Anda di halaman 1dari 15

EKSISTENSI PEMENTASAN WAYANG KULIT PARWA SUKAWATI

PADA ERA GLOBALISASI


I Nyoman Sudanta
Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya
Universitas Hindu Indonesia

ABSTRAK
Artikel ini mengkaji tentang eksistensi Wayang Kulit Parwa Sukawati di Era
Globalisasi. Bertahannya wayang kulit Parwa Sukawati pada era Globalisasi meliputi
faktor sebagai berikut yakni: (1) Tumbuh Daya Kreativitas dan Inovasi Para Dalang
Wayang Kulit Parwa Sukawati Dalam Menghadapi Era Globalisasi, yaitu
berkembangnya kreativitas para dalang, namun kekhasan pementasan Wayang Kulit
Sukawati yang lebih menonjolkan nilai filosofis dalam kemasan pementasannya, (2)
Wayang Parwa Sukawati banyak diminati wisatawan manca negara yang memiliki
peranan transformatif pada kesenian ini melalui beragam prototipe yang kemudian
dikenal hingga ke Mancanegara, (3) Wayang Kulit Parwa Sukawati mampu beradaptasi
menghadapi perkembangan era globalisasi.

Kata Kunci: Eksistensi, Wayang Kulit Parwa, Globalisasi

This article examines the existence of Sukawati Parwa Leather Puppets in the Era of
Globalization. The survival of Sukawati Parwa leather puppets in the Globalization era
includes the following factors: (1) Growth of Creativity and Innovation Power of
Sukawati Puppet Puppets in the Face of Globalization Era, namely the development of
puppeteers' creativity, but the peculiarities of Sukawati Wayang Kulit performances that
emphasize philosophical values in its staging package, (2) Wayang Parwa Sukawati is in
great demand by foreign tourists who have a transformative role in this art through a
variety of prototypes which became known to foreign countries, (3) Sukawati Wayang
Kulit able to adapt to the development of the globalization era.

Keywords: Existence, Parwa Leather Puppet, Globalization

I. PENDAHULUAN
Bali sebagai barometer pariwisata dunia berimplikasi pada terjadinya sentuhan dan proses
dialektika dari berbagai macam budaya luar baik yang bersifat tradisi maupun modern.
Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah daerah Bali sebagai steakholder atas
pembangunan budaya dan pemertahanan kearifan lokal Bali sejak awal telah
mencanangkan jenis pariwisata yang berkembang di daerah Bali yaitu pariwisata budaya
yang dijiwai oleh agama Hindu dan kekhasan yang dimiliki disebabkan reputasi pulau
Bali sebagai surya pariwisata (Picard 2006 dan Ardika 2007).
Khasanah seni budaya dengan adat istiadat dan kepercayaan setempat yang
berbeda, tentu mempunyai karakteristik religiusitas sebagai keunikan dan wujud
kreatifitas, baik dalam bentuk maupun sistem kepercayaannya. Realitas ini sebagai salah
satu bukti bahwa peradaban masa lalu yang mengagumkan, merupakan salah satu
komponen yang membuat pulau Bali memiliki nama harum sampai ke kancah

VIDYA WERTTA
127
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
internasional. Realitas tersebut, merupakan kebanggaan bagi masyarakat, mengingat di
sisi lain hal tersebut dapat memeberikan inspirasi dalam kehidupan estetik dan religius.
Hal itu dapat dibuktikan melalui berbagai aktifitas masyarakat salah satunya melalui
kegiatan berkesenian sebagai rutinitas yang kerap dilaksanakan masyarakat Bali.
Dari berbagai dimensi kesenian yang mengidentitas pada masyarakat Bali terdapat
sebuah kegiatan seni yang dapat dikatakan sebagai ikon atas transformasi sosio religius
masyarakat Hindu di Bali. Kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, yang telah dikenal
masyarakat Bali sebagai salah satu media transformasi ajaran Hindu yang kerap
dipentaskan ketika upacara keagamaan baik dalam tatananan spiritualnya sebagai
Kesenian Sakral, maupun dalam dimensi Profan yang sarat dengan nilali religious melalui
tutur (filsafat religius) dari Sang Dalang yang terintegrasi melalui penggalan epos Hindu
seperti Ramayana dan Mahabarata.
Sehubungan dengan pandangan tersebut, tentunya wayang kulit sebagai salah satu
media transformasi religius bersifat tradisional memiliki peranan penting dalam
interpretasi ajaran Hindu sebagaimana telah diterima masyarakat Bali saat ini. Hal ini
didasari atas berbagai temuan yang memuat tentang eksistensi Wayang Kulit sebagai
salah satu kegiatan seni tradisional yang sangat diminati masyarakat sejak jaman
terdahulu. Berbagai bukti otentis menyatakan bahwa wayang kulit memiliki peranan
penting dalam perkembangan peradaban masyarakat bali ditandai dari ditemukannya
tulisan berupa prasasti yang memuat tentang wayang sebagai salah satu media pemujaan
pada saat tersebut.
Prasasti Bebetin yang berangka tahun 896 Masehi. Adapun isi prasasti tersebut
adalah sebagai berikut:
...pande emas, pande besi, pande temaga pemukul (juru tabuh bunyi-bunyian),
pegending (biduan), pabunjing (penari), parpadaha (juru gupek), pabangsi
(juru rebab), pertapukan (topeng-tapel), perbwayang(wayang)………..turut
Dipanglapuan di Singamandawa (dibuat oleh pegawai di Singamandawa)
dibulan beka (bulan ke X), hari pasaran Wijayamanggala, tahun saka 818 (896
Masehi) yaitu pada pemerintahan Raja Ugrasena di Bali, (Bandem 1976:3)

Berdasarkan sumber tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pementasan Wayang


Kulit telah lama dikenal masyarakat Bali sebagai sebuah media pertunjukan yang bersifat
sakral (religius), maupun sebagai sebuah hiburan yang dapat dinikmati masyarakat dalam
beberapa kesempatan. Hal ini menandakan bahwa Wayang Kulit memiliki arti penting
sebagai sebuah media komunikasi, mengingat melalui pementasannya masyarakat atau
penonton memperoleh pesan-pesan religius sebagai landasan berpikir yang tersirat dari
babak-babak pementasan sebagaimana disampaikan dengan apik oleh seorang dalang.
Sehubungan dengan keberadaan Wayang Kulit khususnya pementasan wayang
kulit Parwa tentunya terdapat demikian banyak masalah krusial yang berkaitan erat
dengan masih bertahannya kesenian ini dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam
mempertahankan kesenian ini, banyak didapati adanya pembaharuan terhadap bentuk
ataupun struktur baik melalui pola pementasan, daya kemas, maupun piranti yang
digunakan dalam pementasannya. Dengan kata lain, modernisasi memiliki pengaruh kuat
terhadap masyarakat sehingga hal-hal yang bersifat tradisionalpun hendak di revitalisasi
melalui unsur-unsur modern. Beberapa bentuk gerakan globalisasi yakni revolusi dan
pengaruh prilaku konsumtifitas, hegemoni dan modernitas yang berimplikasi pada
paradigma berpikir masyarakat terhadap esensialisme estetika kontemporer.
Terbukti dewasa ini masyarakat seakan hanyut dalam arus deras media modern,
dan meninggalkan pola kehidupan tradisi yang adi luhung. Dalam situasi ini telah terjadi
pergeseran dan kekaburan budaya. Buktinya tradisi dan budaya lokal ditinggalkan dan

VIDYA WERTTA
128
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
masyarakat beralih pada prilaku hidup yang mengedepankan modernitas dan teknologi
sebagai kebutuhannya. Sehubungan dengan hal tersebut, kesenian wayang kulitpun tidak
kuasa mempertahankan diri dari pengaruh kehidupan global yang dominan dibentuk oleh
teknologi kontemporer. Dalam keadaan ini seniman dalang akan berusaha mengkemas
pertunjukkannya setara dengan kebutuhan masyarakat global. Contohnya, banyak
pertunjukkan wayang kulit dikemas dengan rekayasa teknologi dan mengedepankan
dialog-dialog humor bahkan berbau porno. Jadi pementasan wayang kulit sekarang
cenderung seperti lawak atau humoris. Semua dilakukan dengan tujuan agar penonton
bisa tertawa, karena pementasan dikatakan gagal apabila tidak ada penonton yang
tertawa.
Era globalisasi telah memaksa tradisi berkesenian klasik berubah, bahkan
meninggalkan bentuk aslinya. Tentunya menjadi masalah pelik ketika masyarakat mulai
jauh dari salah satu tradisi khususnya Wayang Kulit yang telah lama menjadi media
transformasi religius. Hal tersebut dilaksanakan guna mempertahankan popularitas
kesenian ini dari semakin melemahnya daya tonton masyarakat untuk menikmati
kesenian wayang. Melemahnya keinginan masyarakat umum dalam menikmati
pementasan wayang menjadi salah satu indikasi dari modifikasi wujud pementasan
wayang kulit yang dulunya sarat akan nilai estetika dan filosofis menjadi sebuah tontonan
komersial yang sarat dengan banyolan.
Dibia (1995 51-68) dalam artikelnya yang berjudul “Dari Wacak ke Kocak”,
menyoroti terjadinya pergeseran pergelaran wayang dari tuntunan menjadi tontonan.
Pementasan wayang pada jamanya Dalang Granyam Sukawati tahun 1950 sampai dengan
tahun 1960an sungguh sangat mantap mecelek (bermakna) dan wacak (analitis).
Sedangkan di jaman sekarang sudah menjadi guyu dan kocak. Pergeseran ini terjadi
bersamaan dengan melemahnya mutu kesenian lainya sejalan dengan perkembangan
masyarakat modern yang lebih menuntut efisiensi. Hal senada juga menjadi salah satu
nilai jual dari kesenian wayang yang populer dengan ikon “Cenk-Blonk” merupakan
sebuah trobosan dengan dalih untuk mempertahankan kesenian wayang tanpa
menghilangkan nilai estetika dalam pementasan, namun telah memodifikasi sakralitas dan
tradisionalitas pementasan wayang kulit menjadi sesuatu yang berbau humoris dengan
nuansa modern.
Namun dibalik semakin maraknya perombakan yang terjadi dalam dunia
pewayangan Bali baik melalui faham pementasan inovatif dan pembaharuan lain yang
saat ini sedang gencar digiatkan seniman wayang, terdapat sebuah pemandangan menarik
yang ditunjukkan oleh salah satu paham atau pakem pewayangan Bali yang sampai saat
ini masih tetap eksis dengan bertahan pada sisi klasik religius dari pementasan wayang
tersebut. Wayang Kulit Parwa Sukawati atau lebih akrab dikenal dengan julukan wayang
pakem Sukawati adalah salah satu model pementasan wayang kulit Bali yang telah
memiliki citra khusus dimata masyarakat khususnya penikmat pementasan wayang di
Bali. Sebagai salah satu dari sekian banyak model atau pakem pewayangan, pakem
Sukawati dikatakan sebagai salah satu pementesan yang berhasil menggabungkan bagian
integral dalam pementasan wayang seperti gending, tabuh, tetikes, tanjek dan sebagainya
menjadi satu kesatuan yang harmonis sehingga banyak digunakan sebagai dasar untuk
mencari proporsi pementasan yang menarik.
Sebagaimana umum diketahui bahwa dewasa ini pementasan wayang Kulit Bali
telah mengalami evolusi menjadi wayang kulit Bali Modern yang ditandai melalui
semakin banyaknya seniman wayang yang mengadopsi teknologi modern dan gaya
kemas modern untuk meningkatkan nilai jual dari pementasan ini, tidak berpengaruh pada
pakem pewayangan Sukawati yang justru mempertahankan kekhasannya sebagai salah
satu pementasan wayang tradisional. Hal ini dapat dilihat melalui demikian banyak

VIDYA WERTTA
129
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
dalang yang tetap memilih naturalitas dari pementasan wayang Bali sebagai identitasnya.
Terkait dengan hal diatas, almarhum Ketut Madra mengatakan bahwa Wayang
Kulit Parwa Sukawati mempunyai ciri yang khas yaitu pementasannya diikat oleh
gending gender, (Bandem 1981:6). Pertunjukan wayang kulit sukawati dengan kekhasan
nada suara, tandak (bebaturan) dan struktur pementasan masih bertahan sampai saat ini.
Selain itu, Wayang Kulit Parwa Sukawati dalam pertunjukkannya masih menggunakan
kelengkapan tradisional seperti bentuk gambelan, Damar Blencong, dan beberapa
kelengkapan lainnya. Tentunya menjadi venomena yang menarik untuk disimak, ketika
pakem Pewayangan Sukawati masih tetap bertahan dengan kualitas klasikal yang menjadi
karakteristiknya di tengah semakin maraknya seniman dalang yang mulai berbondong-
bondong membangun pencitraan baru dengan mengadopsi modernisasi kedalam
struktural pementasan Wayang Kulit Bali.

Berdasarkan atas fenomena sebagaimana telah disampaikan melalui latar


belakang tersebut menjadi alasan mendasar terkait dilaksanakannya penelitian lebih lanjut
terhadap kesenian Wayang Kulit Parwa Sukawati.

I. PEMBAHASAN

1.1 Tumbuhnya Kreativitas dan Inovasi Para Dalang Wayang Kulit Parwa
Sukawati dalam Menghadapi Era Global
Tumbuhnya kreativitas dan inovasi para dalang adalah kegiatan yang dilakukan
oleh para dalang Wayang Kulit Parwa Sukawati dalam wujud garapan-garapan kreatif
dan inovasi yang menjadi kekhasan bagi setiap dalang sesuai dengan kemampuanya
masing-masing. Dengan demikian setiap dalang telah melakukan karya kreatif yang dapat
menambah perbendaharaan karya-karya kreatif para dalang Wayang Kulit Parwa
Sukawati pada era globalisasi
Dalam menumbuhkan kreatifitas dan inovasi para dalang Sukawati melakukan
pembaharuan adegan dengan menambahkan garapan-garapan baru untuk memperkuat
sumber aslinya, sehingga karyanya akan tampil lebih indah dan menarik sesuai dengan
perkembangan seni pewayangan pada era globalisasi.
Para dalang Sukawati yang aktif melakukan kreativitas dan inovasi dalam dunia
pewayangan adalah dalang I Wayan Wija yang berasal dari Banjar Babakan, Desa
Sukawati. Dengan kemampuan dan latar belakang pembelajaran yang sangat kuat, begitu
juga masa belajar untuk menekuni dunia pewayangan di Sukawati sangat panjang, dengan
sabetan, tetikesan dan olah vokal, menyebabkan dalang I Wayan Wija merasa terpancing
untuk melakukan garapan karya baru dalam seni pewayangan sehingga Wayang Kulit
Parwa Sukawati tetap eksis pada era globalisasi ini.
Adapun kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh dalang I Wayan Wija adalah:
a) lelampahan yang sudah dikembangkan dengan memasukkan filosofi, kritik, saran
sehingga pertunjukkan lebih komunikatif. b) tatikesan, yaitu suatu gerak tari wayang
seperti tarian rebong yang digarap dengan estetis yang menyerupai tari legong,
disesuaikan dengan alunan tabuh gender perebongan dihiasi pukulan cepala. c)
Kreativitas adegan perang panakawan sangut dengan merdah yang memasukan unsur
pertarungan tinju, sehingga memancing ketawa penonton. d) Kreativitas dalam bentuk
wayang, I Wayan Wija banyak membuat bentuk wayang baru seperti binatang, raksasa,
tokoh panakawan, semua bentuk wayang diciptakan untuk memperkuat dan memperkaya
pertunjuka Wayang Kulit Parwa Sukawati. Sehubungan dengan hal tersebut I Wayan
Wija mengatakan:

VIDYA WERTTA
130
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
“Saya berusaha menampilkan karya terbaru saya namun tidak terlepas dari pakem
tradisi Wayang Kulit Parwa Sukawati, seperti Wayang Kaca Sinar Maya, karya
saya sendiri. Saya mengkemas dengan baik menjadi seni pertunjuka wayang yang
menyatu dan serasi” (wawancara dengan dalang I Wayan Wija , 05 Juli 2015)

Terkait dengan garapan prototife wayang sinar maya garapan dalang I Wayan
Wija dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Pementasan Wayang Kaca Sinar Maya oleh I Wayan Wija


(Dok I Nyoman Sudanta, 2015)

Uraian di atas menunjukan kreativitas seni dalang I Wayan Wija dalam


pementasannya sebagai usaha mempertahankan eksistensi Wayang Kulit Parwa Sukawati
pada era globalisasi agar tidak ketinggalan zaman.
Selanjutnya kreativitas dalang I Made Juanda yang juga kelahiran Banjar
Babakan, Desa Sukawati, dengan umur yang masih muda sebagai murid kesayangan dari
dalang I Ketut Madra (almarhum), ia cukup mampu untuk berkreativitas dan berinovasi.
Dalang muda I Made Juanda beraliran Wayang Kulit Parwa klasik versi Sukawati.
Kreativitas yang menonjol yang dilakukan oleh dalang I Made Juanda yaitu tabuh
pengiring dengan batel gender. Hal tersebut dilakukan I Made Juanda agar nuansa
pewayangan parwa masih tampak jelas dan tidak terkesan seperti pertunjukan Wayang
Kulit Ramayana. Selain iringan gambelan, pendalaman filsafat juga menjadi kreativitas
dari dalang I Made Juanda. Terkait dengan tersebut, ia juga mengatakan sebagai berikut.
“Saya menggunakan pengiring tabuh batel, agar dalam pementasan Wayang Kulit
Parwa Sukawati tidak terkesan sepi, dengan kedengaran lebih ramai sehingga
masyarakat tertarik untuk menonton, setidaknya para dalang Wayang Kulit Parwa
Sukawati masih mampu beraktivitas pada era globalisasi ini”(wawancara dengan I
Made Juanda, 16 Juli 2015).

Usaha yang dilakukan oleh dalang I Made Juanda dengan menggunakan tabuh
pengiring batel gender, dengan harapan mampu menarik minat penonton sudah barang

VIDYA WERTTA
131
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
tentu untuk mempertahankan eksistensi Wayang Kulit Parwa Sukawati. Usaha tersebut di
atas membutuhkan pemikiran yang profesional sehingga dalam pertunjukannya mampu
membius sirkulasi kekurangtahuan masyarakat dalam ranah kreativitas dengan kemasan
yang menarik. Kondisi ini ternyata yang dimaksudkan oleh Dalang Sija sebagai sebuah
konsep yang diistilahkan dengan Guru loka. Hal ini dinyatakan dalam wawancaranya,
seperti sebagai berikut:
Seorang dalang hendaknya mampu menjadi guru loka dalam masyarakat. Guru loka
yang dimaksud adalah mempelajari semua ilmu pengetahuan, tentang Brahmana
Tatwa, kepemimpinan, politik, pertanian, perdagangan, nelayan, seluruh aspek
kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, mampu memberikan tuntunan dalam
memaknai kehidupan beragama, memberikan contoh langsung dalam kehidupan
sehari-hari, mentaati konsep dan ajaran agama, berperan aktif dalam kehidupan
religius, mampu memberikan pandangan-pandangan dalam kehidupan berdasarkan
ajaran agama, menyampaikan pesan moral dan spiritual dalam pementasan, dan
mampu mempertahankan nilai luhur dari kehidupan budaya masyarakat,
(wawancara dengan dalang I Made Sija, 17 Juli 2015).

Pernyataan tersebut bisa digunakan sebagai alasan mengapa Wayang Kulit


digunakan sebagai media transformasi nilai religius dan kebudayaan yang kerap
digunakan sebagai media transformasi dan komunikasi budaya pada generasi muda.
Pementasan Wayang Kulit merupakan media transformasi yang dalam hal ini
memberikan pandangan-pandangan sekaligus konsep ajaran Hindu kepada masyarakat.
Dengan ini secara tidak langsung masyarakat memperoleh pesan religius melalui reaksi
estetika ketika menikmati pertunjukan wayang yang sarat akan nilai-nilai kehidupan.
Keuntungan lain dari bentuk pementasan wayang kulit adalah diperolehnya tuntunan
ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari melalui pementasan dan teladan yang
ditampilkan dalam pementasan tersebut. Sekali lagi, dalam hal ini dalang sebagai
komunikator memiliki peranan penting dalam mengapresiasi dan menyajikan pementasan
yang lugas, menyentuh dan mampu diterima masyarakat sebagai sebuah renungan positif.
Dalam hubungan antara agama dan kesenian akan tampak jelas dalam sistem ritus
dan upacara, serta peralatan upacara. Terutama dalam kehidupan beragama Hindu di
Bali yang selalu berkaitan dengan ritual yang cukup besar dan penuh nilai seni. Jika
diamati secara fisik akan tampak jelas bahwa apapun yang dilakukan oleh masyarakat
Hindu Bali dalam melaksanakan ajaran agamanya adalah dengan nilai estetika atau
kesenian. Kesenian yang dilaksanakan berkaitan dengan pelaksanaan upacara agama
Hindu akan menumbuhkan emosi keagamaan sehingga umat merasakan itu sebagai hal
yang penuh nilai kesucian.
Berbagai macam pendapat tentang hubungan agama dan kebudayaan
mengindikasikan bahwa keduanya saling terkait erat. Geertz (1992:11) menekankan
pada agama sebagai sekumpulan persepsi manusia tentang simbol-simbol sakral.
Menurutnya, simbol-simbol sakral itu merubah persepsi manusia ke dalam
kecenderungan-kecenderungan akan kewajiban-kewajiban terhadap sesuatu yang dinilai
bersifat religius. Misalnya, aktivitas puasa menjadi bagian dari agama ketika digunakan
tidak sekedar untuk mengurangi berat badan, tetapi lebih ditujukan untuk sesuatu yang
bersifat pisikis atau untuk dunia yang lebih abstrak. Dalam bidang kesenian misalnya,
tugu batu (palinggih) yang dibuat indah berukir tidak saja sekedar akan bernilai seni
tinggi tetapi lebih banyak menunjukkan tentang kebesaran makna yang terkandung
dalam tugu itu sebagai tempat pemujaan kepada Tuhan.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, ternyata definisi tentang seni yang
berhubungan erat dengan kebudayaan dan agama telah beroprasi secara intens melalui

VIDYA WERTTA
132
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
penggunaan media dalam transformasinya. Dalam rutinitas religius masyarakat Bali,
aktifasi dari bentuk kesenian sebagai salah satu dari otentisitas bentuk kebudayaan dapat
disaksikan dalam ritus keagamaan. Demikian banyaknya kesenian sakral yang kerap
dilibatkan ketika diselenggarakannya upacara keagamaan merupakan keterhubungan
silang singkalut yang sebagai pencitraan masyarakat dalam mengapresiasi religi. Hal ini
memiliki kesan dan posisi tersendiri apabila bentuk kesenian tersebut dibicarakan dalam
konteks religius. Sehubungan dengan hal tersebut, Sukayasa memberikan definisi terkait
dilibatkannya unsur kesenian dalam kehidupan masyarakat Bali. (Sukayasa, 2006 :2)
menyatakan bahwa Dalam terminologi Hindu Satyam-Siwam-Sundharam ’kebenaran-
kebajikan-keindahan’ adalah tiga dimensi Realitas Suci yang keberadaan-Nya berupa
semesta dan segala isinya. Pandangan ini adalah dasar dari sistem pemujaan masyarakat-
Hindu dalam menginterpretasi agama sebagai sebuah paham kehidupan. Dimensi
keindahan dalam hal ini berarti adalah segala sesuatu yang memiliki nilai estetik yang
dapat diberikan sebagai warna-simbol dalam pendakian spiritual termasuk aktifitas tari
sakral seperti pementasan Wayang Kulit dalam rangkaian acara agama.
Seni sakral berfungsi sebagai media yang terkonseptual di dalam rangkaian
upacara. Artinya kesenian yang bersifat sakral merupakan sesuatu bentuk estetis sebagai
perantara Bhakti yang berperan secara langsung terhadap pelaksanaan upacara. Namun
tidak semua bentuk tarian dikategorikan ke dalam konteks tersebut, terkait definisi serta
fungsionalismenya masing-masing. Berbicara mengenai eksistensi seni tari, terkait
dengan fungsinya masing-masing dapat diklasifikasi yaitu : seni wali adalah bentuk
kesenian tari yang harus ada dalam pelaksanaan upacara (yadnya) , seni bebali adalah
bentuk kesenian yang hanya berfungsi sebagai aed (pengiring) dan seni balih-balihan
adalah bentuk tarian yang mengkhusus sebagai hiburan (Bandem, 2002:87). Atas dasar
kenyataan tersebut pertunjukkan seni wayang dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu:
(1) Wayang Wali yaitu wayang yang mempunyai fungsi sebagai bagian dari keseluruhan
upacara keagamaan yang dilaksanakan. Contohnya adalah Wayang Sapuh Leger, Wayang
Sudamala. (2) Wayang Bebali yaitu: pertunjukkan wayang yang berfungsi sebagai
pengiring upacara di pura atau dalam rangkaian upacara panca yadnya. Contoh yang
termasuk rangkaian ini adalah Wayang Lemah. (3) Wayang Balih-balihan yaitu:
pertunjukkan wayang untuk tontonan untuk umum yang fungsinya di luar seni wali dan
seni bebali yang menitik beratkan pada fungsinya sebagai seni hiburan.
Terkait dengan pandangan tersebut, menunjukan bahwa kesenian sakral merupakan
salah satu bagian yang terbangun integral dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan kata
lain, Wayang Kulit Parwa sebagai salah satu bentuk pementasan wayang yang berasal
dari epos Mahabarata merupakan salah satu bentuk yang bisa dikategorikan dalam
pementasan sakral apabila seni pertunjukan wayang tersebut difungsikan dalam rangkaian
upacara keagamaan. Hal ini juga mempengaruhi eksistensi dari bentuk kesenian ini tetap
hidup dalam budaya religius masyarakat Bali karena adanya keterkaitan pelaksanaan
upacara keagamaan terhadap piranti pelengkap dari indikator kesuksesan sebuah upacara
berdasarkan konteks tatanan upacara itu sendiri.
Berkaitan dengan perihal tersebut informan I Made Sukadana seorang dalang dan
guru pedalangan di SMK N 3 (kokar) Sukawati Gianyar (wawancara tanggal 17 Juli
2015) menyatakan bahwa:
Pementasan Wayang Lemah dalam upacara keagamaan dari sekian banyak bagian
yang harus ada dalam pelaksanaan yadnya secara tidak langsung adalah merupakan
salah satu peluang supaya tetap eksisnya Wayang Kulit Parwa Sukawati. Dalam
setiap kesempatan tersebut, biasanya pementasan Wayang Lemah selalu digelar
apabila dalam rangkaian upacara menggunakan pemuput seorang Pandita.
Tingkatan penyelenggaraan upacara ini memberikan ruang lebih banyak bagi

VIDYA WERTTA
133
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
dalang untuk mengevaluasi kemampuannya sekaligus memberikan kesempatan
bagi generasi muda dalam upaya meningkatkan kemampuannya dalam menjalani
aktifitas sebagai dalang untuk pelestarian kesenian Wayang Kulit Parwa Sukawati.

Jadi berdasarkan atas pandangan tersebut di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa kegiatan seni berupa pementasan Wayang adalah sebuah realita keagamaan yang
senada dengan pergerakan kebudayaan sebagai sebuah perpaduan yang demikian erat
dimana agama memberikan ruang khusus bagi kebudayaan daerah dalam mengeksplorasi
tradisinya sekaligus memdapatkan upaya penyelamatan lewat sinergi yang terkait
kedalam kehidupan ritus agama. Begitu juga dengan eksistensi Wayang Kulit Parwa
Sukawati pada era globalisasi.

1.2 Wayang Parwa Sukawati Banyak Diminati Wisatawan Manca Negara


Pengaruh yang nampak dari pesatnya pembangunan adalah terjadinya Perubahan
sosial budaya dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup
menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju
pluralisme nilai dan norma sosial merupakan salah satu dampak yang dirasakan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmadi Abu (2004 : 14) yaitu, perubahan sosial
dan budaya meliputi berbagai bidang kehidupan dan merupakan masalah bagi semua
institusi sosial seperti: industri, agama, keluarga, perekonomian, pemerintahan,
perkumpulan-perkumpulan dan pendidikan.
Untuk itu sudah selayaknya wisatawan yang datang dapat dijadikan alternatif
penggerak perekonomian sehingga menjadi sumber pendapatan dengan mengajari seni
pewayangan. Wisatawan yang berminat belajar memainkan gender, mendalang, dan juga
yang berminat membeli wayang sebagai koleksi. Dengan bersandarkan pada tatanan
tradisi, kepiawaian para dalang Sukawati untuk mementaskan seni pertunjukan wayang,
kekhasan Wayang Sukawati yang mempertontonkan olah vokal dalam tandak/ bebaturan,
gerak wayang (tetikesan) yang mengandung unsur estetis, sehingga para wisatawan yang
datang ke Sukawati merasa tertarik untuk mempelajari style pertunjukan Wayang Kulit
Parwa Sukawati. Para wisatawan tua maupun muda begitu banyak yang belajar olah
vokal untuk menjadi dalang gaya Sukawati seperti Miko Katayose, Yu Kako, pelajar
yang berasal dari negeri Sakura/Jepang ini, sudah sering bolak-balik Bali, bahkan sudah
begitu lama mengenal Wayang Kulit Sukawati. Nabuo Tani (berkewargaan Jepang),
belajar memainkan gender wayang pada I Made Juanda dengan sangat tekun sehingga ia
bisa menguasai beberapa lagu dari permainan gender tersebut. Setelah bisa memainkan
beberapa tabuh gender, Nabuo Tani lebih tertarik lagi untuk mempelajari olah vokal
untuk bisa menjadi dalang yang beraliran style Sukawati. Ia sangat tertarik untuk
mempelajari Wayang Kulit Parwa Sukawati karena masih kental dengan nuansa tradisi,
seperti yang disampaikan saat wawancara dirumah dalang I Made Juanda dengan bahasa
Indonesia tetapi masih kental dengan logat jepangnya sebagai berukut.
“Saya tertarik mempelajari Wayang Sukawati, karena pakem pementasanya sesuai
dengan struktur pementasan tradisi, begitu juga, lampu yang digunakan masih
tradisi menyebabkan bayangan wayang kelihatan bergerak, dan yang paling saya
suka kekhasan dari Wayang Kulit Sukawati adalah dengan menggunakan 4 gender,
sehingga kedengaranya tidak terlalu bising, seimbang antara vokal dalang dengan
pengiring gambelan, manis dan serasi, yang menimbulkan rasa nikmat untuk
ditonton dan didengarkan, wawancara dengan Nabuo Tani,16 Juli 2015)”.

Mahasiswa dari Inggris yang ingin mengenal Wayang Sukawati lebih dekat dengan
mempelajari wayang style Sukawati di rumah dalang I Wayan Narta. Ia belajar dari

VIDYA WERTTA
134
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
pengenalan bentuk dan nama wayang, karakter, suara dari masing-masing bentuk
wayang, dan melihat langsung bagaimana proses pembuatan bentuk Wayang Sukawati.
Untuk lebih jelasnya kegiatan mahasiswa Inggris yang belajar seni wayang dengan
dalang I Wayan Narta, bisa dilihat pada gambar dibawah ini.

Mahasiswa Asing sedang belajar seni wayang pada dalang I Wayan Narta.
(Dok I Nyoman Sudanta,2015)

Sesuai dengan pengamatan peneliti, setiap pementasa wayang saat upacara


keagamaan maupun pementasan wayang balih-balihan di malam hari, seringkali melihat
wisatawan asing yang menonton. Walaupun mereka tidak paham sepenuhnya tentang
dialog ucapan dari dalangnya, namun mereka menonton dengan hikmat dan sesekali
mengabadikan dengan kameranya. Dengan pengetahuan seni dan sistem religi yang
mereka dapatkan, dari pertunjukan organisasi sekha wayang yang pentas mampu
memberi gambaran tentang kehidupan sosial masyarakat Bali.
Organisasi Sosial, Pengetahuan, Kesenian, dan sistem Religi. Bali sebagai salah
satu daya tarik bagi wisatawan dari seluruh dunia, dan berkat keunikan- keunikan serta
keindahan-keindahan yang dimilikinya terutama pada bidang sosial budaya yang
bersumber pada ajaran Agama Hindu. Dengan adanya keunikan-keunikan serta
keindahan-keindahan tersebut mengundang para wisatawan untuk turut menikmatinya
secara langsung.
Menyadari potensi pulau Bali yang tidak mungkin lagi dikembangkan dalam
bidang pertanian dan pertambangan maka satu-satunya potensi dan pengembangan pulau
Bali adalah industri pariwisata. Oleh karena itu penanganan terhadap industri pariwisata
tersebut hendaknya terpadu jangan sampai merugikan agama dan kebudayaan rakyat Bali.

VIDYA WERTTA
135
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
Kehadiran dari para wisatawan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung
menimbulkan pengaruh-pengaruh yang positif maupun negatif dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Bali.
Sehubungan dengan beberapa pandangan tersebut, dinamisme kesenian sebagai
salah satu produk dari kebudayan Bali juga memiliki peranan penting atas perkembangan
pariwisata Bali. Dengan kata lain, kesenian tradisional seperti Wayang Kulit di Desa
Sukawati juga memiliki substansi yang signifikan sebagai salah satu kegiatan yang
berpengaruh pada pariwisata. Perkembangan tersebut dapat dilihat melalui semakin
meningkatnya permintaan pasar tentang souvenir Wayang Kulit ini. Dengan demikian,
kesenian wayang sebagai salah satu kegiatan melalui barang kerajinan juga memiliki
peranan penting tentang dimensi budaya Wayang Kulit Bali di dunia internasional.
Terkait dengan hal diatas, pariwisata dan komunikasi yang terjadi dalam dimensi
kegiatan ini telah menghantarkan sisi tradisi estetik dari Wayang kulit sehingga banyak
kemudian seniman-seniman asing yang sengaja datang untuk mempelajari baik secara
teknik, sejarah dan perkembangan wayang tradisional sebagai sebuah khasanah seni yang
Adiluhung.

1.3 Wayang Kulit Parwa Sukawati Mampu Beradaptasi Menghadapi


Perkembangan Pada Era Globalisasi
Untuk mempertahankan diri dari pengaruh globalisasi, para dalang bersama
masyarakat pendukung seni pertunjukan Wayang Kulit Parwa Sukawati mengadakan
langkah-langkah aktivitas yang bisa membuat eksisnya Wayang Kulit Parwa Sukawati
pada era globalisasi sekarang ini. Semua properti seni pewayangan, dramanisasi, vokal,
sabetan gerak wayang, permainan cepala yang kropaknya menggunakan opak-opakan
(tabing kananya Kropak dipasang agak longgar, ngontel), sehingga memudahkan para
dalang membuat ritma-ritma untuk menghidupkan tetangkisan wayang. Di sisi lain para
dalang kembali berkiblat ke pakem tradisi yang diwarisi dari dahulu, dan mengkemas
suatu cerita yang menarik, diperkuat dengan filsafat, tatwa-tatwa, tutur-tutur yang ada
hubunganya dengan kehidupan masa kini, dengan lelucon yang bersifat menghibur tetapi
juga memberi tuntunan moralitas yang adiluhung dan adiluhur. Usaha para tokoh seni
pedalangan yang juga didukung oleh pemerintah Kabupaten Gianyar dengan membentuk
Pepadi yaitu Persatuan Pedalangan Indonesia Gianyar. Sebagai Suatu wadah pembinaan
seni pedalangan di Kabupaten Gianyar. Wadah tempat berkumpulnya para dalang untuk
membicarakan dan mengusahakan tentang pelestarian dan berkelanjutanya seni
pedalangan pada masa yang akan datang.
Seiring derasnya arus globalisasi, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan
zaman, dalang I Wayan Wija mengali mutiara-mutiara yang ada pada seni Wayang Kulit
Parwa Sukawati. Dengan menciptakan bentuk wayang yang baru, gerakan wayang, vokal
yang estetis, dan instrumen pengiring adalah gambelan saih pitu. Prakarsa inovasi I
Wayan Wija sebagai inspirasi pada dalang muda lainya di Sukawati. Dengan karya-karya
inovasi sebagai bentuk adaptasi terhadap era globalisasi, maka dalang muda I Ketut
Sudiana (putra I Wayan Narta) berkarya dengan garapan bernama Wayang Plastik.
Wayang plastik I Ketut Sudiana yang berupa karya inovasi berhubungan dengan garapan
ujian meraih gelar Magister Ilmu Seni pada Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Adaptasi
era global juga diikuti I Wayan Mardika (putra almarhum I Ketut Madra) dengan
garapanya memakai layar lebar, lampu penerang listrik dan LCD, sehingga mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman. Semua proses adaptasi para dalang yang
diuraikan di atas, tidak terlepas dari kekhasan Wayang Sukawati dengan lakon yang
bersumber dari cerita Mahabharata.
Uraian tersebut diatas membuktikan bahwa Wayang Kulit Parwa Sukawati

VIDYA WERTTA
136
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
mampu beradaptasi menghadapi perkembangan era globalisasi.
Dengan kegiatan rutinitas yang diselenggarakan para dalang di Desa Sukawati
untuk mencetak generasi dalang baik dari kaum tua, kaum remaja, bahkan dari usia dini,
seperti seumur cucu dari bapak I Wayan Narta sudah menggeluti dunia wayang dari kelas
1 Sekolah Dasar berkencimpung di dunia wayang, dengan rajin dan tekun belajar
memainkan wayang yang merupakan suguhan sehari-hari dalam masa kecil di desanya
sehingga dengan usia yang masih terlalu kecil mengukuti lomba dalang cilik yang
pertama kali diselenggarakan media lokal Bali TV Denpasar.
Karir remaja yang tidak mau ketinggalan mengenyam pendidikan seni pedalangan
sebagai generasi penerus pedalangan Sukawati, seorang anak remaja yang bernama I Putu
Bratanatya yang mementaskan seni Wayang Kulit gaya Sukawati dalam acara lomba
dalang remaja pada ajang Pesta Kesenian Bali tahun 2014 di Art Center yang
mendapatkan juara I tingkat remaja. Kemudian jejak itu diikuti oleh dalang remaja
dengan gaya Sukawati yang mewakili Kabupaten Gianyar pada acara Pestival Wayang
Ramayana tingkat remaja pada Pesta Kesenian Bali tahun 2015. Dengan perjuangan yang
berat dan gigih seorang dalang remaja yang bernama I Putu Sutrena Putra yang baru
menginjak umur 17 tahun berhasil merebut juara 1 dalang tingkat remaja yang di bawah
asuhan I Made Juanda dan I Wayan Wija, dalang kelahiran Sukawati yang propesional
dan populer di dunia pewayangan.

Pentas Dalang Remaja mempertahankan style Wayang Sukawati


(Dok. I Nyoman Sudanta 2015)

Tidak mau ketinggalan para pemain gambelan gender wayang juga berkreatif
dengan diadakanya lomba megender yang diselenggarakan para sangar, pemerintah
Kabupaten Gianyar, begitu juga oleh komonitas seni, untuk menarik minat anak-anak dan
remaja belajar memainkan gambelan gender, merupakan usaha melestarikan seni
gambelan gender sebagai pendukung utama eksisnya pementasan Wayang Kulit Parwa
Sukawati. Hal hasil banyak terbentuk bibit penerus pemain gambelan gender dari usia
anak-anak, remaja, sampai usia dewasa. Yang lebih mengagumkan banyak dari anak
perempuan yang tertarik dan ikut ambil bagian belajar memainkan gambelan gender,

VIDYA WERTTA
137
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
kepiawaianya hampir sama dengan kepiawaian anak laki-laki. Pada kesempatan yang
baik saat ulang tahun Kota Gianyar tahun 2015 ditampilkan pementasan gambelan
gender wayang masal di alun-alun Kota Gianyar yang dikoordinir oleh bapak I Ketut
Buda dari Sukawati
Sesuai uraian tersebut di atas, eksistensi pementasan Wayang Kulit Parwa
Sukawati akan semakin kuat dan kokoh dengan menyiapkan generasi muda penerus dari
dalang cilik, dalang remaja begitu juga pemain gambelan gender pendukung utama
pementasan wayang sebagai akar kehidupan dan perkembangan pada era globalisasi. I
Made Sija (wawancara tanggal 26 Juli 2015) menegaskan bahwa:
“Bapa ningalin wayang parwa sukawatine waluya cara ipunyan bingin ane suba
mentik uli pidan di pempatane, akahne ngeliunan bangsing samah apa buin akah
ane muda liu mentik nyilurin akah ane tuwa tur berek, bapa yakin punyan bingine
tetep kukuh mejujuk. Yening ada angin baret paling empak carangne apan sube tua
umurne, nanging buin mentik embong carangnyane. Yan ipidan liu anake ngetis
dibongkol bingine, dagang daluman, dagang bubuh, dagang baju, sangkalanga
anake bedak seduk ,kebus makejang ngungsi bongkol bingine. Nanging jaman jani
langah anake ada di bungkil bingine, yan jaman jani anake ngetis bedak seduk
pasti ke swalayan mekejang ade apa buin misi ase (AC), disubane emed pasti buin
ngalih ane alami ke bungkil bingine. Patuh care turise emed ya ane modern, ke
Bali ngalih ane kuno”.
Artinya:
Ibaratkan pohon beringin yang tumbuh begitu lama di perempatan jalan, dengan
akar yang banyak sebagai penopang kekuatan pohon tersebut, terlebih lagi banyak
akal yang muda tumbuh baru menggantikan akar yang tua dan rapuh niscaya pohon
itu akan tetap berdiri kokoh seandainyapun ada yang patah paling hanya cabang
atau ranting karena termakan usia tetapi akan tumbuh cabang atau ranting baru.
Kalau jaman dulu banyak orang yang berteduh di bawah pohon beringin, ada
pedagang daluman (penghilang rasa haus tradisi Bali), pedagang bubur, pedagang
baju, sehingga orang yang haus, lapar dan kepanasan, semua menuju ke pohon
beringin. Tetapi jaman sekarang jarang orang yang berteduh di pohon beringin,
jaman sekarang orang berteduh, haus, lapar pasti menuju swalayan (pasar modern)
semuanya adadi sana, apa lagi ada pendingin ruangan (AC). Setelah jenuh dengan
dunia global pasti kembali mencari yang alami ke bawah pohon beringin. Sama
halnya dengan Turis (wisatawan asing), jenuh ia dengan dunia modern datang ke
bali mencari suasana tradisi.

Berdasarkan uraian dalang I Made Sija, kekuatan akar tradisi dari style Wayang
Kulit Parwa Sukawati walaupun gerusan jaman globalisasi, akan tetap mampu bertahan
keberadaanya (eksistensinya). Pertunjukan gaya wayang inovatif yang sedang
berkembang jaman sekarang semuanya juga bersumber pada wayang tradisi gaya
Sukawati, dan I Made Sija yakin setelah jenuh dan mentok berinovasi pasti akan kembali
ke gaya tradisi Wayang Sukawati. Semangat generasi penerus mempelajari seni
pewayangan gaya Sukawati baik yang ada di Desa Sukawati maupun di luar Desa
Sukawati, bahkan luar negeri, tumbuh dan berkembang semakin menjamur. Banyak
dalang yang belajar dengan gaya Wayang Sukawati untuk mencari ciri khas dan
keklasikan Wayang Kulit Parwa Sukawati.
Menurut Nobue Tani (wawancara tanggal 16 Juli 2015) seorang wanita asal Jepang
yang belajar memainkan gender dan juga belajar mendalang. Selama di Bali sudah sering
ia nonton pementasan wayang Kulit dengan khas dalang yang berbeda, namun ia lebih
tertarik untuk menonton dan mempelajari seni pertunjukan wayang tradisi. Dengan lampu

VIDYA WERTTA
138
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
penerang yang masih tradisi, pakem pewayangan yang masih tradisi sesuai dengan ciri
khas gaya Wayang Kulit Sukawati, sehingga ia memilih untuk berguru kepada I Made
Juanda. Nobue Tani merasakan alunan suara dalang dengan lagu alasarum yang diiringi
gending gender ada suatu keindahan yang menyatu antara vokal dengan instrumen.
Dipertegas oleh Jhon Key, orang Amerika yang menekuni seni Bali, Wayang Kulit
Bali yang menggaung namanya di negaranya adalah seni wayang yang masih tradisi.
Jhon Key juga menanyakan mengapa kok di Bali orang-orang seneng dalam pementasan
wayang memakai lampu listrik, padahal dengan lampu tradisi wayang yang dimainkan itu
kelihatan bergerak karena gerakan api dari lampu tradisi tersebut, sehingga wayang
kelihatan lebih hidup. Kalau dengan lampu tradisi permasalahnya kelihatan agak gelap,
semestinya dibuatkan lampu yang bola apinya lebih besar yang membuat bayangan
wayang itu bisa lebih jelas. Di samping itu setiap pementasan wayang menggunakan
pengeras suara menggelegar sangat keras seakan memecah telinga. Pementasan wayang
jaman dahulu dipergunakan patokan suara gambelan gender, yang perlu pengeras suara
hanya Si Dalang untuk menyeimbangan suaranya dengan intrumen gambelan gender,
sehingga kedengaranya lebih bisa dinikmati dengan baik, nyaman dan nikmat.
Berdasarkan atas hasil penelitian sebagaimana telah disampaikan dalam bagian ini
terdapat hal penting bahwa, Seni Pementasan Wayang Kulit sejatinya merupakan salah
satu warisan nusantara yang cukup tua. Sebagai bagian dari perkembangan Kebudayaan
Indonesia khususnya di Bali, Wayang memiliki peran sangat penting sebagai media
transformasi nilai etika religius, ataupun hiburan yang demikian ditunggu oleh
masyarakat. Maka dari itu, pertahanan atas tradisi pewayangan memang menjadi salah
satu perihal penting untuk merawat tradisi ini sebagai sebuah kegiatan seni. Sehubungan
dengan hal tersebut, Eksistensi Pewayangan khususnya Wayang Kulit Parwa Sukawati
telah mampu hadir sebagai pelita kesenian tradisional di tengah gempuran modernisasi
yang menggempur kesenian tradisional menjadi sebuah media yang terkomodifikasi.
Dengan kata lain, Wayang Kulit Sukawati mampu berdiri dengan mempertahankan
keaslian tradisinya sehinngga memiliki nilai penting yang demikian dicari bahkan oleh
seniman-seniman asing.
Berdasarkan atas hasil penelitian tentang Eksistensi Pementasan Wayang Kulit
Parwa Sukawati maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini memiliki hubungan dengan
teori fungsionalisme Struktural yang menggunakan konstruk pemikiran Parsons yakni ada
empat fungsi penting diperlukan semua sistem atau skema AGIL dengan hasil sebagai
berikut: 1) adaptation (adaptasi): yaitu kemampuan kesenian ini dalam beradaptasi
terhadap jaman. 2) Goal attainment (pencapaian tujuan) yaitu masih eksisnya pementasan
wayang sukawati, 3) Integration (integrasi) yaitu terjadinya kesinambungan antara
generasi ke generasi, dan 4) Latency (latensi atau pemeliharaan pola) yaitu masih
bertahannya pakem pewayangan Sukawati sampai dengan saat ini.

II. PENUTUP

Eksistensi Pementasan Wayang Kulit Parwa Sukawati Pada Era Globalisasi meliputi
faktor eksternal yakni : a)Tumbuh Daya Kreativitas dan Inovasi Para Dalang Wayang
Kulit Parwa Sukawati Dalam Menghadapi Era Globalisasi, yaitu berkembangnya
kreativitas para dalang, namun kekhasan pementasan Wayang Kulit Sukawati yang lebih
menonjolkan nilai filosofis dalam kemasan pementasannya, b) Wayang Parwa Sukawati

VIDYA WERTTA
139
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
banyak diminati wisatawan manca negara yang memiliki peranan transformatif pada
kesenian ini melalui beragam prototipe yang kemudian dikenal hingga ke Mancanegara,
c) Wayang Kulit Parwa Sukawati mampu beradaptasi menghadapi perkembangan era
globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 1994. Kesusatraan Hindu Indonesia.Denpasar: Yayasan Dharma Sastra

Ardika, I Wayan.2007. Pusaka Budayadan Pariwisata.Denpasar: Pustaka Larasan

Bandem, I Made.1996. Etnologi Tari Bali.Diterbitkan dalam kerja sama dengan Forum
Apresiasi Kebudayaan Denpasar-Bali. Yogyakarta: Kanisius.

. 1978, Pakem Wayang Parwa Bali, Yayasan Pewayangan Daerah Bali

Bandem I Made 1981/1982, Wimba Wayang Kulit Ramayana (Ketut Madra) Proyek
Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik Tradisional dan Baru

Bugin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainya. Jakarta: Kencana.

Dharmayuda, Suasthawa I Made, 2001: Desa Adat, Kesatuan Masyarakat hokum Adat di
Provinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra

Dibia, I Wayan. 1995. “Dari Wacak ke Kocak”. Dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya,
Nomor 3, Tahun III. Denpasar: ISI Denpasar.

Djelantik, A. A. Made, 1999, Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni


Pertunjukan Indonesia.

. 2006. Profil Desa Sukawati , Tim Kabupaten Gianyar, Kecamatan Sukawati.

Gulo2002..Metoderiset. Gramedia: Surabaya.

H Malik, 1994, Pemanfaatan Media Dalam Menunjang Kemahiran Menulis Bahasa


Arab. Universitas Negeri Malang

Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : UI- Press

. 2002. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka


Utama

Mantra, I B. 1996.Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

Moleong, J. Lexy. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.

VIDYA WERTTA
140
Vol. 2 Nomor 1, April 2019
Mudita, Pande Nyoman Gede. (2012). Transformasi nilai Pendidikan Agama Hindu
melalui Pementasan Wayang Lemah, di Desa Bona, Gianyar. Denpasar:
Penelitian Tesis ini digunakan sebagai persyaratan dalam menempuh gelar
Magister (S2) di Universitas Hindu Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depanya. Jakarta: Gunung
Agung.

Nawawi, Hadari. H. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.

Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Pablo Gonzales Casanova, 2001, Fenomena Pedesaan, Intan Pariwara

Palguna, IBM Dharma. 2007. Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran.
NTB : Sadampatyaksara

VIDYA WERTTA
141
Vol. 2 Nomor 1, April 2019

Anda mungkin juga menyukai