Anda di halaman 1dari 7

1

RESEP PELESTARIAN SENI SINTREN DI TENGAH ARUS MODERNISASI


Abdul Ghofur1
Pend. Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
email: ghofursparatise@gmail.com

Abstract
The shifting of symbolic meaning sintren marked with the emergence of a new style sintren "Soinvented Sintren" which is the process of identity reconstruction sintren that is considered shirk and
contradict the religious reasoning. On the inside view and the outside view public perception of The
shifting of symbolic meaning sintren can be grouped into four categories, including; 1) those who
reject, 2) support group, 3) a group that does not reject but also not to support, and 4) those who do
not want to know. As an implication, then the sintren art community conservation efforts need to be
given the opportunity to choose between the physical preservation and conservation of grip.
Keywords: recipes, preservation, sintren, modernization.
A. PENDAHULUAN
Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang secara definitif memang dapat
dipisahkan, namun tidak untuk dilihat. Ibaratnya adalah selembar mata uang yang memiliki dua sisi,
tapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, begitu
juga sebaliknya tidak ada masyarakat tanpa kebudayaannya. Masyarakat sebagai suatu sistem
merupakan kompleks kebudayaan yang berjalan beriringan antara berbagai unsur kebudayaan. Proses
saling integrasi atau keberlangsungan antarunsur kebudayaan tentunya akan membawa pengaruh
terjadinya perkembangan, pergeseran, atau perubahan unsur-unsur di dalam kebudayaan itu, sehingga
masyarakat dikatakan berkembang atau mengalami perubahan.
Kebudayaan, hidup dan berkembang dalam setiap masyarakat. Perkembangan suatu
kebudayaan merupakan pergerakan dari masyarakat itu sendiri. Kendati demikian perkembangan
kebudayaan dalam setiap masyarakat tidaklah bersifat universal, justru sebaliknya menunjukan
sifatnya yang plural dan relatif. Maka dari itu tidaklah bijaksana jika dikatakan suatu kebudayaan
masyarakat satu lebih unggul daripada kebudayaan masyarakat tertentu lainnya. Sejalan dengan hal
tersebut, seni atau kesenian sebagai salah satu unsur dari produk kebudayaan menunjukan sikapnya
yang plural dan relatif pula, sehingga sikap yang mengklaim adanya seni adiluhung yang dianggap
lebih tinggi cita rasanya ketimbang seni rakyat adalah perungkapan yang kurang bijak (dimungkinkan
ada nuansa politis untuk menjaga statua quo).
Perkembangan, pergeseran, atau perubahan seni (budaya) sangat tergantung pada sejauh mana
daya tahan kebudayaan tersebut ketika dihadapkan atau berinteraksi dengan kebudayaan lainnya.
Sementara itu, masyarakat sebagai pemilik, pelaku, sekaligus pemakai seni (budaya) sangat
berperan penting dalam menjaga daya tahan keberadaan seninya. Artinya, seni tidak akan
berkembang, bergeser, ataupun berubah meskipun dihadapkan dengan gelombang kebudayaan lain
yang lebih besar pengaruhnya jika masyarakat sebagai pemilik memiliki komitmen untuk tetap
mempertahankan keberadaan seni tersebut. Sebaliknya, ketika komitmen masyarakat dalam menjaga
keberadaan seni berubah, maka perkembangan, pergeseran, perubahan, atau bahkan pembuangan
seni akan terjadi.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat mengakibatkan pula perubahan dalam menanggapi
kesenian. Kesenian dapat berganti fungsi atau bentuknya karena mengikuti zaman (Jazuli, 1994: 58).
Senada dengan pandangan tersebut, sintren sebagai seni rakyat telah mengalami perkembangan,
pergeseran, atau perubahan ketika dihadapkan pada gempuran arus modernisasi. Pergantian orientasi
hidup yang melahirkan nilai-nilai baru atau modern sebagai hasil kreatifitas manusia dalam suatu
masyarakat berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sehingga sintren yang semulanya seni untuk
seni, kini menjadi seni untuk industri. Artinya hakikat seni tidak untuk seni, tetapi seni bergeser

sebagai alat pemenuh kebutuhan ekonomi. Hal ini ditandai dengan adanya kelahiran Sintren Jadijadian yang merupakan produk inovasi dari Sintren Jadi, akan tetapi dalam hidupnya sekarang
berjalan beriringan satu sama lain di dalam masyarakat.
Di sisi lain, kelahiran Sintren Jadi-jadian adalah upaya seniman sebagai pelaku seni untuk
membumingkan kembali kesenian sintren. Hal ini dilakukan sebagai salah satu strategi politik
identitas untuk menstabilkan masalah sosial yang muncul terkait cara pandang (opini) terhadap seni
Sintren Jadi. Berbagai pihak ada yang menilai ketinggalan zaman, harus tetap dilestarikan
sebagaimana adanya sampai cara pandang agamis (yang melihat sintren itu syrik, karena mengundang
setan yang ditandai peristiwa trance-nya sang penari). Berdasarkan paparan diatas, dapat dirumuskan
masalah, yaitu: 1) bagaimana dialektika antara Sintren Jadi dan Sintren Jadi-jadian sebagai bentuk
pergeseran makna simbolik sintren?, 2) bagaimana persepsi masyarakat terhadap pergeseran makna
simbolik sintren?, dan 3) bagaimana resep pelestarian sintren ditengah arus modernisasi
(perkembangan masyarakat)?.
B. METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Desa Tegal Sari Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang, dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif. Sumber data penelitian diambil dari data primer dan data
sekunder. Peneliti mengambil data primer dari hasil observasi dan wawancara dengan informan pada
bulan Maret sampai Juni 2014. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa literature yang
relevan dengan fokus penelitian dan pembahasan. Penelitian ini menggunakan metode analisis
deskriptif interpretif atau deskripsi interpretasi, yaitu, menelaah atau menafsir data secara detail
terhadap data yang telah dikumpulkan dan kemudian dilakukan interpretasi, dan ditarik kesimpulan.
Menurut Geertz (1992:5), tafsir kebudayaan digunakan untuk memperhatikan apa yang disebut makna
daripada sekedar perilaku manusia. Untuk mengungkap makna diperlukan cara menafsir simbolsimbol yang dipergunakan orang dalam kehidupannya. Lebih dalam lagi bahwa kebudayaan adalah hal
yang semiotic dan kontekstual, maka dari itu dalam analisis simbol dipergunakan pendekatan
dekontstruksi atau hermeneutika-dekonstruksi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dialektika Antara Sintren Jadi dan Sintren Jadi-Jadian
Melahirkan kembali sintren yang sudah mulai terpinggirkan dari budaya Barat dan produk
budaya popular tidaklah mudah. Hal ini menjadi tanggungjawab bersama sebagai pemilik kebudayaan
sintren. Lahir tidak sama sekali berbeda, tetapi dengan sedikit kreativitas dan sentuhan seni agar tetap
bertahan dengan bingkai seni sintren, tetapi mengalami sentuhan pada bagian tertentu. Sentuhan ini
bisa menghadirkan sesuatu yang sama sekali baru, mempertahankan, dan memodifikasi. Mengdopsi
pada istilah temuan teknologi, sintren yang digarap ulang ini menggunakan istilah inovasi budaya yang
dimodifikasi dengan citra produk populer, seperti konsep kecantikan.
Dalam perkembangannya seni Sintren Jadi tidak menempati ruang sebagaimana seni tersebut
diciptakan, tetapi seni mulai diberikan-buatkan tempat baru melalui saluran komodifikasi seni.
Berbicara tentang seni sangat dekat dengan identitas suatu entitas masyarakat. Seringkali seni menjadi
media ekspresi, alat hiburan, dan politik identitas. Sayangnya, kekiniannya seni tidak berbicara tentang
dan untuk seni, tetapi seni untuk pundi-pundi ekonomi. Perkembangannya seni hanya sebagai alat
pemenuh kebutuhan bagi praktisi seni. Perubahan seni masyarakat kiranya banyak terjadi pada praktisi
seni dan pendukung kebudayaan- seni. Ironisnya, perubahan seni yang terjadi lewat komodifikasi
untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi kurang kritis terhadap pasar/penikmat seni. Akibatnya seni akan
mengalami kemandekan dalam berproduksi. Selain itu, perubahan seni juga dipengaruhi oleh
perkembangan struktur sosial yang tidak lagi homogen. Hal ini juga terjadi pada seni tradisi Sintren.
Seni sintren sebagai kesenian tradisi khas Pantura Jawa dalam perkembangannya semakin
terpinggirkan. Hal ini sesuai dengan hasil riset Hadisastro (1998) yang menyatakan bahwa kesenian
sintren sudah mulai terpinggirkan. Dari penelusuran hasil tulisan ilmiah Hadisastro,bisa diasumsikan
bahwa dari dulu kesenian rakyat-sintren sudah mengalami peminggiran. Apabila dilihat dari
riwayatnya seni tradisi sintren yang mengalami peminggiran, maka bukannya tidak mungkin apabila
sintren semakin tergerus dan tidak mampu bangkit. Apa alasannya? Hal ini kiranya terjadi sebagai

akibat dialektika dari cara pandang bahwa tradisi itu kuno-klasik-ketinggalan zaman. Sementara
produk modern tidak dilihat sebagai seni tradisi, tetapi sebagai produk modern dari luar yang canggih,
gaul, dan prestise. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Setyabudi bahwa dalam
kehidupan saat ini, manusia telah merasa bahwa dirinya modern sehingga kebanyakan menganggap
tradisi adalah primitif dan tidak perlu dipakai. Akibatnya terdapat rantai yang terputus antara alam
tradisi artefak fisik. Dalam tindakan yang terakumulasi akan mengakibatkan kearifan lokal
mengalami distorsi makna (Setyabudi, 2012).
Cara pandang yang demikianlah yang semakin meminggirkan kesenian sintren, karena tidak
dipungkiri masyarakat kita memang terhegemoni dengan produk budaya populer. Bahkan konsumsi
produk budaya populer menjadi sebuah kebutuhan yang mampu menempatkan diri (sebagai upaya
identifikasi) pada status tertentu. Lebih dari itu, dibeberapa komunitas konsumsi budaya populer
muncul sebagai sebuah hasrat yang harus dipenuhi. Hal ini pula yang akan tetap melekat, menjadi
simbol, dan ruang ekspresi bagi konsumen yang dilanggengkan dengan anggapan-anggapan dari
masyarakat yang terbentuk melalui citra dari media massa-sosial, seperti TV dan FB.
Bagi penggemar budaya populer, saluran produk populer menjadi angin segar bagi masyarakat
konsumen yang mulai jenuh dengan produk lokal yang cenderung tidak berkembang dan tidak mampu
memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis konsumen. Dengan mudahnya akses produk populer di
Indonesia semakin mempercepat gerak seni tradisi lokal termampatkan. Sintren salah satunya, kian
lama semakin terpinggirkan oleh budaya populer. Tidak hanya masalah untuk meraih konsumen
[pasar], bahkan untuk regenerasi saja mengalami kelulitan. Mulai dari alasan malu, kurang gaul,
dilarang keluarga, tidak menjanjikan untuk masa depan sampai pada alasan syarat untuk menjadi
penari sintren harus perawan. Alasan terakhir ini menjadi alasan paling essensi untuk menjadi sang
penari dalam kesenian sintren, sebab ketika waktu latihan dan pementasan apabila penari tidak ndhadi
(Inggris: trance), maka penari dilabeli sudah tidak perawan. Bahkan ketika penari ndhani, tetapi
gerakannya kaku dan tidak sesuai dengan irama ketukan gendang, sang penari sintren pun tak luput
dari stigma keperawanannya sudah terkoyak (Jawa:mambu). Atas dasar kemunculan problem tersebut,
maka pemkot menjadi mediator terhadap eksistensi seni sintren melalui inovasi dan kreativitas dengan
sedikit sentuhan seni modern yang dikemas menjadi sintren Jadi-jadian.
Pemikiran semacam ini dilandasi kesadaran sebagai pemilik budaya-seni sebagai konsekuensi
dari ketahanan seni tradisi lokal di Batang. Ketahanan seni tradisi ini dihadirkan dalam bentuk inovasi
sintren asli menjadi model sintren Jadi-jadian. Sintren Jadi-jadian merupakan kesenian sintren
kekinian yang merupakan gagasan baru. Apabila sintren Jadi mengalami trance, maka sintren Jadijadian tidak. Sintern Jadi-jadian atau Sintren garapan ini dikemas dengan produk modern yang
merupakan hasil kreasi dari STSI Surakarta (Triratnawati, 2012:129-130). Perkembangannya sintren
garapan sering dipromosikan oleh dinas pariwisata dalam setiap event kepariwisataan di Kota
Pekalongan.
Kemunculan sintren gaya baru Jadi-jadian dilakukan melalui perpaduan dan sentuhan antara
sintren Jadi dan budaya populer. Perpaduan ini dibaca sebagai sebuah model inovasi kesenian untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan alat pemersatu masyarakat. Beberapa perbedaan antara seni sintren
Jadi dan Jadi-jadian, yaitu:
Indikator
Trance
Perawan

Sintren Jadi
Mengalami trance
Diharuskan perawan

Penari tunggal
Mistis
Musik
Tarian
Make up

Biasanya 1 penari
Mistis/sakral
Tradisional
Tidak ada pakem
Dilakukan di dalam kurungan

Costume

Tradisional

Sintren Jadi-jadian
Tidak mengalami trance
Tidak harus perawan dan dipilih yang
cantik-cantik
Banyak penari
Profan
Tradisonal dan modern
Ada pakem/teratur
Di luar kurungan dan lebih rapih dan
bagus
Modifikasi tradisional dan modern

Creator
Anonim
Seniman
Sumber: Sari atas Kajian Lapangan Penulis
Inovasi yang dilakukan oleh seniman tidak semata-mata untuk menguri-uri budaya lokal, tetapi
juga ada kepentingan untuk menjaga kestabilan sosial masyarakat seperti pertentangan antara kelompok
agamis dan praktisi seni. Dengan model inovasi semacam ini harapannya semua penikmat seni mampu
menerimanya tanpa ada yang memandang seni sintren syirik dan ketinggalan zaman.
Persepsi Masyarakat Terhadap Pergeseran Makna Simbolik Sintren
Persepsi atau tanggapan masyarakat tentang pergeseran makna simbolik sintren tidak jauh
beda dengan opini dan apresiasi masyarakat terhadap kesenian sintren. Secara garis besar persepsi
masyarakat tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yang mewakili berbagai aliran
persepsi yang terserap.
Pertama, kelompok masyarakat yang menolak pergeseran makna simbolik sintren. Inti
tanggapan kelompok ini terhadap perubahan-perubahan yang ditunjukan dalam pertunjukan Sintren
Trubus Budoyo merupakan sikap yang tidak menghargai terhadap warisan leluhur. Seni tersebut
dianggap sebagai bukan sintren, dalam istilah mereka adalah sintren dolanan. Menurut mereka, sintren
merupakan bentuk kesenian yang harus dilakukan berdasarkan pakemnya. Baik tata cara
pertunjukan sintren, perlengkapan maupun syair-syair tembang serta ritualnya harus dilakukan seperti
dahulu kala. Penggunaan kemenyan dan berjenis-jenis bunga adalah bagian dari ritus-ritus masyarakat
dahulu. Ritus ini tidak boleh dihilangkan, karena sintren adalah wujud ritus yang memiliki fungsi
untuk kesejahteraan kehidupan manusia, seperti ritual permohonan hujan, pengobatan, minta jodoh
dan menolak bala. Kelompok ini terwakili oleh para pemerhati seni etnik (tradisional) dan para orang
tua desa (baik di Desa Tegal Sari maupun diluar desa tersebut). Mereka umumnya adalah orang-orang
yang berada diluar seniman kesenian Sintren Trubus Budoyo.
Kedua, kelompok yang mendukung adanya pergeseran makna simbolik sintren. Dalam
pandangan kelompok ini, sintren sebagai warisan budaya sebaiknya tetap dipertahankan dan
dilestarikan keberadaannya. Akan tetapi bagaimana sintren dilestarikan harus disesuaikan dengan
konteks perkembangan zaman. Sintren agar dapat diterima dalam masyarakat sebagai kesenian harus
mampu mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut
mereka, perubahan-perubahan yang ditunjukan dalam pertunjukan Sintren Trubus Budoyo adalah
wujud dari sintren modern. Kelompok ini terwakili oleh para pemuda (terutama para penonton yang
ikut dalam berjoget dengan sintren) dan para penonton kebanyakan.
Ketiga, yaitu kelompok yang tidak menolak tetapi tidak juga meng-iya-kan (ambang batas)
adanya pergeseran makna simbolik sintren. Dalam pandangan kelompok ini, upaya pelestarian
kesenian sintren memang harus mengikuti perkembangan zaman, tetapi harus ada batasannya. Seperti
halnya lagu-lagu dangut dan campursari sebenarnya tidak boleh lagu jelek di masukan dalam
pertunjukan sintren, karena bagaimanapun sintren adalah wujud kehadiran dari hal yang sakral yang
harus dihargai. Meskipun sekarang sintren hanya sebagai hiburan, tetapi sintren tetaplah sintren, yaitu
sarana untuk mencapai keharmonisan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kelompok ini
terwakili oleh seniman sintren (anggota kelompok kesenian) sintren itu sendiri.
Keempat, kelompok yang tidak mau tahu. Mau ada perubahann atau pun tidak ada itu terserah,
bahkan terhadap keberadaan sintren itu sendiri mereka tidak ambil pusing. Menurut mereka kesenian
sintren tidak boleh ditonton apalagi harus dilestarikan. Sintren itu syirik, bertolak belakang dengan
nalar keagamaan. Baik tata cara pertunjukan sintren maupun syair-syair tembang serta ritualnya
mencerminkan kehidupan mistik yang jauh dari tatanan moral agama. Penggunaan kemenyan untuk
dibakar dan berjenis-jenis bunga mengingatkan ritus-ritus mistis masyarakat dahulu yang masih
mempercayai kekuatan roh-roh halus. Kelompok ini terwakili oleh kebanyakan orang yang memiliki
sikap religuis (islam) yang ketat, juga orang-orang yang notabenya tidak menyukai keberadaan
kesenian sintren.
Resep Pelestarian Sintren
Setelah menelusuri berbagai pengetahuan tentang pergeseran makna simbolik sintren diatas,
kini sampailah pada bahasan akhir untuk membahas resep pelestarian sintren di era modernitas.

Menurut Sztompka (2011: 67), bahwa masa lalu memasuki masa kini (modernitas) melalui rute benda
material dan gagasan. Dapat dikatakan, keberadaan sintren di masa kini mengandung dua arti: objektif
bila objek dari masa lalu secara material dilestarikan, dan subjektif bila gagasan dari masa lalu diingat
dan tertanam dalam kesadaran anggota masyarakat sehingga menjadi bagian kultur. Menurut arti yang
lebih komperhensif sintren mencakup keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa
lalu dan benar-benar masih ada saat ini, belum dibuang atau dilupakan. Sementara itu, Ogburn (dalam
Soekanto, 2006: 262) menyatakan bahwa perubahan dalam bentuk material akan mempengaruhi pada
aspek-aspek immaterial. Mengikuti arahan dari kedua tokoh tersebut, sebagai upaya pelestarian sintren
ditengah arus modernisasi maka resep yang dirumuskan meliputi:
1. Pelestarian Fisik
Pelestarian fisik yang dimaksud adalah upaya melestarikan keberadaan sintren, tanpa
memperhatikan gagasan yang ada didalamnya, dengan kata lain mengkontemporerkan kesenian
sintren. Pondasi dari pernyataan ini, bahawa kesenian sintren akan mati jika dipertahankan seperti
aslinya, karena berbagai alasan seperti yang sudah disebutkan diatas. Secara umum pelestarian ini
perlu digolongkan menjadi dua, yaitu pelestarian dalam menjaga eksistensi sintren di tengah
perkembangan masyarakat dan pelestarian dalam rangka industri budaya.
Pertama,pelestarian kesenian sintren dalam menjaga eksistensinya di tengah perkembangan
masyarakat, perlu dilakukan dengan cara mengurangi unsur-unsur magis yang ada didalamnya.
Mengingat kesenian ini tidak diterima oleh masyarakat umum bahkan mendapat banyak pertentangan
karena ketidaksesuaiannya dengan estetika (religi) sekarang. Yang diutamakan dalam pelestarian ini
yaitu eksistensi kesenian sintren agar dapat diterima masyarakat secara luas sebagai bagian dari
khasanah budaya nasional. Sebagai suatu identitas (karakter) budaya nasional, secara audio dan visual
yang meliputi berbagai perlengkapan, tata gerak, instrumen musik, dan tata urutan dalam pementasan
perlu diperhatikan sebagaimana asalnya. Contoh kasus ini yaitu munculnya sintren jadi-jadian atau
sintren garapan. Pelestarian dengan model yang seperti ini diarahkan kepada lembaga-lembaga daerah,
seperti sanggar seni, sekolah (ekstrakulikuler) maupun lembaga pemerintahan baik tingkat desa,
kecamatan maupun kabupaten.
Kedua, pelestarian sintren dalam rangka industri budaya. Secara langsung pelestarian ini
merubah gagasan, dari sitren untuk ritual menjadi sintren untuk hiburan masyarakat. Dalam pelestarian
ini seniman diberikan peluang sebebas-bebasnya untuk melakukan modifikasi (berkreativitas)
terhadap kesenian sintren. Pergeseran, perubahan, atau bahkan hilangnya nilai keaslian budaya
kesenian sintren sebagai akibat pelestarian dan pengembangan yang dilakukan bukanlah menjadi
masalah yang penting. Sebaliknya, keuntungan secara ekonomis akan didapat jika kesenian sintren
dalam segala sesuatunya tunduk terhadap hukum pasar. Di sisi lain, masyarakat (konsumen) dengan
estetika global (pluralisme) lebih menyukai sintren asli, yaitu sintren yang benar-benar mengalami
keadaan trance (kesurupan). Sehingga daya tarik utama dalam kesenian sintren (peristiwa kesurupan)
yang ada dari awal sampai akhir pertunjukan perlu dipertahankan. Seniman sebagai pelaku sekaligus
produsen berhak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atas apa yang diproduksinya. Pelestarian
fisik model ini diarahkan kepada pelaku seni kesenian sintren yang telah mengantungkan hidupnya
pada pekerjaan tersebut.
Pelestarian dengan model kedua ini perlu ditegaskan kembali agar tidak menjadi
kesalahpahaman atau dikatakan bukan pelestarian menghancurkan kesenian sintren. Seperti halnya
yang dilakukan Paguyuban Kesenian Tradisional Trubus Budoyo dalam memproduksi dan menjual
kesenian sintren tidak menjadikan identitas kesintrenannya hilang. Temuan-temuan dilapangan
menunjukan bahwa kesenian sintren saat ini masih lekat dengan hal-hal mistis dan mitos yang ada
dibalik simbolnya, meskipun meta-naratif demikian telah menjadi arus. Hal ini sependapat dengan
hasil penelitian Pitana dan Gayatri (2005: 164), bahwa budaya pariwisata telah menjadi budaya Bali,
akan tetapi identitas budaya masyarakat Bali masih tetap, bahkan menguat. Sementara itu, Maunati
(2004: 304-305) dalam bukunya yang berjudul Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan, menegaskan bahwa komodifikasi terhadap kebudayaan Dayak dalam industri pariwisata
justru mempertebal perasaan bangga yang ada dalam diri orang-orang Dayak. Bahkan proses
komodifikasi telah mampu memperkuat identitas Dayak sekaligus mengaktifkan proses rekonstruksi.

2. Pelestarian Pakem
Pelestarian pakem adalah pelestarian sintren sebagaimana sintren di masa lalu, tidak merubah
baik secara fisik maupun gagasan (nilai, makna, dan simbol-simbonya). Idiologi yang ada dalam
melakukan atau pertunjukan kesenian sintren adalah untuk ritual (mendapatkan keselarasan,
kesinambungan dan kesejahteraan dalam hidup, bukan hiburan). Perlakuan sintren seperti ini biasanya
dilakukan oleh komunitas yang masih mempercayai tradisi tersebut untuk ritual permohonan hujan.
Sementara itu, sebagai upaya mendungkung pelestarian pakem, sangat diharapkan masyarakat yang
berada diluar komunitas (tidak mempercayai) hendaknya menghargai keberadaannya. Tidak perlu
mengusik ataupun merubahnya, karena sintren telah menghubungkan masa lalu dan masa kini menjadi
lebih dekat. Sintren bukan hanya sekedar fakta masa lalu yang masih ada di masa kini, lebih dari itu
sintren mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini.
D. KESIMPULAN
Kemunculan sintren gaya baru Sintren Jadi-jadian merupakan proses rekonstruksi identitas
sintren yang selama ini dianggap syirik dan bertentangan dalam nalar keagamaan. Inovasi tersebut
dilakukan oleh seniman tidak semata-mata untuk menguri-uri budaya lokal, tetapi dengan model
inovasi semacam ini harapannya semua penikmat seni mampu menerimanya tanpa ada yang
memandang seni sintren syirik dan ketinggalan zaman. Kendati demikian kemunculan sintren gaya
baru tersebut telah mengeser makna simbolik yang ada dalam sintren itu sendiri, sehingga telah
menadapat tanggapan dari berbagai persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat baik secara inside view
maupun outside view terhadap pegeseran makna simbolik dalam kesenian sintren dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori, meliputi; 1) kelompok yang menolak, 2) kelompok yang
mendukung, 3) kelompok yang tidak menolak tetapi juga tidak meng-iya-kan, dan 4) kelompok
yang tidak mau tahu. Sebagai implikasinya, maka dalam upaya pelestarian kesenian sintren
masyarakat perlu diberikan peluang untuk memilih diantara pelestarian fisik dan pelestarian pakem.
E. REFRENSI
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Francisco Budi Hardiman.
Yogyakarta: Kanisius.
Hadisastro, Sugito. 1998. Sintren Batang; Kesenian Pinggiran yang Terpinggirkan. (karya ilmiahnya
juara pertama lomba penulisan naskah kebudayaan tingkat nasional). Batang: Tidak
dipublikasikan.
Jazuli, Muhammad. 1994. Paradigma Seni Pertunjukan (Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang Dan
Seniman). Surakarta: Lentera.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.
Pitana dan Giyatri. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET (Penerbit ANDI).
Setyabudi, Irawan. 2012. Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Arsitektur.
http://rajutruangarsitektur.blogspot.com/2012/05/memaknai-kembali-kearifan-lokaldalam.html?q=memaknai. (Diakses pada 25 Mei 2014).
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sztompka, Piotr. 2011. The Sociology of Social Change (Sosiologi Perubahan Sosial). Terjemahan
Alimandan. Jakarta: Prenada.

Triratnawati, Atik dkk. 2012. Revitalisasi Kesenian Sintren di Kota dan Kabupaten Pekalongan.
Yogyakarta: Balai Pelsetarian Nilai Budaya dan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada.

Anda mungkin juga menyukai