Anda di halaman 1dari 15

Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi

untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

RAGAM HIAS NON-CERITA PADA RELIEF CANDI UNTUK


PERKEMBANGAN MOTIF BATIK KONTEMPORER
T. M. Rita Istari*
Balai Arkeologi Yogyakarta, Jalan Gedongkuning 174, Kotagede, Yogyakarta 55171;
Telepon: (0274) 3779913; Facsimile (0274) 3779913

Artikel masuk pada 16 Januari 2012 Artikel selesai disunting pada 28 Maret 2012

Abstrak. Ragam hiasan merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan kepada masyarakat
luas. Proses penciptaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan dan berperan sebagai media untuk memperindah
suatu karya seni manusia. Kemunculan ragam hiasan di Indonesia dimulai sejak masa prasejarah. Kemudian,
ragam hiasan mengalami perkembangan dari masa ke masa sampai dengan masuknya kebudayaan Hindu-
Buddha ke Indonesia. Tulisan ini membahas sejumlah ragam hias relief candi yang mempunyai makna magis-
religius dan diaplikasikan sebagai motif pada kain batik. Dengan demikian, metode yang dipakai untuk kajian ini
adalah deskriptif-eksplanatif dengan penalaran induktif, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka dan pengamatan langsung di lapangan. Hasil kajian menunjukkan masyarakat di Nusantara memiliki local
genius dalam menciptakan identitas baru yang sesuai dengan kebudayaannya dari hasil perkawinan budaya lokal
dan Hindu-Buddha. Gagasan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan inspirasi dan mendorong inovasi
kreasi-kreasi baru, tetapi tetap memperlihatkan karakteristik khas warisan budayanya.

Kata kunci: relief candi, ragam hiasan, local genius, motif batik, transformasi budaya, warisan budaya, identitas

Abstract. TEMPLE RELIEF ORNAMENTS AS BATIK MOTIFS. Ornaments are means of communication to
convey a message to the society. The creation process cannot be separated from the environmental influences
and it serves as a medium to embellish human’s work of art. The appearance of ornaments in Indonesia began
in the prehistoric periods. Thereafter, ornaments had been evolving from time to time until Hinduism-Buddhism
culture arrived in Indonesia. This paper discusses a number of temple relief ornaments that have magical-
religious meaning and applied as motifs on the batik cloth. Thus, the method used in this study is descriptive-
explanative with inductive reasoning, while the data collection is done by literature studies and direct observations
in the field. The results of the study showed people in the Indonesian archipelago has local genius in creating a
new identity in accordance with their culture derived from the marriage of local and Hindu-Buddhist culture. Such
idea is expected to be able to increase inspiration and encourage innovation of new creations, yet still showing
typical characteristics of their cultural heritages.

Keywords: temple reliefs, various ornaments, local genius, batik motifs, cultural transformation, cultural heritage,
identity

* Penulis adalah peneliti madya pada Balai Arkeologi Yogyakarta, email: ritaistari@yahoo.com

64 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin

* Penulis adalah Peneliti Madya pada Balai Arkeologi Yogyakarta, email: ketut_wiradnyana@yahoo.com
Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

A. Pendahuluan yang digosok halus dari kebudayaan megalitik


Manusia dan kebudayaan seperti dolmen, menhir, dan sarkofagus.
merupakan kesatuan yang erat karena hasrat Kemudian tinggalan arkeologi dari budaya
untuk memenuhi kebutuhan hidup perunggu yang pertama ditemukan di
menimbulkan karya-karya yang bagus. Dongson, Indo Cina Utara, berupa nekara,
Kebudayaan neolitik adalah kebudayaan dan kapak perunggu. Pada permukaan
pertama yang tersebar di Indonesia dan nekara dihiasi ornamen-ornamen seperti
menjadi dasar kebudayaan bangsa Indonesia garis-garis, meander, tumpal, dan spiral
selanjutnya (Koentjaraningrat 1990, 18). (Sunarya 2009, 8). Peralatan memasak yang
Budaya neolitik dikatakan menjadi dasar dibuat dari tanah liat dengan hiasan geometris
kebudayaan di dunia pada umumnya dan di ditemukan dalam penggalian-penggalian
Indonesia khususnya. Zaman itu manusia arkeologi. Datangnya budaya Hindu dan
sudah merubah hidupnya dari food-gathering Buddha bukannya melenyapkan kebudayaan
menjadi food-producing, saat itu orang sudah nenek moyang yang sudah ada, melainkan
bertempat tinggal menetap dan telah membawa pengaruh adanya suatu
mempunyai kepandaian bercocok tanam di kepandaian baru yaitu menulis, yang
ladang dengan menanam umbi-umbian dan selanjutnya memperkaya kebudayaan bangsa
membuat peralatan memasak dari tanah liat. Indonesia. Oleh sebab itu, kemudian muncul
Mereka beranggapan dalam mencapai tujuan inspirasi karya seni yang digoreskan pada
tertentu perlu diciptakan segala sesuatu yang bangunan-bangunan suci sebagai rumah
bagus yang berhubungan dengan magis dan para dewa yang dinamakan ornamen atau
bersumber kepada religi. Kata religi berasal ragam hias yang mengandung unsur-unsur
dari bahasa Latin relique, yang berarti benda- mistik yang berhubungan dengan
benda keramat peninggalan seseorang yang kepercayaan dan keagamaan. Menurut
dipandang suci dengan demikian yang akan Niewenkamp dalam Covarrubias (1973, 95)
dijadikan objek penghormatan, juga ornamen-ornamen atau ragam hias itu
dianggap dapat menghubungkan kembali menggambarkan perwujudan jiwa dan objek
manusia dengan asalnya (Wagner 1959, 19). alam yang distilisasi, sehingga terbentuk seni
Alat untuk menghubungkan kembali ke lukis ataupun ukir sesuai dengan kemampuan
asalnya diperoleh manusia dengan senimannya, yang akhirnya berkembang
menciptakan suatu karya seni dari menjadi dasar pola-pola tertentu yang bersifat
pengalaman sebagai hasil religius dan turun temurun.
pemujaan kepada leluhur, sedangkan Pada waktu kebudayaan Hindu-
kepercayaan manusia menghormati karya Buddha masuk ke Indonesia, ragam hias
seni itu terkait dengan adat yang berakar terdapat pada bangunan-bangunan candi.
kepada mitos dan tradisi. Pada umumnya ragam hias tersebut
Sebelum berkembangnya mengandung nilai simbolis terkait dengan
kebudayaan Hindu-Buddha, di Indonesia kepercayaan yang dianutnya. Motif hias
sudah terdapat banyak karya seni dari jaman manusia tidak lagi menggambarkan sosok
prasejarah. Karya seni itu antara lain beliung nenek moyang yang kaku. Melainkan akibat

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 65


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha tradisional yang meniru bangunan candi


tersebut, manusia digambarkan dalam bentuk sebagai tinggalan masa lampau. Ornamen
tokoh manusia atau dewa dengan berbagai pada bangunan candi terdapat hampir di
sikap dan atribut. Demikian pula ragam hias seluruh komponen bangunan candi seperti
tumbuhan digambarkan secara alami pada kaki, tubuh, dan atap candi.
(naturalis), nyata (realis), dan digayakan
(stiliran). Sementara itu, binatang yang sering B. Ragam Hias pada Relief Candi
digambarkan adalah jenis binatang unggas, Candi adalah peninggalan
binatang merayap, binatang berkaki empat, arsitektural dari Masa Klasik Indonesia sejak
dan binatang khayali (mistis) (Hoop 1949, 11- abad V-XV Masehi. Penyebaran candi dalam
15). Ragam hias merupakan gambaran yang periode Klasik terdapat hampir di seluruh
menyatakan keadaan diri dan lingkungan kepulauan Indonesia, meskipun yang
penciptanya. Bila ragam hias tersebut dipakai terbanyak adalah candi-candi yang berada di
terus menerus dan menjadi kebiasaan Pulau Jawa, khususnya di Daerah Istimewa
masyarakat maka akan menjadi suatu tradisi. Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur
Ragam hias dibuat dengan tujuan untuk yang pernah mempunyai kerajaan besar pada
memperindah suatu bentuk atau suatu karya masanya. Di balik bentuk fisik candi
oleh pembuatnya. Jenis-jenis ragam hias terkandung nilai-nilai dan pesan spiritual, yang
terdapat pada setiap kelompok masyarakat menjadi intisari penciptaan tersebut melalui
yang tersebar di seluruh wilayah Kepulauan seni bangun, seni arca, dan seni hias candi
Indonesia. Masing-masing wilayah tersebut (relief), yang dianggap dapat
mempunyai jenis ragam hias yang sudah menghubungkan manusia untuk mencapai
eksis dan menjadi ciri khas dari suatu wilayah dunia nirwana.
tertentu tampak pada hasil-hasil kebudayaan Bangunan candi Hindu dan Buddha,
misalnya, berupa karya-karya seni dalam sebagian besar mempunyai relief-relief yang
bentuk kain batik, tenun, dan ukiran pada kayu. dapat dikategorikan dalam tiga jenis
Sebagai contoh dapat dilihat pada kain batik (Simanjuntak 2008, 108-111) yaitu:
dari Jawa, tenun dari Toraja, Flores, dan Bali,
1. Relief Cerita (Naratif)
ataupun seni ukir kayu dari Kalimantan, Toraja, Jenis relief ini memvisualisasikan
Bali, dan Irian. Siapapun yang melihat hasil suatu bentuk cerita yang
karya itu tentu akan langsung mengetahui menggambarkan cerita keagamaan
karya seni tersebut berasal darimana. atau pun cerita yang bersifat
Tentunya karya seni itu muncul dari budaya pendidikan. Cerita tersebut
seni masa lampau yang diciptakan oleh dipahatkan pada sejumlah panil yang
generasi terdahulu, yang kemudian diwariskan kisahnya berangkai dari panil ke
secara turun temurun ke generasi berikutnya panil. Pembacaannya dapat searah
dengan mengalami berbagai perkembangan. jarum jam (pradaksina) atau pun
Hal tersebut juga dapat dijumpai pada berlawanan arah jarum jam
bangunan-bangunan di wilayah Indonesia (prasawya);
yang banyak berhiaskan ragam ornamen

66 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

2. Relief Candrasengkala d. Swastika/Banji, memiliki dasar garis


Relief tersebut merupakan relief tekuk yang bersilangan mirip bentuk
yang digambarkan dalam bentuk baling-baling dan swastika. Swastika
figur-figur manusia, hewan atau adalah lambang bintang-bintang dan
makhluk mitologis yang harus matahari;
diartikan dalam bentuk kalimat. e. Kawung, dengan dasar berupa
Kalimat yang terbentuk, bentuk-bentuk lingkaran yang saling
mengandung arti angka tahun; berpotongan berjajar ke kiri kanan
3. Relief Non- Cerita atau ke atas bawah;
Relief jenis ini banyak ragamnya, f. Jlamprang, bentuk berupa lingkaran-
dipahat pada bermacam bangunan. lingkaran yang berjajar dan
Digambarkan dalam bentuk simbol bersinggungan, di tengahnya diisi
dari konsep agama tertentu, dan dengan pola-pola hias tumbuh-
dapat dibagi menjadi: tumbuhan atau geometris;
a. Relief Hiasan Geometris g. Kertas tempel, berupa pengulangan
b. Relief Simbol Mitologi-Religius. suatu pola tertentu, digunakan untuk
. menghiasi bidang-bidang di bagian
Ragam hias dapat juga
luar dinding (Hoop 1949, 26-91).
dikelompokkan secara lebih sederhana
berdasarkan bentuk-bentuknya menjadi, 2. Ragam Hias Bentuk Tumbuh-
ragam hias bentuk geometris, tumbuh- tumbuhan
tumbuhan, manusia, dan binatang. Bentuk tumbuh-tumbuhan
1. Ragam Hias Bentuk Geometri merupakan ragam hias yang terdiri atas satu
tangkai atau lebih dengan bunga-bunganya
Ragam hias ini berdasarkan hasil
yang distilisasi, sehingga menghasilkan
penelitian dapat dianggap sebagai bentuk
bentuk-bentuk tertentu menyerupai tangkai.
tertua yang kemudian mengalami
Bentuk ini disebut patra, yang dalam Bahasa
perkembangan dengan masuknya
Sansekerta berarti daun atau surat. Fakta
kebudayaan lain. Bentuk ragam hias ini antara
itulah mungkin yang menyebabkan hiasan
lain adalah:
patra selalu dilengkapi dengan daun-daun
a. Tumpal, memiliki bentuk dasar bidang
yang menjadi pokok variasi, meskipun daun
segitiga, berderet ke samping;
itu sudah distilir dari bentuk aslinya. Tidak
b. Meander, merupakan hiasan pinggir
yang bentuk dasarnya berupa garis semua ragam hias tumbuhan ini
berliku atau berkelok-kelok; mengandung nilai makna simbolik, sebab
c. Pilin, bentuk dasarnya merupakan kadang hiasan ini ditekankan pada segi
garis lengkung spiral atau lengkung keindahan dan tidak menggambarkan jenis
kait. Dapat dibedakan menjadi pilin tanaman tertentu. Pada masa Hindu-Buddha
tunggal yang berbentuk ikal, pilin tumbuhan yang sangat populer dan
ganda berbentuk dasar huruf S, dan mengandung makna simbolik di antaranya
pilin tegar yaitu bentuk ikal adalah pohon Kalpataru yang dianggap
bersambung dan berganti arah; sebagai pohon keramat yang menyatukan

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 67


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

dunia atas dan dunia bawah, di samping memiliki daya pengusir roh jahat yang akan
merupakan sumber segala kehidupan, mengganggu si mati yang ada di dalam
kekayaan, dan kemakmuran. Bunga yang sarkofagus tersebut (Soejono 1962, 210-250).
memiliki makna simbolis adalah bunga teratai Juga penggambaran manusia dalam sikap
yang dalam penggambarannya dibedakan kangkang dan genitalia merupakan lambang
bentuk, warna, dan namanya. Padma adalah harapan akan kemakmuran, kesuburan,
teratai merah sedang mekar, penuh terlihat keselamatan, dan kehidupan kembali untuk
dari samping, sehingga terlihat jajaran kelopak para arwah. Demikian pula sebagai hiasan
berlawanan arah ke atas dan ke bawah. Utpala pada waruga yaitu peti kubur batu yang
adalah teratai biru, digambarkan dalam merupakan makam leluhur suku Minahasa,
keadaan setengah terbuka. Daun bunga tidak Sulawesi Utara pada zaman dahulu. Waruga
terlalu lebar, serta jumlahnya sedikit tidak tidak saja merupakan salah satu jenis
bergelombang. Kumuda berupa teratai putih, pemakaman kuna, tetapi juga peninggalan
digambarkan dengan bunga yang lebar tetapi sejarah sekaligus monumen dengan ciri khas
runcing, jadi seperti bunga teratai yang sedang yang berakar pada kebudayaan megalitik.
mekar penuh dilihat dari depan Kedua jenis Ragam hias manusia kangkang ini
ini banyak dipahatkan pada relief-relief candi mengalami perkembangan sampai
di Jawa seperti pada Candi Borobudur, sekarang, dan dapat dilihat pada corak kain
Mendut, dan Prambanan (Atmosudiro dkk tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Motif
2008, 189-191). ini dapat dilihat pada tenun Sumba dan
Toraja.
3. Ragam Hias Bentuk Manusia
Tidak semua bagian tubuh manusia 4. Ragam Hias Bentuk Binatang
ditampilkan dalam seni hias, bagian tubuh Sejak masa prasejarah, motif
yang sering dimunculkan adalah bagian binatang sudah dikenal dan berkembang
muka. Pada masa Hindu-Buddha, muka sampai pada masa klasik. Tujuan
ditampilkan pada ambang pintu, relung, dan penggambaran binatang ini sebagai hiasan
jendela candi berupa kala. Kala diyakini dekoratif dan naratif untuk cerita dengan tokoh
mempunyai arti sebagai lambang penangkal binatang seperti cerita Jataka dan Tantri
segala sesuatu yang jahat. Kala pada candi- (Atmosudiro 2008, 177). Contoh
candi digambarkan dalam bentuk demonial penggambaran binatang gajah, dianggap
face dengan ciri-ciri: mata melotot, gigi dan mempunyai peranan penting dalam agama
taring menonjol keluar, dan tangan terbuka di Hindu yang diyakini sebagai lambang
kiri kanan mulut (Widyatmanta 1958, 48). Ganesha dan dalam agama Buddha sebagai
Sebenarnya sejak jaman prasejarah wahana Buddha Gautama (Poerbatjaraka
penggambaran wajah manusia sudah ada 1957, 21). Penggambaran binatang cecak
antara lain terdapat pada kedua sisi atau biawak dianggap sebagai penjelmaan
sarkofagus yang ditemukan di Bali oleh R.P. Mahakala yang dapat mencegah malapetaka
Soejono. Tonjolan yang berbentuk kepala ataupun perbuatan jahat. Candi-candi yang
manusia dengan menjulurkan lidah, dianggap memuat relief cerita antara lain: Candi

68 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sukuh, pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat
dan banyak lagi relief cerita yang budaya. Adapun batik adalah suatu seni
menggambarkan manusia atau binatang. tradisional asli Indonesia dalam menghias
Contoh lain adalah relief Candrasengkala kain dan bahan lain dengan motif hiasan dan
seperti pada Candi Sawentar, dan Candi bahan warna khusus. Batik juga diartikan kain
Panataran di Jawa Timur. Relief tanpa cerita mori yang digambari dan diproses secara
lain terdapat di kompleks Candi tradisional. Batik dalam bahasa Jawa berasal
Gedongsongo, dan kompleks Candi Dieng dari kata amba dan nitik. Amba berarti kain,
(Atmosudiro 2008, 167). Relief candi yang dan nitik mempunyai pengertian berhubungan
berupa cerita (naratif) sudah banyak ditulis dengan sesuatu yang halus, lembut, dan kecil
oleh beberapa ahli, di antaranya oleh Maria J yang mengandung keindahan. Batik
Clock yang menulis tentang seluruh relief merupakan hasil penggambaran corak di atas
bertemakan Tantrik yang ada pada candi- kain dengan menggunakan canting dan
candi di Pulau Jawa. bahan malam/lilin (Handoyo 2008, 3). Batik
Candi-candi baik Hindu maupun ada beberapa macam yaitu batik tulis, batik
Buddha, biasanya mempunyai ragam hias cap, dan perpaduan antara batik tulis dan batik
yang digoreskan pada bagian-bagian tertentu cap disebut batik kombinasi. Budaya batik
tubuh candi, mulai dari kaki candi sampai dikenal hampir di semua etnis di Indonesia.
bagian atap candi. Relief menggambarkan Oleh sebab itu, banyak sekali ragamnya.
bermacam-macam bentuk, antara lain: Ragam hias batik dibuat ada yang hanya untuk
manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan memenuhi selera keindahan, tetapi ada juga
hiasan geometris. Hiasan geometris dipakai yang dibuat dengan tujuan lain. Di Jawa
untuk menghias bagian tepi atau pinggiran hampir seluruh motif batik diciptakan dengan
suatu benda dan diterakan sebagai pengisian suatu harapan. Batik motif Sidomukti, misalnya,
dari bagian benda pada permukaan bidang dibuat dengan pengharapan agar pemakainya
yang rata. Dapat juga sebagai inti atau bagian dapat mengalami hidup mulia dan
yang berdiri sendiri dan merupakan unsur berkecukupan.
estetik dalam bentuk ornamen arsitektural. Demikian pula halnya dengan motif
Relief simbol religius, ornamennya batik yang beraneka warna, dan semuanya
berhubungan dengan arti dan makna mengacu kepada tradisi turun temurun, untuk
keagamaan yang menjadi latar belakang memenuhi selera keindahan dan untuk tujuan
pendirian candi tersebut (Toekio 2000, 38). lain yang bersifat simbolis religius. Banyak hal
dapat terungkap dari ragam hias motif batik,
seperti latar belakang kebudayaan,
C. Ragam Motif, Bahan Kain, dan Makna
Simbolis Batik kepercayaan, adat istiadat, sifat dan tata
1. Motif Batik kehidupan, alam lingkungan, cita rasa, dan
tingkat ketrampilannya. Pada hakekatnya seni
Motif adalah pola atau corak hiasan
batik tersebut berasal dari nenek moyang
yang terungkap sebagai ekspresi jiwa
bangsa Indonesia yang diajarkan secara turun
manusia terhadap keindahan atau
temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 69


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

Akan halnya ragam hias sebagai hasil (1) Motif sawat atau lar: melambangkan
kebudayaan yang berkesinambungan dengan penguasa tinggi atau mahkota
local genius/cultural identity kemampuan (2) Motif meru/pagoda: melambangkan
menyerap dan mengolah pengaruh alam, bumi, gunung
kebudayaan sehingga dapat mencapai suatu (3) Motif naga: melambangkan air
ciptaan baru yang tidak ada pada wilayah (4) Motif burung: melambangkan dunia
bangsa yang membawa pengaruh budaya atas atau angin
tersebut. Bangsa Indonesia secara (5) Motif modang/lidah api:
keseluruhan sudah memiliki kemampuan itu melambangkan panas atau nyala api
(Widyahartono 1989, 206).
sejak jaman dahulu (Soebadio 1985, 21-23).
Perlu pula disimak pendapat Brandes yang Motif-motif dasar batik Solo – Yogya
mengatakan bahwa Bangsa Indonesia tersebut dibagi lagi menjadi banyak sub- motif
khususnya masyarakat Jawa pada jaman pra- antara lain:
Hindu sudah mengenal 10 macam (1) Parang, mempunyai 20 sub-motif
kepandaian yaitu wayang, gamelan, tembang antara lain: parang rusak, parang
(metrum), membatik, mengerjakan logam, klitik, parang gurda, parang kusumo,
dan parang barong;
sistem mata uang, pelayaran, astronomi,
(2) Geometris, mempunyai 42 sub-motif
irigasi/pengairan sawah, dan pemerintahan
antara lain: kawung, jlamprang dan
yang teratur (Atmodjo 1979, 51).
nitik rengganis;
Di Jawa Tengah, motif batik dibagi dalam (3) Sulur-suluran, mempunyai 38 sub-
dua golongan, yaitu sebagai berikut. motif antara lain: semen, kembang
a. Motif Batik Keraton gempol, dan sawat suri;
Motif batik keraton identik berasal (4) Tumbuh-tumbuhan air, mempunyai
15 sub-motif antara lain: ganggong
dari Solo dan Yogyakarta, oleh sebab itu batik
bronta;
keraton disebut juga sebagai motif batik Solo-
(5) Kembang, mempunyai 24 sub-motif
Yogya. Motif batik keraton sebelumnya
antara lain: Trumtum, ceplok dan
berkembang di lingkungan keraton/istana,
grompol;
sebagai sarana membuat bahan pakaian raja (6) Satwa dan alam kehidupan,
dan keluarganya. Saat itu batik dianggap mempunyai 65 sub-motif antara lain:
sebagai karya yang langka, maka pengguna sidomukti, gringsing, cuwiri, dan
batik hanya terbatas untuk kalangan keluarga buntal;
bangsawan (Anshori 2011, 11). (7) Banji/Swastika, hanya mempunyai 3
Batik Solo-Yogya bersifat simbolis sub-motif yaitu: banji, banji bengkok
atau perlambang dengan latar belakang (motif mirip kawung) dan banji guling
kebudayaan Hindu dan Kejawen. Batik ini (Widyahartono 1989, 207);
mempunyai ciri khas warna dominan yaitu (8) Isen-isen, merupakan motif
coklat sogan, biru wedelan/indigo, hitam dan tambahan untuk mengisi bidang
putih. Motif dasar dari batik Solo – Yogya ini yang kosong pada kain. Isen-isen
antara lain: umumnya berukuran kecil dan dibuat

70 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

setelah selesai membuat pola ragam demikian juga warna merah, kuning, dan
hias utama. Isen-isen memiliki 33 coklat. Batik pesisir yang terkenal adalah batik
sub-motif yang masing-masing dari Pekalongan, Lasem, Cirebon, dan
mempunyai nama sendiri untuk Madura. Motif Cina yang banyak dipakai
setiap jenisnya. Proses sampai sekarang adalah motif yang
pembuatannya membutuhkan waktu menggambarkan binatang khayal seperti
yang lama, sehingga menuntut peksi naga, liman, mega/awan, dan singa
kesabaran dan ketelitian (Handoyo barong.
2008, 10-11).

b. Motif Batik Pesisir 2. Bahan Kain Batik


Batik pesisir dipengaruhi oleh ragam hias Para pembatik memiliki cara
yang berasal dari budaya asing terutama dari tersendiri dalam memilih kain yang akan
Cina. Bentuk gambar lebih bersifat naturalis, digunakan sebagai bahan batik. Hal ini
warna batik juga beraneka ragam seperti berkaitan dengan pengalaman selama
warna biru muda sampai ke warna biru tua, mereka membuat kain batik secara turun

a b c

Foto 1. a) motif Parang; b) motif Kawung; c) motif Trumtum

a b

Foto 2. a) motif Mega-mendung; b) Batik Madura

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 71


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

temurun. Jenis-jenis kain yang biasa dipilih yang terletak dekat rahang bawah. Bila terkena
sebagai bahan dasar batik ada dua macam udara, cairan sekresinya akan mengeras. Ulat
yaitu: kain katun dan kain sutra. sutra menganyam kepompongnya dalam 3-5
a. Kain Katun hari. Sekitar 2-3 minggu kemudian, ngengat
Kain katun adalah kain yang terbuat keluar dari kepompong dengan merobek
dari benang kapas yang dipintal. Katun dipilih kepompongnya, akibatnya serat sutra pun
sebagai bahan dasar karena sifatnya yang akan terpotong-potong. Oleh karena itu petani
mampu menyerap kelembaban, dan memiliki ulat sutra biasanya mengambil serat sutra
daya tahan terhadap panas, sebab kain kapas sebelum ngengat keluar dari kepompong. Ulat
bukan penghantar panas yang baik. Selain itu sutra sebagai penghasil benang sutra sudah
kain kapas memiliki keelastisan yang stabil. dikenal sejak beberapa ribu tahun yang lalu
Secara umum, kain katun yang digunakan di Cina. Namun, dunia Barat baru mengetahui
sebagai bahan batik disebut mori, yaitu mengenai serat sutra ini sekitar tahun 300 SM.
tenunan benang yang kualitasnya ditentukan Meskipun demikian, sampai sekitar tahun 550
oleh kerapatan anyamannya. Kain mori Masehi sutra sudah dibudidayakan di seluruh
kualitas bagus yang digunakan pada dunia, terutama untuk diambil seratnya
pembatikan di Jawa sebelum tahun 1800-an, (Prihatin 1991, 459).
masih didatangkan dari India. Kain katun yang Saat ini sutra yang ada di pasaran
dianggap memiliki kualitas tertinggi, bagi para adalah sebagai berikut.
(1) Sutra import adalah kain sutra yang
pengrajin batik dikenal dengan istilah primis
ditenun secara manual, dikenal dengan
atau primissima. Primissima muncul lebih
sutra Super, Organdi, Crepe, dan Kaca
dahulu sebagai kain mori tanpa cacat
Kotak;
tenunan, kemudian istilah primis muncul
(2) Sutra lokal yaitu kain sutra buatan dalam
kemudian yang berarti prima atau sempurna negeri ditenun dengan alat tenun bukan
(Anshori 2011, 32). mesin (ATBM);
b. Kain Sutra (3)  Antara lain, sutra polos, sutra granitan,
Kain sutra terbuat dari serat protein, dan sutra sulur;
yang diperoleh dari ulat sutra, sejenis serangga (4)Sutra Liar, yaitu sutra yang dibuat dari
serat ulat sutra yang dibudidayakan
bombyx mori yang termasuk suku
secara liar. Ulat-ulat sutra ini dibiarkan
Bombyeidae. Ulat sutra mempunyai nilai
hidup dengan makan daun-daunan
ekonomi tinggi karena menghasilkan benang
mahoni, murbei, kedondong, dan
sutra. Mula-mula ulat sutra membuat jala jambu mete. Jenis serta yang
dengan serat sutra pertama yang disebut flos. dihasilkan dari ulat pemakan daun
Setelah itu binatang tersebut membalurkan jambu mete, murbei, dan kedondong,
diri dengan serta sutra ke seluruh tubuhnya, berwarna kuning keemasan.
dan dengan demikian membentuk Sedangkan serat yang dihasilkan dari
kepompong. Serat ini tidak terputus, sehingga ulat pemakan daun mahoni berwarna
panjangnya mencapai sekitar 600-900 meter. coklat. Warna-warna tersebut adalah
Benang ini dihasilkan oleh dua kelenjar khusus warna alami (Anshori 2011, 31-36).

72 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

Sekalipun teknik membatik di hanya untuk peristiwa atau upacara penting


Indonesia sudah berumur ratusan tahun, yang diadakan oleh istana. Konon, motif ini
namun masing-masing daerah dan para diciptakan oleh Sultan Agung pendiri Kerajaan
pengrajin batik memiliki cara-cara sendiri. Mataram. Motif parang sesungguhnya
Batik sutra biasanya lebih mahal harganya menggambarkan senjata sejenis parang atau
daripada batik bahan katun. Hal ini keris. Hal ini diasosiasikan dengan bentuk
disebabkan karena sifat kain sutra yang lebih berkelok yang berada di antara pilin
halus dan licin, sehingga proses Selanjutnya Jasper dalam Kuswadji (1985)
pembatikannya memakan waktu yang lebih mengatakan bahwa motif parang berasal dari
lama dan rumit. bentuk daun teratai yang mengalami
perkembangan dari masa ke masa, sehingga
3. Makna Simbolis Batik terciptalah motif parang dengan berbagai
Ragam hias atau motif batik di Jawa macam motif seperti parang barong (khusus
sangat banyak seperti yang telah disebutkan motif ini hanya dipakai oleh raja di Jawa).
di atas. Setiap motif dibuat berdasarkan nilai-
b. Motif Gurda: Sub-Motif Parang
nilai luhur masyarakat Jawa dan tentu saja
Motif gurda lebih mudah dimengerti
dianggap mempunyai arti simbolis. Dalam
daripada motif lainnya, karena bentuknya jelas
makalah ini, tidak akan diuraikan semua motif
dan mudah diterima oleh masyarakat luas.
batik yang telah ada sejak jaman dahulu
Kata gurda adalah kependekan daripada
hingga sekarang. Hal ini disebabkan sangat
Garuda nama seekor burung besar yang
banyaknya ragam hias yang terdapat pada
menurut kepercayaan dahulu mempunyai
relief candi, yang mungkin menjadi dasar
kedudukan yang penting. Adapun bentuk motif
ragam hias batik sekarang. Hanya beberapa
gurda ini berupa sayap (Jawa = lar) di tengah-
motif yang dianggap merupakan
tengahnya terdapat badan dan ekornya.
pengembangan dari relief candi menjadi motif
Penamaan motif ini juga berbeda, apabila
batik kontemporer di Jawa khususnya Jawa
digambarkan dengan satu sayap disebut lar.
Tengah.
Jika digambarkan dengan dua sayap
a. Motif Parang dinamakan mirong, dan bila digambarkan
Motif ini merupakan motif yang sejak dengan dua sayap dan satu ekor disebut sawat
dahulu dikenal oleh masyarakat Jawa pada (Sunarya 2009, 25). Dalam Kitab Adiparwa
umumnya dan dianggap sebagai motif tertua. disebutkan bagaimana pentingnya kedudukan
Motif parang banyak variasinya dengan garuda di tengah-tengah kehidupan para
penamaannya yang berbeda-beda. Banyak dewa Hindu, dan akhirnya dianggap sebagai
cerita yang mengisahkan tentang motif binatang suci bahkan kemudian menjadi
parang, tetapi yang penting motif ini dianggap wahana dewa Wisnu, yakni salah satu dari
mengandung pralambang yang luhur, dewa Hindu. Cerita tentang asal mula Garuda
sehingga pada jaman dahulu yang menjadi wahana dewa Wisnu adalah sebagai
diperkenankan memakai motif ini hanya para berikut. Suatu saat Garuda berperang
bangsawan tinggi. Waktu itupun motif ini tidak melawan para dewa, dan dapat
dipakai untuk pakaian sehari-hari melainkan mengalahkannya. Kemudian para dewa

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 73


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

mengutus dewa Wisnu untuk menemui yang menganggap motif ini diilhami dari
Garuda dan terjadilah perang mulut yang sebuah lereng tanah berbukit. Selain itu, motif
dimenangkan oleh Garuda. Akhirnya Garuda lereng juga dapat dihubungkan dengan
mempersilahkan para dewa untuk meminta pohon semacam talas yang dipolakan
satu permohonan kepadanya yang akan berdasarkan motif meander (Sunaryo 2009,
dikabulkannya. Ternyata permohonan yang 26).
diajukan sangat sederhana, tetapi justru
d. Motif Jlamprang: Sub-Motif Geometri
menunjukkan kecerdasan akal dewa Wisnu.
Motif ini sebenarnya adalah motif
Permohonan itu adalah agar Garuda bersedia
cinde yang berasal dari Hindustan, sedangkan
menjadi kendaraan atau wahana dewa Wisnu.
di Jawa biasanya disebut dengan motif nitik.
Oleh karena sudah terlanjur berjanji akan
Bentuk penggambarannya bulat, di tengahnya
mengabulkan satu permohonan para dewa,
terdapat bulatan kecil seperti subang. Motif
terpaksalah Garuda memenuhinya. Sejak
ini banyak terdapat di arca-arca dan relief-
itulah dalam penggambaran tokoh dewa
relief candi Hindu-Buddha sebagai asesoris.
Wisnu selalu menaiki seekor garuda
Motif ini biasa digunakan untuk para
(Kuswadji 1985, 12).
bangsawan dan sangat digemari oleh
Dewa Wisnu juga diyakini sebagai
masyarakat Jawa. Menurut Rauffer dan
Sang Hyang Hari yang berarti matahari,
Joynboll dalam Kuswadji (1985), motif
sehingga garuda juga identik dengan
jlamprang diambil dari bunga yang memiliki
lambang matahari atau disebut juga sebagai
delapan daun mahkota. Sedangkan dalam
burung angkasa (lambang laki-laki),
kepercayaan Hindu dan Jawa, jlamprang
sedangkan lawannya lambang perempuan
merupakan bentuk Yantra atau Cakra,
adalah ular sebagai penguasa bumi. Karena
keduanya sebagai lambang senjata dewa
garuda mengandung pengertian sebagai
Wisnu yang bersinar delapan. Hal ini
lambang laki-laki, angkasa, dan matahari yang
menunjukkan betapa pentingnya kedudukan
memberi kehidupan, maka motif garuda atau
bilangan delapan pada kepercayaan dan
gurda diharapkan pengaruhnya bagi pemakai
pandangan hidup masyarakat Jawa baik pada
batik motif ini. Selain untuk ragam hias batik,
masa lampau maupun sekarang.
garuda juga banyak dipakai dalam
Penggambaran motif jlamprang adalah
masyarakat Jawa misalnya dalam
bentuk cakra dengan lidah api delapan buah
pewayangan, seni ukir, seni hias lainnya
untuk menyinari dunia. Cakra sebagai senjata
bahkan menjadi lambang Negara Republik
Wisnu juga mempunyai pengertian yang
Indonesia.
identik dengan matahari. Tentang bilangan
c. Motif Lereng: Sub-Motif Parang delapan ini dapat dihubungkan dengan
Motif lain yang termasuk sub-parang bangunan candi Hindu yang mempunyai
adalah lereng, yang memiliki pola dasar garis- delapan dewa penjaga mata angin/
garis miring yang sejajar. Di antara garis-garis Astalokapala. Pada pengaturan tentang
yang sejajar tersebut terdapat pilin kait atau candrasengkala, kata badan (Jawa)
pilin ganda seperti pada motif parang. Adapula mempunyai watak delapan seperti

74 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

pengejawantahan dewa Siwa/Mahadewa ini sudah ada sejak jaman prasejarah antara
yang dapat diuraikan menjadi 8, yaitu Rawi = lain terdapat sebagai ornamen pada nekara
matahari, Saso = bulan, Kaiti = tanah, Jala = perunggu. Ragam hias tumpal juga
air, Pawana = angin, Hutasena = api, Jayamana menghiasi bangunan candi-candi dalam
= pemimpin suatu upacara keselamatan, dan berbagai variasinya berbentuk dasar segitiga
Akasa = udara. Ada pula pendapat lain yang sama kaki diisi oleh aneka motif tumbuh-
mengatakan bahwa dalam agama Hindu arah tumbuhan, seperti sulur-suluran, bahkan
mata angin masing-masing dijaga oleh seekor dapat pula terisi bentuk motif ragam hias lidah
gajah yang bernama: Airawata, Pindarika, api. Motif ini mendapat pengaruh dari budaya
Vamana, Kumuda, Ayana, Puspadanta, Cina dan terlihat pada motif batik di daerah
Sarwaboma, dan Supratika (Kuswadji 1985, pinggiran atau pesisir-pesisir pantai (Hoop
19). Dalam pandangan hidup masyarakat 1949, 26-30).
Jawa ada ajaran yang mengandung angka 8
yaitu Astabrata yang berarti 8 macam jalan 4. Pengembangan Ragam Hias Non-
hidup. Masih banyak lagi contoh-contoh Cerita Relief Candi pada Motif Batik
tentang bilangan 8 yang dianggap sakral ini,
Beberapa motif ragam hias non-
dan karena alasan itulah motif batik jlamprang
cerita relief candi dan motif batik di bawah ini,
dibuat dengan tujuan agar pemakainya
menunjukkan kemiripan. Meskipun tidak
mendapat pengaruh yang baik-baik pula.
sama persis, tetapi dapat dianggap telah
e. Motif Tumpal: Sub-Motif Geometri mengalami perkembangan kreativitas yang
Memiliki dasar segitiga, biasanya menghasilkan suatu kreasi baru, sekiranya
membentuk pola berderet, dan digunakan dapat disejajarkan seperti digambarkan
sebagai ornamen pada tepi kain batik. Motif dalam perbandingan gambar berikut.

Foto 3. Aplikasi motif jlamprang sebagai motif sub-geometris (gambar sebelah kanan) yang
berdasarkan ragam hias kertas tempel yang terdapat pada panil relief non-cerita di dinding Candi
Sewu (gambar sebelah kiri)

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 75


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

Foto 4. Motif Motif sub-satwa, sido asih dengan gambar fauna atau satwa (gambar sebelah kanan)
yang berdasarkan ragam hias kertas tempel pada relief non-cerita di dinding Candi Plaosan (gambar
sebelah kiri)

Foto 5. Motif sawat/lar, sub-parang (gambar sebelah kanan) yang berdasarkan ragam hias Garuda di
Candi Sukuh (gambar sebelah kiri)

Foto 6. Motif tumpal pada pinggiran kain batik (gambar sebelah kanan) yang berdasarkan ragam hias
geometris/tumpal pada relief non-cerita di dinding Candi Plaosan

76 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

D. Penutup relief candi tersebut, diharapkan dapat


Ragam hias non-cerita pada relief memunculkan kreasi-kreasi baru dengan latar
candi sangat banyak variasinya, begitu pula belakang ragam hias relief candi-candi.
motif batik yang sudah ada sejak dahulu “Tiada masa kini bila tiada masa
sampai sekarang. Kalau disimak dengan lampau, tiada masa depan bila
seksama, tampak ragam hias relief candi yang tiada masa kini, sedang
mirip dengan motif batik. Apakah ini kebudayaan suatu bangsa menjadi
merupakan suatu kesengajaan untuk tolok ukur tinggi rendahnya
melestarikan warisan budaya nenek moyang peradaban suatu bangsa”
Bangsa Indonesia, ataukah hanya merupakan
Ungkapan sederhana ini merupakan
suatu kebetulan saja? Hal ini dapat
hasil cetusan kesadaran sejarah manusia.
dimungkinkan bahwa ragam hias relief candi
Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa
berasal dari pengaruh budaya Hindu-Buddha,
masa lampau dapat diukur dari mutu warisan
selanjutnya “diambil” untuk motif batik.
peradaban yang berbentuk benda-benda
Sebagaimana pendapat Satyawati Soeleiman
bersejarah baik berupa benda seni apa saja
(1985) yang mengatakan bahwa unsur-unsur
maupun benda-benda peninggalan sejarah.
budaya dari luar dapat masuk ke dalam
Segala tradisi dan peninggalan
budaya suatu masyarakat, kalau dianggap
sejarah yang memberi corak khas kepada
cocok dengan pola kebudayaan yang sudah
bangsa, perlu dibina, dan dipelihara untuk
ada. Dapat juga dikatakan bahwa transformasi
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
antara dua budaya yang masih murni diberi
kelestarian budaya yang telah berakar erat
identitas lokal, atau menciptakan sendiri
secara turun temurun. Kita harus bangga
sesuatu yang dianggap hasil karya budayanya
memiliki hasil karya seni yang bercorak
(Soeleiman 1985, 184).
ragamnya, sastra budaya, ilmu pengetahuan
Tulisan singkat ini mencoba
dan teknologi yang cukup tinggi nilainya, sejak
menggugah minat para pengrajin batik untuk
jaman dahulu dan berkembang sampai
berwisata ke candi-candi, sambil
sekarang.
memperhatikan relief-reliefnya. Berdasarkan

Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin 77


Ragam Hias Non-Cerita pada Relief Candi
untuk Perkembangan Motif Batik Kontemporer 64-78

Referensi

Anshori, Yusak dan Adi Kusrianto. 2011. Prihatin, Iwan Tega. 1991. Eksiklopedi
Keeksotisan batik Jawa Timur. nasional Indonesia jilid 15.
Jakarta: PT Elex Media Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Komputindo Kelompok Simanjuntak, Truman (editor). 2008. Metode
Gramedia. penelitian arkeologi. Jakarta:
Atmosudiro, Sumijati dkk. (ed.). 2008. Seni Pusat Penelitian dan
hias kuno. Dalam Jawa Tengah Pengembangan Arkeologi
Sebuah Potret Warisan Budaya. Nasional.
Prambanan: Balai Pelestarian Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara
Peninggalan Purbakala Jawa kajian khusus tentang ornamen
Tengah bekerja sama dengan Indonesia. Semarang: Dahana
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Prize.
Budaya Universitas Gadjah Soebadio, Haryati. 1985. Kepribadian budaya
Mada. bangsa. Dalam Kepribadian
Atmojo, M. M. Sukarto K. 1979. Struktur budaya bangsa (local genius).
masyarakat Jawa Kuna pada Jakarta: Pustaka Jaya, 18-25.
jaman Mataram Hindu dan Soeleiman, Satyawati. 1985. Local genius
Majapahit. Yogyakarta: Pusat pada masa klasik. Kepribadian
Penelitian dan Studi Pedesaan budaya bangsa (local genius).
dan Kawasan Universitas Jakarta: Pustaka Jaya, 152-185.
Gadjah Mada. Toekio, Soegeng, M. 2000. Mengenal ragam
Covarrubias, Miguel. 1973. Island of Bali. hias Indonesia. Bandung:
California: Periplus Edition. Penerbit Angkasa.
Handoyo, Joko Dwi. 2008. Batik dan jumputan. Wagner, Firts A. 1959. The art of the world.
Sleman: PT. Macanan Jaya Jakarta: Indonesia the Art of an
Cemerlang. Island Group.
Hoop, A. N. J. Th. van der. 1949. Ragam-ragam Widyatmanta, Siman. 1958. Adiparwa I.
perhiasan Indonesia. Bandung: Diterjemahkan oleh Seksi
Koninklijk Bataviaasch Bahasa Jawa Cabang Bagiab
Genootchap van Kunsten Een Bahasa. Yogyakarta: Jawatan
Weltenschappen. Kebudayaan Kementrian
Kuswadji, K. 1985. Motif batik dalam Pendidikan dan Kebudayaan.
pandangan hidup masyarakat Widyahartono, Bob dan Endang Partrijunianti.
Jawa. Yogyakarta: Lembaga 1989. Ensiklopadi Nasional
Javanologi. Indonesia Jilid 3. Jakarta: PT.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Cipta Adi Pustaka.
mentalitas dan pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

78 Naditira Widya Vol. 6 No. 1/2012- Balai Arkeologi Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai