Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

ANALISIS KEARIFAN LOKAL SINTREN SEBAGAI MODAL KAPITAL BUDAYA


DI MASYARAKAT CILACAP

DisusunOleh:
Aan NurCahyo / S701708002
Rizal Akbar Aldyan / S701708012
Roni Desi Tarwanto / S701708013

KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman. Keanekaragaman ini
tercipta karena letak geografis Indonesia yang luas dan bentuknya yang kepulauan. Dilihat dari
segi budaya, setiap daerah di Indonesia memiliki keseniannya masing-masing. Sebagai contoh
bagi bentuk kesenian adalah tarian, ala musik tradisi, seni kriya, dan lain sebagainya. Di daerah
pesisir pantai selatan, memiliki tarian yang dipakai dalam ritual adatnya, bernama sintren.
Sintren merupakan wujud kebudayaan berupa kesenian tari, yang paling konkret
wujudnya sebab dapat dilihat, ditampilkan dan didokumentasikan. sintren merupakan salah satu
tarian yang pada dasarnya digunakan untuk penghormatan, namun di masa sekarang sintren lebih
dipertunjukkan untuk wisata daerah. Di Cilacap, salah satu kota di pesisir pantai selatan Jawa,
sintren menjadi komoditi pemerintah Cilacap untuk mendorong wisatawan datang dan
berkunjung ke Cilacap. Kesenian sintren dari daerah Cilacap dengan daerah lainnya memiliki
kesamaan, yakni sama-sama diperankan oleh gadis yang masih perawan, usia sekitar 9-15 tahun
dan menyandang status yatim atau piatu atau yatim piatu.
Herusatoto (2008:207) mengemukakan bahwa sintren adalah seni pertunjukan rakyat
Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu. Sedangkan
Suprihatin berpendapat bahwa sintren merupakan bentuk kegiatan dalam menjalankan ibadah
kepercayaan kuno, yang biasa disebut animisme, dan merupakan sebuah sarana dalam
menghubungkan alam mikrokosmos dengan alam makrokosmos, yaitu antara sintren dengan
pendukung tari atau penonton dan antaran sintren dengan penciptanya (1993: 81). Pertunjukkan
sintren mempunyai keunikan dari kesenian lainnya yakni penari yang berpakaian biasa dalam
keadaan tubuh atau tangan terikat mampu menjelma di dalam kurungan (biasanya kurungan ayam
jago) yang di dalamnya telah disediakan berbagai alat rias seperti cermin, bedak, gincu,
seperangat pakaian tari dan kaca mata hitam (Darmoko, 2013: 7).
Kesenian sintren berada di beberapa daerah pantai selatan, salah satunya yang ada di
Cilacap yakni kesenian sintren Paguyuban Retno Asih Budoyo Desa Sidareja Kecamatan Sidareja
Kabupaten Cilacap. sintren sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan rakyat di pantai selatan Jawa
Tengah dan Jawa Barat pernah menjadi satu seni hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat
antara tahun 1950 sampai 1963. Namun karena situasi politik yang melanda Indonesia pada tahun
1966, sintren mengalami keterpurukan karena dianggap ’racun yang melemahkan semangat
revolusioner’ dan mengalami kembali kejayaannya pada tahun 1990-an. (Aditama, 2016:59)
Kesenian yang berupa tari sintren ini menarik untuk diteliti oleh karena kesenian ini
masih hidup ditengah masyarakat sampai sekarang, yang dimana telah melalui banyak
perkembangan dan perubahan budaya sosial, namun tetap menjaga eksistensi di tengah
masyarakat yang berada di pesisir pantai selatan ini. Tari sintren hidup dalam sebuah arena sosial
masyarakat pantai selatan Jawa Tengah, yang dimana diakui menjadi sebuah kearifan lokal
(Modal Sosial dan Modal Budaya) bagi masyarakatnya bahkan diberdayakan oleh beberapa
pemerintah daerah setempat untuk menjadi sebuah atraksi dan ciri khas dari masyarakat kota
tersebut. Makalah ini menjawab pertanyaan mengenai identitas dan asal-usul tari sintren dan
bagaimana tari sintren menempati habitus yaitu masyarakat pantai selatanJawa Tengah yang
menjadikannya sebuah modal kapital sosial dan budaya yang berupa kearifan lokal. Manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini adalah sebuah pemahaman baru mengenai sebuah kesenian tradisi di
pantai selatan Jawa Tengah, yang bernama tari sintren, dan bagaimana tari sintren ini dapat terus
menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat pantai selatan Jawa Tengah ditinjau dari perspektif
kajian perubahan sosial dan budaya.

2. Kajian Teori
Pembahasan mengenai budaya sintren dalam masyarakat pesisir pantai selatan Jawa
Tengah ini dilihat dari genealoginya (asal mula, definisi, karakteristik) yang dipusatkan pada
fungsinya dalam masyarakat (dalam hubungannya dengan modal kapital sosial), nilai-nilai, arti,
dan kearifan lokal didalamnya.

2.1 Habitus dan Arena Sosial oleh Pierre Bourdieu


Pierre Bourdieu adalah seorang pemikir Prancis yang hendak memahami struktur sosial
masyarakat, sekaligus perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya. Baginya, analisis
sosial selalu bertujuan untuk membongkar struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi
simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya (Wattimena, 2012).
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23
Januari 2002 di Paris, Prancis. Bourdie dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari
pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat
berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21. Sebelum meninggal, ia
mengajar di lycée di Moulins (1955–1958), University of Algiers (1958–1960), University of
Paris (1960–1964), École des Hautes Études en Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de
France (1982).
Pierre Bourdieu menerima pandangan Weber bahwa masyarakat tidak bisa dianalisis
secara sederhana lewat kelas-kelas ekonomi dan ideologi semata-mata. Sebagai gantinya,
Bourdieu menganalisis masyarakat lewat konsep kelas. Bourdieu menggunakan konsep ranah
(field), yakni sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar
sumberdaya yang didambakan. Bourdieu memperluas kembali konsep habitus dari Marcel
Mauss, walau konsep ini juga muncul dalam karya Aristoteles, Norbert Elias, Max Weber, dan
Edmund Husserl. Bourdieu menggunakan konsep habitus ini dengan cara yang sistematis dalam
usaha memecahkan antinomi terkenal dalam ilmu-ilmu humaniora: obyektivisme dan
subyektivisme.
Untuk dapat mengikuti ide dari Bourdieu, kita perlu melihat bahwa dunia bukanlah
konstruksi tak berdasar. Sebaliknya, Bourdieu bersikeras untuk menunjukan batasan material
setiap struktur. Dengan demikian, ia memasukkan struktur sosial yang dimana ia bedakan dari
model mirip”rolet” sebanyak mungkin. Dia menyatakan bahwa dunia seperti itu akan termasuk
dalam "alam semesta imajiner dari sebuah persaingan sempurna atau persamaan yang sempurna
dalam kesempatan, dunia tanpa inersia, tanpa akumulasi, tanpa keturunan atau properti yang
diakuisisi, di mana setiap momen bebas dari yang sebelumnya, [... ] Dan setiap hadiah dapat
dicapai, seketika, oleh semua orang, sehingga setiap saat seseorang bisa menjadi apapun”. Oleh
karena itu, dia memperkenalkan kembali gagasan tentang modal sebagai "akumulasi tenaga kerja
", melepaskannya dari ekonominya dan dengan demikian mengembalikan dunia sosial yang sama
ke akumulasi sejarah, di mana dia kemudian menggunakan konsep habitus dan bidang sosial.
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi atau skema-skema persepsi,
pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama. Agen-agen individual mengembangkan
disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya.
Dengan cara ini, Bourdieu memberikan pernyataan bahwa penanaman struktur sosial obyektif ke
dalam pengalaman mental dan subyektif dari agen.
Ranah sosial obyektif menempatkan persyaratan-persyaratan bagi para pesertanya untuk
menjadi anggota dalam ranah yang bersangkutan, oleh karena itu struktur sosial obyektif diserap
ke dalam perangkat personal disposisi-disposisi kognitif dan somatik. Sedangkan struktur
subyektif tindakan agen kemudian disetarakan dengan struktur obyektif dan urgensi yang masih
ada dari ranah sosial tersebut. Maka kemudian muncul suatu hubungan yang bersifat doxic (doxa
= semacam himne atau pujian, berdasarkan proses intelektual sebagai kepercayaan1).

2.2 Kearifan Lokal: Modal Sosial dan Modal Budaya


Modal sosial secara umum terdiri atas norma-norma sosial dan jaringan hubungan antara
individu dan kelompok. Dalam norma jaringan antara individu dan kelompok tersebut, terdapat
aksi sosial dan mitra yang saling mengukuhkan/menguatkan dan menguntungkan. Kapital adalah
modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup
(Wattimena, 2012). Atas dasar jalinan jaringan sosial itu, mereka lalu membuat aturan dan
peraturan, sehingga tampak adanya sistem-sistem yang bentuknya lebih abstrak, yaitu sebuah
struktur sosial. Jaringan-jaringan kerja dengan aturan tertentu biasanya berwujud sebuah lembaga
sosial. Di dalam lembaga sosial terjadi tindakan sosial dan interaksi antara individu dan
kelompok untuk memenuhi harapan, kebutuhan, kepentingan dan tujuan lembaga. Modal sosial
berisi lembaga- lembaga sosial, etika sosial dan etika lingkungan. Kearifan lokal merupakan
bagian kecil dari modal sosial, sedangkan etos sosial sebagai sifat, sikap, watak dan karakter
sosial menyesuaikan dengan worldview (pandangan dunia) masyarakat tersebut. Terapan kearifan
lokal dalam modal sosial adalah menggali dan memanfaatkan etos dan norma-norma sosial untuk
melindungi masyarakat, misalnya dari kemiskinan, bencana alam, masalah lain, membangun
kesetaraan masyarakat dan stabilitas sosial, mengendalikan konflik dan kekerasan, memelihara
sumber daya alam dan sosial. Watak dan karakter sosial terlihat pada sifat dan sikap tertentu yang
muncul dalam masyarakat.
Orang tidak pernah melihat sebuah “gaya berat”, begitu pula orang tidak pernah melihat
kebudayaan. Yang tampak adalah perilaku (behaviour) budaya, hasil dari adanya interaksi
dengan sesamanya menurut aturan tertentu yang menjadikannya sebuah tradisi budaya (culture
tradition), sesuai dengan warisan budaya lokal yang mereka terima dari pendahulunya. Tradisi
budaya ini dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan zaman dan kondisi
lingkungannya. Menurut Bourdieu, modal budaya yang berupa pengetahuan lokal dibagi menjadi
tiga jenis. Pertama, hukum dan hukum adat serta aturan yang menjadi pedoman perilaku, sifat
dan sikap dalam tindakan sosial bagi kelompok tertentu, baik kecil maupun besar. Kedua,
mengacu pada aturan dan peraturan yang bersumber dari nilai adat dan agama pada lokal tertentu,

1 Doxic. https://www.merriam-webster.com/dictionary/doxic (diakses pada 27 Maret 2018, 18.35)


yang ditaati dan terwujud dalam perilaku anggota masyarakat. Yang ketiga adalah cita dan citra
serta struktur yang diperoleh secara warisan sosial dari hasil adaptasi setiap generasi. Hal itu
bersumber dari mitologi, legenda dan cerita rakyat.
Kearifan lokal turun dari pengetahuan budaya lokal yang membentuk kearifan individu
atau sekelompok individu guna mengelola kehidupannya dari generasi ke generasi. Bisa juga
tercakup dalam berbagai mekanisme adaptif dan cara-cara untuk bersikap, berperilaku dan
bertindak ke dalam tatanan sosial. Dimensi kearifan lokal ada empat, yaitu (a) mekanisme
pengambilan keputusan, (b) keterampilan lokal, (c) sumber daya lokal, dan (d) tipe solidaritas
sosial. Perwujudannya tampak pada kecerdasan lokal yang ditransfer pada daya cipta, inovatif
dan kreatifitas untuk kemandirian lokal. Kearifan lokal adalah suatu kondisi yang matang dan
mantap dalam masyarakat tertentu, biasanya dimiliki oleh individu-individu yang mengambil
jiwa dan semangat dari nilai-nilai budaya yang telah disepakati masyarakatnya secara sosial.
Modal Budaya dibagi menjadi tiga jenis2
1. Embodied State terdiri atas pengetahuan yang dengan sadar diperoleh dan diwariskan
secara pasif melalui sosialisasi budaya dan tradisi. Hal ini tidak dapat ditularkan/disebarkan,
tetapi ada dalam habitus orang tersebut.
2. Objectified State mengacu kepada kepemilikan material seseorang (misalnya sebuah
karya seni, instrumen ilmiah, dll) yang dapat ditularkan untuk keuntungan ekonomi (jual beli)
dan secara simbolis menyampaikan kepemilikan modal budaya yang difasilitasi dengan
kepemilikan hal-hal seperti itu.
3. Institutionalized State mengacu pengakuan formal lembaga mengenai modal budaya
seseorang, biasanya kredensial akademik atau kualifikasi profesional. Peran sosial terbesar
dilembagakan budaya-modal dalam pekerjaan (pasar tenaga kerja), dimana memungkinkan
ekspresi susunan modal budaya seorang sebagai pengukuran kualitatif dan kuantitatif (yang
dibandingkan terhadap langkah-langkah modal budaya orang lain) .

2.3 Metode Penelitian dan Metode Analisis


Kemunculan Sintren berkaitan erat dengan pengaruh dari kelas sosialnya, yang
merupakan hasil dari habitus mereka secara spesifik, dan mengalami penyebarluasan, pemaknaan
dan pembacaan makna untuk memperpanjang keberlangsungan kesenian sintren ini sampai

2https://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/fr/bourdieu-forms-capital.htm (diakses pada 28 Maret


2018, 20.30)
sekarang.

Metode yang digunakan

Penelitian Kualitatif

Pendekatan Studi Kasus

Data dan Sumber Data Data Sekunder

Metode Pengumpulan Dokumentasi/ Arsip/ Ulasan


Data

Validitas Data Teknik Triangulasi Sumber

Metode Analisis Data Habitus & Ranah, Kapital Budaya & Sosial

3. Pembahasan
3.1 Sintren Sebagai Sebuah Kearifan Lokal di Masyarakat Pantai Selatan Jawa Tengah
3.1.1 Definisi, Asal-Usul dan Penceritaan Tari Sintren
Sebagai sebuah kesenian tradisi yang mengandung unsur kekuatan di luar nalar manusia,
tari sintren, yang ditemukan di pantai selatan Jawa Tengah khususnya dalam makalah ini adalah
Cilacap, merupakan kesenian tradisional rakyat yang populer di kalangan masyarakat. Tarian ini
menjadi populer oleh karena keistimewaannya, yaitu menari dalam keadaan kesurupan
(trance). Perilaku trance dalam tari Sintren inilah menjadi ciri khas dari kesenian ini.
Kesenian sintren secara etimologi berasal dari kata sintren yang terdiri dari dua suku kata,
yaitu “si” dan “tren”. Si mempunyai arti “dia” dan tren sendiri merupakan suatu panggilan untuk
orang putri. sintren dapat juga diartikan menjadi “si dia seorang putri" (Aditama, 2016:59).
Sintren merupakan salah satu kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah yang terkenal di
wilayah pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesenian sintren meliputi wilayah
Jatibarang, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Pekalongan, Brebes, Cilacap. sintren di Cilacap
menjadi ikon wisata budaya yang digalakkan oleh Pemerintah daerah karena dianggap sebagai
budaya khas dari Cilacap.
Sintren dapat diartikan sebagai bentuk seni tari tradisi kerakyatan yang selalu
menghadirkan kurungan sebagai propertinya dan dilakukan oleh seorang wanita yang berusia
antara 9 sampai 15 tahun. Herusatoto (2008:207) menerangkan bahwa sintren adalah seni
pertunjukakan rakyat Jawa-Sunda yang berbentuk seni tari yang bersifat mistis dan memiliki ritus
magis tradisional tertentu. sintren adalah sebutan kepada pemeran utama dalam satu jenis
kesenian. Tapi akhirnya sebutan itu menjadi satu nama jenis kesenian yang disebut sintren.
sintren adalah sebutan kepada pemeran utama dalam satu jenis kesenian. Kata sintren sendiri
berasal dari kata sesantrian yang artinya meniru santri bermain lais, debus, rudat atau ubrug
dengan menggunakan magis atau ilmu gaib.
Dalam kisah yang dimainkan pada sintren begitu identik dengan cerita cinta antara
Sulasih dengan Sulandono. Pekalongan memiliki cerita rakyat mengenai sintren. Hadisastro
(1998: 2-5) dalam Puji Dwi Darmoko (2013: 3-4) menguraikan bahwa cerita sintren memiliki dua
versi. Pertama mengenai legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono yang merupakan
seorang putra Bupati di Mataram bernama Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan
Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono,
maka R. Sulandono diperintahkan oleh ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain
(sapu tangan) sebagai sarana untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai.
Sedangkan Sulasih diperintahkan oleh ibunda R. Sulandono untuk menjadi penari pada setiap
acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan
purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah
Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara
sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari
kemudian dimasuki kekuatan roh/jiwa dari Rr. Rantamsari sehingga mengalami kesurupan dan
saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat
sulasihkemasukan roh halus/kesurupan inilah yang disebut "sintren", dan pada saat R. Sulandono
melempar sapu tangannya disebut sebagai "balangan".Denganilmu yang dimiliki R.Sulandono
maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk
bersatu dalam rumah tangga. Kisah kedua sintren dari Pemalang dilatarbelakangi kisah
percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung
Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso
menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan
menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah,
Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak lama terdengar kabar bahwa
Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar
orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus,
maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalanan sepanjang
wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi
Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat
bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Karena kegagalan Bahurekso menyerang
Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram,
melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan
pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu.
Sejakitu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Asal usul mengenai sintren di Cilacap belum diketahui secara pasti berawal darimana,
namun cerita turun temurun mengenai sintren mengidentifikasikan kesamaan dengan cerita
sintren dari Pekalongan menurut versi cerita yang pertama, yakni kisah cinta antara Sulasih dan
Sulandoro yang tidak direstui oleh ayahanda dari Sulandono, dan untuk melakukan pertemuan,
dua sejoli yakni Sulasih dan Sulandoro melakukan antraksi yang dikenal dengan sintren. Cerita
tentang Sulasih dan Sulandono dikaikan dengan adanya kalimat yang berbunyi “Sulasih-
Sulandono” dalam lagu pembuka yang sebenarnya adalah tembang yang memilki kekuatan di
dalamnya memanggil roh bidadari. Raden Sulandono adalah putra dari Bahurekso dengan Dewi
Rantamsari, tetapi hubungan mereka tidak disetujui oleh Bahurekso (Hadisastro, 1998: 3-8).
3.1.2 Institusi, Penari dan Tata Cara Pelaksanaan Tari Sintren
Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini
di maksudkan agar pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas antara penonton
dengan penari sintren maupun pendukungnya. (Aditama, 2016:61). Di Cilacap terdapat
paguyuban kesenian sintrenPaguyuban Retno Asih Budoyo, yaitu Seperti sintren di pesisir
selatan lainnya, sintren dari Paguyuban Retno Asih Budoyo memiliki syarat bagi penarinya,
yakni penari sintren harus seorang gadis yang masih perawan serta menyandang status gadis
yatim atau piatu atau yatim piatu. Penari sintren di Paguyuban Retno Asih Budoyo Desa Sidareja
Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, sebelum melakukan aksinya, perlu menyiapkan
beberapa barang yang akan digunakan ketika pentas. Barang-barang tersebut meliputi kain batik
parang (bergaris hias melintang), segulung angkin (sabuk kain beludru bersulam) dan
bengking/stagen (sabuk kain panjang dua setengah meter yang digulung), blus hitam penari
sintren dengan sulaman hias berwarna emas dan perak, selendang tari, kuluk (mahkota) berhias
bulu merak dan sepasang sumping (hiasan daun telinga berjuntai), hiasan kalung penari puteri,
sapu tangan putih, dan tali luwe (tambang benang) berisi bedak, sisir, kaca rias kecil, dan
kacamata hitam. Bahkan sebelum menjadi seorang sintren sang gadis diharuskan berpuasa
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci, karena
dengan berpuasa, gadis penari ini akan menjaga pola makannya. Selain itu, dia akan menjaga
tingkah lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina, sehingga tidak menyulitkan bagi roh atau
dewa untuk masuk ke dalam tubuhnya. (Aditama, 2016:60)
Penari sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan
diiringi gending 6 orang. Gadis tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung
kain. Pawang/dalang kemudian berjalan memutari kurungan ayam itu sembari merapalkan mantra
memanggil ruh Dewi Lanjar. Jika pemanggilan ruh Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan
dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi
gending.Dalam menari, sintren ditemani oleh dua orang bodhor yang berperan sebagai pelawak
dan dibantu oleh kemlandhang I dan kemlandhang II, cantrik serta penabuh gamelan.
Pertunjukkan sintren dilaksanakan pada malam hari sekitar pukul 20:00 WIB sampai pukul 01.00
WIB atau semalam suntuk (Suprihatin, 1993:61). Pertunjukkan sintren ini memadu padankan seni
gerak (tari), seni suara (tembang) seni musik (gending) dan lawak (badhor). Biasanya dalam
pertunjukkan sintren diiringi oleh musik tradisonal Jawa laras slendro dengan pengiring gamelan
yang tidak lengkap hanya menggunkanan gambang, saron, kempul, gendang dan gong.
Kesederhanaan yang ditampilkan baik penyanyi maupun pengiring membuat masyarakat
menerima adanya kesenian sintren ini dengan berbagai kalangan yang beragam.
Darmoko (2013:75-77) menuliskan tata cara pelaksanaan sintren sebagai berikut:
(1) Seorang pawang sintren melakukan upacara ritual;
(2) Seorang panjak membuka kurungan untuk memastikan kepada penonton bahwa di dalam
kurungan tersebut tidak terdapat sesuatu apapun;
(3) mengawali pertunjukan sintren para sinden melantunkan tembang Kukus Gunung
dimaksudkan untuk mengumpulkan para penonton. Diikuti ritual membakar kemenyan oleh
kemlandang (orang yang membantu pawang dalam memenuhi kebutuhan sintren) yang diasapkan
ke kurungan dan calon penari sintren, diringi nyanyian tembang Sulasih-Sulandono oleh sinden,
dengan maksud untuk mendatangkan roh bidadari agar merasuk ke dalam tubuh sintren;
(4) calon penari sintren duduk di sebelah kurungan kemudian kedua tangan diikat dengan kain
yang sudah dililit kecil;
(5) kemudian penari sintren masuk ke dalam kurungan, di dalam kurungan terdapat pakaian,
peralatan rias dan kembang kamboja;
(6) Setelah penari sintren selesai berhias maka penari sintren menggoyang-goyangkan
kurungan;
(7) Setelah keluar dari kurungan, penari sintren melakukan tarian dengan posisi tangan masih
terikat dan diringi oleh tembang mboko;
(8) Penari sintren melakukan tarian dengan ritme gerakan tari memperlihatkan kaki berjingkat
kanan kiri serta pinggul yang digoyangkan mengikuti hentakan kendang;
(9) Setelah penari sintren terlihat letih, pawang memasukan ke dalam kurungan kembali;
(10) Kemudian ketika penari sintren ingin keluar, penari sintren memberikan tanda dengan
menggoyang-goyangkan kurungan kembali dan pawang membuka kurungan kembali ketika lagu
yang dinyanyikan berganti tembang cul’na bandan ditandai dengan lepasnya banda (ikatan)
penari sintren;
(11) sintren menari dengan durasi waktu yang tidak menentu, terkadang 7-10 menit dengan
gerakkan yang hanya berjingkat kaki kanan kiri, goyang pinggul serta memainkan tali selendang
tersebut menggunakan tangan;
(12) Ketika penari sintren merasa letih ditunjukkan dengan sang sintren duduk bersimpuh
kemudian dimasukkan kembali ke dalam kurungan dan kemlandang menaburkan asap kemenyan
seraya memutari kurungan;
(13) Kurungan dibuka kembali ditandai dilantunkannya tembang kembang lanjar pare sebagai
penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, roh nenek moyang dan para penonton.
Dahulu, pertunjukkan sintren memiliki alasan jika dimainkan pada malam hari karena
bertujuan untuk menghibur masyarakat pedesaan yang belum banyak mengenal hiburan.
Pertunjukkan sintren terjadi secara turun temurun hingga sekarang, mulai yang dahulu hanya
dipentaskan pada bulan purnama. Pertunjukan ini menggambarkan keresahan emosi yang
terkekang, khususnya saat masyarakat dibawah pengawasan penjajah yang disimbolkan dengan
kurungan ayam (Darmoko, 2013: 30-33).
3.2 Perubahan Budaya dan Sosial dalam Masyarakat Cilacap sehubungan dengan
Tradisi sintren
Kesenian sintren adalah realitas ciptaan yang merupakan produk kebudayaan masa lalu
yang sarat dengan sistem moral dan nilai dalam segala simbol yang dipertunjukan oleh kesenian
sintren yang kemudian membentuk sebuah pengetahuan kesenian sintren sebagai kebenaran.
(Darmoko, 2013: 103). Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan budaya dan sosial di
masyarakat, tari sintren tidak lagi dimaknai sama oleh masyarakat pantai selatan Jawa, khususnya
daerah Cilacap. Beberapa perubahan-perubahan dilakukan untuk dapat mempermudah dan
diterima oleh masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar tari ini tetap eksis ditengah masyarakat,
meskipun mengalami dekonstruksi makna.
Dulunya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penari sintren diharuskan
masih berstatus perawan agar dapat mengalami trance. Namun, untuk sekarang ini penari sintren
harus lebih diutamakan seorang gadis yang mempunyai talenta dalam menari dan tidak harus
mengalami trance. Puji Dwi Darmoko dalam tesisnya yang berjudul “dekonstruksi makna
simbolik kesenian sintren (studi kasus pada paguyuban sintren slamet rahayu dusun sirau,
kelurahan paduraksa, kecamatan pemalang, kabupaten pemalang)” memberikan pernyataan
bahwa jika penari sintren sekarang tidak harus mengalami trance, maka dapat diartikan bahwa
sintren yang tidak mengalami trance adalah sintren yang “tak jadi”, karena sintren jadi atau awal
mula kesenian sintren adalah yang mengalami trance. Sintren tak jadi merasakan secara sadar apa
yang dilakukan, mulai tahap masuk kurungan ayam, berdandan di dalamnya, lalu memulai
pertunjukan setelah kurungan dibuka oleh seorang panjak. Karena kesadaran terkontrol penuh,
sintren tak jadi dapat mengatur setiap gerak tari yang ditampilkan di hadapan penonton. Sintren
tak jadi tidak terpengaruh oleh sentuhan tangan penonton yang usil, namun demi untuk menjaga
kredibilitas sebagai sintren yang baik, dia akan berpura-pura merebahkan diri dan bangun
kembali pada saat yang tepat ketika pawang dan panjak melantunkan tembang pemulihan untuk
penyadaran. Hal ini tentu berbeda dengan awal mula tari sintren yang dimana pertunjukan
utamanya adalah saat penari mengalami trance dan bertindak diluar kesadarannya.
Penari sintren dulunya sangat dinanti-nanti pada saat pertunjukkan, namun untuk sekarang
ini posisi bador (pelawak). Darmoko (2013) mengatakan bahwa posisi bador atau pelawak dalam
sebuah pertunjukan tari sintren dimasa kini jauh terkenal dibandingkan sintren karena bador
menampilkan yang tidak monoton dan berbaur dengan penonton. Bador dianggap dapat
memberikan suasana yang kocak dan jenaka sehingga membuat penonton tidak merasa tegang
dan penonton juga dapat berinteraksi dan seakan-akan masuk ke dalam skenario dari bador
tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa eksistensi sintren pemalang yang semakin
hari semakin merosot, yang membuat keberadaan sintren antara ada dan tidak. keberadaan sintren
sudah jarang ditemui, terlebih di daerah pusat kota di Cilacap, meskipun setiap ulang tahun
Kabupaten Cilacap dan acara-acara penting lainnya, sintren serta kesenian lainnya ditampilkan.
Hal ini hanyalah sebatas untuk mengingatkan kembali bahwa Cilacap sebetulnya memiliki
kesenian budaya yang patut untuk dilestarikan. Rohmah (2015) menguraikan dalam skripsinya
yang berjudul “Nilai Estetis Pertunjukkan Kesenian Sintren Retno Asih Budoyo di Desa Sidareja
Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap” bahwa kesenian sintren dahulu berfungsi sebagai
sarana upacara seperti ritual bersih desa, tolak bala, pemberian nama pada bayi yang baru lahir
dan upacara meminta hujan. Seiring berjalannya waktu, kesenian Sintren hanya berfungsi sebagai
sarana hiburan masyarakat. Kesenian Sintren sebagai sarana hiburan masyarakat dapat dijumpai
diberbagai acara seperti acara pernikahan, khitanan,bahkan HUT RI kemerdekaan. Sebetulnya
setiap daerah di pantai selatan satu dengan yang lain memiliki kesamaan dalam fungsi namun
seiringnya jaman, fungsi kesenian sintren semakin tergeserkan, hanya dijadikan sebagai paket
wisata suatu daerah, seperti halnya di Cilacap.

4. Kesimpulan
Tari Sintren yang merupakan tari tradisional yang berkembang di masyarakat daerah
pantaiselatanJawatengah ini mengalami pergeseran, baik dari fungsi maupun dari pengemasan
acara. Hal ini dikarenakan oleh perkembangan masyarakat yang lebih modern. Nilai-nilai dalam
Tari Sintren yang dulunya penuh magis, kini tidak lagi seperti itu, tidak mengharuskan adanya
peristiwa kesurupan dalam tariannya. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi tari Sintren yang
dulunya digunakan oleh masyarakat pesisir pantai sebagai sebuah ritual pemanggil hujan, tolak
bala dan pengucap syukuran atas hasil yang diterima. Melalui ritual ini, masyarakat yang hidup
ditengah-tengahnya memiliki keyakinan yang diwarisi secara turun temurun bahwa adanya
keharusan untuk melaksanakan kegiatan ritual ini. Namun pada masa sekarang, dengan adanya
perkembangan zaman, baik dibidang teknologi dan tingkat pendidikan, hal ini membuat
masyarakat tidak lagi mempercayai ritual seperti ini, bahkan setelah masuknya agama, pandangan
para agamis melihat sintren sebagai hal yang musyrik. Akibatnya, nilai-nilai yang dianut
masyarakat mengalami perubahan atau pergeseran. Tidak hanya itu, sintren kini digunakan hanya
sebagai komoditas hiburan rakyat, yang tentunya berkaitan dengan faktor ekonomi juga. Tidak
perlu waktu yang lama dari malam sampai pagi, bahkan dipakai hanya untuk kegiatan-kegiatan
yang dilaksakan pemerintah daerah guna menjual pariwisata oleh pemerintah daerah.
Berkaitan dengan pendapat Bourdieu mengenai kearifan lokal sebagai modal kapital
budaya dan sosial dalam suatu habitus, tari sintren hadir sebagai kesenian tradisional hasil dari
budaya masyarakat di pesisir pantai selatan Jawa dengan segala ritual magisnya yang menjadi
kepercayaan masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan mereka akan rasa aman dan
nyaman. Seiring berjalannya waktu, di masa modern, habitus masyarakat berubah melalui
perkembangan perkotaan, akses akan pendidikan dan era keterbukaan dan teknologi yang maju,
membuat masyarakat tidak lagi mempertahankankan dengan baik fungsi-fungsi sosial dan budaya
dari kesenian tradisional ini, bahkan tari sintren diambang punah.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widia.
Tsing, Anna Lowenhaupt. (1993). In the Realm of the Diamond Queen: Marginality in an
Out-of-the-Way Place. Princeton: Princeton University Press.

Kamus
Merriam Webster Online. Doxic. https://www.merriam-webster.com/dictionary/doxic
(diakses pada 27 Maret 2018, 18.35).

Karya Ilmiah
Aditama, Luthfi Deska. 2016. Kesenian sintren Sebagai Kearifan Lokal Dintinjau dari
Metafisika Anton Bakker. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Jurnal Penelitian
Humaniora, Vol 21. NO. 1, april 2016: 57-72
Darmoko, Puji Dwi. 2013. Dekontruksi Makna Simbolik Kesenian sintren (Studi Kasus
Pada Paguyuban sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau, Kelurahan Paduraksa, Kecamatan
Pemalang, Kabupaten Pemalang). Tesis. Program Studi Pascasarja Kajian Budaya. Universitas
Sebelas Maret: Surakarta.

Rohmah, Fatmawati Nur. 2015. Nilai Estetis Pertunjukkan Kesenian Sintren Retno Asih
Budoyo di Desa Sidareja Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap. Program Studi Pendidikan
Seni Tari. Jurusan Pendidikan Sendratasik. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri
Semarang: Semarang.
Suprihatni, Irma Yulia. 1993. Tari sintren di desa krasak kecamatan sragi kabupaten
pekalongan Jawa Tengah. Tugas akhir program studi s-1 tari nusantara jurusan seni tari fakultas
kesenian institut seni indonesia yogyakarta: Yogyakarta.
Situs Internet
Blunden, Andy. The Forms of Capital. https://www.britannica.com/biography/Pierre-
Bourdieu(diakses pada 28 Maret 2018, 20.40).
Edt. Vivi PSG. Website Resmi Pemerintahan Kabupaten
Pekalonganhttp://www.pekalongankab.go.id/beranda/122-artikel-sosial-budaya/4916-menguak-
asal-usul-dibalik-tari-sintren.html(diakses pada 28 Maret 2018, 18.30).
https://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/fr/bourdieu-forms-
capital.htm(diakses pada 28 Maret 2018, 20.30).
Routledge.Cultural Capital.http://routledgesoc.com/category/profile-tags/cultural-
capital(diakses pada 28 Maret 2018, 21.30).
Williams, Yolanda. Embodied Cultural Capital.
http://study.com/academy/lesson/embodied-cultural-capital.html (diakses pada 28 Maret 2018,
21.40)
Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Kritis Bersama Pierre Bourdieu.
https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-
bourdieu/(diakses pada 28 Maret 2018, 18.55).
Wikipedia. sintren https://id.wikipedia.org/wiki/sintren (diakses pada 28 Maret
2018,20:50).

Anda mungkin juga menyukai