Artikel masuk pada 16 Januari 2012 Artikel selesai disunting pada 28 Maret 2012
Abstrak. Ragam hiasan merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan kepada masyarakat
luas. Proses penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan berperan sebagai media untuk memperindah
suatu karya seni manusia. Kemunculan ragam hiasan di Indonesia dimulai sejak masa prasejarah. Kemudian,
ragam hiasan mengalami perkembangan dari masa ke masa sampai dengan masuknya kebudayaan Hindu-
Buddha ke Indonesia. Tulisan ini membahas sejumlah ragam hias relief candi yang mempunyai makna magis-
religius dan diaplikasikan sebagai motif pada kain batik. Dengan demikian, metode yang dipakai untuk kajian ini
adalah deskriptif-eksplanatif dengan penalaran induktif, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil kajian menunjukkan masyarakat di Nusantara memiliki local
genius dalam menciptakan identitas baru yang sesuai dengan kebudayaannya dari hasil perkawinan budaya lokal
dan Hindu-Buddha. Gagasan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan inspirasi dan mendorong inovasi
kreasi-kreasi baru, tetapi tetap memperlihatkan karakteristik khas warisan budayanya.
Kata kunci: relief candi, ragam hiasan, local genius, motif batik, transformasi budaya, warisan budaya, identitas
Abstract. TEMPLE RELIEF ORNAMENTS AS BATIK MOTIFS. Ornaments are means of communication to
convey a message to the society. The creation process cannot be separated from the environmental influences
and it serves as a medium to embellish human’s work of art. The appearance of ornaments in Indonesia began
in the prehistoric periods. Thereafter, ornaments had been evolving from time to time until Hinduism-Buddhism
culture arrived in Indonesia. This paper discusses a number of temple relief ornaments that have magical-
religious meaning and applied as motifs on the batik cloth. Thus, the method used in this study is descriptive-
explanative with inductive reasoning, while the data collection is done by literature studies and direct observations
in the field. The results of the study showed people in the Indonesian archipelago has local genius in creating a
new identity in accordance with their culture derived from the marriage of local and Hindu-Buddhist culture. Such
idea is expected to be able to increase inspiration and encourage innovation of new creations, yet still showing
typical characteristics of their cultural heritages.
Keywords: temple reliefs, various ornaments, local genius, batik motifs, cultural transformation, cultural heritage,
identity
* Penulis adalah peneliti madya pada Balai Arkeologi Yogyakarta, email: ritaistari@yahoo.com
* Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Yogyakarta, email: ketut_wiradnyana@yahoo.com
Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78
dunia atas dan dunia bawah, di samping memiliki daya pengusir roh jahat yang akan
merupakan sumber segala kehidupan, mengganggu si mati yang ada di dalam
kekayaan, dan kemakmuran. Bunga yang sarkofagus tersebut (Soejono 1962, 210-250).
memiliki makna simbolis adalah bunga teratai Juga penggambaran manusia dalam sikap
yang dalam penggambarannya dibedakan kangkang dan genitalia merupakan lambang
bentuk, warna, dan namanya. Padma adalah harapan akan kemakmuran, kesuburan,
teratai merah sedang mekar, penuh terlihat keselamatan, dan kehidupan kembali untuk
dari samping, sehingga terlihat jajaran kelopak para arwah. Demikian pula sebagai hiasan
berlawanan arah ke atas dan ke bawah. Utpala pada waruga yaitu peti kubur batu yang
adalah teratai biru, digambarkan dalam merupakan makam leluhur suku Minahasa,
keadaan setengah terbuka. Daun bunga tidak Sulawesi Utara pada zaman dahulu. Waruga
terlalu lebar, serta jumlahnya sedikit tidak tidak saja merupakan salah satu jenis
bergelombang. Kumuda berupa teratai putih, pemakaman kuna, tetapi juga peninggalan
digambarkan dengan bunga yang lebar tetapi sejarah sekaligus monumen dengan ciri khas
runcing, jadi seperti bunga teratai yang sedang yang berakar pada kebudayaan megalitik.
mekar penuh dilihat dari depan Kedua jenis Ragam hias manusia kangkang ini
ini banyak dipahatkan pada relief-relief candi mengalami perkembangan sampai
di Jawa seperti pada Candi Borobudur, sekarang, dan dapat dilihat pada corak kain
Mendut, dan Prambanan (Atmosudiro dkk tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Motif
2008, 189-191). ini dapat dilihat pada tenun Sumba dan
Toraja.
3. Ragam Hias Bentuk Manusia
Tidak semua bagian tubuh manusia 4. Ragam Hias Bentuk Binatang
ditampilkan dalam seni hias, bagian tubuh Sejak masa prasejarah, motif
yang sering dimunculkan adalah bagian binatang sudah dikenal dan berkembang
muka. Pada masa Hindu-Buddha, muka sampai pada masa klasik. Tujuan
ditampilkan pada ambang pintu, relung, dan penggambaran binatang ini sebagai hiasan
jendela candi berupa kala. Kala diyakini dekoratif dan naratif untuk cerita dengan tokoh
mempunyai arti sebagai lambang penangkal binatang seperti cerita Jataka dan Tantri
segala sesuatu yang jahat. Kala pada candi- (Atmosudiro 2008, 177). Contoh
candi digambarkan dalam bentuk demonial penggambaran binatang gajah, dianggap
face dengan ciri-ciri: mata melotot, gigi dan mempunyai peranan penting dalam agama
taring menonjol keluar, dan tangan terbuka di Hindu yang diyakini sebagai lambang
kiri kanan mulut (Widyatmanta 1958, 48). Ganesha dan dalam agama Buddha sebagai
Sebenarnya sejak jaman prasejarah wahana Buddha Gautama (Poerbatjaraka
penggambaran wajah manusia sudah ada 1957, 21). Penggambaran binatang cecak
antara lain terdapat pada kedua sisi atau biawak dianggap sebagai penjelmaan
sarkofagus yang ditemukan di Bali oleh R.P. Mahakala yang dapat mencegah malapetaka
Soejono. Tonjolan yang berbentuk kepala ataupun perbuatan jahat. Candi-candi yang
manusia dengan menjulurkan lidah, dianggap memuat relief cerita antara lain: Candi
Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sukuh, pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat
dan banyak lagi relief cerita yang budaya. Adapun batik adalah suatu seni
menggambarkan manusia atau binatang. tradisional asli Indonesia dalam menghias
Contoh lain adalah relief Candrasengkala kain dan bahan lain dengan motif hiasan dan
seperti pada Candi Sawentar, dan Candi bahan warna khusus. Batik juga diartikan kain
Panataran di Jawa Timur. Relief tanpa cerita mori yang digambari dan diproses secara
lain terdapat di kompleks Candi tradisional. Batik dalam bahasa Jawa berasal
Gedongsongo, dan kompleks Candi Dieng dari kata amba dan nitik. Amba berarti kain,
(Atmosudiro 2008, 167). Relief candi yang dan nitik mempunyai pengertian berhubungan
berupa cerita (naratif) sudah banyak ditulis dengan sesuatu yang halus, lembut, dan kecil
oleh beberapa ahli, di antaranya oleh Maria J yang mengandung keindahan. Batik
Clock yang menulis tentang seluruh relief merupakan hasil penggambaran corak di atas
bertemakan Tantrik yang ada pada candi- kain dengan menggunakan canting dan
candi di Pulau Jawa. bahan malam/lilin (Handoyo 2008, 3). Batik
Candi-candi baik Hindu maupun ada beberapa macam yaitu batik tulis, batik
Buddha, biasanya mempunyai ragam hias cap, dan perpaduan antara batik tulis dan batik
yang digoreskan pada bagian-bagian tertentu cap disebut batik kombinasi. Budaya batik
tubuh candi, mulai dari kaki candi sampai dikenal hampir di semua etnis di Indonesia.
bagian atap candi. Relief menggambarkan Oleh sebab itu, banyak sekali ragamnya.
bermacam-macam bentuk, antara lain: Ragam hias batik dibuat ada yang hanya untuk
manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan memenuhi selera keindahan, tetapi ada juga
hiasan geometris. Hiasan geometris dipakai yang dibuat dengan tujuan lain. Di Jawa
untuk menghias bagian tepi atau pinggiran hampir seluruh motif batik diciptakan dengan
suatu benda dan diterakan sebagai pengisian suatu harapan. Batik motif Sidomukti, misalnya,
dari bagian benda pada permukaan bidang dibuat dengan pengharapan agar pemakainya
yang rata. Dapat juga sebagai inti atau bagian dapat mengalami hidup mulia dan
yang berdiri sendiri dan merupakan unsur berkecukupan.
estetik dalam bentuk ornamen arsitektural. Demikian pula halnya dengan motif
Relief simbol religius, ornamennya batik yang beraneka warna, dan semuanya
berhubungan dengan arti dan makna mengacu kepada tradisi turun temurun, untuk
keagamaan yang menjadi latar belakang memenuhi selera keindahan dan untuk tujuan
pendirian candi tersebut (Toekio 2000, 38). lain yang bersifat simbolis religius. Banyak hal
dapat terungkap dari ragam hias motif batik,
seperti latar belakang kebudayaan,
C. Ragam Motif, Bahan Kain, dan Makna
Simbolis Batik kepercayaan, adat istiadat, sifat dan tata
1. Motif Batik kehidupan, alam lingkungan, cita rasa, dan
tingkat ketrampilannya. Pada hakekatnya seni
Motif adalah pola atau corak hiasan
batik tersebut berasal dari nenek moyang
yang terungkap sebagai ekspresi jiwa
bangsa Indonesia yang diajarkan secara turun
manusia terhadap keindahan atau
temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Akan halnya ragam hias sebagai hasil (1) Motif sawat atau lar: melambangkan
kebudayaan yang berkesinambungan dengan penguasa tinggi atau mahkota
local genius/cultural identity kemampuan (2) Motif meru/pagoda: melambangkan
menyerap dan mengolah pengaruh alam, bumi, gunung
kebudayaan sehingga dapat mencapai suatu (3) Motif naga: melambangkan air
ciptaan baru yang tidak ada pada wilayah (4) Motif burung: melambangkan dunia
bangsa yang membawa pengaruh budaya atas atau angin
tersebut. Bangsa Indonesia secara (5) Motif modang/lidah api:
keseluruhan sudah memiliki kemampuan itu melambangkan panas atau nyala api
(Widyahartono 1989, 206).
sejak jaman dahulu (Soebadio 1985, 21-23).
Perlu pula disimak pendapat Brandes yang Motif-motif dasar batik Solo – Yogya
mengatakan bahwa Bangsa Indonesia tersebut dibagi lagi menjadi banyak sub- motif
khususnya masyarakat Jawa pada jaman pra- antara lain:
Hindu sudah mengenal 10 macam (1) Parang, mempunyai 20 sub-motif
kepandaian yaitu wayang, gamelan, tembang antara lain: parang rusak, parang
(metrum), membatik, mengerjakan logam, klitik, parang gurda, parang kusumo,
dan parang barong;
sistem mata uang, pelayaran, astronomi,
(2) Geometris, mempunyai 42 sub-motif
irigasi/pengairan sawah, dan pemerintahan
antara lain: kawung, jlamprang dan
yang teratur (Atmodjo 1979, 51).
nitik rengganis;
Di Jawa Tengah, motif batik dibagi dalam (3) Sulur-suluran, mempunyai 38 sub-
dua golongan, yaitu sebagai berikut. motif antara lain: semen, kembang
a. Motif Batik Keraton gempol, dan sawat suri;
Motif batik keraton identik berasal (4) Tumbuh-tumbuhan air, mempunyai
15 sub-motif antara lain: ganggong
dari Solo dan Yogyakarta, oleh sebab itu batik
bronta;
keraton disebut juga sebagai motif batik Solo-
(5) Kembang, mempunyai 24 sub-motif
Yogya. Motif batik keraton sebelumnya
antara lain: Trumtum, ceplok dan
berkembang di lingkungan keraton/istana,
grompol;
sebagai sarana membuat bahan pakaian raja (6) Satwa dan alam kehidupan,
dan keluarganya. Saat itu batik dianggap mempunyai 65 sub-motif antara lain:
sebagai karya yang langka, maka pengguna sidomukti, gringsing, cuwiri, dan
batik hanya terbatas untuk kalangan keluarga buntal;
bangsawan (Anshori 2011, 11). (7) Banji/Swastika, hanya mempunyai 3
Batik Solo-Yogya bersifat simbolis sub-motif yaitu: banji, banji bengkok
atau perlambang dengan latar belakang (motif mirip kawung) dan banji guling
kebudayaan Hindu dan Kejawen. Batik ini (Widyahartono 1989, 207);
mempunyai ciri khas warna dominan yaitu (8) Isen-isen, merupakan motif
coklat sogan, biru wedelan/indigo, hitam dan tambahan untuk mengisi bidang
putih. Motif dasar dari batik Solo – Yogya ini yang kosong pada kain. Isen-isen
antara lain: umumnya berukuran kecil dan dibuat
setelah selesai membuat pola ragam demikian juga warna merah, kuning, dan
hias utama. Isen-isen memiliki 33 coklat. Batik pesisir yang terkenal adalah batik
sub-motif yang masing-masing dari Pekalongan, Lasem, Cirebon, dan
mempunyai nama sendiri untuk Madura. Motif Cina yang banyak dipakai
setiap jenisnya. Proses sampai sekarang adalah motif yang
pembuatannya membutuhkan waktu menggambarkan binatang khayal seperti
yang lama, sehingga menuntut peksi naga, liman, mega/awan, dan singa
kesabaran dan ketelitian (Handoyo barong.
2008, 10-11).
a b c
a b
temurun. Jenis-jenis kain yang biasa dipilih yang terletak dekat rahang bawah. Bila terkena
sebagai bahan dasar batik ada dua macam udara, cairan sekresinya akan mengeras. Ulat
yaitu: kain katun dan kain sutra. sutra menganyam kepompongnya dalam 3-5
a. Kain Katun hari. Sekitar 2-3 minggu kemudian, ngengat
Kain katun adalah kain yang terbuat keluar dari kepompong dengan merobek
dari benang kapas yang dipintal. Katun dipilih kepompongnya, akibatnya serat sutra pun
sebagai bahan dasar karena sifatnya yang akan terpotong-potong. Oleh karena itu petani
mampu menyerap kelembaban, dan memiliki ulat sutra biasanya mengambil serat sutra
daya tahan terhadap panas, sebab kain kapas sebelum ngengat keluar dari kepompong. Ulat
bukan penghantar panas yang baik. Selain itu sutra sebagai penghasil benang sutra sudah
kain kapas memiliki keelastisan yang stabil. dikenal sejak beberapa ribu tahun yang lalu
Secara umum, kain katun yang digunakan di Cina. Namun, dunia Barat baru mengetahui
sebagai bahan batik disebut mori, yaitu mengenai serat sutra ini sekitar tahun 300 SM.
tenunan benang yang kualitasnya ditentukan Meskipun demikian, sampai sekitar tahun 550
oleh kerapatan anyamannya. Kain mori Masehi sutra sudah dibudidayakan di seluruh
kualitas bagus yang digunakan pada dunia, terutama untuk diambil seratnya
pembatikan di Jawa sebelum tahun 1800-an, (Prihatin 1991, 459).
masih didatangkan dari India. Kain katun yang Saat ini sutra yang ada di pasaran
dianggap memiliki kualitas tertinggi, bagi para adalah sebagai berikut.
(1) Sutra import adalah kain sutra yang
pengrajin batik dikenal dengan istilah primis
ditenun secara manual, dikenal dengan
atau primissima. Primissima muncul lebih
sutra Super, Organdi, Crepe, dan Kaca
dahulu sebagai kain mori tanpa cacat
Kotak;
tenunan, kemudian istilah primis muncul
(2) Sutra lokal yaitu kain sutra buatan dalam
kemudian yang berarti prima atau sempurna negeri ditenun dengan alat tenun bukan
(Anshori 2011, 32). mesin (ATBM);
b. Kain Sutra (3) Antara lain, sutra polos, sutra granitan,
Kain sutra terbuat dari serat protein, dan sutra sulur;
yang diperoleh dari ulat sutra, sejenis serangga (4)Sutra Liar, yaitu sutra yang dibuat dari
serat ulat sutra yang dibudidayakan
bombyx mori yang termasuk suku
secara liar. Ulat-ulat sutra ini dibiarkan
Bombyeidae. Ulat sutra mempunyai nilai
hidup dengan makan daun-daunan
ekonomi tinggi karena menghasilkan benang
mahoni, murbei, kedondong, dan
sutra. Mula-mula ulat sutra membuat jala jambu mete. Jenis serta yang
dengan serat sutra pertama yang disebut flos. dihasilkan dari ulat pemakan daun
Setelah itu binatang tersebut membalurkan jambu mete, murbei, dan kedondong,
diri dengan serta sutra ke seluruh tubuhnya, berwarna kuning keemasan.
dan dengan demikian membentuk Sedangkan serat yang dihasilkan dari
kepompong. Serat ini tidak terputus, sehingga ulat pemakan daun mahoni berwarna
panjangnya mencapai sekitar 600-900 meter. coklat. Warna-warna tersebut adalah
Benang ini dihasilkan oleh dua kelenjar khusus warna alami (Anshori 2011, 31-36).
mengutus dewa Wisnu untuk menemui yang menganggap motif ini diilhami dari
Garuda dan terjadilah perang mulut yang sebuah lereng tanah berbukit. Selain itu, motif
dimenangkan oleh Garuda. Akhirnya Garuda lereng juga dapat dihubungkan dengan
mempersilahkan para dewa untuk meminta pohon semacam talas yang dipolakan
satu permohonan kepadanya yang akan berdasarkan motif meander (Sunaryo 2009,
dikabulkannya. Ternyata permohonan yang 26).
diajukan sangat sederhana, tetapi justru
d. Motif Jlamprang: Sub-Motif Geometri
menunjukkan kecerdasan akal dewa Wisnu.
Motif ini sebenarnya adalah motif
Permohonan itu adalah agar Garuda bersedia
cinde yang berasal dari Hindustan, sedangkan
menjadi kendaraan atau wahana dewa Wisnu.
di Jawa biasanya disebut dengan motif nitik.
Oleh karena sudah terlanjur berjanji akan
Bentuk penggambarannya bulat, di tengahnya
mengabulkan satu permohonan para dewa,
terdapat bulatan kecil seperti subang. Motif
terpaksalah Garuda memenuhinya. Sejak
ini banyak terdapat di arca-arca dan relief-
itulah dalam penggambaran tokoh dewa
relief candi Hindu-Buddha sebagai asesoris.
Wisnu selalu menaiki seekor garuda
Motif ini biasa digunakan untuk para
(Kuswadji 1985, 12).
bangsawan dan sangat digemari oleh
Dewa Wisnu juga diyakini sebagai
masyarakat Jawa. Menurut Rauffer dan
Sang Hyang Hari yang berarti matahari,
Joynboll dalam Kuswadji (1985), motif
sehingga garuda juga identik dengan
jlamprang diambil dari bunga yang memiliki
lambang matahari atau disebut juga sebagai
delapan daun mahkota. Sedangkan dalam
burung angkasa (lambang laki-laki),
kepercayaan Hindu dan Jawa, jlamprang
sedangkan lawannya lambang perempuan
merupakan bentuk Yantra atau Cakra,
adalah ular sebagai penguasa bumi. Karena
keduanya sebagai lambang senjata dewa
garuda mengandung pengertian sebagai
Wisnu yang bersinar delapan. Hal ini
lambang laki-laki, angkasa, dan matahari yang
menunjukkan betapa pentingnya kedudukan
memberi kehidupan, maka motif garuda atau
bilangan delapan pada kepercayaan dan
gurda diharapkan pengaruhnya bagi pemakai
pandangan hidup masyarakat Jawa baik pada
batik motif ini. Selain untuk ragam hias batik,
masa lampau maupun sekarang.
garuda juga banyak dipakai dalam
Penggambaran motif jlamprang adalah
masyarakat Jawa misalnya dalam
bentuk cakra dengan lidah api delapan buah
pewayangan, seni ukir, seni hias lainnya
untuk menyinari dunia. Cakra sebagai senjata
bahkan menjadi lambang Negara Republik
Wisnu juga mempunyai pengertian yang
Indonesia.
identik dengan matahari. Tentang bilangan
c. Motif Lereng: Sub-Motif Parang delapan ini dapat dihubungkan dengan
Motif lain yang termasuk sub-parang bangunan candi Hindu yang mempunyai
adalah lereng, yang memiliki pola dasar garis- delapan dewa penjaga mata angin/
garis miring yang sejajar. Di antara garis-garis Astalokapala. Pada pengaturan tentang
yang sejajar tersebut terdapat pilin kait atau candrasengkala, kata badan (Jawa)
pilin ganda seperti pada motif parang. Adapula mempunyai watak delapan seperti
pengejawantahan dewa Siwa/Mahadewa ini sudah ada sejak jaman prasejarah antara
yang dapat diuraikan menjadi 8, yaitu Rawi = lain terdapat sebagai ornamen pada nekara
matahari, Saso = bulan, Kaiti = tanah, Jala = perunggu. Ragam hias tumpal juga
air, Pawana = angin, Hutasena = api, Jayamana menghiasi bangunan candi-candi dalam
= pemimpin suatu upacara keselamatan, dan berbagai variasinya berbentuk dasar segitiga
Akasa = udara. Ada pula pendapat lain yang sama kaki diisi oleh aneka motif tumbuh-
mengatakan bahwa dalam agama Hindu arah tumbuhan, seperti sulur-suluran, bahkan
mata angin masing-masing dijaga oleh seekor dapat pula terisi bentuk motif ragam hias lidah
gajah yang bernama: Airawata, Pindarika, api. Motif ini mendapat pengaruh dari budaya
Vamana, Kumuda, Ayana, Puspadanta, Cina dan terlihat pada motif batik di daerah
Sarwaboma, dan Supratika (Kuswadji 1985, pinggiran atau pesisir-pesisir pantai (Hoop
19). Dalam pandangan hidup masyarakat 1949, 26-30).
Jawa ada ajaran yang mengandung angka 8
yaitu Astabrata yang berarti 8 macam jalan 4. Pengembangan Ragam Hias Non-
hidup. Masih banyak lagi contoh-contoh Cerita Relief Candi pada Motif Batik
tentang bilangan 8 yang dianggap sakral ini,
Beberapa motif ragam hias non-
dan karena alasan itulah motif batik jlamprang
cerita relief candi dan motif batik di bawah ini,
dibuat dengan tujuan agar pemakainya
menunjukkan kemiripan. Meskipun tidak
mendapat pengaruh yang baik-baik pula.
sama persis, tetapi dapat dianggap telah
e. Motif Tumpal: Sub-Motif Geometri mengalami perkembangan kreativitas yang
Memiliki dasar segitiga, biasanya menghasilkan suatu kreasi baru, sekiranya
membentuk pola berderet, dan digunakan dapat disejajarkan seperti digambarkan
sebagai ornamen pada tepi kain batik. Motif dalam perbandingan gambar berikut.
Foto 3. Aplikasi motif jlamprang sebagai motif sub-geometris (gambar sebelah kanan) yang
berdasarkan ragam hias kertas tempel yang terdapat pada panil relief non-cerita di dinding Candi
Sewu (gambar sebelah kiri)
Foto 4. Motif Motif sub-satwa, sido asih dengan gambar fauna atau satwa (gambar sebelah kanan)
yang berdasarkan ragam hias kertas tempel pada relief non-cerita di dinding Candi Plaosan (gambar
sebelah kiri)
Foto 5. Motif sawat/lar, sub-parang (gambar sebelah kanan) yang berdasarkan ragam hias Garuda di
Candi Sukuh (gambar sebelah kiri)
Foto 6. Motif tumpal pada pinggiran kain batik (gambar sebelah kanan) yang berdasarkan ragam hias
geometris/tumpal pada relief non-cerita di dinding Candi Plaosan
Referensi
Anshori, Yusak dan Adi Kusrianto. 2011. Prihatin, Iwan Tega. 1991. Eksiklopedi
Keeksotisan batik Jawa Timur. nasional Indonesia jilid 15.
Jakarta: PT Elex Media Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Komputindo Kelompok Simanjuntak, Truman (editor). 2008. Metode
Gramedia. penelitian arkeologi. Jakarta:
Atmosudiro, Sumijati dkk. (ed.). 2008. Seni Pusat Penelitian dan
hias kuno. Dalam Jawa Tengah Pengembangan Arkeologi
Sebuah Potret Warisan Budaya. Nasional.
Prambanan: Balai Pelestarian Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara
Peninggalan Purbakala Jawa kajian khusus tentang ornamen
Tengah bekerja sama dengan Indonesia. Semarang: Dahana
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Prize.
Budaya Universitas Gadjah Soebadio, Haryati. 1985. Kepribadian budaya
Mada. bangsa. Dalam Kepribadian
Atmojo, M. M. Sukarto K. 1979. Struktur budaya bangsa (local genius).
masyarakat Jawa Kuna pada Jakarta: Pustaka Jaya, 18-25.
jaman Mataram Hindu dan Soeleiman, Satyawati. 1985. Local genius
Majapahit. Yogyakarta: Pusat pada masa klasik. Kepribadian
Penelitian dan Studi Pedesaan budaya bangsa (local genius).
dan Kawasan Universitas Jakarta: Pustaka Jaya, 152-185.
Gadjah Mada. Toekio, Soegeng, M. 2000. Mengenal ragam
Covarrubias, Miguel. 1973. Island of Bali. hias Indonesia. Bandung:
California: Periplus Edition. Penerbit Angkasa.
Handoyo, Joko Dwi. 2008. Batik dan jumputan. Wagner, Firts A. 1959. The art of the world.
Sleman: PT. Macanan Jaya Jakarta: Indonesia the Art of an
Cemerlang. Island Group.
Hoop, A. N. J. Th. van der. 1949. Ragam-ragam Widyatmanta, Siman. 1958. Adiparwa I.
perhiasan Indonesia. Bandung: Diterjemahkan oleh Seksi
Koninklijk Bataviaasch Bahasa Jawa Cabang Bagiab
Genootchap van Kunsten Een Bahasa. Yogyakarta: Jawatan
Weltenschappen. Kebudayaan Kementrian
Kuswadji, K. 1985. Motif batik dalam Pendidikan dan Kebudayaan.
pandangan hidup masyarakat Widyahartono, Bob dan Endang Partrijunianti.
Jawa. Yogyakarta: Lembaga 1989. Ensiklopadi Nasional
Javanologi. Indonesia Jilid 3. Jakarta: PT.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Cipta Adi Pustaka.
mentalitas dan pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.