Anda di halaman 1dari 78

Buletin

Cagar Budaya
VOL. VII No. 1/2019

Buletin Cagar Budaya Dua Mata Pisau:


Mengelola Warisan Budaya
Sebagai Produk Wisata
ISSN 1411-1039

Direktorat Pelestarian Cagar Budaya


dan Permuseuman
Kompleks Kemdikbud Gd. E, Lantai 11
Pesona Selembar Wayang Daun:
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270

Cagar Budaya
Telp/Fax (021) 5725531, 5725048 Lestarikan Lingkungan, Lestarilah Cagar Budaya
Indonesia
Masjid Raya Medan
Foto: Wijaya Kusuma

Cagar Budaya
Indonesia

Diterbitkan Oleh:
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Penanggungjawab:
Direktur Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman

Tim Redaksi:
Desse Yussubrasta
M. Natsir Ridwan
Yuni Astuti Ibrahim
Sri Patmiarsih
Dedah Rufaedah

Perwajahan:
Zuni Fitri Syariati

Alamat Redaksi:
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya
dan Permuseuman
Kompleks Kemdikbud Gd. E, Lantai 11
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan
Jakarta 10270
Telp/Fax (021) 5725531, 5725512
Email: cagarbudayadanmuseum@
gmail.com

Foto Cover:
Wayang Daun

Tulisan dalam majalah ini dapat dikutip


atau disiarkan dengan menyebutkan
pengarang dan sumbernya, serta
mengirimkan nomor bukti pemuatan
kepada redaksi. • Abklats Koleksi Direktorat Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman
PENGANTAR
REDAKSI
Salam Cagar Budaya!

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah mengamanatkan
upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dalam rangka memajukan kebudayaan
nasional, yang ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Gaung yang senada berasal dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan. Undang-undang ini mengamanatkan bahwa tujuan pemajuan kebudayaan adalah untuk
mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri
bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupun bangsa, meningkatkan citra
bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melestarikan warisan
budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia sehingga kebudayaan menjadi
haluan pembangunan nasional.

Buletin Cagar Budaya edisi VII Tahun 2019 ini mengetengahkan tema tentang eksistensi Cagar Budaya beserta
kemanfaatannya bagi masyarakat. Cagar Budaya yang berdayaguna untuk mendukung kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Mampu memberi manfaat sepenuhnya bagi masyarakat sekitar situs. Hal yang sering
terkait dengan asas kemanfaatan tersebut adalah terkait dengan potensi wisata atau ekonomi yang berlandas
pada ekonomi kota pusaka. Ekonomi kota pusaka merupakan salah sat u aspek penting yang harus dikelola dan
dikembangkan. Cagar budaya merupakan sumberdaya yang harus dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan,
dikembangkan dan dipasarkan untuk kepentingan publik. Dalam penataan dan pelestariannya dibutuhkan
strategi pelaksanaan dan kerjasama berbagai pihak seperti stakeholder dan masyarakat. Pengembangan
ekonomi pusaka akan mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

Pengembangan pariwisata hanya dipandang dari perspektif ekonomi, belum mempertimbangkan perspektif
sosial budaya masyarakat dan kelestarian lingkungan alam dan budaya. Selain itu, cagar budaya selama
ini lebih cenderung dimanfaatkan secara terpisah dengan potensi-potensi sosial-budaya-alam lainnya dari
masyarakat yang terdapat di sekitarnya. Padahal, menjalin keseluruhan potensi dalam satu bingkai pariwisata
berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan komunitas merupakan potensi besar yang masih jarang
dilirik untuk dikembangkan.

Meski demikian kelestarian obyek cagar budaya tetap menjadi fokus utama, meski tidak dipungkiri cagar
budaya beserta lingkungannya tetap terus berproses sejalan dengan tuntutan jaman. Sehingga upaya
pelestarian dan pelindungan sangat dibutuhkan agar tidak semakin tergerus dengan modernisasi.

Semoga Buletin Cagar Budaya edisi ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca berbudaya.

Redaksi
DAFTAR ISI

01
Mushaf Abdu Asy Syahid
Giat-Geliat
Pelestarian Cagar Budaya

Hariani Santiko
Kakawin Kunjarakarna:
Cermin Toleransi
Masa Majapahit Akhir
08

16
Jusman Mahmud / Ari Setyatuti
Cagar Budaya: Ekspresi Budaya dan
Kesejahteraan Masyarakat
Gendro Keling

28 Dua Mata Pisau :


Mengelola Warisan Budaya
Sebagai Produk Wisata

Nunus Supardi
Hari-Hari Terakhir
Willem Frederik Stutterheim
Memeringati 106 Tahun 38
Lembaga Purbakala (1913-2019)

Omar Mochtar

48 Ponten Mangkunegara VII


Kestalan : Menilik Gaya
Hidup Sehat Masa Lalu
Karyato Hardani

54
Kisah Ndalem Joyokusuma
di Surakarta : Dari Aset Sitaan
Negara Menuju Culture
Centre Berkelas

Putri Prastiwi

65
Pesona Wayang Daun:
Lestarikan Lingkungan,
Lestarilah Cagar Budaya
GIAT-GELIAT
PELESTARIAN
CAGAR BUDAYA

D
ulu, kita mungkin cenderung tunggal dengan hadirnya perluasan ruang
membayangkan bahwa Cagar lingkup fisik dan metafisik. Pada lingkup
Budaya yang bersejarah mesti fisik misalnya, UNESCO (2010) telah
berupa peninggalan peradaban manusia menyinggung perluasan ruang lingkup
yang berwujud besar dan monumental. urban heritage secara geografis dari lingkup
Contohnya saja kompleks Candi Borobudur benda satuan yang kecil hingga skala makro
atau Candi Prambanan di pulau Jawa yang berupa lanskap perkotaan bertajuk Historic
memiliki struktur megah, besar (grandeur) Urban Landscape (HUL). Pendekatan HUL
nan mempesona. Namun di masa kini, turut melibatkan komunitas menjadi salah
persepsi seperti itu ternyata tidak lagi satu aset sosial utama bagi hidupnya suatu
berlaku. Pasalnya, suatu warisan budaya kawasan bersejarah.
tidak selalu harus dilatarbelakangi kisah-
kisah kolosal yang historis dan heroik, Perusakan situs warisan dunia Patung
tetapi ia bisa juga melibatkan narasi/cerita Buddha raksasa di Kuil Bamiyan,
yang kecil, memiliki arti khusus yang unik Afghanistan oleh pasukan Taliban pada
dan langka, serta berasosiasi kuat dengan tahun 2001 telah menjadi kasus populer
tradisi yang masih eksis di masyarakat di dunia internasional tentang betapa
tanpa melihat besar-kecil wujud fisiknya. pentingnya melihat masyarakat sebagai
unsur penting dalam proses pelestarian.
Bagi kalangan pemerhati kebudayaan
Dari insiden tersebut, diketahui bahwa
dan pelestarian, secara umum dapat
warga lokal yang bertinggal di sekitar Kuil
kita amati bahwa saat ini yang
Bamiyan kesal karena sekian dana yang
disebut sebagai “Cagar Budaya”
digelontorkan pemerintah dunia hanya
tengah melalui serangkaian
proses pengembangan konsep demi mempercantik patung sebagai benda
yang sedemikian dinamis. mati (dead monument) tanpa diiringi
Istilah “Cagar Budaya” tidak peningkatan kesejahteraan masyarakat itu
lagi berdiri solid pada satu sendiri. Artinya, tindakan Cagar Budaya
pijakan pengertian yang semestinya mengandung kepentingan dan

vi BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


keterlibatan pihak penduduk lokal yang sejak kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam,
awal memiliki, menguasai, dan/atau tinggal pemerintahan kolonial Hindia-Belanda,
bersisian dengannya. pendudukan Jepang hingga merdeka
menjadi Negara Kesatuan Republik
Selain itu, perluasan makna Cagar Budaya
Indonesia.
juga mengacu pada berkembangnya
subyektivitas atas sejarah dan memori Hadirnya UU Cagar Budaya sekarang
kolektif yang terkandung di dalamnya. merupakan hasil perbaikan dari UU No. 5
Dimensi sejarah inilah yang justru th. 1992 yang hanya melingkupi kategori
menjadikannya berharga dan pembeda ‘benda’ yang sempit. Produk hukum ini
antara benda tua di museum dengan mengatur hak dan kewajiban Pemerintah
benda tua di toko barang antik (meskipun dan para stakeholder yang terlibat dalam
keduanya berwujud sama). Dari sini, rangka melestarikan Cagar Budaya.
pertanyaan tentang “sejarah dan memori Undang-undang ini juga dilengkapi dengan
siapa?” menjadi penting ditelusuri karena sistem kebijakan lainnya, seperti Peraturan
dengan begitu, otentisitas warisan budaya Menteri PUPR No. 1 th. 2015 tentang
akan diperiksa, ditelaah, dievaluasi, dan Bangunan Gedung Cagar Budaya (BGCB)
dikaji ulang hingga dipertanyakan kembali. yang Dilestarikan serta Petunjuk Teknis
Prinsip penilaian bagus-tidaknya Cagar Penyelenggaraan dan Pelestarian Bangunan
Budaya pun lebih menekankan pada faktor Gedung Cagar Budaya (BGCB), khusus
nilai-nilai universal atas keluarbiasaannya untuk Cagar Budaya kategori Bangunan.
(Outstanding Universal Values). Hal itu yang
Eksistensi Cagar Budaya terutama
mempengaruhi tingkat signifikansi atau
bangunan, struktur, situs dan kawasan
seberapa berpengaruh arti dan nilai obyek
di kota-kota besar memang lebih banyak
Cagar Budaya terhadap sejarah, pendidikan,
mendapat tantangan dari melonjaknya
ilmu pengetahuan, serta peradaban.
kebutuhan akan ruang-ruang baru bagi
pembangunan industri, perdagangan
Geliat dan Tantangan Pelestarian Cagar
dan jasa yang tak terhindarkan. Akhirnya,
Budaya di Indonesia
sebagian Cagar Budaya yang bertahan
Negara sejatinya berperan dalam dari penghancuran harus sedikit bergeser
menempatkan, mengurus, dan melayani nilainya ke arah bagaimana selain hanya
kebudayaan serta meningkatkan kualitas ‘merepotkan’ dari segi perawatannya, ia
pelestarian dan pengelolaan Cagar juga bisa ‘menghasilkan’ secara produktif
Budaya. Di Indonesia sendiri, kriteria Cagar demi peningkatan nilai ekonomi. Bangunan
Budaya dalam Undang-Undang Nomor bersejarah pun dimanfaatkan sebagai
11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tempat makan populer seperti kafe, restoran,
menyebutkan bahwa usia obyek sekurang- gerai, kantor badan usaha pemerintah
kurangnya telah melampaui 50 tahun. Ini maupun swasta, galeri seni, atau museum
menjadikan kekayaan warisan budaya kita berbayar. Pemerintah dalam hal ini perlu
terbentang luas melimpah di tanah air. membantu pemilik melalui pemberian
Bentuk dan asalnya beragam; multietnis, insentif dan kompensasi demi mendukung
multikepercayaan, serta multiperadaban perawatan, minimal menjaga masa gaya
terhitung sejak jaman megalitikum, pada façade atau wujud luar bangunan.

BULETIN
BULETINCAGAR
CAGARBUDAYA
BUDAYA| |VOL.
VOL.VII
VII 2019 1
1
2 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019
Kota Tua Jakarta adalah contoh Kawasan di kompleks Pasar Ikan Sunda Kelapa,
Cagar Budaya Nasional yang mengandung hadirnya taman apung di sepanjang Kali
Benda, Bangunan, dan Struktur Besar, hingga isu reklamasi 17 pulau di
Cagar Budaya di tengah hiruk pikuk Teluk Pantai Jakarta. Faktor pembangunan
pembangunan modern dan rekonstruksi ahistoris yang memudarkan otentisitas dan
kawasannya. Beberapa waktu lalu ia manajemen pelestarian menjadi sebab dan
sempat diajukan ke dalam nominasi alasan pokoknya.
UNESCO World Heritage. Semangat ini
Itu problem di tingkat nasional. Di
juga paralel dengan proyek revitalisasi
tingkat lokal sendiri, implementasi UU
kawasan bersejarah di Banten Lama
No. 11 th. 2010 yang berjalan hampir
(2018) dan studi kembali Situs Gunung
genap 10 tahun ini juga belum dirasakan
Padang di Cianjur, Jawa Barat. Namun
menyeluruh. Contohnya masih banyak
sayangnya, Kota Tua Jakarta pada akhirnya
kabupaten/kota yang belum memiliki
belum berhasil lulus uji nominasi. Tiga
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang
hal yang secara jelas dievaluasi dalam
bertugas mengkaji dan merekomendasi
hasil laporan UNESCO (2018) antara
penetapan Cagar Budaya. Perlu kita garis
lain terjadinya perubahan besar-besaran
bawahi bahwa terkadang keputusan dan
dengan ‘pembersihan’ Kampung Akuarium

Kali Besar dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Tua Jakarta


(sumber: koleksi pribadi, 14/1/2019)

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 3


penerapan kebijakan terhalang faktor- Pemerintah Kota Serang pernah berencana
faktor sosial-politik yang tidak menentu membangun proyek besar-besaran di
akibat pergantian kekuasaan atau kondisi atas lahan alun-alun yang diduga sebagai
mendesak. Struktur Cagar Budaya. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) bersama
Di tahun ini, pembentukan Tim Ahli Cagar
tim peneliti Fakultas Teknik UI dibantu Balai
Budaya (TACB) Kota Depok juga secara
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten
tidak langsung didorong hadirnya isu
menyusun feasibility study (2018). Mereka
Rumah Cimanggis yang sebelumnya
akhirnya memutuskan alun-alun tidak layak
terancam musnah digusur akibat lahannya
sebagai tapak demi mencegah realisasi
dikuasai salah satu kementerian untuk
ide tersebut, yang jelas berisiko merusak
proyek pembangunan. Dalam hal ini,
tatanan perkotaan khas kolonial yang
pemangku kebijakan ada kalanya perlu
unik rancangannya, langka jenisnya, dan
memangkas mekanisme birokrasi yang
bersejarah di daerah.
berpotensi memperlambat Pelindungan,
Pengembangan dan Pemanfaatan Cagar Masalah ini lagi-lagi terkait sejauh
Budaya. mana kepemilikan memori atas Cagar
Budaya. Sentimen golongan atas obyek
UU ini juga di sisi lain dianggap masih
Cagar Budaya yang tidak mewakili nilai
bermasalah, sebab secara implisit hanya
kelompoknya terancam disepelekan,
melihat Cagar Budaya dalam pendekatan
diabaikan bahkan sengaja dihilangkan.
aspek fisiknya semata dan belum mampu
Tidak terhitung jumlah bangunan Cagar
menaungi warisan budaya bersifat tak
Budaya yang bahkan oleh pemiliknya
benda (intangible) yang justru kerap
dibiarkan karena perawatannya mahal
ditemukan pada kebudayaan masyarakat
dan cukup menunggu ajalnya untuk
kita. Misalnya saja seperti adat istiadat
digusur dan diganti infrastruktur yang
dalam proses membangun hunian, nilai-
lebih mengundang investasi dan nilai
nilai kepercayaan atau kebijaksanaan khas
properti tinggi. Lagi-lagi kembali pada
Timur. Febriyanti Suryaningsih, ST. selaku
pertimbangan ‘untung-rugi’.
Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi
Arsitektur (PDA) dalam suatu kesempatan Nezar Al Sayyad pernah mengungkapkan
mengatakan pada saya bahwa substansi frase “berakhirnya tradisi” (the end of
UU ini masih berorientasi kebarat-baratan tradition) untuk merujuk pada fenomena
yang cenderung mengabaikan tradisi non- bentuk-bentuk tradisi warisan budaya
fisik yang kental akan nilai-nilai abstrak hidup (living heritage) yang telah ‘lenyap’
yang luhur. akibat komodifikasi. Para turis yang
Tantangan mengakar lainnya ialah berminat menyaksikan penyelenggaraan
perbedaan persepsi dan tingkat kesadaran kebudayaan diwajibkan membayar
publik tentang pentingnya nilai Cagar sejumlah uang sehingga dapat
Budaya. Masih terdapat publik maupun diperagakan. Tradisi yang berarti rutinitas
pemangku jabatan di daerah yang abai dan terus menerus yang dilakukan tiap generasi
kurang melihat urgensi filosofis maupun menjadi bergantung pada ada tidaknya
manfaat praktis mempertahankan Cagar pemasukan. Hal ini juga paradoksal, di
Budaya. Pada bulan September tahun lalu, mana aktivitas mengembangkan dan

4 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


memanfaatkan Cagar Budaya demi Kembali kepada Masyarakat
melindunginya, tetapi juga membuka
selebar-lebarnya akses kepada khalayak Polemik gagalnya Kawasan Cagar Budaya
umum demi kepentingan pariwisata. Kota Tua Jakarta dalam nominasi UNESCO
World Heritage serta problem dalam
Fenomena ini ditemukan pula pada beberapa kasus yang telah saya angkat
bangunan ibadah yang bersejarah. Masjid, di atas memberikan pelajaran berarti
gereja, candi, vihara, pura hingga klenteng akan pentingnya sinkronisasi warisan
mau tidak mau harus menyediakan akses budaya masa lampau dengan kehidupan
publik bagi pengunjung dengan beragam masyarakat di masa kini. Warisan budaya
keyakinan di samping fungsi utamanya berupa Historic Urban Landscape (HUL)
sebagai ruang ibadah. Beberapa bahkan tidak menjadikan pelestarian Cagar Budaya
terjadi alih fungsi ke arah komersil. bersifat romantisasi atau mengisolasinya
Hal ini menjadi cetak tebal yang perlu dari masyarakat. Justru, ia perlu hadir
diantisipasi agar tidak mengurangi nilai secara selaras di tengah hiruk pikuk
sakral akibat penetapannya menjadi status masyarakat kekinian. Setidaknya, ada
Cagar Budaya. Masyarakat sekitar selaku beberapa hal positif yang dapat kita petik
penganut agama seringkali terpinggirkan, pada giat dan geliat pelestarian khususnya
padahal mereka yang seringkali dari para akademisi, tim ahli pelestari, serta
mengadakan urunan swadaya untuk masyarakat.
menunjang fungsi Cagar Budaya.

Alun-alun Kota Serang, Banten sebagai obyek struktur yang


diduga Cagar Budaya hampir terancam hilang
(sumber: koleksi pribadi, 17/11/2018)

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 5


Institusi pendidikan seperti universitas Teknik dokumentasi, inventarisasi, dan
sebagai wadah kaum intelektual selama publikasi Cagar Budaya di tanah air juga
ini mampu menjadi inisiator kritis dalam telah menggunakan teknologi mutakhir.
pengajaran, penelitian, dan pengabdian Sistem Register Nasional Cagar Budaya
masyarakat seputar Cagar Budaya. Di telah bisa diakses daring. Penggalian data
kampus tempat saya bekerja, beberapa arsip menjadi lebih mudah karena salinan
dosen sengaja membuka kelas akademik dan pindaiannya kita dapat temukan di
yang relevan dengan aktivitas pelestarian situs-situs resmi open access seperti
untuk mahasiswa, seperti mata kuliah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),
Konservasi dan Preservasi, Arsitektur perpustakaan dan museum daring yang
Pusaka, Bangunan Cagar Budaya, mengoleksi peta kartografi, gambar,
hingga program pascasarjana yang foto, rancangan, lukisan, atau benda
khusus mempelajari Cultural Resources peninggalan sehingga memudahkan
Management (CRM). peneliti mengkaji obyek yang diduga

Anak-anak Kampung Tongkol bermain di sisi tembok sisa Kota Batavia


(sumber: koleksi pribadi, 14/1/2019)

6 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Cagar Budaya. Maka, kemampuan melek Budaya. Melalui pendekatan participatory
teknologi informasi digital menjadi action research, proses negosiasi, diskusi,
keharusan bagi aktor pelestari, selain melek dan tindakan penataan lingkung bangun
ilmu masa lampau sebagai pengetahuan sekitar tembok kota berlangsung secara
dasar. gotong royong dan transparan, sehingga
cara ini sukses melibatkan penduduk di
Dalam bidang pengabdian kepada
sekitar Cagar Budaya demi menciptakan
masyarakat, tim pengabdi dari kampus
harmoni antara kebutuhan Pelindungan
memfasilitasi teknis pelestarian sesuai
dengan hajat hidup komunitas sehari-hari.
kebutuhan masyarakat. Misalnya apa yang
tim Departemen Arsitektur FTUI telah Hikmahnya ialah betapa pentingnya kita
lakukan di Kampung Tongkol, Pademangan merangkul seluruh pihak yang berperan
Jakarta Utara (2018) sisa tembok kota dalam pelestarian, baik aktor politik dan
Batavia sebagai obyek diduga Cagar birokrat, akademisi dan kaum intelektual,
pemerhati sosial-budaya, sejarawan,
arkeolog, ahli pelestari, serta masyarakat
sebagai bagian integral utuh dan tidak
tersekat kepakaran dan kepentingan
masing-masing. Era kompetisi telah lewat
masanya dan saatnya kita memasuki
era partisipatif. Pendekatan partisipasi
berarti upaya menyejajarkan peran, hak
dan kewajiban sehingga iklim pelestarian
lebih akrab, cair, dan egaliter sehingga
komunitas merasa memiliki dan turut
merawat Cagar Budaya mereka.

Lahirnya para aktor dan mitra pelestari


berusia muda di tiap-tiap daerah menurut
saya pribadi juga memberikan angin segar
bagi proses pelestarian Cagar Budaya di
Indonesia yang perjalanannya yang masih
teramat panjang. Ke depan, kita terus
berharap eksistensi obyek-obyek Cagar
Budaya ini tidak hanya dianggap sebagai
beban romantis yang membawa kenangan
masa lampau belaka, namun ia justru bekal
berharga yang mampu berperan dinamis
di kehidupan masyarakat sepanjang
waktunya.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 7


KAKAWIN
KUNJARAKARNA:
CERMIN TOLERANSI MASA MAJAPAHIT AKHIR
Hariani Santiko

K
akawin Kunjarakarna ditulis di gunung Sumeru karena ingin melenyapkan
masa Majapahit akhir yakni abad sifat dan wujudnya sebagai seorang yaksa
ke-14 Masehi yang secara umum agar menjadi manusia. Kisah perjalanan
dikategorikan sebagai sastra keagamaan. Kunjarakarna ketika akan menghadap
Kakawin ini penuh dengan ajaran Dharma Buddha Wairocana yang sebelumnya
Buddha Mahayana ajaran Wairocana yang harus menemui Dewa Yama, Sang
berpusat pada cerita tentang seorang Penguasa Neraka, menjadi inti menarik dari
yaksa yang bernama Kunjarakarna. Ia keseluruhan isi kakawin ini.
bertapa dengan sangat ketat di lereng

8 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Naskah kakawin Kunjarakarna dijumpai pendharmaan raja Wisnuwardhana atau
dalam dua versi yaitu berbentuk prosa Ranggawuni (1194 Saka).
dan versi dalam bentuk kakawin atau
Kakawin Kunjarakarna sendiri telah
syair yang keduanya berbahasa Jawa
diterjemahkan dan disunting oleh A.
Kuna. Versi prosa telah disunting dan
Teeuw dan S.O.Robson pada tahun
diterjemahkan oleh H.Kern, sedangkan
1981. Meski demikian pengarang
dan versi kakawin diterjemahkan oleh A.
kakawin ini tidak jelas, kemungkinan oleh
Teeuw dan S.O.Robson pada tahun 1981.
seseorang yang bernama Tan Akung
Menurut Kern Kunjarakarna versi prosa
(Zoetmulder,1985:562). A.J.Bernet
diperkirakan berasal dari daerah Pasundan
Kempers menambahkan deskripsi lengkap
dan berasal dari abad ke-12-14 Masehi
kakawin Kunjarakarna yang divisualisasikan
yang ditulis oleh seseorang dengan nama
di Candi Jago. Deskripsi relief ini lantas
samaran “mpu Dusun”, meskipun demikian
dijadikan acuan interpretasi di dalam
Soewito Santoso (1975:48-49) kurang
karangan Teeuw dan Robson tersebut
setuju dengan pendapat H.Kern tersebut
(Teeuw 1981:202-216.)
khususnya penterjemahan dan asal naskah.

Naskah kedua yang berbentuk syair atau


kakawin Jawa Kuna menunjukkan gejala Ikhtisar Kakawin Kunjarakarna
yang menarik. Menurut J.L.A.Brandes Kunjarakarna adalah seorang yaksa yang
kakawin Kunjarakarna divisualisasikan ingin menjadi manusia pada reinkarnasi
dalam bentuk pahatan relief cerita di Candi di masa depan sehingga ia melakukan
Jago serta Candi Tumpang sebagai tempat tapa (tapa brata) di sebuah gua di lereng

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 9


Sumeru. Tapanya sangat kuat bagaikan
suatu pertempuran dengan sad ripu (enam
musuh) yakni enam perbuatan yang dapat
menghalangi kesempurnaan seseorang
untuk mencapai kalepasan, yaitu lobha,
(rakus), moha (kesombongan), mada
(mabuk), mana (kebanggaan), matsarya
(iri hati), hingsa (merugikan kehidupan
diri). Agar tujuannya berhasil, Kunjarakarna
pergi menghadap Buddha Wairocana di
vihara Bhodhicita. Ketika itu Wairocana
sedang mengajar dharma, yaitu tentang
doktrin /pokok ajaran dalam agama Buddha
Mahayana, tentang kebaikan dalam agama
Buddha Mahayana diajarkan kepada Jina,
Boddhisatwa Vajrapani dan dewa-dewa
lainnya. Doktrin tersebut dirumuskan
sebagai empat kebenaran, yaitu duhkha,
(sakit, menderita), samodhaya (sebab),
nirodha (pemadaman), marga ( jalan yang
berjumlah delapan)

Sang Kunjarakarna ikut mendengarkan


ajaran Buddha Wairocana yang kemudian
ia memohon kepada Buddha agar ia
dijadikan manusia biasa dalam kelahiran
yang akan datang. Ia lantas menanyakan Kawah tersebut untuk merebus para
mengapa manusia nasibnya berbeda-beda. pendosa yang berdosa besar.
Wairocana sangat senang mendengar Kunjarakarna melihat sendiri orang-orang
pertanyaan tersebut. Setelah meperoleh disiksa, termasuk beberapa orang yang
pengajaran dari BuddhaWairocana, direbus dalam kawah Gomukha (tamra
Kunjarakarna pergi menuju ke tempat gomukha). Ia menanyakan kepada Dewa
dewa Yama agar melihat keadaan manusia Yama, tentang penyiksaan di neraka
setelah mati di neraka Sanjiwa tempat tersebut. Dewa Yama menjelaskan tentang
Dewa Yama (Yamapada). Diceritakan pula hakekat kejahatan yang akan membawanya
di suatu persimpangan jalan, Kunjarakarna ke nerakanya masing-masing dan berbagai
bertemu dengan dua raksasa yakni macam inkarnasi yang menantikan para
Kalagupta dan Niskala. Kedua raksasa ini pendosa tersebut, oleh karenanya mereka
menunjukkan jalan arwah yakni ke arah tetap harus ke neraka. Selanjutnya Dewa
sorga atau ke neraka. Di neraka Sanjiwa, Yama menyebut nama tiga perbuatan atau
Kunjarakarna melihat periuk yang sangat trikaya yang bisa menyebabkan orang
besar menyerupai kawah yang memiliki menderita (krama ning atma papa), yaitu
muka kerbau (kawah tamra gomukha). polah, sabda, manah.

10 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Setelah diberi wejangan dharma,
Kunjarakarna pergi meneruskan
pertapaannya. Sedangkan Purnawijaya
diberi tahu oleh Wairocana bahwa
ia tidak dapat mengelak dari siksa
kawah Gomukha. Siksaannya hanya
bisa diringankan yakni dikurangi hanya
menjadi 10 hari saja tidak lagi 100.000
tahun. Kemudian ia dimasukkan ke dalam
kawah oleh Yamabala, Purnawijaya
tetap akan direbus di kawah Gomukha
selama 10 hari dalam kondisi tidur. Di hari
ke-9 kawah pecah dan menjadi sebuah
jambangan bunga manikam. Daun dan
bunga yang semula berupa pisau, pedang
dan sebagainya berubah menjadi daun
dan bunga yang harum baunya. Dewa
Yama heran mengapa hal tersebut terjadi.
Purnawijaya menjelaskan bahwa ia diberi
pelajaran dharma berupa jnana wisesa oleh
Wairocana.

Setelah 10 hari lamanya Purnawijaya


direbus, ia pun bangun, isterinya
Kusumagandhawati sangat senang.
Akan tetapi senangnya tidak lama,
Kemudian Kunjarakarna melihat ketika karena Purnawijaya berniat mengikuti
kawah Gomukha sedang dibersihkan Kunjarakarna bertapa di puncak Sumeru.
untuk menyambut seorang pendosa yang Sebelum berangkat bertapa, Kunjarakarna
bernama Purnawijaya yakni raja para dan Purnawijaya pergi menghadap
Gandharwa yang merupakan sahabatnya. Wairocana mohon agar diberi wejangan
Purnawijaya akan disiksa selama 100.000 dharma. Sebelum berangkat bertapa,
tahun karena dosa yang terlampau besar. Wairocana memberi wejangan kepada
Kemudian Kunjarakarna mendatangi Purnawijaya, laku tapa dapat mencapai
Purnawijaya, ia menceritakan tentang pencerahan asal tidak dilakukan dengan
nasib buruk yang menantinya. Dengan maksud menambah kebahahagiaan
penuh rasa ketakutan mereka berdua material. Perbuatan lahiriah yang baik
pergi ke tempat Buddha Wairocana untuk hanya dapat ganjaran di surga, punya
memohon bantuan agar terelak dari nasib (perbuatan) yang baik bisa mencapai
yang mengerikan. Mereka diberi pelajaran pencerahan sempurna (Zoetmulder
tentang jnana wisesa (pengetahuan mulia) 1974:475). Kemudian Purnawijaya
untuk menghilangkan dosa dan menjadi melakukan tapa bersama isterinya,
seorang wiku. Kusumagandhawati di Gunung Sumeru.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 11


Sementara itu Kunjarakarna sudah Nagarakrtagama pupuh LV. Apa maksud
mencapai kamoksan. membaurkan dua agama tersebut belum
jelas, apa karena sifat toleransi Kertanagara
yang terlampau besar atau hanyalah alasan
Pantulan Tentang Toleransi pragmatis berupa tujuan politik semata.
Beragama di Dalam Kakawin Kertanagara tercatat mendirikan dua candi
Kunjarakarna dengan sifat Siwa-Buddha yaitu Candi
Jawi di Pandaan, dan Candi Singasari di
Kakawin Kunjarakarna adalah karya sastra Malang. Dalam Nagarakrtagama pupuh
Jawa Kuna yang bernafaskan keagamaan LV disebutkan bahwa didirikannya Candi
yakni tentang Dharma yang diajarkan oleh Jawi tersebut adalah untuk pemeluk agama
Buddha Wairocana seringkali ia disebut Siwa dan Buddha agar melakukan puja
sebagai hyang Jina Bhatara ing Jagat. besama secara teratur (…etunyang dwaya
Dalam kakawin Kunjarakarna, Wairocana saiwa buddha sang amuja nguni satata…)
digambarkan sebagai Buddha tertinggi (Pigeaud I, 1960:41; Santiko, 2006:38).
yang tinggal di Wihara Bodhicitta (pikiran
yang mantap untuk menjadi seorang Pembauran agama Siwa-Buddha ini
Buddha). hanyalah sebatas membaurkan atau
mempersamakan Kenyataan Tertinggi
Mula-mula Wairocana mengajarkan (the Supreme Being) atas kedua agama
toleransi terhadap agama lainnya, yaitu tersebut beserta segala emanasinya.
jangan menganggap dewanya lebih unggul Pembauran yang terjadi bukanlah
daripada dewa orang lain. Pikiran seperti pembauran seluruh sistem. Kedua
itu menyebabkan seseorang tidak akan agama tersebut masih tetap eksis
mencapai kelepasan. Buddha Mahayana dengan penganut masing-masing yang
memiliki lima Buddha, yaitu Wairocana, menjalankan tata upacara sesuai ajaran
Aksobhya, Ratnasambhawa, Amittabha, dan aturan agama mereka. Demikian pula
Amoghasiddhi. Selain itu juga di agama mereka masih tetap memiliki bangunan
Hindu terdapat lima dewa yakni Siwa, suci sendiri. Oleh karenanya pembauran
Iswara, Brahma,Mahadewa dan Wisnu, ini tidak bisa disebut sinkretisme, tetapi
sedangkan para Rsi memiliki lima Kusika. disebut parallelisme (Pigeaud, 1962;
Di akhir pengajarannya, Wairocana Santiko, 1994:58,62).
mengatakan bahwa Wairocana adalah
manifestasi Buddha dan Siwa. Bahwa Pada masa Majapahit, indikasi pembauran
tidak ada perbedaan antara keduanya yang Siwa-Buddha dijumpai di dalam sejumlah
dikenal di dunia sebagai Bhatara Guru, hal karya sastra yakni kakawin Sutasoma dan
ini secara eksplisit menyatakan adanya kakawin Arjunawijaya yang keduanya
pembauran antara Buddha dan Siwa. disusun oleh Mpu Tantular pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk atau
Indikasi pertemuan atau pembauran Rajasanagara. Dalam kakawin Sutasoma,
antara Siwa dan Buddha sebenarnya telah Mpu Tantular menceritakan tentang Sang
terjadi pada masa Singasari yakni pada Buddha (Jina) Wairocana turun ke dunia
masa pemerintahan Kertanagara. Indikasi pada jaman Kali untuk menghilangkan
pembauran ini dijumpai di dalam kakawin

12 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


kejahatan dengan menjelma sebagai hana Dharmma mangrwa (Woro Mastuti,
pangeran Sutasoma, putera raja Hastina. 2009:502-505).
Sementara itu penjelmaan Rudra bernama
Di dalam kakawin Arjunawijaya Mpu
Porusada berusaha menangkap 100 raja
Tantular mendeskripsikan persamaan
untuk persembahan caru kepada Dewa
antara dewa-dewa Buddha dan Siwa
Kala. Ketika jumlah raja kurang seorang,
melalui penuturan seorang pendeta
maka Porusada berusaha menangkap raja
penunggu kuil kepada sang Raja dan
Sutasoma. Usaha tersebut tidak berhasil
permaisurinya, yakni antara lain Aksobhya
sehingga para dewa dan raja-raja khawatir
dengan Bhatara Rudra, Ratnasambhawa
dan minta agar perang dihentikan. Mereka
dengan Dhatrdewa. Mpu Tantular
mengatakan bahwa Sutasoma adalah
menyelipkan pandangannya tentang
seorang raja sekaligus titisan Sang
pembauran Buddha dan Siwa melalui
Buddha. syair kakawin yang berisi tentang kiosah
Tidak ada perbedaan antara Hyang perjalanan Raja Arjuna Sahasrabahu
Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa, beserta permaisurinya. Pada pupuh (XXVI)
Hyang Buddha tan pahi lawan Siwa dengan jelas dinyatakan,


rajadewa (pupuh CXXXIX). Selanjutnya ndah katenanya haji, tan hana
para dewa mengatakan bahwa kebenaran bheda sang hyang
yang diajarkan Buddha dan Siwa itu hyang Buddha rakwa kalawan Siwa
sesungguhnya satu juga, mereka memang rajadewa
terlihat berbeda, namun pada hakekatnya kalih samekasira sang pinakesti-dharma
sama. Karena tidak ada kebenaran yang ring dharmmasima tuwi yan lpas
mendua atau Bhineka Tunggal Ika tan adwitiya”

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 13


Refleksi

Kakawin
Kunjarakarna sebagai
Dharmakathana
atau cerita tentang
Dharma yang diajarkan
secara langsung oleh
Buddha Wairocana
yang juga dikenal
sebagai Bhatara
Guru. Salah satu hal
yang menarik dari isi
tersirat dari kakawin
tersebut adalah ajaran-
ajaran toleransi dari
Terjemahannya kurang lebih adalah,
Wairocana agar jangan menganggap
demikianlah oh raja, tidak ada perbedaan
dewanya lebih unggul daripada dewa
dewa-dewa, konon hyang Buddha dan
orang lain karena pikiran seperti inilah
hyang Siwa adalah raja dewa-dewa,
menyebabkan seseorang tidak akan
Keduanya sama, merekalah yang dituju
mencapai kelepasan, yakni sebagai tujuan
pada setiap pemujaan (baik) pada
utama dalam beragama. Ungkapan
dharmasima dan dharma lpas tidak ada
di dalam kakawin tersebut apabila
duanya.
ditempatkan di dalam konteks kekinian
Wairocana juga membandingkan kelima agaknya akan memperoleh porsi yang
Buddha serta Siwa dengan Hyang setara. Toleransi di dalam kehidupan
Pancakusika yang berjumlah lima yakni beragama saat ini seharusnya mengambil
Kusika, Gargga, Metri, Kurusya dan nilai-nilai yang pernah menjadi buah pikir
Patanjala. Kelimanya adalah murid-murid leluhur bangsa Indonesia di masa lalu.
Siwa Lakulisa pada aliran Pasupata Kondisi bangsa Indonesia yang beraneka
Siwa. Nama Pancakusika disebutkan di warna kulit, agama, suku dan bahasa
dalam bagian sapatha (persumpahan) yang berbeda, maka para pendiri bangsa
prasasti Kancana (732 saka) dan prasasti di masa awal kemerdekaan merasa perlu
Kuti (762 Saka), meski demikian kedua untuk mengambil kebajikan dari masa
prasasti tersebut adalah prasasti tinulad kuna yang memiliki akar yang kuat dengan
yakni prasasti yang ditulis ulang jauh di bangsa Indonesia, yakni mengutip buah
masa kemudian (Santiko 1987:99) Nama intelektual dari kakawin-kakawin kuna
Pancakusika di Jawa selain dijumpai semacam Kunjarakarna maupun kakawin
pada prasasti Jawa Kuna juga ditemukan Sutasoma dengan “Bhinneka Tunggal Ika”.
ditemukan di dalam kakawin Ramayana Sudah menjadi tugas kita untuk memberi
(Hooykaas, 1974: 129-135).
konteks baru atas cagar budaya dalam

14 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


penumbuhan nilai-nilai kejuangan yang Kern, H. (1922). De Legende van
saat ini sangat diperlukan. Kunjarakarna volgens het oudst-bekend
handschrift met Oud-Javaansche Tekst
dalam VG IX:1-76 ‘s Gravenhage
Referensi
Teeuw, A and S.O. Robson. (1981),
Brandes, J.L.A. (1904). Beschrijving van Kunjarakarna Dharmakathana, Liberation
de ruine by de desa Tumpang genaamd through the Law of the Buddha.The Hague:
Tjandi Djago in de residensi Pasoeroeoan M.Nijhoff.
(naamed de gegevens van H.L.Leydie
Santiko, Hariani. (1987). Kedudukan
Melville en J.Knebel). Archaeological
Bhatari Durga di Jawa pada abad X-XV
ondezoek op Java en Madoera
Masehi. Disertasi. Universitas Indonesia
-‘sGravenhage-Batavia
Santiko, Hariani, (2006). Religion, dalam
Driworo R. Mastuti dan Hasto Brahmantyo
Majapahit, Trawulan, Indonesia Heritage.
(penerjemah). (2009). Kakawin Sutasoma
SUBUR, Jaringan Cetak Terpadu, halaman
Mpu Tantular, Depok: Komunitas Bambu
34-44.
Hooykaas, C, (1974). Cosmogony and
Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan, Sastra
Creation in Balinese Tradition, Bibliotheca
Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta:
Indonesia, KITLV The Hague
Penerbit Djambatan.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 15


CAGAR BUDAYA:
EKSPRESI BUDAYA DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Ari Setyastuti1 dan Jusman Mahmud2

1 Dra. Ari Setyastuti, M.Si. Arkeolog dan Pemerhati Pariwisata.


2 Jusman Mahmud, S.S., PNS Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY
U
ndang-Undang Republik Indonesia satu bingkai pariwisata berkelanjutan
Nomor 11 Tahun 2010 tentang dan berorientasi pada kesejahteraan
Cagar Budaya mengamanahkan komunitas merupakan potensi besar yang
upaya pelindungan, pengembangan masih jarang dilirik untuk dikembangkan.
dan pemanfaatan cagar budaya dalam Oleh karena itu, perlu dibangun
rangka memajukan kebudayaan nasional, kesamaan persepsi dan pemahaman
yang ditujukan untuk kemakmuran dan tentang pelestarian dan pemanfaatan
kesejahteraan rakyat. Dengan gaung yang mengakar dan menyeluruh antar
yang senada, Undang-Undang Republik stakeholder (masyarakat, pemerintah dan
Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang swasta) sebelum menjangkau persoalan
Pemajuan Kebudayaan mengamanahkan pelestarian dan pemanfataan fisik
bahwa tujuan pemajuan kebudayaan lingkungan untuk atraksi wisata.
adalah untuk mengembangkan nilai-
nilai luhur budaya bangsa, memperkaya
keberagaman budaya, memperteguh jati
diri bangsa, memperteguh persatuan
dan kesatuan bangsa, mencerdaskan
kehidupun bangsa, meningkatkan citra
bangsa, mewujudkan masyarakat madani,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
melestarikan warisan budaya bangsa,
dan mempengaruhi arah perkembangan
peradaban dunia sehingga kebudayaan
menjadi haluan pembangunan nasional.

Permasalahan pemanfaatan cagar budaya


yang seringkali menjadi persoalan adalah
konflik kepentingan antara pelestarian
dan pemanfaatannya untuk pariwisata.
Hal ini disebabkan karena belum
ada kesamaan persepsi tentang
pemanfaatan cagar budaya untuk
pariwisata. Pengembangan pariwisata
hanya dipandang dari perspektif
ekonomi, belum mempertimbangkan
perspektif sosial budaya masyarakat
dan kelestarian lingkungan alam
dan budaya. Selain itu, cagar
budaya selama ini lebih cenderung
dimanfaatkan secara terpisah
dengan potensi-potensi sosial-
budaya-alam lainnya dari masyarakat
yang terdapat di sekitarnya. Padahal,
menjalin keseluruhan potensi dalam

18 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Paradigma Pelestarian Kebijakan pemerintah dalam pelestarian
Cagar Budaya Dari Masa cagar budaya juga selalu berkembang
Ke Masa selaras dengan dinamika kebijakan politik
dan komitmen pemerintah di bidang
Dalam perjalanan sejarahnya, pelestarian kebudayaan, yang tentu saja dimulai dari
cagar budaya selalu mengalami masa Pemerintahan Hindia Belanda, Orde
perkembangan dan perubahan paradigma Lama, Orde Baru, hingga masa Reformasi.
yang sejalan dengan dinamika tuntutan
jaman yang dilaluinya. Perhatian terhadap Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda,
peninggalan purbakala telah berlangsung landasan hukum pelestarian cagar budaya
sejak masa kolonial sedari abad ke-18, adalah Monumenten Ordonantie (MO)
diawali dengan hobi yang bersifat individu, Staatblad No. 238 Tahun 1913. Arah
kemudian meningkat menjadi kelompok, kebijakannya adalah penyelamatan dan
dan pada akhirnya terlembagakan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Objek
dibentuknya lembaga pemerintah yang pelestarian masih bersifat artifact oriented.
mengurusi pelestarian purbakala. Sementara subjek pelestari adalah
pemerhati/pecinta tinggalan purbakala dan
Pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa Orde Lama dan Orde


Baru, landasan hukum masih
menggunakan MO Tahun
1913 hingga diperbarui pada
tahun 1992 dalam bentuk
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya.
Setahun kemudian, undang-
undang ini dilengkapi dengan
aturan turunannya, yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1993 tentang
Pelaksanaan UU RI No. 5 Tahun 1992.
Arah kebijakan pelestarian cagar
budaya berdasarkan peraturan baru
tersebut adalah pelestarian peninggalan
purbakala untuk penguatan kepribadian
dan jati diri bangsa, serta pengembangan
ilmu pengetahuan. Pelestarian yang
meliputi kegiatan penyelamatan,
perlindungan dan pemanfaatan masih
bersifat statis. Objek pelestarian yang
semula masih terfokus pada artefak mulai
diperluas ke site oriented berupa benda

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 19


cagar budaya dan situs. Subjek pelestari utama proses revitalisasi dan pemanfaatan
bersifat sentralistis pada pemerintah. cagar budaya.

Memasuki era Reformasi, sesuai dengan Permasalahan utama pelibatan masyarakat


tuntutan perubahan kebijakan yang lebih adalah masih kurangnya pemahaman
demokratis, kewenangan pelestarian masyarakat tentang potensi dan
yang semula bersifat sentralistis bergeser permasalahan cagar budaya yang ada di
menjadi desentralistis untuk memberikan lingkungan mereka. Lantas bagaimana
peran yang merata dalam pelestarian, keterlibatan masyarakat dalam proses
terutama meningkatkan peran pemerintah pelestarian yang meliputi pelindungan,
daerah dan masyarakat. Arah kebijakan pengembangan dan pemanfaatan dapat
pelestarian cagar budaya sejak era dilakukan?
Reformasi adalah untuk pengembangan
kebudayaan dan pemanfaatan untuk
kesejahteraan rakyat. Pelestarian Pemberdayaan Masyarakat
kemudian menjadi lebih bersifat dinamis Di Kawasan Prambanan,
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, Pilot Project Paradigma
pelindungan, pengembangan (melalui Baru Pelestarian Cagar
adaptasi dan revitalisasi) serta Budaya
pemanfaatan yang menyejahterakan
masyarakat. Objek pelestarian diperluas Pemerintah berkewajiban untuk
hingga cultural landscape, yang meliputi menfasilitasi masyarakat dalam
benda, bangunan, struktur, situs, dan pemanfaatan cagar budaya. Pernyataan
kawasan cagar budaya. Subjek pelestari tersebut tertuang dalam pasal 85 UU
adalah pemerintah, pemerintah daerah, RI No. 5 Tahun 2011 tentang Cagar
masyarakat, akademisi serta swasta. Budaya. Fasilitasi dapat dilakukan
Seluruh komponen tersebut merupakan melalui pendampingan tenaga ahli,
stakeholder yang harus saling bermitra dukungan dana dan/atau pelatihan.
dalam pelestarian cagar budaya. Dalam rangka melaksanakan amanah
tersebut, Balai Pelestarian Cagar Budaya
Perkembangan arah kebijakan pelestarian
Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB
tersebut tentunya perlu diikuti dengan
DIY) telah menerjemahkan tugas fungsi
program aksi yang menempatkan
pengembangan dan pemanfaatan yang
masyarakat, terutama masyarakat
diembannya dengan menyusun dan
lokal, sebagai subjek pelestarian cagar
menjalankan program Pemberdayaan
budaya yang ada di lingkungannya.
Masyarakat di Kawasan Prambanan
Tanpa peran serta masyarakat sebagai
sebagai sebuah pilot project yang dilakukan
bagian kontekstual dalam pelestarian
secara berkesinambungan selama lima
cagar budaya dan lingkungannya, proses
tahun, dimulai dari tahun 2015.
pengembangan baik melalui program
revitalisasi maupun pemanfaatannya Tentu saja program itu sendiri memiliki
tidak akan berhasil mencapai tujuan untuk banyak kekurangan dan tidak berhenti
mensejahterakan masyarakat. Masyarakat setelah kegiatan-kegiatan yang diinisiasi
harus menjadi pendukung dan pelaku oleh BPCB DIY tersebut selesai.

20 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 21
Keberlanjutan yang memerlukan jejaring komunitas ini adalah memberikan
dengan melibatkan berbagai pihak untuk kesempatan kepada masyarakat untuk
penyempurnaan program aksinya tentu secara aktif terlibat dalam keseluruhan
sangat diperlukan. Meskipun demikian, proses perencanaan dan pelaksanaan dan
program awal ini sudah sangat dirasakan evaluasinya.
manfaatnya oleh masyarakat sehingga
Pelaksanaan pilot project tersebut
dapat menjadi best practice dalam
menggandeng Pusat Studi Pariwisata
mengembangkan pelestarian cagar budaya
Universitas Gadjah Mada (PUSPAR UGM).
berbasis masyarakat Program tersebut
BPCB DIY sebelumnya telah menentukan
mungkin dapat menginspirasi berbagai
tiga desa di Kawasan Strategis Nasional
pihak dalam upaya untuk melakukan
Candi Prambanan dan sekitarnya sebagai
pendampingan masyarakat untuk
daerah tujuan program ini. Ketiga desa
mewujudkan kesejahteraan bersama.
tersebut relatif kaya dengan cagar budaya
Program pemberdayaan masyarakat Masa Klasik/Hindu-Budha (candi-candi
dalam pelestarian cagar budaya tersebut yang tersebar luas di dataran Prambanan
dilakukan dengan mengadopsi konsep dan dataran tinggi siva plateau di sebelah
community based development, yaitu selatannya). Ketiga desa tersebut, yang
pendekatan yang menempatkan masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman
masyarakat sebagai subjek pembangunan. DIY, adalah: (1) Desa Sambirejo, Kecamatan
Syarat utama dalam pelestarian berbasis Prambanan; (2) Desa Bokoharjo,

Kecamatan Prambanan; dan (3) Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan. Adapun kerangka
berpikir utama dari program tersebut tergambar dari bagan di bawah ini.

Gambar 1: Bagan alur pemikiran Program Pemberdayaan Masyarakat


Di Kawasan Prambanan
Sumber: Laporan BPCB DIY, 2015

22 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Tahap prakondisi pada bagan di atas tidak persoalan masyarakat dan interaksinya
dimaknai sebagai upaya dorongan dari dengan situs ataupun benda cagar budaya,
atas atau top-down, melainkan sebuah serta potensi-potensi sosial-budaya dan
proses dialog-aksi secara terus menerus, alam lokal yang dapat diintegrasikan ke
yang dilakukan antara fasilitator dan dalam pemanfaatan berbasis pariwisata.
masyarakat yang didorong menjadi pelaku Gambaran faktual tersebut juga
atau subjek utama dari pembangunan mempertimbangkan harapan, kepentingan,
pariwisata yang hendak dikembangkan. dan pendapat/masukan dari masyarakat.
Jadi, sifatnya pada dasarnnya bottom-up. Gambaran itulah kemudian yang dijadikan
Oleh karena itu, program pemberdayaan acuan utama dalam menyelenggarakan
masyarakat tersebut dimulai dengan upaya serangkaian transfer informasi-informasi
untuk memperoleh gambaran faktual atas penting dan edukatif dalam bentuk

Gambar 2: Pelatihan membatik dengan mengembangkan pola khas setempat


Sumber: Dokumentasi BPCB DIY

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 23


pelatihan-pelatihan teknis guna
membekali masyarakat dalam
menyambut potensi pariwisata
budaya Kawasan Prambanan.

Untuk memperoleh gambaran


faktual tersebut dapat dilakukan
serangkaian Diskusi Kelompok
Terpumpun atau yang biasa juga
dikenal dalam istilah aslinya, Focus
Group Discussion (FGD), di ketiga
desa dengan melibatkan peserta-
peserta yang merepresentasikan
kelompok-kelompok masyarakat
di ketiga desa tersebut, mulai dari
perangkat desa, tokoh-tokoh atau
pemuka desa, tokoh-tokoh pemuda
dan pemudi, hingga ibu-ibu
rumah tangga. Dari kegiatan FGD
tersebut, dihasilkanlah peta potensi
yang dapat dikembangkan untuk
kegiatan pariwisata yang saling
terhubung satu sama lain. Potensi
tersebut dibagi ke dalam empat
jenis, yaitu alam, budaya (tangible/
intangible), kesenian dan kerajinan.

Tahap berikutnya adalah tahap


pengkondisian dan pascakondisi.
Kedua tahap ini pada dasarnya kepariwisataan. Ketiga adalah memberikan
berjalan beriringan. Pembentukan bekal keahlian dan keterampilan kepada
pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat sebagai modal utama dalam
pada dasarnya selalu bersifat prosesual memanfaatkan pengembangan pariwisata
dan akumulatif. Sebagai bentuk dari tahap budaya berdasarkan pemetaan yang
ini, serangkaian pelatihan dilakukan. telah dilakukan sebelumnya. Serangkaian
Pelatihan pertama terkait dengan pelatihan keterampilan telah dilakukan,
mendorong dan memperkuat pemahaman mulai dari pelatihan untuk menjadi
pelestarian cagar budaya masyarakat pemandu/guide cagar budaya dan
sesuai amanah Undang-Undang Nomor destinasi-destinasi wisata budaya lainnya,
11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. pelatihan membuat souvenir budaya yang
Kedua adalah memetakan dan mendorong khas, seperti batik dan souvenir atau seni
tingkat kesadaran masyarakat mengenai kerajinan lainnya dengan motif-motif cagar
pentingnya kelembagaan dan aspek-aspek budaya lokal, kuliner lokal, hingga pelatihan
pemasaran terkini melalui dunia internet.

24 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


pembentukan lembaga Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) juga telah
dimulai. Hingga sekarang, pokdarwis
di ketiga desa terbilang aktif dalam
mendorong, mengorganisir, dan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat di
desanya masing-masing.

Kemandirian masyarakat
tersebut telah dirasakan kini.
Komunitas-komunitas yang telah
dikembangkan melalui program
pemberdayaan masyarakat terus
eksis dan mengalami perkembangan.
Komunitas-komunitas ini bahkan
telah menjadi pendukung utama
perkembangan pariwisata di ketiga
desa. Sebagai contoh, pokdarwis di
Desa Sambirejo secara aktif terlibat
dalam pengelolaan Bukit Breksi.
Dengan dukungan dari Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Gambar 3: Motif batik candi yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Sleman
hasil dari pelatihan untuk pengembangan Bukit Breksi,
Sumber: Dokumentasi BPCB DIY
mereka telah secara aktif menjadi
pengelola dan menyelenggarakan
event-event wisata yang menarik
Proses pemberdayaan yang berjalan jumlah wisatawan yang relatif besar
juga bukan semata transfer informasi, untuk datang. Mereka juga secara aktif
pengetahuan dan keterampilan, tetapi mengembangkan dan mengintegrasikan
juga telah menjadi bagian dari aksi, potensi-potensi objek wisata lainnya di
yang merupakan sifat prosesual dan desa tersebut. Selain itu, di lapangan
akumulatif dari program ini. Hal ini juga tanah kas desa di sebelah selatan Candi
menjadi bagian dari proses membangun Banyunibo di Desa Bokoharjo sekarang
kemandirian masyarakat sebagai pelaku telah berkembang menjadi salah satu
pusat atraksi wisata, misalnya dengan
utama pariwisata di daerah mereka, yang
hadirnya sasana jemparingan (panahan)
merupakan tahap ketiga pada bagan
di tempat tersebut. Pelaku-pelaku yang
program pemberdayaan masyarakat di
mengembangkan atraksi wisata tersebut
atas. Sebagai contoh, sembari memetakan
merupakan orang-orang yang pernah ikut
potensi dan memberikan serangkaian
terlibat sebagai peserta pelatihan kegiatan
pelatihan-pelatihan, pendampingan untuk
pemberdayaan masyarakat oleh BPCB DIY.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 25


Gambar 4 dan 5: Kegiatan atraksi kesenian tradisional (kiri) dan tari anak
(kanan) di Bukit Breksi yang diselenggarakan oleh pokdarwis pengelola
pariwisata Bukit Breksi, didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sleman DIY
Sumber: Dokumentasi BPCB DIY

Peran Semua Pihak


Program Pemberdayaan Masyarakat
Kawasan Prambanan yang diinisiasi
oleh BPCB DIY sejak tahun 2015 telah
membuahkan hasil yang cukup signifikan
dalam mendorong masyarakat untuk terlibat
langsung dalam mengembangkan potensi
lokal dan berpartisipasi dalam kegiatan-
kegiatan pariwisata di wilayah mereka.
Keberhasilan tersebut tentu dapat terwujud
bukan semata karena inisiasi BPCB DIY,
tetapi juga partisipasi berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung
dalam program tersebut. Berbagai lembaga
yang digandeng oleh BPCB DIY dalam
mewujudkan program ini dapat dikatakan
sebagai pihak-pihak yang berpatisipasi
langsung. Sementara itu, peran dan dorongan
dari pemerintah daerah, baik Pemerintah
DIY maupun Kabupaten Sleman, di luar dari
program tersebut turut menjadi bagian utama
dan tidak terpisahkan dari keberhasilan

26 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


tersebut. Namun, yang paling utama adalah Peraturan Pemerintah Republik
kesediaan masyarakat di ketiga desa Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang
untuk berpartisipasi aktif dari awal dalam Pelaksanaan UU RI No. 5 Tahun 1992.
program ini. Sebagai contoh, kesediaan Tambahan Lembaran Negara Republik
mereka untuk meluangkan waktu Indonesia Nomor 3516
menyambut potensi ekonomi baru melalui
Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
keikutsertaan mereka dalam pelatihan-
(2015). Laporan Kegiatan Pemberdayaan
pelatihan dan menghidupkan/menjalankan
Masyarakat Di Sekitar Kawasan Cagar
pokdarwis mereka.
Budaya. Yogyakarta : Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan

Referensi Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.


(2013). 100 Tahun Purbakala: Menapak
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Jejak Peradaban Bangsa. Yogyakarta :
Tentang Pemajuan Kebudayaan. Lembaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Negara RI Tahun 2017, No. 104
Raharjana, Destha Titi, Janianton Damanik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 dan Ari Setyastuti (2016). Riset-Aksi
Tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Perancangan dan Pelaksanaan Program
RI Tahun 2010, No. 130 Pemberdayaan Masyarakat Kawasan
Cagar Budaya Prambanan. Dalam Jurnal
Widya Prabha 05/V/2016. Yogyakarta :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 6 dan 7: Kegiatan atraksi jemparingan di pendopo


pada lapangan sebelah selatan Candi Banyunibo (kiri) dan
pentas tari di halaman utama Situs Ratu Boko (kanan)
terselenggara berkat keberadaan pokdarwis
di Desa Bokoharjo Kecamatan Prambanan
Sumber: Dokumentasi BPCB DIY

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 27


DUA MATA PISAU:
MENGELOLA WARISAN BUDAYA SEBAGAI
PRODUK WISATA
Gendro Keling

W
arisan budaya adalah sebagian representasi dari sejarah
yang telah berlalu, sehingga untuk memahaminya sebagai
suatu peninggalan sejarah dibutuhkan usaha pemahaman
atas sejarah yang pernah terjadi di dalamnya. Memahami sejarah suatu
warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan
masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang sekaligus
memberi gambaran masa depannya (understanding the present and
representing the future). Sehingga tidak berlebihan jika warisan budaya
mempunyai peran penting sebagai identitas nasional di masa lalu, masa
kini dan masa mendatang. Mengingat pentingnya warisan budaya bagi
identitas suatu bangsa, maka Pemerintah sudah selayaknya memberikan
perhatian lebih bagi pelestarian dan pengelolaannya.

28 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Pengelolaan warisan budaya di
Indonesia sebagian besar dikelola
oleh Pemerintah Pusat, sementara
keterlibatan masyarakat sangatlah
terbatas. Pemerintah Indonesia masih
menggunakan pendekatan “top-
down” dalam mengelola warisan
budaya. Pendekatan ini mengandung
dilema, di satu pihak (dalam sudut
pandang Pemerintah), pendekatan ini
sangat baik karena dapat digunakan
untuk memberi tekanan pada
pemerintah daerah atau pemerintah
yang lebih rendah untuk menerapkan
kebijakan yang dihasilkannya. Tetapi
di lain pihak (dalam sudut pandang
masyarakat), sistem ini tidak
banyak melibatkan partisipasi dari
masyarakat, sehingga menciptakan
gap atau jarak antara warisan
budaya dan masyarakatnya. Oleh
karena itu mendesak untuk dibuat
suatu pendekatan baru dengan
menggabungkan dua pendekatan
tersebut dan memberikan ruang
yang luas bagi partisipasi masyarakat
dalam pelestarian bangunan cagar
budaya (Yulita, et al 2011).

Warisan budaya dapat dianggap


sebagai sumber daya yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dalam arti
yang luas, baik untuk kepentingan
pendidikan, ilmu pengetahuan,
sosial, estetika, bahkan secara
ekonomis dilihat sebagai daya
tarik wisata dan komoditas serta
faktor produksi (Tanudirdjo, tanpa
tahun, 33). Menurut Brian Graham
(2000), cultural heritage di dalam
masyarakat modern seringkali

Gambar 1. Kampung Wae Rebo sebagai daya tarik wisata heritage

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 29


dijadikan komoditas yang bernilai ekonomis Warisan budaya dan sumber daya alam
khususnya untuk kepentingan industri saat ini banyak yang semakin terancam
pariwisata. Padahal nilai yang terkandung kerusakan bahkan juga semakin diperburuk
pada heritage sebenarnya lebih dari pada oleh perubahan dan kondisi sosial ekonomi.
anggapan heritage sebagai sebuah barang Untuk mencegah dan mengurangi
dan jasa, akibatnya terjadilah eksploitasi terjadinya kerusakan dan pengerusakan
heritage sebagai sebuah produk pariwisata, warisan budaya dan lingkungannya, perlu
dan jika tidak dikelola secara bijaksana dilakukan pengelolaan sumberdaya secara
akhirnya heritage akan diperjualbelikan, proaktif agar tidak terjadi pemiskinan
distandarkan seperti layaknya sebuah budaya. Pengelolaan dapat dilakukan
barang yang berwujud. Tidak dapat melalui berbagai pendekatan terpadu untuk
diabaikan bahwa setiap heritage juga menjaga kelestarian dan keseimbangan
mengandung elemen intangible dan nilai sosial ekonomi, budaya, dan ekologi dalam
yang tidak pernah dapat distandarkan dan nuansa pembangunan yang berkelanjutan
dihitung nominalnya. Dengan kata lain (Wardi, 2008: 194).
yakni ketika heritage dan culture dianggap
Dalam konsep pengelolaan, terdapat dua
sebagai sumber daya ekonomi dan budaya
perbedaan mendasar yang sulit ditemui
modal, maka pada akhirnya alasan inilah
titik keseimbangan yakni antara prinsip
yang dijadikan sebagai legitimasi untuk
pengelolaan warisan budaya - cenderung
menjadikan budaya dan heritage sebagai
berdekatan dengan konservasi - serta
sebuah produk dalam industri pariwisata.
prinsip pariwisata yang lebih cenderung
mengarah pada industri. Kesulitan yang
Pengelolaan Pariwisata Sebagai
nyata terjadi ketika harus ditentukan
Komoditi Pariwisata
berapa harga yang harus ditentukan untuk
Warisan budaya menjadi ejawantah sebuah produk warisan budaya. Selain
ekspresi cara hidup yang dikembangkan itu upaya pelestarian dan pengelolaan
oleh komunitas dan diwariskan dari bangunan dan kawasan cagar budaya
generasi ke generasi, termasuk adat harus ada beberapa nilai yang perlu
istiadat, praktik, tempat, objek, ekspresi diperhatikan, berdasarkan Undang-Undang
dan nilai-nilai. Warisan budaya sering Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
dinyatakan sebagai bendawi dan non Budaya, mencakup nilai penting bagi
bendawi. Warisan budaya yang bersifat sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
tangible dapat berupa situs warisan agama dan/atau kebudayaan melalui
budaya, bangunan bersejarah, kota proses penetapan. Satu hal penting terkait
bersejarah, lansekap budaya, situs alam signifikasi yang tidak terakomodasi dalam
sakral dan sebagainya, sedangkan Undang-Undang adalah terkait signifikansi
warisan budaya intangible dapat berupa ekonomi. Warisan budaya dapat disebut
tradisi lisan, bahasa, kesusasteraan, sebagai kumpulan fenomena yang sangat
kuliner tradisional, seni pertunjukan dan esensial dan saling berkaitan seperti,
sebagainya. Kriteria warisan budaya dapat aspek sosial, politik, estetika/arsitektural,
dilihat secara internasional, nasional, pendidikan, dan tentu saja aspek ekonomi.
regional, maupun lokal (Tanudirdjo tanpa Secara strategis berbahaya jika tidak
tahun; Yulita 2011). menyertakan pertimbangan ekonomi dalam

30 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


kajian terhadap upaya konservasi. Upaya
konservasi bangunan ataupun kawasan
hendaknya juga dapat memberikan cara
bagaimana mendatangkan keuntungan
(benefit) secara ekonomi dalam bentuk
pariwisata misalnya.

Pemanfaatan warisan budaya sebagai


sebuah produk yang siap dikonsumsi
pada industri pariwisata oleh kalangan
profesional pariwisata maupun ilmuwan
relatif belum lama yakni sekitar tahun
1990. Pola pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan produk dan pemasaran
yang berimbang dengan memadukan
tujuan antara pelestarian dan pengelolaan
cultural heritage sebagai sebuah komoditas
pariwisata. Warisan budaya sebagai
salah satu aspek dalam pariwisata
dapat dijadikan sebagai suatu potensi Gambar 2. Ancaman overtourism
dalam pengembangan pariwisata. Hal
ini disebabkan di dalam pengembangan oleh wisatawan dan dikelola oleh sektor
pariwisata pada suatu negara atau non-publik maupun organisasi nirlaba.
suatu daerah sangat terkait dengan Pengelolaan warisan budaya dapat lebih
potensi yang dimilikinya. Indonesia, ditekankan kepada hal-hal yang sifatnya
misalnya dengan bermodalkan kekayaan non-fisik dan warisan budaya masyarakat
kebudayaan nasional yang dilatari oleh yang bersifat lokal sebagai elemen inti dari
keunikan berbagai kebudayaan daerah pengelolaan tersebut (Lowenthal, 1996).
bisa menggunakan potensi tersebut
Dampak Positif dan Negatif
sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Pariwisata
Pengembangan kepariwisataan yang
bertumpu pada warisan budaya lebih Adanya pariwisata budaya akan
lanjut diistilahkan dengan pariwisata membentuk suatu aktivitas bersama,
budaya. Dengan kata lain, pariwisata sehingga terbentuk pola interaksi
budaya adalah satu jenis kepariwisataan antara wisatawan dengan masyarakat
yang dikembangkan dan bertumpu pada setempat. Pengembangan wisata dapat
kebudayaan (Geriya, 1996). Tantangan menimbulkan dampak positif dan negatif.
terbesar dalam pengembangan pariwisata Dampak dapat terjadi pada aspek
budaya adalah menggunakan aset warisan sosial semisal penyimpangan sosial,
budaya secara bijaksana agar terwujudnya pertukaran budaya dari wisatawan pada
keberhasilan produk pariwisata. Tujuan masyarakat sekitar tempat wisata, dan
lebih jauh adalah untuk mengemas lainnya. Dampak di bidang ekonomi yang
warisan budaya supaya bisa dikonsumsi terlihat adalah peningkatan pendapatan

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 31


masyarakat sekitar dengan berwirausaha ribuan wisatawan lokal maupun turis
maupun kesempatan kerja yang tercipta. mancanegara menjejali Borobudur setiap
Dampak negatif sebagai keniscayaan hari secara terus menerus. Data dari Badan
pengembangan wisata adalah berupa Pusat Statistik Kabupaten Magelang
pencemaran lingkungan terutama akibat menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan
aktifitas pengunjung berupa sampah yang ke candi Borobudur tahun 2015 berjumlah
seringkali menyebabkan lingkungan wisata 3,5 juta wisatawan (https://magelangkab.
menjadi tidak nyaman dilihat. Dampak bps.go.id) dan jumlah ini meningkat
lain yang mungkin terjadi adalah ledakan menjadi 3,8 juta wisatawan pada tahun
wisatawan atau overtourism. Dampak dari 2017, target kunjungan untuk tahun 2018
overtourism seringkali tidak disadari oleh naik menjadi 4,7 juta wisawatan (https://
agen wisata ataupun pengelola tempat id.beritasatu.com). Secara kasat mata
wisata bahkan pemerintah, hal tersebut kerusakannya mungkin tidak dapat dilihat,
disebabkan overtourism berbanding lurus namun bukan berarti overtourism tidak
dengan tujuan kepariwisataan yang berupa memiliki dampak negatif.
meningkatkan kunjungan/kedatangan
Banyak negara yang sudah mulai
wisatawan yang muaranya adalah
menyadari bahaya dari overtourism
peningkatan pendapatan pemasukan.
ini. Negeri India dengan ikon destinasi
Sebagai salah satu contohnya adalah
wisatanya, Taj Mahal bermasalah juga
kunjungan wisatawan ke Candi Borobudur
dengan dampak overtourism yang melanda
yang sangat rentan dengan dampak
bangunan bersejarah ikoniknya tersebut.
overtourism ini. Dapat dibayangkan jika

Gambar 3. Ledakan pengunjung menyebabkan


kurang efektifnya pengawasan

32 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


digarap serius di
daerah. Namun hal
tersebut bukan berarti
demi mendapatkan
PAD, pemerintah
tidak mempedulikan
terhadap dampak
dari pembangunan
pariwisata. Otonomi
daerah telah
memberikan peluang
kepada daerah untuk
melakukan inovasi
dan terobosan
Gambar 4. Overtourism di situs Machu Picchu
dalam menjawab
tantangan yang
dihadapinya. Tetapi
Overtourism diduga telah menyebabkan
kebijakan itu juga dipersepsikan sebagai
kerusakan pada dinding, lantai marmer
momentum guna memenuhi keinginan
dan pondasi. Setiap tahun sekitar 6,5 juta
dan mempercepat pembangunan di
wisatawan berkunjung ke Taj Mahal. Untuk
daerahnya sendiri tanpa memperhatikan
mengantisipasi kerusakan lebih lanjut,
kepentingan negara. Sementara, juga
pemerintah India mengeluarkan kebijakan
muncul ego kedaerahan, sehingga dapat
dengan membatasi jumlah kunjungan
mempengaruhi disintegrasi bangsa
wisatawan. Pemerintah Peru juga
akibat ketidakmerataan dan ketimpangan
mengalami hal serupa terkait overtourism.
pembangunan daerah. Tentunya kondisi ini
Situs prasejarah di Peru Machu Piccu juga dipastikan akan terjadi mengingat setiap
terancam rusak karena ledakan wisatawan. daerah memiliki potensi lokal yang berbeda
Solusi dari pemerintah Peru berupa (Fatimah, 2009: 1).
pembatasan jam kunjungan dan kenaikan
Pada kenyataannya pariwisata
harga tiket masuk.
menimbulkan dua sisi yang saling
Pemberlakuan Undang-Undang RI Nomor bertentangan yaitu manfaat dan
29 tentang Otonomi Daerah setidaknya kerugiannya. Dikatakan oleh Pramono
secara tidak langsung mendorong daerah (1993), pariwisata banyak memberikan
untuk mencari dana bagi pembangunan keuntungan secara ekonomis, namun
daerahnya. Berbagai sumber digali untuk pariwisata juga sering dikritik sebagai
mendapatkan masukan tersebut, di pendukung terhadap pencemaran
antaranya pariwisata yang merupakan imoralitas, perusak kota, dan problem-
usaha yang mudah dilakukan untuk problem sosial yang berkaitan dengannya.
mendapatkan masukan sebagai Pariwisata sering dijadikan kambing
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sektor hitam bagi banyak persoalan, dari
pariwisata adalah salah satu sumber berkembangnya komersialisme warisan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tradisional hingga pengerusakan

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 33


asongan, pemalakan
hingga sweeping.

Pengembangan
daya tarik wisata
yang memanfaatkan
warisan budaya telah
memberikan efek
ganda, yaitu pada
satu sisi mendorong
tumbuhnya usaha
pariwisata di sekitar
warisan budaya,
sekaligus memberikan
keuntungan ekonomi
Gambar 5. Kebijakan pariwisata dalam rangka otonomi daerah bagi masyarakat
dan meningkatkan
lingkungan termasuk pencemaran budaya
kepedulian terhadap pelestarian warisan
(Pendit, 1999). Permasalahan dampak
budaya (Ardika,1993:13-17). Namun pada
pariwisata yang dapat dilihat dalam
sisi lain hal tersebut dapat mengancam
dinamika kehidupan masyarakat, misalnya
keberadaan warisan budaya, seperti
perencanaan kebijakan pariwisata didesain
pencurian dan perdagangan warisan
tidak sesuai dengan fenomena lokal,
budaya (Sutaba,1991:2), tertutupnya
sifatnya mengarah pada kebijakan makro,
akses menuju situs warisan budaya
sehingga kebijakan nasional sering tidak
akibat pembangunan sarana pariwisata,
sesuai dengan kemampuan pemerintah
terdesaknya eksistensi warisan budaya
daerah dan masyarakat untuk mewujudkan
untuk kepentingan pariwisata, bahkan
kemajuan pariwisata. Pembangunan dan
dapat menimbulkan konflik pengelolaan
pengembangan pariwisata pada umumnya
seperti yang terjadi di Tanah Lot, Bali
didasarkan pada konsep yang kurang
(Laksmi 2014, 208).
tepat. Dalam hal ini yang berkepentingan
terhadap pariwisata yaitu pemerintah Cultural Heritage Community-
bersama pihak investor swasta, biasanya based management: Tawaran
berorientasi pada keuntungan, sementara Alternatif
masyarakat tidak dilibatkan secara aktif,
Sesungguhnya pengelolaan warisan
melainkan hanya menerima nilai residu
budaya berbasis masyarakat (Cultural
dari kepentingan pariwisata (Kansar dan
Heritage Community-based management)
Sudirman, 1999). Hal itu membuat individu
sudah ideal digunakan dalam pengelolaan
yang merasa tidak mempunyai kepentingan
warisan budaya, terutama terkait
terhadap pariwisata melakukan tindakan
pemanfaatannya untuk pariwisata.
yang tidak mendukung pariwisata
Memang perlu ada pembenahan untuk
sehingga menimbulkan tindakan yang
lebih baik lagi, tetapi pelibatan masyarakat
merugikan pariwisata seperti meminta-
secara langsung sehingga masyarakat
minta, mencopet, pemaksaan oleh penjual
memperoleh dampak secara langsung.

34 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Metode semacam ini lebih efektif untuk Bimbingan Teknis Perencanaan Program
menumbuhkan kesadaran (aware) Kepariwisataan. Jogjakarta: Dinas
kepada masyarakat. Perlu waktu dan Pariwisata Daerah TK. II.
upaya bertahap untuk menerapkan pola
Laksmi, A.A. Rai Sita. (2014). Pengelolaan
pengelolaan seperti ini. Namun beberapa
Warisan Budaya Pura Tanah Lot Sebagai
contoh kasus di Bali sekiranya dapat
Daya Tarik Wisata di Desa Beraban,
dijadikan acuan. Destinasi desa wisata
Kecamatan Kediri, Tabanan. Dalam Forum
Tenganan Pegringsingan, wisata DAS
Arkeologi 27 (3): 207-218).
Pakerisan, wisata Subak, wisata Museum
Geopark Batur Kintamani, dan masih Lowenthal, D. (1996). The Heritage
banyak lagi daftar pengelolaan wisata Crusade and the Spoils of History. New
warisan budaya yang berbasis masyarakat. York : The Free Press.
Pelibatan ide kreatif dan aktif generasi
muda sekiranya dapat di manfaatkan dalam Pendit, N.S. (1999). Ilmu Pariwisata:
usaha diversifikasi wisata warisan budaya. Sebuah Pengantar. Jakarta: Pradnya
Paramita.

Pramono, H.(1993). Dampak


Daftar Pustaka Pembangunan Pariwisata Terhadap
Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam
Fatimah, Endrawati. (2009). Kerjasama
Cakrawala Pendidikan 12: 13-23.
Pemanfaatan Ruang Antar Daerah
Berbasis Potensi Lokal. Jakarta : Universitas Sutaba, I Made. (1991). Pelestarian
Trisakti. Peninggalan Purbakala dalam
Pembangunan Berwawasan Budaya.
Geriya, Wayan. (1996). Pariwisata dan
Denpasar: Fakultas Sastra Universitas
Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional,
Warmadewa.
Global. Bunga dalam Rampai Antropologi
Pariwisata. Denpasar : Upada Sastra. Tanudirdjo, Daud Aris. (tanpa tahun).
Ragam Warisan Budaya. Bahan ajar
Graham, Brian, G.J and Ashworth, J.E.
mata kuliah Kajian Kritis Pengelolaan
Tunbridge. (2000). A Geography of
Sumberdaya Arkeologi. Program Studi
Heritage: Power, Cultre and Economy.
Pascasarjana Arkeologi. UGM.
London : Arnold Publishers
Wardi, I Nyoman. (2008). Pengelolaan
Graham, Brian, G.J. (2002). Heritage as
Warisan Budaya Berwawasan Lingkungan:
Knowledge: Capital or Culture? dalam
Studi Kasus Pengelolaan Living Monument
Urban Studies, 39 (5–6), hlm. 1003–1017.
di Bali. Dalam Jurnal Bumi Lestari 8 (2):
I Gusti Bagus, Rai Utama. (2015). 193-204.
Mengelola Warisan Budaya Sebagai
Yulita, Titik S., Y Trihoni Nalesti Dewi, B.
Produk Pariwisata. 10.13140/
Tyas Susanti. (2011). Model Pengelolaan
RG.2.1.1740.6568.
Bangunan Cagar Budaya Berbasis
Kansar, A.S dan Sudirman, U. (1999). Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya
Perspektif Pengembangan Pariwisata Pelestarian Warisan Budaya. Dalam Seri
Dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi. Kajian Ilmiah 14 (11): 52-73.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 35


36 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019
BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 37
HARI-HARI TERAKHIR

WILLEM
FREDERIK
STUTTERHEIM
Memeringati 106 Tahun Lembaga Purbakala
(1913-2019)

tutterheim
m Frederik S )
Dr. W il le 948: hal.iv
tu tt e rh e im, W.F. 1
(S

Nunus Supardi
Pemerhati Budaya

38 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


D
i kalangan arkeolog, tanggal 14 Juni telah diakui
sebagai Hari Purbakala Indonesia. Tanggal itu
disepakati menjadi hari penting bagi dunia akeologi
Indonesia karena pada tanggal itu berdiri sebuah lembaga De
Oudheidkundige Dienst in Netherlandsch-Indië. Di kalangan
bumiputra biasa disebut dengan OD, meski demikian sering
disebut sebagai Dinas Purbakala atau Lembaga Purbakala.
Pendirian lembaga ini ditetapkan dengan Surat Keputusan
Pemerintah Hindia Belanda No. 62, pada tanggal 14 Juni
1913. Pada tahun 2019 ini usia OD genap 106 tahun.

Salah satu tokoh penting di dalam dunia kepurbakalaan


Indonesia adalah Willem Frederik Stutterheim. Ia pernah
menjabat Kepala OD pada periode 1936-1942. Selama
kurun waktu itu Stutterheim banyak melakukan penelitian
dan pendokumentasian tinggalan purbakala di Indonesia.
Karya-karyanya tetap aktual dan dijadikan bahan rujukan
banyak orang. Tetapi di balik berbagai tulisan yang mengupas
tentang prestasinya, masih ada pertanyaan yang perlu dicari
jawabnya. Bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya
pada 10 September 1942? Di Di mana ketika Stutterheim
ditahan Jepang? Penyakit apa yang diderita, dan di mana ia
dimakamkan? Tampaknya pertanyaan-pertanyaan sederhana
itu belum banyak diketahui orang, termasuk di kalangan
purbakalawan sendiri.

Orang Hebat
W.F. Stutterheim termasuk orang hebat yang banyak diakui
orang. Di dalam artikelnya yang dimuat di Jaarboek, 1946-
1947, Amsterdam, halaman 150-158, Dr. F.D.K. Bosch, senior
dan juga Kepala OD yang digantikannya, secara khusus
menulis tentang Stutterheim dengan judul Levensbericht
W.F.Stutterheim (Life Message from W. F. Stutterheim).
Di dalam tulisan itu Bosch memaparkan kehebatan
Stutterheim mulai dari saat muda, kuliah, bekerja, berkarya
dan meninggalnya. Ketika ia belajar di Utrecht bidang ilmu
yang dipilih adalah ilmu sastra dan sejarah seni Belanda,
selama tiga tahun. Karena pecah perang dunia, saat akan
mengambil ujian kandidat terpaksa batal. Secara diam-diam
dia dipanggil untuk didedikasikan belajar bahasa Sansekerta.
Ia menjadi mahasiswa di Universitas Leiden, dididik langsung
oleh profesor Snouck Hurgonje, Vogel, Hazeu Van Ronkel, dan

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 39


Krom untuk pelajaran bahasa dan sastra old-Balinese Art" (1935), dll. Berbagai
India. tulisan juga dimuat di banyak terbitan
seperti Tijdschrift van het Bataviaasch
Pada 1924 ia dipromosikan untuk
Genootschap, de Bijdragen van het
mendapat gelar doktor di bawah
Koninklijk Instituut, de Oudheidkundige
bimbingan Prof. Krom dengan disertasi
Verslagen, Djawa, de Acta Orientalia,
berjudul "Rämalegenden und Rämareliefs
Indian Art and Letters, dll.
in Indonesien". Disertasi itu kemudian
didokumentasikan dalam serial "Der India Sebagai Kepala OD yang mempunyai
Kulturkreis" dalam bentuk yang sangat misi melindungi tinggalan purbakala,
artistik oleh seorang arsitek terkenal Stutterheim telah melakukan rekonstruksi
dan penikmat seni Siam, bernama Karl candi Siwa di kompleks candi Lara
Döhrmg. Sang arsitek adalah teman karib Jonggrang, penggalian dan investigasi situs
sejati yang banyak memberikan saran Gunung Wukir, Ratu Baka, Candi Jawi,
dan pertimbangan sepanjang hidupnya. publikasi tentang benda-benda temuan di
Menurut konsep pemikirannya kebudayaan Gunung Penanggungan. Karya terakhir,
Indonesia kuno harus dianggap sebagai satu tahun sebelum meninggal dari hasil
kebudayaan Indonesia, sedangkan penilitian tentang kerajaan Majapahit dari
pengaruh India yang betapa pun besarnya abad 14, oleh Bosch disebutnya sebagai
hanyalah merupakan tambahan saja. karya paling penting. Karya yang ditulis
pada 1941 itu ditulis dengan analisis
Stutterheim dapat dikatakan memulai
yang akurat dari karya Mpu Prapanca,
karir ilmiah pada 1924, ketika ia
Nägarakretägama, dengan membandingan
berusia 32 tahun yang ditandai dengan
data yang diekstraksi dari data yang
dipublikasikannya karya disertasi tersebut.
ada di Bali dan di Vorstenlanden, untuk
Ia meninggal pada tahun 1942. Meski
rekonstruksi kerajaan yang benar-benar
dalam waktu yang relatif singkat, tetapi masuk akal.
berkat kegeniusan dan keseriusannya,
masa hidup yang relatif singkat itu Tidak hanya Bosch yang memuji karya
kemudian justru terbukti menjadi lebih terakhir Stutterheim itu. Bertiga, yaitu
panjang lagi. Dengan dilandasi ketekunan Amrit Gomperts seorang sarjana (menulis
dan energi yang tak pernah padam, Old Javanese and Javano Sanskrit texs and
ditambah dengan bakat multifaset, karya- Archaelogy), Arnoud Haag (ahli hidrologi
karyanya tetap dikenal dan dikenang orang dan Irigasi Asia Tenggara), dan Peter
hingga sekarang. Selain karya disertasi Carey (penulis buku tentang Diponegoro)
yang terkenal itu, ia telah menghasilkan mengulas tulisan Stutterheim dalam artikel
sejumlah karya ilmiah lainnya. Antara berjudul “Stutterheim’s enigma the mystery
lain, "Tjandi Baraboedoer, Naam, vorm en of his mapping of the Majapahit kraton at
beteekenis" (1929), "A Javanese Period in Trowulan in 1941”. Karya itu disebutnya
Sumatra History" (1929), "Oost-Java en sebagai sebuah teka-teki Stutterheim
de Hemelherg" (Djawa 1926), "Oudheden dan misteri tentang keraton Majapahit di
van Bali" (1930), "Indian Influences in Trowulan. Menjadi teka-teki karena dari

40 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


sekian banyak pendapat ahli yang mencoba sampai menurut Bosch sudah lama
merekonstruksi tata letak kerajaan sebenarnya ia cenderung mengarah ke
Majapahit, belum ada yang mampu bidang ini, sebelum beralih ke bidang
menawarkan identifikasi lokasi yang tepat. ilmu pengetahuan. Jangan ditanya lagi
tentang seni sastra. Di dalam dirinya seni
Pada tahun 1941, W.F. Stutterheim
sastra berkembang dengan baik, ditambah
membuat rekonstruksi secara rinci lokasi
dengan selera humor meskipun tidak
kerajaan itu. Menjadi misteri karena
terlalu menonjol.
Stutterheim tidak menunjuk lokasi secara
tepat tetapi telah memberikan pencerahan Sebagai ahli yang menguasai bahasa
dengan menyajikan identifikasi situs Sansekerta ia mendapat tugas untuk
berdasarkan karya monumental Mpu mendirikan dan mengepalai sebuah sekolah
Prapañca. Atas dasar argumen yang Algemene Middelbare School disingkat
diajukan dalam artikel itu, Amrit Gomperts A.M.S. yang dirancang sebagai sekolah
dkk menyimpulkan bahwa cara Stutterheim gaya baru dengan membuka jurusan
menyajikan bukti monografinya itu Sastra Timur di Solo. Pada kesempatan
dengan meninggalkan pertanyaan yang ini Stutterheim berhubungan dengan
tak mudah dijawab. Amrit mengakhiri Pangeran Mangkunegara VII. Berkat
tulisannya dengan pertanyaan: “Mengapa kedekatannya itu ia kemudian menjadi
arkeolog yang terhormat ini tidak ingin ilmuwan yang menggemari dan mendalami
mengungkapkan semua rincian yang kebudayaan Jawa.
sangat penting ini pada tulisannya di bulan
Juli 1941?” Faktor-faktor kelebihan itu telah
melengkapi kecerdasannya sehingga
Sementara itu, Bosch menambah data menjadikan kualitas tulisan dan
uraian tentang sisi lain di luar profesi pembicaraan tentang kebudayaan menonjol
Stutterheim sebagai ilmuwan, yang di antara teman-temannya sesama penulis.
tampaknya belum ditulis orang. Sebagai Ketika segala kelebihan itu bersentuhan
orang dekat dan mengenal kepribadiannya, dengan arkeologi, lahirlah penemuan dan
Bosch menyatakan bahwa Stutterheim pendapat yang kadang mengejutkan,
memiliki jiwa seni yang kuat kemudian dan tidak jarang menimbulkan konflik
bertemu dengan pikiran jernih dan bakat serius dengan pendapat mapan dari para
ilmiah. Kelebihan inilah yang menjadikan pendahulunya. Berkat penguasaan dan
Stutterheim dapat mendekatkan diri keluasan pengetahuan ilmu arkeologi dan
dengan banyak bidang. Pada usia bidang-bidang lain itu menurut Bosch,
muda ia telah berkembang menjadi Stutterheim telah berjalan cepat tetapi
pianis yang berjaya, pengagum dan tetap pada rel keilmuan. Tidak dapat
pengapresiasi karya-karya komponis disebut sebagai langkah ambisius meski
terkenal, terutama seorang komponis pendapatnya kadang bertolak belakang
Jerman, Johann Sebastian Bach. Ia juga dengan pendahulunya seperti J.H.C. Kern
memiliki bakat yang hebat di bidang dan J.L.A. Brandes.
seni menggambar dan melukis, sampai-

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 41


Untuk memenuhi kebutuhan tempat
Orang Belanda Menjadi penawanan, berbagai bangunan
difungsikan sebagai tempat tahanan
Tawanan atau kamp. Fasilitas seperti penjara,
banteng, pabrik, gudang, barak
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah
militer, hingga rumah tinggal, rumah
tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian
sakit, dan bahkan hotel disulap
seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke
menjadi tempat tahanan. Bila
tangan Jepang. Yang tidak banyak diketahui
fasilitas itu tidak juga mencukupi
orang adalah bagaimana Jepang mengatur dan
dibuatlah barak-barak darurat
menyelesaikan ratusan ribu orang Belanda,
dengan atap rumbia, berpagar
dan orang-orang pendukung Belanda, serta
ayaman bambu (Jawa: gedheg)
para Indo Belanda dalam status tawanan
untuk menampung mereka. Kamp
perang. Mereka bertebaran di seluruh wilayah
tahanan dibedakan atas tahanan
sampai ke pelosok-pelosok daerah. Mereka
militer dan sipil. Juga dibedakan
terdiri atas pria, wanita, orang tua, anak-anak
antara kamp untuk orang dewasa,
dan remaja. Mereka juga terdiri atas berbagai
serta wanita dan anak-anak.
profesi, tentara, polisi pegawai, dokter, ilmuwan,
seniman, buruh, teknisi. Dapat dibayangkan betapa
tahanan orang-orang Belanda
Sebagai lawan yang kalah perang, nasib
itu mengalami “shock” karena
mereka berada di tangan Jepang, dalam hal
mereka yang sebelumnya hidup
ini menjadi tanggung jawab Biro Tawanan
“bak seorang raja”, tiba-tiba
Perang dari Kementerian Perang Jepang.
Selain ada yang melarikan diri atau mati dalam
pertempuran, kebanyakan menjadi tawanan
(interniran) Jepang. Pertanyaannya, mereka
diinternir di mana saja? Dari hasil penelusuran
yang dilakukan oleh Institut Dokumentasi
Perang Belanda (Netherlands Institute for
War Documentation atau NIOD) berdasarkan
pada arsip, inventaris sampai pada buku harian
para interniran disimpulkan jumlah kamp
di wilayah Hindia Belanda dikelompokkan
menjadi 7 wilayah. Pertama, wilayah Jawa
terdiri atas Kamp di Jawa Barat berjumlah 174
buah; Kamp di Jawa Tengah berjumlah 191
buah; Kamp di Jawa Timur, 179 buah. Kedua,
kamp di Sumatera, 180 buah. Ketiga, kamp
di Kalimantan 50 buah; Keempat, kamp di
Sulawesi, 39 buah; Kelima, kamp di Sunda Kecil,
26 buah; Keenam, kamp di Maluku 20 buah;
dan Ketujuh, Kamp di Papua (New Guenia)
berjumlah 5 buah. (sumber: https://www.
indischekamparchieven.nl/).

42 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


mereka harus bertekuk lutut dan
menunduk kepada orang Jepang Stutterheim Ditawan
dalam segala hal. Dari catatan
para interniran didapatkan kesan Dari ratusan ribu orang Belanda yang ditawan
dan pengalaman yang bermacam- Jepang, termasuk W.F. Stutterheim. Dari
macam. Mereka harus hidup tanpa berbagai tulisan belum ada yang menjelaskan
listrik, di ruang yang pengap, tanpa tentang nama kota dan kamp tempat ia ditahan.
selimut, banyak nyamuk, makanan Di dalam tulisan R. Soekmono juga hanya
kurang, air sulit bahkan tidak ada didapat keterangan singkat saja:
air untuk mandi. Pantas bila ada eks
interniran yang menulis “sakit hati
dengan perlakuan Jepang, sehingga “…dengan ditawannya semua tenaga Belanda,
bersumpah akan membenci dan Stutterheim dilepas lagi selama beberapa bulan
akan menjadi musuhnya sampai dengan mendapat tugas di Jakarta untuk menyusun
kapan pun”. Pernyataan ini bagi laporan dan saran-saran tertulis tentang usaha-
orang bumiputra menjadi terasa usaha pemeliharaan peninggalan purbakala”.
lucu, karena Belanda rupanya lupa (Soekmono: 1977:11)
atau tidak menyadari betapa pahit
dan sakitnya orang bumiputra Ditahan di manakah sebelum Stutterheim
yang dipenjara Belanda dengan dilepas? Di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau di
penuh siksaan. Tidak sedikit yang Yogyakarta?
meninggal karena ditembak, sakit
atau kepalaran. Untuk dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu ada baiknya dirunut melalui
hasil pengumpulan data tempat interniran yang
dilakukan oleh NIOD. Perhatian dapat langsung
diarahkan pada kamp yang ada di wilayah
Yogyakarta. Menurut NIOD kamp yang ada
di wilayah Yogyakarta ada 22 tempat. Nama
kamp-kamp itu adalah: Bantoel, Barongan
A, Barongan B, Barongan C, Batjiroweg,
Bintaran, Boro, Demakidjo, Benteng Vredeburg,
Ganjoeran, Seminari Agung, Sekolah HBS,
Kaderschool, Kretek, Jalan Lawoe, Moedja-
Moedjo, Poendoeng, Penjara Djokjakarta,
Sanden, Sewoe Galoer, Soerabajan, dan
Cebongan. Mereka yang ditawan adalah orang
Belanda yang berprofesi sebagai pegawai
negeri sipil, pegawai polisi, bankir, dan pegawai
negeri sipil, termasuk yang bekerja untuk
Kesultanan.

Lalu, dari 22 nama kamp itu kamp yang mana


Benteng Vredeburg Yogyakarta. Di dalam yang digunakan menawan Stutterheim? Untuk
benteng ini WF Stutterheim,
Kepala Dinas Purbakala (Oudheidkundige
Dients) 1936-1942 ditahan oleh Jepang
kemudian dipindahkan ke Batavia.
BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 43
menjawab pertanyaan ini F.D.K. Bosch oleh Personil polisi pribumi dan sejumlah
dan NIOD sedikit memberikan informasi. heiho. Yang ditunjuk sebagai pimpinan
Pada saat itu Stutterheim sedang berada dari para tahanan bernama F. Adam dan
di Yogyakarta, kemudian ditangkap Snellenberg.
oleh Jepang. Awalnya ia ditempatkan di
Stutterheim dipindahkan ke dalam
dalam penjara Djokjakarta. Selanjutnya,
benteng bersama dengan tahanan yang
dari penjara Djokjakarta, pada akhir
lain. Jumlah tahanan makin bertambah
Juni 1942 seperti ditulis oleh Bosch “…
banyak, termasuk orang-orang Eropa
Stutterheim, untuk ditawan di penjara di
lainnya yang berasal dari Yogyakarta dan
benteng di Yogyakarta…”. Bertolak dari
sekitarnya, hingga mencapai 897 orang.
tulisan Bosch dan nama-nama kamp di
Untuk mengurangi kepadatan hunian
Yogyakarta yang dihimpun oleh NIOD kamp pada akhir September sebagian
dapat disimpulkan bahwa Stutterheim dari tahanan sipil dipindahkan ke penjara
dari penjara Djokgjakarta dipindahkan ke Bubutan di Surabaya. Sebagian dari internir
dalam benteng Vredeburg, karena nama sipil lainnya pada pertengahan Februari
benteng ini hanya satu-satunya yang 1944 dipindahkan ke kamp Cimahi,
digunakan untuk kamp interniran. Tempat dan Stutterheim “dibebaskan” tetapi
penahanan di Benteng Vredeburg dijaga dipindahkan ke Batavia.

Di belakang tampak hotel Benvenuto, tempat menginap W.F. Stutterheim


dalam keadaan sakit. Hotel itu kemudian berubah menjadi hotel Barito,
44 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 Hotel Monas, sekarang gedung Indosat.
itu diberikan karena kondisi kesehatannya
Stutterheim meninggal yang menurun. Ia tidak dimasukkan ke
rumah sakit melainkan ditempatkan di
sebuah kamar hotel, bernama Benvenuto.
Mengapa Stutterheim “dibebaskan”
Hotel itu sudah dibongkar, dan di atas
dari penahanan? Dalam hal penahanan
lahan itu sekarang berdiri gedung Indosat,
ternyata Jepang mengeluarkan kebijakan
di sudut Jln. Medan Merdeka Barat dengan
memberikan dispensasi kepada orang
Jln. Budi Kemuliaan.
Belanda (Eropa) untuk tidak ditahan di
dalam kamp. Kepada orang-orang yang Selama tinggal di hotel, Stutterheim
memiliki profesi khusus dan diperlukan diawasi kondisi kesehatannya oleh
oleh Jepang seperti tenaga medis, buruh dr. Wulfe-palthe. Selain itu, ia selalu
pada operasionalisasi alat-alat vital seperti didampingi dengan setia oleh sejawatnya
pabrik, transportasi, listrik, perkebunan Dr. Louis-Charles Damais, seorang
dan pertanian tidak dimasukkan ke dalam ilmuwan, sejarawan dan ahli epigrafi.
kamp, tetapi tetap dalam pengawasan Damais karena berasal dari Prancis dan
Jepang. ilmuwan tidak termasuk yang ditawan
oleh Jepang. Ia mendampingi Stutterheim
Alasan untuk “melepaskan” Stutterheim
sampai ajal menjemputnya. Stutterheim
menurut istilah Soekmono karena ia
meninggal karena menderita penyakit
mendapat tugas untuk menyusun
yang menyerang otaknya, yang dikenal
laporan dan saran-saran tertulis tentang
sebagai penyakit cerebrovascular. Dalam
usaha-usaha pemeliharaan peninggalan
medis penyakit ini mempengaruhi
purbakala. Sementara itu, menurut Bosch
pembuluh darah otak dan sirkulasi
karena Stutterheim diminta oleh Jepang
serebral. Menurut sahabatnya Dr. R.
untuk memberikan saran tentang lanjutan
Goris, operasi yang dilakukan oleh dokter
restorasi candi Borobudur. Dari balik alasan
tidak berhasil menyelamatkan nyawanya
pemberian dispensasi itu menunjukkan
(In Memoriam W.F. Stutterheim). Pada
bahwa Jepang sangat menghargai tenaga
tanggal 10 September 1942 Stutterheim
ahli arkeologi Belanda, sehingga untuk
menghembuskan nafas terakhir, menyusul
tahanan tertentu dibebaskan dari masuk
teman dekatnya pelukis Walter Spies yang
kamp. Tampaknya Stutterheim telah
meninggal 8 bulan 9 hari sebelumnya.
mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintahan militer Jepang. Selain bersahabat karib, keduanya juga
mengalami nasib yang sama, merasakan
Meskipun demikian, dari hasil penelusuran
hidup dalam tahanan. Hanya saja
NIOD, nama Stutterheim tetap tercantum
alasannya berbeda. Jika Stutterheim
di dalam daftar (list) tahanan Jepang. Di
ditahan Jepang, Walter Spies sebagai
dalam daftar buku besar yang jumlah
orang Jerman ditangkap oleh pemerintah
tawanannya mencapai 4914 (dari No.
Hindia Belanda karena dianggap pro
1 - 4914), nama W.F. Stutterheim berada
dengan Jerman yang menyerang Belanda.
di urutan No. 3849. Di dalam tabel itu
Ketika mau dipulangkan ke Jerman, kapal
ia tertulis seharusnya ditahan di kamp
Van Imhoff yang mengangkutnya pada 19
Cideng dan tercatat berkebangsaan
Januari 1942 diserang oleh kapal Angkatan
Belanda. Selain alasan profesi, dispensasi

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 45


Stutterheim memang hanya 18 tahun
secara serius dan terus menerus
menggeluti bidang arkeologi. Ia telah
tiada 77 tahun yang lalu, tetapi karya-
karya tetap diingat orang. Nama Willem
Frederik Stutterheim akan tetap dikenal
dan dikenang oleh masyarakat arkeologi
Indonesia. Ia telah meninggalkan sebuah
teka-teki (enigma) mengenai lokasi
kerajaan Majapahit. Seperti dikatakan oleh
A.J. Bernet Kempers (1906-1992), rekan
arkeolog dan penerusnya sebagai Kepala
OD (1947-1953),

“…tidak mudah untuk memahami sepenuhnya


Nisan W.F. Stutterheim di Museum Taman Prasasti seperti halnya pada orang yang banyak yang
di Jln. Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat kita jumpai. Ia sangat hidup dan memiliki
(Sumber: Museum Taman Prasasti) karakter yang begitu kompleks”.

Laut Kekaisaran Jepang dan tenggelam Sementara itu, F.D.K. Bosch sebagai
bersama-sama dengan 477 orang tawanan mantan atasannya, juga memberikan
yang terkunci dan 110 awak kapal. apresiasi yang tinggi terhadap mantan
Jazad Walter Spies terkubur di perairan bawahannya. Bosch mengatakan bahwa
bagian barat Sumatera Utara, sementara kita tidak perlu menyatakan penyesalan
jazad W.F. Stutterheim berbaring di atas apa yang harus terjadi dalam hidup
makam Tanah Abang. Letak nisannya yang dihadapinya. Kita harus bersyukur
berdekatan dengan makam Jan Laurens bahwa perpisahan dengan Stutterheim
Andries Brandes, seniornya, seorang justru telah membawa kita untuk tetap
filolog, leksikografer, pengumpul artefak mengingatnya. Ia akan terus hidup
serta pendiri dan ketua Commissie in sebagai seorang pencari kebenaran
Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige yang gigih. Ia telah meninggalkan harta
Onderzoek op Java en Madoera, cikal bakal pengetahuan arkeologi, bidang yang begitu
lahirnya OD atau Dinas Purbakala. disayanginya.

Jakarta, 14 Maret 2019.

46 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Referensi

https://www.indischekamparchieven.nl/

Bosch, F.D.K. (1946) Levensbericht W.F.Stutterheim Levensbericht W.F.Stutterheim.


Jaarboek, 1946-1947, Amsterdam.

Gomperts, Amrit, Arnoud Haag dan Peter Carey. (2008). “Stutterheim’s enigma The
mystery of his mapping of the Majapahit kraton at Trowulan in 1941”. Bijdragen
tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (BKI).

Soekmono. R (1977) “50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, 1913-
1963”, Proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, Departemen
P dan K.

Stutterheim, W.F. (1948). De Kraton van Majapahit. 'S-Gravenhage-Martinus Nijhoff.

Di belakang tampak hotel Benvenuto, tempat menginap W.F. Stutterheim dalam keadaan
sakit. Hotel itu kemudian berubah menjadi hotel Barito, Hotel Monas, sekarang
gedung Indosat.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 47


PONTEN MANGKUNEGARA VII KESTALAN :

MENILIK GAYA HIDUP


SEHAT MASA LALU
Omar Mohtar

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara VII


(Sumber: https://commons.wikimedia.org)
48 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019
D
ewasa ini sarana mandi, cuci, Salah satu bangunan MCK di Indonesia
kakus (MCK) merupakan satu yang saat ini telah menjadi obyek cagar
hal yang penting bagi kehidupan budaya adalah ponten Kestalan yang
manusia. Di berbagai tempat, dapat berada di Kota Surakarta. Ponten,
dengan mudah kita menemui sarana kemungkinan kata ini merupakan bentuk
mandi, cuci, kakus umum untuk menunjang kesalahan pengucapan Bahasa Jawa yang
kehidupan manusia sehari-hari. Begitu berasal dari bahasa Belanda fontein yang
pentingnya peran MCK umum sehingga berarti air mancur, pada kenyataannya di
keberadaannya tidak dapat dipandang bangunan ini banyak dipasang pancuran.
sebelah mata. MCK umum merupakan Bangunan ini didirikan di pinggir Kali Pepe
sarana sanitasi umum yang digunakan dimana banyak warga yang berada di
bersama oleh beberapa keluarga untuk sekitar Kestalan mendapatkan jaminan
mandi, mencuci dan buang air di lokasi air bersih dalam kegiatan MCK sehari-
pemukiman yang berpenduduk dengan hari. Bangunan komunal ini diinisiasi
kepadatan sedang sampai tinggi (300-500 oleh KGPAA Mangkunagoro VII yang
orang/Ha) (Badan Standarisasi Nasional, secara administratif merupakan Domain
2001). Seringkali bangunan MCK umum Mangkunegaran atau daerah kekuasaan
identik dengan bangunannya yang kotor, Mangkunegaran. Secara konteks
bau, dan sarananya tidak lengkap. Tidak keruangan ponten Kestalan memiliki
semua MCK kondisinya seperti itu, namun keterkaitan dengan keberadaan Puro
kondisi semacam itu yang jamak ditemui. Mangkunegaran, Pasar Legi, Stasiun
Kondisi MCK seperti itu dapat dikatakan Balapan dan Kali Pepe. Diketahui bahwa di
MCK yang tidak sehat dan tidak sesuai sisi utara Puro Mangkunegaran merupakan
dengan standar yang telah berlaku. Domain Mangkunegaran yang sepertinya
Menurut Badan Standarisasi Nasional menampakkan penataan tata ruang yang
(2001), MCK harus mempunyai sumber terkonsep. Keberadaan Kali Pepe di sisi
dan sistem air yang bersih, mempunyai utara Puro Mangkunegaran di masa
sistem pembuangan yang bekerja dengan lalu pernah menjadi sumber air utama
baik, dan mempunyai sarana yang lengkap. terpenting bagi Puro baik secara filososfis
maupun ketersediaan sumber daya alam.
Sebelum MCK umum dikenalkan di
Pada masa pemerintahan Mangkunegaran
Indonesia, masyarakat -umumnya
VII masyarakat di sekitar Kali Pepe banyak
pedesaan- biasa memanfaatkan sungai
melakukan aktivitas keseharian untuk
untuk menunjang kehidupannya sehari-
mandi, cuci dan kakus di sepanjang sungai.
hari. Di beberapa daerah, kondisi seperti
Ide Mangkunegara VII untuk membuat
itu masih dijumpai bahkan di masa
sebuah pemandian di tepi Kali Pepe
sekarang. Pengenalan MCK sebagai
merupakan upaya menjaga kebersihan
bangunan sanitasi komunal merupakan
lingkungan sekaligus media pembelajaran
bentuk perubahan budaya yang sangat
bagi masyarakat untuk pola hidup bersih.
mendasar terkait pandangan masyarakat
Bermula dari konsep dan pemahaman
akan kesehatan dan kebersihan lingkungan
inilah nilai penting dari ponten Kestalan
yang bersifat komunal atau dalam artian
menjadi sebuah obyek cagar budaya
harus dijaga dan dimanfaatkan secara
yang layak dilindungi. Meski saat ini
bersama.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 49


luasan dari ponten hanya seluas 834 m2, diduga bahwa Mangkunegara VII yang
sebagai sebuah bangunan teknis, ponten memiliki sarana ingin pembangunan di
penunjang yakni sumur serta sistem jaringan pipa air yang wilayah Mangkunegaran
menurut narasumber berada di sekitar Stasiun Balapan. dapat mensejahterakan
penduduknya serta
KGPAA Mangkunegoro VII merancang air yang dialirkan
mengenalkan budaya
ke dalam ponten adalah air bersih. Sedangkan buangan
hidup bersih dan sehat.
limbah MCK dibuang ke Kali Pepe yang setiap harinya akan
dibersihkan dengan cara digelontor sehari dua kali dalam Hingga tahun 1932,
sehari, air dari kolam penampungan itu digelontorkan ke di wilayah Domain
kanal-kanal drainase, sehingga limbah yang tersalur ke Mangkunegaran
sana langsung terbuang ke Kali Pepe dan akhirnya sampai telah dibangun 50
Bengawan Solo. Mangkunegaran dengan dukungan MCK tunggal dan 55
kemampuan teknis dari Belanda telah membuat kanal- MCK dengan lebih
kanal drainase dan waduk penampungan air. Ada dua dari satu jamban
waduk penampung air di wilayah Mangkunegaran yakni di (Wasino,2008:319).
hutan kota Balekambang yang masih lestari sampai kini. Tahun 1936
pembangunan ponten
Terobosan baru coba dijalankan oleh Mangkunegara
dimulai sebagaimana
VII untuk mengubah kebiasaan sanitasi masyarakat.
tercatat di dalam prasasti
Mangkunegara VII mengeluarkan kebijakan untuk
pembangunannya.
membangun sarana MCK umum di kampung-kampung.
Bangunan ponten
Menurut Muhammad Apriyanto dari Komunitas Soerakarta
ini dirancang oleh
Walking Tour yang penulis temui pada 2018 lalu,
arsitek Belanda. Ir
pembangunan sarana MCK umum sejalan dengan tujuan
Thomas Karsten atas
perintah KGPAA
Mangkunegara VII. Fasad
bangunan ponten ini
mempunyai langgam
khas Mangkunegaran
(mirip detail
bangunan-bangunan
Mangkunegaran lainnya
seperti Monumen Pers,
Jembatan Pasar legi, dan
Candi Pesing di Wonogiri)
memperlihatkan bentuk
gubahan modern atas
suatu bentuk petirtaan
masa Jawa Kuna.

Potret Ponten Mangkunegaran Tampak Depan.


(Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, 2014)

50 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Potret Bekas Pancuran yang terdapat di Ponten Mangkunegara VII Kestalan.
(Sumber: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, 2018)

Saat ini kondisi bangunan dan lingkungan batu bata plesteran dengan menggunakan
sekitar ponten Kestalan sudah selaesai hidrolik mortar. Bangunan memiliki ukuran
dilakukan revitalisasi. Pada tahun 2014 8 x 12 m dengan tangga masuk disisi
Pemerintah Kota Surakarta melaksanakan kanan/timur dan kiri/barat bangunan.
pekerjaan revitalisasi ponten dengan dana Bangunan tersebut secara keruangan
bantuan dari dana CSR PT. Bank Jateng. terbagi menjadi 3 ruang. Pintu masuk
Bangunan ponten Kestalan saat ini telah sisi barat menghubungkan dengan 2
menjadi bangunan cagar budaya sebagai ruang yaitu ruang mencuci yang terletak
landmark bagi Kali Pepe yakni melalui Surat di depan dan ruang mandi serta kakus
Keputusan Walikota Surakarta No. 646/32- yang terletak di sisi barat bangunan untuk
C/1/2013. Pada waktu sebelum dilakukan MCK perempuan, sedangkan sisi timur
revitalisasi bangunan dan lingkungan di merupakan MCK pria.
sekitar ponten merupakan kawasan yang
Ruang depan berukuran 4,5 x 2,5 m
kumuh dengan sejumlah hunian liar dan
terdapat pipa-pipa pancuran air yang
sebagai tempat pembuangan sampah.
mengalirkan air dari bak penampungan di
Hal tersebut lebih disebabkan sejak tahun
atas untuk keperluan mencuci. Ruangan
1970-an ketersediaan air di ponten sudah
ini pada bagian depan dibatasi dengan
tidak berfungsi sehingga menjadikannya
pagar setinggi 1-1,5 meter. Pada ruangan
sebagai ruang terbuka yang tidak
ini terdapat selasar panjang sebagai
bermanfaat.
tempat mencuci komunal dengan beberapa
Bangunan ponten secara garis besar pancuran di atasnya. Pada dinding bagian
terdiri dari tiga bagian. Ada pemisahan atas terdapat 2 pancuran air limpasan
antara bagian kamar mandi untuk laki- dari bak dan sebuah jaringan penerangan
laki dan perempuan. Bangunan Ponten (lampu), sehingga kegiatan mencuci juga
ini dibangun menghadap kearah selatan, dapat dilakukan pada malam hari.
bangunan dibangun dengan menggunakan

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 51


stalan.
n e g a ra VII Ke )
ang k u n, 2018
a t d i Ponten M n Permuseuma
g terdap daya da
o t ret K akus yan tarian Cagar Bu
P eles
ktorat P
(Sum ber: Dire

Ruang mandi perempuan terletak


disisi barat bangunan. Di dalam
ruang ini, pada sisi barat terdapat
dudukan memanjang dengan
beberapa pipa diatasnya, sedangkan
pada sisi timur terdapat 3 buah
dudukan (tempat duduk) yang
diatasnya juga terdapat pipa
pancuran. Terdapat 2 buah pipa
limpasan air bak jika penuh dan
sebuah jaringan penerangan. Di

52 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


jamban yang menurut beberapa sumber tidak
menggunakan air sumur melainkan dari mata
air dari daerah Cakra Tulung (Klaten) yang
dialirkan oleh perusahaan air, NV Hoodgruk
Water Laiding Hoodplaast Surakarta En
Omstreken.

Pembangunan sarana umum berupa


MCK memperoleh hasil yang baik dengan
menyadarkan akan kebersihan lingkungan
dan tentu adab kesopanan yang lekat dengan
budaya Timur. Beberapa penyakit yang
sebelumnya banyak diderita oleh masyarakat
seperti cacingan menjadi berkurang,
seperti yang telah dijelaskan Wasino dalam
Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran. Ponten Mangkunegara VII
Kestalan merupakan bukti perubahan budaya
yang berdampak bagi masyarakat luas.

Daftar Pustaka
Ricklefs, M.C. (1998). Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

ujung utara ruang terdapat pintu Warsilah, Henny (peny). (2017). Pembangunan
masuk ke bilik jamban. Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo,
Jawa Tengah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Ruang MCK pria secara keruangan
Indonesia.
tidak berbeda dengan kamar mandi
perempuan. Di dalam ruang ini, Wasino. (2008). Kapitalisme Bumi Putra:
pada sisi timur terdapat dudukan Perubahan Masyarakat Mangkunegaran.
memanjang dengan beberapa Yogyakarta: LKiS.
pipa diatasnya, sedangkan pada
Kusumastuti, dkk. (2015). Ponten
sisi barat terdapat 3 dudukan
Mangkunegaran Sebuah Tinjauan Sejarah
dengan pipa pancuran di bagian
Tentang Revolusi Hidup Bersih dan Sehat Bagi
atasnya. Di ujung ruang terdapat
Rakyat dalam Region Volume 6, No.1 Januari
pintu masuk ke bilik jamban. Air
2015.
yang dipergunakan di bangunan
ini dialirkan melalui sebuah pipa Badan Standardisasi Nasional. (2001). Tata
besi yang berada di depan bilik Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 53


Kisah Ndalem Joyokusuman di Surakarta :

DARI SITAAN NEGARA


MENUJU
CULTURE CENTRE
BERKELAS
Kayato Hardani

(Staf Dinas Pekerjaan Umum dan


Penataan Ruang Kota Surakarta)

J
umat pagi. Jam masih belum ini kerja bakti dipusatkan di sekitaran
menunjukkan pukul 06.00. Terlihat kompleks Ndalem Joyokusuman. Ndalem
dua orang juru pelihara bergegas Joyokusuman yang berada di sisi selatan
membuka pintu gerbang kori kayu jati yang Kraton Kasunanan kini sedang giat
berukuran lebih dari 3 meter. Di sebalik berbenah.
pintu tampak terhampar halaman luas
Prasasti beraksara
yang teduh dan
dan berbahasa Jawa
asri, bangunan “pemut kaya pangadegipun saka guru dalem
yang diukir dan
pendopo Kusumabratan dinten Slasa Kliwon
diwarnai dengan
bernuansa wanci jam sawlas
prada emas di
Jawa terlihat wulan Saban ping 19 taun awu tambir kasa
atas pintu gebyog
anggun berdiri adi sakalan resi sapta ngandikani ratu”
jati ndalem ageng
di tengahnya.
ini merupakan
Hari Jumat
penanda didirikannya saka guru Ndalem
telah menjadi hari kerja bakti di lingkungan
Kusumabratan pada tahun yang dikiaskan
Pemerintah Kota Surakarta. Jumat kali
melalui candra sengkala sebagai resi sapta

54 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


ngandikani ratu atau tahun 1878. Di
tempat yang sama terdapat prasasti
angka tahun 1849 beraksara Jawa
dengan dihiasi ornamen lung-Lungan
(sulur-suluran) yang diperkirakan
sebagai tahun awal pembangunan
ndalem, selain itu juga terdapat
gambar pancer mata angin (arah
mata angin).

Ndalem Joyokusuman yang berada di


Kalurahan Gajahan merupakan tipikal
bangunan ndalem pangeran para
priyayi Jawa kerabat raja. Pemilik
paling awal adalah Bandara Kanjeng Pada Tahun 1965 Ndalem Joyokusuman
Pangeran Harya (BKPH) Kusuma Broto, dijual kepada R. Ng. Malkan Sangidoe, dan
ia adalah salah satu putra Paku Buwono baru dihuni di tahun 1966 setelah banjir
X, sehingga di dalam prasastinya disebut besar yang melanda kota Surakarta. Pada
sebagai ndalem Kusumabratan. Pada tahun 1970 ditempati oleh Endar, anak
tahun 1939, kepemilikan beralih tangan dari R. Ng. Malkan Sangidoe. Semasa
ke BKPH Joyoningrat (putra PB IX). Di kepemilikan Endar, bangunan ndalem
tahun yang sama tampaknya pemilik baru Joyokusuman dijadikan rumah tinggal,
melakukan penambahan bangunan paviliun kafe, dan studio seni. Pada masa ini,
di sisi timur - yang secara keruangan Jawa lingkungan di dalam kompleks banyak
adalah setara sebagai gandhok tengen mengalami perubahan yakni dengan
– dengan gaya Art Deco. Penambahan penambahan untuk fungsi baru tersebut.
bangunan dengan corak arsitektur kontras Sekitar tahun 2004/2005 kepemilikan
ini ditandai dengan pemasangan prasasti beralih kepada Widjanarko Puspoyo. Pada
marmer di dinding lorong penghubung masa kepemilikan Widjanarko Puspoyo,
dengan dalem ageng. Sejak tahun 1953 bangunan ndalem Joyokusuman direnovasi
ndalem ini ditempati oleh BKPH MR kembali. Halaman bagian belakang banyak
Joyokusumo (putra PB X) yang kemudian dibangun bungalow untuk dijadikan
dipakai sebagai nama hingga saat ini ini. guest house. Pada tahun 2008 pemilik
Bahkan Joyokusmo diabadikan sebagai ndalem ini terlibat tindak pidana korupsi,
salah satu nama kampung di sekitaran yang berakhir dengan bangunan dan
tembok Baluwarti Kraton Kasunanan, yakni segala yang berada di atasnya disita oleh
kampung Joyokusuman. Kejaksaan Agung RI. Baru pada tanggal

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 55


3 Februari 2016 Ndalem Joyokusuman Mataram Islam. Bangunan tersebut
secara resmi menjadi asset Pemerintah merupakan tipikal Ndalem Kanjengan yang
Kota Surakarta setelah Setelah melewati merupakan tempat tinggal para priyayi
proses yang panjang pengalihan aset dari atau kerabat raja. Bangunan ini memiliki ciri
Kejaksaan Agung RI. khas bangunan tradisional Jawa sebagai
Ndalem Kepangeranan, yang mengandung
Data sejarah Ndalem Joyokusuman
nilai penting arsitektur, estetika, dan filosofi
berdasarkan peta lama dari tahun 1873
tinggi. Melihat nilai penting bangunan
dan 1983 serta dibandingkan dengan
Ndalem Joyokusuman, maka bangunan
kondisi terkini dapat diketahui bahwa
ini memenuhi kriteria sebagai cagar
ndalem Joyokusuman telah mengalami
budaya dan telah ditetapkan oleh Walikota
penambahan dan pengurangan bangunan.
Surakarta Ndalem Joyokusuman sebagai
Pada peta tahun 1873 terlihat jelas bahwa
Cagar Budaya melalui SK Penetapan
komponen utama adalah bangunan pagar
Walikota Surakarta Nomor 646/32-
keliling, pendopo, ndalem dan gledhegan.
C/1/2013 sebagai Bangunan Cagar
Terlihat jika gledegan menunjukkan
Budaya.
sumbu yang jelas sebagai akses utama
menuju kompleks ndalem yakni akses Perkembangan kota-kota lama di Jawa,
utara-selatan. Di peta tahun 1983 terlihat khususnya Yogyakarta dan Surakarta selalu
jika kompleks ndalem Joyokusuman menempatkan kraton sebagai inti kota
telah berkembang diantaranya adalah yang dilengkapi beberapa elemen dasar
keberadaan bangunan paviliun di sisi utara, kota tradisional seperti Pasar Gede, Masjid
bangunan sayap barat (gandhok tengen?) Agung, dan Alun-alun. Keempat elemen
dan bangunan sayap timur (gandhok kiwa) tersebut sering dianggap sebagai pola Kota
yang dikenal sebagai lojen. Sepertinya Jawa yang menempatkan kraton sebagai
bangunan-bangunan ini merupakan pusat sekaligus embrio pengembangan
peninggalan dari tahun 1939 yakni ketika kota. Ndalem Pangeran seperti Ndalem
ditempati oleh BKPH Joyokusumo. Adapun Joyokusuman yang dibangun sekitar tahun
gledhegan pada peta tahun 1983 sebagian 1849 Tahun Jawa (1916) dapat dikatakan
berkembang menjadi jalan kampung yang sebagai salah satu elemen penting yang
menghubungkan dengan jalan Veteran menunjukkan posisi strategis.
di sisi selatan, akibatnya gledhegan
Secara historis, peran Ndalem Pangeran
Ndalem Joyokusuman seolah terpotong
memiliki pengertian sebagai tempat tinggal
dan menghilangkan citranya sebagai jalan
priyayi atau kerabat raja yang senantiasa
privat menuju kediaman ndalem seorang
berkembang dan menjaga kuasa raja,
pangeran.
sekaligus melestarikan budaya Jawa. Oleh
karenanya pada masa lalu, terbangunnya
Nilai Penting Ndalem Joyokusuman ndalem-ndalem Pangeran tidak pernah
Sebagai Cagar Budaya lepas dari wujud pengayoman raja sebagai
pelindung sekaligus bentuk penghargaan
Ndalem Joyokusuman memiliki peran kepada para pangeran yang setia melalui
penting dalam perkembangan Kota hak dan kewenangan mereka untuk
Surakarta sebagai Kota Kerajaan Masa ‘mengelola’ tanah-tanah raja yang luas.

56 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Peran ndalem pangeran sebagai unit ndalem Pangeran menjadi titik tumbuh
primer urban yang menyusun stuktur kehidupan masyarakat kraton yang menjadi
kota lama, baik secara sosial maupun fisik inti kehidupan awal kota-kota Jawa feodal.
tidak kalah pentingnya dengan elemen-
Selain itu, penampilan arsitektur ndalem
elemen monumental lainnya seperti
pangeran telah menjadi satu elemen citra
kraton, alun-alun, masjid, dan pasar.
kota. Oleh karena itu, ndalem Joyokusuman
Pengakuan terhadap ndalem Pangeran
memiliki nilai penting terhadap sejarah
sebagai elemen Kota Jawa diharapkan
Kraton Kasunanan Surakarta. Sebagai
akan membawa dampak positip terhadap
salah satu ndalem Kepangeranan,
pelestarian morfologi pola ruang arsitektur
ndalem Joyokusuman menunjukkan ciri
yang spesifik dari ndalem Pangeran yang
khas yang berbeda dengan bangunan
mulai berubah ataupun punah. Ndalem
tradisional Jawa pada umumnya. Dilihat
menjadi kawasan sub-inti perkembangan
dari bentuk bangunannya, ndalem
lingkungan yang terkait dengan berbagai
Joyokusuman menunjukkan kemegahan
atribut yang tampak jelas sebagai sebuah
kediaman bangsawan pada era keemasan
landmark kawasan kota pusat kerajaan.
Kraton Kasunanan Surakarta, di bawah
Dinding yang mengelilingi kompleks
pemerintahan Susuhunan Pakubuwana
ndalem pangeran dan pintu-pintu gerbang
X. Di dalam satu kompleks ndalem juga
bisa dengan mudah dikenali masyarakat
tampak terasimilasi dengan harmonis
pada saat didirikan. Tipologi, langgam
gaya arsitektur tradisional Jawa dengan
bangunan dan ragam hias ornamen
gaya arsitektur kolonial yang menjadi ciri
ndalem Pangeran merupakan representasi
gaya yang khas
arsitektur Jawa
pada masanya,
yang lengkap
sehingga
seperti tipe atap
menghadirkan
Joglo, Limasan,
ndalem
dan Kampung
Joyokusuman
dapat berada di
layaknya satu
dalam sebuah
buah buku dengan
komplek ndalem
banyak lembaran
Pangeran.
cerita yang
Sehingga, ndalem
berbeda namun
pangeran dapat
masih di dalam
diklasifikasikan
satu rangkaian
sebagai
plot yang sama,
elemen penting
yakni filosofi
pembentuk
rumah Jawa
struktur Kota
yang ramah dan
Jawa, khususnya
terbuka.
Yogyakarta dan
Surakarta, hal ini
didasari bahwa

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 57


6 Tahun Terakhir yang Menentukan, satunya adalah barang bukti dengan total
dari Masa Kelam Menuju Kembali barang rampasan di Kelurahan Gajahan
Bangkit Berjaya seluas 11,118 m2 (SHM 235, SHM 106,
SHM 541, SHM 542). Keempat SHM
Tahun 2007 dapat disebut sebagai titik tersebut berada di ndalem Joyokusuman.
nadir terendah ndalem Joyokusuman
Untuk mengantisipasi kerusakan bangunan
setelah pemiliknya waktu itu tersangkut
mengingat kondisi semakin terbengkalai
pidana kasus korupsi dengan segala asset
tanpa pengelola maka, di bulan Juni 2011
bangunan beserta isinya disita oleh negara.
Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas
Selama proses penyitaan oleh Kejaksaan
Tata Ruang Kota menerbitkan Surat
RI kondisi bangunan ndalem Joyokusuman
Keterangan Bangunan/Kawasan Cagar
mengalami degradasi kualitas bangunan
Budaya No. 430/1011/VI/2011 tentang
dan lingkungannya. Di bulan Agustus
Bangunan yang diduga sebagai bangunan
2008, melalui putusan rapat Mahkamah
cagar budaya yang keberadaannya
Agung No.1093 K/Pid.Sus/2008 sejumlah
dilindungi oleh UU 11 Tahun 2010
asset milik Widjanarko Puspoyo dirampas
tentang Cagar Budaya. Usaha awal itu
oleh negara atas dakwaan korupsi. Salah
juga ditindaklanjuti dengan mengirimkan
surat pada bulan Mei 2012 kepada Ketua
Satgassus Barang Rampasan dan Sita
Eksekusi Kejakgung RI terkait keterangan
ndalem Joyokusuman sebagai benda cagar
budaya. Meski demikian antara bulan
Agustus hingga Oktober 2012, KPKNL
(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang) Surakarta tetap melelang Ndalem
Joyokusuman sebagai barang rampasan
atas nama terpidana Widjanarko Puspoyo,
terhitung sebanyak empat kali dilelang
namun tidak laku. Ditaksir asset rampasan
ini hingga Rp. 25 Milyar. Mungkin disinilah
alur takdir yang menentukan masa depan
ndalem Joyokusuman.

Dengan kondisi bangunan yang semakin


rusak, pada bulan November 2012
Walikota Surakarta mengirimkan surat
kepada Jaksa Agung yang isinya perihal
permohonan tentang pengelolaan aset
ndalem Joyokusuman. Pemerintah
Kota Surakarta bergerak cepat dengan
menetapkan Ndalem Joyokusuman sebagai
Cagar Budaya melalui SK Penetapan
Walikota Surakarta Nomor 646/32-

58 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


C/1/2013 pada bulan Mei 2013. Surat tersebut usai kemudian ditindaklanjuti
Walikota dari bulan November 2012 dengan menyusun DED Revitalisasi
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Ndalem Joyokusuman khususnya regol,
pemeriksaan fisik BMN yang berasal dari topengan, pendopo, pringgitan, bale
barang rampasan negara pada bulan peni dan bale warni, ndalem ageng,
Agustus 2013. Pemeriksaan tersebut baru gandok dan selasar. Masih di tahun
mendapatkan respon dari Kejaksaan Agung yang sama, melalui APBD Perubahan
pada bulan Juli 2014 berupa jawaban 2015 dilakukan Kajian Pengembangan
rekomendasi status aset bangunan cagar dan Pelestarian Situs/Kawasan Cagar
budaya ndalem Joyokusuman melalui surat Budaya Ndalem Joyokusuman yang
nomor B.06/U.1/U.2/07/2014. Titik terang merupakan perencanaan skala semi-makro
status Ndalem Joyokusuman mulai tampak kawasan sekitar ndalem Joyokusuman.
pada bulan Maret 2015 yakni dengan Maksud dari kegiatan ini adalah untuk
terbitnya surat dari Menteri Sekretaris mengelola kegiatan dan fungsi baru
Negara Nomor B-255/M.Sesneg/Setmen/ Ndalem Joyokusuman dengan tetap
PA/2015 tanggal 9 Maret 2015 kepada masih memperhatikan lingkungan
Walikota Surakarta perihal penyampaian yang melingkupinya sehingga dalam
persetujuan presiden atas 2 permohonan proses revitalisasi keberadaan Ndalem
hibah barang milik negara, salah satunya joyokusuman juga dapat mengangkat
adalah sebidang tanah yang berada dan hidup bersinergi denan kawasan
di Kelurahan Gajahan, yakni ndalem sekitar yang mempunyai potensi
Joyokusuman. Kalurahan Gajahan yang menjadikan
Ndalem Joyokusuman sebagai landmark
Dengan terbitnya surat tersebut,
kawasannya. Kegiatan ini dilakukkan
Pemerintah Kota Surakarta mulai
dengan swakelola yang kerjasama dengan
bergerak cepat melakukan berbagai
BPCB dan UNS. Dari kegiatan ini dapat
upaya pelestarian cagar budaya Ndalem
dijadikan dasar perencanaan untuk
Joyokusuman. Diawali dengan melakukan
pengembangan konsep kawasan Ndalem
Kajian Konservasi Ndalem Joyokusuman
Joyokusuman.
melalui APBD di Dinas Tata Ruang Kota
Surakarta Tahun 2015 melalui pekerjaan Di akhir tahun 2015 melalui Surat dari
swakelola yang bekerjasama dengan Balai Menteri Keuangan RI Nomor S-345/
Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. MK.6/2015 kepada Jaksa Agung perihal
Di dalam kajian ini lebih difokuskan pada persetujuan hibah barang milik negara
obyek bangunan cagar budaya yang yang berasal dari barang rampasan
bertujuan untuk mendokumentasikan negara atas nama terpidana Widjanarko
kondisi eksisting bangunan, perubahan Puspoyo semakin memperjelas arah nasib
dan tingkat kerusakan, merumuskan ndalem Joyokusuman. Surat tersebut
tindakan penanganan konservasi yang segera ditindaklanjuti dengan Surat
diimplementasikan dalam pekerjaan Walikota Surakarta kepada Presiden RI
fisik (DED) serta diproyeksikan sebagai pada tanggal 11 Desember 2015 perihal
acuan rencana pengembangan dan permohonan realisasi hibah aset bangunan
pemanfaatan bangunan. Setelah cagar budaya Ndalem Joyokusuman.
rekomendasi atas kajian konservasi Tanggal 3 Februari 2016 menjadi tonggak

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 59


baru sejarah bagi Ndalem Joyokusuman yang dimulai dari tahun 2015 mulai
yang secara resmi diserahterimakan BMN direalisasikan pada tahun 2017 yang
Kejaksaan RI kepada Pemerintah Kota dengan pelaksanaan revitalisasi ndalem
Surakarta. Kala itu adalah H.M Prasetyo Joyokusuman tahap I yang meliputi
yang menjabat sebagai Jaksa Agung RI, pekerjaan fisik untuk sisi belakang yakni
serta Pj. Walikota Surakarta waktu itu, bangunan penunjang dengan anggaran
Budi Yulistianto. sebesar Rp.4.5 Milyar. Di tahun yang
sama juga turun dana hibah APBN melalui
Di tahun yang sama yakni dengan
Satker PBL Kemempupera melakukan
dana APBD dilakukan pula pekerjaan
pekerjaan fisik pada bangunan-bangunan
penyusunan DED Ndalem Joyokusuman
sisi depan (ndalem, pendopo, pintu
khususnya revitalisasi kawasan yakni
gerbang, bangunan paviliun) kurang lebih
konsep-konsep penataan kawasan sekitar
sebesar Rp 3 M.
ndalem yang notabene adalah lingkungan
Kraton Kasunanan Surakarta. Selain itu Pekerjaan revitalisasi Ndalem
juga disusun perencanaan bangunan- Joyokusuman tahap II berlanjut di tahun
bangunan penunjang yang berada 2018 dengan dana APBD sebesar Rp.2,8
di dalam site Ndalem Joyokusuman. M untuk melakukan penataan landscape
Pekerjaan ini merupakan tindak lanjut dari Ndalem Joyokusuman. Di tahun yang
Kajian Pengembangan dan Pelestarian sama juga dilakukan penyusunan DED
Situs/Kawasan Cagar Budaya Ndalem penatan koridor Ndalem Joyokusuman
Joyokusuman yang telah dilakukan di yang direalisasikan pekerjaan fisiknya
tahun 2015. Seluruh perencanaan DED pada tahun 2019 dengan anggaran

60 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


sebesar Rp. 2,9 M. Di bulan Oktober komitmen menjadikan kota budaya
2018 pendopo Ndalem Joyokusuman dilakukan dalam skema revitalisasi bagi
menjadi saksi dilaksanakannya kongres berbagai cagar budaya yang ada. Beragam
Jaringan Kota Pusaka Indonesia sebagai agenda implementasi komitmen sebagai
titik tolak kembali bangkit berjayanya kota pusaka, adalah upaya merevitalisasi
ndalem Joyokusuman setelah sekian lama kembali cagar budaya kota, baik dalam
berproses hukum. aspek fisik maupun non fisik, salah satunya
adalah revitalisasi ndalem Joyokusuman.
Revitalisasi Ndalem Joyokusuman Keberadaan ndalem Joyokusuman yang
dan Kawasan Sekitarnya : berada persis di luar tembok baluwarti
Joyokusuman Culture Centre Kraton Kasunanan sehingga tidak bisa
dilepaskan dari aspek kesejarahannya.
Kini, bersamaan dengan praktek Aspek kesejarahan yang ada dan jejak fisik
desentralisasi, Pemerintah Kota Surakarta yang masih tersisa memiliki keterhubungan
menegaskan visi jangka panjang sesuai kesejarahan yang erat dengan kawasan
dengan RPJPD Kota Surakarta 2005- Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh
2025 adalah Surakarta sebagai Kota karenanya isu potensi sejarah dan budaya
Budaya, Mandiri, Maju, dan Sejahtera. berpotensi untuk lebih digali lebih optimal.
Munculnya rumusan visi dan misi kota Adapun kenyataannya saat ini kawasan di
Surakarta untuk periode 2005-2025 sekitaran Baluwarti pada umumnya dan
tersebut didasarkan atas keinginan kawasan Kelurahan Gajahan khususnya
untuk menjadikan Surakarta sebagai belum bisa mengoptimalkan pengelolaan
kota budaya yang berjiwa progresif dan aset pusakanya baik yang teraga maupun
kompetitif dalam menghadapi berbagai tak teraga. Seperti terbengkalainya banyak
tantangan dan peluang sesuai dengan aset fisik rumah tradisional Jawa maupun
tuntutan dan perkembangan jaman. Di banyaknya pendatang baru bermukim
dalamnya juga mengadopsi berbagai di kawasan strategis ekonomi tersebut
aspek yang menyangkut perlindungan sehingga kurang mengindahkan nilai-
budaya, kemitraan institusi yang mampu nilai budaya lokal. Fenomena tersebut
memberi kontribusi terhadap kemajuan membentuk isu strategis, yaitu perlunya
pembangunan, dan kemampuan warga peningkatan kualitas lingkungan kawasan
untuk menjadikan Kota Surakarta yang Kelurahan Gajahan-ndalem Joyokusuman
unggul dalam bidang perdagangan dan berada dalam mendukung pengembangan
jasa. Pelan namun pasti, dinamisasi dan pengelolaan aset pusaka. Jadi,
pembangunan di Surakarta berbasis pengelolaan kawasan di sekitar aset
pada point-point pokok yang telah pusaka tersebut agar memberikan
ditetapkan dalam komitmen pemerintah pengaruh yang positif bagi tata kelola aset
kota Surakarta. Fase pembangunan pusaka di kawasan tersebut.
memberi pondasi yang kuat bagi daerah
untuk mengembangkan, menginisiasi, Pemanfaatan sebagai Culture Centre
mempertanggung jawabkan sekaligus dengan tag line public-art-heritage
membangun keterlibatan yang lebih baik merupakan satu kesatuan grand design
dari setiap warga kota. Oleh karenanya yang melekat dengan nilai tangible dan

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 61


Nilai penting yang bersifat ragawi dari
ndalem Joyokusuman adalah komponen
bangunannya yang terdiri dari sejumlah
gugus bangunan khas Jawa (tangible)
dengan sejumlah latar belakang kosmologis
(intangible) yang melatar belakanginya.
Kompleks ndalem Joyokusuman, terdiri
dari beberapa bangunan, yaitu bangunan
Regol dan bangunan utama yang mencakup
bangunan Topengan, Pendhapa, Pringgitan,
Bale Warni dan Bale Peni, Ndalem Ageng
atau omah jero, dan bangunan Lojen atau
Gandhok Tengen.

Bangunan Regol merupakan salah satu


komponen yang terdapat pada rumah Jawa
khususnya pada ndalem Kepangeranan.
Regol adalah gapura pintu gerbang utama,
intagible Ndalem Joyokusuman di masa yang menjadi akses keluar dan masuk
lalu, masa kini dan mendatang dengan bagi penghuni rumah dan tamu, sebelum
menggunakan konsep adaptive reuse. memasuki halaman rumah utama. Regol
Saat ini dengan dikuasainya ndalem ndalem Joyokusuman merupakan bangunan
Joyokusuman sebagai milik Pemerintah Jawa berbentuk Limasan Semar Tinandhu,
Kota maka dapat diartikan sebagai dengan aksen Klasik Eropa berupa tiang
milik publik yang dapat memberikan kolom bergaya Tuscan. Pintu gerbangnya
nilai pendidikan selain dana yang telah adalah pintu kayu besar berukuran lebih dari
dikucurkan sedemikian besarnya jadi 3 meter. Di sisi barat dan timurnya terdapat
harus memberi kemanfaatan bagi jogo atau kamar untuk penjaga.
masyarakat. Konsep revitalisasi Ndalem
Joyokusuman secara kontekstual Bangunan utama ndalem Joyokusuman
berkaitan dengan pusat kebudayaan merupakan bangunan rumah tradisional
Mataram (Kraton Kasunanan Surakarta) Jawa dengan tata letak yang simetris. Unit
yang secara kultur historis memiliki bangunan yang berada di bagian paling
jalinan sejarah yang saling berkait. depan adalah topengan yang merupakan
Dimana nilai budaya dan seni yang bangunan terpisah dari bangunan Pendhapa.
bersifat ‘inti’ karena berada satu Dahulunya digunakan sebagai tempat turun
kawasan dengan lingkungan heritage pemilik atau tamu dari kereta kuda. Topengan
kraton Surakarta. Selain itu saat ini ndalem Joyokusuman merupakan bangunan
tinggalan obyek bangunan Ndalem kayu berbentuk limasan persegi, atapnya
Joyokusuman yang bernilai arsitektur dari sirap, dengan empat buah Saka. Pada
merupakan tinggalan heritage yang masing-masing Saka dan balok atap diberi
layak dipertahankan dan dapat ornamen ukiran dan Dhang-Dhangan.
dijadikan media pembelajaran sejarah,
Pendhapa merupakan komponen penting
arsitektur, budaya maupun sosial bagi
dalam rumah tradisional Jawa. Pendhapa
masyarakat Surakarta.

62 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


adalah ruangan terbuka yang bersifat kerabat dekat keluarga. Bale Warni
profan berfungsi sebagai ruang publik, digunakan untuk menerima tamu
seperti tempat menerima tamu, tempat perempuan, dan Bale Peni untuk menerima
menyelenggarakan acara atau upacara tamu laki-laki. Bale Warni ndalem
tertentu. Pendhapa ndalem Joyokusuman Joyokusuman terletak di timur Pringgitan,
berbentuk Joglo Trajumas Lambang sedangkan Bale Peni di sebelah barat.
Gantung, yaitu memiliki atap susun tiga Kedua bangunan ini memiliki bentuk yang
yang terdiri dari Brunjung, Penanggap, simetris dan sama. Kedua bangunan ini
dan Penitih, yang masing-masing atapnya merupakan bangunan tertutup dengan
terpisah, menempel pada Saka Benthung. dinding tembok dan atap seng, bergaya
Atap Pendhapa ndalem Joyokusuman pada Art Deco dengan ornamen kolom lengkung
awalnya sirap dari kayu. Pendhapa memiliki di sudut luar bangunan. Kemungkinan
empat Saka Guru, 12 Saka Penanggap, dibangun bersamaan dengan bangunan
dan 14 Saka Penitih, bagian atap Penitih Gandhok pada masa yang lebih baru, yakni
langsung menghimpit Pringgitan. Bagian pada masa kepemilikan BKPH Joyokusumo.
Dhadha Pesi terdapat ornamen tambahan
Ndalem Ageng disebut juga dengan Omah
berupa tempelan Dhang-Dhangan. Saat ini
Jero. Bagian ini merupakan bagian sakral
lantai pendhapa adalah marmer berwarna
dari rumah tradisional Jawa. Ndalem Ageng
putih yang merupakan hasil rehabilitasi
berfungsi sebagai ruang utama pemilik
dari lantai berupa wafel berwarna abu-
rumah. Dalam ndalem Ageng terdapat
abu pada masa kepemilikan Widjanarko
bilik-bilik yang disebut Senthong Tengah,
Puspoyo.
Senthong Kiwa, dan Senthong Tengen.
Pringgitan dalam rumah tradisional Jawa Senthong Tengah difungsikan sebagai
masih dikategorikan dalam ruang bersifat ruang paling sakral karena difungsikan
profan. Biasanya Pringgitan berbentuk sebagai Pasren atau Petanen, yakni
ruang kosong dengan maupun tanpa atap, tempat untuk pemujaan Dewi Sri, yang
yang memisahkan Pendhapa dengan melambangkan kesuburan dan dapat
Ndalem Ageng, atau pemisah antara ruang mendatangkan berkah di rumah tersebut.
profan dan sakral. Biasanya Pringgitan
Ruang Ndalem Ageng pada Ndalem
digunakan sebagai tempat pertunjukkan
Joyokusuman terletak di belakang
wayang kulit. Pringgitan Ndalem
bangunan Pringgitan. Atap Bangunannya
Joyokusuman, merupakan bangunan
berbentuk sama dengan Pendhapa,
beratap limas, dengan 12 buah Saka.
yakni Joglo Trajumas Lambang Gantung.
Atapnya terpisah dengan atap Pendhapa, Namun, Ndalem Ageng terletak lebih
namun lantainya masih menjadi satu tinggi dari Pendhapa dan Pringgitan. Pada
dengan lantai Pendhapa. Di sisi kanan dan pintu utama (gebyok) terdapat ornamen
kiri pringgitan terdapat ruang yang dinamai Lung-Lungan dengan angka tahun 1849
sebagai bale warni dan bale peni. dalam huruf latin dan Arab, pancer mata
Tidak semua rumah tradisional Jawa angin dalam Aksara Jawa, serta prasasti
dilengkapi dengan Bale Warni dan Bale pendirian Ndalem Joyokusuman.
Peni. Kedua ruangan ini merupakan Bagian belakang ndalem ageng terbagi
ruangan yang bersifat profan, biasanya menjadi beberapa bilik yang dipisahkan
digunakan untuk menerima tamu dari oleh dinding, yaitu Senthong Kiwa,

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 63


Senthong Tengah, Senthong Tengen, serta mampu memberi manfaat sepenuhnya bagi
Dhempil dikanan-kiri Senthong. Senthong masyarakat sekitar situs. Hal yang sering
tengah Ndalem Joyokusuman dilengkapi terkait dengan asas kemanfaatan tersebut
dengan Krobongan, yang berfungsi sebagai adalah terkait dengan potensi wisata atau
tempat tidur untuk menaruh kasur, bantal, ekonomi yang berlandas pada ekonomi
dan guling, sebagai salah satu kelengkapan kota pusaka.
Pasren. Krobongan Senthong Tengah pada
Ekonomi kota pusaka merupakan
Ndalem Joyokusuman masih asli, hanya
salah satu aspek penting yang harus
dicat ulang dan dilukis pada bagian dalam
dikelola dan dikembangkan. Pusaka
atapnya. Masing-masing Senthong saling
merupakan sumberdaya yang harus
dihubungkan dengan pintu. Di samping
dilestarikan sehingga dapat dimanfaatkan,
barat dan timur bilik Senthong, terdapat
dikembangkan dan dipasarkan untuk
bilik lagi yang disebut Dhempil. Di luar
kepentingan publik. Dalam penataan
bangunan Ndalem Ageng yakni disisi
dan pelestariannya dibutuhkan strategi
kanan dan kiri terdapat emperan atau teras.
pelaksanaan dan kerjasama berbagai
Gandhok adalah bagian rumah yang pihak seperti stakeholder dan masyarakat.
terletak di samping kanan-kiri maupun Pengembangan ekonomi pusaka akan
belakang Ndalem Ageng. Sama seperti mampu menggerakkan roda perekonomian
Ndalem Ageng, bangunan ini lebih bersifat masyarakat seperti munculnya berbagai
pribadi yang berfungsinya tempat tinggal usaha cindera mata, kerajinan, penginapan,
yang dilengkapi kamar tidur, dapur dan kuliner dan fasilitas lain yang mendukung
kamar mandi. Di ndalem Joyokusuman, pengembangan kawasan pusaka di
hanya terdapat satu Gandhok, yakni Kelurahan Gajahan. Secara umum, sebaran
Gandhok Kiwa (sisi timur). Kemungkinan beragam aktivitas warga yang terdapat di
pernah terdapat Gandhok Tengen, namun kawasan Kelurahan Gajahan mempunyai
saat ini sudah tidak ada lagi. Bangunan tipikal yang khas dan menarik. Mulai
Gandhok ndalem Joyokusuman merupakan dari pola permukiman yang bermula
bangunan Indis bergaya Art Deco dengan dari simpul ndalem-ndalem Pangeran,
ornamen lengkung pada sudut dan kemudian membentuk pola-pola relasi
teras bangunan, kemungkinan dibangun sosial masyarakat yang semakin luas.
pada masa yang lebih baru, yakni masa Pertumbuhan aktivitas ekonomi dibeberapa
kepemilikan BKPH Joyokusumo. Antara titik kawasan membentuk jalur aktivitas
Gandhok dan Ndalem Ageng terdapat ekonomi yang secara otomatis terhubung
dinding, pada dinding dituliskan prasasti dengan simpul-simpul aktivitas di Pasar
renovasi bangunan oleh BKPH Joyokusumo Klewer, Baluwarti, Keraton maupun Alun-
berangka tahun 1939. alun Kidul secara langsung maupun tidak
langsung. Dimana semuanya memberi
Ndalem Joyokusuman memiliki luasan
dampak bagi proses berkembangnya
situs yang sangat memungkinkan untuk
sebuah kawasan. Hingga beberapa tahun
dikembangkan sebagai culture centre yang
ke depan ndalem Joyokusuman akan
memadukan antara public space, seni
tetap berproses sejalan dengan tuntutan
budaya dan heritage dimana ketiganya
jaman sekaligus upaya pelestarian budaya
akan bersinergi menjadi pusat budaya
agar tidak semakin tergerus dengan
yang memiliki nilai lebih, khususnya
modernisasi.

64 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Pesona Selembar Wayang Daun:
Lestarikan

Kebudayaan adalah
Kebahagiaan”, berikut sebait
kata yang digaungkan ketika
Pekan Kebudayaan Nasional
(PKN) berlangsung sepanjang 7 Lingkungan,
hingga 13 Oktober 2019 di Istora
Senayan, Jakarta. Kebudayaan
yang merupakan hasil dari reka-
cipta manusia divisualisasikan
Lestarilah Cagar
ke dalam beragam pertunjukan,
pementasan, dan pameran.
Harapannya, masyarakat yang
Budaya
berbaur kedalam PKN dapat
merasakan sepekan yang Putri Prastiwi
membahagiakan.

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 65


Wayang daun karya Andi Wahyudi
Beragam pameran yang digelar, terdapat
(seniman/pegiat lingkungan hidup)
yang dipamerkan di PKN, Istoram satu yang mencuri perhatian yakni Pameran
Senayan, Jakarta Wayang Daun, dengan konsep “lestarikan
lingkungan, lestarilah cagar budaya”. Andhi
Wahyudi, kreator Wayang Daun, menjelaskan
dalam pameran kali ini terdapat tiga pesan
dalam karya yang ia buat antara lain kampanye
cinta lingkungan, keindahan seni lukis, serta
pelestarian cagar budaya.

Wayang yang terbuat dari daun ini memiliki


keunikan tersendiri dibandingkan dengan jenis
wayang pada umumnya. Media daun yang
digunakan merupakan daun kering yang telah
gugur, sedang tatakan untuk menempatkan
wayang adalah gelondongan kayu dari pohon
mati dipinggiran jalan, dari sini terdapat
pesan cinta alam dan lingkungan yang
dikampanyekan oleh Andhi Wahyudi. Tidak

66 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


sedikit jenis daun yang digunakan sebagai media
melukis wayang, mulai dari daun yang memiliki
tekstur halus pada permukaannya hingga daun
yang rapuh dan ringkih.

Wayang Daun merupakan implikasi seni lukis yang


dituangkan pada luasan daun kering. Peralatan
yang dibutuhkan cukup sederhana yakni cat dan
kuas serta marking pen untuk membuat sketsa.
Secara detail, setiap wayang yang berada pada
sudut-sudut pamer menampakkan gambar cagar
budaya.

Pemilihan cagar budaya sebagai objek lukisan


pada daun bukanlah tanpa alasan. Ide ini muncul
atas keprihatinan untuk beberapa cagar budaya
yang di-vandal secara sadar. Bekerjasama
dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 67


dan Permuseuman, Andhi Wahyudi
melukiskan konten tentang kerusakan
cagar budaya dan pula ajakan
mengenai pelestariannya. Cara ini
dimaksudkan untuk memasyarakatkan
cagar budaya bahwa sifatnya tidaklah
abadi, sehingga cagar budaya harus
dijaga dan dilestarikan.

Beberapa wujud wayang


tentang kerusakan cagar budaya
direpresentasikan oleh Wayang
Daun Arca Buddha yang terdapat di
Candi Borobudur. Sepanjang tahun-
tahun kritis yang dilalui Candi ini,
kepala arca Buddha dicuri dan tidak
dapat dilacak lagi keberadaannya.
Hal ini merupakan sebagian kecil
dari banyaknya masalah tentang
kerusakan -perusakan- cagar
budaya. Pernah mendengar jual-beli
cagar budaya? Atau penghancuran
sampai menghilangkan cagar budaya
karena dianggap musyrik? Inilah
beberapa kisah lainnya mengenai
kerusakan yang diakibatkan
oleh manusia, masyarakat yang
diharapkan menjadi garda terdepan
dalam upaya pelestarian namun
masih kurang pengetahuan tentang
keberadaan cagar budaya itu sendiri.
Selain manusia, bencana dan faktor
alam lainnya juga dapat merusak
cagar budaya. Akibat gempa yang
mengguncang sebagian wilayah
Sumatera Barat pada tahun 2009
berhasil membuat Rumah Gadang
yang merupakan aset negara berupa
cagar budaya di Pariaman rusak
parah.

68 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019


Berkaca pada masalah kerusakan
dan perusakan cagar budaya
yang demikian itu, serta keinginan
mengajak kawula muda untuk turun
tangan dan turut menjadi garda
pelindung cagar budaya, maka
Andhi Wahyudi menyuguhkan
workshop pembuatan Wayang Daun
sehingga Wayang Daun tidak hanya
sekedar menjadi tontonan bagi para
pengunjung. Workshop ini dibuka
untuk umum, mayoritas pesertanya
adalah generasi millenial serta anak-
anak yang didampingi ibu mereka.
Peserta workshop diarahkan untuk
membuat Wayang Daun bertemakan
cagar budaya dengan kreativitas
masing-masing. Hasilnya, peserta
dapat menampilkan Wayang Daun
bergambar keris, lukisan cadas,
arca, hingga candi dan macam cagar
budaya lainnya.

Pengenalan pelestarian cagar


budaya dapat dilakukan dengan
Pengunjung pameran antusias berbagai upaya, salah satunya
mengikuti workshop pembuatan wayang daun adalah melalui Wayang Daun.
Pengunjung dapat melihat kerusakan
dan perusakan cagar budaya pada
ruang pamer. Selain menambah
wawasan mengenai cagar budaya,
Wayang Daun diharapkan mampu
memberikan kesan paling dalam
untuk pengunjung, terutama peserta
workshop dan milenial, sehingga
tidak hanya sekeadar mampir lewat
pesan yang disampaikan tetapi juga
menumbuhkan kemauan dari mereka
untuk turut dalam upaya melestarikan
cagar budaya.
Pengunjung pameran antusias
mengikuti workshop pembuatan wayang daun

BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019 69


Milenial yang Berbudaya

70 BULETIN CAGAR BUDAYA | VOL. VII 2019

Anda mungkin juga menyukai