Anda di halaman 1dari 10

PROSIDING 

‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
SENI DAN KONSEPSI KEPERCAYAAN PADA MASA PRAAKSARA
(Pertumbuhan dan Perkembangannya Di Bali)

Oleh

Kolonel Caj (pur) Dr. Drs. I Dewa Ketut Budiana. M.Fil.

ABSTRAK

Seni muncul sejak jaman praaksara dan berkembang hingga sekarang. Pertumbuhan
dan perkembanggan seni, erat kaitannya dengan kemajuan pola pikir kehidupan masyarakat.
Berbagai makna dapat diketahui dari hasil karya seni diantaranya yang berkaitan dengan
tujuan magis religius, estetika dan sebagainya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya bentuk
– bentuk karya seni yang awalnya dibuat dengan bentuk sangat sederhana, selanjutnya
muncul karya cipta yang sangat indah dan memiliki kualitas sangat tinggi.
Ketika hunian masih berpindah – pindah, manusia lebih banyak menghabiskan waktunya
dalam mobilitas untuk pemenuhan kebutuhan. Ketika mulai hidup menetap di gua – gua dan
ceruk, manusia mulai memiliki waktu untuk merenung dan memikirkan dirinya. Dikala itulah
mulai muncul pemikiran tentang hal – hal yang supranatural yang melahirkan konsepsi
kepercayaan. Kongkritisasi dari konsep itu antara lain dimanifestasikannya dalam peraktek –
praktek system penguburan. Seiring dengan itu, muncul ide – ide tentang keindahan dan yang
kemudian dimanifestasikan dalam karya – karya seni.

I. PENDAHULUAN
Seni pertama kali muncul pada permukaan dinding - dinding cadas baik dalam
bentuk lukisan, goresan maupun pahatan. Di samping mengandung makna estetika, yaitu
sebagai ungkapan ekspresi keindahan, seni juga memberikan makna yang lebih mendalam
dari alam pikir masyarakat pendukungnya menyangkut ide – ide, lambang , aspek giografi,
lingkungan, sosial budaya maupun konsepsi kepercayaan mereka.
Pertumbuhan dan perkembangan seni sangat terkait dengan kemajuan masyarakat, baik
dalam pola berpikir teknologi, maupun ilmu pengetahuan. Seni sangat memegang peranan
dalam kebutuhan manusia baik kebutuhan praktis maupun kebutuhan dalam berhubungan
dengan magis religius atau kepercayaan dan keindahan. Gejala adanya seni telah Nampak
pada jaman praaksara terutama pada masa paliolitik(Soejono,1984). Walaupun pengertian
seni pada masa ini belum memiliki makna dan arti seperti masa kini. Seni yang berkembang
pada masa praaksara merupakan imbrio pertumbuhan seni pada masa kemudian, itu berarti
kekuatan jiwa seni begitu kuat melandasi kehidupan manusia.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  11 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 

II. PEMBAHASAN
Karya seni sangat menentukan dan dapat dijadikan tolok ukur kehidupan suatu
masyarakat tentang budaya dan petumbuhannya. Dari hasil karya seni, suatu bangsa memiliki
idetitas bahkan jatidiri bangsa bersangkutan. Contohnya masyarakat Mesir, masalalu telah
meninggalkan suatu karya yang monumental, sampai kini bangsa Mesir sangat bangga
dengan hasil peninggalan nenek moyangnya bahkan telah mendunia.Demikian pula
keberadaan asil karya seni di Bali masa lalu, mempengaruhi dan menentukan bentuk -
bentuk karya seni di Bali masa kekinian. Walaupun unsur – unsur karya seni masa praaksara
telah berumur ribuan tahun tetapi pembuatannya sebagai karya seni tetap hidup dan bertahan
, sehingga yang dapat dilihat di Bali masa kini merupakan karya seni lama yang telah diolah
oleh masyarakat Bali masa kini .
Karya seni masa praaksara, khususnya tradisi megalitik dan tradisi jaman perunggu,
sangat menentukan kehidupan karya seni Bali masa kini. Bahkan dimasa perkembangan
agama Hindu dan Budha pengaruh seni masa praaksara masih nampak jelas sehinga dijuluki
rajutan.Tidak dapat dipungkiri bahwa kreativitas nenek moyang masyarakat Bali cukup
tinggi, menyebabkan masyarakat Bali mewarisi sifat-sifat nenek moyangnya dimasa lalu
yang memiliki pengetahuan dan wawasan sangat luas.
Pola –pola hias pada berbagai sarana upacara dan upakara penguburan mempunyai
bentuk yang bervariasi. Lahirnya berbagai bentuk variasi sudah tentu ditunjang oleh
kemampuan menciptakan hal – hal baru yang dianggap akan lebih baik dari pada
sebelumnya.Pola hias masyarakat praaksara Bali, merupakan obyek yang sangat penting
untuk dibahas, mengingat pola hias pada masa praaksara diduga mengandung pengetahuan
yang berkaitan dengan dinamika seni pada masyarakat praaksara di Bali. Pola hias pada
masyarakat praaksara sangat bervariasi dan kemunculannyapun dalam bentuk yang berbeda
– beda,sebagai contoh yang terlihat pada benda gerabah yang dibuat dari tanah liat, benda
dari perunggu, benda dari batu danlainnya. Pola – pola hias yang menonjol adalah pola hias
yang berhubungan dengan bentuk – bentuk giometris (gerabah gilimanuk, pacung dan
bondalem) yang terdiri dari pola hias garis lurus, segitiga, belah ketupat, lingkaran, garis
lengkung dan sebagainya. Pola hias semacam inilah yang dominan dan sangat digemari
sebagai pola hias pada gerabah, benda perunggu maupun bangunan dari kayu.

12 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
Pada masa perkembangan tradisi megalitik, perunggu dan besi di Bali muncul pola
hias yang merupakan karya cipta baru dan sangat unik, pada gerabah khususnya gerabah
Gilimanuk. Pola hias perkembangan ini adalah pola hias yang diinspirasi dari aspek
kepercayaan yaitu pola hias dalam bentuk antropomorpik yang mengacu pada bagian tubuh
manusia.Ide pembuatan pola hias ini didorong oleh kebutuhan terhadap kekuatan yang
diharapkan mampu melindungi kehidupan manusia dari segala ancaman bahaya. Dengan
demikian fungsi dan guna pola hias sudah tidak lagi hanya mengacu pada tujuan keindahan
(estetika) , melainkan telah berkembang kedalam fungsi yang lebih luas yaitu fungsi magis
religius / sakral, (Ginarsa . 1993, 18). Perubahan dan perkembangan bentuk dan fungsi pola
hias yang berlangsung pada sentuhan (sakral) merupakan pemikiran yang didasari kreativitas
dari dinamika pola pikir masyarakat.Tanpa adanya pengetahuan , kreativitas dan kemauan
untuk berubah ke lebih maju maka pola hias dengan kualitas tinggi (sakral) tidak akan
terwujud.
Pola hias hasil kreativitas seni dan dinamika pola pikir muncul dalam bentuk gambar
muka manusia yang digoreskan dalam bentuk tambun dan kaku, diduga dibuat dengan tujuan
tertentu yang berhubungan dengan megis religius .Hasil karya seni pada gerabah yang
berupa pola hias anyaman temuan disitus Manikliyu (Yuliati, 1997-1998) menampakan
kebangkitan dan kreativitas serta dinamika pola pikir pembuatnya. Pola hias ini memiliki
teknik maju yang memerlukan pengetahuan dan terapan dalam pembuatannya. Yang pertana
pembuatnya telah mengenal anyam - anyaman dari daun pelepah palem. Munculmya pola
hias kulit kerang, pola hias tali dan pola hias duri ikan, merupakan hasil rekayasa seni yang
maju, karena pola hias geometrik dapat dikatakan sebagai karya cipta nenek moyang yang
tertua atau awal. Dalam dunia arkeologi ada “ hukum” bahwa bentuk – bentuk lebih
sederhana adalah bentuk yang lebih tua.
Pola hias pada benda perunggu di Bali menunjukan bentuk yang sangat bervariasi ,
khususnya bentuk – bentuk benda perunggu yang berfungsi megis religius. Kemunculan
bentuk – bentuk hiasan tersebut pada dasarnya merupakan hasil pemikiran yang dilandasi
dinamika dan kreativitas nenekmoyang masyarakat Bali pada masa praaksara.Kebangkitan
kemampuan dan pengetahuan seni muncul dalam nuansa baru ditemukannya benda dari
emas, sebagai mana temuan di Gilimanuk, berupa tutup muka, penutup mulut dan benda
emas berbentuk kerucut. Temuan dari emas merupakan bukti munculnya pemikiran dan
kreaktivitas sendiri yang dapat dikatakan sebagai lokal genius.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  13 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
Konsep kepercayaan pada masa praaksara adalah pemujaan terhadap nenek moyang, .
Arwah leluhur dianggap mempunyai hubungan dengan kehidupan masyarakat didunia
kehidupan. Hal ini berkaitan erat dengan alam khususnya gunung dan benda – benda upacara
yang berhubungan dengan keselamatan arwah itu sendiri.Karya seni monumental yang
muncul pada masa sejarah (Hindu dan Budha) pada dasarnya dipengaruhi oleh hasil karya
seni masa praaksara dari masa berkembangnya tradisi Megalitik seperti bangunan pura di
kintamani dan pura – pura besar dan berbagai situs lainnya di Bali.
Di Bali gunung ( Agung, Batur dan Watukaru) merupakan tatanan utama dalam
budaya Bali, dalam penerapannya sangat mempengaruhi tatanan kehidupan budaya dan
kesenian Bali. Melalui Gunung inilah alam semesta dan rohani Bali ditata.
Gunung Agung bermain dalam tatarankesucian, halus,wibawa,dan Maha Agung.
Gunung Batur mempengaruhi alam sekitarnya dalam aspek Maharata yaitu sumber
pengerahuan dan kebijakan menjadi acuan sumber satu gunung dan satu danau yang
menunjukkan eksistensi dari tinggi namun cukup rendah dan rendah namun tinggi (maharata
). Kode – kode maha rata ini di tiap daerah disebut dengan kode leluhur seperti :bukit Asah,
bukit Buung dan gunung Rata dalam tatanan bangunan.Gunung Batukaru mempolakan
kekuatan Mahavidya atau pusat cahaya dari pengetahuan berupa simbul gni,api Agni . Api
merupakan representasi dari kecerdasan pengetahuan serta kekuatan sakti/ kekuatan dalam
meraih segala yang bersifat materi atau kemakmuran akan kehidupan. Dalam ranah kesenian
melahirkan jenis musik yang menggetarkan bumi pertiwi, musik keras seperti, Ketug gumi,
Tabuh lesung, Okokan serta Tektekan.
Konsepsi hubungan kehidupan masyarakat dengan kehidupan,menyebabkan suatu
hasil karya seni mendapat perlindungan atau disakralkan. Dalam pengertian yang luas,
sakral adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan dan pencemaran. Yang
sakral adalah sesuatu yang dihormati, dimulyakan dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini
pengertian tentang sakral tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak obyek, baik yang
bersifat keagamaan maupun yang bukan, tindakan – tindakan, tempat-tempat , kebiasaan –
kebiasaan dan gagasan - gagasan dapat pula dianggap sakral. Dalam pengertian yang lebih
sempit , yang sakral adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama terhadap
pelanggaran atau pencemaran. Yang sakral adalah sesuatu yang suci, keramat. Hal ini
kebalikan dari sesuatu yang profan . Yang disebut profan adalah sesuatu yang biasa, umum
tidak di sakralkan, bersifat sementara pendek kata ada diluar yang relegius, sebagai mana
disebutkan oleh E Durkheim sebagai berikut :

14 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 

“ Pembagian dunia menjadi dua wilayah , yang satu semua berisi yang sakral dan yang
lainnya berisi semua yang profan, adalah sikap yang memisah-misahkan dari
pemikiran religius. Ciri yang menjolok dari fenomena religius adalah sesuatu
pengandaikan dua pembagian dari seluruh dunia, yang diketahui dan yang tidak dapat
diketahui, ke dalam dua klas yang merangkum segala yang ada, tetapi secara radikal
saling menitiadakan. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan
disendirikan oleh larangan –larangan , hal-hal yang profan adalah hal-hal yang dikenai
larangan-larangan itu dan harus berada jauh dari yang sakral. Kepercayaan religius
adalah yang menyatakan kodrat dari hal-hal yang sakral dan hubungan-hubungan yang
mereka kandung baik antar mereka sendiri maupun dengan hal-hal yang profan.
(Dhavamony, 1995 . 87.).

Setiap pelaksanaan kegiatan upacara keagamaan apapun jenis upacara dan upakaranya
selalu melibatkan wujud kesenian apakah itu seni rupa, seni tari dan seni suara yang juga
disebut seni sakral. Seni tari yang sering mengikuti proses upacara keagamaan adalah
tergolong tarian keagamaan yang sering disebut tari sakral atau wali. Seni tari Bali secara
umum dapat digolongkan adalah sebagai berikut : (1) Seni tari wali ( sacred religious
dance) yaitu seni tari yang dilaksanakan atau dilakukan/dipentaskan di pura-pura atau di
tempat – tempat yang berkaitan dengan upacara keagamaan dan pada umumnya jarang
memiliki lakon seperti tari rejang., sanghyang pendet dan baris. Seni tari wali hanya dapat
disajikan di dalam fungsinya sebagai pelaksanaan upacara keagamaan. (2) Seni tari Bebali (
ceremonial dance) adalah senitari yang berfungsi sebagai pengiring suatu upacara dan
upakara di pura ataupun ditempat yang lain dan pada umumnya membawakan suatu lakon
dan dapat disajikan sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring upacara. (3) Senitari balih-
balihan (secular dance) merupakan seni tari yang posisinya diluar dari kreteria di atas dan
lebih bersifat hiburan seperti tari kreasi dan tari pergaulan dan dapat disajikan dengan tetap
berlandaskan seni budaya yang luhur.
Kata sakral dan sacral dalam kamus Umum Belanda- Indonesia. (Wojowasito , 1981,
557) diartikan benda-benda keramat selanjutnya istilah sacral ini di diambil menjadi kosa
kata bahasa Indonesia secara adaptasi dengan tapsiran bahwa yang disebut sacral
merupakan sesuatu yang berkaitan dengan agama dan bersifat suci , keramat dan angker.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  15 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
Oleh karena itu kesakralan akan terdapat di lingkungan seluruh umat beragama, tidak
terkecuali pada umat Hindu.
Menurut Mircei Eliade dalam Panji, (1983 : 3) disebutkan difinisi dari sakral adalah
merupakan lawan dari profan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang menjadi sadar
terhadap yang disebut sakral, karena mereka memanifestasikan diri, memperlihatkan diri
sebagai sesuatu yang sangat berbeda dengan yang profan. Selanjutnya beliau menguraikan
bahwa ungkapan ruang dan waktu yang sakral memiliki nilai yang eksistensial bagi orang
yang beragama. Dengan demikian kesakralan itu dapat meliputi segala bidang kehidupan
manusia yang meliputi tempat, benda , ruang , suasana dan waktu. Hal ini dapat dilihat
dalam pembagian denah pura, seperti jaba , jaba tengah dan halaman jeroan sebagai tempat
yang paling sacral, demikian pula arah kaja dan kangin dan hari-hari suci dan sebagainya.
Menurut Dr I Made Bandem dkk, dalam bukunya yang berjudul “Kaja and Kelod
Balinase Dance in Transition” menyebutkan kesakralan dapat ditinjau dari berbagai aspek
baik secara individu, kelompok masyarakat maupun secara umum.Kesakralan perorangan
akan berbeda dengan kesakralan pada suatu kelompok masyarakat, sedangkan kesakralan
yang bersipat umum dapat dipandang mempunyai nilai yang sama, bila hal ini sudah
dilandasi dengan kesatuan penafsiran terhadap aspek agama yang dianut.
Nilai kesakralan bukan hanya tergantung pada suatu wujud atau keadaan tertentu akan
tetapi sangat banyak ditentukan oleh faktor-faktor lainnya diantaranya adalah proses
“penyucian” (menjadikan Suci) yaitu suatu proses menyucikan ataupun memberikan urip/
kekuatan kepada sesuat, yang di dalam ajaran agama hindu disebutkan pensidian,
pemelaspas, pemarisudha, pewintenan dan sejenisnya. Dalam proses penyucian tersebut
tidak terjadi perubahan bentuk , akan tetapi akan menjadi lain bila ditinjau dari segi nilai
terutama bagi mereka yang mempercayainya. Dengan demikian yang dianggap sakral itu
tergantung pada sikap , penilai dan rasa seseorang terhadap wujud dan keadaan sesuatu. Oleh
karena kesakralan itu bersifat relatif tidak mutlak dan tidak langgeng .
Dalam ajaran susila Hindu dikenal denga ajaran Tri Rnam yang berarti hutang dan
wajib untuk dibayar melalui yadnya sesuai dengan jenisnya. Pelaksanaannya melalui empat
cara yang disebut dengan Catur Marga yaitu Karma Marga , Bhakti Marga , jnana Marga Dan
Yoga Marga. Mereka yang memiliki adnyada tinggi pemujaan terhadap Tuhan yang maha
Esa akan dilakukan melalui Jnana Marga yakni melalui penyerahan dan pendekatan diri
secara total kepada Tuhan melalui ilmu kediatmikaan yang telah dikuasai. Selanjutnya bagi
yang memilih jalan Bhakti Marga melalui sarana sesajen / banten dan sejenisnya.

16 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
Sedangkan melalui Karma Marga mereka memuja Tuhan Yang Maha Esa dapat melalui atau
dengan bentuk berupa jasa atau keahlian lainnya .
Motifasi utama yang terkandung dalam seni sakral dalam kontek yadnya tiada lain
adalah rasa pengabdian yang tinggi terhadap agama. Terdapatnya konsep “ Ngayah “ dalam
setiap kegiatan keagamaan di Bali menyebabkan pada pemeluknya berlomba-lomba untuk
menyajikan dirinya melalui tari-tarian, gambelan/tabuh , kidung (gita) dan pembuatan
sesajen.
Tanpa dapat mengabdikan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa umat Hindu merasa
tidak ada kesatuan antara sesama masyarakat, lingkungan dan Tuhan. Selanjutnya semua
aktipitas keagamaan akan melahirkan suatu ciptaan hasil seni sakral dalam berbagai
bentuk, selain nilai kesuciannya seni sakral dapat juga berfungsi sebagai simbul atau
sarana yang bersifat sugestif misalnya : (1) Tari Pendet sebagai tari pengambutan atau
ucapan selamat datang yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang turun ke dunia.
(2) Tari Rejang sebagai simbul bidadari dari kayangan yang turun ke tempat upacara atau
tari penyambutan terhadap dewi Sri sebagai pernyataan rasa bersyukur karena terwujudnya
kemakmuran. (3) Tari Baris adalah tarian yang berfungsi sebagai tarian yang dapat
mengantarkan roh menuju Indraloka khususnya dalam upacara ngaben. (4) Tari Sanghyang
adalah tariang yang berfungsi sebagai penolak bala yang sedang berkecambuk. (5) Tari
Wayang Lemah dengan berbagai lakonnya yang berfungsi sebagai penyambung alam sekal
dengan niskala.
Nilai sakral dari perujudan suatu bentuk seni dapat diketahui dari sumber
penciptaannya dari kitab Natyasastra. Kitab ini merupakan kitab pegangan pokok untuk
seni pertunjukan klasik di India khususnya berlaku dilingkungan sekte Siwa. Tarian dalam
kitab ini disebut Tandawa dan bersifat tarian murni yang dikatakan merupakan ciptaan dari
dewa Ciwa bersama denga dewi Uma yang sedang menikmati keindahan suasana senja.
Tarian – tarian ini disebutkan pula sebagai hadiah para dewa.
Tari Bali bila diperhatikan secara seksama merupakan gerakan – gerakan
Mudra/gerakan tangan dari para pendeta sewaktu mengucapkan mantra dalam meminpin
persembahan dalam agama Hindu. Mudra merupakan gerakan sakral yang menjadi sumber
inspirasi dari gerakan tangan dalam tari Bali. Mudra merupakan gerak yang mendasari
mantra-mantra para pendeta dan menunjukkan cirri yang sangat spespik dari para dewata
Nawa Sanga. Mudra dalam seni tari merupakan sebuah gerakan ekpresi untuk
melatarbelakangi ucapan-ucapan yang terdapat dalam tarian tersebut.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  17 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 

Seni vokal yang dilantunkan oleh para pendeta dalam memimpin upacara keagamaan
bersumber dari kitab suci weda. Weda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang
mengungkapkan kebenaran abadi, mengatur alam semesta dan tingkah laku manusia
dalam pergaulan. Jenis weda yang diungkapkan oleh para pendeta dalam memimpin
kegiatan keagamaan meliputi sloka dan sruti dan tergolong nyanian suci / sakral yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhan yang dipujanya.Kesakralan bukan saja terdapat
pada seni tari akan tetapi terdapat juga pada seni-seni lainnya seperti seni arsitektur, seni
bangunan , seni sastra yang ada kaitannya dengan kehidupan keagamaan.
Penggunaan bunyi-bunyian seperti bunyi kulkul, gambelan, genta pendeta, suara
kidung – kidung suci dan mantram, puja , sruti, stawa pendeta sesungguhnya memiliki esensi
filosofis teologis. Karena bunyi-bunyian tersebut terkait dengan pemujaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan dapat memberikan suasana yang gembira dan menarik simpati dari
suatu obyek yang disembah, oleh karena itu setiap unsur seni, setiap bilah gambelan
mempunyai fungsi spesfik untuk menghubungkan dengan salah satu istadewata.
Terkait dengan esensi praktis terhadap penggunaan seni sakral termasuk bunyi-
bunyian dari alat-alat tertentu, kidung serta bunyi genta dan mantram dalam peruses
pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui ritual Hindu yang bertitik tolak dari
anggapan bahwa pada saat upacara seluruh umat Hindu berdatangan dengan membawa
berbagai permasalahan hal itu dapat diminimalisir dengan berbagai kesenian . karena melalui
kesenian sakral tersebut dapat memsuperposisi gelombang di alam mikrokosmos ( manusia)
maupun alam ( makrokosmos).
Segala sarana dan peralatan ritual seperti Tarian Rejang, Baris, Banten dengan Dupa
harum, Kembang, Kukul, Gambelan, Kidung, Genta dan Mantram adalah berfungsi untuk
menyelaraskan pikiran dan perasaan. Pelaksanaan ritual Hindu yang dilaksanakan oleh
umat Hindu sangat relevan jikalau ditinjau dari aspek ilmu fisika Quantum. Semua sarana
persembahyangan termasuk tari-tarian memiliki efek gelombang terhadap gelombang otak.
Melalui tarian rejang, pendet, dan bunyi bleganjur diharapkan frekuensi gelombang
pikiran manusia mendapatkan ketenangan dan layak untuk melakukan persembahyangan.
Karena diyakini bahwa tidak mudah untuk menciptakan ketenangan dan keeningan pikiran
oleh karena itulah pada zona jaba tengah diperdengarkan gambelan lelambatan dan tarian
rejang sebagai isyarat penyambutan kehadiran manifestasi Tuhan.

18 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 

III. KESIMPULAN
Proses pemujaan dalam agama Hindu pengaruh seni sakral sangat penting dan dapat
dibilang dalam agama Hindu pemujaan merupakan akumulasi dan implementasi dari
teologi, filosofi , pengetahuan dan teknologi bersama-sama oleh karena itu agama Hindu
bukanlah dokma.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  19 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐52255‐1‐2 
 
DAFTAR PUSTAKA

Darma Putra & Windu Sancaya. 2005. Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi. Kusumanjali

Prof Dr. Tjokorda Rai Sudharta. M.A.Penerbit Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Donder. I Ketut . 2007. Viratvidya Kosmologi Hindu . Penciptaan, Pemeliharaan dan

Peleburan serta Penciptaan kembali alam semesta. Penerbit Paramita Surabaya.

Wojowasito, S. Prof. Drs. 1981. Kamus Umum Belanda-Indonesia.

Ginarsa. I Ketut. 1993. Gambar lambang. CP . Kayumas. Dempasar.

Soejono. R.P 1977. Sistim - Sistim Penguburan Pada Masa Prasejarah di Bali Disertasi.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Soejono, et. Al 1984. Prasejarah di Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia I Ed. Ke 4 Balai

Pustaka , Jakarta.

Sukendar Haris, 1993. Arca Menhir di Indonesia, Fungsi dalam Peribadatan. Disertasi,

Universitas Indonesia, Jakarta.

Indonesia dalam arus sejarah. 1. Prasejarah. PT Ichtiar baru Van Houp atas kerjasama

dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Yuliati, Citha ,1997. Gerabah dari situs manikliyu, Pengamatan bentuk dan Fungsi. Balai

Arkeologi Denpasar

20 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 

Anda mungkin juga menyukai