Terdapat berbagai macam cara untuk mengungkap rasa syukur atas hasil yang diraih,
seperti yang dilakukan oleh masyarakat Moncongloe, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Mereka melakukan sebuah tradisi adu betis yang sudah dilakukan secara turun temurun, atau
biasa dikenal Mappalanca atau Malanca.
Setiap pria tua ataupun muda saling unjuk kekuatan betis mereka dengan menendang
betis satu sama lain. Tak luput sorak sorai para penonton semakin memeriahkan kegembiraan
pasca panen ini. Meski terbilang ekstrim lantaran tanpa menggunakan pengaman, kegiatan itu
menjadi hiburan tersendiri bagi warga.
Mallanca digelar selama empat jam dari siang hingga menjelang sore. Sebelum melaksanakan
adu betis, para peserta sudah mempersiapkan diri dengan melakukan ritual dan menjampi-
jampi bagian betisnya.
Mereka meyakini, ritual yang mereka lakukan akan menghindarkan mereka dari petaka.
Pasalnya, tidak jarang warga yang mengalami patah tulang saat mengadu betisnya dengan
lawannya. Tidak ada pemenang dalam tradisi ini. Nilai patriotisme serta kebersamaan lebih
ditonjolkan dalam adu betis ini.
Tradisi ini biasa dilakukan usai panen raya dan dilaksanakan dalam bentuk pesta syukuran,
atau biasanya biasanya dilakukan setiap bulan Agustus bertepatan pula dengan hari
kemerdekaan Indonesia.
Tapi pada dasarnya, Mappalanca hanya lah satu bagian dari serangkaian pesta menyambut
masa panen. Selain Mappalanca, warga juga melaksanakan upacara Akdengka Ase Lolo
(upacara tumbuk padi) dan juga acara Paraga (sepak takraw).
Sebelum memulai ritual, makan yang dibawa warga, akan disantap bersama, dan dilakukan
pembacaan doa dari pemuka agama setempat, dan juga para tokoh adat.
Menurut salah seorang tokoh adat, Nurdin, hal tersebut merupakan adat turun temurun yang
terus diwariskan. "Ini sebagai bentuk syukur dan ajang berkumpul warga di sini. Karena
sebelum memulai ritual, kami makan bersama dulu sebagai salah satu bentuk kebersamaan
atas limpahan hasil bumi yang ada," ungkap Nurdin.
Meski terbilang ekstrim lantaran tanpa menggunakan pengaman, kegiatan itu menjadi
hiburan tersendiri bagi warga. Beberapa daerah di Sulawesi Selatan masih melestarikan
tradisi turun temurun ini dimana setiap tahun sebelum atau sesudah panen tiba, masih bisa
ditemukan.
Dalam tradisi ini, warga pada dasarnya menyatukan kegembiraan, suka cita dan
mengekspresikannya sebagai pertanda syukur kepada penguasa alam