Anda di halaman 1dari 20

BAB 5

INTERAKSI ANTARA BUDAYA LOKAL, HINDU-


BUDDHA, DAN ISLAM DI INDONESIA

Sumber: flydime, wikimedia.org


PETA KONSEP

Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan


INTERAKSI ANTARA
BUDAYA LOKAL,
Interaksi antara Tradisi Lokal dan
HINDU-BUDDHA,
Kebudayaan Hindu–Buddha
DAN ISLAM DI
INDONESIA
Interaksi antara Tradisi Lokal, Hindu-
Buddha, dan Islam di Indonesia
A. Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan

• Jauh sebelum agama Hindu, Buddha, dan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat
Indonesia telah memiliki kebudayaannya sendiri. Dalam perkembangannya
mereka juga mengenal sistem kepercayaan yang disebut animisme dan
dinamisme.
• Menurut Dr. Brandes, selain mengenal sistem kepercayaan animisme dan
dinamisme, menjelang akhir masa prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia
telah menguasai beberapa kemampuan, seperti:
1. kemampuan bercocok tanam;
2. kemampuan berlayar dengan perahu bercadik;
3. kemampuan mengenal arah dengan menggunakan petunjuk melalui rasi
bintang;
4. mengenal kesenian wayang sebagai media untuk melakukan hubungan
dengan arwah nenek moyang;
5. memiliki kemampuan membuat peralatan dari batu, tanah liat, dan teknik
pembuatan barang-barang dari logam;
6. kemampuan membangun tempat pemujaan, seperti menhir dan punden
berundak-undak;
7. mengenal sistem pemerintahan dan cara pemilihan kepala suku, yang disebut
primus interpares; dan
8. mengenal seni gamelan.
Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke
Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini

Sumber: Gunawan Kartapranata, wikimedia.org


disebabkan:
• Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-
dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga
masuknya kebudayaan asing ke Indonesia
menambah perbendaharaan kebudayaan
Indonesia.
• Kecakapan istimewa. Bangsa Indonesia
memiliki apa yang disebut dengan istilah
kecakapan istimewa atau local genius, yaitu
kecakapan suatu bangsa untuk menerima
unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan Arca Buddha yang ditemukan di situs
Bukit Seguntang, kini disimpan di
kepribadian bangsa Indonesia.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II,
Palembang.
B. Interaksi antara Tradisi Lokal dan
Kebudayaan Hindu–Buddha

• Sebelum agama dan kebudayaan Islam masuk mulai abad ke-7 dan berkembang
pesat sejak abad ke-13, pengaruh Hindu-Buddha sudah berlangsung selama
berabad-abad. Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha sudah menjadi bagian dari
agama dan kebudayaan masyarakat Indonesia, bahkan telah mengakar dan
memengaruhi semua sendi kehidupan masyarakat melalui proses asimilasi dan
akulturasi.
• Hasil interaksi dengan kebudayaan lokal melalui asimilasi dan akulturasi terlihat
dalam hal-hal seperti aksara, sistem kepercayaan, kesusastraan, pemerintahan,
kesenian, sistem bangunan tata kota, bidang seni rupa, dan sistem kalender.
1. Aksara dan bahasa
• Dikenalnya aksara oleh penduduk Nusantara merupakan hasil proses asimilasi.
Sebelum pengaruh Hindu masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia belum mengenal
aksara atau tulisan. Orang-orang India yang masuk ke Indonesia membawa-serta
budaya tulis, dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.
• Bahasa Sanskerta kemudian banyak memengaruhi bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno)
dan bahasa Melayu Kuno yang muncul kemudian.

Sumber: wikimedia.org/karya M. Adiputra

Contoh huruf konsonan aksara Pallawa.


• Orang-orang Majapahit yang tidak mau menganut agama Islam menyingkir ke
daerah pedalaman lalu “bermigrasi” ke arah timur, bahkan sampai ke Bali. Mereka
pergi dengan membawa serta naskah-naskah keagamaan dan karya-karya sastra
sehingga terjadi percampuran antara bahasa Kawi dan bahasa Bali, yang
melahirkan bahasa Kawi-Bali (bahasa Jawa Tengahan atau Bali Tengahan).
• Sejak kedatangan agama dan kebudayaan Islam, bahasa Jawa Kuno berkembang
dalam dua arah yang berlainan, yaitu bahasa Jawa tengahan dan bahasa Jawa
modern.
• Sementara itu, bahasa Melayu Kuno, anggota rumpun bahasa Austronesia,
dianggap sebagai salah satu bentuk awal bahasa Melayu.
2. Sistem kepercayaan
Dalam hal sistem kepercayaan, interaksi antara kebudayaan lokal dan kebudayaan
Hindu-Buddha merupakan proses akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara
pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat adanya unsur pemujaan terhadap
roh nenek moyang. Sedangkan dalam bidang kesusastraan, hadirnya karya-karya
sastra India memicu para pujangga Nusantara untuk menghasilkan karya-karya
sastra. Awalnya berupa penerjemahan dan penggubahan karya-karya sastra India,
dalam perkembangannya mereka juga menulis karya-karya sendiri
3. Kesusastraan
• Dengan kemampuan membaca dan menulis, bangsa kita akhirnya mampu
menulis karya sastra. Naskah-naskah kuno itu ditulis di atas daun lontar,
umumnya berbentuk puisi, prosa, dan tembang.
• Karya sastra terkenal berbentuk epos yang berasal dari India, seperti kitab
Ramayana dan Mahabharata, telah memicu para pujangga Nusantara untuk
menghasilkan karya-karya sastra baru.
• Beberapa karya sastra tersebut meliputi Ramayana, Mahabharata, Sang Hyang
Kamahayanikan, Arjunawiwaha, Kresnayana, Smaradahana, Barathayuda,
Gatotkacasraya, Nagarakertagama, Sutasoma dan Arjunawijaya.
4. Sistem pemerintahan
Dalam hal sistem pemerintahan, kebudayaan Hindu-
Buddha telah mengenalkan sistem kerajaan, dengan
konsep dewa raja. Konsep ini memposisikan raja
sebagai titisan para dewa.

Sumber: Gunawan Kartapranata, wikimedia.org


5. Kesenian
Dalam hal kesenian terjadi proses asimilasi. Hal itu
terlihat dalam rupa bangunan candi yang struktur
dan fungsinya mirip dengan dolmen, punden
berundak, dan menhir pada masa sebelum Hindu-
Buddha.
Arca Dewi Parwati sebagai perwujudan
anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu
Majapahit ibunda Hayam Wuruk.
6. Sistem bangunan tata kota
Sistem bangunan tata kota
merupakan bentuk akulturasi. Pada
zaman sebelum Hindu-Buddha,
masyarakat Indonesia belum
mengenal bangunan dan tata kota
yang kompleks, tertata, dan bernilai
seni tinggi. Singkatnya, belum
mengenal apa yang disebut
arsitektur. Sejak Hindu-Buddha kita
mengenal sistem bangunan yang
lebih kompleks, tertata rapi, dan
bernilai seni tinggi dibandingkan Sumber: Gunawan Kartapranata, wikimedia.org
sebelumnya. Bangunan itu adalah
keraton.
7. Bidang seni rupa
Dalam bidang seni rupa juga terjadi proses akulturasi. Kalau pada masa sebelum
Hindu-Buddha masyarakat kita terbiasa melukis di gua-gua (lukisan gua) entah gambar
hewan, manusia, atau jari tangan, pada masa Hindu-Buddha masyarakat kita
diperkenalkan dengan apa yang disebut relief.

Sumber: ESCapade, wikimedia.org Sumber: Gunawan Kartapranata, wikimedia.org


Ragam hias tumbuh-tumbuhan yang disebut
Kalamakara
kalpataru.
8. Sistem kalender
Proses akulturasi juga terjadi pada sistem kalender, yaitu dalam bentuk penggunaan
sistem kalender Saka.
Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam Prasasti
Talang Tuo. Prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno tersebut, yang
menjelaskan tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, berangka tahun 606
Saka atau 686 M.
Perhitungan tahun Saka sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Bali yang
beragama Hindu, untuk menentukan hari dari sejumlah kegiatan upacara keagamaan
yang mereka anut.
C. Interaksi antara Tradisi Lokal, Hindu-
Buddha, dan Islam di Indonesia

1. Aksara
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan
berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai
untuk menulis dalam bahasa Melayu
2. Bidang sosial
Dalam bidang sosial, masyarakat pada zaman Hindu-Buddha mengenal sistem kasta.
Dengan masuknya agama dan kebudayaan Islam, sistem kasta perlahan-lahan
menghilang.
3. Bidang pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan terjadi proses akulturasi. Pada masa pengaruh Islam,
gelar raja diganti menjadi sultan atau susuhunan. Konsep dewa raja yang
memandang raja sebagai keturunan atau titisan dewa diganti dengan konsep sultan
sebagai khalifah.
4. Bidang seni bangunan
Dalam hal seni bangunan juga tampak jelas terjadi proses akulturasi. Hal itu nyata,
misalnya pada bangunan makam. Kalau pada masa praaksara pemujaan terhadap
arwah nenek moyang diwujudkan dengan bangunan pundek berundak, pada masa
Hindu-Buddha diwujudkan dalam bentuk candi. Wujud akulturasi lain adalah dalam
hal ukiran bangunan makam dan bangunan masjid.
5. Bidang seni rupa
Agama dan kebudayaan Islam di Indonesia membawa pengaruh dan perubahan
pada bidang seni rupa, terutama seni lukis, seni ukir, relief, dan kaligrafi. Di antara
semua itu, seni kaligrafi yang paling menonjol.

6. Bidang kesusastraan
Dalam hal kesusastraan sangat nyata terjadi proses akulturasi dengan kebudayaan
Hindu-Buddha. Pengaruh kesusastraan Hindu terhadap kesusastraan Islam
terutama berasal dari dua kisah epos terkenalnya, yaitu Mahabharata dan
Ramayana, serta cerita Panji. Selain hikayat, ada juga jenis lain kesusateraan zaman
Islam yang mendapat pengaruh kuat dari Hindu-Buddha dan Jawa, yaitu suluk.
7. Bidang seni pertunjukan
Melihat wayang begitu digemari masyarakat, Walisongo kemudian menggunakannya
sebagai media penyebaran agama Islam. Pertunjukan yang menampilkan “Tuhan”
atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, dan munculah boneka wayang yang
terbuat dari kulit, karenanya disebut wayang kulit. Pertunjukan wayang biasanya
diiringi dengan gamelan yang berfungsi sebagai penghidup cerita, dan wayang
dimainkan oleh dalang. Di antara Walisongo yang memperkaya khazanah
pertunjukan wayang adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Tari Zapin (Melayu) dan Tari Saman atau Seudati (Aceh) menerapkan gaya tari dan
musik bernuansa Arab dan Persia, dan digabungkan dengan gaya lokal.
8. Upacara
Akulturasi dalam hal upacara tampak pada tiga bentuk upacara berikut: pernikahan,
kelahiran, dan kematian. Tata cara pernikahan berakulturasi dengan kebudayaan pra-
Islam. Selain dipanjatkan doa-doa dengan menggunakan bahasa Arab, acara
siraman, selamatan, dan sesaji yang merupakan peninggalan zaman Hindu-Buddha
juga dimasukkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara pernikahan,
dengan mendaraskan doa-doa dari Al-Qur’an.

9. Sistem kalender
Setelah Islam berkembang, Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa,
dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah
(Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama
bulan, seperti Muharam diganti dengan Suro, Ramadan diganti dengan Pasa.
Sementara itu, nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa
Arab.
Sumber: William Home Lizars,
wikimedia.org
Simbol siklus pasaran dalam kalender Jawa, yang terdiri atas Pon, Wage,
Kliwon, Legi (Manis), dan Pahing

Anda mungkin juga menyukai