Anda di halaman 1dari 5

PEMANFAATAN PUSAKA BUDAYA PURA TIRTA EMPUL

SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DI BALI

I Ketut Setiawan
Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas UDAYANA

1. Pendahuluan kehidupan masyarakat. Para kapitalis menggunakan segala


Pusaka budaya (heritage) dewasa ini telah cara untuk mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan
mendapat perhatian yang luas. Tumbuhnya kesadaran dan ranah kebudayaan, termasuk pusaka budaya Pura
tentang perlunya penyelamatan benda budaya yang Tirta Empul. Globalisasi menyebabkan fungsi pura
merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya berkembang, tidak saja berfungsi sakral tetapi juga
peluang ekonomi pariwisata yang memanfaatkan benda berfungsi ekonomi dalam kaitannya dengan nilai-nilai
budaya tersebut, melahirkan berbagai upaya pelestarian, kehidupan masyarakat. Adanya kepentingan selera pasar
pengembangan, dan pemanfaatan untuk kepentingan telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemaknaan
peningkatan kehidupan masyarakat. Jika benda-benda dan pendefinisian terhadap sakralitas pura, pergeseran
tersebut dikelola secara baik dan profesional, sebagai nilai terhadap pemahaman pura, serta perubahan perilaku
bagian dari suatu kebudayaan, pusaka budaya bisa menjadi dan praktik-praktik budaya masyarakat Desa Manukaya.
alat pemberdayaan bagi pihak-pihak yang terkait, yaitu
pemerintah selaku pemegang kebijakan politik, pengusaha 2. Komodifikasi Budaya
dalam bidang ekonomi, dan masyarakat sebagai pemilik Proses modernisasi melalui pembangunan yang
kebudayaan. kapitalis atau membela kepentingan pemodal dapat
Pura Tirta Empul yang terletak di Desa menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi adalah proses
Manukaya, Tampaksiring, Gianyar, Bali adalah salah satu yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek,
pusaka budaya yang memiliki ciri khas dan keunikan bila kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu
dibandingkan dengan tinggalan budaya lainnya, sehingga sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar
sangat menarik para wisatawan, lebih-lebih didukung (Barker, 2005 : 517). Komoditas dipahami sebagai suatu
dengan tetap difungsikan-nya sebagai tempat suci, tempat hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan
persembahyangan umat Hindu (living monument). Tidak kata lain, komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi
mengherankan, Pura Tirta Empul merupakan sebuah daya untuk dijual. Akibat ekonomi uang yang berdasarkan atas
tarik wisata yang cukup banyak menyerap pengunjung dan spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya
menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata unggulan mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai
di Kabupaten Gianyar, selain Gua Gajah dan Gunung sektor kehidupan.
Kawi. Pusaka budaya pura ini telah diajukan sebagai Orientasi pencarian keuntungan pada
Warisan Budaya Dunia. masyarakat kapitalis menyebabkan terciptanya produk-
Sejak Pura Tirta Empul menjadi salah satu produk beragam dan luas. Akhirnya pada masyarakat
tujuan wisata, maka komersialisasi budaya tidak dapat pascamodern komoditi telah merambah ke berbagai
terhindarkan. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam sektor kehidupan dan ranah kebudayaan (Lury, 1998 : 64).
konteks pariwisata global menjadi hal yang menarik untuk Gejala ini oleh penganut postrukturalis disebut sebagai
diteliti lebih mendalam terkait dengan sosial budaya dan “merkantilisme”, yaitu berubahnya status segala wacana,
segala aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. termasuk pengetahuan, pendidikan, dan informasi
Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan menjadi komoditi (Piliang, 2006 : 296). Fenomena
baik lokal maupun asing sebagai konsumen telah demikian menjadikan komoditas tidak semata-mata
membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat. terhenti pada nilai tukar (exchange value) dan nilai guna (use
Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi value), namun sudah sampai ke nilai tanda (sign value)
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal tersebut (Baudrillard, 1981 : 18).
memunculkan budaya konsumerisme dan kapitalisme Komodifikasi sudah merambah ke seluruh
yang dapat menimbulkan komodifikasi pada setiap aspek sektor pariwisata dan sistem kapitalis. Dalam dunia

51
pariwisata, komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah Sejalan dengan proses komodifikasi, produk
menyentuh langsung pada makna-makna kebudayaan, budaya Pura Tirta Empul sebagai salah satu bagian dari
lebih-lebih ketika melibatkan atau memanfaatkan simbol- ikon budaya masyarakat Desa Manukaya pun mengalami
simbol, ikon-ikon seni, budaya, dan agama. Dengan dinamika dalam dialektika sakral dan profan. Di satu sisi
penggunaan teknologi media, komodifikasi sudah masyarakat dengan berbagai komponen di dalamnya
menjadi suatu ritual usaha ekonomi. Fenomena berusaha melestarikan dengan tetap mempertahankan
merebaknya industri kebudayaan untuk publik seperti nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh
menjamurnya majalah populer, televisi swasta, kawasan berbagai faktor, khususnya faktor ekonomi untuk
wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern meningkatkan kesejahteraan, menjadikan masyarakat
menempatkan Bali sebagai masyarakat komoditas pendukung budaya Pura Tirta Empul dilematis.
(Darmadi, 2006 : 67 – 68). Kedatangan para wisatawan dengan berbagai
Dalam pengembangan pariwisata yang latar belakang budaya ke Pura Tirta Empul sesungguhnya
memanfaatkan pusaka budaya atau tinggalan arkeologi secara tidak langsung telah menggeser nilai-nilai sakral ke
(artefak, fitur, situs) harus digarisbawahi bahwa pariwisata nilai profan. Pergeseran Pura Tirta Empul dari sakral ke
pusaka budaya merupakan manifestasi dari komodifikasi profan tidak dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui suatu
kebudayaan (comodification of culture). Hancurnya atau proses pertentangan-pertentangan, sejalan dengan
hilangnya batas-batas antara kebudayaan dan ekonomi perubahan sosial budaya masyarakat. Selanjutnya, jika
adalah sebagai sebuah penanda penting posmodernitas dikaitkan dengan perkembangan zaman dengan majunya
(Richards, 1996 : 262 – 263). Komodifikasi tidak semata- ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses-
mata dilakukan oleh para pelaku ekonomi, seperti akses pengaruh luar terhadap pandangan hidup
pemodal pariwisata, masyarakat lokal pun berpotensi dan masyarakat Desa Manukaya, maka perlahan-lahan,
bahkan sering melakukannya. disadari atau pun tidak, mulai terjadi pergeseran nilai-nilai
Globalisasi telah menjadi kekuatan besar pada tradisi.
dewasa ini. Pasar dalam hal ini muncul sebagai kekuatan Potensi budaya yang dimiliki Pura Tirta Empul
dalam membangun dunia kehidupan sehari-hari. Dengan sebagai daya tarik wisata, masuk ke dalam industri budaya.
kata lain, pasar menjadi kekuatan dominan dalam Strinati (2003 : 67-68) memberikan penjelasan bahwa
pembentukan nilai dan tatanan sosial. Pasar telah masuknya produk budaya ke dalam industri budaya,
memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batas- berarti dia tunduk kepada hukum ekonomi sehingga dia
batas sosial budaya. Pasar sekaligus menguburkan batas- berubah menjadi budaya massa. Per ubahan ini
batas itu akibat berubahnya orientasi ruang dalam berimplikasi terhadap aura kebudayaan yang tidak lagi
masyarakat (Appadurai, 1994 : 49). mengikuti kehendak pembuatnya, tetapi tunduk kepada
Pusaka budaya Pura Tirta Empul selain sebagai mekanisme pasar. Akhirnya produk budaya terlepas dari
tempat suci juga dimanfaatkan sebagai modal pengalaman estetis dan terkena fetisisme komoditi
pengembangan pariwisata, merupakan suatu proses sehingga nilai gunanya dilepaskan, diganti dengan nilai
komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari tukar.
sistem pembangunan daerah. Untuk itu, proses tersebut
dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada 3. Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
upaya secara sengaja dan penuh kesadaran untuk Dewasa ini, globalisasi secara perlahan-lahan
menjadikan produk budaya tersebut menjadi barang membuat dunia menjadi satu dengan yang lain, batas-batas
dagangan yang siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin kabur serta
Empul mengalami proses komodifikasi karena menjadi tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah,
komoditas. Menurut Barker (2005 : 408), komoditas dunia terus bergerak, dan teknologi komunikasi menjadi
adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di serba canggih, sehingga tidak menutup kemungkinan
pasar. Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, terjadi mobilitas sosial (Abdullah, 2007). Pergerakan orang
sebagaimana yang sudah lama terjadi dalam praktik- (pariwisata) demikian cepat membawa kapitalisme telah
praktik kepariwisataan dengan pariwisata budayanya, masuk ke dunia bisnis kebudayaan. Komodifikasi budaya
menjadi penanda penting posmodernitas. terjadi karena pasar cenderung memperlakukan budaya

52
sebagai barang dagangan ketimbang memperlakukan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan
budaya sebagai sebuah medan nilai. mendorong pertumbuhan sektor perdagangan.
Selera ideologi pasar telah merajalela ke sendi- Masyarakat Desa Manukaya dan sekitarnya sangat
sendi budaya tradisi dengan arus global kontemporernya merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini
menghanyutkan nilai-nilai estetik fondasi kehidupan memberi inspirasi kepada sebagian penduduk untuk
masyarakat Desa Manukaya yang dipresentasikan melalui membuka kios yang menjual makanan, minuman dan
pusaka budaya Pura Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta cenderamata di sekitar areal Pura Tirta Empul (Ardika,
Empul menggugat akar budaya manusia yang 2007).
diterminasinya kepada filosofi, jatidiri, dan pandangan Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan
hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, orientasi masyarakat Manukaya ke masa depan. Harapan
selalu dibayangi oleh kekuatan globalisasi (Atmaja, 2008). tersebut selain didukung oleh potensi-potensi internal,
Oleh karena itu, ideologi selalu melatarbelakangi penilaian juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi
tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti Pura internal bersumber dari masyarakat itu sendiri karena
Tirta Empul sebagai tempat suci ikut bergeser dan adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi
didekonstruksi. Dekonstruksi ideologi membongkar dan memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada
membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan keadaan sebelumnya. Sementara faktor-faktor eksternal
pergerakan zaman. Dekonstruksi di sini dimaksudkan di antaranya adalah program-program pemerintah dalam
membongkar kemapanan sedemikian rupa, sehingga bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja budaya
menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan pariwisata. Rendahnya pendapatan petani dari hasil
tanpa makna akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat pertanian, pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan
dengan pandangan hipersemiotika yang dikembangkan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya
oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna. adalah menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di
Dekonstruksi merupakan satu pendekatan kunci luar sektor pertanian, khususnya sektor pariwisata.
postmodernisme terhadap pengetahuan, karena
mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang 4. Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya
terjadi dalam budaya kontemporer (Featherstone, 2005 : Pura Tirta Empul di Desa Manukaya pada
14). awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan
Idelogi yang mendasari komodifikasi Pura Tirta untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan
Empul dalam konteks pariwisata global merujuk dan masa kini Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi
mengarah pada ideologi pasar. Hal ini terjadi karena ada yang mengarah komersialisasi karena ditata untuk
kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut Sifullah
kebudayaan Pura Tirta Empul termotivasi melahirkan (1994 : 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan
kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban modernitas yang telah diubah menjadi hubungan
masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri komersial. Kepentingan kapitalisme menjadikan Pura
kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Pura Tirta Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual.
Empul yang semula merupakan tempat suci, kemudian Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi
merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Kedua Pura Tirta Empul dalam penampilannya, yakni objek,
sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan
saling melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing- akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan
masing. Sekat yang menjadikan Pura Tirta Empul sebagai komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi
tempat suci dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan selera pasar.
atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan Berdasar kan asumsi dasar menge nai
kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan keterkaitan antara komoditas Pura Tirta Empul dengan
ekonomi. kehidupan sosial budaya masyarakat, maka Pura Tirta
Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Empul sebagai produk budaya manusia merupakan hasil
Desa Manukaya pada umumnya, antara lain adalah kebudayaan dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-
meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya lapangan unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara

53
unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, cenderung mengarah pada pergeseran nilai yang dilakukan
dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling oleh masyarakat dalam memproduksi dan
berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan
bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan pasar. Gejala komodifikasi seperti dialektika sakral dan
saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau profan atau degradasi kesucian menjadikan Pura Tirta
kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu kesatuan Empul hadir dalam bentuk tampilan yang indah, namun
secara menyeluruh (Bagus, 1975). perlahan-lahan dan pasti kesakralan diabaikan. Bentuk-
Pariwisata merupakan kegiatan yang secara bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak
langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, proses produksi, distribusi, dan konsumsi, sebagai satu
sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat kesatuan. Produksi dan distribusi bentuk komodifikasi
setempat. Bahkan pariwisata mempunyai energi pura dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri dan secara
pendobrak yang kuat dan mampu membuat masyarakat kelembagaan dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar, di
setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan mana Pura Tirta Empul yang sebelumnya bukan
maupun ke arah penurunan (degradasi) dalam berbagai komoditas kemudian diperlakukan sebagai komoditas
aspek. yang diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan
Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993 : ekonomi.
26) muncul karena industri pariwisata melibatkan tiga hal, Dampak komodifikasi Pura Tirta Empul adalah
yaitu wisatawan, masyarakat setempat, dan hubungan implikasi yang kuat berkaitan dengan bergesernya nilai
wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul magis-religius. Komodifikasi Pura Tirta Empul
apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya.
ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan Dampak terhadap aspek sosial ekonomi adalah
membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan meningkatnya taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat
sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa Desa Manukaya. Uang yang diperoleh dari penyedaiaan
hubungan yang informal dan tradisional menjadi fasilitas wisata kepada wisatawan dikembalikan kepada
konsumsi ekonomi. Pengusaha pariwisata mengubah adat dan tradisi, seperti pelaksanaan upacara-upacara
sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi keagamaan ser ta sarana dan prasarana yang
komersial, dan (3) wisatawan dan masyarakat bertatap mendukungnya. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara
muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan agama secara lebih teratur dan berkualitas, di samping
munculnya ide-ide baru. memperbaiki pura sesuai dengan kemampuan ekonomi
Terkait dengan penelitian ini, dampak masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata budaya cenderung kurang menguntungkan karena telah
global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak terjadi komersialisasi tempat suci. Komersialisasi tempat
dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi suci dapat mengakibatkan bergesernya atau menurunnya
dalam masyarakat tidak terjadi seketika, tetapi melalui nilai-nilai religius tempat suci tersebut.
proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap Daftar Pustaka
kehidupan sosial budaya masyarakat Manukaya cenderung Abdullah, Irwan, 2007. Konstruksi dan Reproduksi
bersifat negatif yang dapat mendatangkan kerugian, Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya Adorno, Theodor. 1991. The Culture Industry : Selected Essay
identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci on Mass Culture Routledge : London.
serta munculnya gejala hiperspiritualitas. Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis, Praktik Penerapan dan
Implikasinya. Yogyakarta : Penerbit Kreasi
5. Kesimpulan Wacana.
Althusser, L. 2004. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis,
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat
Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan).
ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Komodifikasi
Yogyakarta : Jalasutra.
Pura Tirta Empul telah mengalami proses sejarah yang
Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large : Cultural
panjang, diawali dengan adanya gejala komodifikasi yang

54
Dimensions of Globalization. London : Routledge. Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta : Yayasan Obor
Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Indonesia.
Denpasar : Pustaka Larasan. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya
Astra, I Gede. Semadi. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer
dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Gramedia.
Global” Dalam Politik Kebudayaan dan Indentitas Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper Realitas Kebudayaan.
Etnik. Denpasar. Fakultas Sastra Universitas Yogyakarta : LKIS.
Udayana dan Bali Mangsi Press. ______. 2006a. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui
Atmaja, Nengah Bawa. 2008. “Ideologi Tri Hita Karana – Batas-batas Kebudayaan. Bandung : Percetakan
Noeliberalisme = Vilanisasi Radius Suci Pura Jalasutra.
(Perspektif Kajian Budaya”) Dalam Dinamika ______. 2006b. ”Cultural Studies dan Posmodernisme” :
Sosial Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Isyu, Teori, dan Metode” hal. 19-34. vol. 3
Sastra Unud. No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3
Bagus, I Gusti Ngurah. 1971. “Kebudayaan Bali” Dalam Kajian Budaya Universitas Udayana.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal 279- Pitana, I Gede. 2006, “Industri Budaya dalam Pariwisata
299. Jakarta : Penerbit Jambatan. Bali : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi dan
_______. 1975. Bali Dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar. Konservasi Kebudayaan”. Dalam Bali Bangkit
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik Kembali. Kerjasama Departemen Kebudayaan
(terjemahan : Tim Kunci Cultural Studies dan Pariwisata Republik Indonesia dan
Centre). Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Universitas Udayana.
Pustaka). Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies
Baudrillard, Jean P. 1981. For Critique fot The Political Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta :
Economy of the Sign. United States : Telos Press. Pustaka Pelajar.
Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Richard, G. 1996. “Production and Consumption of
Cambridge : Polity. European Cultural Tourism”. Dalam Annal of
Coover, C. et.al. 1993. Tourism Principles and Pratice. London Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283.
: Pitman Publishing. Sedyawati, Edi, 2002. “Pembagian Peranan dalam
Darmadi, IGN. Eka. 2006 “Pariwisata Antara Pengelolaan Sumberdaya Budaya” dalam
Kewirausahaan dan Kewirabudayaan”. Jurnal Manfa at Sumbe rd aya Arkeo logi U ntuk
Kajian Budaya. Vol. 3. No. 5. Januari. Hal. 67-87. Memperkokoh Integrasi Bangsa . Denpasar : PT.
Fairclough N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge Upada Sastra
: Polity Press. ________, 2007. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni,
Featherstone, Mike, 1991. Consumer Cultural and Post dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Modernism. London. Sage Publication. Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di
_______. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen Pedesaan”, dalam Majalah Prima, No. x, Edisi
(terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Juli, hal. 32-41.
Geriya, I Wayan. 1993 “ Model Interaksi Kebudayaan dan Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop,
Industri Pariwisata Pada Masyarakat Bali”. Memetakan Lanskop Konseptual “Cultural
Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Studies” (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit
Denpasar : PT. Upada Sastra. Qalam.
_______. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki ______. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.
Abad XXI. Surabaya: Penerbit Paramita. Pengantar Paling Komprehensif Teori dan Metode
Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity. (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.
Cambridge : Polity Press. Strinati, Dominic. 2007. Popular Cultural : Pengantar Menuju
Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Note Books. Teori Budaya Populer (Terjemahan). Yogyakarta.
New York : International Publisher. Penerbit Jejak.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi
Modern , dari Posmodermisme, Teori Kritis,
Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta :
Pustaka Indonesia Satu.

55

Anda mungkin juga menyukai