Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA PURA TANAH LOT SEBAGAI DAYA

TARIK WISATA DI DESA BERABAN, KECAMATAN KEDIRI, TABANAN


Cultural Resource Management of Pura Tanah Lot at Beraban Village, Kediri
District, Tabanan Regency

A.A. Rai Sita Laksmi


Fakultas Sastra Universitas Warmadewa
Jl. Terompong No. 24, Denpasar 80239
Email: rsitalaksmi@yahoo.com

Naskah diterima: 18-06-2014; direvisi: 21-08-2014; disetujui: 30-10-2014

Abstract
Threats to the existence of cultural heritage as a tourist attraction in Bali is an important global
issue which gained public attention. One of the cultural heritage in Bali that attracts tourists is
Pura Tanah Lot. This study aims to identify and understand the process and benefits of cultural
heritage management of Pura Tanah Lot as a tourist attraction. Data were collected by observation,
interview, and documentation. Data were analyzed through data reduction, data presentation, and
conclusion. The results show, the process of cultural heritage management of Pura Tanah Lot as a
tourist attraction performed by pangempon, includes planning, implementation, monitoring, and
evaluation. The management of Pura Tanah Lot as a tourist attraction is able to bring economic
benefits, preservation of cultural heritage, and development of tourism industry.
Keywords: management, pura tanah lot, cultural heritage, tourist attraction.

Abstrak
Ancaman eksistensi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Bali merupakan isu global yang
penting mendapat perhatian publik. Salah satu warisan budaya Bali yang menarik kunjungan
wisatawan adalah Pura Tanah Lot. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan memahami
proses dan manfaat pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis
melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan,
proses pengelolaan Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata dilakukan oleh pangempon,
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Pengelolaan Pura Tanah Lot
sebagai daya tarik wisata bermanfaat ekonomi, pelestarian warisan budaya, dan pengembangan
industri kepariwisataan.
Kata kunci: pengelolaan, warisan budaya, pura tanah lot, daya tarik wisata.

PENDAHULUAN tahun 1913 melalui pendirian Dinas Purbakala


Warisan budaya merupakan bukti (Oudheikundig Dienst) oleh Pemerintah
kehidupan manusia masa lalu yang mengandung Belanda. Pada tahun 1931, pengelolaan atau
nilai dan makna simbolik, informatif, estetik, perlindungan warisan budaya diatur dalam
dan ekonomi (Ardika 2007, 9) yang dapat Monumenten Ordonantie Stb. Nomor 238
dijadikan inspirasi penguatan jati diri bagi Tahun 1931, di antaranya memuat larangan
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. mengekspor benda-benda purbakala tanpa
Kesadaran pemerintah di Indonesia dalam izin Dinas Purbakala. Pengelolaan warisan
mengelola warisan budaya telah muncul sejak budaya dipertegas dalam Undang-Undang

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 207
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
Dasar (UUD) 1945 pasal 32 yang menyebutkan sekitar warisan budaya, sekaligus memberikan
bahwa usaha kebudayaan harus menuju ke arah keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan
kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian
tidak menolak bahan baru dari kebudayaan warisan budaya (Ardika 1993, 13-17). Namun
asing yang dapat memperkembangkan pada sisi lain, hal tersebut dapat mengancam
kebudayaan bangsa serta mempertinggi derajat keberadaan warisan budaya, seperti pencurian
kemanusiaan. Sejalan dengan dinamika dan dan perdagangan warisan budaya (Sutaba 1991,
kebutuhan hukum masyarakat, pemerintah 2), tertutupnya akses menuju situs warisan
menetapkan Undang-Undang (UU) Nomor budaya akibat pembangunan sarana pariwisata,
5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya terdesaknya eksistensi warisan budaya untuk
yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 11 kepentingan pariwisata (Mardika et.al. 2010,
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 1 UU 37, 129), bahkan dapat menimbulkan konflik
Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pengelolaan seperti yang terjadi di Tanah Lot.
pengelolaan cagar budaya adalah upaya terpadu Warisan budaya Pura Tanah Lot yang
untuk melindungi, mengembangkan, dan memiliki nuansa spiritual yang unik didukung
memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan oleh pura-pura lainnya dan berpadu dengan
pengaturan, perencanaan, pelaksanaan, keindahan alam sehingga telah menjadi daya
dan pengawasan untuk sebesar-besarnya tarik wisata sejak tahun 1971. Pada tahun 2000-
kesejahteraan rakyat. 2011 ketika daya tarik wisata Tanah Lot dikelola
Pengelolaan warisan budaya di Bali oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV
dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat Aryjasa Wisata, dan Desa Pakraman Beraban,
karena warisan budaya Bali bersifat living Pura tanah Lot mendapatkan pembagian hasil
monument. Perhatian masyarakat Bali terhadap pengelolaan 5% yang dibagi dengan pura-
warisan budaya juga tercermin pada Peraturan pura di kawasan Tanah Lot. Pembagian ini
Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2001 tentang dirasakan kecil oleh pangempon Pura Tanah
Desa Pakraman. Pasal 5 menyebutkan bahwa Lot jika dibandingkan dengan biaya oprasional
tugas desa pakraman adalah membina dan yang dihabiskan. Oleh karena itu pada tahun
mengembangkan nilai-nilai budaya. Dalam 2010, pangempon Pura Tanah Lot mengajukan
konteks pembangunan kepariwisataan, UU permohonan kenaikan pembagian retribusi
Nomor 10 Tahun 2009 menyebutkan bahwa kepada Badan Pengelola. Atas perjuangan
daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang dilakukan, Pura Tanah Lot mendapatkan
yang memiliki keunikan, keindahan, dan pembagian hasil sejumlah 7,5% pada tahun
nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, 2011.
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi Pemaparan di atas menggambarkan
tujuan kunjungan wisatawan. Daya tarik wisata bahwa ada dua hal penting yang perlu
di Bali yang paling dominan bagi wisatawan mendapat perhatian. Pertama, warisan
adalah keunikan dan keragaman warisan budaya Pura Tanah Lot sebagai titik sentral
budaya. Menurut Ardika, 61 % wisatawan yang pengembangan daya tarik wisata Tanah Lot
berkunjung ke Bali ingin menikmati keunikan memiliki tata cara pengelolaan tersendiri yang
budaya, 32% disebabkan oleh keindahan alam, dilakukan oleh pengempon pura. Pengempon
dan sisanya mencari hal-hal lain (Ardika 2007, pura tampak merasakan ketidakadilan atas
79). hasil yang diterima sehingga menuntut
Pengembangan daya tarik wisata kenaikan pembagian hasil retribusi kepada
yang memanfaatkan warisan budaya telah desa pakraman. Kedua, tata cara pengelolaan
memberikan efek ganda, yaitu pada satu sisi warisan budaya Pura Tanah Lot oleh pengempon
mendorong tumbuhnya usaha pariwisata di pura akan berimplikasi terhadap eksistensi Pura

208 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)
Tanah Lot dan masyarakat sekitarnya. Mengacu di lingkungan warisan budaya. Kemudian,
kepada kedua hal tersebut, pengelolaan warisan masyarakat diharapkan dapat menggunakannya
budaya Pura Tanah Lot yang menyangkut sebagai referensi dalam mengkonstruksi budaya
tata cara pengelolaan dan implikasi tata cara dalam pengelolaan warisan budaya sebagai
yang dilakukan menjadi sangat penting dalam daya tarik wisata di wilayahnya.
penelitian ini. Dalam pembahasannya, penelitian ini
Dalam konteks penelitian ini, terdapat dua menggunakan teori praktik dari Pierra-Felik
hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, Bourdieu, teori diskursus kekuasaan dan
warisan budaya Pura Tanah Lot sebagai titik pengetahuan dari Michel Foucault, serta teori
sentral daya tarik wisata mengalami proses tindakan komunikatif dari Jurgen Habermas.
dalam pengelolaannya. Hal ini tampak dari Dalam teori praktik, Bourdieu menyatakan
ketidakpuasan pangempon Pura Tanah Lot atas bahwa praktik merupakan gabungan habitus,
pembagian hasil pengelolaan yang diterima modal, dan ranah. Praktik adalah produk dari
sehingga pangempon pura menuntut kenaikan relasi antara habitus sebagai produk sejarah
pembagian hasil retribusi. Kedua, pengelolaan dan ranah yang juga sebagai produk sejarah.
warisan budaya Pura Tanah Lot sebagai daya Praktik terdapat di dalam ruang dan waktu di
tarik wisata memiliki fungsi bagi masyarakat mana waktu dikonstruksi secara sosial dan
maupun bagi warisan budaya. Oleh karena itu, gerakan individu atau kelompok dalam ruang
penelitian ini memiliki dua permasalahan yang sosial. Habitus adalah suatu sistem disposisi
dibahas, yaitu bagaimana proses dan manfaat yang berlangsung lama dan berubah-ubah
pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot yang berfungsi sebagai basis generatif bagi
sebagai daya tarik wisata. praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu
Secara umum, penelitian ini bertujuan secara obyektif. Modal merupakan sebuah
untuk mengetahui dan memahami fenomena konsentrasi kekuatan yang beroperasi di dalam
pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot ranah (Harker et.al. 2009, xvii-xx). Menurut
sebagai daya tarik wisata di Desa Beraban. Bourdieu, jenis-jenis modal yang menjadi
Secara khusus, penelitian ini bertujuan pertaruhan dalam arena adalah modal ekonomi,
mengidentifikasi dan mendeskripsikan proses sosial, budaya, dan simbolik (Mutahir 2011,
pengelolaan warisan budaya Pura Tanah 68-69). Ranah diartikan sebagai jaringan relasi
Lot, serta mengidentifikasi dan memahami antarposisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan
manfaat pengelolaan warisan budaya Pura sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan
Tanah Lot. Secara teoritis, penelitian ini kehendak individual. Teori praktik digunakan
diharapkan bermanfaat bagi pengembangan untuk membedah pengelolaan warisan budaya
wawasan keilmuan yang komprehensif tentang Tanah Lot sebagai sebuah ranah atau arena
pengelolaan warisan budaya dan menambah bagi pangempon pura untuk memperjuangkan
referensi bagi peneliti yang mendalami kepentingan-kepentingannya.
pengelolaan warisan budaya. Secara praktis, Dalam teori kekuasaan dan pengetahuan
manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan menurut Foucault, pengetahuan selalu
gambaran dan pemahaman tentang proses dan berkaitan dengan kekuasaan dan keduanya
manfaat pengelolaan warisan budaya Pura saling menguatkan satu sama lain (Foucault
Tanah Lot sebagai daya tarik wisata. Gambaran 2002, 23). Pengetahuan terbentuk di dalam
tersebut dapat digunakan pemerintah sebagai praktik kekuasaan (Barker 2004, 83). Lebih
acuan dalam menentukan kebijakan pengelolaan lanjut, Foucault mengatakan bahwa pola
warisan budaya. Sementara itu, industri hubungan kekuasaan tidak berasal dari
pariwisata dapat menggunakannya sebagai penguasa atau negara, kekuasaan tidak
pedoman pengembangan usaha pariwisata dapat dikonseptualisasikan sebagai milik

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 209
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
individu atau kelas, dan kekuasaan bukanlah METODE
komoditas yang dapat diperoleh atau diraih. Penelitian ini berlokasi di Desa Beraban
Kekuasaan bersifat jaringan dan menyebar luas Kecamatan Kediri, Tabanan. Pemilihan lokasi
kemana-mana (Foucault 2007, xxxvii; Sarup dilandasi pertimbangan bahwa secara geografis,
2011, 112). Foucault melihat fakta bahwa wilayah Desa Beraban memiliki warisan budaya
pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata yang
dan melahirkan obyek pengetahuan baru langsung maupun tidak langsung berimplikasi
dan sebaliknya, pengetahuan menciptakan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Jenis
pengaruh-pengaruh kekuasaan. Kekuasaan data yang dikumpulkan adalah data kualitatif
tidak mungkin dijalankan tanpa pengetahuan, berupa informasi dan keterangan-keterangan
dan pengetahuan tidak mungkin tidak mengenai pengelolaan warisan budaya Pura
melahirkan kekuasaan (Sarup 2011, 113). Tanah Lot. Sumber data yang digunakan adalah
Teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan sumber data primer yang berasal dari informan,
digunakan untuk menganalisis diskursus atau yaitu orang-orang yang memberikan informasi
pernyataan-pernyataan yang terkait dengan berkaitan dengan pengelolaan warisan budaya
pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot Pura Tanah Lot. Sumber data sekunder berupa
sebagai daya tarik wisata. sumber data yang telah ada sebelumnya, seperti
Teori tindakan komunikatif dari Habermas buku, jurnal, teks, artikel dalam media masa,
menyatakan bahwa dalam tindakan komunikatif, dan hasil-hasil penelitian yang sudah maupun
pihak-pihak yang bicara memaknai hal yang yang belum dipublikasikan (Subagio 1999, 87;
sama dengan ekspresi tertentu, apa yang mereka Ratna 2010, 142-143).
katakan adalah bisa dipahami pendengar, Instrumen penelitian merupakan alat yang
proposisi mereka adalah benar, masing-masing digunakan untuk mengumpulkan data (Nawawi
bersikap tulus dan siap menjalankan kewajiban 1992, 74). Instrumen utama penelitian ini adalah
demi pencapaian konsensus. Mereka datang peneliti karena peneliti sebagai perencana,
untuk memahami satu sama lain melalui proses pelaksana pengumpul data, penganalisa,
dialog di mana mereka saling mendengarkan. penafsir data, dan penghasil sebuah penelitian.
Tindakan komunikatif ini bisa dimungkinkan Dalam pengumpulan data, peneliti didukung
karena lawan bicara memiliki lifeword berupa juga oleh instrumen lain, seperti pedoman
asumsi latar belakang yang sama, suatu cakrawala wawancara, buku catatan, dan kamera digital.
berupa kepercayaan bersama, dan tidak Pengumpulan data dilakukan melalui observasi
dipermasalahkan dalam konteks solidaritas sosial atau pengamatan langsung, wawancara, dan
(Edkins dan Williams 2010, 248-249). Teori dokumentasi. Teknik wawancara dilakukan
tindakan komunikatif Habermas digunakan dengan bebas terpimpin terhadap tokoh-tokoh
untuk memahami pengelolaan warisan pangempon pura, pamangku, dan tokoh-tokoh
budaya Pura Tanah Lot melalui tindakan masyarakat.
interaktif yang dilakukan pangempon pura Analisis data menggunakan analisis
secara cerdas sehingga keinginan pangempon kualitatif melalui tiga alur kegiatan, yaitu
pura mampu mendapatkan tanggapan dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan
desa pakraman dan Pemerintah Kabupaten kesimpulan (Miles dan Huberman 1992, 17-
Tabanan. Sebaliknya, pangempon pura dan 19; Emzir 2010, 129-135). Reduksi data
desa pakraman mau menerima kebijakan dari dilakukan dengan pemilahan, penyederhanaan,
pemerintah setelah semua pihak duduk bersama pengabstrakan, dan pentransformasian data
dan mengadakan dialog untuk menghasilkan yang berasal dari catatan-catatan tentang
kesepakatan bersama. pengelolaan Pura Tanah Lot. Penyajian data
dilakukan dalam bentuk teks naratif dengan

210 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)
menyeleksi dan menyederhanakan informasi Artinya:
yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk 3. Tiba-tiba beliau melihat orang
agar mudah dipahami. Penarikan kesimpulan menangkap ikan di pesisir laut mereka
dilakukan melalui peninjauan kembali catatan- diberi tahu sebagai perantara oleh
catatan lapangan untuk mengetahui proses Danghyang Niratha, disuruhnya seluruh
dan manfaat pengelolaan warisan budaya Pura masyarakat desa itu mendirikan tempat
Tanah Lot sebagai daya tarik wisata. pemujaan, di atas batu karang yang sangat
suci.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Tempat pemujaan itu diberi nama
Gambaran Umum pakendungan, bertempat di tengah laut
Daya Tarik Wisata Warisan Budaya Pura keadaannya sangat utama, hingga turun
Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan temurun itu disebut sad kahyangan, dari
Kediri, Kabupaten Tabanan. Pura Tanah Lot permulaan itu diciptakan oleh Danghyang
dibangun di atas onggokan batu karang di tengah Niratha (Ardika 1993, 12).
laut, berada pada koordinat 08°37’16.25” Berdasarkan kutipan tersebut, Danghyang
Lintang Selatan dan 115°05’12.43” Bujur Nirartha mendirikan tempat pemujaan di
Timur. Pura Tanah Lot berada di tengah laut atas batu karang yang terletak di tengah laut
ketika air laut pasang, dan menyatu dengan dan diberi nama Pura Pakendungan. Namun
daratan ketika air laut surut. kenyataannya, pura yang berada di tengah
Sejarah pendirian Pura Tanah Lot laut disebut Pura Tanah Lot, sedangkan Pura
dikaitkan dengan perjalanan Danghyang Pakendungan merupakan pura subak yang
Nirartha di Bali. Pura Tanah Lot dibangun terletak di daratan, sebelah barat laut Pura
sekitar abad ke-15 sampai 16 oleh Danghyang Tanah Lot. Terjadinya perubahan nama dari
Nirartha, seorang brahmana Budha yang Pakendungan menjadi Tanah Lot belum
beralih menjadi brahmana Siwa yang berasal diketahui secara jelas. Pura Pakendungan yang
dari Kediri, Jawa Timur (Sastrodiwiryo 1999, disebutkan dalam Dwijendra Tatwa adalah Pura
133). Dalam perjalanannya dari Desa Gading Tanah Lot sekarang (Ardika 1993, 12).
Wani menuju Desa Mas, Danghyang Nirartha Berdasarkan strukturnya, Pura Tanah Lot
mendirikan beberapa pura, salah satunya adalah terdiri dari dua halaman, yaitu halaman luar
Pura Tanah Lot (Ardika 1993, 12). Pendirian atau jabaan dan halaman dalam atau jeroan.
Pura Tanah Lot disebutkan juga dalam Lontar Halaman luar merupakan halaman terbuka
Dwijendra Tatwa pupuh XIV bab 3-4 dengan tanpa tembok, tetapi merupakan area suci
kutipan sebagai berikut. karena tidak semua orang diizinkan masuk ke
3. Wastu hana wong sajala hiwak ring halaman ini, kecuali melakukan sembahyang.
tepi, yekānung winarahakenira de sang Pada halaman luar, terdapat dua pintu masuk.
yatīndra, kinon sawonging desa ikang Pintu masuk di sisi timur menghadap ke barat,
gawe paryyangan, ri angraning parāngan sedangkan pintu masuk di sisi utara menghadap
lwih pawitranya, ke selatan. Halaman dalam dibatasi oleh tembok
4. Kungan inaran paryyangan keliling dan terdapat beberapa bangunan atau
pakendungan aneng tngah ing lod pelinggih (gambar 1).
ungguwa lwih uttama tmen, kawuwus Halaman dalam terdapat benda warisan
tkeng wkas tnger ika twi sad kahyangan budaya berupa menhir dan fragmen lingga.
saking hyunira ... Mpu Danghyang Menhir merupakan tinggalan tradisi megalitik
Nirartha ika (Lontar No. 514 Kropak berupa batu tegak, kasar, dan belum digarap,
No.293, Perpustakaan Fakultas Sastra tetapi diletakkan oleh manusia dengan sengaja
UNUD) di suatu tempat sebagai meda penghormatan,

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 211
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
Keterangan :
1. Bale Pawedan 8. Pelinggih Ratu Mekel Agung
2. Piyasan 9. Pelinggih Ratu Mekel Alit
3. Pelinggih Ratu Mekel 10. Pelinggih Ratu Panglurah
4. Meru Tumpang Tiga 11. Bale Saka Pat
5. Piyasan 12. Pelinggih Apit Lawang
6. Meru Tumpang Lima 13. Pelinggih Beji
7. Pelinggih Ratu Mekel Lingga 14. Beji Sunia
Gambar 1. Bangunan di Pura Tanah Lot.
(Sumber: Dokumen pribadi)

menjadi takhta kedatangan roh, dan menjadi


lambang dari orang-orang yang diperingati
(Soejono 1975, 200). Menhir di Pura Tanah
Lot terletak pada Palinggih Ratu Lingga yang
berfungsi sebagai media pemujaan untuk
memohon keselamatan (gambar 2).
Lingga merupakan tinggalan zaman
klasik yang umumnya terdiri dari tiga bagian,
yaitu bagian bawah berbentuk segi empat
sebagai simbol Dewa Brahma, bagian tengah
berbentuk segi delapan sebagai simbol Dewa
Wisnu, dan bagian atas berbentuk bulat sebagai
simbol Dewa Siwa (Linus 1980, 141). Fragmen Gambar 2. Batu Berdiri di Pura Tanah Lot.
lingga di Pura Tanah Lot terdapat di Palinggih (Sumber: Dokumen pribadi)

212 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)
Ratu Mekel Agung yang berbentuk segi delapan bertugas untuk menjaga alam dan kesucian
dan berfungsi sebagai media pemujaan untuk Pura Tanah Lot (http://sunjanatanahlot.com).
mendapatkan kesuburan. Selain Pura Tanah Air suci merupakan sumber mata air yang
Lot, kawasan Tanah Lot juga memiliki beberapa terdapat di bawah Pura Tanah Lot. Pada sisi
pura lain yang posisinya berada di pinggir utara, tempat ini disebut Goa Air Suci, berupa
pantai, berjajar dari timur ke barat (gambar 3). air tawar atau beji tabah dan merupakan tirta
pebersihan atau panglukatan yang berfungsi
untuk membersihkan diri secara lahir dan batin.
Pada sisi selatan, air suci terletak di bawah tebing,
berupa air asin atau beji segara yang berfungsi
sebagai pengobatan dan diyakini masyarakat
dapat menyembuhkan penyakit. Kepercayaan
masyarakat terhadap air suci yang mengandung
kekuatan magis telah muncul sejak masa Bali
Kuna, yaitu air merupakan sumber kehidupan
atau fons vitae yang selanjutnya di Bali disebut
tirtha. Keindahan alam merupakan faktor yang
mempengaruhi kedatangan wisatawan ke Tanah
Lot, berupa pemandangan laut yang dibingkai
tebing batu karang, keindahan matahari terbenam
yang dilihat dari tebing batu karang, dan area
pertamanan yang luas dan terawat.

Keterangan: Proses Pengelolaan Warisan Budaya Pura


1. Pura Tanah Lot Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata
2. Pura Penataran Pengelolaan warisan budaya Pura Tanah
3. Pura Jero Kandang
4. Pura Ejung Galuh
Lot sebagai daya tarik wisata merupakan upaya
5. Pura Batu Bolong terpadu untuk melindungi, mengembangkan,
6. Pura Taman Sari dan memanfaatkan warisan budaya sebagai
7. Pura Batu Mejan daya tarik wisata melalui pengaturan,
8. Pura Pakendungan perencanaan, dan pengawasan untuk sebesar-
9. Pura Hyang Api
: Sungai
besarnya kesejahteraan rakyat. Pengelolaan
: Jalan Raya tersebut sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun
: Pura 2010 tentang Pengelolaan Cagar Budaya.
Gambar 3. Posisi Pura Tanah Lot dan Pura-pura lain di Dalam konteks penelitian ini, proses
Kawasan Tanah Lot. pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot
(Sumber: Dokumen pribadi) tidak terlepas dari pengelolaan daya tarik
Kawasan Tanah Lot juga memiliki warisan wisata Tanah Lot yang dimulai sejak tahun
alam yang memiliki nilai konservasi, seperti ular 1971. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan
suci, air suci, dan keindahan alamnya. Ular suci pada tahun 2014, pengelolaan daya tarik wisata
adalah sekelompok ular yang hidup di dalam Tanah Lot dapat diklasifikasi menjadi empat
gua di sisi utara pantai Tanah Lot. Ular tersebut periode, yaitu periode tahun 1971-1984 yang
berwarna hitam dan putih sehingga sering dikelola oleh perseorangan yaitu I Putu Pager
disebut lelipi poleng. Berdasarkan legenda, ular sebagai kooordinator (Pujani 2000, 93), periode
tersebut adalah bekas selendang Danghyang tahun 1984-2000 yang dikontrakkan kepada
Nirartha yang dikutuk menjadi ular poleng dan swasta yaitu CV Aryjasa Wisata (Suantina

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 213
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
1998, 43), periode tahun 2000-2011 yang Lot dan Pura Pakendungan mengajukan surat
dikelola dengan kolaborasi antara Pemerintah permohonan kepada Pemerintah Kabupaten
Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Tabanan untuk mengontrak daya tarik wisata
Desa Pakraman Beraban (Laksmi 2003, 197), Tanah Lot. Namum, permohonan itu ditolak
dan periode tahun 2011 sampai sekarang (2014) oleh pemerintah dengan alasan masa kontrak
yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten dengan pihak swasta masih berlangsung
Tabanan dan Desa Pakraman Beraban. Sebagai (Suantina 1998, 43).
warisan budaya masa lalu, Pura Tanah Lot Pada tahun 2000, daya tarik wisata
secara turun temurun dikelola oleh pangempon Tanah Lot dikelola oleh Pemerintah Kabupaten
Pura Tanah Lot, yaitu mereka yang mempunyai Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Desa
ikatan lahir dan batin terhadap pura tersebut, Pakraman Beraban. Saat itu, warisan budaya
serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan Pura Tanah Lot mendapatkan pembagian
dan pelaksanaan upacara di pura. Berdasarkan hasil pengelolaan daya tarik wisata Tanah Lot
informasi Ketua Pangempon Pura Tahan Lot, sejumlah 5% yang dibagi bersama pura-pura
I Ketut Adnyana pada tanggal 6 Juni 2013, lain di kawasan Tanah Lot (Laksmi 2003,
jumlah pangempon Pura Tanah Lot sekitar 197). Kecilnya pembagian hasil pengelolaan
500 kepala keluarga (KK) yang tersebar di yang diberikan kepada warisan budaya Pura
seluruh Bali. Tugas pangempon pura antara Tanah Lot menyisakan persoalan berupa
lain melakukan aci di pura setiap hari, menjaga, ketidakpuasan pangempon Pura Tanah Lot.
memelihara, membersihkan, memperbaiki Pada tahun 2010, pangempon Pura Tanah Lot
kerusakan pura, dan melaksanakan piodalan. mengajukan permohonan kenaikan pembagian
Dalam pelaksanaan piodalan, pangempon pura retribusi kepada badan pengelola daya tarik
melibatkan Desa Pakraman Beraban, 14 orang wisata Tanah Lot. Permohonan pangempon
panyade, dan 120 orang pemangku di Desa Pura Tanah Lot terkait kenaikan pembagian
Baraban. Selain itu, Pura Tanah Lot juga sangat hasil retribusi berkembang menjadi wacana di
erat kaitannya dengan Puri Kediri Tabanan, dan kalangan pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat
upacara piodalan akan dimulai apabila keluarga Beraban yang melahirkan gagasan bahwa
Puri Kediri sudah berada di Pura Tanah Lot. pengelolaan Tanah Lot harus dilakukan hanya
Warisan budaya Pura Tanah Lot oleh desa pakraman dan pemerintah. Gagasan
sebagai titik sentral daya tarik wisata Tanah tersebut ditindaklanjuti dengan membentuk
Lot mempunyai arti penting sehingga wajib Tim Perjuangan yang mengajukan rekomendasi
dilestarikan. Upaya pelestarian warisan budaya kepada pemerintah agar pengelolaan daya
ini terlihat sejak pengelolaannya dilakukan oleh tarik wisata Tanah Lot hanya dilakukan oleh
Putu Pager yang pengembangannya dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa
dengan tetap menjaga kesucian Pura Tanah Pakraman Beraban dengan pembagian hasil
Lot. Pembangunan sarana dan prasarana pun 50%:50%. Rekomendasi Tim Perjuangan
dilakukan tanpa menghalangi pemandangan mendapat dukungan dari pemuda Beraban, tiga
dari jalan utama menuju Pura Tanah Lot. Pada partai politik (PDIP, GOLKAR, dan Demokrat)
tahun 1984 ketika daya tarik wisata Tanah Lot di Desa Beraban, dan pangempon Pura Tanah
dikelola oleh CV Aryjasa Wisata melalui sistem Lot.
kontrak, perkembangan Tanah Lot sangat Tuntutan masyarakat Beraban mendapat
pesat, baik dari pembangunan sarana prasarana tanggapan dari pemerintah yang menyatakan
maupun jumlah kunjungan wisatawan. Namun, bahwa pengelolaan daya tarik wisata tetap
pangempon Pura Tanah Lot tidak pernah dilakukan seperti semula, yaitu dengan
dilibatkan dalam pengelolaannya. Oleh karena melibatkan CV Aryjasa Wisata, tetapi dengan
itu pada tahun 1989, pangempon Pura Tanah catatan bahwa pembagian retribusi untuk CV

214 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)
Aryjasa Wisata ditunda sampai ada keputusan modal ekonomi. Proses pengelolaan warisan
lebih lanjut. Pernyataan pemerintah mendapat budaya juga tidak terlepas dari kekuasaan
respon dari masyarakat Beraban, termasuk dan pengetahuan. Kekuasaan tidak hanya ada
pangempon Pura Tanah Lot. Dalam hal ini, pada negara, pemerintah, dan DPRD sebagai
pangempon Pura Tanah Lot mengadakan penentu kebijakan, tetapi juga berada pada
rapat khusus yang digelar pada 31 Maret desa pakraman yang memiliki hak mengelola
2011. Rapat tersebut memutuskan antara lain wawidangan-nya dan pangempon pura yang
akan mengadakan Pasamuan Agung untuk memiliki hak atas warisan budaya yang di-
merencanakan penutupan akses masuk ke empon-nya. Melalui kekuasaan atau hak yang
nista mandala Pura Tanah Lot, kecuali untuk dimiliki pangempon pura, tercipta pengetahuan
sembahyang (Bali Post 2011). Terkait dengan untuk menuntut kenaikan pembagian retribusi.
pembagian hasil, pangempon Pura Tanah Lot Demikian pula sebaliknya, pengetahuan
meminta pembagian 20% dari keuntungan yang dimiliki pangempon pura menciptakan
pengelolaan daya tarik wisata Tanah Lot (Bisnis kekuasaan dengan merencanakan penutupan
Bali 2011). akses menuju nista mandala Pura Tanah Lot.
Setelah melalui proses panjang melalui Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault
dialog interaktif para pihak, yaitu Pemerintah tentang kekuasaan dan pengetahuan. Menurut
Kabupaten Tabanan, DPRD, desa pakraman, Foucault, pelaksanaan kekuasaan menciptakan
CV Aryjasa Wisata, dan pangempon Pura Tanah dan melahirkan obyek pengetahuan baru
Lot, akhirnya dihasilkan kesepakatan bahwa dan sebaliknya, pengetahuan menciptakan
pengelolaan daya tarik wisata Tanah Lot hanya pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pengetahuan, kekuasaan tidak mungkin
dan Desa Pakraman Beraban. Kesepakatan dijalankan dan pengetahuan tidak mungkin
itu dituangkan dalam perjanjian kerja sama tidak melahirkan kekuasaan. Walaupun telah
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan
Pakraman Beraban Nomor 12 tahun 2011/ antara pemerintah, CV Aryjasa Wisata, dan
Nomor 358/DPBRB/XI/2011, tertanggal masyarakat, semuanya dapat diselesaikan
17 November 2011. Perjanjian tersebut melalui tindakan komunikatif di mana para
menyepakati pembagian hasil pengelolaan pihak duduk bersama melakukan dialog untuk
daya tarik wisata Tanah Lot sebesar 60% untuk mendapatkan konsensus demi kepentingan
pemerintah dan 40% untuk desa pakraman. bersama. Hal ini sejalan dengan pandangan
Pembagian 40% untuk desa pakraman Habermas tentang tindakan komunikatif,
didistribusikan sebesar 7,5% untuk warisan yaitu masing-masing bersikap tulus dan siap
budaya Pura Tanah Lot, 4% untuk pura-pura menjalankan kewajiban demi pencapaian
di kawasan Tanah Lot, dan 4,5% untuk desa konsensus. Mereka datang untuk memahami satu
pakraman se-Kecamatan Kediri. sama lain melalui proses dialog di mana mereka
Paparan sebelumnya menggambarkan saling mendengarkan.
bahwa proses pengelolaan warisan budaya
Pura Tanah Lot merupakan ranah untuk Manfaat Pengelolaan Warisan Budaya Pura
memperebutkan modal ekonomi berupa Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata
peningkatan pembagian retribusi. Hal tersebut Pengelolaan warisan budaya Pura Tanah
sejalan dengan pandangan Bourdieu tentang Lot memberikan manfaat ekonomi, pelestarian
praktik, di mana modal merupakan sebuah warisan budaya, dan pengembangan industri
konsentrasi kekuatan yang beroperasi di kepariwisataan. Pertama, manfaat ekonomi
dalam ranah. Jenis-jenis modal yang menjadi pengelolaan warisan budaya Pura Tanah Lot
pertaruhan dalam arena di antaranya adalah dapat dicermati dari manfaat bagi pangempon

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 215
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
pura, Desa Pakraman Beraban, dan Pemerintah Kabupaten Tabanan. Sebagaimana ditetapkan
Kabupaten Tabanan. Manfaat bagi pangempon dalam perjanjian kerja sama, Pemerintah
Pura Tanah Lot berupa pembagian hasil Kabupaten Tabanan mendapatkan pembagian
pengelolaan daya tarik wisata sejumlah hasil pengelolaan daya tarik wisata Tanah
7,5% setiap bulan atau berkisar antara Rp. Lot sejumlah 60%. Dana yang diperoleh
150.000.000 - Rp. 200.000.000. Dana tersebut dimanfaatkan antara lain untuk menunjang
dikelola oleh pangempon pura dan digunakan pembangunan fisik dan nonfisik di Kabupaten
untuk pemeliharaan dan perbaikan pura, Tabanan.
pelaksanaan aci setiap hari, penjagaan, dan Kedua, manfaat pelestarian warisan
biaya upacara atau piodalan. Upacara piodalan budaya Pura Tanah Lot dapat dicermati dari
di Pura Tanah Lot dilakukan setiap enam sifatnya yang berupa living monument atau
bulan, yaitu pada hari Buda Wage Langkir dan masih difungsikan dalam kehidupan masyarakat
menghabiskan dana sekitar Rp. 100.000.000- pendukungnya. Warisan budaya Pura Tanah
Rp. 150.000.000 setiap enam bulan. Melalui Lot sebagai titik sentral pengembangan daya
dana hasil pengelolaan daya tarik wisata Tanah tarik wisata Tanah Lot sangat menguntungkan
Lot, pangempon pura tidak lagi mengeluarkan bagi eksistensinya. Masyarakat secara umum
dana sendiri untuk keperluan Pura Tanah Lot dan pangempon pura secara khusus dengan
sehingga sangat membantu meringankan beban sadar telah melakukan pelestarian secara
sosial yang dihadapi. Berdasarkan informasi berkesinambungan. Hal ini berarti pelestarian
ketua pangempon Pura Tanah Lot, I Ketut warisan budaya Pura Tanah Lot dilakukan
Toya Adnyana, sisa dana yang terkumpul dari generasi ke generasi dengan melakukan
dimanfaatkan juga untuk investasi melalui pelestarian secara konvensional, yaitu dengan
pembelian tanah untuk laba Pura Tanah Lot. cara-cara tradisional seperti pengamanan
Sampai saat ini, Pura Tanah Lot memiliki laba dengan pintu masuk pura yang terkunci,
pura 60 are yang dibeli dari pembagian hasil larangan memasuki area pura tanpa izin
pengelolaan Tanah Lot. pangempon pura, dan adanya piket pamangku
Manfaat pengelolaan warisan budaya dan penjagaan oleh pacalang secara bergiliran.
Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata bagi Pelestarian dilakukan juga dengan perbaikan
Desa Pakraman Beraban berupa peningkatan dan perawatan pura, seperti membersihkan
kesejahteraan Desa Pakraman Beraban. Hal ini halaman dan lingkungan pura.
tampak dari pembagian hasil pengelolaan daya Ketiga, manfaat pengembangan industri
tarik wisata yang diperoleh desa pakraman pariwisata dapat dicermati dari jumlah
sejumlah 24% setiap bulan. Pada tahun 2013, kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata
Desa Pakraman Beraban menerima pendapatan Tanah Lot yang tinggi. Hal ini telah mendorong
sekitar Rp. 8.400.000.000. Dana yang diperoleh perkembangan industri pariwisata, seperti usaha
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam APBDES kepariwisataan yang saling terkait dalam rangka
dan selanjutnya dikelola untuk kepentingan menghasilkan barang atau jasa bagi pemenuhan
pembangunan di desa pakraman. Dalam hal kebutuhan wisatawan. Perkembangan usaha
ini, krama desa tidak lagi mengeluarkan biaya kepariwisataan di Tanah Lot cukup pesat,
untuk pembangunan desa sehingga dana yang seperti meningkatnya jumlah restoran,
dimiliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penginapan, artshop, dan pedagang makanan
keluarga masing-masing. yang secara langsung dan tidak langsung telah
Manfaat pengelolaan warisan budaya membuka peluang usaha yang terkait dengan
Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata kepariwisataan. Jumlah kunjungan wisatawan
bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan berupa yang tinggi di Tanah Lot telah memberi peluang
peningkatan pendapatan asli daerah Pemerintah juga bagi travel, guide, dan usaha garmen yang

216 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)
berkembang di luar Desa Beraban. Ketiga Edkind, Jenny dan William Nick Vaughan, eds. 2010.
manfaat pengelolaan warisan budaya Pura Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan
Tanah Lot sebagai daya tarik wisata sejalan Utama Studi Politik Internasional.
dengan pengembangan daya tarik wisata yang Yogyakarta: Baca.
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif
memanfaatkan warisan budaya yang mempunyai
Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo
efek ganda, sebagaimana dikemukakan Ardika
Persada.
(1993, 13-17), yaitu pada satu sisi mendorong Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode
tumbuhnya usaha pariwisata di sekitar warisan Karya-Karya Penting Fuocault. Yogyakarta:
budaya sekaligus memberikan keuntungan Jalasutra.
ekonomi bagi masyarakat dan pada sisi lainnya _____________. 2007. Order of Thing: Arkeologi
meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta:
warisan budaya. Pustaka Pelajar.
Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes.
KESIMPULAN 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, Pengantar Paling Komprehensif kepada
Pemikiran Piere Bourdieu. Yogyakarta:
terdapat dua simpulan yang dapat ditarik.
Jalasutra.
Pertama, proses pengelolaan warisan budaya
Laksmi, A.A. Rai Sita. 2003. “Pengelolaan
Pura Tanah Lot sebagai daya tarik wisata Pariwisata Berbasis Masyarakat: Studi
yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan, Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban,
pengawasan, dan evaluasi dilakukan oleh Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.”
pangempon pura. Pelaksanaan kegiatan Tesis, Program Magister Kajian Budaya,
upacara tertentu dibantu oleh pamangku Program Pascasarjana Universitas Udayana.
dan Desa Pakraman Beraban. Kedua, Linus, I Ketut. 1980. “Lingga Yoni di Pura Entapsai
manfaat pengelolaan warisan budaya Pura Bali, Sebuah Laporan Pendahuluan.” Dalam
Tanah Lot sebagai daya tarik wisata adalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) I.
manfaat ekonomi bagi pangempon pura, desa Mardika, I Nyoman, I Made Mardika, dan A.A.
Rai Sita Laksmi. 2010. Pusaka Budaya:
pakraman, dan pemerintah; manfaat pelestarian
Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan
warisan budaya berupa pemeliharaan,
Konservasi di Kota Denpasar. Denpasar:
perawatan, dan perlindungan warisan budaya Bappeda Pemerintah Kota Denpasar.
Pura Tanah lot; dan manfaat pengembangan Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992.
industri kepariwisataan, yaitu meningkatkan Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
perkembangan usaha kepariwisataaan, seperti Mutahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre
art shop, penginapan, restoran, dan usaha yang Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan
lainnya. Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana.
Nawawi, Hadari. 1992. Instrumen Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
Ardika, I Wayan. 1993. “Dampak Pariwisata University Press.
terhadap Situs Peninggalan Arkeologi di Pujani, Luh Putu Kerti. 2000. “Pekerja Anak pada
Bali.” Laporan Penelitian, Fakultas Sastra Sektor Informal Penjual Post Card di Objek
Universitas Udayana, Denpasar. Wisata Tanah Lot, Tabanan, Bali: Studi
_________________. 2007. Pusaka Budaya dan tentang Pemaknaan Kerja dalam Perspektif
Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan. Budaya Kewiraswataan.” Tesis, Program
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Praktik. Yogyakarta: PT. Bentang Budaya. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian
Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pengelolaan Warisan Budaya Pura Tanah Lot sebagai Daya Tarik Wisata 217
di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan
A. A. Rai Sita Laksmi
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar Sutaba, I Made. 1991. Pelestarian Peninggalan
untuk Memahami Postrukturalime dan Purbakala dalam Pembangunan
Posmodernime. Yogyakarta: Jalasutra. Berwawasan Budaya. Denpasar: Fakultas
Sastrodiwiryo, Soegiono. 1999. Perjalanan Sastra Universitas Warmadewa.
Danghyang Niratha: Sebuah Dharmayatra Lontar Dwijendra Tatwa. Lontar No. 514 Kropak
(1478-1560) dari Daha sampai Tambora. No.293. Koleksi Perpustakaan Fakultas
Denpasar: PT Bali Post. Sastra. Universitas Udayana.
Soejono, R.P. 1975. Jaman Prasejarah di Indonesia. Peraturan Pemerintah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
Jilid I dari Sejarah Nasional Indonesia. 2001 tentang Desa Pakraman.
Jakarta: Balai Pustaka. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Suantina, I Made. 1998. “Implementasi Program 1945.
Privatisasi dalam Mencapai Keberhasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Kepariwisataan.
Daerah Tingkat II Tabanan.” Tesis, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Universitas 17 Agustus 1945. Cagar Budaya.
Subagio, P. Joko. 1999. Metode Penelitian dalam Bali Post, 1 April 2011.
Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Bisnis Bali, 2 April 2011.
http://sunjanatanahlot.com.

218 Forum Arkeologi Volume 27, Nomor 3, November 2014 (207 - 218)

Anda mungkin juga menyukai