Anda di halaman 1dari 7

Hindu-Buddha di Indonesia |1

PROSES MASUKNYA HINDU-BUDDHA KE INDONESIA DAN


PENGARUHNYA TERHADAP KEBUDAYAAN SETEMPAT

I. Proses masuknya pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara

Memasuki abad Masehi antara Indonesia dengan India sudah terjalin hubungan terutama dalam
perdagangan. Setelah jalur perdagangan India dengan Cina lewat laut (tidak lagi melewati jalan darat), maka
selat Malaka merupakan alternatif terdekat yang dilalui pedagang. Dalam hubungan tersebut masuk dan
berkembang pula agama (Hindu-Buddha) dan budaya India di Indonesia.i
Hubungan Indonesia dengan dunia luar tersebut dilakukan oleh pedagang, guru-guru India (pendeta-
pendeta) yang pergi ke Cina, biarawan Cina dan Indonesia yang pergi ke India. Sebagai contoh, beberapa
kali guru-guru India yang beragama Buddha singgah di Kerajaan Sriwijaya atau Jawa (Holling) untuk
bekerjasama dengan orang Indonesia untuk belajar dari seorang guru Indonesia. Misalnya, pada tahun
664/665, seorang guru dari Holling bernama Janabhara membantu pendeta Cina yang bernama Hwi-Ning
untuk menterjemahkan beberapa kitab suci dari bahasa Sansakerta ke Bahasa Cina. Juga pada 717, seorang
guru India bernama Vajrabodhi, singgah di Sriwijaya sebelum ia menyebarkan agama Buddha Mahayana di
Cina. Pada abad XI seorang guru dari India, Atica, belajar selama 12tahun di Sriwijaya pada pendeta
setempat, Dharmakirti, sebelum ia pergi ke Tibet. Oleh karena itulah terdapat beberapa persamaan antara
agama Buddha Mahayana di Sumatera, Jawa, dan Tibet. Memang agama Buddha pada waktu itu menjadi
penghubung antarbangsa. Agama Buddha memang mengenal missi penyebaran dari satu Negara ke negara
lain.ii Dilihat dari rute pelayaran antara India dengan Cina yang selalu melibatkan Sriwijaya sebagai
perhentian sementara, maka tidak salah jika dalam Catatan Sejarah dari Tibet menyatakan bahwa Sriwijaya
pada abad ke II merupakan pusat kegiatan ajaran buddha yang terkemuka. iii
Berbeda halnya dengan agama Buddha yang memiliki missi penyebaran, agama Hindu
sesungguhnya hanya dikhususkan untuk orang India sendiri, artinya orang India menjadi Hindu karena
kelahirannya. Agama Hindu adalah untuk India, tidak untuk masyarakat di luar India. Oleh karena itu, proses
penghinduan raja-raja dan rakyat di luar India seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan misteri.
Karena sebenarnya para Brahmana Hindu tidak dibebani menyebarkan missi. Juga suatu larangan bagi kasta
brahmana untuk menyeberangi laut. Maka dari itu, para Sarjana meletakkan perhatian lebih pada penyebaran
agama Hindu ini.iv
Tentang proses penyebaran agama Hindu ke Indonesia dapat diamati dari beberapa pendapat para
sarjana yang mengajukan teori dari masing-masingnya, antara lain: teori Ksatria, Waisya, dan Arus balik. v
1. Teori Kesatria
Teori Kesatria dikemukakan oleh C.C. Berg. Dalam pidato pelantikan besarnya, Berg
menyinggung tentang kolonialisasi di Indonesia oleh orang-orang India. Rupanya Berg cenderung
setuju bahwa golongan Kesatria lah yang berperan dalam penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Hindu-Buddha di Indonesia |2

Berpangkal pada perbedaan tingkat kebudayaan yang sudah ada sejak dahulu antara lingkungan
keraton dan rakyat jelata umumnya, maka Berg berpendapat bahwa ada suatu inti kebenaran dalam
motif yang berulang kali muncul dalam siklus cerita Pandji Jawa, yang memberitahukan tentang
seorang keastria penyamun yang datang di pulau Jawa dari seberang lautan untuk mendirikan sebuah
kerajaan di sana atau merebut suatu kedudukan tinggi di dalam suatu kerajaan yang sudah ada.
Melalui perkawinan dengan seorang putri raja Jawa, maka berkembaglah proses penyebaran agama
Hindu tersebut. Lalu Berg mengira bahwa kesatria penyamun tersebut mempunyai andil besar dalam
terbentuknya dinansti-dinasti Jawa.

2. Teori Waisya
N.J. Krom berangkat dari pernyataan yang penting dan tidak diragukan lagi kebenaranya bahwa
masyarakat Hindu-Jawa di bawah “wajah” hindunya yang resmi telah mempertahankan sifat khas
Indonesia sedemikian kuatnya dan memperlihatkan sifat-sifat khas itu sedemikian jelasnya sampai
jabatan-jabatan yang paling tinggi dalam pemerintahan negara, sehingga orang dengan pasti harus
mengakui kedudukan penting unsur pribumi dalam organisasi dan pemerintahan, bahkan jauh lebih
penting dari pada yang dapat disesuaikan dengan sebagian rakyat pribumi yang tertindas di bawah
kekuasaan asing. Menurut Krom, diterimanya peradaban Hindu oleh kalangan Indonesia golongan
atas adalah akibat dari penetrasi pasifik, yang dilakukan oleh golongan niagawan dan pedagang yang
telah berdiam menetap, yang telah mengadakan hubungan dengan orang-orang pribumi. Seperti
halnya dalam penyebaran agama islam di abad-abad kemudian, maka dilakukannya hubungan
perkawinan antara bangsa asing dengan perempuan-perempuan pribumi. Dengan jalan demikian
merupakan salah satu jalan yang paling berhasil dan paling pasti untuk memasukkan kebudayaan
baru tersbut.

3. Teori Brahmana dan arus balik


J.C. Van Leur mengatakan bahwa penyebaran penduduk India ke Indonesia cenderung dilakukan
oleh golongan Brahmana. Golongan ini datang atas undangan dari para penguasa Indonesia,
sehingga budaya yang mereka perkenalkan ke Indonesia adalah budaya golongan Brahmana.
Pendapat tersebut didukung oleh FDK Bosch yang mengatakan bahwa dalam proses penyebaran
hindu di Indonesia peranan kelompok kesatria dan pedagang tetap ada, akan tetapi yang berperan
penting dalam proses penghinduan adalah para sarjana agama –brahmana, baik dari India maupun
dari Indonesia sendiri. Dalam hal ini terjadi proses arus balik. Pada awalnya memang sarjana India
yang menyebarkan agama Hindu. Namun beberapa minggu setelah itu, kelompok sarjana pribumi
sendiri yang datang ke India untuk mempelajari agama hindu dan sekembalinya ke indonesia,
menyebarkan agama tersebut. Dalam teori arus balik ini, FDK Bosch mengatakan bahwa para
sarjana pribumi inilah yang paling berperan dalam menyebarkan agama hindu di Indoensia.
Hindu-Buddha di Indonesia |3

II. Bentuk pengaruh Hindu-buddha di Indonesia

Setiap kali migrasi yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok dilakukan, maka orang yang
bersangkutan akan membawa unsur-unsur kebudayaan yang melekat erat di dalam dirinya. Dengan
demikian, setiap persinggahan di suatu tempat (memiliki unsur kebudayaan tersendiri yang berbeda) yang
dilakukannya akan menjadi sebuah pertemuan bagi dua unsur kebudayaan berbeda. Interaksi yang terus-
menerus dilakukan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, berlangsung dalam waktu yang
lama, akan mengakibatkan sebuah proses akulturasi (penyatuan) kebudayaan-kebudayaan yang
bersangkutan.
Begitu pula dengan hubungan yang terjadi antara Cina, India dan Indonesia. Dengan adanya interaksi
antar kebudayaan, maka mau tidak mau ada pengaruh yang diberikan oleh kultur kebudayaan Hindu-Buddha
terhadap kebudayaan Indonesia. Adapun Wujud akulturasi kebudayaannya adalah sebagai berikut: vi

Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa sansekerta
yang dapat ditemukan sampai sekarang, dimana bahasa Sansekerta tersebut memperkaya perbendaharaan
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu
bertulis) peninggalan kerajaan Hindu – Buddha pada abad 5 – 7 M, Contohnya: prasasti Yupa dari Kutai,
prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di
gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 –
13 M. Sedangkan untuk aksara, dapat dibuktikan dengan adanya penggunaan huruf Pallawa, tetapi kemudian
huruf Pallawa tersebut juga berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis.
Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.

Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan
kalender tahun saka, tahun dalam kepercayaan Hindu. Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan
365 hari dan perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh misalnya tahun saka
654,maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M. Di samping adanya pengetahuan tentang kalender Saka, juga
ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan Candrasangkala. Candrasangkala adalah susunan
kalimat atau gambar yang dapat dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti
yang ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah satu. Contohnya yaitu kalimat
Sirna ilang kertaning bhumi apabila diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1,maka kalimat
tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478 M yang merupakan
tahun runtuhnya Majapahit .

Peralatan Hidup dan Teknologi


Hindu-Buddha di Indonesia |4

Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi.
Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di
Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena Indonesia hanya mengambil unsur
teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra –sebuah kitab
pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu
dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan, dimana bentuk dasar bangunan
candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan
Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut.
Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut,
sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan
orang-orang terkemuka. Di samping itu juga dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang
dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai
macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disebut dengan Pripih. Dengan demikian
fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan
dengan raja yang sudah meninggal.
Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk
tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan
tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa. Gambar candi juga salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang
merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 – 1268. Dilihat dari
gambar candi tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat
kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat
menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana).
Untuk candi yang bercorak Buddha, fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani
Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa. Candi Borobudur adalah candi Buddha yang terbesar
sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu peninggalan kerajaan
Mataram. Dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Buddha. Patung-
patung Dyani Buddha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Buddha. Di samping itu juga pada bagian
atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa. Untuk candi Buddha di India hanya berbentuk stupa,
sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Buddha. Dengan
demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil
intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak
Indonesia.

Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan .
Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul). Gambar
Hindu-Buddha di Indonesia |5

timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran
agama Hindu ataupun Buddha. Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Buddha sedang digoda
oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang, hal ini menunjukkan bahwa relief tersebut mengambil kisah
dalam riwayat hidup Sang Buddha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula di candi-
candi Hindu, relief yang juga mengambil kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah
Ramayana. Yang digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran. Dari relief-relief
tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi
suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam
ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja
budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.

Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Buddha masuk ke
Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan masuknya agama
Hindu – Buddha ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama
tersebut. Tetapi agama Hindu dan Buddha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan
dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme. Sinkritisme
adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu.
Untuk itu agama Hindu dan Buddha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu –
Buddha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat dalam
upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Buddha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara
Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di
India.

Organisasi Sosial Kemasyarakatan


Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi
politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Dengan
adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia
adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun. Raja di Indonesia ada yang
dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja
tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari, seperti Kertanegara
diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja Majapahit diwujudkan sebagai Harihari (dewa Syiwa dan
Wisnu jadi satu).
Permerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan ada
juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak
mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya kerajaan Majapahit, dalam
hal pengangkatan Wikramawardana.
Hindu-Buddha di Indonesia |6

Wujud akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem
kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Sistem kasta menurut
kepercayaan Hindu terdiri dari kasta :
- kastaBrahmana (golongan Pendeta),

- kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan),


- kasta Waisya (golongan pedagang) dan

- kasta Sudra (golongan rakyat jelata).


Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis
dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian,karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara
keagamaan.
i
Guru Sejarah. Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu Buddha di Indonesia.
[http://www.gurusejarah.com/2014/09/teori-masuknya-agama-dan-kebudayaan.html] Diunduh: 26
Oktober 2015
ii
Suwardono. 2013. Sejarah Indonesia – Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm: 7
iii
Tim Buddhakkhetta. 2009. Kedatangan Agama Buddha di Indonesia.
[http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub13/Art20/baca.php?com=1&id=120 ] Diunduh: 26 Oktober
2015
iv
Suwardono. 2013. Sejarah Indonesia – Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm: 7-8
v
Ibid. Hlm: 8-12
vi
Guru Sejarah. Wujud Akulturasi Hindu Buddha di Berbagai Bidang.
[http://www.gurusejarah.com/2015/02/wujud-akulturasi-hindu-buddha-di.html] Diunduh: 26 Oktober
2015

Anda mungkin juga menyukai