Gantangan :
Potret
Pertukaran
Sosial
di Pedesaan
Kata Pengantar:
Hokky Situngkir (Presiden Bandung Fe Institute)
Arya Hadi Dharmawan (Sosiolog Pedesaan IPB)
Nandang Kusnandar (Budayawan Subang)
ii Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
Gantangan :
Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
© Yanu Endar Prasetyo 2017
“KODE-KODE” DALAM
DINAMIKA SOSIAL
GANTANGAN
D
ulu semasa kecil, di pelosok Tapanuli,
Hokky Situngkir
Sumatera Utara, hati sungguh
President Bandung senang menantikan ibu yang pulang
Fe Institute (BFI), dari kondangan. Bukan karena apa-apa,
Founder Sobat tapi karena menantikan lezatnya lampet1,
Budaya, Penulis
makanan tradisional Batak dari olahan
Buku “Fisika Batik”
beras dan gula merah dalam kemasan daun
dan “Kode-Kode
Nusantara” pisang, yang selalu ada di dalam tandok2 ibu
sepulang dari kondangan. Di kampung, ibu-
ibu membawa tandok, tempat membawa
beras tradisional Batak dari anyaman daun
pandan, yang diisi dengan beras untuk
diserahkan sebagai buah tangan bagi yang
mengadakan hajatan kondangan. Setelah
beras dikumpulkan oleh petugas yang
ditunjuk oleh pelaksana hajatan, tandok
dikembalikan dan di dalamnya biasanya
diisi dengan lampet sebagai snack acara
1
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia: http://budaya-indonesia.org/Lampet/
2
Perpustakaan Digital Budaya Indonesia: http://budaya-indonesia.org/Tandok/
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan v
Hokky Situngkir
x Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
MEMUDARNYA SISTEM
PERTUKARAN TRADISI
D
Arya Hadi alam sistem ekonomi modern yang
Dharmawan meniscayakan alam pertukaran
Sosiolog melalui kelembagaan pasar yang
Pedesaan IPB sangat lanjut saat ini, hampir musykil
membahas perspektif sosiologis pola
pertukaran tradisi bernama “gantangan”
pada masyarakat pedesaan Jawa. Hal
itu tak lain, karena tidak banyak lagi
pola pertukaran tradisi yang “embedded”
dengan sistem sosio-budaya dan institusi
lokal yang masih tersisa di masyarakat
lokal, sebagai akibat penetrasi nilai-nilai
modernitas yang sepenuhnya rasional ke
pelosok pedesaan. Peradaban modern
yang berintikan pengenalan pada sistem
ekonomi pasar, penggunaan sarana dan
prasarana bantu kehidupan masyarakat
yang berbasiskan pada sistem tekno-sains
modern dari Barat, serta terus menguatnya
“otonomi individu” dari ikatan kolektivitas
berintikan prinsip-prinsip liberalisme
individual telah mendorong perubahan
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xi
Buku yang ditulis oleh Yanu Endar Prasetyo ini sangat timely
untuk melihat sedalam apakah perubahan sosial berlangsung
di pedesaan terutama bila menggunakan topik pertukaran
sosial (social exchange) sebagai pendekatan. Buku ini selain
memperlihatkan anatomi dari gantangan sebagai wujud
pertukaran sosial baik dari aspek aktor, karakter, relasi-sosial yang
terkait maupun setting sosial desa (lokasi) yang memberikan
variasi dari gantangan dipraktekkan oleh masyarakat desa. Penulis
sangat detail dalam melakukan penjelasan tentang gantangan
di pedesaan Subang dimana riset dilakukan oleh penulis untuk
melihat gantangan.
Satu hal perlu dijawab lebih lanjut oleh buku ini adalah,
bagaimana nasib kelembagaan-kelembagaan sosial pedesaan
di Jawa khususnya pantai utara Jawa seperti daerah Subang
ke depan? Apakah kelembagaan-kelembagaan tradisi akan
mengalami pelumpuhan dan digantikan oleh kelembagaan
xiv Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
B
Nandang erangkat dari sebuah
Kusnandar, S.Sn pemikiran bahwa, ada
“Cacandran para leluhur, ciri sesuatu yang lepas dari
bumi dayeuh panca tengah tatanan hidup berbasis kultural
Lemah duhurna, lemah yang selama ini menjadi pondasi
lengkobna, lemah langkah urang Sunda, sehingga
padatarannana menyebabkan kita menjalani
Nagara mukti wibawa, kehidupan dengan cara “leungeun
parlambangna congkrang sacabak-cabakna, inggis ka linduan
kujang papasangan
gedag kaanginan lantaran panon
Yasana para dewata, teu satempo-tempona, ceuli sadenge-
sulaya ti nyatana
dengena” karena alpa terhadap
(Isyarat para leluhur, ciri dimensi etik, yang berpangkal pada
kehidupan panca tengah,
akal budi sebagaimana diwariskan
bumi berdinding tebing,
para leluhur. Lepasnya titian
beralir sungai dan parit,
pemahaman generasi kekinian
luas hamparan datarannya.
Pesona negeri penuh terhadap kekayaan intelektualitas
wibawa, berlambang para leluhur dalam menata
sepasang kujang kehidupan personal maupun
bersilangan karya cipta para kelompok berdasarkan kekuatan
dewata bukan tipuan dari kulturalnya, sungguh menjadikan
kenyataan)
generasi muda saat ini seakan
kehilangan jatidiri budayanya.
xvi Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
produk budaya ini, tapi kini tradisi tulisan telah membantu peran
mereka dalam mensosialiasikan fenomena identitas budayanya.
… Cag….
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan xxi
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS,
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS (IPB) dan Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng.
Sc (LIPI) yang telah berkenan membimbing penulis sepanjang
proses penelitian. Terima kasih secara khusus kepada mas Hokky
Situngkir dan kawan-kawan dari Bandung Fe Institut dan Sobat
Budaya Indonesia yang telah banyak mendukung dengan berbagai
masukan dan gagasannya. Tentu saja, kajian kompleksitas
terkait tradisi sosial di pedesaan ini perlu terus dikaji dengan
berbagai pendekatan. Selain itu, penulis memberikan apresiasi
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kementrian Negara
Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah memberikan
beasiswa penuh kepada penulis, juga kepada PPTTG LIPI Subang
sebagai tempat pengabdian penulis selama ini. Penelitian ini
tidak akan selesai tanpa bantuan dari Tita Irama Susilawati
dan Didi S. Sopyan yang telah mencurahkan waktunya dalam
pengumpulan data dan juga dukungan dari seluruh aparat desa,
tokoh masyarakat dan warga di lokasi penelitian. Semoga catatan
ringkas ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
25 Seremonial Hajatan
161 Epilog
166 Penutup
168 Glosari
SEKILAS
MASYARAKAT
SUNDA
J
akob Sumardjo adalah salah satu ilmuwan yang
mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan
asli masyarakat Nusantara tersebut dan melahirkan
tulisan tentang sejarah ringkas kerohanian Indonesia. Di dalam
salah satu bab penelitiannya, Jakob Sumardjo (2007:3-84)
mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli Indonesia
dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu
(hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran.
Berbagai tipe masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir
primordial yang khas dan menjadi akar kebudayaan masyarakat
tersebut. Dalam konteks penelitian tentang pertukaran sosial
Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa Barat) ini, akan
sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial
masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih
memahami akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya
melanggengkan kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan
sosialnya saat ini.
laki” (luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan
“perempuan” (dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan,
bulan). Wujud lain filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di
dalam pola kain tenun dan sarung tradisionalnya yang bermotif
“kotak-kotak”, dimana garis vertikal menggambarkan pasangan-
pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal menggambarkan
harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut. Selain
ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi
dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-
Grantang, Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon.
Masyarakat berburu-
Meramu/Nelayan- Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah
Laut
Setengah produktif
Konsumtif (food Produktif (food
dan konsumtif
gathering people) producing people)
(peramu)
Keasatuan dua Kesatuan tiga Kesatuan lima
Unsur waktu dan Unsur waktu dan Unsur waktu dan
kerohanian Dinamistik kerohanian Animistik kerohanian Animistik
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 5
Masyarakat berburu-
Meramu/Nelayan- Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah
Laut
Mentalitas ganda,
konsumtif-produktif,
dependen-
independen,
kolektivisme
Berjiwa merdeka,
berdasarkan pertalian
konsumtif,
darah sangat kuat,
egaliter, mobilitas Komunal (dependen-
kedudukan keluarga
tinggi, humoristik kolektif), solidaritas
inti amat penting,
(menyadari yang kuat, produktif
solidaritas hanya
kelemahan diri), dan lokalitas yang
terbatas pada
“manja”, etos kerja kuat (tanah pertanian
lingkungan keluarga
dan profesionalitas adalah segalanya),
inti, kategori “orang
rendah karena terdidik konvensional, sulit
dalam” dan “orang
dalam kemurahan menerima perubahan,
luar” ditonjolkan,
alam yang terberi, semua yang dari
mudah “iri hati”
kuat koletivitasnya, “luar” diintegrasikan
dengan kesuksesan
fanatik pada dengan pihak “dalam”
orang lain (sebab
lingkungan “orang
dalam masyarakat
dalam”nya sendiri
peladang yang serba
terbatas, kelebihan
satu orang berarti
merampas milik
bersama)
Raja dianggap
Raja tetap sebagai Raja tetap sebagai
memiliki kekuasaan
manusia, dewa adalah manusia, dewa adalah
adikodrati (paham
sesembahannya sesembahannya
dewaraja)
Kurang agresif Kurang agresif Agresif
3
Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Subang (2011:14-17)
8 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
B
erbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai
dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan
darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi
matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun.
Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan
pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak
lepas dari siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-
aktivitas yang sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat
berpengaruh kepada aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena
kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat
terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun
menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang khas dimiliki
petani.
4
Menurut Koentjaraningrat (1982:5-6), kebudayaan manusia itu terbangun dan terwujud
ke dalam tiga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
dsbnya) (2) wujud perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan (3) wujud fisik
(artefak, benda-benda hasil karya manusia)
5
Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang
berbunyi “Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program
pembangunan pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 13
PESTA
HAJATAN DI
PEDESAAN
Pesta hajatan6 di pedesaan adalah
sebuah kesibukan massal yang
unik dan khas. Di dalamnya
terdapat perpaduan antara
aktivitas sosial, religius, ekonomi,
kesenian dan bahkan politik.
18 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
P
esta hajatan itu sendiri memiliki berbagai sebutan,
istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bukan hanya
antar daerah, bahkan antar dusun dan desa yang berdekatan
pun bisa sangat berbeda. Ibarat peribahasa “lain ladang, lain
belalang. Lain tempat, lain pula tradisinya”. Oleh karena itu, dilihat
dari perspektif sosiologis, pesta hajatan ini bukan hanya sekedar
“upacara seremonial” yang ajeg dan rutin saja, melainkan juga
merupakan sebuah sistem tindakan dan perilaku yang kompleks.
Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan banyak
orang (massal) sehingga memungkinkan lahirnya banyak motif
serta hubungan sosial, melainkan juga berbagai elemen dan faktor
pembentuk sistem itu sendiri yang beragam, mulai dari struktur
sosial masyarakat, kondisi agro-ekologis, religi dan alam pemikiran
yang berkembang serta keterbukaan masyarakat terhadap
pengaruh dari luar, seperti teknologi dan sistem ekonomi pasar.
6
Hajatan = berasal dari kata “hajat” yang berarti “keinginan atau harapan”. Maknanya
adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut
dapat diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak
yang biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan
disesuaikan dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar
keinginan tersebut terkabul sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dan secara simbolik
menjadi penanda status sosial seseorang/keluarga
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 19
SEREMONIAL
HAJATAN
B
etapa sebuah pesta hajatan – sekecil dan sesederhana
apapun – tetap melibatkan dan mempengaruhi
banyak orang. Bahkan, secara langsung maupun tidak
langsung, lingkungan alam (musim) dan lingkungan sosial saling
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh adanya hajatan ini. Berikut
beberapa detail tahapan yang dijalankan oleh seseorang atau
keluarga yang akan mengadakan hajatan :
Persiapan Hajatan
7
Kokolot = orang yang dituakan, sesepuh
8
Panjer = modal awal yang dipinjam bapak hajat dari orang tertentu (Bandar), biasanya
orang kaya. Bandar itu kemudian akan meminjami sejumlah uang tertentu dengan
jaminan beras hasil hajatannya tidak akan dijual kepada orang lain, melainkan hanya
kepada Bandar yang meminjami modal tersebut. Harga jual beras hajat itu pun
disepakati bersama ketika transaksi peminjaman panjer ini berlangsung.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 27
Tabel 3. Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Subang Utara
Jumlah
No Hiburan Tarif Murah* Tarif Mahal* Asal Grup
Orang
1 Wayang Rp. 5.000.000,- Rp. 7.000.000,- Indramayu
Kulit
Meskipun di daerah Sunda, namun wayang kulit disini tetap
berbahasa Jawa. Mengingat warga Pantura banyak keturunan
Pantura Jawa (Indramayu, Cirebon, Tegal, dll)
Bapak Hajat
Kepala Desa
Ketua RT
Polsek Koramil
Pelaksanaan Hajatan
Pasca Hajatan
Bentuk
dan Pola
Pertukaran
Sosial
Gantangan
di Pedesaan
Subang
38 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
a. Telitian
10
Bapak hajat atau Shohibul hajat adalah orang/keluarga yang menyelenggarakan pesta
hajatan (tuan rumah).
40 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
11
Nggebot / ngegebuk : teknik panen manual, menggunakan salome/alat tradisional untuk
menggebot. Dalam sistem ini, bagi hasil antara buruh tani dan pemilik adalah 1:5. Upah
buruh gebot Rp. 30.000/bedug (5 jam). Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan waktu 2
hari (nyabit dulu, ngengebot) untuk memanen, jika memakai mesin Combine hanya 1 hari
saja sudah beres.
12
Ngeprik / ngajaplin : Memungut sisa-sisa hasil panen
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 43
20
15
Frekuensi
10
0
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
44 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
b. Golongan
13
Bukan nama sebenarnya
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 47
• Beras = 50 kg,
a. Talitihan
14
Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim
panen padi di desa tersebut.
15
Masyarakat lokal menyebut hajatan dengan panggung, sebagai asosiasi terhadap
hiburan yang diselenggarakan.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 51
r+m r+m
r+m
B C
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 53
b. Rombol
16
Bukan nama sebenarnya
54 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
Dusun/Desa X Dusun/Desa Y
a. Gintingan
r+m r+m
r+m
B C
r = beras, m = uang
Mengikat v v v
Memaksa v v
Sanksi tegas v
Waktu pengembalian
v
terjadwal
Jaringan
Satu desa v v v
Luar desa v v
Kepercayaan (trust)
Ditagih v v
Dicatat Sendiri v v
Pola Pola A. Pemberian beras < Pola A. Pemberian beras < Pola A. Pemberian
resiprositas 5 liter, tidak dicatat, tidak 5 liter, tidak dicatat, tidak beras < 5 liter, tidak
dan wajib dikembalikan, mulai wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib
pertukaran menghilang. menghilang. dikembalikan, mulai
menghilang.
Kesan · Perempuan : (1) Bayar (2) · Perempuan: (1) Hutang (2) · P: (1) Simpanan
terhadap Makan (3) Beras Uang (3) Beras (2) Usaha (3)
gantangan · Laki-laki : (1) Bayar (2) · Laki-laki : (1) Hutang (2) Hutang
Utang (3) Pusing Pusing (3) Bayar · L : (1) Hutang
(2) Simpanan (3)
Pusing
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 65
66 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
06
FUNGSI
SOSIAL
GANTANGAN
Sudah menjadi suatu hukum sosial
bahwasanya suatu tradisi atau
adat-istiadat akan ditinggalkan jika
ia tidak lagi memiliki fungsi bagi
anggota masyarakatnya.
68 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
B
anyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan
bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan
tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita
rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya.
Berbagai tradisi yang hilang tersebut selain disebabkan oleh
datangnya pengetahuan yang baru (modern), juga karena ia telah
kehilangan fungsi sosial dan ekonominya.
250
200
Jumlah Kelompok
150
100
50
Wayang Kulit 8 8 4 4 3
Qosidah 74 74 27 11 35
17
Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari
jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan
dengan cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap
penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 75
orang lain, maka semakin banyak pula hasil yang akan dia
peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya
bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini
adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya,
sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta
hajatannya pun kemungkinan juga bisa semakin banyak.
Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan,
seseorang juga perlu memperbesar volume (jumlah uang
dan beras) yang disimpannya kepada orang lain agar hasil
gantangannya bisa besar.
FUNGSI
EKONOMI
GANTANGAN
80 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
b. Nyimpen (nabung)
c. Itung-itung Arisan
KOMERSIALISASI
EKONOMI
dan SOSIAL di
PEDESAAN JAWA
Arus modernisasi, globalisasi
dan bahkan liberalisasi ekonomi
memang telah memberikan
dampak nyata pada transformasi
struktur dan kultur masyarakat,
khususnya di pedesaan.
86 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
M
eluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga
memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional
masyarakat desa adalah kondisi yang paling
sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut.
Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-
sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan)
juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin
lebar (Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial
menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan
diri sendiri (self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai
homo economicus (Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami
transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas
inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang.
18
Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa-
desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap
pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya
pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village
citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 87
Komersialisasi
1647
1407
800
Jumlah Kasus
600
Poligami
400
Ekonomi
200
19
Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan
bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan
ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di
Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak
sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara
genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia
yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang
sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela
utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan
Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih
sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James
C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi
tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus
perekonomian di negara berkembang.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 89
600
400
200
0
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
20
Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat
di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam
taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang
diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama
interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga
dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah
seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat
“personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau
kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di
pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan
juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan
tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan
adat-istiadat.
92 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
21
Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka
golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny,
1990:xvviii).
22
Yuniarto, 2009:197
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 93
23
Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan
kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi
untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5).
Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7),
Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 97
KOMERSIALISASI
SOSIAL : DARI
RESIPROSITAS
KE PERTUKARAN
SOSIAL
Dalam Sosiologi Ekonomi
(ekonomi distribusi), hubungan
timbal balik antar warga
masyarakat seperti dalam tradisi
nyumbang, gantangan, gotong
royong dan lain sebagainya itu
disebut sebagai resiprositas.
104 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
H
ubungan timbal balik atau resiprositas tersebut dapat
terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok yang memiliki posisi dan
peran sosial relatif sama serta saling bergantian. Misalnya peran
sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang diundang (tamu
undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas,
yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas
sebanding (balanced reciprocity) (Damsar, 2009:105).
Konsumsi
Produksi Distribusi
tradisinya.
Komersialisasi Komersialisasi
Ekonomi Sosial
hajat jangan sampai potol” (orang hajat jangan sampai rugi), “urang
hajat mah neangan leuwihna” (kita mengadakan pesat hajatan ya
untuk mencari lebihnya = total sumbangan dikurangi modal), “di
wilayah urang mah can aya hajatan nu rugi” (di desa kami sampai
sekarang belum ada orang hajatan sampai rugi), “itung-itung dapet
pinjeman” (hajatan itu anggap saja seperti kita dapat pinjaman dari
tetangga), “hajatan mah kumaha perbuatan, saha nu rajin nyimpen
ya loba hasilna, kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging
artos” (berhajatan itu sesuai dengan perbuatan, kalau dulunya
rajin menyimpan ya akan mendapatkan hasil banyak, kalau malas
menyimpan ya bisa tidak terbayar modalnya, tidak akan mendapat
uang banyak), dan lain sebagainya.
DINAMIKA
AKTOR DALAM
PERTUKARAN
SOSIAL
GANTANGAN
124 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
24
Bukan nama sebenarnya
25
Bukan nama sebenarnya
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 125
“
rasa sosial antar warga semakin menurun. Dulu
orang khan datang hajat karena ada perasaan
dekat dan malu. Sekarang “ada unsur dendam”, jika
pernah tidak datang dibalas juga tidak datang
oleh yang pernah mengundang…
“
(satu) “kalau gak akrab ya gak datang”, (dua)
“undangan hanya ngasih dua puluh ribu, itung-
itung ajang makan-makan sepuasnya” dan (tiga)
“kalau bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung
dipinjami…
“
menyebabkan sering terjadi cek-cok akibat nama
penyumbang yang tidak tercatat, banyak yang
tidak bisa membaca, curang dalam pencatatan
(misal 8 ltr di tulis 10 ltr), bahkan buku catatan
telitiannya ilang, gimana coba?
128 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
“
meskipun kelihatan agak berkurang, tapi telitian
masih jalan. Tapi kalau begini terus, mungkin ke
depan hanya tinggal dibawah 50% saja yang ikut
telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu
sudah selesai…
26
Bukan nama sebenarnya
130 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
“
Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp.
20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga
menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,-
ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d.
Rp. 70.000.000,-…
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 131
“
“ …Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya
ada 6-7 panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa
sampai 15 panggung…
27
Bukan nama sebenarnya
28
Bukan nama sebenarnya
134 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
“
ada keperluan, boleh kita menanyakan. Misalnya,
mereka kondangan 1 gantang (10 liter), uangnya
50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya,
itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu
mereka tidak membayar bisa ditanyakan…
“ …namanya hajatan,
Tidak semua
kadang-kadang
bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan
seterusnya. hajatan
ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut
aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi
besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya
bisa
dilaporkan
“
duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang,
jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan
kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas,
lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang
mengeluarkan ji in Kapolsek…
“
kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu
kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung
satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya.
Yang punya modal mah hiburannya yang besar,
organ tunggalnya juga yang mahal…
“
dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi.
Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini
juga dari Indramayu, karena disini tidak ada (40an
orang). Dangdut atau orkes melayu disini nggak
ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.
“
tukang pendaringan (tukang nunggu beras, kue,
bereskan
“
Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang
termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali
hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih
hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan
penarinya paling banyak 15 orang…
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 143
“
yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang
hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya,
dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4
kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton
beras habis untuk makan semua…
144 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
“
oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama
saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut
rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di
tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini
namanya “golongan” itu
“
desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk
ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke
saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya
pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat.
Sawah, emapang juga gak punya saya pak…
“
ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3
juta) atau menengah ke atas. Tapi harganya
memang lebih murah, misalnya di pasar beras
Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini
kita sudah ada perjanjian…
“
Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta
pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka
harus memberikan untuk nanti orang hajatan yang
baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai
harus jual sawah atau empang.
Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis
atau kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar
akan memiliki orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang
dianggap sebagai “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta
hajatan dari tradisi menjadi komoditas ekonomi ini benar-benar
dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang kepercayaan inilah
yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan “panjer”
kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu
desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar
langsung yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa
orang kaya di desa Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar
lokal ini biasanya lebih selektif dalam memberikan bantuan, sebab
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 149
dia lebih tau seluk beluk atau riwayat hidup tetangganya, sehingga
dapat mengukur dengan lebih teliti kemampuan calon bapak hajat
ini dalam mengundang tamu atau mendapatkan keuntungan dari
Gantangan.
“
kalau ada yang hajat dia datangi “berasnya
untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian, panjer
sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang
dia oper juga kepada temannya yang lain…ya,
mencari keuntungan sedikit lah…
“ …mendingan
“ gantangan
itu berhenti saja. Rugi, banyak modal kaluar,
untungna saeutik. Tapi lamun Rombol, bagusnya
diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya
juga lebih banyak…
(undangan)
“
Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak diterima
sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya
masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu
bisa terbantu. Soalnya pengembaliannya khan
diatur.
156 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
“
(rugi-pen). Ya ada kelebihan, hiburan jangan
mewah-mewah, hanya asal merayakan saja.
Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia
dapat beras 2 ton 2 kw, udah berapa itu?
Belum dari yang lain-lain.
Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan 157
-2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11
3 Imam Astrid Hansip Buruh Tani Bawah Berpen- X Bentuk lain Mendukung,
garuh, dari gotong masyarakat
jaringan royong, harus rajin
luas, untuk bergaul dan
memiliki meng- menyimpan,
anak yang hindari sehingga hasil
berperan kerugian, gantangannya
sebagai untuk ber- menguntung-
Bandar gaul dengan kan.
hajat masyarakat
lain (mengi-
kuti tradisi)
-2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11
6 Dadang Dian Buruh Tani Buruh Tani Menengah Jaringan X Untuk Leih baik pola
bawah luas, memenuhi Gantangan
ketua kebutuhan atau kon-
Rombol mendesak, dangan yang
bertanggu- tidak pasti
ng jawab kedatangan
sebagai dan jumlah
Pelopor simpanan-
Rombol nya itu
(gantangan dihilangkan
dengan saja, diganti
sistem sistem rombol
mirip (arisan) yang
arisan) lebih terjadwal
EPILOG
Berkaca dari teori pertukaran
Peter M. Blau (1964) yang
meletakkan tujuan sosiologi
untuk mempelajari interaksi tatap
muka sebagai landasan guna
memahami struktur sosial yang
lebih luas (Ritzer & Goodman,
2010:368), maka demikian halnya
penelitian ini berusaha memahami
pertukaran sosial gantangan
untuk mendapatkan penjelasan
tentang struktur sosial masyarakat
pedesaan Subang kontemporer.
162 Gantangan : Potret Pertukaran Sosial di Pedesaan
M
ula-mula penelitian ini berusaha mengkaji tentang
motivasi dan dorongan orang desa dalam proses-
proses membangun hubungan sosial dengan
sesamanya, baik yang termasuk dalam kategori keluarga/kerabat
(family) maupun di luar hubungan pertalian darah tersebut (non-
family). Mendalami hubungan sosial antar warga desa ini menjadi
penting karena pada akhirnya nanti interaksi tersebut akan mampu
merefleksikan gejala-gejala sosial umum dalam masyarakat
pedesaan itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya. Seperti
apakah orang desa sudah semakin berwatak komersil? Apakah
gotong royong sudah benar-benar ditinggalkan? dan seterusnya.
Hubungan-hubungansosialyangterkomersialisasimerupakan
konsep sosiologis untuk menggambarkan bagaimana hubungan
sosial itu - baik antara dua orang maupun dalam kelompok - lebih
banyak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan
dari pihak lain, baik jangka pendek maupun jangka panjang, material
maupun non material. Komersialisasi sosial ini merupakan analog
dari komersialisasi ekonomi, dengan hubungan sosial sebagai
komoditasnya. Pola-pola komersialisasi yang tercermin dalam
perayaan/hajatan menunjukkan bagaimana organisasi sosial baru
seperti gantangan ini dapat tumbuh dari hubungan pertukaran
murni (nyumbang) dalam masyarakat pedesaan.
PENUTUP
P
ola pertukaran sosial gantangan di Kabupaten
Subang menunjukkan hadirnya tiga tipe pertukaran
yang disebut nyambungan, gintingan dan golongan di
masing-masing wilayah (kecuali di Subang Selatan belum ada
pola Golongan). Meskipun memiliki kemiripan pola, namun secara
historis Subang Utara merupakan titik mula berkembangnya
pertukaran sosial gantangan hingga kemudian diikuti oleh
masyarakat di Subang bagian Tengah dan Selatan. Gantangan
ini bukan asli tumbuh dari komunitas desa miskin, melainkan
diadopsi dari desa-desa yang makmur, subur dan berkembang
pertanian padinya, khususnya dari daerah Karawang dan
Indramayu. Transformasi nyambungan menjadi gintingan dan
golongan merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi yang
kian melembaga.
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA
TENTANG PENULIS
email: