga membutuhkan bantuan dari warga masyarakat
lainnya. Dengan adanya pertukaran gantangan ini, timbal
balik itu menjadi semakin kontraktual, karena jelas besar
pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan.
Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang
sama, namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-
nya memang lebih kentara dalam pertukaran gantangan ini.
76 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

g. Raramean & Ngabring

Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk


berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta
hajatan, ada kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-
bapak, untuk ngabring (berjalan bersama-sama, beriringan)
sambil membawa/menjinjing beras menuju tempat hajatan.
Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah
yang terjauh sampai rumah yang terdekat (pasampeur-
sampeur). Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan
saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya,
sehingga apabila disampeur tidak ikut/datang akan muncul
rasa malu. Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang
meskipun sudah sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada
dua, pertama, sudah banyak warga yang memiliki kendaraan
bermotor, sehingga mereka merasa lebih praktis untuk
berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang yang dekat
saja. Kedua, jumlah beras yang disimpan/dibayarkan sudah
tidak lagi 1-2 gantang (10-20 liter), melainkan sudah sampai
50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika
menggunakan kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa
dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan
jauh jaraknya. Biasanya mereka akan menyewa mobil bak
terbuka (pick up) untuk kemudian ramai-ramai menuju
tempat hajatan. Selain lebih irit (biaya transportasi) juga bisa
menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 77
78 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
07

FUNGSI
EKONOMI
GANTANGAN
80 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

a. Ngarep leuwihna (untung)

Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga


karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan
untuk mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan –
(modal hajat + biaya hajat) = untung”. Kebanyakan warga
tidak melihat bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya
adalah bentuk lain dari “hutang” atau “kewajiban yang
tertunda” saja, sebab di lain waktu ia harus mengembalikan
“kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika ada selisih
diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut
“rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara
efisiensi hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya
(tidak perlu mewah) dan pulangan/anteran yang murah
meriah (misalnya kerupuk atau pisang). Sebaliknya, mereka
akan mempertahankan hiburan yang meriah karena
dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar datang
berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan
beras yang lebih banyak.

b. Nyimpen (nabung)

Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta


dalam gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan”
kepada masyarakat yang dapat ditarik sewaktu-waktu
membutuhkan. Dengan adanya dua skema “nyimpen” dan
mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang ia tetap
bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 81

Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya


ini, biasanya informan akan mempertimbangan kredibilitas
calon bapak hajat, apakah ia bisa dipercaya dan dianggap
mampu mengembalikan/membayarkan simpanannya kelak
atau tidak?

c. Itung-itung Arisan

Ada juga informan yang menganggap pertukaran


gantangan ini sebagai layaknya arisan, dimana kita
akan menerima dan mengembalikan sejumlah uang dari
anggota masyarakat lainnya dalam satu periode tertentu.
Dengan menganalogikan dengan arisan, maka pertukaran
gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung, “plus-
plas” bahasa lokalnya (impas).

d. Neangan modal (mencari pinjaman modal)

Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup


penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak.
Misalnya ketika rumah tangga membutuhkan biaya untuk
membangun rumah, merehab rumah, membangun kamar
mandi atau untuk membuka usaha baru (menggadai sawah,
membeli angkot, dll) mereka dapat mengadakan hajatan
“narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan inilah yang
kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut.
82 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

e. Ngagolangkeun simpenan (memutar simpanan)

Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak


perlu pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab,
selain memiliki hutang yang harus dibayar, mereka juga
terus menyimpan kepada anggota masyarakat lain setiap
ada hajatan. Ada istilah “membayar hutang lama plus
menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya A memiliki
hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B
mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10
liter beras itu ditambah simpanan baru 10 liter (total yang
dibawa ketika hajatan oleh nyonya A menjadi 20 liter).
Demikian seterusnya, sehingga pertukaran gantangan ini
dapat terus-menerus dilakukan.

f. Teu sampai potol (tekor)

Salah satu gagasan/pemikiran dari warga masyarakat tetap


melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah
untuk “menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman”
beras dan uang dalam gantangan ini memungkinkan
bapak hajat untuk dapat menyelenggarakan hajatan tanpa
kekurangan bahan maupun modal. Sekalipun tidak untung,
setidaknya tidak rugi, demikian prinsip sebagian besar
informan pelaku gantangan dalam penelitian ini.

g. Sumber penghasilan tambahan

Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya


seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya,
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 83

merupakan aktivitas ekonomi yang bagi sebagian orang


dianggap menghasilkan/menguntungkan. Mulai dari
petugas keamanan (satgas desa, hansip, polisi, TNI),
aparat desa, kelompok kesenian (hiburan), persewaan
tenda, tukang masak, pemuda karang taruna (tukang parkir
dan tukang angkat beras), dan pedagang kaki lima turut
menikmati keuntungan (setoran, upah, hasil berjualan)
dari diadakannya pesta hajatan rame-rame. Sekalipun tidak
besar rupiah yang dapat mereka peroleh, namun dengan
frekuensi pesta hajatan yang semakin sering dan pertukaran
gantangan yang semakin besar, mampu menjadi sumber
penghasilan tambahan yang menguntungkan.

h. Pasar kaget (pasar bagi pedagang kaki lima)

Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai


oleh deretan pedagang kaki lima (penjual bakso, siomay,
bakso tahu, mainan anak-anak, penjual minuman,
pedagang kelontong, mie ayam, dan lain sebagainya) yang
menjajakan dagangannya sepanjang jalan masuk maupun
keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan, atau
semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan
panjang pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang
sudah dianggap sebagai bagian dari penyemarak hajatan
dan penarik bagi anak-anak maupun tetangga sekitar untuk
terus berkumpul di sekitar lokasi hajatan/hiburan. Sehingga
kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga.
84 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
08

KOMERSIALISASI
EKONOMI
dan SOSIAL di
PEDESAAN JAWA
Arus modernisasi, globalisasi
dan bahkan liberalisasi ekonomi
memang telah memberikan
dampak nyata pada transformasi
struktur dan kultur masyarakat,
khususnya di pedesaan.
86 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

M
eluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga
memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional
masyarakat desa adalah kondisi yang paling
sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut.
Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-
sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan)
juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin
lebar (Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial
menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan
diri sendiri (self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai
homo economicus (Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami
transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas
inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang.

Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi


dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan18
dan transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional
merupakan ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji.
Mengingat, seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982),
bahwasanya untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita
harus mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya
masyarakat, haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah
satu kajian terkait dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi
sosial ekonomi masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H.
Penny (1990), dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan

18
Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa-
desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap
pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya
pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village
citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 87

dan kemiskinan di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi


pasar (yang kini bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi,
globalisasi dan liberalisasi).

Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan


(Peny, 1990:81-85).

Komersialisasi

Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya

1. Cara (moda) ekonomi yang 1. Frekuensi Gotong royong


dominan 2. Partisipasi dalam acara/
2. Peranan harga dalam alokasi upacara sosial
sumber daya 3. Tingkat perceraian
3. Pasar tenaga kerja 4. Tingkat migrasi terpaksa
4. Persewaan tanah/lahan 5. Tingkat apatisme individu dan
5. Peminjaman dan gadai tanah sosial
serta pemilikan yang lainnya 6. Tingkat kejahatan/kriminalitas
6. Kemiskinan absolut dan relatif

Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa


liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi
masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal
memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah
yang harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan
yang membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori
liberalisme - yang diwujudkan dalam proses komersialisasi atau
pasarisasi (marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat
88 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

pedesaan di Indonesia19. Buktinya, proses komersialisasi yang


sama persis terjadi di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa
hasil akhir yang bertolak belakang.

Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya


(Kiri). Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang
terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab
perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan
ekonomi.

Jumlah Kasus Perceraian di Kabupaten Subang


(2006 - 2010)
1811
1631
1545

1647
1407

2006 2007 2008 2009 2010

Faktor Tertinggi Penyebab Perceraian di Kab. Subang


(Tahun 2006 - 2010)

800
Jumlah Kasus

600
Poligami
400
Ekonomi

200

Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun


2006 2007 2008 2009 2010

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010

19
Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan
bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan
ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di
Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak
sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara
genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia
yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang
sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela
utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan
Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih
sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James
C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi
tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus
perekonomian di negara berkembang.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 89

Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui


proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa –
dan Asia Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan
keterampilan-keterampilan non-pertanian dan laju kemiskinan
serta kemelaratan jauh lebih cepat daripada sebelumnya
(Soedjatmoko, 1980:46). Ditandai dengan terjadi erosi bertahap
dari berbagai bentuk hubungan produksi lama dan meningkatnya
dominasi buruh serabutan seiring berkembangnya kapitalisme
agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah dengan gejala pengasingan
(alienasi), kemerosotan dalam hidup bermasyarakat serta tidak
adanya perhatian terhadap kepentingan bersama telah melanda
sebagian besar kehidupan wong cilik di pedesaan Jawa.

Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari


komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat
pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena
ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”.
Mereka yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan
wujud transisi masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki
lima dasar argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni
(1) mendorong peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani,
bertambahnya pilihan jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-
paham politik (2) memungkinkan suatu bangsa melakukan
spesialisasi (keuntungan komparatif) (3) meningkatkan mobilitas
bangsa-bangsa, terobosan-terobosan baru yang berani di bidang
intelektual (4) orang menjadi lebih rasional dalam tindakan dan
perilaku ekonomi, politik, dan sosial lainnya serta (5) perbaikan
komunikasi dan berkurangnya kepercayaan kepada takhayul
(Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168).
90 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa


komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab,
komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan
antara “kekayaan untuk diri sendiri” dan “kesejahteraan umum”,
merosotnya “perasaan bermasyarakat”, lunturnya kemampuan
memperoleh teman, polusi, kerusakan lingkungan dan lain
sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa
di jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya
pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah,
upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa
petani yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian
besar petani lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan
berhutang dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu,
desa-desa yang dulunya makmur dan aman dengan lumbung-
lumbung pangan mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk
berswasembada.

Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.


Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus
meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.

Tingkat Kriminalitas di Kabupaten Subang


tahun 2006-2010
800
Jumlah Kriminalitas

600

400

200

0
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2006 2007 2008 2009 2010

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 91

Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan,


namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian
dan adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh,
ketika involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari
tekanan penduduk dan sumber daya yang semakin menurun -
maka struktur sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi20
, melainkan cenderung tetap berusaha untuk menjaga
homogenisasi sosial dan ekonomi diantara mereka. Dalam
istilah Geertz (1983:102) fenomena ini disebut sebagai “berbagi
kemiskinan” atau “kemiskinan yang dibagi rata” (shared poverty).
Dalam konteks “memiskinkan bersama” ini, masyarakat desa
membagi-bagi rezeki yang mereka punya bersama-sama, hingga
lama-kelamaan makin sedikit bagian yang diterima oleh setiap
orang atau rumah tangga. Pola inilah yang barangkali juga menular
pada hubungan-hubungan sosial lainnya, dimana aturan-aturan
(rules) dalam masyarakat juga turut berubah sedemikian hingga
mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebih-lebih dengan
makin kencangnya arus globalisasi-modernisasi-liberalisasi
ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup kemungkinan
pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang, bermutasi

20
Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat
di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam
taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang
diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama
interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga
dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah
seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat
“personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau
kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di
pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan
juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan
tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan
adat-istiadat.
92 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

dan bahkan menghilang mengikuti semangat individualisme dan


komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari ini.

Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang


secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan,
pendapatan hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi
dengan perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin
berwatak “modern” yang ditandai dengan sikap komersil21,
individualistik, rasional, dan berorientasi material22. Pandangan
kita tentang masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas
tinggi, gotong royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-
hampir musnah akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan
liberalisasi pasar ini. Salah satu indikasi paling mencolok dari
berubahnya pola relasi dan mindset warga desa adalah makin
terpinggirkannya tradisi-tradisi dan ritual-ritual tertentu yang
menjadi warisan nenek moyang mereka secara turun menurun.
Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga yang masih bertahan,
seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat ditemui di hampir
setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi nyumbang ini
memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya dapat bertahan
meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian kencang.

Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang


ini tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini
merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang

21
Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka
golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny,
1990:xvviii).
22
Yuniarto, 2009:197
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 93

terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena


itu bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan
pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi
yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi
ini disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik
(resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada
suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa
dari anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana
tradisi nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang
melanda desa tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi
nyumbang ini ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang
menurut para ahli dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan
dan disharmonisasi sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana,
barangkali dapat kita simak sebagian contoh atau bentuk tradisi
sosial (nyumbang) yang ada di Pulau Jawa, antara lain :

Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah

Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah


biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara
pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga,
dan teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi
dengan membawa amplop berisi uang sumbangan maupun
membawa kado. Namun, pada beberapa acara pernikahan ada
peraturan untuk tidak menyumbang berupa barang ataupun
karangan bunga. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam
undangan, biasanya digambarkan dengan gambar “kendi” atau
“celengan” yang biasa digunakan untuk menyimpan uang. Jika
94 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

dalam undangan tertera gambar tersebut, masyarakat sudah paham


bahwa yang mempunyai hajat menginginkan sumbangannya
berupa uang. Besarnya sumbangan juga disesuaikan dengan
mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah sumbangan yang harus
diberikan akan berbeda ketika acara tersebut diselenggarakan di
rumah atau di gedung pertemuan. Pada masyarakat pedesaan,
banyak yang masih memberikan bahan makanan seperti beras,
telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Akan tetapi
saat ini untuk kepentingan praktis, masyarakat pedesaan pun
mulai memilih nyumbang dalam bentuk uang. Hanya anggota
keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam bentuk bahan
makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih ada
hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun
semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala
“standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.

De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura

Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa


Tengah, pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal
tradisi nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku
tamu, para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya
dan disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah
sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar
sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut
akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan
untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama
dengan yang diterimanya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 95

Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur

Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai


pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada
pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun
bentuk sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang,
mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang
bisanya akan dibawa oleh kaum perempuan disamping uang,
Sedangkan untuk laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa
uang saja. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana
masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang
berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara
dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang
(tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Pelaksanaan
pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada di desa seringkali
aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan yang tidak bisa
ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang
memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena
keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya
keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari
usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan
pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari.
Dari mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara,
hingga selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan
membantu. Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga
waktu yang sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk
tradisi mbecek atau buwuh ini.
96 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat

Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”, atau


“Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang berkembang
di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat23 gantangan
seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah tengah dan
utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi
nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini terasa
sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan
menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun
jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan”
beras atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau
beras yang diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang
sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat.
Jika kelak si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang
serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan
sumbangan itu dengan nilai yang sama (Prasetyo, YE. 2010).

Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5


gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang
hajatan menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat
hajatan untuk mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik
kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan
nilai yang sama ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin
diinvestasikan oleh tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau,
punya tidak punya, harus mengembalikan beras dan uang tuan

23
Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan
kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi
untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5).
Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7),
Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 97

B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah


naik beberapa kali lipat dari saat menerimanya dulu. Akibat sistem
“tabungan” seperti ini, maka orang yang memiliki uang atau modal,
berbondong-bondong untuk menyimpan uang atau beras dalam
jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia
akan memanen semua “tabungannya” tadi. Fenomena piutang
hajat seperti ini bukan hanya berkembang di Kabupaten Subang,
tetapi juga di wilayah sekitarnya seperti di kabupaten Karawang
(Herdiani, 2003:41-42).

Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo (2003),


tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan
gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya
(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah
tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak
dapat serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang
masih kuat berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi
atau martabat. Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung
oleh rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana
seremonial (ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan
pola tradisi nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi
tata cara dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua
tradisi sosial diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang
hampir sama, yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala
komersialisasi tradisi nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat
dalam tradisi gantangan di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara
lain :
98 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan


tidak dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan
dimaknai sebagai hutang bagi penerima dan simpanan
bagi si penyumbang.

b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem


gantangan ini meskipun tidak memiliki hubungan
kekerabatan. Namun jika sudah masuk ke dalam sistem
gantangan, maka seseorang tidak dapat keluar sebelum
semua hutang-hutangnya terlunasi.

c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik


penyumbang maupun yang disumbang memegang
catatannya masing-masing dan diharapkan setiap
orang memiliki komitmen yang kuat dan kejujuran untuk
saling menyimpan dan mengembalikan.

d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/


mengembalikan sumbangan jika tiba pada waktunya.
Seandainya tidak datang, maka pemilik hajat
akan mendatangi langsung untuk menarik semua
simpanannya.

e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah


dan pada kasus tertentu dikenakan bunga dalam
pengembaliannya (hutang yang belum terlunasi,
khususnya kepada Bandar)

f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut


dapat diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau
keluarga lainnya (misalnya ketika yang bersangkutan
meninggal dunia atau menjadi TKI/TKW di luar negeri)
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 99

g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah


tangga. Tidak peduli sedang susah ataupun banyak
rejeki, sedang panen atau gagal panen, jumlah hutang
dan simpanan tidak dapat dikurangi/disesuaikan
dengan pendapatan saat itu.

h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar


besarnya sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat
dengan penyumbang. Biasanya pemilik hajat akan
melihat kemampuan dia dalam membayar kembali
setelah hajat selesai. Sebab, jumlah sumbangan yang
terlalu besar jika diterima begitu saja dapat menjadi
hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian
hari.

i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak


memiliki modal untuk menyelenggarakan hajat, maka
selain berharap sumbangan dari tetangga, ia juga dapat
meminjam (berhutang) kepada Bandar (beras, daging,
telur, gula, dan sebagainya). Kemudian setelah hajatan
usai, ia akan membayarnya kembali dengan harga atau
jumlah yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas,


tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan
ekonomi (Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang
dikemukakan oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah
rasional berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata
lain, interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun,
100 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

tidak semua pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma,


2004:52). Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan
pada pilihan-pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang
membuat manusia selalu mempertimbangkan keuntungan yang
lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).

Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi


kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai
kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana
masyarakat desa yang “dipandang miskin” itu justru memelihara
tradisi yang nampak “mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi
kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana harus menolong dan
berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang
pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa “orang makin miskin makin
bersikap komersil dan individualistik” menjadi tidak berlaku?
Atau justru tesis tersebut benar adanya, mengingat pola tradisi
nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa menjadi medan
akumulasi keuntungan sebagian anggota masyarakatnya? Atau
sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang membuat tradisi
nyumbang ini memiliki wajah dan derajat komersialisasi yang
berbeda-beda?
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 101
102 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
09

KOMERSIALISASI
SOSIAL : DARI
RESIPROSITAS
KE PERTUKARAN
SOSIAL
Dalam Sosiologi Ekonomi
(ekonomi distribusi), hubungan
timbal balik antar warga
masyarakat seperti dalam tradisi
nyumbang, gantangan, gotong
royong dan lain sebagainya itu
disebut sebagai resiprositas.
104 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

H
ubungan timbal balik atau resiprositas tersebut dapat
terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok yang memiliki posisi dan
peran sosial relatif sama serta saling bergantian. Misalnya peran
sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang diundang (tamu
undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas,
yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas
sebanding (balanced reciprocity) (Damsar, 2009:105).

Resiprositas umum artinya kewajiban memberi atau


membantu orang atau kelompok lain dengan tanpa mengharapkan
pengembalian, pembayaran atau balasan yang setara dan
langsung. Sekalipun terdapat pamrih dalam melakukan pemberian,
namun tidak ada batasan waktu dan jumlahnya serta tidak ada
mekanisme untuk menagih pengembaliannya. Resiprositas umum
ini biasanya didorong oleh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat
bahwasanya menolong dan memberi kepada orang lain itu adalah
suatu perbuatan yang dianjurkan dan bernilai sosial.

Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah kewajiban


memberi atau membayar apa yang orang dan kelompok lain berikan
kepada kita, dan biasanya jumlah dan waktu pengembaliannya
setara, terjadwal dan langsung. Resiprositas sebanding inilah
potret yang terjadi dalam tradisi pesta hajatan dan gantangan di
pedesaan Subang, dimana kewajiban timbal balik dilakukan dalam
sebuah kesepakatan yang terbuka, setara dan tercatat secara
jelas segala sesuatunya di dalam buku gantangan. Setiap orang
dalam jaringan resiprositas sebanding ini telah mengkalkulasikan
pengorbanan dan keuntungan yang akan mereka peroleh masing-
masing (pertukaran sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding
ini masih menekankan pada “kesetaraan” antara apa yang pernah
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 105

diberikan dengan apa yang akan diterima (balasan). Namun,


secara praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini bisa menjadi
pintu masuk bagi komersialisasi sosial dan bahkan tidak menutup
kemungkinan pada akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan
ekonomi.

Gambar 25. Resiprositas dan Pertukaran Ekonomi

Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Resiprositas

Produksi Resiprositas Konsumsi

Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Pertukaran

Konsumsi

Produksi Distribusi

Sumber : Swedberg (2003) dalam Damsar (2009:112) Keuntungan

a. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-


Kontraktual

Transformasi tradisi Nyumbang yang bersifat sukarela


menjadi tradisi Gantangan yang bersifat kontraktual pada mulanya
ditandai dengan adanya sistem pencatatan. Hadirnya pencatatan
ini dimulai pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an.
Berbagai informasi yang dikumpulkan oleh penulis di ketiga lokasi
penelitian menunjukkan kemiripan satu sama lain terkait kapan
dimulainya pencatatan Gantangan ini? Tetapi, masayarakat di
Subang Utara memang lebih dulu memulai model pencatatan
Gantangan yang mereka adopsi dari tradisi di wilayah Karawang
(Barat) dan Indramayu (Timur) daripada masyarakat di Subang
Selatan.
106 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tujuan pencatatan jumlah sumbangan oleh bapak hajat, baik


yang berupa uang dalam amplop, beras, maupun sumbangan-
sumbangan lain ini pada mulanya adalah bertujuan untuk
menghindari lupa (seeur nu hilap / banyak yang lupa). Beberapa
informan yang sudah sepuh (tua) mengatakan bahwa dimulainya
pencatatan tersebut disebabkan oleh makin banyaknya orang
yang mampu untuk menyelenggarakan pesta hajatan, sehingga
setiap orang atau rumah tangga juga semakin sering menerima
undangan. Barangkali ini terkait pula dengan laju pertambahan
penduduk di pedesaan dan mulai membaiknya perekonomian
mereka. Ditambah, sudah mulai banyak warga desa yang mulai
mengenal baca tulis dan anak-anak mereka mulai mampu untuk
melakukannya. Pencatatan sederhana pun mereka lakukan,
agar ketika membalas undangan dari saudara atau tetangga,
sumbangan mereka minimal sama atau tidak kurang dari yang
pernah diberikan oleh si pengundang. Mereka akan sangat malu
jika sumbangan yang mereka berikan ternyata lebih kecil dari yang
pernah diterimanya.

Pada perkembangan selanjutnya, pencatatan yang


dilakukan untuk tujuan menghindari lupa (informal) itu kemudian
menyebar dan berkembang menjadi salah satu instrumen dalam
penyelenggaraan hajat. Meja khusus untuk pencatatan pun
disediakan oleh bapak hajat di depan pintu masuk sebelum
tamu undangan bersalaman dengan bapak hajat atau memasuki
pelataran rumah. Saudara atau orang yang dipercaya kemudian
diminta tolong untuk mencatat setiap tamu undangan yang datang
beserta barang bawaannya. Dengan demikian, tidak ada satu pun
tamu undangan yang terlewat untuk dicatat nama dan barang
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 107

bawaannya atau jumlah sumbangannya. Namun, pada masa awal


mengenal sistem pencatatan ini, belum muncul standar jumlah
sumbangan. Setiap tamu undangan yang merupakan saudara,
tetangga, kenalan di dalam kampung maupun diluar desanya itu
memberikan jumlah sumbangan yang sangat bervariasi sesuai
dengan kemampuannya. Ada yang hanya ½ gantang (5 liter) beras,
1 gantang, 10 gantang dan seterusnya sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Tidak ada tuntutan dari tuan rumah terkait besar
sumbangan tersebut.

Namun, kehadiran meja juru tulis tersebut tentu saja


membawa konsekuensi lain, yaitu orang menjadi tahu berapa
jumlah sumbangan tamu undangan lainnya. Setiap orang yang
datang pun mulai memperhitungkan jumlah sumbangannya
dengan status sosial yang disandangnya. Tentu saja akan ada tamu
yang malu jika ternyata orang yang lebih miskin darinya ternyata
menyumbang lebih besar daripada yang Ia berikan. Apalagi juru
tulis mencatat dan akan tersebar dengan cepat melalui mulut
ke mulut tentang “kedermawanan” atau “kekikiran” seseorang
dilihat dari besar sumbangannya. Menyadari konsekuensi sosial
semacam itu, hadirnya pencatatan di meja juru tulis kemudian
melahirkan stratifikasi jumlah undangan yang mengerucut pada
tiga besaran sumbangan, yaitu sumbangan orang kaya, kelas
menengah dan sumbangan warga kelas tidak mampu. Penulis
menyebut fenomena ini sebagai “standarisasi alamiah” yang
terjadi ketika jumlah sumbangan menjadi “rahasia umum” (mirip
dengan penentuan iuran dalam konteks yang lebih modern).

Ketika semakin banyak hajatan di desa yang mengadopsi


108 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

sistem pencatatan dan meja juru tulis di depan, maka semakin


banyak rumah tangga yang memiliki dan menyimpan buku
catatan gantangan itu, baik yang sudah melakukan hajat maupun
yang belum menyelenggarakan pesat hajatan. Mereka yang
belum menyelenggarakan hajatan mulai berpikir soal “menabung”
melalui pesta hajatan ini. Hadirnya buku catatan yang dimiliki
oleh bapak hajat melahirkan anggapan bahwa “setiap bapak hajat
pasti akan mengembalikan sumbangan yang diberikan oleh para
tamu undangan”. Anggapan tersebut kemudian terbukti dalam
kenyataan, dimana ternyata setiap orang yang pernah menjadi
bapak hajat sebagian besar “mengembalikan” atau “membalas”
sumbangan sama besarnya dengan yang pernah diterimanya
dahulu. Pola perilaku semacam ini kemudian ditangkap oleh
mereka yang belum menjadi bapak hajat untuk juga mencatat
semua sumbangan yang telah maupun akan mereka berikan
kepada tetangganya. Disinilah mulai luntur unsur kesukarelaan
dan diganti dengan pamrih baru, yaitu sumbangan gantangan
sebagai “simpanan” atau “tabungan” yang nanti dapat ditarik
ketika ia melakukan hajat.

Gambar 26. Buku Catatan Gantangan


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 109

Pada saat pencatatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak,


pengundang dan yang diundang, serta pergeseran persepsi dari
sumbangan yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan”
berlangsung, maka lahirlah aturan main baru yang dijalankan dan
disepakati bersama terkait pertukaran gantangan ini. Berbagai
bentuk sanksi mulai diawacanakan untuk memperingatkan
mereka yang menganggap remeh buku catatan gantangan yang
mereka pegang. Dengan kata lain, mereka yang sebelumnya tidak
mencatat pun menjadi ikut dalam sistem pencatatan ini karena
merasa tidak enak jika tidak mengembalikan apa yang pernah
diberikan orang lain ketika hajatan dalam jumlah yang sama.
Bahkan, bukan hanya jumlah yang sama, pada akhirnya mereka
pun berbondong-bondong “melebihkan” jumlah sumbangan
dari yang dulu pernah diberikannya. Kelebihan itu pun kemudain
akan dicatat oleh bapak hajat menjadi simpanannya (nyimpen
bari mayar). Demikianlah hubungan sosial dalam pesta hajatan
berubah menjadi hubungan kontraktual (hutang-piutang) dalam
pertukaran Gantangan.

b. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang

Transformasi sumbangan sukarela menjadi hutang-piutang


dalam pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna
dan penilaian terhadap komponen dalam pesta hajatan maupun
pertukaran Gantangan ini. Pertama-tama yang kemudian berubah
adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian? Sebab, salah
satu alasan utama suatu keluarga atau rumah tangga dapat
menyelenggarakan hajat yang “wajar” secara tradisi adalah anak.
110 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Ketika laki-laki dan perempuan di desa menikah, maka pesta


pernikahan itu bukanlah “milik”-nya atau menjadi kewajibannya,
melainkan menjadi pestanya orang tua. Orang tua yang menyiapkan
segala sesuatunya, termasuk keseluruhan biaya dan pengaturan-
pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi simbol
status sosial orang tuanya, misalnya apakah orang tuanya berhasil
mendapatkan menantu yang dianggap baik, pesta yang dianggap
meriah, dan kepantasan-kepantasan sosial lainnya.

Baru kemudian ketika pengantin baru di desa itu menjalani


kehidupan rumah tangganya sendiri, maka segala hal terkait
dengan kewajiban sosial menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Mula-mula ketika mereka istrinya hamil, kemudian melahirkan
anak, lalu mengkhitan anak (jika anaknya laki-laki) saat memasuki
usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut.
segala pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa
itu kemudian menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua.
Semakin banyak anak yang dimiliki, maka akan semakin banyak
“tuntutan” untuk menjalankan berbagai upacara sosial-keagamaan
seperti diatas. Pada keluarga tertentu yang kurang mapan secara
ekonomi, banyaknya kewajiban sosial seperti menyelenggarakan
hajat ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun,
bagi sebagian petani atau orang desa lainnya, banyaknya anak
ini sangat disyukuri karena memberikan kesempatan untuk
menunjukkan status, gengsi dan nama besar keluarganya. Pada
kondisi terakhir, anak dapat dianggap sebagai komoditas untuk
menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 111

Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai


berbeda? tentu saja. Di pedesaan Subang pada umumnya dan
di lokasi penelitian pada khususnya, makna anak laki-laki dan
perempuan berbeda dimata sebagian besar orang tua. Anak
perempuan atau perawan, dianggap sebagai aset utama hajatan.
Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan perkawinan, maka adat
Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh
pihak keluarga perempuan. Pesta hajat di keluarga perempuan
adalah yang diutamakan, sedangkan pesta di keluarga laki-
laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini, ketika pertukaran
gantangan telah mengakar, maka orang tua yang memiliki anak
perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “narik”
gantangan dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak laki-
laki. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui
gantangan menjadi lebih besar.

Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak laki-laki justru harus


“membayar”, baik berupa uang, mahar, maupun seserahan lainnya
kepada pihak perempuan. Dalam kasus pra-pernikahan seperti
tunangan, berkembang juga pola pembayaran yang nampak
menguntungkan bagi pihak perempuan. Yaitu jika dalam tunangan
pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat 10 gram, maka
ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat (100 gr)
yang harus dibayarkan. Dengan demikian, nilai anak perempuan
dalam masyarakat di pedesaan Subang termasuk dianggap
tinggi dan bernilai bagi orang tuanya. Dalam istilah sehari-hari
masyarakat lokal, anak perempuan bahkan dianalogikan sebagai
“barang dagangan” dalam konteks perkawinan.
112 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Nilai ekonomi seorang anak perempuan juga tidak hanya


dalam lapangan hajat, dasawarsa terakhir anak perempuan
makin bernilai secara ekonomi karena dianggap mudah untuk
mendapatkan pekerjaan diluar usaha pertanian. Dua lapangan
pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan menjadi
buruh migran (TKW) ke Malaysia atau Arab Saudi. Dalam
konteks ini, perempuan desa memang diandalkan sebagai katup
penyelamat ekonomi rumah tangga, khususnya bagi mereka yang
miskin dan kurang mampu. Bukan hanya sebagai komoditas
hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai komoditas
ekonomi rumah tangga, sehingga lahir banyak kasus-kasus
pemaksaan, perdagangan perempuan, prostitusi, perceraian yang
bermuasal dari nilai ekonomi perempuan ini.

Bagaimana dengan anak laki-laki? Dalam konteks hajatan


dan pertukaran gantangan, memiliki anak laki-laki sebenarnya
lebih cepat untuk “dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir
dan memasuki usia balita hingga remaja, maka orang tuanya
dapat mengadakan hajat “khitanan” sebagai arena untuk “narik
gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan
pun biasa disebut sebagai “pengantin khitan” dan pesta hajatan
yang diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas
pesta khitanan ini adalah dengan mengundang grup sisingaan.

Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga


memiliki nilai yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya
sebagai alat tukar, beras juga bukan hanya sebagai bahan pangan
pokok, melainkan keduanya telah menjadi instrumen untuk
menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. uang dan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 113

beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol


yang mengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga.
Uang dan beras tidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya,
melainkan juga dilihat sebagai sebuah “komitmen moral” untuk
saling membantu dan menepati janji satu sama lain di pedesaan.
Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras itu menunjukkan
tingkat kepercayaan (trust) seseorang kepada orang lainnya.
Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang
pernah diterimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang
kepada warga lainnya. Melupakan salah satunya, berarti keluar
dari sistem dan berarti pula merusak hubungan sosial satu sama
lain.

Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga


bermakna secara psikologis sebagai jaminan rasa aman warga
masyarakat di pedesaan, khususnya yang terlibat dalam pola
pertukaran gantangan. Dengan terlibat dalam pertukaran
gantangan, rumah tangga tersebut merasa aman ketika sewaktu-
waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar.
Sebab, ia yakin bahwa warga desa lainnya akan berkenan
“meminjamkan” beras dan uang mereka melalui pertukaran
gantangan ini. sebagian besar dari mereka tidak melihat pinjaman
tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai
instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat
ekonomi. Bagi orang kaya, banyaknya beras dan uang yang
diberikan semakin memberikan penegasan atas kekuasaan dan
pengaruh mereka ditengah masyarakat.
114 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan


dengan “uang perempuan”, karena dibawa oleh perempuan.
Sedangkan uang diasosiasikan dengan “uang laki-laki” karena
dibawa dalam amplop oleh laki-laki. Ketika anak, uang dan beras
menyatu dalam sebuah pesta hajatan, maka dalam alam berpikir
orang desa ketiganya menjadi sesuatu yang dianggap dapat
menghasilkan secara ekonomi. Mengatur dan memainkan irama
antara anak, beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam
kehidupan rumah tangga orang desa. Mereka harus pandai-pandai
berhitung, mulai dari sisi bagaimana memperlakukan anak?
Bagaimana mengatur produktivitas di lahan pertanian? hingga
bagaimana mendapatkan pekerjaan-pekerjaan alternatif lainnya
untuk mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi
berbagai kewajiban sosial sekaligus mendapatkan untung untuk
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Terlihat sederhana, namun
pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut sangatlah
kompleks.

Komodifikasi hajatan, sebagai bentuk komersialisasi sosial


tahap awal ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang
mungkin tidak terjadi di daerah lain, termasuk pada komunitas
Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola pesta hajatan yang khas
dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain :

1. Orang dapat melaksanakan hajatan khitan tanpa harus


mengkhitan anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan
jauh-jauh hari sebelumnya atau nanti setelah pesta
hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih
mengedepankan perhitungan kebutuhan ekonomi untuk
narik gantangan daripada perhitungan melaksanakan ritual
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 115

tradisinya.

2. Pihak keluarga laki-laki dalam sebuah pernikahan dapat


melakukan hajat “narik gantangan” sebelum pesta hajatan
pernikahan (resepsi) di pihak perempuan. Bahkan pesta itu
dilakukan sebelum akad nikah terjadi. Mengapa demikian?
karena pihak keluarga laki-laki membutuhkan sejumlah
modal untuk dibayarkan kepada pihak perempuan, sehingga
mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu.

3. Orang atau keluarga tidak perlu menunggu memiliki kelebihan


rejeki untuk mengadakan pesta hajatan. Mengapa demikian?
Karena ia dapat menyelenggarakan pesta hajatan dengan
seluruh modalnya berasal dari pinjaman/hutang, baik dari
bandar maupun saudara. Konsekuensinya adalah ia harus
membayar seluruh pinjaman tersebut langsung setelah
hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan
menjadi sebuah aib (hal buruk).

c. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan

Akhir-akhir ini, kehadiran bandar menjadi suatu entitas yang


sulit dilepaskan dari hajatan maupun pertukaran sosial gantangan
itu sendiri. Bandar atau pemodal hajatan ini mulai marak muncul
sekitar dua dasawarsa terakhir. Kehadiran bandar semakin
akrab setelah krisis ekonomi 1998, dimana dampak dari krisis
ekonomi tersebut sangat terasa hingga ke pedesaan. Bandar
hajatan ini merupakan tokoh protagonis sekaligus antagonis di
dalam masyarakat pedesaan Subang. Dalam dunia pertanian
– sebagai mata pencaharian pokok warga – kehadiran bandar
116 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

sudah mendarah daging sejak lama. Kehadiran mereka juga kerap


dianggap sebagai penolong sekaligus penghisap dalam tata niaga
pertanian tersebut.

Mengapa peran bandar demikian penting? Dalam sistem


pertukaran sosial gantangan, bandar ini berperan sebagai alternatif
pemberi modal. Ketika bapak hajat terdesak kebutuhan ekonomi
maupun kewajiban sosial (seperti harus menikahkan anak) dan
tidak memiliki uang untuk menyelenggarakan hajatan, maka ia
bisa datang kepada bandar untuk meminjam uang sebagai modal
awal hajatannya (panjer). Tetapi tidak selalu bapak hajat yang
datang ke bandar, saat ini justru seringkali bandar – melalui kaki-
tangan atau orang-orang kepercayaannya – yang door to door
menawarkan jasanya kepada para calon bapak hajat. Sebelum
“kontrak”nya dengan bandar dijalankan, terjadi negosiasi antara
bapak hajat dengan bandar, terutama soal bagaimana mekanisme
pengembalian pinjaman tersebut.

Biasanya, bandar akan meminta pengembalian pinjaman


dengan disertai bunga yang disepakati ketika perjanjian awal.
Selain tambahan bunga, bandar juga biasanya mendapatkan
akses tunggal terhadap beras hasil hajatan tersebut. Artinya, beras
yang diperoleh bapak hajat tidak boleh dijual kepada orang lain,
akan tetapi hanya kepada bandar tersebut. Itu pun dengan harga
jual yang lebih rendah dari harga beras di pasar. Rasionalisasinya
adalah karena beras hajat tersebut merupakan beras campuran
dari berbagai jenis, bahkan banyak mengandung raskin (beras
miskin) atau beras dengan kualitas kurang bagus. Hal ini menjadi
legitimasi bagi bandar untuk menurunkan harganya. Setelah dapat
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 117

membeli beras hajatan, bandar pun akan menjual kembali pada


para tengkulak yang masuk dalam jaringan bisnis mereka.

Seiring dengan makin seringnya masyarakat menggunakan


jasa bandar ini, maka lama-kelamaan bandar menempati posisi
yang penting pula dalam jaringan pertukaran gantangan ini. Ada
bandar-bandar yang memang orang lokal setempat, namun banyak
pula bandar yang berada jauh di luar desa tersebut. Bandar-bandar
yang berada jauh ini – terkadang di kota – biasanya menempatkan
orang-orang kepercayaannya (perantara) di pelosok-pelosok desa.
Sebagai contoh orang kaya pemilik pemotongan hewan besar,
biasanya ia memiliki orang-orang khusus untuk menawarkan
jasanya kepada calon bapak hajat. Jika berhasil mendapat
kesepakatan, maka si perantara akan mendapatkan komisi dari si
bandar daging. Demikian pula yang dilakukan oleh bandar beras
maupun bandar-bandar lainnya. Bagi bandar lokal,. Semakin
sering dan banyak warga yang meminjam kepadanya, maka ia
akan menjadi orang yang semakin memiliki pengaruh di tengah
masyarakatnya. Orang menjadi segan dan menghormati si bandar
karena banyak orang yang berhutang kepadanya. Dalam benak
warga, suatu saat bukan tidak mungkin dialah yang akan menjadi
peminjam berikutnya kepada si bandar.

d. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Gantangan

Konsep komersialisasi sosial disini bermakna “menjadikan


hubungan-hubungan sosial itu seperti pasar (hubungan kontraktual),
dimana terdapat mekanisme pembentukan harga dan berorientasi
pada keuntungan”. Dalam konteks pesta hajatan dan modal
118 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

sosial Gantangan di pedesaan Subang ini, komersialisasi sosial


berarti sebuah penggambaran bahwasanya pesta hajatan di
pedesaan Subang ini telah menjadi komoditas bagi rumah
tangga untuk mencari untung, baik dalam bentuk materi (uang,
beras, dan sembako lainnya) maupun non-materi (status, gengsi,
kehormatan). Mekanisme komersialisasi itu adalah dengan
pengesahan norma hutang-piutang dalam berhajatan secara
terstuktur dan kolektif, sehingga memungkinkan rumah tangga
yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan materi dan non-
materi ketika ia melaksanakan pesta hajatan dengan sistem
gantangan.

Gambar 27. Relasi mikro-makro dalam komersialisasi


sosial Gantangan

Komersialisasi Komersialisasi
Ekonomi Sosial

Nilai-nilai Perilaku mengejar


Individualisme untung

Beberapa istilah dalam bahasa lokal yang menunjukkan


bahwasanya pesta hajatan di pedesaan ini tidak lagi menjadi
media berbagi dan bersifat sosial (syukuran) tetapi telah berubah
menjadi media yang lebih bersifat ekonomi, antara lain : “orang
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 119

hajat jangan sampai potol” (orang hajat jangan sampai rugi), “urang
hajat mah neangan leuwihna” (kita mengadakan pesat hajatan ya
untuk mencari lebihnya = total sumbangan dikurangi modal), “di
wilayah urang mah can aya hajatan nu rugi” (di desa kami sampai
sekarang belum ada orang hajatan sampai rugi), “itung-itung dapet
pinjeman” (hajatan itu anggap saja seperti kita dapat pinjaman dari
tetangga), “hajatan mah kumaha perbuatan, saha nu rajin nyimpen
ya loba hasilna, kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging
artos” (berhajatan itu sesuai dengan perbuatan, kalau dulunya
rajin menyimpan ya akan mendapatkan hasil banyak, kalau malas
menyimpan ya bisa tidak terbayar modalnya, tidak akan mendapat
uang banyak), dan lain sebagainya.

Gambar 28. Proses Transformasi Pertukaran Sosial


Gantangan

Liberalisasi Revolusi Swasembada Krisis


ekonomi hijau beras moneter

• Belum • muncul • Sistem • Sistem • Muncul


muncul sistem pancatatan gantangan kelompok-
istilah/ pencatatan mulai makin kelompok
sistem oleh masing- dilakukan meluas yang
gantangan masing oleh juru • Undangan menerapkan
• Gotong bapak hajat tulis hajatan diturunkan sistem
royong • undangan (gantangan) menjadi gantangan
dan tolong hajatan • Hajat = vetcin & (rombol,
menolong berupa rokok komoditas sabun colek golongan,
murni • Anak = • Bandar hajat rombongan)
komoditas bermunculan • Bandar hajat
hajat makin eksis

1970 1980 1990 2000 2010

Pemberian Resiprositas Resiprositas Komersialisasi Komersialisasi


umum sebanding tahap I tahap II
120 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Bersamaan dengan semakin memudarnya gotong royong,


ternyata tradisi nyumbang hajatan di pedesaan ini pun berubah
haluan dari yang semula bersifat sukarela dan tanpa pamrih,
menjadi bersifat kewajiban dan mengharapkan timbal-baliknya
secara terbuka. Hampir semua perlengkapan dan sumber daya
manusia yang dikerahkan untuk menyelenggarakan pesta hajatan
kini harus disewa atau dibayar oleh bapak hajat. Tidak peduli
apakah ia tetangga dekat atau jauh, hubungan transaksional
lebih dikedepankan daripada hubungan kedekatan. Orang tidak
akan tergerak atau kapok (jera) membantu tetangganya yang
hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu sebagai timbal baliknya
(upah), seperti uang, beras atau makanan. Bahkan dalam aspek
kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan pun akan menjadi
pertimbangan bagi bapak hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada
tetangga atau kenalan tidak datang memenuhi undangan, maka
ketika mereka hajatan, bisa jadi bapak hajat akan membalas untuk
tidak datang. Catatan kehadiran dan jumlah sumbangan (dalam
buku catatan gantangan) itulah kemudian pedoman bagi ada
tidaknya tolong-menolong atau hubungan timbal balik antar warga
di pedesaan Subang ini.

Komersialisasi dalam bentuk komodifikasi hajat barangkali


masih bersifat halus, bentuk komersialisasi sosial yang lebih
kentara adalah masuknya Bandar hajatan, yakni orang-orang
yang memiliki modal atau memiliki koneksi dengan pemodal
yang menjadikan hajatan seseorang sebagai pasar untuk mencari
untung. Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman (panjer)
modal kepada calon bapak hajat, baik modal dalam bentuk uang,
beras, daging, hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer itulah
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 121

kemudian Bandar atau pemodal tersebut akan mengikat hasil


hajatan, khususnya beras dan uang, untuk nanti dibeli olehnya
(tidak dijual kepada orang lain). Sebagian hasil hajatan sebagai
pembayaran hutang (panjer modal), sebagian besar lainnya
adalah untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar (sesuai
hasil kesepakatan sebelumnya/saat meminta panjer).

Perilaku seperti inilah yang disebut Kunio sebagai perilaku


“menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan hati monopolistik
(monopolistic favours) (Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar
hajatan, hadirnya kelompok-kelompok gantangan (Golongan,
Rombol, Rombongan) yang diketuai oleh elit terkaya di desa ini telah
melahirkan struktur jaringan pertukaran yang baru dan memberi
peluang pertukaran yang semakin besar (volume dan jaringannya)
bagi lapisan atas hingga pada akhirnya makin memperkuat
pengaruh dan kekuasaan mereka (Ritzer, 2010:387)
122 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
10

DINAMIKA
AKTOR DALAM
PERTUKARAN
SOSIAL
GANTANGAN
124 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

a. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan)

Pak Ahmad24(48) dan Istrinya, bu Ismi25(45) adalah salah


satu profil keluarga keturunan pendatang dari Jawa yang
menetap di Subang Utara. Dalam Jejaring pertukaran sosial
Gantangan, posisi keluarga Sholeh ini berada di dalam namun
tidak mengikatkan diri dalam jejaring tersebut. sebagai salah
satu generasi awal yang berpendidikan hingga level sarjana (S1),
Pak Ahmad memang memiliki cara pandang yang seringkali
berbeda dengan kebanyakan masyarakat di sekitarnya. Misalnya
dalam melihat tradisi Gantangan atau Telitian yang berkembang
di desanya, ia melihat bahwa tradisi ini telah “melenceng” dari
niat atau tujuan sebenarnya, yaitu tolong menolong atau gotong
royong. Telitian yang bermakna “silih genteng” (saling bergantian)
ini dimata Pak Ahmad tidak lagi simpatik dan kehilangan nilai-nilai
sosialnya. Oleh karena itu, sejak telitian pertama kali masuk ke
Subang utara dan semakin meluas perkembangannya, keluarga
Pak Ahmad memutuskan untuk tidak mengikuti pola pertukaran
Telitian ini. Ia lebih memilih untuk tetap pada tradisi nyumbang/
nyambungan biasa, dimana setiap datang ke kondangan Ia hanya
memberikan amplop tanpa mencatatkan jumlahnya kepada juru
tulis Gantangan. Sebaliknya, ketika Pak Ahmad hajatan, Ia juga
tidak mengharapkan semua orang memberikan sejumlah uang
atau beras dalam jumlah tertentu. Seikhlasnya.

24
Bukan nama sebenarnya
25
Bukan nama sebenarnya
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 125

“ Telitian di sini ramai dari tahun 90-an ke atas


sampai dengan bubarnya panitia tahun 2000-
an. Tradisi ini berasal dari karawang. Bahkan di
karawang masih menggunakan sistem panitia
sampai sekarang. Sebaliknya di desa Jayamukti
semakin hari semakin menurun jumlah orang
yang datang memenuhi undangan hajatan. Jika
dipersentase, dari undangan untuk 1 desa (di undang
semua) hanya 30% yang datang. Hal ini menunjukan


rasa sosial antar warga semakin menurun. Dulu
orang khan datang hajat karena ada perasaan
dekat dan malu. Sekarang “ada unsur dendam”, jika
pernah tidak datang dibalas juga tidak datang
oleh yang pernah mengundang…

Ketidakikutsertaan Pak Ahmad dalam sistem Telitian ini


menjadi unik disebabkan oleh posisinya sebagai tokoh masyarakat
(Sekretaris Desa). Jabatan sekretaris desa tersebut tidak lantas
memaksanya untuk mengikuti seluruh norma dan kebiasaan yang
berlangsung di tengah masyarakatnya. Pak Ahmad menegaskan
posisinya bahwa meski dia tidak ikut serta dalam telitian, bukan
berarti dia melarang telitian tersebut. Padahal, jika dia mampu
memanfaatkan status sosialnya sebagai sekretaris desa,
kemungkinan besar ia bisa mendapatkan keuntungan dari sistem
telitian tersebut. Pak Ahmad lebih didorong oleh pertimbangan
126 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

rasional dan mencoba belajar dari pengalaman. Ia sangat


memahami seperti apa karakter masyarakat di desanya. Karena
paham tersebut, akhirnya ia memilih untuk tidak mengikuti telitian.

“ Perhitungan mereka (masyarakat-pen) itu


kalau ikut undangan hajatan ada 3 yang menonjol,


(satu) “kalau gak akrab ya gak datang”, (dua)
“undangan hanya ngasih dua puluh ribu, itung-
itung ajang makan-makan sepuasnya” dan (tiga)
“kalau bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung
dipinjami…

Sebagai seorang PNS, tokoh masyarakat, dan orang yang


pernah mengenyam pendidikan tinggi, Pak Ahmad dan Istri juga
sangat memahami bagaimana perhitungan ekonomi dari Telitian
di desanya. Ia sama sekali tidak menampik bahwa sistem Telitian
ini jika diterapkan dengan benar akan membawa keuntungan
bagi bapak hajat, atau setidaknya tidak akan mengalami
kerugian. Sebaliknya, orang-orang seperti dirinya yang tidak
menerapkan Telitian ini memang selalu “rugi” secara material.
Tetapi “untung” dan “rugi” itu dilihat dengan cara berbeda oleh
Pak Ahmad. Menurutnya, konsep “untung” dan “rugi” yang
dipahami oleh kebanyakan anggota masyarakatnya itu adalah
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 127

pemahaman yang sempit dan bersifat materi belaka. Mereka


tidak terlalu memperhitungkan masalah tanggung jawab dalam
mengembalikan, beban hutang, kepercayaan, pendapatan dan
beban-beban seremonial lainnya. Meskipun Ia tidak untung ketika
hajatan (jumlah sumbangan warga selalu lebih kecil dari modal
dan biaya hajat), namun ia terbebas dari berbagai kewajiban/
hutang kepada tetangganya (orang lain). Hal inilah justru yang
disebut keuntungan bagi Pak Ahmad.

“ ..Iya, manfaat telitian ini ya mendapatkan


untung misalnya, biaya dan modal hajatan 20 jt
(pinjaman dari warung, toko, bandar dll) lalu dapat
sumbangan talitian sampai 50 jt. Selisih itulah
yang kemudian akan digunakan untuk menggadai
sawah, empang, meningkatkan perekonomian
keluarga dan cadangan pembayaran ke depan.
Meski kelihatannya menguntungkan, sebagian
besar warga Jaya Mukti khan tergolong miskin
dan kurang berpendidikan….Pendidikan yang minim


menyebabkan sering terjadi cek-cok akibat nama
penyumbang yang tidak tercatat, banyak yang
tidak bisa membaca, curang dalam pencatatan
(misal 8 ltr di tulis 10 ltr), bahkan buku catatan
telitiannya ilang, gimana coba?
128 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Pak Ahmad memang selalu menggarisbawahi soal nilai


kejujuran di tengah masyarakat. Pengalaman menunjukkan sulit
sekali mengharapkan seluruh orang bersikap jujur. Pak Ahmad
hafal sekali beberapa kasus penyelewengan Telitian di desanya ini.
Dirinya pula yang beberapa kali harus menjadi penengah dari pihak-
pihak yang berselisih paham. Menurut penuturannya, menjelang
tahun 2000-an, muncul kasus penipuan yang dilakukan oleh
beberapa panitia telitian. Empat orang dari delapan panitia telitian
di desanya telah bertindak tidak jujur, yaitu tidak mencatatkan
seluruh sumbangan dari tamu undangan (korupsi). Akibatnya,
ketika tamu tersebut mengadakan hajatan dan menarik kembali
simpanannya, banyak tamu yang tidak datang karena merasa
tidak ada nama si pengundang dalam buku catatan telitiannya.
Ketika bapak hajat menagih kepada tamu tersebut, si tamu
bersikukuh bahwa tidak ada nama bapak hajat itu dalam buku
catatannya. Sementara bapak hajat yakin dia sudah menyetor
simpanan kepada panitia. Kemudian perdebatan ini berujung cek-
cok dan berakhir pada kecurigaan terhadap panitia. Sejak saat itu,
panitia telitian dibubarkan dan tidak dipakai lagi oleh masyarakat.
Beberapa insiden semacam itu menjadi salah satu pertimbangan
utama kenapa Pak Ahmad dan istri memutuskan untuk tidak
mengikuti Telitian.

Selain masalah kepercayaan (trust), rendahnya tingkat


ekonomi warga juga menyebabkan Pak Ahmad ragu terhadap
kemampuan dan keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya.
Dari tahun ke tahun, Pak Ahmad merasakan bahwa jumlah keluarga
yang miskin di wilayahnya semakin meningkat. Banyak orang yang
dulunya petani kini hanya menjadi buruh tani. Pengangguran juga
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 129

semakin banyak, khususnya kaum perempuan dan anak muda.


Jika kondisi ekonomi masyarakat tidak berubah atau beranjak
naik, Ia pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama.
Sebab, beban ekonomi rumah tangga yang semakin berat masih
harus ditambah dengan beban sosial (hutan dan kewajiban sosial)
yang juga semakin berat.

“ …Pada waktu panen seharusnya


mendapat dukungan penuh (ngeprik atau memungut
sisa-sisa panen) tapi sekarang nggak ada. Padahal,
ini terkait dengan telitian, pendapatan berkurang
tapi hutang jalan terus. Faktor pendukung dari
kaum ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini,
suami


meskipun kelihatan agak berkurang, tapi telitian
masih jalan. Tapi kalau begini terus, mungkin ke
depan hanya tinggal dibawah 50% saja yang ikut
telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu
sudah selesai…

b. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan)

Menurut penuturan Pak Didi26 (50 tahun), salah seorang


Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat
dan merupakan wujud dari sikap “saling mendukung” antar warga

26
Bukan nama sebenarnya
130 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Didi pernah


mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari telitian ini, yaitu
ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah dari
bilik bambu diatasnya. Keluarga Pak Didi adalah contoh profil
rumah tangga ekonomi lemah (bawah) di Desa Jayamukti, Subang
Utara. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil
(kepala dusun). Sehingga dalam kesehariannya ia lebih banyak
melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan administrasi
untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga hingga terlibat
dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri dan
sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya
cukup disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada
dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya.

“ …tahun 2004 Saya hajatan dengan modal


Rp. 7.000.000,- saya dapet hasil telitian Rp.
9.000.000. Keuntungannya ini (sambil menginjakkan
kaki ke lantai tanah rumahnya), Saya belikan tanah
dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini
hasil telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga
yang kelas menengah bawah, dengan modal hajat


Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp.
20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga
menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,-
ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d.
Rp. 70.000.000,-…
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 131

Di dusun wilayah dusun Pak Didi ini, urusan hajatan cenderung


sangat mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing
20 kursi plastik yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya
yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat
80 kursi hasil swadaya dusun.


“ …Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya
ada 6-7 panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa
sampai 15 panggung…

Menurut Pak Didi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah


terbiasa dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek
dan juga swadaya dalam pembangunan masjid di dusun mereka.
Perelek adalah Sumbangan atau iuran berupa beras yang
diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh pak RT
untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan
perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam
kemasan. Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan
sejak terbentuk panitia pembangunan masjid.

Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi


“swadaya” lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau
yang disebut dengan Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara
meminta sumbangan dari warga yang kebetulan melintas di
jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan biasanya digunakan
132 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan. Kencrengan


biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang
yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut.
Peralatan untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring
ikan, tong bekas/batang pisang (untuk pembatas/pembagi jalan),
tenda/ terpal, pengeras suara (untuk orasi), bendera merah (untuk
tanda pelan-pelan). Terkadang panitia dan petugas kencrengan
juga memiliki seragam, memakai topi dan masker untuk
menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut Pak Didi, bisanya
mereka bisa mendapat Rp. 200.000/hari untuk jalan desa. Untuk
jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh
hingga lebih dari Rp. 400.000/hari.

Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun


Tegaltangkil itu, keikutsertaan keluarga Pak Didi dalam Gantangan
atau Telitian ini didorong oleh norma sosial dan kebutuhan
ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak Wakil menunjukkan
kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal maupun
horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik
warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman
warga desa di Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, Pak
Didi berniat untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan
pertama kali sebenarnya bukan dari dirinya, melainkan dari sang
istri, Ai (40 tahun) yang sering bergaul dan mengikuti kumpulan dan
arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai kumpulan tersebut
informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik untuk ikut
serta. Sebab, bagi Pak Didi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga
atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika
mereka membutuhkan uang sewaktu-waktu.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 133

Senada dengan keluarga Pak Didi, keluarga Pak Imam27


juga profil rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam
pertukaran sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga
Pak Imam (52 tahun) dan bu Astrid28 (50 tahun) termasuk dalam
kelompok menengah ke bawah, namun secara status sosial Pak
Imam merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayamukti,
Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Imam tumbuh dan diperkuat
oleh posisinya sebagai Satgas (kepala hansip) di desa Jayamukti.
Posisi yang dijabatnya sejak enam tahun yang lalu (2006) ini
memungkinkan Pak Imam untuk bertemu dan berkomunikasi
dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya di desa
Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis karena
fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator
konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan
masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan
ketika ada warga yang akan melakukan hajatan rame-rame.

Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga


Pak Imam ini juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari
pertukaran sosial Gantangan di desa Jayamukti. Bapak dua anak
yang beristrikan seorang buruh tani ini adalah salah satu warga
yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan, khususnya
setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat
ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada
waktu itu Pak Imam belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan
keluarga dekat dan kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini
disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang.

27
Bukan nama sebenarnya
28
Bukan nama sebenarnya
134 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“ …yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatan/


kondangan ini sepertinya telitihan. Jika kita


ada keperluan, boleh kita menanyakan. Misalnya,
mereka kondangan 1 gantang (10 liter), uangnya
50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya,
itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu
mereka tidak membayar bisa ditanyakan…

Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal


sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa
dan menjadi tradisi baru, kesibukan Pak Imam sebagai Satgas
otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip “jangan sampai
rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini semakin menguat.
Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk melakukan
berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu
undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan
semakin banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang
meriah, sehingga menarik orang untuk hadir ke dalam pesta
hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka fungsi dan peran Pak
Imam sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 135

“ …namanya hajatan,

Tidak semua
kadang-kadang
bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan
seterusnya. hajatan
ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut
aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi
besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya
bisa

dilaporkan

“karedok” (karaokean bari dodok/karaoke sambil


duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang,
jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan
kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas,
lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang
mengeluarkan ji in Kapolsek…

Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa


dari desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus
dihidupi, serta tidak memiliki sawah ataupun empang (tambak)
untuk digarap, kehidupan ekonomi keluarga Adul memang lebih
banyak bertumpu pada kelincahan Pak Imam dalam mencari
nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun
kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya.
Oleh karena itu, jaringan dan pelayanan Pak Imam kepada warga
desa lainnya juga akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan
ia terima. Oleh karena itu, ia sangat menerapkan toleransi dan
136 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran perijinan atau hajatan


dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa terbebani dan
puas dengan pelayanan Pak Imam.

“ …Menurut APPKD, (hiburan dengan) organ


tunggal itu biayanya 500 ribu. Tapi namanya
kita manusia, nggak semua membayar segitu,
kebanyakan kurang. Bahkan ada yang membayar
hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan
sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan
kelurahan lain, daerah saya ini yang paling murah.
Jadi, kalau kurang, kita nunggu yang lain lalu kita
gabungkan. Daerah lain organ tunggal 700rb-
1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi

harus melayani masyarakat…Kadang-kadang ada



sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita

hajatan bareng tiga atau empat, jadi agar tidak


bolak-balik saya mengurusnya sekalian. Hajatan
tidak menentu juga soalnya…

Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini,


sebagian warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa
hiburan atau dengan hiburan bernuansa agamis dan lebih
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 137

sederhana. Biasanya mereka yang memilih model hajatan ini,


menurut Pak Imam, adalah keluarga yang menengah ke bawah
atau keluarga santri (Haji) yang lebih suka hiburan bernuansa
Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung
kurang memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat
dipastikan sumber-sumber keributan seperti minuman keras,
musik keras dan kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan.

“ …lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan


atau yang berbau agama seperti marawisan,
ketimplingan, itu hanya mengetahui/tidak perlu ji in,


kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu
kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung
satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya.
Yang punya modal mah hiburannya yang besar,
organ tunggalnya juga yang mahal…

Pemahaman Pak Imam tentang seluk beluk hiburan yang


disukai oleh warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan
ia hafal diluar kepala tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa
hingga asal hiburan dan berapa jumlah orang yang terlibat di
dalam kelompok hiburan tersebut.
138 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“ …Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan


itu wayang 7 juta (paling mahal) 5 juta paling
murah. Kalau sandiwara itu paling murah 11 juta,
ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ tunggal,
klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12
juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah
Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus
dari yang disini. Setiap grup itu ada 30 orang lebih,
bagian peralatan, sound system dan sebagainya.
Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke
orang lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau
organ tunggal jumlah penyanyinya 4-5 orang,
biayanya 3,5 juta. Karedok itu sama seperti organ,
tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta,
penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus
arak-arakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya
hanya berisi 8 singa/gotongan. Kalau ada 10, 15, 25
bisa mencapai 9 juta. Terkadang begini, saya pesen
untuk keluarga sendiri satu set, maka tetangga
yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribu/gotongan.
Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa.

Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter


ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4
jam sudah termasuk atraksi dan sebagainya. Kalau
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 139

qosidah itu ada rombongan khusus desa jayamukti


(al badar), itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang
memakai orang yang haji atau islam yang tekun.
Nanti membayarnya dengan semen 10 sak/500
ribuan, nanti itu untuk membangun masjid. Kalau
pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu,
layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi


dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi.
Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini
juga dari Indramayu, karena disini tidak ada (40an
orang). Dangdut atau orkes melayu disini nggak
ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.

Selain gambaran umum tentang peran dan posisi Pak Imam


dalam dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang
menarik untuk kita dalami adalah sejauh mana keterlibatan Pak
Imam dan keluarganya dalam pertukaran sosial gantangan itu
sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki status sosial cukup
berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah
secara ekonomi, keterlibatan Pak Imam di dalam pertukaran
Gantangan merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia
memiliki peluang untuk selalu mendapatkan hasil Gantangan yang
besar karena jumlah tamu undangan yang banyak, namun disisi
lain ia juga terbatas dalam segi ekonomi.
140 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“ Saya bulan 3 tahun kemarin hajat (rasulan),


habis (modal) 17,8 juta, mendapat uang 34 juta,
masih ada lebihannya. Jika rata-rata 20.000,
itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh
masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan,
ada kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka
seolah melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar
begitu. Sekarang kondangan 20 ribu aja sudah
malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada yang
200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir
30%. Tapi ya itu, kalau mereka hajat kita harus
mengembalikannya hahaha…nah itu beratnya…Hari
ini saja saya telitian pada pak haji di Blanakan sana
habis 100 ribu, berasnya 1 gantang, itungannya 60
ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum keponakan

(yang hari itu juga sedang hajatan-pen)…

Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Imam diatas,


menunjukkan bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan
termasuk golongan ekonomi atas, tetapi memiliki jejaring dan
status sosial yang berpengaruh ditengah masyarakat. Hal tersebut
ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan simpanan
gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 141

merupakan simbol bahwa Pak Imam dipercaya mampu


mengembalikan simpanan Gantangan itu. Banyaknya jumlah
tamu undangan yang datang menandakan luasnya pergaulan Pak
Imam khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang berbanding
lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa
setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau
uang kepada keluarga Pak Imam. Sebab, ada juga hajatan yang
dihadiri banyak tamu, namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua
tamu berniat menyimpan atau menyimpan tetapi dalam jumlah
yang kecil.

“ …Kemaren setelah hajat


hutang-hutang semuanya. Sekarang ini semua
saya

orang di dapur dibayar, tukang cuci piring, tukang


masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang
masak 250 ribu/orang, cuci piring 100 ribu/orang,


tukang pendaringan (tukang nunggu beras, kue,
bereskan

dsbnya) dibayar 200 ribu, ditotal-total bisa lebih


dari 1 juta itu. Kalau kebayan (panitia-pen) tidak
dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan
dekorasinya aja sampai 7 juta itu…
142 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang


Gantangan tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang
harus dibayar oleh bapak hajat, dalam hal ini Pak Imam, juga
besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela
seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau tidak
mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau
upah. Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat
desa Jayamukti. Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju
pada standarisasi, bukan sekedar sukarela atau semampu dari
bapak hajatnya. Intinya, semua harus dibayar, sehingga bapak
hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk
dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan
hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa?
Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh
hasil Gantangannya.

“ Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya.


Kalau hiburannya mahal ya modal lebih gedhe.


Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang
termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali
hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih
hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan
penarinya paling banyak 15 orang…
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 143

Pengalaman Pak Imam dan keluarga dalam menyelenggarakan


hajat Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam
setiap hajatan tidak sama (fluktuatif), yaitu tergantung pada jarak
antara satu hajatan dengan hajatan lainnya dan jumlah simpanan
Gantangan sebelum hajat. Hal ini ditunjukkan dengan 3 kali
hajatan keluarga Pak Imam mengusung “judul” yang sama, yaitu
khitanan (baik anak maupun cucu), menyewa hiburan yang sama,
yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya (selisih antara modal
dan hasil) berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak
pernah sekalipun rugi.

“ … Hajat pertama (khitanan) saya dapet 9,4


juta dengan modal 5,7 juta. Lagi murah itu sebelum
krismon. Hajat kedua (khitanan cucu) habis 17,5
juta dapetnya 28 juta (tahun 1985, ini padi juga
masih 80 ribu), karena sering hajat jadi sebenarnya
makin lama makin menurun….Saya enggak pernah
mengalami rugi, bahkan, saya sendiri setiap hajat itu


yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang
hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya,
dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4
kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton
beras habis untuk makan semua…
144 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Kunci kesuksesan hajat menurut Pak Imam adalah rajin


tidaknya seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak
Imam meyakini, semakin sering kita menyimpan atau menghadiri
undangan hajat orang lain, maka ketika kita hajat pasti akan
mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak rugi. Solidaritas
dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam kontrak
tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika
kita semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan
orang lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri
undangan kita.

“ Seperti saya (ketika) hajat ke 2, saya naruh


ke 1400 orang, bayar-naruh, hasilnya khan jadi
kena. Jadi, makin banyak kita naruh ke orang,
hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu catatannya
semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang
kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan
ya nggak ada yang datang. Ada tetangga saya

hajatan, cuman dapat beras 3 karung, uang Cuma
8 juta…padahal (sewa) organ berapa? Itu katanya
jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya.
Itu dia berlebihan, padahal enggak gaul
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 145

Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas


kontraktual semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif
dengan membentuk kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya
terbatas (hanya bagi yang mampu) dan mengandalkan rasa saling
percaya pada komitmen serta kemampuan para anggotanya.
Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan tidak menentu seperti
Pak Imam pun memberanikan diri untuk terikat di dalamnya.

“ Disini juga ada telitian yang diketuai ketua,


nanti dia dapetnya 10%, orangnya memang tidak
datang, tapi berkatnya tetep dikasih dan diantar


oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama
saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut
rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di
tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini
namanya “golongan” itu

Bagaimana Pak Imam menyiasatinya?


146 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“ Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya


dapet laporan/perijinan itu jadi bisa saya gunakan
untuk 2-3 orang yang hajat. Saya mah blank tidak
punya apa-apa, tapi ya gitu kadang (dapat) dari


desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk
ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke
saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya
pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat.
Sawah, emapang juga gak punya saya pak…

Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan


di desa Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip
arisan yang disebut Golongan juga mengundang masuknya para
Bandar, yaitu mereka yang menawarkan pinjaman modal hajatan
kepada warga yang ingin menyelenggarakan hajatan. Proses
pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut “panjer”. Uang
panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan antara Bandar
dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo pengembalian,
mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah
satu kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan
sejumlah uang panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat
agar beras hasil hajatan nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi
hanya kepada si Bandar tersebut. kemudian disepakati berapa
harga beras hajat itu per kilogram atau per karungnya. Menurut
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 147

penuturan dan pengalaman Pak Imam, biasanya harga yang


ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500/kg dari harga pasar
pada umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena
kualitas beras yang tidak rata (campuran).

“ …Jadi terkadang gini, sebelum hajatan


saya minta panjer karena butuh uang khan,
4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu ngelihat,


ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3
juta) atau menengah ke atas. Tapi harganya
memang lebih murah, misalnya di pasar beras
Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini
kita sudah ada perjanjian…

Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran


sangat penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai
“penolong” oleh sebagian masyarakat, khususnya mereka yang
ingin menyelenggarakan hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal.
Bandar juga dianggap solusi paling cepat untuk menguangkan
seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera
melunasi hutang-hutang keluarga lainnya.
148 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

“ Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar,


taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar
besok. Biasanya malam langsung dihitung dapet
nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya baru
dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya.


Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta
pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka
harus memberikan untuk nanti orang hajatan yang
baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai
harus jual sawah atau empang.

Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis
atau kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar
akan memiliki orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang
dianggap sebagai “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta
hajatan dari tradisi menjadi komoditas ekonomi ini benar-benar
dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang kepercayaan inilah
yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan “panjer”
kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu
desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar
langsung yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa
orang kaya di desa Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar
lokal ini biasanya lebih selektif dalam memberikan bantuan, sebab
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 149

dia lebih tau seluk beluk atau riwayat hidup tetangganya, sehingga
dapat mengukur dengan lebih teliti kemampuan calon bapak hajat
ini dalam mengundang tamu atau mendapatkan keuntungan dari
Gantangan.

“ …Bandar ini bisa siapa saja. Anak saya


juga kalau ada yang hajat dia suka jadi bandar.
Kadang rebutan dengan yang lain, jadi nggak
harus satu bandarnya. Orang pasar biasanya
punya “tangan kanan”. Seperti anak saya,


kalau ada yang hajat dia datangi “berasnya
untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian, panjer
sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang
dia oper juga kepada temannya yang lain…ya,
mencari keuntungan sedikit lah…

Kasus keluarga Pak Imam ini merupakan sebuah potret


keterhubungan antara status sosial, jejaring sosial, kewajiban
sosial dan pilihan-pilihan rasional beserta strategi ekonomi
sebuah rumah tangga menengah ke bawah dalam sebuah jaring
pertukaran sosial Gantangan. Bagi keluarga Adul, pertukaran
sosial Gantangan merupakan kesempatan untuk mendapatkan
150 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

sekedar kelebihan untuk menutup kebutuhan ekonomi keluarga


sekaligus sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise
sebagai tokoh masyarakat yang meskipun secara ekonomi
terbatas namun secara pengaruh masih cukup mendapat tempat
di tengah masyarakatnya.

c. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan)

Ibu Dian (44 tahun) tinggal di dusun Awilarangan, Desa


Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah). Ia merupakan
pendatang dari Kadipaten, Majalengka dan masuk ke Subang
sejak tahun 1983. perempuan lulusan SD ini adalah ketua rombol
di Awilarangan sejak tahun 2005. Ia dan sepupunya dari Dusun
Waladin adalah inisiator sekaligus orang yang mengkoordinir
para anggota kelompok rombol di dusunnya masing-masing
dan melakukan pertukaran antara kedua dusun tersebut. Selain
kelompok rombol Ibu Dian, kemungkinan juga ada kelompok
rombol lainnya.

Menurut Ibu Dian, di dusun Awilarangan ini terdapat


beberapa “sistem pertukaran” barang dan uang yang mirip dalam
penerapannya, tetapi berbeda dalam sifat keanggotaan dan besar
atau volume pertukarannya. Beberapa sistem pertukaran sosial
tersebut antara lain gantangan, rombol dan talitihan. Pertama,
Gantangan dalam terminologi dan pemahaman masyarakat
setempat dipahami sebagai pertukaran beras dan uang yang
dilakukan antar tetangga dan warga satu desa maupun luar desa
ketika hajatan dan dilakukan pencatatan, baik oleh penyimpan
(kaondang) maupun penerima (kahutangan). Gantangan ini mulai
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 151

ramai sejak tahun 2000-an. Minimum simpanan gantangan adalah


Rp. 10.000,- untuk uang dan 5 liter untuk beras. Jumlah warga
yang terlibat dalam gantangan ini kurang lebih 300-an orang
(satu dusun), karena memang spiritnya adalah gotong royong dan
saling menolong. Gantangan ini biasanya dilakukan ketika hajatan
pernikahan dan khitanan.

Kedua, Talitihan, yaitu pertukaran beras dan uang serta


barang-barang lainnya seperti bumbu dapur, minyak, minuman
dalam kemasan, rokok, dan lain-lain sebelum hari hajatan (H-
3). Biasanya dilakukan oleh para saudara dan tetangga dekat.
Terhadap berbagai barang yang disimpan juga dilakukan
pencatatan oleh penerima/bapak hajat (yaitu menjadi hutang bagi
mereka). Jumlah atau besar talitihan sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak.

Ketiga, Rombol, yaitu pertukaran beras dan uang yang


dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu dengan diketuai oleh seorang
ketua panitia. Rombol ini “mirip” dengan arisan tetapi menggunakan
sistem “gantangan”, sebab penarikan dan penyimpanan uang/
beras dilakukan ketika hajatan. Namun, untuk rombol tidak terbatas
pada hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan juga dapat
dilakukan ketika kebutuhan mendesak, seperti pembangunan
rumah, menggali sumur, dan lain sebagainya.

Menurut penuturan Ibu Dian, kelompok rombol ini dimulai


tahun 2005 dengan anggota awal 21 orang Ibu-Ibu. Saat ini, anggota
rombol bertambah mencapai 50-an orang. Meskipun anggota
dan hasilnya terlihat “lebih kecil” dari gantangan, tetapi modal
anggota rombol juga lebih sedikit, sebab ia tidak perlu memberi
152 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

makan anggota lainnya, karena yang melakukan penarikan uang


dan datang ke rumah cukup ketua panitia saja. Anggota rombol
yang menyelenggarakan hajat cukup memberikan “uang sabun”
seikhlasnya kepada ketua panitia. Sehingga hasil narik rombol
tersebut relatif “utuh” dan menguntungkan. Minimum simpanan
Rombol adalah Rp. 20.000 untuk uang dan 5 liter untuk beras.

Dengan adanya ketiga sistem pertukaran tersebut, maka setiap


warga boleh ikut menyimpan di ketiga sistem itu dan bahkan boleh
untuk tidak ikut sama sekali dalam tiga sistem pertukaran sosial
tersebut. tidak ada paksaan untuk masuk, tetapi jika sudah masuk
semua dipaksa untuk mematuhi aturan mainnya (membayar tepat
waktu). Tugas seorang panitia seperti Ibu Dian ini sangat sentral
dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia
adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin
menarik simpanannya. Tugas yang biasa dikerjakan oleh Ibu Dian
ketika ada tetangganya yang hajatan antara lain : Menyebarkan
undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun), menarik dan
mencatat simpanan setiap anggota, menagih kepada anggota
yang tidak datang/belum membayar. Jika yang ditagih belum ada
uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai
yang ditagih memiliki uang. Mengantarkan pamulang/berkat dari
bapak hajat kepada anggota lainnya.

Sebagai kompensasi, Ibu Dian mendapatkan “uang sabun”


dari bapak hajat. Besarnya bervariatif. Biasanya jika terkumpul
hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, Ibu Dian mendapat
Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, Ibu
Dian biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”,
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 153

terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp.


20.000-Rp.40.000. Ibu Dian memiliki penilaian sendiri terhadap
Gantangan dan Rombol ini, yakni :

“ …mendingan
“ gantangan
itu berhenti saja. Rugi, banyak modal kaluar,
untungna saeutik. Tapi lamun Rombol, bagusnya
diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya
juga lebih banyak…
(undangan)

Tentu saja Ibu Dian memberikan penilaian yang lebih positif


terhadap rombol, sebab ia adalah ketua sekaligus pelopor dari
rombol ini. bersama saudaranya dari dusun lain ia membuka
jejaring pertukaran. Ia berperan sebagai perwakilan anggota
kelompoknya jika diperlukan hadir pada hajatan warga dusun
Awilarangan. Secara tidak langsung ia juga berusaha menjaga
kepercayaan yang diberikan anggota kelompoknya. Terlebih di
dusun dan desa tempat ia tinggal, ada beberapa kelompok rombol
lain yang menerapkan pola yang sama. Jika saja ia tidak jujur atau
bertanggungjawab terhadap kelompoknya, besar kemungkinan
anggotanya akan keluar atau beralih kepada kelompok lainnya.
Namun, dengan terus meningkatnya jumlah anggota kelompoknya,
dari 21 menjadi 50 orang, menunjukkan Ibu Dian cukup dipercaya
untuk mengelola rombol. Menariknya lagi, rombol ini murni
154 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

dikelola oleh kelompok perempuan (ibu-ibu), dimana selain rombol


ini mereka juga memiliki berbagai perkumpulan lainnya seperti
pengajian (majlis taklim), arisan, dan posyandu balita.

Pola pertukaran sosial Gantangan yang dikelola dalam


kelompok mirip arisan yang lebih besar muncul dalam Golongan
di Subang Utara. Salah seorang pelopornya adalah H. Sholeh,
yang membawa masuk pola Golongan (Gantangan khusus) ke
dusunnya pada tahun 2009 lalu. Pada saat dimulai, anggota
kelompok Golongan ini berjumlah 45 orang dan sampai saat
ini (pertengahan 2012), sudah terdapat 13 Anggota yang narik
golongan. Menurutnya, pola golongan ini sangat menguntungkan
karena semuanya diatur sedemikian rupa tidak memberatkan
anggota, terutama soal waktu hajat (frekuensi) tiap musim dan
jumlah simpanannya.

“ ..Sampai sekarang ini yang keluar (hajat)


sudah 12 orang. Anggotanya 45 orang. Iya ini
kayak arisan. Cuma jangan sampai terbebani
masyarakat ini, misalnya dikeluarkan 4-5 hajat
pasti berat, makanya dibatasin satu musim 2
orang saja. Sementara ini masih bisa diatur.
Masih sesuai dengan musyawarah pertama.

Peraturannya disepakati, misalnya harus beras
murni bukan beras dolog, lalu ada fee-nya buat
panitia, agar bertanggung jawab. Saya juga
nggak sendiri, dibantu satu orang…
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 155

Lahirnya pola Golongan ini semula bertujuan untuk


mengatasi berbagai kecurangan yang terjadi dalam telitian
umumnya, misalnya terkait jumlah simpanan yang tidak sesuai
dengan catatan, jenis beras yang dibawah standar, dan waktu
pengembalian yang sering tertunda. Selain itu, H. Sholeh sendiri
sebagai pelopor juga sudah merasakan keuntungan dari menjadi
anggota Golongan ini sebelumnya, yaitu di daerah Bayur, Karawang,
tempat keluarga istrinya berada.

“ ..Sistem golongan ini pertamanya tahun


1998-an saya ikut orang Bayur, Karawang,
tahun 2000 saya hajat. Nah baru tiga tahunan ini
kita mencoba mengadakan sendiri. Maksudnya
jangan sampai orang “dikibuli”.
ngasih beras bagus, kembalinya beras raskin.
Misalnya


Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak diterima
sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya
masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu
bisa terbantu. Soalnya pengembaliannya khan
diatur.
156 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Dengan menjadi ketua kelompok Golongan ini, kedudukan H.


Sholeh di tengah masyarakat di desanya memang semakin tinggi.
Kesuksesan sistem golongan ini membuat banyak warga lainnya
ingin menjadi anggota, bahkan jika semua diikutkan bisa mencapai
100 orang. Akan tetapi, dengan pertimbangan kesepakatan yang
telah dibuat di awal, H. Sholeh justru menyarankan agar orang lain
saja yang membuat kelompok baru, tapi dengan pola yang sama
dan dengan jumlah beras atau barang yang dipertukarkan lebih
kecil, agar lebih banyak orang yang merasakan manfaatnya.

“ Orang lain mah sukses, bahkan ada yang


mengadakan gula pasir, daging, dan lainnya
sesuai kemampuan lah. Kalau dikatakan
orang sini hajatan itu nggak potol-lah


(rugi-pen). Ya ada kelebihan, hiburan jangan
mewah-mewah, hanya asal merayakan saja.
Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia
dapat beras 2 ton 2 kw, udah berapa itu?
Belum dari yang lain-lain.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 157

Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan


(Contoh Kasus RT dari 3 Desa)
No Nama Pekerjaan Status Status Keikutser- Alasan Ikut/ Sikap
(bukan nama Ekonomi Sosial RT taan dalam Tidak ikut terhadap
sebenarnya) RT Pertukaran Gantangan Gantangan
Gantangan

Suami Istri Suami Istri Ya Tidak

-2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11

1 Ahmad Ismi PNS Pedagang Menengah Cukup X Member- Tidak ikut


Berpen- atkan, tetapi tidak
garuh gantangan melarang.
dianggap Jika ekonomi
tidak lagi masyarakat
murni got- tidak beranjak
ong royong, tumbuh,
tidak ingin maka hutang
memiliki gantangan
beban akan semakin
hutang. memberatkan

2 Didi Ai Kadus IRT Bawah Berpen- X Bentuk Sangat me-


garuh, tolong nerima karena
jaringan menolong dianggap
luas dan saling membantu
mendukung golongan
sesama miskin, khu-
warga susnya untuk
masyarakat, mendapatkan
hitung- pinjaman/
hitung modal.
dipinjami
modal
hajatan

3 Imam Astrid Hansip Buruh Tani Bawah Berpen- X Bentuk lain Mendukung,
garuh, dari gotong masyarakat
jaringan royong, harus rajin
luas, untuk bergaul dan
memiliki meng- menyimpan,
anak yang hindari sehingga hasil
berperan kerugian, gantangannya
sebagai untuk ber- menguntung-
Bandar gaul dengan kan.
hajat masyarakat
lain (mengi-
kuti tradisi)

4 H. Lilis Petani IRT Atas Bepen- X Mendirikan Gantangan


Sholeh garuh, Golongan biasa (tanpa
jaringan untuk berkelompok)
luas, meng- dianggap
ketua hindari merugikan
Golongan kecurangan karena banyak
dalam teli- kecurangan,
tian (gan- lebih baik
tangan), dengan
meniru sistem golon-
sistem dari gan yang
Karawang dapat diatur
yang frekuensi ha-
dianggap jat dan jumlah
mengun- simpanan
tungkan anggotanya
(lebih pasti)
158 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan


(Contoh Kasus RT dari 3 Desa)

No Nama Pekerjaan Status Status Keikutser- Alasan Ikut/ Sikap


(bukan nama Ekonomi Sosial RT taan dalam Tidak ikut terhadap
sebenarnya) RT Pertukaran Gantangan Gantangan
Gantangan

Suami Istri Suami Istri Ya Tidak

-2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11

5 Nurman Karti Pedagang Pedagang Menegah Kurang X Untuk Mendukung,


atas berpen- investasi, sepanjang sa-
garuh hitung- ling jujur dan
hitung konsekuen
tabungan
untuk keper-
luan dimasa
mendatang

6 Dadang Dian Buruh Tani Buruh Tani Menengah Jaringan X Untuk Leih baik pola
bawah luas, memenuhi Gantangan
ketua kebutuhan atau kon-
Rombol mendesak, dangan yang
bertanggu- tidak pasti
ng jawab kedatangan
sebagai dan jumlah
Pelopor simpanan-
Rombol nya itu
(gantangan dihilangkan
dengan saja, diganti
sistem sistem rombol
mirip (arisan) yang
arisan) lebih terjadwal

7 Rokhim Nur Sekdes IRT Menengah Berpen- X Memberat- Kurang cocok


(belum garuh, kan, tidak untuk orang
PNS) calon mau terlibat yang peker-
Kades hutang jaan/pendapa-
piutang, tannya tidak
melenceng pasti
dari asas
sukarela

8 Sarna Mimih Kadus Kantin Menengah Bepen- X Menghitung Tidak menolak


Pabrik garuh kemam- atau mela-
puan rang, hanya
ekonomi diri saja kasihan
sendiri yang pada warga
tidak pasti yang tidak
(merasa bisa bayar
tidak hutang
mampu)

9 Kasman Yuyun Sekdes IRT Menengah Berpen- X Mengikuti Sepanjang


garuh tradisi atau tidak mem-
kebiasaan beratkan bisa
dalam mas- tetap dilan-
yarakat jutkan/dipe-
lihara agar
masyarakat
tetap guyub
dan bersatu

10 Entis Nur- Pedagang Menengah Kurang X Untuk Asalkan tidak


tem berpen- simpanan, terlalu sering,
garuh ajang gantangan ini
bergaul dan menguntung-
menolong kan
sesama
warga desa

Sumber : Diolah dari hasil wawancara mendalam, 2012


Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 159
160 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
11

EPILOG
Berkaca dari teori pertukaran
Peter M. Blau (1964) yang
meletakkan tujuan sosiologi
untuk mempelajari interaksi tatap
muka sebagai landasan guna
memahami struktur sosial yang
lebih luas (Ritzer & Goodman,
2010:368), maka demikian halnya
penelitian ini berusaha memahami
pertukaran sosial gantangan
untuk mendapatkan penjelasan
tentang struktur sosial masyarakat
pedesaan Subang kontemporer.
162 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

M
ula-mula penelitian ini berusaha mengkaji tentang
motivasi dan dorongan orang desa dalam proses-
proses membangun hubungan sosial dengan
sesamanya, baik yang termasuk dalam kategori keluarga/kerabat
(family) maupun di luar hubungan pertalian darah tersebut (non-
family). Mendalami hubungan sosial antar warga desa ini menjadi
penting karena pada akhirnya nanti interaksi tersebut akan mampu
merefleksikan gejala-gejala sosial umum dalam masyarakat
pedesaan itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya. Seperti
apakah orang desa sudah semakin berwatak komersil? Apakah
gotong royong sudah benar-benar ditinggalkan? dan seterusnya.

Perkembangan mutakhir dari pertukaran sosial gantangan


ini menunjukkan dan membuktikan hipotesa tersebut, yaitu pola-
pola hubungan sosial telah semakin nyata terkomersialisasi. Hal
ini ternyata sejalan dengan arus transformasi sosial di bidang
kehidupan lainnya, seperti makin meluasnya peranan pasar dalam
kehidupan ekonomi masyarakat desa, keterbukaan informasi,
liberalisasi dalam tindak maupun gagasan yang makin meluas
dan itu semua berhasil menyuburkan nilai-nilai individualisme di
tengah kehidupan masyarakat desa sekalipun. Dengan demikian,
bayangan tentang desa yang penuh semangat solidaritas,
kebersamaan, dan gotong-royong perlahan-lahan makin bergeser
pada semangat individualis, komersil dan kontraktual. Kondisi
ini adalah konsekuensi logis dan sekaligus ekses dari berbagai
pola-pola pembangunan yang selama ini dianut dan diterapkan di
pedesaan.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 163

Hubungan-hubungansosialyangterkomersialisasimerupakan
konsep sosiologis untuk menggambarkan bagaimana hubungan
sosial itu - baik antara dua orang maupun dalam kelompok - lebih
banyak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan
dari pihak lain, baik jangka pendek maupun jangka panjang, material
maupun non material. Komersialisasi sosial ini merupakan analog
dari komersialisasi ekonomi, dengan hubungan sosial sebagai
komoditasnya. Pola-pola komersialisasi yang tercermin dalam
perayaan/hajatan menunjukkan bagaimana organisasi sosial baru
seperti gantangan ini dapat tumbuh dari hubungan pertukaran
murni (nyumbang) dalam masyarakat pedesaan.

Menariknya, organisasi sosial baru yang berupa jaringan


pertukaran gantangan ini ternyata mampu menembus batas-
batas ekologis, seperti karakteristik agroekologis maupun
perbedaan geografis. Jaringan pertukaran gantangan ini begitu
cepat menyebar dan meluas serta mudah diadopsi oleh kelompok
komunitas lain, sekalipun berbeda karakteristik ekologis.
Mengapa demikian? Sebagaimana dikemukakan oleh Blau (1964),
bahwasanya mekanisme yang mampu menjembatani antara
struktur sosial yang kompleks tersebut adalah adanya norma dan
nilai. Norma dan nilai inilah yang berperan sebagai mata rantai yang
menghubungkan sebuah transaksi sosial. Sepanjang norma dan
nilai tersebut disepakati dan dianggap rasional oleh masyarakat,
maka sangat memungkinkan terjadinya proses integrasi dalam
struktur sosial yang kompleks. Artinya, jaringan pertukaran sosial
gantangan – yang komersil - ini dapat menyebar dari Subang utara
(pesisir) ke Subang selatan (pegunungan) adalah karena tidak ada
perbedaan yang menonjol dari sistem nilai dan norma yang dianut
164 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

masyarakatnya. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa


karakteristik dan watak komersil warga desa di pesisir dan di
pegunungan saat ini sudah tidak lagi jauh berbeda.

Lantas, apakah watak komersil ini memang nyata-nyata


didorong oleh kondisi kemiskinan dan kerawanan pangan yang
disebabkan sistem pasar – seperti tesis D.H. Penny – atau justru
oleh hal lain? Dari hasil penelitian ini tidak serta merta dapat
dikatakan bahwa semakin miskin orang maka semakin komersil
dan semakin rawan pangan orang semakin individualis. Sebab,
terbukti di tiga desa miskin yang menjadi daerah penelitian
ketiganya menunjukkan bahwa golongan masyarakat termiskin
justru semakin tersisih dalam jaringan pertukaran sosial
gantangan ini. Mereka yang paling miskin diantara yang miskin
ini justru tidak mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat
lainnya. Artinya, warga lain enggan menyimpan beras atau uang
dalam jumlah yang banyak, sebab mereka ragu bahwa si miskin
ini akan dapat mengembalikan simpanan tersebut kelak. Warga
miskin di desa miskin ini benar-benar tidak memiliki apapun untuk
dijadikan komoditas pertukaran yang menguntungkan. Bahkan,
warga miskin ini semakin sulit jika hanya hidup mengandalkan
hubungan atau jaringan sosial saja. Sebab, nyata-nyata bahwa
jaringan sosial orang miskin ini adalah orang miskin lainnya,
yang meskipun mereka bersatu dan saling bertukar tidak akan
memberikan penambahan yang signifikan bagi perkembangan
ekonomi mereka.

Inilah satu kondisi dan keprihatinan nyata yang patut


mendapat perhatian, dimana dengan adanya pertukaran sosial
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 165

gantangan yang berbasis mencari keuntungan ini ternyata justru


menyisihkan golongan miskin yang seharusnya bisa terbantu
oleh sistem kolektif semacam gantangan ini. Pertukaran sosial
gantangan yang ada di pedesaan Subang saat ini belum mampu
menghasilkan pemerataan distribusi kekayaan atau mengurangi
jurang kesenjangan antara si miskin dan kaya, melainkan justru
menghasilkan pengelompokan-pengelompokan baru dalam
masyarakat berdasarkan kapasitas sumber daya yang mereka
miliki dan mampu untuk saling dipertukarkan.
166 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

PENUTUP

P
ola pertukaran sosial gantangan di Kabupaten
Subang menunjukkan hadirnya tiga tipe pertukaran
yang disebut nyambungan, gintingan dan golongan di
masing-masing wilayah (kecuali di Subang Selatan belum ada
pola Golongan). Meskipun memiliki kemiripan pola, namun secara
historis Subang Utara merupakan titik mula berkembangnya
pertukaran sosial gantangan hingga kemudian diikuti oleh
masyarakat di Subang bagian Tengah dan Selatan. Gantangan
ini bukan asli tumbuh dari komunitas desa miskin, melainkan
diadopsi dari desa-desa yang makmur, subur dan berkembang
pertanian padinya, khususnya dari daerah Karawang dan
Indramayu. Transformasi nyambungan menjadi gintingan dan
golongan merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi yang
kian melembaga.

Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin


dalam pola pertukaran sosial gantangan ini merefleksikan
perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik
menjadi individual-materialistik. Perubahan ini menyentuh hampir
seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas
miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun
perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut dapat
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 167

digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu


mulai melunturnya pemberian murni sebagai ciri gotong royong
dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding dalam pesta
hajatan dan pertukaran gantangan.

Komodifikasi hajatan – yang ditandai dengan perubahan


nilai anak, beras serta uang - dan masuknya bandar hajatan
semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan gantangan
di pedesaan Subang ini telah bertransformasi dari sekedar
syukuran dan raramean (orientasi sosial) menjadi pasar (market)
dalam sistem ekonomi lokal. Namun, menurut hemat penulis,
transformasi pertukaran sosial Gantangan ini sebenarnya dapat
kita pandang sebagai kesempatan untuk membangun ekonomi
lokal yang berbasis pada rekonsiliasi antara pola relasi tradisional
(motif sosial) dengan cara pandang modern (motif ekonomi/
komersialiasi), sehingga ruang sosial dan ekonomi masyarakat
pedesaan dapat berevolusi secara lebih harmonis.
168 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

GLOSARIUM

Gantangan Pertukaran beas (beras) dan artos (uang) yang


dilakukan antar tetangga/kenalan kepada bapak
hajat sebelum/ketika pesta hajatan berlangsung
dan jumlahnya dicatat dalam buku catatan oleh
juru tulis. Beas dan artos tersebut akan menjadi
simpanan bagi tamu undangan dan menjadi hutang
bagi bapak hajat. 1 Gantang = 10 liter beras.
Resiprositas Hubungan timbal balik, kewajiban bagi si pemberi
untuk memberi, penerima untuk menerima dan
mengembalikan pemberian tersebut dilain waktu
dengan jumlah yang terbuka untuk berbagai kemu-
ngkinan (tidak harus sama)
Pertukaran Hubungan pertukaran (contoh Ax:By) merupakan
Sosial transfer sumberdaya (x, y, …) antara dua aktor atau
lebih (A,B, …) untuk mendapatkan manfaat bersama
(mutual benefit)
Jaringan Jaringan pertukaran bukanlah sesuatu yang ala-
Pertukaran miah (natural given), melainkan harus dikonstruksi
oleh masing-masing individu sebagai sebuah
investasi yang strategis
Komersialisasi Suatu proses sosial dimana kegiatan-kegiatan
Sosial sosial secara garis besar diatur atas dasar prinsip
pertukaran pasar
Kebayan Panitia hajatan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 169

Tatanggapan Pertujukan seni atau hiburan


Nyangu Menanak beras
Nyawer Memberikan sejumlah uang kepada penari atau
dengan cara sambil berjoged dan saling meng-
genggam tangan lalu digoyang-goyangkan bersa-
ma
Nyeceup Memberikan sejumlah uang kepada pengantin
khitan atau anak yang dihajatkan
Ngabring Berjalan beriringan, bersama-sama atau bera-
mai-ramai menuju tempat hajatan
Nyambungan Pertukaran beras atau uang relatif secara sukarela,
tidak menuntut untuk harus dikembalikan
Gintingan/ Pertukaran beras atau uang yang saling dicatat
Teilitian/taliti- dan wajib dikembalikan
han
Golongan/ Pertukaran beras atau uang yang dicatat dan
rombongan/ tergabung dalam suatu kelompok dengan jumlah
rombol anggota tertentu dan dikelola oleh seorang ketua
kelompok
Bandar Seseorang yang meminjamkan modal hajat kepada
warga dan mengambilnya kembali setelah hajatan
selesai. Bandar memperoleh untung dari bunga
pinjaman atau orotitas pembelian beras hasil hajat
dengan harga sesuai kesepakatan sebelumnya.
170 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal.


Bandung : Pusat Kajian LBPB

Anonim. 2011. Kabupaten Subang : Rakyat Subang Gotong


Royong Subang Maju. Subang : Bagian Humas dan Protokol
Sekretarian Daerah Kabupaten Subang

Anonim. 2011. Subang Dalam Angka Tahun 2010. Subang


: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Subang

Damsar, Prof. Dr. 2006. Sosiologi Uang. Padang : Andalas


University Press

Damsar, Prof. Dr. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta


: Kencana

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses Perubahan


Ekologi di Indonesia. Jakarta : Bhratara Karya Aksara

Hayami, Yujiro & Masao Kikuchi. 1981. Dilema Ekonomi Desa


: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di
Asia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Herdiani, Een. 2003. Bajidoran di Karawang : Kontinuitas &


Perubahan. Jakarta : Hasta Wahana

Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan


Pembangunan. Jakarta : Gramedia
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 171

Nugroho, Tarli, Ahmad Nashih Luthfi, dan Amien Tohari.


2010. Pemikiran Agraria Bulaksumur : Telaah Awal Atas Pemikiran
Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto. Yogyakarta
: STPN-Sajogyo Institute Bogor

Peny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. Jakarta


: UI Press

Pincus, Jonathan. 1994. Ekonomi Pedesaan Asia : Sebuah


Tinjauan Ulang. PRISMA Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No
3, Maret, Jakarta ; LP3ES

Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta :


Raja Grafindo Persada

Prasetiyo, Ari. 2003. Tradisi Nyumbang Dalam Masyarakat


Desa Tamantirto : Suatu Studi tentang Sistem Pertukaran Dalam
Masyarakat Transisi. Depok : Tesis Pascasarjana Sosiologi FISIP
UI

Prasetyo, Yanu Endar. 2010. Mengenal Tradisi Bangsa.


Yogyakarta : Insist Media Utama

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi :


Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana
172 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

Sajogyo (penyunting). 1982. Bunga Rampai Perekonomian


Pedesaan. Bogor: Yayasan Obor Indonesia & IPB

Soedjatmoko. 1980. Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan


(dalam Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai, dihimpun
oleh Alfian, Mely G. Tan, dan Selo Soemardjan). Jakarta : Yayasan
Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) dan HIPIS

Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Masalah Pangan dan


Revitalisasi Ilmu Sosial : Sebuah Usul Untuk Mengembangkan
Sosiologi Konvergen. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog
Peradaban Hal 464-479. Jakarta : Penerbit Kompas

Sumardjo, Jakob. 2007. Arkeologi Budaya Indonesia :


Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak
Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Qalam

Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan


: 80 tahun Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro. Bogor : KPM IPB

Wolf, Eric R. 1966. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis.


Jakarta : CV. Rajawali & Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial

Yuniarto, Paulus Rudolf. 2009. Siasat Bertahan Rumah


Tangga Buruh Migran : Persoalan Sehari-Hari dan Implikasinya
bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan. LIPI : Masyarakat Indonesia
(Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, edisi khusus 2009)
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 173

TENTANG PENULIS

Yanu Endar Prasetyo. Penulis lahir di Blitar, Jawa Timur pada


tanggal 23 Januari dari Ayah bernama Supranta dan Ibu bernama
Sudarti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan ditempuh di TK Pertiwi, SDN Bendogerit VI dan SMP 1
Blitar. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Blitar dan pada
tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke Universitas Sebelas
Maret (UNS) Surakarta melalui jalur PMDK. Penulis mengambil
jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada
tahun 2006, penulis pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi
I FISIP UNS dan menjadi peserta Pelayaran Kebangsaan VI.
Setelah lulus dari UNS tahun 2007, penulis kemudian bekerja
sebagai peneliti di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat
Guna (Sekarang bernama Pusat Pengembangan Teknologi Tepat
Guna) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun
2010, penulis mendapatkan beasiswa tugas belajar dalam negeri
dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) di jurusan
Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor
(IPB) dan lulus tahun 2012. Penulis pernah aktif dalam beberapa
komunitas, seperti Komunitas Blogger Subang, Komunitas Penulis
Subang, dan Tim Relawan Pengkaji Informasi Publik (TRPIP)
Subang. Selain aktif menulis artikel di berbagai media nasional
maupun lokal, penulis pernah menerbitkan beberapa buku antara
174 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan

lain Memuseumkan Kemiskinan (2007, Pattiro Solo, ditulis bersama


Alif Basuki), Mengenal Tradisi Bangsa (2010, Insist Media Utama
Yogyakarta), Harta Karun Bung Karno (2012, Tigamaha & Nulisbuku),
Aku Memilih Bercadar (2013, Tigamaha & Nulisbuku), dan salah
satu pegiat dan penyusun buku Subang Baru (2016, Tigamaha &
TRPIP). Saat ini penulis sedang menempuh studi Doktoralnya di
Department of Rural Sociology, University of Missouri, AS dengan
beasiswa dari Kemenristek Dikti dan tinggal sementara bersama
Istri serta kedua anaknya di kota Columbia, Missouri, Amerika
Serikat.

email:

yanuprasetyo85@gmail.com blog: www.duniayanu.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai